Rahasia Sederhana Peroleh Panjang Umur Menurut Islam

Islam memberikan resep sederhana agar kita bisa memperoleh umar panjang.

Seseorang bisa berumur panjang meski usianya pendek jika selama hidupnya gemar berbuat baik. Sebaliknya, seseorang berumur pendek meski usia hidupnya lama karena sedikitnya amal kebaikan selama hidupnya. 

Menurut Dr Muhammad Mahmud Abdullah dalam bukunya Asbab Thulil `Umr, ajal Allah itu terbagi dua. Pertama, ajal yang ditentukan. Kedua, ajal yang ditangguhkan (dikurangi atau ditambah sesuai kehendak-Nya). Allah SWT berfirman: 

أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاتَّقُوهُ وَأَطِيعُونِ يَغْفِرْ لَكُمْ مِنْ ذُنُوبِكُمْ وَيُؤَخِّرْكُمْ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى ۚ  

“Sembahlah Allah, bertakwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaku, niscaya Allah mengampuni sebagian dosa-dosamu dan menangguhkan kamu sampai batas waktu yang ditentukan.” (QS Nuh [71]: 3-4).

Selanjutnya Dr Mahmud menyebut enam rahasia panjang umur. Pertama, beriman kepada Allah SWT. Keimanan berarti optimisme hidup. Riset kesehatan membuktikan, seorang yang optimistis menghadapi hidup biasanya berusia panjang daripada mereka yang pesimistis dan penuh kerisauan jiwa.

Dale Carnegie memberi contoh, pernah ada seorang yang berpenyakit akut divonis dokter hidupnya tinggal satu bulan lagi. Ia kalut dan panik menunggu hari-hari kematiannya.

Alih-alih terus larut dalam kesedihan, ia lalu menikmati sisa-sisa hidupnya justru dengan keceriaan dan tidak menghiraukan vonis itu. Hasilnya sungguh ajaib, hidupnya ternyata bisa jauh lebih panjang dari perkiraan sang dokter!

Kedua, gemar berbuat baik. Ketiga, silaturahim, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan usianya, perpanjanglah silaturahim.” (HR Bukhari). Keempat, zikir dan tasbih. Zikir merupakan bukti bersihnya hati.

Demikian pula ajal suatu bangsa. Sejarah menjadi saksi kebinasaan kaum-kaum yang ingkar pada ajakan kebenaran para nabi. Kaum `Ad, Tsamud, dan kaum Nuh menjadi sepenggal kisah kegetiran manusia.

Keselamatan perahu Nuh AS yang ditumpangi orang-orang beriman, simbol lugas bahwa hanya orang-orang berimanlah yang kelak selamat dari azab Allah SWT.

Kekufuran akan mengantarkan siapa pun pada kebinasaan. Sebagaimana doa Nabi Nuh AS: رَبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.” (QS Nuh [71]: 26).  

Naskah karya Yusuf Burhanuddin didokumentasikan Harian Republika 2007 

KHAZANAH REPUBLIKA


7 Hadits Sebagai Dalil Sunnah Paling Jelas Tentang Bahaya Riba

Yakinlah bahwa segala sesuatu yang dilarang oleh Allah Ta’ala Yang Maha Tahu, pasti mengandung mudharat dan keburukan di dalamnya, oleh karenanya mesti dijauhi karena terkandung maksud kebaikan di baliknya. Diantara banyaknya perkara yang dilarang, amalan riba menjadi salah satunya.

Praktek ribawi merupakan dosa besar yang merusak, akibat yang ditimbulkan adalah merusak dan menghancurkan tatanan kehidupan muamalah di antara manusia. Namun sayang sekali, praktek riba telah menjamur di masyarakat, bahkan ada anggapan mustahil bagi kita untuk menuntaskan praktek ribawi secara tuntas.

Praktek Riba hukumnya haram berdasarkan al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Bahkan seluruh agama samawi selain Islam pun mengharamkannya.

Disebutkan dalam kitab Perjanjian Lama, “Jika engkau meminjamkan harta kepada salah seorang dari kalangan bangsaku, janganlah engkau bersikap seperti rentenir dan janganlah engkau mengambil keuntungan dari piutangmu.”
(Safarul Khuruj pasal 22 ayat 25; dinukil dari Fiqhus Sunnah, 3/130)

Dalam Perjanjian Baru juga disebutkan, “Jika kalian memberikan pinjaman kepada orang yang kalian harapkan imbalan darinya, maka keutamaan apakah yang akan kalian peroleh? Lakukanlah kebajikan dan berilah pinjaman tanpa mengharapkan adanya imbalan sehingga kalian memperoleh pahala yang besar.”
(Injil Lukas pasal 6 ayat 34-35; dinukil dari Fiqhus Sunnah, 3/131).

Cukuplah bagi kita tuntunan Dari Allah Yang Maha Tahu Lagi Maha Bijaksana, dalam firmanNya;

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(QS. al-Baqarah: 275)

Imam Nawawi rahimahullah pernah berkata (yang artinya), “Kaum Muslimin telah sepakat akan haramnya riba. Riba itu termasuk kabair (dosa-dosa besar). Ada yang mengatakan bahwa riba diharamkan dalam semua syari’at (Nabi-Nabi), di antara yang menyatakannya adalah al-Mawardi”.
(lihat al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 9/391)

Dari sudut pandang yang lain, riba adalah satu bentuk kezhaliman, sedangkan keadilan yang terkandung dalam syari’at yang adil tentunya mengharamkan kezhaliman.

Jika ada yang berkata, “Bagaimana bisa transaksi ribawi dikatakan sebagai bentuk kezhaliman padahal mereka yang berhutang, ridha terhadap bentuk muamalah ribawi ini?”

Maka di antara jawabannya adalah sebagai berikut:

1. Sesungguhnya bentuk kezhaliman dalam bentuk muamalah ribawi sangat nyata, yaitu mengambil harta milik orang lain secara batil. (Karena) sesungguhnya kewajiban bagi orang yang menghutangi adalah memberikan kelonggaran dan tambahan waktu bagi pihak yang berhutang tatkala kesulitan untuk melunasi hutangnya, bukan malahan meminta imbalan lebih, bahkan memakai syarat-syarat yang menyusahakan bagi yang berhutang. Petunjuk ini terkandung dalam firman Allah Ta’ala;

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
(QS. Al Baqarah: 280).

2. Jika terdapat tambahan dalam transaksi hutang tersebut lalu diambil, maka hal ini merupakan salah satu bentuk tindakan mengambil harta orang lain tanpa hak. Yang patut diperhatikan pula, bahwa seluruh hamba di bawah aturan syariat, mereka tidak boleh ridha terhadap sesuatu yang tidak diridhai oleh Allah Yang Maha Mulia. Oleh karenanya, ridha dari pihak yang berhutang terhadap transaksi ribawi tidak dapat dijadikan alasan untuk melegalkan praktek ribawi.

3. jika diteliti lebih lanjut dengan penuh kejujuran, sebenarnya pihak yang berhutang tidak ridha terhadap transaksi ribawi tersebut sehingga statusnya layaknya orang yang tengah dipaksa, karena dirinya takut kepada pihak yang menghutangi apabila tidak menuruti dan mengikuti bentuk mu’amalah ini, mereka akan memenjarakan dan melukai dirinya atau menghalanginya dari bentuk mu’amalah yang lain. Maka secara lisan (dirinya) menyatakan ridha, namun sebenarnya dirinya tidaklah ridha, karena seorang yang berakal sehat tentunya tidak akan ridha hutangnya dinaikkan tanpa ada manfaat yang dia peroleh, apatah lagi dia yang meminjam sedang dalam kesusahan saat itu.
(lihat penjelasannya dalam Fiqh wa Fatawal Buyu’ hal. 10, juga dalam kitab Taudhihul Ahkam 4/367).

Berikut ini kami pilihkan hadits-hadits tentang bahaya riba, dan ngerinya dosa yang akan di pikul pelaku riba;

Pertama, Riba Termasuk dalam 7 dosa yang membinasakan

7 dosa yang amat besar dikhususkan nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya;

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ

Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam , Beliau bersabda, “Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!”
Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah itu?”
Beliau menjawab, “Syirik kepada Allâh, sihir, membunuh jiwa yang Allâh haramkan kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari perang yang berkecamuk, menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina”.

(HR. al-Bukhari, no. 3456; Muslim, no. 2669)

Kedua, Pelaku Riba terlaknat

عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Dari Jabir radhiallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya dan dua saksinya”,
dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Mereka itu sama.”
(HR. Muslim, no. 4177).

Ketiga, Pelaku riba di antara indikasi bahwa pelakunya berhak mendapatkan azab di dunia

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

إذا ظهر الزنا والربا في قرية فقد أحلوا بأنفسهم عذاب الله

“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.”
(HR. Al Hakim 2/37, beliau menshahihkannya dan disetujui oleh Adz Dzahabi).

Keempat, Dosa riba yang paling ringan seperti menzinai ibu kandung sendiri

Dari sahabat mulia Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الرِّبَا سَبْعُونَ حُوبًا أَيْسَرُهَا أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ

“Riba itu ada tujuh puluh dosa. Yang paling ringan adalah seperti seseorang menzinai ibu kandungnya sendiri.”
(HR. Ibnu Majah, no. 2274. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Kelima, Keberkahan harta hilang, walau riba terus bertambah banyak

Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنَ الرِّبَا إِلاَّ كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ

“Riba membuat sesuatu jadi bertambah banyak. Namun ujungnya riba makin membuat sedikit (sedikit jumlah, maupun sedikit berkah, -pen.).”
(HR. Ibnu Majah, no. 2279; Al-Hakim, 2/37. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Keenam, Pelaku riba dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan gila

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;

عَنْ عَوْفِ بن مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :”إِيَّايَ وَالذُّنُوبَ الَّتِي لا تُغْفَرُ: الْغُلُولُ، فَمَنْ غَلَّ شَيْئًا أَتَى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَآكِلُ الرِّبَا فَمَنْ أَكَلَ الرِّبَا بُعِثَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَجْنُونًا يَتَخَبَّطُ”, ثُمَّ قَرَأَ: “الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ”

Dari sahabat ‘Auf bin Malik, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jauhilah dosa-dosa yang tidak terampuni: ghulul (mengambil harta rampasan perang sebelum dibagi; khianat; korupsi). Barangsiapa melakukan ghulul terhadap sesuatu barang, dia akan membawanya pada hari kiamat.

Dan pemakan riba. Barangsiapa memakan riba akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan gila, berjalan sempoyongan.”
Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca (ayat yang artinya), “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila”.
(lihat al-Baqarah:275). (HR. Thabrani di dalam Mu’jamul Kabir, no. 14537; al-Khatib dalam at-Tarikh. Dihasankan oleh syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah, no. 3313).

Ketujuh, Pelaku riba di neraka dengan hukuman berenang di sungai darah sambil diganjal mulutnya dengan batu

Dari sahabat mulia Samurah bin Jundub radhiallahu ’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam menuturkan keadaan pelaku riba di neraka,

فَأَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ – حَسِبْتُ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ – أَحْمَرَ مِثْلِ الدَّمِ ، وَإِذَا فِى النَّهَرِ رَجُلٌ سَابِحٌ يَسْبَحُ ، وَإِذَا عَلَى شَطِّ النَّهَرِ رَجُلٌ قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ حِجَارَةً كَثِيرَةً ، وَإِذَا ذَلِكَ السَّابِحُ يَسْبَحُ مَا يَسْبَحُ ، ثُمَّ يَأْتِى ذَلِكَ الَّذِى قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ الْحِجَارَةَ فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا فَيَنْطَلِقُ يَسْبَحُ ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ ، كُلَّمَا رَجَعَ إِلَيْهِ فَغَرَ لَهُ فَاهُ فَأَلْقَمَهُ حَجَرًا – قَالَ – قُلْتُ لَهُمَا مَا هَذَانِ قَالَ قَالاَ لِى انْطَلِقِ انْطَلِقْ

“Kami mendatangi sungai yang airnya merah seperti darah. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang yang berenang di dalamnya, dan di tepi sungai ada orang yang mengumpulkan batu banyak sekali. Lalu orang yang berenang itu mendatangi orang yang telah mengumpulkan batu, sembari membuka mulutnya dan orang yang mengumpulkan batu tadi akhirnya menyuapi batu ke dalam mulutnya. Orang yang berenang tersebut akhirnya pergi menjauh sambil berenang. Kemudian ia kembali lagi pada orang yang mengumpulkan batu. Setiap ia kembali, ia membuka mulutnya lantas disuapi batu ke dalam mulutnya. Aku berkata kepada keduanya, “Apa yang sedang mereka lakukan berdua?”
Mereka berdua berkata kepadaku, “Berangkatlah, berangkatlah.” Maka kami pun berangkat.”

Dalam lanjutan hadits disebutkan,

وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِى أَتَيْتَ عَلَيْهِ يَسْبَحُ فِى النَّهَرِ وَيُلْقَمُ الْحَجَرَ ، فَإِنَّهُ آكِلُ الرِّبَا

“Adapun orang yang datang dan berenang di sungai lalu disuapi batu, itulah pemakan riba.”
(HR. Bukhari, no. 7047).

Demikianlah apa yang bisa kami himpun dari hadits-hadits shahih lagi sharih (jelas) yang menunjukkan bahaya riba, dan dosa mengerikan yang akan dipikul kelak bagi para pelakunya. Semoga bermanfaat bagi kami pribadi dan kaum muslimin.
Semoga Allah ‘Azza Wa jalla menolong kaum muslimin untuk terlepas dari jeratan riba dan beralih kepada bentuk-bentuk muamalah yang sesuai dengan syariat. Aamiin Ya Rabbal ‘Aalamiin.

Wallahu Ta’ala A’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Kamis, 29 Muharram 1442 H / 17 September 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Ekonomi Sulit, Bolehkah Meminjam Uang di Bank?

Para pembaca Bimbinganislamcom yang baik hati berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang saat kesulitan ekonomi, bolehkah meminjam uang di bank?
Silahkan membaca.

Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah ‘Azza wa Jalla selalu menjaga ustadz dan keluarga,

Afwan kami ingin bertanya.. Mohon penjelasannya Ustadz..
Bagaimana solusinya jika kita sedang dalam kesulitan keuangan, untuk membayar anak sekolah kita terpaksa  pinjam di bank. Kita sudah berusaha jual tanah tapi belum laku-laku, pinjam di saudara sudah malah belum bisa mengembalikan, sedangkan untuk anak sekolah tanggal sekian harus sudah dibayar.
Mohon pencerahan dan solusinya Ustadz.

Syukron wa jazaakallahu khairan

(Disampaikan oleh Fulanah, Sahabat BiAS T09-029)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du
Ayyuhal  Ikhwan wal Akhwat baarakallah fiikum Ajma’in.

Ingatlah, tujuan itu tidak membenarkan segala cara, kecuali yang halal saja dan dibolehkan syariat. Dalam hal meminjam uang di bank, maka terlarang karena sudah jelas diketahui adanya riba dalam hal tersebut.
Bertaqwalah kepada Allah Ta’ala, niscaya Dia Yang Maha Pemurah akan memberikan jalan keluar, memberikan rizki dari arah yang tidak diduga, tempuhlah jalan-jalan yang halal, semoga jalan keluar sedang menunggu anda.
Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا . وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثٌ لاَ يَحْتَسِبُ

“Dan barangsiapa bertakwa kepada Alloh, niscaya Alloh menjadikan jalan keluar baginya. Dan Dia akan memberi rizki kepadanya dari arah yang tidak dia sangka-sangka.”
(QS. At-Thalaq : 2).

Seandainya seorang mukmin mengetahui hal ini, tentu dalam segala permasalahan yang menimpanya, dia akan senantiasa kembali kepada Allah Yang Maha Mengatur segala urusan. Dia akan mengoreksi dirinya terlebih dahulu apakah dia telah bertakwa kepada Allah Ta’ala ataukah belum.

Permasalahan ini mencakup segala permasalahan. Baik permasalahan yang berkaitan dengan duniawi, ataupun ukhrawi. Semuanya bertumpu kepada ketakwaan. Maksudnya, baik tidaknya kehidupan duniawi maupun ukhrawi manusia, semuanya tergantung kepada ketakwaan kepada Allah Maha Raja di atas segala raja.

Tidak heran, karena Allah Ta’ala lah yang menguasai dua alam tersebut, dunia dan akhirat. Sehingga kebaikan hanya bisa tercapai dengan menaati Allah Yang Maha menguasai dua alam tersebut.

Adapun tentang rizki, maka kita dapati –dengan sangat disayangkan– banyak di antara kaum muslimin yang tidak memahami hal ini. Sehingga di antara mereka ada yang mencari rizki dengan jalan yang tidak dibenarkan oleh Allah Yang Maha Pemberi rizki. Dengan maksiat dan melanggar ketentuan-ketentuan syariat.  Wallahul Musta’an.
Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyatakan (artinya),

“Sesungguhnya ruhul qudus (Jibril) menyampaikan wahyu ke dalam hatiku, bahwa jiwa tidak akan mengalami kematian sehingga dia menyempurnakan rizkinya.
Maka bertakwalah kalian kepada Allah dan carilah (rizki) dengan cara yang baik. Jangan sampai anggapan lambat datangnya rizki membawa kalian untuk mencarinya dengan berbuat maksiat kepada Allah. Karena sesungguhnya Allah, tidak akan bisa digapai segala apa yang di sisi-Nya kecuali dengan menaatinya.”
(Lihat Kitab ash-Shahihah, no. 2866).

Biaya Sekolah Mahal

“Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian”. Jika Anda memang tidak mampu membayar biaya sekolah anak Anda di sekolah sekarang, dengan biaya yang mahal misalkan, yang dengannya diharapkan dapat membekali anak-anak dengan pemahaman yang baik tentang Islam dan membimbingnya menjadi anak shalih; maka minta keringanan atau penangguhan pembayaran dari sekolah, kemukakan alasan dan uzur syar’i anda (bukan dibuat-buat), jika tetap tidak bisa maka dipastikan ini termasuk kesalahan dalam memilih sekolah, silahkan mengajukan ‘undur diri’ untuk anak anda sebagai peserta didik, karena sekolahnya saja dari segi sosial tidak mendidik.

Maka pilihlah sekolah dengan biaya yang terjangkau, tidak mengapa menyekolahkan anak anda di sekolah umum asalkan anak-anak tetap dikontrol pergaulannya dan diberi bekal ilmu agama di luar sekolah, dengan memasukkan ke madrasah diniyah atau kajian-kajian ilmiah atau home scholing di rumah; dan tidak dicukupkan hanya belajar agama di sekolah umum yang sangat minim pembelajaran agama.

Anda juga bisa mengusahakan agar anak anda mendapat beasiswa, silakan dicari lebih dahulu lembaga-lembaga yang dapat memberi beasiswa bagi anak kurang mampu. Ini lebih aman daripada menyekolahkan anak-anak di sekolah umum, yang anda sebagai orang tua juga tidak mampu membekali secara bersamaan pendidikan agamanya di rumah sendiri.

Tugas Dan Kewajiban Orang

Orang tua juga tetap harus belajar agama dengan baik sebagai bekal Individu seorang hamba dihadapan Sang Pencipta Maha Kuasa. Minimal hal yang wajib diketahui oleh seorang muslim, dimana dia tidak boleh tidak tahu tentang hal tersebut, dan akan bermanfaat pada situasi-situasi seperti ini, menjadi sekolah bagi anak-anaknya Di rumah sendiri,

jikalau keadaannya mengharuskan demikian alias Pendidikan Informal, yaitu sekolah bersama orang tua melalui jalur pendidikan keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Hasil pendidikan informal ini juga diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan atau lebih dikenal dengan ujian kesetaraan (paket).

Wallahu Ta’ala A’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Jumat, 06 Jumadal Akhirah 1441 H/ 31 Januari 2019 M

BIMBINGAN ISLAM

Menjadikan Islam sebagai Sarana Meraih Dunia

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:

Bagaimana pendapat ulama yang mulia tentang orang-orang yang menyibukkan diri dalam Islam, namun bertujuan untuk mewujudukan ambisi (keinginan) pribadi?

Jawaban:

Islam adalah agama kebenaran sebagaimana yang telah diketahui (telah dikenal), walillahil hamd (segala puji hanya milik Allah Ta’ala)Sebagaimana firman Allah Ta’ala kepada Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ بِالْحَقِّ بَشِيراً وَنَذِيراً

“Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran, sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.” (QS. Al-Baqarah [2]” 119)

Agama Islam itu lebih tinggi, lebih mulia, dan lebih unggul, lebih dari sekedar dijadikan sebagai sarana untuk meraih ambisi (keinginan) pribadi (yang bersifat duniawi, pent.). Setiap orang yang mengklaim bahwa dia adalah penolong dan pembela Islam, wajib baginya untuk membuktikan ucapannya itu dengan perbuatannya, sehingga jelaslah bahwa klaimnya tersebut adalah klaim yang jujur. Hal ini karena orang-orang munafik pun mengabarkan (mengklaim) bahwa mereka berpegang teguh dengan Islam setiap kali mereka mendengar seseorang mempertanyakan apakah mereka itu orang yang beriman.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِذَا جَاءكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah.”

Kemudian Allah Ta’ala mengatakan,

وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ اتَّخَذُوا أَيْمَانَهُمْ جُنَّةً فَصَدُّوا عَن سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّهُمْ سَاء مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya, dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan.”

Sampai dengan firman Allah Ta’ala,

وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِن يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُّسَنَّدَةٌ يَحْسَبُونَ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْ هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ

“Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?” (QS. Al-Munaafiquun [63]: 1-4)

Oleh karena itu, tidak boleh bagi seseorang menjadikan Islam ini hanya sebagai sarana untuk meraih ambisi pribadinya, yaitu menjadikan Islam ini sebagai sarana untuk meraih tujuan-tujuan yang bersifat duniawi. Bahkan wajib baginya untuk berpegang teguh dengan Islam untuk meraih buah yang mulia, di antaranya adalah kemuliaan dan kejayaan di dunia, sebelum pahala di akhirat kelak. 

Allah Ta’ala berfirman,

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nuur [24]: 55)

Allah Ta’ala juga berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl [16]: 97)

***

@Kantor YPIA, 24 Muharram 1442/ 17 September 2020

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Kemenkes dan Kemenag Rampungkan Pedoman Protokol Kesehatan

 Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dan Kementerian Agama menggelar finalisasi pedoman teknis protokol kesehatan Covid-19 bagi jamaah haji dan umrah. Koordinasi ini merupakan kedua kalinya yang digagas oleh Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan.

Kepala Pusat Kesehatan Haji Eka Jusup Singka mengatakan, rencananya jika pedoman teknis protokol kesehatan Covid-19 bagi jamaah haji dan umrah selesai, akan dibuat keputusan bersama (SKB) antara Kemenkes dan Kemenag. Diharapkan dengan adanya pedemon protokol kesehatan Covid-19 ini jamaah umrah maupin haji terlindungi dari resiko penularan Covid-19. “Kalau sudah selesai rencananya akan di buat SKB,” kata Eka saat dihubungi, Kamis (17/9).

Eka menuturkan, pedoman pelaksanaan vaksinasi dan penerapan protokol kesehatan Covid-19 bagi jamaah haji dan umrah di dalamnya telah memperhatikan teknis kesehatan dan manajemen haji dan umrah. Pertemuan kali ini merupakan tahap finalisasi.

“Saat ini proses pembuatan pedoman sedang memasuki tahap finalisasi dalam bentuk payung hukum,” katanya.

Eka berharap pedoman pelaksanaan ini nantinya dapat diimplementasikan dengan baik oleh semua pihak termasuk pemilik travel umrah dan haji. Tujuannya, agar jamaah haji dan umroh dapat terlindungi sejak keberangkatan hingga kembali pulang ke rumah masing-masing.

Dalam pembuatan pedoman ini, Kemenkes memberikan beberapa masukan. Salah satunya, manajemen yang berbeda harus disiapkan pihak penyelenggara perjalanan ibadah saat melakukan umroh di masa pandemi seperti ini. Ia menegaskan, kondisi saat ini tidak bisa disamakan dengan sebelumnya.

Syarat keberangkatan jamaah juga disebut harus lebih selektif. Untuk prosedur penerbangan, Kemenkes memberi masukan agar hanya sekali terbang, tanpa transit. “Banyak yang harus dimusyawarahkan dengan Kemenag selaku koordinator pelaksanaan haji dan umroh. Kami diminta masukan terkait pencegahan dan pengendalian Covid-19, jika haji dan umroh dilaksanakan dalam waktu dekat,” kata dia. 

Eka menuturkan, secara pribadi pihaknya diminta Tabung Haji Malaysia untuk memberikan masukan dalam penyusunan protokol kesehatan jamaah haji dan umrah Malaysia. Menurutnya, Tabung Haji Malaysia mengaku terkesan dengan manajemen kesehatan haji yang dikelola Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan, kesan tersebut disampaikan Malaysia pada saat musim haji tahun 2019.

“Secara pribadi saya dimita memberikan masukan oleh Tabung Haji Malaysia. Karena kebetulan kita secara institusi pernah melakukan kerjasama saat oprasional haji,” katanya. 

IHRAM



Cari Perhatian Allah atau Sekedar Perhatian Manusia?

Allah Swt Berfirman :

يَحۡلِفُونَ بِٱللَّهِ لَكُمۡ لِيُرۡضُوكُمۡ وَٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَحَقُّ أَن يُرۡضُوهُ إِن كَانُواْ مُؤۡمِنِينَ

“Mereka bersumpah kepadamu dengan (nama) Allah untuk menyenangkan kamu, padahal Allah dan Rasul-Nya lebih pantas mereka mencari keridhaan-Nya jika mereka orang mukmin.” (QS.At-Taubah:62)

Ayat ini ingin menjelaskan perbedaan besar antara tujuan orang mukmin dan tujuan orang munafik.

Orang munafik tujuannya hanyalah mencari kerelaan dan pujian dari manusia. Dan untuk meraihnya, ia siap melakukan apapun walau harus menabrak batas-batas yang dilarang oleh Allah Swt. Mereka tak segan melanggar syariat, berkhianat dan berbohong, semua itu adalah hal yang biasa baginya yang penting ia bisa disukai manusia dan mendapat pujian dari mereka.

Disini perbedaannya dengan orang mukmin. Seorang yang hatinya dipenuhi keimanan kepada Allah, tidak terlalu mempedulikan penilaian manusia karena ia berbuat semata-mata karena Allah Swt.

Mau dipuji atau tidak, mau dihargai atau tidak, mau disukai atau tidak, ia tidak peduli yang penting ia melangkah dengan penuh keyakinan demi meraih Ridho Allah dan tidak melanggar batas-batas yang di murkai Allah.

Tapi keduanya juga memiliki kesamaan. Orang mukmin dan orang munafik sama-sama ingin mendapatkan kerelaan dari yang mereka tuju. Bedanya, orang mukmin ingin mendapatkan kerelaan dan perhatian dari Pencipta Alam sementara orang munafik hanya ingin kerelaan dan perhatian dari manusia saja.

Maka lihatlah dimana kita berada saat ini? Apakah langkah dan gerakan kita setiap hari dalam rangka meraih perhatian dan kerelaan Allah atau hanya cari perhatian dan pujian di hadapan manusia?

Semoga bermanfaat….

KHAZANAH ALQURAN

Kematian Indah untuk Mukmin, Tapi Jangan Mengharapkannya

Rasulullah melarang umatnya untuk mengharap-harapkan kematian.

Kematian mengubah semua keadaan yang mengalaminya, canda tawa menjadi tangisan, kegembiraan menjadi kesedihan.  

Ustadz Khalilurrahman El Mahfani dalam bukunya “Menguak Rahasia Kehidupan Setelah Kematian” mengatakan, jika manusia memperoleh husnul khatimah yang berarti menikmati jamuan surga atau sebaliknya su’ul khatimah yang berarti pedihnya siksa api neraka. 

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah bersabda:

لا تَمَنَّوْا الْمَوْتَ ، فَإِنَّ هَوْلَ الْمَطَّلَع شَدِيدٌ “Janganlah kamu mengharap-harap kematian, karena huru-hara itu sangat dahsyat.” 

Ketika Sayidina Umar bin Kattab ditikam, seorang sahabat berkata kepadanya, “Aku berharap kulit Anda tidak tersentuh oleh api neraka.”

Sejenak Umar memandang kepadanya seraya berkata,”Sungguhnya orang yang kamu anggap tertipu memang orang yang tertipu. Demi Allah seandainya aku punya apa yang ada di bumi akan aku gunakan untuk merebus dahsyatnya huru-hara maut.”

Abu Darda mengatakan, ”Ada tiga orang yang membuat aku tertawa karena lucu, ada tiga hal yang membuat aku menangis sedih. Orang yang membuat aku tertawa karena lucu adalah orang yang masih mengangan-angankan dunia, padahal dia sedang diburu oleh maut, orang yang lalai tapi tidak merasa lalai dan orang yang tertawa lepas namun tidak tahu apakah Allah meridhainya atau murka kepadanya. 

Sementara tiga hal yang membuat aku menangis ialah berpisah dengan orang-orang tercinta seperti Muhammad dan sahabat-sahabatnya, menghadapi huru-hara kematian, dan berdiri di hadapan Allah pada hari semua yang tersembunyi akan terangkat dan aku tidak tahu masih terus ke surga atau ke neraka.”

Imam Al-Ghazali melukiskan bahwa sakaratul maut adalah ungkapan tentang rasa sakit yang menyerang inti jiwa dan menjalar ke seluruh bagian. Sehingga tidak lagi satupun bagian jiwa yang terbebas dari rasa sakit itu. 

Misalnya kata dia, rasa sakit tertusuk duri saja menjalar pada bagian jiwa yang terletak pada anggota badan yang tertusuk duri saja, sedangkan pengaruh luka bakar lebih luas karena api menyebar ke bagian tubuh yang lain sehingga tidak ada bagian dalam ataupun luar yang tidak terbakar. “Dan efek terbakarnya kulit itu dirasakan oleh bagian-bagian organ yang berada di bagian daging,” katanya.

Adapun luka tersayat pisau hanya akan menimpa bagian tubuh yang terkena sayatan dan Karena itulah rasa sakit yang diakibatkan oleh luka tersayat pisau lebih ringan daripada luka bakar.

Akan tetapi, rasa sakit yang dirasakan selama sakaratul maut menghujam jiwa dan menyebar ke seluruh anggota badan.

Sehingga bagian badan orang yang sedang sakaratul maut merasakan dirinya ditarik-tarik dicabut setiap yang melekat pada organ tubuhnya dari ujung kaki hingga kepala. Tidak dapat dibayangkan bagaimana sakit sakaratul maut. “Jadi bagaimana kira-kira rasa sakit yang diderita seseorang yang mengalaminya?” kata Ustadz. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Bicara Surga Dulu Agar Tertarik Masuk Surga

KESIMPULAN para alim menyatakan bahwa di surga itu ada tiga hal yang tidak mungkin didapat di dunia ini: Pertama, keabadian, hidup selama-lamanya; kedua: melihat Allah dan “bersama”Nya; ketiga, tiadanya sakit, sedih dan derita. Kehidupan yang sempurna, bukan? Subhanallaah. Semoga kita menjadi salah seorang penduduk surga.

Sebagian ulama juga menambahkan bahwa andaikata manusia itu melihat sebagian kecil saja dari ujung surga, maka pastilah mereka menghabiskan waktunya untuk Allah, agama Allah, amal perbuatan yang disukai Allah. Semoga kita termasuk salah satu yang bisa selalu dekat dengan Allah.

Bagaimanakah prkerjaan harian manusia yang dekat kepada Allah? Semuanya adalah dikembalikan kepada Allah. Bahasa kampusnya adalah memiliki semangat transendental yang bagus. Apa buktinya? Ketika ditimpa kesedihan, diselesaikannya dengan SHALAT. Ketika ada rasa sakit, diobatinya dengan QUR’AN. Ketika dada terasa sempit dan pikiran terasa sumpek, dihiburnya dengan ISTGHFAR. Ketika memiliki keinginan untuk masa depannya agar semakin indah, diajukanah proposal kepada Allah yang bernama DOA. Serta saat kehilangan sesuatu yang menyedihkannya di dunia ini, diyakinkanlah hatinya bahwa semua akan ditemukan di SURGA, maka bersabarlah dia.

Semoga kita bisa menjadi manusia dengan amalan harian seperti itu. Salam, AIM, Pengasuh Pondok Pesantren Kota Alif Laam Mii Surabaya. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK


Nabi-Nabi yang Tercatat Menunaikan Ibadah Haji

Setiap tahun puluhan juta umat Islam mendambakan dirinya pergi ke Tanah Suci (Makkah) untuk menunaikan ibadah haji. Bahkan, saat ini sekitar empat hingga lima juta umat Islam dari berbagai negara di dunia sedang bersiap diri melaksanakan ibadah haji.

Pelaksanaan ibadah haji telah diperintahkan oleh Allah SWT sejak zaman Nabi Adam AS hingga nabi muhammad SAW. Dan, ibadah haji merupakan sebuah perjalanan ritual dalam menghayati hakikat hidup dan keimanan kepada Allah SWT. Demikian dikemukakan intelektual Muslim asal Iran, Ali Syariati, dalam bukunya, Al-Hajj.

Menurut Ali Syariati, ibadah haji adalah sebuah demonstrasi simbolis dari falsafah penciptaan Adam. Gambaran selanjutnya adalah sebuah pertunjukan akbar tentang hakikat penciptaan, sejarah, keesaan, ideologi islam, dan ummah.

“Allah adalah sutradaranya. Sedangkan, skenario atau temanya adalah tentang perbuatan orang-orang yang terlibat dan para tokoh utamanya adalah Adam, Ibrahim, Siti Hajar, Ismail, dan iblis. Adapun lokasinya di Masjidil Haram (Ka’bah), Mas’a (tempat sai), Arafah, Masy’ar, dan Mina. Simbolnya adalah Ka’bah, Safa, Marwa, siang, malam, matahari terbit, matahari tenggelam, berhala, dan upacara kurban. Pakaiannya adalah ihram dan aktor dari peran-peran dalam pertunjukan itu adalah umat Islam yang sedang melaksanakan ibadah haji,” kata Ali Syariati.

Sebagaimana dijelaskan dalam berbagai literatur mengenai ibadah haji dan umrah, pelaksanaan ibadah haji telah disyariatkan sejak zaman Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW. Adapun tata cara ibadah haji yang disyariatkan kepada para nabi dan rasul itu umumnya lebih banyak berkisar pada pelaksanaan tawaf atau mengelilingi Ka’bah. Berikut sejumlah tata cara ibadah haji yang dilaksanakan sejak zaman Nabi Adam AS hingga sekarang ini.

Nabi Adam AS

Setelah beberapa waktu sejak diturunkan ke bumi, Nabi Adam diperintahkan oleh Allah SWT pergi ke Baitullah di Makkah untuk melaksanakan ibadah haji.

Menurut sejumlah riwayat, Ka’bah dibangun oleh para malaikat. Dan selama lebih dari 2.000 tahun, malaikat sudah melaksanakan tawaf (mengelilingi Ka’bah). Nabi Adam AS kemudian mengikuti apa yang dilakukan malaikat.

Ka’bah awalnya telah dibangun oleh malaikat. Kemudian, Nabi Adam AS diperintahkan untuk membangun kembali Ka’bah. “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat ibadah) manusia ialah Baitullah di Bakkah (Makkah), yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS Ali Imran [3]: 96).

Nabi Hud dan Saleh

Para nabi setelah Adam AS juga melaksanakan ibadah haji ke Baitullah. Ibnu Katsir dalam kitabnya, Bidayah wa an-Nihayah, menyebutkan sebuah riwayat Imam Ahmad bin Hanbal ra, Ibnu Abbas ra berkata, “Ketika Nabi SAW sedang lewat di Lembah Usfan pada waktu berhaji, beliau berkata, ‘Wahai Abu Bakar, lembah apakah ini?’ Abu Bakar menjawab, ‘Lembah Usfan.’ Nabi Bersabda, ‘Hud dan Saleh AS pernah melewati tempat ini dengan mengendarai unta-unta muda yang tali kekangnya dari anyaman serabut. Sarung mereka adalah jubah dan baju mereka adalah pakaian bergaris. Mereka mengucapkan talbiyah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah’.”

Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS

“Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di Baitullah (dengan mengatakan), ‘Janganlah kamu menyekutukan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang bertawaf dan orang-orang yang beribadah, dan orang yang ruku dan sujud. Dan, serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan’.” (QS al-Hajj [22]: 26-28).

Nabi Ibrahim diperintahkan Allah SWT untuk mengajak umat manusia mengerjakan ibadah haji ke Baitullah. Selanjutnya, nabi-nabi lainnya mengerjakan hal serupa.

Nabi Muhammad SAW

Ibadah haji disyariatkan pertama kali pada tahun keenam Hijriah. Sedangkan, Nabi Muhammad SAW melaksanakan ibadah haji pada tahun kesembilan Hijriah.

Banyak ayat Alquran yang memerintahkan Nabi SAW dan umat Islam untuk melaksanakan haji, sebagaimana tuntunan Allah dalam Alquran (QS 3: 97, 22: 27, 2: 196, 9: 2-3, 9: 17, 9: 28, dan 22: 27).

Adapun tuntunan yang mesti dilaksanakan adalah tawaf (QS 22: 29 dan 2: 125), sai antara Safa dan Marwa (QS 2: 158), wukuf (QS 85: 3, 89: 2, dan 2: 198-199), berkurban (QS 89: 2, 22: 28, dan 22: 36), dan tahalul atau mencukur rambut (QS 48: 27, 2: 196, dan 22: 29).

Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka, barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah tidak ada dosa baginya mengerjakan sai di antara keduanya. (QS 2: 158).

IHRAM

Bagaimana Mungkin Ahli Maksiat Bisa Bangga dengan Dosanya?

Allah SWT memeringatkan hamba-Nya tidak bangga dengan dosa.

Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan dengan berbuat dosa. Ketika berbuat dosa, seorang Muslim harus langsung melakukan taubat dan memohon ampun kepada Allah SWT. Namun, ada sebagain orang yang justru bangga ketika berbuat dosa.

Lalu, apa konsekuensi bagi orang yang bangga atas dosa yang dilakukannya? Dalam kitabnya yang bejudul Nashaihul ‘Ibad, Syekh Nawawi al-Bantani menjelaskan bahwa sebagian ahli zuhud, yakni orang yang tidak begitu memperdulikan kehidupan dunia dan hanya mengambil cukup pada apa yang sangat mereka butuhkan saja, berkata:

“Barang siapa yang berbuat dosa sementara dia tertawa atau merasa senang dan bangga dengan dosa yang dia tanggung, maka kelak Allah akan memasukkannya ke neraka dalam keadaan menangis. Karena seharusnya dia menyesal dan beristighfar pada Allah SWT karena dosanya itu.

Dan barang siapa yang taat kepada Allah, sementara dia menangis karena malu dan takut kepada Allah atas kelalaiannya dalam ketataan itu, maka kelak Allah akan memasukkannya ke surga dalam keadaan tertawa atau sangat bahagia, sebab ia telah memperoleh apa yang ia inginkan, yakni ampunan Allah.”

Suatu hari, Rasulullah SAW juga telah mengingatkan bahwa umat Islam akan mendapatkan ampunan, kecuali yang bangga berbuat dosa.  

 كُلُّ أَمَّتِى مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ “Setiap umatku akan mendapat ampunan, kecuali  orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa.”

Namun, sayangnya di zaman media sosial ini masih banyak orang justru bangga dalam berbuat dosa. Mereka bahkan tak malu mempertontonkan auratnya. Padahal, perbuatan mereka sama saja dengan menantang hukum Allah, dan itu akan mempercepat turunnya azab Allah.

ما ظهرَ في قومٍ الزِّنا والرِّبا ؛ إلَّا أحلُّوا بأنفسِهِم عذابَ اللهِ 

“Tidaklah perbuatan zina dan riba itu telah tampak secara terang-terangan di suatu kaum, kecuali mereka telah menghalalkan azab Allah bagi mereka sendiri.” (HR Ahmad dari Abdullah bin Mas’ud).

KHAZANAH REPUBLIKA