“Dosa zina yang paling ngeri adalah zina yang dilakukan terus menerus. Contohnya adalah seorang suami yang sudah menjatuhkan cerai tiga kepada isterinya namun dia tetap ngotot berhubungan badan, hubungan badan yang nilainya haram. Suami ini tidak mau mengakui telah bercerai dengan isterinya di hadapan publik karena khawatir malu.” (Tanbih al-Ghafilin hlm 339)
Cerai secara agama itu terletak pada lisan suami.
Cerai itu solusi permasalahan rumah tangga yang tidak menemukan titik temu keharmonisan, bukan sarana untuk menghukum atau mendidik isteri.
Tidak ada seorang suami menjatuhkan cerai atau seorang isteri meminta cerai melainkan dilandasi emosi terlebih dahulu.
Andai cerai dalam kondisi emosi tidak sah maka tidak akan pernah ada cerai yang sah di dunia ini.
Setelah cerai atau talak ketiga, isteri resmi jadi orang lain. Hubungan biologis setelah terjadi talak ketiga adalah zina.
Sehebat apapun pertengkaran, suami wajib mengunci lisannya agar tidak mengeluarkan kalimat talak. Kalimat yang hanya akan disesali sepanjang hayat.
Ilustrasi cerai atau talak ketiga adalah sebagai berikut:
Setelah berumah tangga 5 tahun, suami isteri bertengkar. Isteri minta cerai. Suami bilang, “Kupenuhi permintaanmu. Kuceraikan dirimu”. Ini cerai satu. Setelah kejadian ini, suami isteri ini baikan lagi. Suami lantas merujuk isterinya.
Di tahun ke-10 rumah tangga, kembali terjadi cekcok. Saat emosi suami mengatakan, “Kujatuhkan talak kepadamu”. Ini talak dua atau talak kedua. Setelah ini, keduanya berdamai. Suami lantas merujuk isterinya.
Di tahun ke-15 pernikahan terjadi kembali keributan dan perang mulut. Saat itu suami berkata kepada isterinya, Sana, kembali ke rumah ayah ibumu. Telah kububarkan rumah tangga kita”. Ini cerai tiga atau cerai ketiga.
Setelah cerai tiga, isteri tidak boleh dirujuk. Dengan jatuh cerai tiga, otomatis isteri tidak lagi berstatus isteri dan resmi jadi orang lain.
Semoga Allah jadikan rumah tangga penulis dan semua pembaca tulisan ini keluarga penuh ketenangan, cinta dan kasih sayang, kumpul bareng di dunia dan di surga. Aamiin.
Terdapat 4 fondasi utama syahadat menurut Imam Al-Ghazali
Bagi setiap orang yang ingin memeluk Islam, maka wajib mengucapkan dua kalimat syahadat, yaitu:
أشهد أن لا إله إلا الله، وأشهد أن محمدا رسول الله Asyhadualla ilaha Illallah wa Asyhadunn Muhammadar Rasulullah.
Di dalam kalimat kesaksian itu terdapat beberapa penegasan. Dalam kitab Imam Al-Ghazali “Raudhatu ath-Thalibin wa ‘Umdatu as-Salikin” dijelaskan, secara ringkas dua kalimat syahadat mengandung penegasan tentang Dzat Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, dan kebenaran Rasulullah SAW.
Selain itu, di dalamnya juga terkandung empat fondasi bangunan iman. Fondasi pertama, mengenal Allah, yang meliputi sepuluh prinsip, yaitu: ilmu (pengetahuan) tentang wujud Allah, sifat qidam dan baqa’-Nya, dan bahwa dia bukan substansi, materi, maupun aksiden. Dia tidak terbatasi oleh suatu arah, tidak menetap pada sebuah tempat, dan Dia Mahamelihat dan Mahasaesa.
Fondasi kedua, yaitu mengenal sifat-sifat Allah SWT yang terdiri atas sepuluh prinsip, yaitu mengenali bahwa Allah itu Hidup, Mahamengetahui, Mahakuasa, Mahaberkehendak, Mahamendengar, Mahamelihat, Mahaberbicara, Mahabenar dalam menyampaikan berita, suci dari hal-hal baru, dan sifat-sifat-Nya adalah kadim.
Fondasi ketiga, mengenali perbuatan-perbuatan Allah SWT yang berkisar atas sepuluh prinsip, yaitu perbuatan-perbuatan hamba adalah ciptaan Allah, akibat kehendak-Nya, perbuatan-perbuatan itu merupakan sesuatu yang diupayakan (muktasab).
Kemudian, Dia juga merupakan pemberi agnugerah kepada makhluk, Dia berhak memberi beban syariat (taklif) di luar kemampuan, Dia boleh menyakiti makhluk, Dia tidak wajib memperhatikan hal yang lebih maslahat, tidak ada kewajiban kecuali atas dasar syariat, pengutusan para nabi adalah perkara ja’iz (boleh), dan kenabian Muhammad Saw yang didukung berbagai mukjizat merupakan kepastian.
Fondasi keempat, perkara yang hanya didengar (samiyyat) mencakup sepuluh prinsip, yaitu hari pengumpulan makhluk (hasyr), hari kebangkitan (nasyr), azab kubur, pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir, shirat, penciptaan surga dan neraka, dan hukum-hukum imamah.
Saya telah memperoleh ijazah perpajakan dan saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada Anda terkait hukum bekerja di instansi perpajakan.
Pertama, apakah saya boleh bekerja di instansi perpajakan dan apakah secara syar’i bekerja di sana hukumnya halal?
Kedua, apakah mewajibkan pajak di samping zakat diperbolehkan di negara Islam?
Ketiga, apabila bekerja di instansi perpajakan diperbolehkan, maka bagaimana memahami hadits yang mencela pajak dan pemungutnya?
Saya berharap Anda dapat menghilangkan kegalauan saya dalam permasalahan ini. Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan. Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.
Jawaban Syaikh Muhammad ‘Ali Farkus –hafizhahullah– :
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على محمد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، أمّا بعد
Sebelum masuk ke dalam jawaban pertanyaan di atas, kita perlu membedakan antara dua jenis pajak yang dinamakan oleh sebagian ahli fikih dari kalangan Malikiyah dengan “al-wazha-if” atau “al-kharraj“; dan di kalangan ulama Hanafiyah dinamakan dengan “an-nawa-ib“, yaitu pengganti pajak perorangan dari Sulthan; sedangkan di sebagian ulama Hanabilah dinamakan dengan “al-kalf as-sulthaniyah“, kedua jenis pajak ini terbagi menjadi :
Pajak yang diambil secara ‘adil dan memenuhi berbagai syaratnya.
Pajak yang diambil secara zhalim dan melampaui batas.
Pajak yang diwajibkan oleh penguasa muslim karena keadaan darurat untuk memenuhi kebutuhan negara atau untuk mencegah kerugian yang menimpa, sedangkan perbendaharaan negara tidak cukup dan tidak dapat menutupi biaya kebutuhan tersebut, maka dalam kondisi demikian ulama telah memfatwakan bolehnya menetapkan pajak atas orang-orang kaya dalam rangka menerapkan mashalih al-mursalah dan berdasarkan kaidah “tafwit adnaa al-mashlahatain tahshilan li a’laahuma” (sengaja tidak mengambil mashlahat yang lebih kecil dalam rangka memperoleh mashalat yang lebih besar) dan “yatahammalu adl-dlarar al-khaas li daf’i dlararin ‘aam” (menanggung kerugian yang lebih ringan dalam rangka menolak kerugian yang lebih besar).
Pendapat ini juga didukung oleh Abu Hamid al-Ghazali dalam al-Mustashfa dan asy-Syatibhi dalam al-I’tisham ketika mengemukakan bahwa jika kas Bait al-Maal kosong sedangkan kebutuhan pasukan bertambah, maka imam boleh menetapkan retribusi yang sesuai atas orang-orang kaya. Sudah diketahui bahwa berjihad dengan harta diwajibkan kepada kaum muslimin dan merupakan kewajiban yang lain di samping kewajiban zakat. Allah ta’ala berfirman,
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar [Al Hujuraat: 15]
Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui [At Taubah: 41].
(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui [Ash Shaff: 11].
Dengan demikian, salah satu hak penguasa kaum muslimin adalah menetapkan berapa besaran beban berjihad dengan harta kepada setiap orang yang mampu. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh pengarang Ghiyats al-Umam dan juga pendapat An Nawawi dan ulama Syafi’iyah yang lain, dimana mereka merajihkan pendapat bahwa kalangan kaya dari kaum muslimin berkewajiban membantu kaum muslimin dengan harta selain zakat.
Termasuk dari apa yang kami sebutkan, (pungutan dari) berbagai fasilitas umum yang bermanfaat bagi seluruh individu masyarakat, yaitu (yang memberikan) manfaat kepada seluruh masyarakat dan perlindungan mereka dari segi keamanan (militer) dan ekonomi yang tentunya membutuhkan biaya (harta) untuk merealisasikannya sementara hasil dari zakat tidak mencukupi. Bahkan, apabila dakwah kepada Allah dan penyampaian risalah-Nya membutuhkan dana, (maka kewajiban pajak dapat diterapkan untuk memenuhi keperluan itu), karena merealisasikan hal tersebut merupakan kewajiban bagi tokoh kaum muslimin dan biasanya seluruh hal itu tidak dapat terpenuhi dengan hanya mengandalkan zakat. Kewajiban tersebut hanya bisa terealisasi dengan penetapan pajak di luar kewajiban zakat. Oleh karena itu, kewajiban ini ditopang kaidah “maa laa yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib“, sesuatu dimana sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali denganya, maka sesuatu itu bersifat wajib.
Kemudian, setiap individu yang memanfaatkan fasilitas umum yang telah disediakan oleh pemerintah Islam untuk dimanfaatkan dan untuk kemaslahatan individu, maka sebaliknya sudah menjadi kewajiban setiap individu untuk memberi kompensasi dalam rangka mengamalkan prinsip “al-ghurm bi al-ghunm”, tanggungan kewajiban seimbang dengan manfaat yang diambil. Namun, ketetapan ini terikat dengan sejumlah syarat, yaitu :
Bait al-maal mengalami kekosongan dan kebutuhan negara untuk menarik pajak memang sangat dibutuhkan sementara sumber pemasukan negara yang lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut tidak ada.
Pajak yang ditarik wajib dialokasikan untuk berbagai kepentingan umat dengan cara yang adil.
Bermusyawarah dengan ahlu ar-ra’yi dan anggota syura dalam menentukan berbagai kebutuhan negara yang membutuhkan dana tunai dan batas maksimal sumber keuangan negara dalam memenuhi kebutuhan tersebut disertai pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian dana tersebut dengan cara yang sejalan dengan syari’at.
Pajak jenis ini, yang dibagikan secara adil dan dengan cara yang benar telah disebutkan oleh para ahli fikih empat madzhab dengan penamaan yang berbeda-beda sebagaimana hal ini didukung oleh perbuatan ‘Umar in al-Khathab radliallahu ‘anhu di masa kekhalifahannya, dimana beliau mewajibkan pajak sebesar 10% kepada para pedagang ahlu al-harb, sedangkan untuk pedagang ahlu adz-dzimmah sebesar 5%, dan 2,5% bagi pedagang kaum muslimin.
Sedangkan pajak jenis kedua yang diambil secara tidak wajar dan zhalim, maka hal itu tidak lain merupakan bentuk penyitaan sejumlah harta yang diambil dari pemiliknya secara paksa tanpa ada kerelaan darinya. Hal ini menyelisihi prinsip umum syari’at Islam yang terkait dengan harta, yaitu hukum asal dalam permasalahan harta adalah haram diganggu karena berpedoman pada dalil-dalil yang banyak, diantaranya adalah sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لا يحلّ مال امرئ مسلم إلاّ بطيب نفس منه
Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dari jiwanya[1]
من قتل دون ماله فهو شهيد
Barangsiapa yang terbunuh karena membela hartanya, maka dia syahid[2].
ألا إنّ دماءكم وأموالكم وأعراضكم عليكم حرام
Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta dan kerhormatan-kehormatan kalian adalah haram atas sesama kalian (untuk dilanggar)[3].
Berdasarkan hal ini, maka berbagai hadits, baik yang shahih maupun yang tidak, yang mencela para pemungut pajak dan mengaitkannya dengan siksa yang berat, kesemuanya dibawa kepada makna pajak yang diberlakukan secara tidak wajar dan zhalim, yang diambil dan dialokasikan tanpa hak dan tanpa adanya pengarahan. Hal ini berarti pegawai yang dipekerjakan untuk memungut pajak dipergunakan oleh para raja dan penguasa serta pengikutnya untuk memenuhi kepentingan dan syahwat mereka dengan mengorbankan kaum fakir dan rakyat yang tertindas. Gambaran inilah yang dikatakan oleh adz-Dzahabi dalam al-Kabair dengan komentarnya,
المكاس من أكبر أعوان الظلمة، بل هو من الظلمة أنفسهم، فإنّه يأخذ ما لا يستحق ويعطيه لمن لا يستحق
Pemungut pajak adalah salah satu pendukung tindak kezhaliman, bahkan dia merupakan kezhaliman itu sendiri, karena dia mengambil sesuatu yang bukan haknya dan memberikan kepada orang yang tidak berhak.
Inilah kondisi riil yang tersebar luas di pelosok dunia ketika Islam telah berkembang. Berbagai pajak yang tidak wajar diwajibkan oleh beberapa pemerintahan pada saat ini di tengah-tengah manusia dan atas kaum fakir, khususnya kaum muslimin. Kemudian, pajak tersebut disetorkan kepada para pemimpin, penguasa dan kalangan elit, yang pada umumnya digunakan untuk memenuhi syahwat dan kesenangan mereka dan hal itu tertuang dalam berbagai protokol resmi kenegaraan ketika menerima tamu dari kalangan para raja dan pemimpin. Demikian pula pajak tersebut dialokasikan untuk mendanai berbagai pesta dan festival yang di dalamnya terdapat kemaksiatan dan minuman keras, mempertontonkan aurat, pertunjukan musik dan tari serta kegiatan batil lainnya yang jelas-jelas membutuhkan biaya yang mahal.
Maka, pajak jenis ini seperti yang dinyatakan oleh sebagian ulama bahwa pajak tersebut justru dipungut dari kalangan miskin dan dikembalikan kepada kalangan elit. Hal ini sangat bertolak belakang dengan ruh zakat yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya,
تؤخذ من أغنيائهم و ترد على فقرائهم
Zakat itu diambil dari kalangan elit dan dikembalikan kepada kalangan fakir[4].
Berdasarkan penjelasan di atas, maka seorang muslim yang peduli akan agamanya berkewajiban menjauhi segala bentuk keharaman dan kemaksiatan serta menjauhkan diri dari setiap pekerjaan yang justru akan memperbanyak dosa dan mengotori harta yang dimilikinya. Sebagaimana dia berkewajiban untuk tidak menjadi alat dan perantara untuk memaksa dalam tindak kezhaliman yang digunakan oleh para pelakunya dalam membebani manusia dengan berbagai pungutan harta.
Bahkan, bisa jadi dia termasuk pelaku kezhaliman itu sendiri, karena biasanya seorang yang berserikat dengan para pelaku kezhaliman dan berbagi harta yang haram dengan mereka, (maka hal itu juga merupakan tindak kezhaliman), karena syari’at apabila mengharamkan suatu aktivitas, maka uang yang diperoleh dari aktivitas tersebut juga haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قاتل الله اليهود لمّا حرّم عليهم شحومها جملوه ثمّ باعوه فأكلوا ثمنه
Semoga Allah membinasakan Yahudi, karena tatkala Allah mengharamkan lemak bangkai atas mereka, mereka malah mencairkannya, kemudian menjual dan menggunakan uang hasil penjualannya[5].
Adapun penetapan pajak di samping zakat, apabila tidak ditemukan sumber keuangan untuk memenuhi suatu kebutuhan negara kecuali dengan adanya penetapan pajak, maka boleh memungut pajak bahkan hal itu menjadi wajib dengan syarat kas Bait al-Maal (kas negara) kosong, dialokasikan dan didistribusikan dengan benar dan ‘adil berdasarkan penjelasan di atas mengenai pajak yang ‘adil dan tindakan ‘Umar ibn al-Khaththab radliallahu ‘anhu yang mendukung hal tersebut.
Inilah yang nampak bagiku dalam permasalahan ini. Apabila benar, maka hal itu berasal dari Allah dan jika keliru, maka hal itu berasal dari diriku. Saya memohon kepada Allah untuk meneguhkan langkah kita, menjauhkan kita dari kesesatan, memberi taufik kepada kita untuk mengerjakan amalan yang mengandung kebaikan di dunia dan akhirat, serta menjadikan diri kita sebagai sarana dalam memperbaiki manusia dan negara. Sesungguhnya Dia-lah yang Mahamenguasai dan Mahaberupaya atas hal itu.
وآخر دعوانا أن الحمد لله ربّ العالمين؛ وصلّى الله على محمّد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين وسلم تسليما
Dalam koperasi simpan pinjam, kita mengenal istilah SHU (Sisa Hasil Usaha). Apakah SHU dari koperasi seperti itu halal dimanfaatkan?
Apa itu SHU?
SHU koperasi adalah pendapatan koperasi yang diperoleh dalam satu tahun buku dikurang dengan biaya, penyusutan, dan kewajiban lain termasuk pajak dalam tahun buku yang bersangkutan.
Adapun perlakuan terhadap SHU adalah sisa hasil usaha setelah dikurangi dana cadangan, dibagikan kepada anggota sebanding dengan jasa usaha yang dilakukan oleh masing-masing anggota dengan koperasi, serta digunakan untuk pendidikan perkoperasian dan keperluan lain dari koperasi, sesuai dengan keputusan rapat anggota.
SHU dari Simpan Pinjam
Yang kita kritisi adalah sisa hasil usaha dari simpan pinjam.
Jika anggota atau pihak lain yang mengajukan pinjaman pada koperasi, lalu dikenai tambahan dari utang tersebut, ini hakekatnya adalah riba. Karena kaedah yang perlu kita ingat, setiap utang piutang yang ditarik keuntungan, maka itu adalah riba. Dan riba dihukumi haram.
Dalam hadits disebutkan,
كل قرض جر منفعة فهو حرام
“Setiap utang piutang yang di dalamnya ada keuntungan, maka itu dihukumi haram.” Hadits ini adalah hadits dho’if sebagaimana Syaikh Al Albani menyebut dalam Dho’iful Jami’ no. 4244. Namun berdasarkan kata sepakat para ulama -sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Mundzir-, perkataan di atas benar adanya.
“Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.” (Al Mughni, 6: 436)
Kemudian Ibnu Qudamah membawakan perkataan berikut ini,
“Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama sepakat bahwa jika orang yang memberikan pinjaman memberikan syarat kepada yang meminjam supaya memberikan tambahan atau hadiah, lalu transaksinya terjadi demikian, maka tambahan tersebut adalah riba.”
Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Abbas bahwasanya mereka melarang dari utang piutang yang ditarik keuntungan karena utang piutang adalah bersifat sosial dan ingin cari pahala. Jika di dalamnya disengaja mencari keuntungan, maka sudah keluar dari konteks tujuannya. Tambahan tersebut bisa jadi tambahan dana atau manfaat.” Lihat Al Mughni, 6: 436.
Jadi walaupun dinamakan sisa hasil usaha, namun kalau hakikatnya adalah riba, maka hukumnya jelas haram.
Perhatikan Hakekat
Seorang muslim harus cerdas melihat hakikat suatu transaksi, yaitu apa yang sebenarnya terjadi, bukan hanya melihat istilah atau nama. Karena istilah dan embel-embel syar’i kadang menipu. Dikatakan bagi hasil atau sisa hasil usaha, namun kalau ditilik, yang nyata itu adalah riba. Karena di dalamnya yang terjadi adalah utang-piutang (bukan jual beli) dan ditarik keuntungan. Itulah riba.
Adapun jika pendapatan koperasi bercampur antara hasil usaha riil dengan simpan pinjam, maka pendapat seperti itu harus dipisahkan. Yang haram tersebut mesti dibersihkan dengan disalurkan pada kemaslahatan kaum muslimin, bukan dimanfaatkan oleh anggota secara pribadi. Tentu saja SHU seperti itu mesti dihapus dan hendaklah semakin bertakwa pada Allah dengan meninggalkan yang haram.
Ancaman Bagi Para Rentenir
Jika koperasi menarik keuntungan dari simpan pinjam, maka hakekatnya koperasi hanyalah sebagai rentenir, namun berkedok usaha resmi. Rentenir ini terkena ancaman laknat dalam hadits,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1598).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits di atas bisa disimpulkan mengenai haramnya saling menolong dalam kebatilan.” (Syarh Shahih Muslim, 11: 23).
Jika kita memiliki harta yang sudah melebihi nishab tetapi belum tercapai haul-nya, maka tidak boleh bagi kita untuk dengan sengaja mengurangi harta kita tersebut agar kita bisa menghindari pembayaran zakatnya.
Misalnya, jika seseorang memiliki harta yang wajib dizakati seperti uang tunai dan tabungan yang sudah melebihi nishab-nya, maka tidak boleh baginya untuk dengan sengaja menggunakan sebagian uangnya tersebut sehingga jumlahnya sekarang menjadi kurang dari nishab, dalam rangka agar dia tidak perlu membayar zakat atasnya.
Dia bisa saja menggunakan sebagian uangnya itu untuk membeli harta jenis lainnya yang juga wajib dizakati, seperti binatang ternak (kambing, sapi, dan unta), atau harta yang tidak dizakati, seperti kendaraan atau telepon seluler yang digunakan untuk keperluan pribadi (bukan untuk dijual lagi sebagai barang dagangan). Tidak peduli bagaimana dia menggunakan uangnya tersebut, selama ada niat untuk menghindari pembayaran zakat, maka ini adalah perbuatan yang terlarang secara syari’at.
“Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Makkah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari. Dan mereka tidak menyisihkan (hak faqir miskin). Lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur. Maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita.”
Dari serangkaian ayat ini, kita mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukum para pemilik kebun tersebut karena mereka tidak mau menunaikan hak kaum faqir miskin dari sebagian hasil panen mereka. Demikian pula, jika kita dengan sengaja mengurangi harta kita hingga di bawah nishab karena tidak mau untuk membayar zakatnya, maka ini adalah perbuatan yang tercela dan haram secara syari’at.
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu menulis kepada beliau apa yang diwajibkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai zakat,
ولا يُجمَع بين متفرِّق، ولا يُفرَّق بين مجتمِع، خشيةَ الصدقة.
“Hendaknya harta yang terpisah itu tidak digabungkan, atau harta yang tergabung itu tidak dipisahkan, karena ingin menghindari zakat.”
Dari hadits ini bisa kita simpulkan bahwa tidak boleh untuk melakukan hilah (tipu daya) agar kita terhindar dari kewajiban membayar zakat. Barangsiapa yang melakukannya, maka dia tetap wajib untuk membayar zakat tersebut, karena di antara kaidah syari’at mengenai masalah tipu daya adalah bahwa pelaku tipu daya itu dihukum dengan ditetapkan baginya suatu ketetapan yang bertentangan dengan maksud dan tujuannya yang buruk tersebut.
Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah dalam kitab fenomenal beliau I’lamul-Muwaqqi’in ‘an Rabbil-’Alamin berkata,
وكذلك إذا كان في يده نصاب فباعه أو وهبه قبل الحول، ثم استردَّه، قال أرباب الحيل: تسقط عنه الزكاة، بل لو ادَّعى ذلك لم يأخذ العامل زكاته، وهذه حيلة محرَّمة باطلة، ولا يُسقِط ذلك عنه فرضَ الله الذي فرضه وأوعد بالعقوبة الشديدة مَنْ ضيَّعه وأهمله، فلو جاز إبطاله بالحيلة التي هي مكر وخداع لم يكن في إيجابه والوعيد على تركه فائدة.
وقد استقرت سنة الله في خلقه شرعا وقدرا على معاقبة العبد بنقيض قصده، كما حرم القاتلُ الميراثَ، وورَّث المطلَّقةَ في مرض الموت، وكذلك الفارُّ من الزكاة لا يُسقِطها عنه فراره ولا يُعَان على قصده الباطل فيتم مقصوده ويسقط مقصود الرب تعالى، وكذلك عامة الحيل إنما يساعد فيها المتحيِّل على بلوغ غرضه ويُبطِل غرض الشارع.
“Demikian pula jika dia memiliki harta yang sudah mencapai nishab kemudian dia menjualnya atau menghadiahkannya kepada orang lain sebelum haulnya, kemudian memintanya kembali dari orang tersebut, maka orang yang melakukan tipu daya ini akan berkata bahwa zakat tidak wajib atasnya, dan jika dia mengucapkan klaim ini maka ‘amil zakat tidak akan mengambil zakatnya, maka ini adalah hilah (tipu daya) yang haram dan bathil. Perbuatannya ini tidak menggugurkan kewajiban yang telah Allah tetapkan dan telah Allah ancam orang yang melalaikannya dan meremehkannya dengan hukuman yang berat. Jika menggugurkan kewajiban zakat dengan cara melakukan tipu daya itu dibolehkan, yang ini merupakan perbuatan makar dan kecurangan, maka tidak ada faidah ketika syari’at mewajibkannya dan memberikan ancaman hukuman bagi orang yang meninggalkannya.
Telah tetap Sunnatullah pada makhluk-Nya baik secara syar’iy maupun qadariy tentang menghukum seseorang dengan menetapkan sesuatu yang bertentangan dengan maksud dan tujuan orang tersebut. Sebagaimana diharamkan harta warisan bagi orang yang membunuh, dan perempuan yang ditalak oleh suaminya ketika suaminya tersebut sedang sakit parah dan sudah mendekati ajalnya itu tetap mendapatkan harta warisannya, maka demikian pula orang yang hendak lari dari kewajiban membayar zakat, perbuatannya ini tidaklah menggugurkan kewajibannya tersebut. Maksud dan tujuannya yang bathil itu tidak akan didukung oleh syari’at sehingga membuat maksudnya itu bisa tercapai dan gugurlah maksud Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian pula, seluruh tipu daya itu dilakukan dalam rangka untuk mewujudkan maksud si pelaku dan menggugurkan maksud syari’at.”
Syaikh Mushthafa ar-Ruhaibaniy rahimahullah dalam kitab beliau Mathalibu Ulin-Nuha fiy Syarhi Ghayatil-Muntaha berkata,
ولم تسقط الزكاة بإخراج عن ملكه ببيع أو إبدال بأنقص من النصاب، لقوله تعالى: {إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ} الآيات، فعاقبهم تعالى بذلك لفرارهم من الزكاة، ولأنه قصد به إسقاط حق غيره، فلم يسقط، كالمطلق في مرض موته.
“Kewajiban zakat itu tidak gugur ketika seseorang mengeluarkan sebagian hartanya dengan cara menjualnya atau menukarnya dengan harta yang lebih sedikit dari nishab, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Makkah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, …” maka Allah Ta’ala menghukum mereka karena mereka ingin menghindari pembayaran zakat, dan karena dia bertujuan untuk menggugurkan hak orang lain, sehingga hak orang lain tersebut tetap tidak gugur, sebagaimana seorang suami yang mentalak istrinya ketika si suami sedang sakit parah dan sudah mendekati ajalnya.”
Dari penjelasan para ulama’ di atas, kita simpulkan beberapa faidah penting berikut:
Pertama: Haram bagi kita untuk melakukan perbuatan hilah (tipu daya) untuk menghindari kewajiban yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan dalam syari’at-Nya.
Kedua: Jika perbuatan tipu daya untuk menghindari kewajiban seperti ini dibolehkan, maka apa gunanya ada kewajiban tersebut dalam syari’at? Apa gunanya ada ancaman dari syari’at untuk orang-orang yang melalaikan dan meremehkan kewajiban tersebut?
Ketiga: Konsekuensi bagi orang yang melakukan tipu daya itu ada dua:
Dia berdosa karena perbuatan tipu dayanya itu adalah perbuatan yang haram.
Kewajiban yang ingin dia hindari tersebut tetap wajib dan tetap tidak gugur untuknya. Ini yang disebutkan dalam nukilan penjelasan para ulama’ di atas dengan redaksi: Allah menghukum seseorang dengan menetapkan sesuatu yang yang bertentangan dengan maksud dan tujuannya yang bathil tersebut.
Keempat: Bahwa syari’at Islam memiliki maqashid (maksud-maksud) di balik setiap ketetapannya. Melakukan tipu daya untuk menghindari ketetapan syari’at itu sama saja dengan menggugurkan maksud dari syari’at dalam ketetapannya tersebut. Padahal, maksud dari syari’at dalam setiap hukum dan ketetapannya adalah untuk mewujudkan mashlahat dan menghilangkan madharat bagi setiap individu muslim, bagi kaum muslimin secara umum, dan bahkan bagi seluruh manusia dan seluruh ciptaan Allah di alam semesta ini!
Kelima: Contoh tipu daya yang disebutkan dalam nukilan penjelasan para ulama’ di atas adalah:
Orang yang membunuh kerabatnya karena ingin cepat mendapatkan harta warisan dari kerabatnya tersebut. Ini adalah perbuatan tipu daya, sehingga pelakunya berdosa, dan dia dihukum dengan hukuman yaitu tidak akan mendapatkan harta warisan dari kerabatnya yang telah dibunuh olehnya tersebut.
Seorang suami yang mentalak istrinya ketika si suami tersebut sedang sakit parah dan sudah mendekati ajalnya, dengan tujuan agar istrinya tidak mendapatkan harta warisan darinya. Ini adalah perbuatan tipu daya, sehingga suami tersebut berdosa, dan dia dihukum dengan hukuman yaitu sang istri tetap berhak atas harta warisan darinya.
Kita simpulkan bahwa orang yang melakukan perbuatan tipu daya untuk menghindari pembayaran zakat atas hartanya, maka dia telah berdosa, dan dia dihukum dengan hukuman yaitu tetap wajib membayar zakatnya tersebut walaupun sekarang hartanya sudah kurang dari nishab. Jika dia melakukan perbuatan tipu daya ini pada setiap tahunnya, maka pada setiap tahun itu pulalah dia tetap wajib untuk membayar zakat atas hartanya.
Terakhir, kami hendak menekankan di sini bahwa apakah suatu perbuatan merupakan tipu daya atau tidak itu tergantung pada niatnya, sebagaimana sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى.
“Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung niatnya, dan setiap orang itu akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan.”
Oleh karena itu, jika kita melakukan sebuah transaksi yang efeknya bisa membuat kita tidak wajib lagi membayar zakat ketika haulnya sudah tiba, karena ada suatu keperluan atau hajat tertentu, tanpa ada niatan untuk menghindari pembayaran zakat tersebut, maka ini tidak mengapa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لَا يُكَلِّفُ اللَّـهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan keberkahan kepada harta kita, dan semoga kita senantiasa diberikan taufiq oleh-Nya untuk menjalankan syari’at dengan ridha’ dan penuh keikhlasan, hanya mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah swt selalu mendorong hamba-Nya untuk menambah ilmu. Jangan pernah merasa cukup dengan ilmu yang dimiliki karena orang yang paling sombong adalah yang merasa telah mengetahui segalanya.
Tengoklah pribadi mulia Rasulullah saw. Yang telah diberi oleh Allah segala ilmu di masa lalu dan yang akan datang.
وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ
“Dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui.” (QS.An-Nisa’:113)
Namun disisi lain Allah mendidik Nabi-Nya yang telah diberi berbagai ilmu untuk terus memohon tambahan ilmu dari-Nya.
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
Dan katakanlah, “Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.” (QS.Tha-Ha:114)
Artinya, apabila Rasulullah saw yang telah diberi semua ilmu oleh Allah kemudian diperintahkan untuk tetap memohon tambahan ilmu maka hal ini adalah isyarat penting bagi kita untuk jangan pernah merasa cukup dengan ilmu yang kita miliki. Teruslah mencari dan memohon tambahan ilmu dari-Nya.
Dalam suatu kesempatan, Rasulullah saw bersabda,
“Apabila satu hariku terlewatkan tanpa aku menambah ilmu maka hari itu adalah hari yang paling sial bagiku.”
Sering kita melewati hari tanpa ada ilmu yang bertambah. Dihadapan kita banyak kejadian yang memberi pelajaran, banyak buku-buku yang berdebu dan berserakan, namun rasa malas kita mengalahkan keinginan untuk menambah ilmu.
Dan yang lebih parah lagi adalah ketika seseorang diberi nasihat ataupun pelajaran namun ia menjawab, “Tak perlu kau menasehatiku, sudah cukup ilmu yang kumiliki.”
Coba renungkan sejenak…
Bukankah hanya dengan ilmu kita bisa mengenal Allah?
Bukankah hanya dengan ilmu kita bisa meresapi makna syariat yang dibawa oleh Rasulullah saw?
Bukankah hanya dengan ilmu kita bisa hidup damai dan saling memberi yang terbaik?
Memang ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang terkait dengan Allah swt. Apapun itu bentuk ilmunya, apabila dihubungkan dengan Allah, dicari dengan niat ingin mendekatkan diri kepada-Nya maka itulah ilmu yang akan memberi manfaat dan menyelamatkan kita.
Bukankah ketika Allah memerintahkan Rasulullah saw untuk membaca kemudian disusul dengan perintah “Dengan Nama Tuhanmu !”
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.” (QS.Al-‘Alaq:1)
Artinya bacalah semua buku. Pelajari semua ilmu. Tapi jangan pernah memisahkan ilmu itu dari Allah swt. Hubungkan selalu dengan Allah. Karena ilmu yang tidak dihubungkan dengan Allah akan membawa bencana bagi dirinya dan bagi orang lain.
DI TERAS kehidupan dunia, mencari ilmu sangatlah penting. Bahkan dalam kacamata Islam mencari ilmu bukan semata-mata dianjurkan, tetapi diwajibkan atas setiap laki-laki dan perempuan. Kewajiban menuntut ilmu adalah satu proses yang berkelanjutan, dimana titik akhirnya adalah ketika seseorang meninggal dunia.
Islam merupakan agama yang sangat menghormati, memuliakan dan memberi penekanan pada kepentingan ilmu. Apa pun yang dihubungkan dengan ilmu akan menjadi mulia. Para ulama mulia karena penguasaan dan pengamalannya terhadap ilmu. Suatu tempat menjadi mulia bila ditempati untuk majelis ilmu. Allah Ta’ala berfirman:
“Allah Ta’ala akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Dia Mahatahu atas apa yang kalian kerjakan.” (QS: al-Mujadalah: 11).
Dari situ nampak jelas, bahwa sebuah kemuliaan bermula dari ilmu. Ilmu merubah seseorang yang mulanya hina menjadi mulia, yang bukan siapa-siapa menjadi didengar suaranya. Maka seyogyanya seorang muslim juga memuliakan ilmu. Diantaranya adalah dengan menjaga karakteristik ilmu itu sendiri. Khususnya ilmu agama Islam.
Ilmu agama tidak bisa dipahami hanya dengan modal membaca buku (autodidak) dan searching di internet saja. Melainkan juga perlu adanya bimbingan dari ustadz yang ahli di bidangnya.
Said bin Ya’kub suatu saat bertanya kepada Imam Ibnu Mubarak, “Kami menemui nasihat-nasihat di buku-buku, apakah kami bisa mengambilnya?” Imam Ibnu Mubarak menjawab, ”Tidak mengapa jika engkau mendapati di tembok tertulis nasihat-nasihat, ambilah maka engkau memperoleh nasihat.” Dikatakan lagi kepada Imam Ibnu Mubarak, ”Bagaimana dengan fiqih?” Imam Ibnu Mubarak menjawab, ”Tidak lurus (fiqih) kecuali dengan menyimak.” (al-Jami’ li al-Akhlak ar-Rawi, 2/318-319)
Berkaca kepada para ulama, ditemukan keteladanan yang sudah semestinya diamalkan kaum muslimin saat ini. Mari buka mata, lihatlah! Lihatlah lembaran-lembaran sejarah generasi terbaik umat ini. Biarkan hidung meraba, mencium harum jejak kebaikan yang mereka tapaki.
Betapa menakjubkan, mereka sangat ketat dalam menjaga sanad keilmuan. Para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, juga ulama salaf terdahulu belajar langsung dari sumbernya, face to face (bertatap muka).
Perjalanan jauh ditempuh untuk menuntut ilmu, tidak peduli meski jaraknya ribuan kilo meter. Guru di negeri seberang didatangi, tidak peduli meski terik matahari memanggang sekujur tubuh. Karenanya, seorang ulama bernama Abdullah bin al-Mubarak menyebutkan;
“Sanad adalah bagian dari agama. Tanpa adanya sanad, maka siapa saja akan berbicara sesuka hatinya .” (Muqaddimah Shahih Muslim, 1/15)
Sanad terbagi menjadi dua; riwayah dan dirayah. Kajian kelimuan secara sanad riwayah berguna agar teks yang dikaji tidak ada penyelewengan baik berupa pemalsuan teks maupun kesalahan tulisan yang akan berimplikasi terhadap kesalahan makna dan arti teks yang tertulis. Sementara kajian kelimuan berlandaskan sanad dirayah (kontekstual) mempunyai tujuan agar tidak terjadi kesalahan pemahaman dalam mengkaji suatu teks keilmuan.
Realita hari ini
Dalam bukunya A History of Knowledge: Past, Present, and Future, Charles Van Doren, seorang cendikiawan asal Amerika, menggambarkan bahwa zaman sekarang dikenal dengan zaman ledakan ilmu pengetahuan (knowledge explosion). Gambaran Van Doren tersebut benar adanya.
Setiap tahun, ratusan buku dan jurnal diterbitkan. Ilmu pengetahuan baru dan laman web selalu bermunculan dan tersebar di mana-mana. Hanya dalam hitungan detik saja, melalui teknologi internet misalnya, kita dapat mengetahui berbagai kejadian di berbagai belahan dunia, dari ufuk Timur hingga ufuk Barat.
Dizaman yang serba canggih seperti ini banyak hal instant yang mudah diperoleh. Dimanapun, dalam kondisi bagaimanapun, dan kapanpun kita dapat mengakses ilmu agama yang sedang dibutuhkan lewat media cetak, internet, dan lainnya.
Mengkaitkan dengan hukum pemanfaatnnya, tentu kesemuanya sah-sah saja, boleh hukumnya dalam Islam. Seandainya ada seorang muslim belajar dari sumber tersebut ia tidak berdosa sama sekali.
Hanya saja, alangkah lebih baiknya jika pemahaman dari buku bacaan dikonfirmasikan dengan bimbingan dari ustadz yang mumpuni di bidangnya. Orang bisa saja menggali ilmu sendiri secara autodidak, namun yakinlah bahwa ilmunya tidak akan sempurna.
Bahaya, selalu waspadai!
Lebih parahnya, belajar agama tanpa bimbingan ustadz sangat rawan gagal paham ilmu agama. Taruhlah seseorang yang ingin mengetahui makna al-Qur’an. Sesungguhnya lafadz al-Qur’an bisa berupa metafora, mengandung makna ganda dan sifatnya global. Sehingga perlu rincian untuk menemukan hakikat makna sebenarnya.
Tanpa belajar dan tanpa bertanya ke salah seorang ustadz, guru atau orang alim, maka dapat dipastikan dia akan menemui kesulitan. Dan seringnya kesulitan maupun kebingungan yang tidak terarah menyebabkan seorang gagal paham. Jika sudah gagal paham, justru kesimpulan yang dia ambil berpotensi salah dan menyesatkan.
Oleh karena itu, fungsi dari mencari ustadz merupakan satu proses untuk menjaga kemurnian agama dan memastikan keotentikan disiplin ilmu yang diwarisi. Hal ini berdasarkan perintah Allah Ta’ala di dalam al-Qur’an bahwa umat Islam diperintahkan untuk mengembalikan amanah kepada mereka yang berhak.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil.” (QS: An-Nisa’: 58)
Juga memerintahkan untuk bertanya kepada orang yang berilmu (ahlu dzikir) jika tidak mengetahui sesuatu.
Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan al-Baihaqi, Umar bin Khattab diceritakan pernah memberikan izin kepada istri-istri Nabi Muhammad SAW untuk menunaikan ibadah haji. Khalifah Umar lalu mengutus Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf untuk mengawal mereka.
“Utsman kemudian mengumumkan kepada orang-orang agar tak ada seorang pun yang mendekati mereka (istri-istri Nabi SAW), dan jangan memandangi mereka kecuali hanya sekilas. Mereka berada di dalam sekedup di atas unta. Selanjutnya, Utsman menurunkan mereka di atas lorong bukit. Lalu, Utsman bersama dengan Abdurrahman turun dari belakang unta. Dan, tak ada seorang pun yang naik ke atas bukit untuk menemui mereka,” demikian hadis tersebut.
Berdasarkan dalil itu, mazhab fikih Imam Maliki menetapkan, “Perempuan boleh pergi menunaikan ibadah haji dengan syarat disertai teman perempuan atau pendamping yang bisa dipercaya, apabila jarak antara Makkah dan tempat tinggalnya dalam jarak tempuh perjalanan sehari semalam.”
Pendapat senada juga diambil mazhab Imam Syafii, “Perempuan boleh keluar bersama beberapa kaumnya yang bisa dipercaya, apabila melakukan perjalanan jarak jauh.”
Pendapat berbeda disampaikan mazhab Hanafi dan Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali). Keduanya menetapkan, perempuan tak boleh keluar untuk pergi menunaikan ibadah haji apabila tidak disertai suami atau mahramnya.
Terkait hadis di atas, keduanya berargumen bahwa baik Utsman maupun Abdurrahman bin Auf masih termasuk mahram bagi istri-istri Nabi SAW.
Karena banyaknya ayat Alquran yang ilmiah, Profesor Matematika menjadi mualaf.
Alquran adalah kitab yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu karena mendahului sains modern dengan fakta paling akurat sebagai temuan ilmiah terbaru. Gary Miller merupakan seorang profesor matematika.
Dia dibesarkan di Kanada. Sekolah-sekolah keagamaan adalah tempatnya menimba ilmu. Selain mendapatkan pengetahuan, dia di sana juga mendapatkan keimanan.
Dia kemudian belajar teologi di Universitas Wheeling Jesuit, Amerika Serikat. Prestasi akademik banyak diraihnya di sana. Anugerah kecerdasan telah memudahkannya memahami berbagai ilmu pengetahuan. Berkat kecerdasan dan bakatnya, dia menjadi pendukung penyebaran agamanya yang aktif dalam berbagai kesempatan.
Dia menyebarkan keyakinannya kepada khalayak ramai. Dengan penuh semangat, lelaki itu berdiri di podium dan menjelaskan ajaran keimanan yang ketika itu diyakininya benar. Ceramahnya juga ditayangkan di televisi. Kemudian, ia mendapat gelar doktor dalam bidang matematika dari Universitas Toronto.
Pemikiran ilmiah Miller kerap berbenturan dengan ajaran agama yang dianut. Hal ini membuatnya tidak nyaman sehingga dia lebih memutuskan untuk berpindah ke agama lain. Dia juga berpidah-pindah rumah ibadahnya selama sembilan tahun karena tidak mendapatkan jawaban dari pemuka agama soal ketuhanan.
Pertanyaan dan penjelasan Miller kerap membuat pusing pemuka agama. Mereka yang seharusnya mampu memberikan jawaban untuk menambah keimanan masyarakat, malah terdiam. Pemuka agama itu tak dapat memberikan jawaban yang memuaskan kepada Miller.
Ketidakpuasan yang muncul karena jawaban itu tidak didiamkan. Miller mencoba mencari cara lain untuk mendapatkan jawaban yang dapat menghilangkan rasa penasarannya. Kali ini dia tidak lagi menghujani pemuka agama dengan berbagai pertanyaan mengenai ketuhanan. Dia mem baca buku-buku tentang Islam karangan orientalis.
Ketika membaca buku itu, Miller tidak melepaskan sikap kritis. Dia tetap mempertanyakan kesimpulan-kesimpulan orientalis yang kerap memojokkan ajaran Islam dan Nabi Muhammad. Bagaimana mungkin seorang nabi yang ajarannya kini mendunia disebut tidak waras. Apakah mungkin sosok utusan Sang Pencipta yang membawa dan menyebarkan risalah Ilahiyah hidup dengan abnormal. Kesimpulan-kesimpulan semacam itu sama sekali tidak masuk akal. Dia mengabaikannya.
Miller menginginkan kebenaran. Jika Muhammad adalah orang yang baik dan cerdas, mengapa dia harus berbohong untuk mengklaim kenabiannya. Atau, jika Rasul gila sehingga tidak sadar dengan tindakannya, bagaimana mungkin dia memahami wahyu Ilahi.
Jawaban tentang semua kegelisahan Miller ternyata ada dalam Alquran surah az-Zariyat ayat 52-53. Bunyinya adalah,
“Tidak seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan, ‘Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila.’ Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu. Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas.”
Sindiran Allah dalam firman itu menyadarkannya bahwa tudingan orientalis bukan hal baru. Mereka hanya mengulang apa yang dilakukan masyarakat dahulu yang menolak risalah Islam. Alquran jelas menerangkan Rasulullah tidak berdusta.
Kemudian, pandangannya kembali terbuka ketika membaca kisah anak Rasul Ibrahim yang meninggal dunia. Ibrahim meninggal bersamaan dengan gerhana matahari yang terjadi. Seorang sahabat Nabi pernah berkata, matahari hilang karena anak Rasulullah telah wafat. Rasulullah pun membantah perkataan sahabat,
“Matahari dan bulan tidak mengalami gerhana karena kematian atau hilangnya nyawa seseorang.” Jawaban itu adalah bukti yang jelas bahwa Nabi Muhammad bukan pembohong ataupun orang gila.
Inspirasi dari kalam Ilahi itu menghadirkan kepuasan tersendiri. Miller kemudian makin semangat mendalami Islam. Pada tahun 1977 dia memutuskan untuk membaca Alquran. Dia juga mencari tahu apa yang benar dan salah di dalamnya. Dalam tiga hari dia membaca ayat-ayat Ilahi. Setelah selesai, dia berkata kepada diri sendiri, “Inilah keyakinan yang telah saya katakan dan percaya selama 15 tahun terakhir ini.”
Pada mulanya dia meyakini, Alquran merupakan otobiografi yang membahas kehidupan Nabi Muhammad, keluarga, dan lingkungannya. Dia menganggapnya seperti kitab agama sebelumnya yang berisi hikayat orang-orang dulu.
Namun, ia terkejut menemukan hal yang tak terduga. Ternyata Alquran hanya menyebutkan nama Rasulullah sebanyak lima kali. Sementara, Alquran menyebutkan nama Nabi Isa sebanyak 25 kali. Adapun nabi Musa disebutkan lebih dari seratus kali.
Dia makin tercengang ketika menemukan surah Maryam. Sebaliknya, dia tidak menemukan satu surah pun dengan nama Khadijah, Aisyah, atau Fatimah. Dia juga tidak menemukan cerita yang berhubungan dengan perasaan pribadi Rasulullah.
Selain itu, tak ada ayat Alquran yang menceritakan euforia kemenangan Perang Badar atau penderitaan setelah Perang Uhud. Miller menemukan tidak ada satu kata pun yang disebutkan dalam Alquran tentang kesedihan yang menimpa Rasulullah. Karena kitab ini berasal dari Allah, bukan Muhammad.
Pada saat pertama kali mengetahui Alquran, dia sempat berpikir bahwa konten di dalamnya adalah pengetahuan kuno yang dibuat oleh pria gurun pasir ribuan tahun lalu. Setelah membaca ayat-ayat di dalamnya, dia menyadari prediksi itu tidak tepat.
Alquran adalah kitab yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu karena mendahului sains modern dengan fakta paling akurat sebagai temuan ilmiah terbaru. Miller kemudian memberikan penghormatan setinggi-tingginya kepada Alquran.
Dua ratus tahun lalu, ilmuwan Belanda Antony Leeuwenhoek telah menemukan bahwa 80 persen tubuh manusia terdiri atas air. Dia tidak tahu bahwa Alquran telah lebih dahulu menyebutkannya. Allah mengatakan hal itu dalam surah al-Anbiya ayat 30 dan Fussilat ayat 11.
Hal yang sama terjadi di tahun 2011 ketika Saul Perlmutter, Adam Riess, dan Brian Schmidt telah memenangkan Nobel fisika. Penghargaan yang mereka terima adalah untuk menemukan fenomena percepatan ekspansi alam semesta. Sekali lagi, fakta ilmiah ini sudah ada di dalam Alquran dalam surah az-Zariyat ayat 47.
Ayat Embrio
Alquran juga telah berbicara tentang tahap-tahap embrio. Surah al-Hajj ayat 5 menarik perhatian Profesor Keith Moore, rekan sejawat Miller di Universitas Toronto. Moore adalah profesor embriologi dan penulis buku terkenal, The Developing Human. Buku ini merupakan referensi mahasiswa fakultas kedokteran dunia.
Alquran membuat tanda di buku-buku Profesor Keith Moore. Dalam edisi selanjutnya, dia menambahkan informasi yang dia pelajari dari Alquran tentang embriologi.
Namun, dunia telah bangkit saat Keith Moore mengeluarkan buku tentang embriologi klinis. Di dalamnya, dia menulis tentang diutamakannya Alquran dalam menyebutkan fakta perkembangan embrio.
Miller kagum dengan kesepakatan penulis Barat bahwa Alquran tidak dapat ditulis oleh Rasulullah. Karena ini adalah buku pengetahuan berisikan topik yang menakjubkan. Kesimpulan tersebut menunjukkan dengan arif bahwa Alquran adalah wahyu Ilahi.
Klaim yang paling mudah adalah bahwa beberapa komite anonim membantu Rasul mengerjakannya. Namun, ada yang bilang, setan membantunya mengarangnya. Ini adalah kesimpulan yang penuh fitnah. Miller memikirkan secara mendalam tentang klaim terakhir dan menganggapnya sebagai semacam pelarian dan kegagalan untuk menghadapi kebenaran.
Jika Alquran diilhami setan, mengapa iblis mengisi bukunya dalam penghinaan terhadap setan. Makhluk pengganggu manusia itu selalu mengajak manusia untuk mengingkari perintah Allah sehingga mereka akan masuk ke dalam neraka penuh siksa.
Banyak buku tidak dapat menyuguhkan penjelasan yang dapat diterima tentang keajaiban Quran. Berbagai kesimpulan buruk tentang Islam selalu dilontarkan dalam berbagai media. Namun, itu semua justru menjadi pemicu orang untuk lebih mendalami hakikat Islam.
Gary Miller memeluk Islam pada tahun 1978. Dia memilih nama mualaf Abdul Wahid Omar. Dia mengundurkan diri dari pekerjaannya di departemen matematika dan lebih memilih mengabdi untuk berdakwah di Kanada. Buku yang ditulisnya menarik perhatian banyak orang berjudul The Stunning Quran.