Mengenal Nama dan Sifat Allah

Pembaca yang budiman, ilmu tentang mengenal Alloh dan Rosul-Nya merupakan ilmu yang paling mulia. Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh mengatakan, “Kemuliaan sebuah ilmu mengikuti kemuliaan objek yang dipelajarinya.” Dan tentunya, tidak diragukan lagi bahwa pengetahuan yang paling mulia, paling agung dan paling utama adalah pengetahuan tentang Alloh di mana tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah kecuali Dia semata, Robb semesta alam.

Ilmu Tentang Alloh Adalah Pokok dari Segala Ilmu

Ilmu tentang Alloh adalah pokok dan sumber segala ilmu. Maka barangsiapa mengenal Alloh, dia akan mengenal yang selain-Nya dan barangsiapa yang jahil tentang Robb-nya, niscaya dia akan lebih jahil terhadap yang selainnya. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Alloh, lalu Alloh menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri.” (Al-Hasyr: 19). Ketika seseorang lupa terhadap dirinya, dia pun tidak mengenal hakikat dirinya dan hal-hal yang merupakan kemaslahatan (kebaikan) bagi dirinya. Bahkan ia lupa dan lalai terhadap apa saja yang merupakan sebab bagi kebaikan dan kemenangannya di dunia dan di akhirat. Maka, jadilah dia seperti orang yang ditinggalkan dan ditelantarkan, yang berstatus seperti binatang ternak yang dilepas dan dibiarkan pergi sekehendaknya, bahkan mungkin saja binatang ternak lebih mengetahui kepentingan dirinya daripadanya.

Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata, “Manusia yang paling sempurna ibadahnya adalah seorang yang beribadah kepada Alloh dengan semua nama dan sifat-sifat Alloh yang diketahui oleh manusia”. Beliau juga berkata, “Yang jelas, bahwa ilmu tentang Alloh adalah pangkal segala ilmu dan sebagai pokok pengetahuan seorang hamba akan kebahagiaan, kesempurnaan dan kemaslahatannya di dunia dan di akhirat.” (Miftaah Daaris Sa’aadah).

Hampir Setiap Ayat Dalam Al-Qur’an Menyebutkan Nama dan Sifat Alloh

Alloh telah memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya dengan memberitahukan nama-nama-Nya yang paling indah dan sifat-sifat-Nya yang paling mulia. Semua itu disebutkan dalam Kitab-Nya dan Sunnah Rosul-Nya. Bahkan kita jumpai, hampir pada setiap ayat Alqur’an yang kita baca selalu berakhir dengan peringatan atau penyebutan salah satu dari nama-nama Alloh atau salah satu dari sifat-sifat-Nya. Sebagai contoh, firman Alloh yang artinya, “…Sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah: 5) dan juga firman-Nya yang artinya, “…Dan Alloh Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisaa’: 17)

Hal ini semua disebabkan karena nama-nama yang terbaik dan sifat-sifat yang mulia ini memiliki daya pengaruh dan membekas dalam hati seorang yang mengetahui-Nya, hingga ia selalu merasa terawasi oleh Alloh dalam segala aspek kehidupannya. Dengan demikian, sempurnalah rasa malunya dari bermaksiat kepada Alloh.

Yang Paling Takut Kepada Alloh Adalah yang Paling Mengenal Alloh

Semakin tinggi pengetahuan seorang hamba kepada Robb-nya, maka ia akan semakin takut kepada-Nya. Alloh berfirman, “Sesungguhnya yang takut kepada Alloh di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah para ulama.” (Faathir: 28)

Orang yang paling mengenal dan paling mengetahui Alloh adalah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, beliau senantiasa dalam keadaan takut dari perbuatan durhaka terhadap Robb-nya, dan tentu kita telah mengetahui siapa beliau. Karena Alloh telah memerintahkannya untuk mengatakan, “Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku takut akan adzab hari yang besar (hari Kiamat), jika aku mendurhakai Robbku’.” (Al-An’aam: 15)

Sebab, ahli tauhid yang benar-benar mengenal Alloh memandang bahwa kemaksiatan itu, meskipun kecil, ibarat sebuah gunung yang sangat besar. Karena mereka mengetahui keagungan Dzat (Rabb) yang Maha Esa serta Maha Kuasa dan mengenal hak-hak-Nya, oleh sebab itu, mereka menjadi orang-orang yang paling takut kepada-Nya di antara manusia.

Kebodohan Akan Keagungan Alloh Adalah Induk Kemaksiatan

Dari Abul ‘Aliyah, beliau pernah bercerita bahwa para Shahabat Rosululloh mengatakan, “Setiap dosa yang dikerjakan seorang hamba, penyebabnya adalah kejahilan.” (Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir, dengan sanad yang shahih)

Imam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata, “Setiap pelaku kemaksiatan adalah seorang jahil dan setiap orang yang takut kepada-Nya adalah seorang alim yang taat kepada Alloh. Dia menjadi seorang yang jahil hanya karena kurangnya rasa takut yang dimilikinya, kalau saja rasa takutnya kepada Alloh sempurna, pastilah dia tidak akan bermaksiat kepada-Nya.”

Syirik merupakan kemaksiatan yang terbesar di antara maksiat yang ada. Tidaklah manusia berbuat syirik kecuali memang karena ia bodoh dalam pengenalannya terhadap Tuhannya. Oleh karena itu, ketika Nabi Nuh ‘alaihis salaam mengajak kaumnya (kepada tauhid) lalu mereka menolaknya, maka beliau pun mengetahui bahwa penolakan tersebut disebabkan karena ketidaktahuan mereka akan kebesaran Alloh. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Alloh?” (Nuuh: 13). Ibnu Abbas berkata dalam menafsirkan ayat ini, “Kalian tidak mengetahui keagungan atau kebesaran-Nya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui beberapa jalan yang saling menguatkan)

Apa yang dikatakan di atas sangat beralasan, karena seandainya manusia mengenal Alloh dengan sebenarnya, niscaya mereka tidak terjerat dalam kesyirikan mempersekutukan Alloh dengan sesuatu. Sebab, segala kebaikan berada di tangan-Nya, maka bagaimana mungkin mereka bersandar kepada selain-Nya?

Nama Alloh Semuanya Husna

Nama-nama Alloh semuanya husnaa, maksudnya, mencapai puncak kesempurnaannya. Karena nama-nama itu menunjukkkan kepada pemilik nama yang mulia, yaitu Alloh Subhaanahu wa Ta’ala dan juga mengandung sifat-sifat kesempurnaan yang tidak ada cacat sedikit pun ditinjau dari seluruh sisinya. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Hanya milik Alloh-lah nama-nama yang husna.” (Al-A’roof: 180)

Kewajiban kita terhadap nama-nama Alloh ada tiga, yaitu beriman dengan nama tersebut, beriman kepada makna (sifat) yang ditunjukkan oleh nama tersebut dan beriman dengan segala pengaruh yang berhubungan dengan nama tersebut. Maka, kita beriman bahwa Alloh adalah Ar-Rohiim (Yang Maha Penyayang), memiliki sifat rahmah (kasih sayang) yang meliputi segala sesuatu dan menyayangi semua hamba-Nya.

Nama dan Sifat Alloh Tidak Dibatasi Dengan Bilangan Tertentu

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam“Aku memohon kepada Engkau dengan semua nama yang menjadi nama-Mu, baik yang telah Engkau jadikan sebagai nama diri-Mu atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu atau Engkau sembunyikan menjadi ilmu ghaib di sisi-Mu.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Al-Hakim, shahih). Tidak ada seorang pun yang dapat membatasi dan mengetahui apa yang masih menjadi rahasia Alloh dan menjadi perkara yang ghaib.

Adapun sabda beliau, “Sesungguhnya Alloh memiliki 99 nama, yaitu seratus kurang satu. Barangsiapa yang menghafal dan faham maknanya, niscaya masuk syurga.” (HR. Bukhari-Muslim) tidak menunjukkan pembatasan nama-nama Alloh dengan bilangan sembilan puluh sembilan. Makna yang benar adalah, sesungguhnya nama-nama Alloh yang 99 itu, mempunyai keutamaan bahwa siapa saja yang menghafal dan memahaminya akan masuk syurga.

Demikianlah, semoga kita benar-benar mengenal Alloh dengan sebenar-benar pengenalan dan mengagungkan Alloh dengan sebenar-benar pengagungan sehingga bisa menyelamatkan kita dari berbuat syirik kepada-Nya.

***

Penulis: Abu Ibrohim M. Saifudin Hakim
Artikel www.muslim.or.id

Makna Tauhid

auhid secara bahasa arab merupakan bentuk masdar dari fi’il wahhada-yuwahhidu (dengan huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Makna ini tidak tepat kecuali diikuti dengan penafian. Yaitu menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita jadikan satu saja, kemudian baru menetapkannya” (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39).

Secara istilah syar’i, makna tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39). Dari makna ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa banyak hal yang dijadikan sesembahan oleh manusia, bisa jadi berupa Malaikat, para Nabi, orang-orang shalih atau bahkan makhluk Allah yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan saja.

Pembagian Tauhid

Dari hasil pengkajian terhadap dalil-dalil tauhid yang dilakukan para ulama sejak dahulu hingga sekarang, mereka menyimpulkan bahwa ada tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Al Asma Was Shifat.

Yang dimaksud dengan Tauhid Rububiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam kejadian-kejadian yang hanya bisa dilakukan oleh Allah, serta menyatakan dengan tegas bahwa Allah Ta’ala adalah Rabb, Raja, dan Pencipta semua makhluk, dan Allahlah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka. (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Meyakini rububiyah yaitu meyakini kekuasaan Allah dalam mencipta dan mengatur alam semesta, misalnya meyakini bumi dan langit serta isinya diciptakan oleh Allah, Allahlah yang memberikan rizqi, Allah yang mendatangkan badai dan hujan, Allah menggerakan bintang-bintang, dll. Di nyatakan dalam Al Qur’an:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan Mengadakan gelap dan terang” (QS. Al An’am: 1)

Dan perhatikanlah baik-baik, tauhid rububiyyah ini diyakini semua orang baik mukmin, maupun kafir, sejak dahulu hingga sekarang. Bahkan mereka menyembah dan beribadah kepada Allah. Hal ini dikhabarkan dalam Al Qur’an:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ

Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa yang telah menciptakan mereka?’, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Az Zukhruf: 87)

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ

Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa yang telah menciptakan langit dan bumi serta menjalankan matahari juga bulan?’, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Al Ankabut 61)

Oleh karena itu kita dapati ayahanda dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bernama Abdullah, yang artinya hamba Allah. Padahal ketika Abdullah diberi nama demikian, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tentunya belum lahir.

Adapun yang tidak mengimani rububiyah Allah adalah kaum komunis atheis. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Orang-orang komunis tidak mengakui adanya Tuhan. Dengan keyakinan mereka yang demikian, berarti mereka lebih kufur daripada orang-orang kafir jahiliyah” (Lihat Minhaj Firqotin Najiyyah)

Pertanyaan, jika orang kafir jahiliyyah sudah menyembah dan beribadah kepada Allah sejak dahulu, lalu apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat? Mengapa mereka berlelah-lelah penuh penderitaan dan mendapat banyak perlawanan dari kaum kafirin? Jawabannya, meski orang kafir jahilyyah beribadah kepada Allah mereka tidak bertauhid uluhiyyah kepada Allah, dan inilah yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat.

Tauhid Uluhiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadahan baik yang zhahir maupun batin (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Dalilnya:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan” (Al Fatihah: 5)

Sedangkan makna ibadah adalah semua hal yang dicintai oleh Allah baik berupa perkataan maupun perbuatan. Apa maksud ‘yang dicintai Allah’? Yaitu segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, segala sesuatu yang dijanjikan balasan kebaikan bila melakukannya. Seperti shalat, puasa, bershodaqoh, menyembelih. Termasuk ibadah juga berdoa, cinta, bertawakkal, istighotsah dan isti’anah. Maka seorang yang bertauhid uluhiyah hanya meyerahkan semua ibadah ini kepada Allah semata, dan tidak kepada yang lain. Sedangkan orang kafir jahiliyyah selain beribadah kepada Allah mereka juga memohon, berdoa, beristighotsah kepada selain Allah. Dan inilah yang diperangi Rasulullah, ini juga inti dari ajaran para Nabi dan Rasul seluruhnya, mendakwahkan tauhid uluhiyyah. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Sungguh telah kami utus Rasul untuk setiap uumat dengan tujuan untuk mengatakan: ‘Sembahlah Allah saja dan jauhilah thagut‘” (QS. An Nahl: 36)

Syaikh DR. Shalih Al Fauzan berkata: “Dari tiga bagian tauhid ini yang paling ditekankan adalah tauhid uluhiyah. Karena ini adalah misi dakwah para rasul, dan alasan diturunkannya kitab-kitab suci, dan alasan ditegakkannya jihad di jalan Allah. Semua itu adalah agar hanya Allah saja yang disembah, dan agar penghambaan kepada selainNya ditinggalkan” (Lihat Syarh Aqidah Ath Thahawiyah).

Perhatikanlah, sungguh aneh jika ada sekelompok ummat Islam yang sangat bersemangat menegakkan syariat, berjihad dan memerangi orang kafir, namun mereka tidak memiliki perhatian serius terhadap tauhid uluhiyyah. Padahal tujuan ditegakkan syariat, jihad adalah untuk ditegakkan tauhid uluhiyyah. Mereka memerangi orang kafir karena orang kafir tersebut tidak bertauhid uluhiyyah, sedangkan mereka sendiri tidak perhatian terhadap tauhid uluhiyyah??

Sedangkan Tauhid Al Asma’ was Sifat adalah mentauhidkan Allah Ta’ala dalam penetapan nama dan sifat Allah, yaitu sesuai dengan yang Ia tetapkan bagi diri-Nya dalam Al Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Cara bertauhid asma wa sifat Allah ialah dengan menetapkan nama dan sifat Allah sesuai yang Allah tetapkan bagi diriNya dan menafikan nama dan sifat yang Allah nafikan dari diriNya, dengan tanpa tahrif, tanpa ta’thil dan tanpa takyif (Lihat Syarh Tsalatsatil Ushul). Allah Ta’ala berfirman yang artinya:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا

Hanya milik Allah nama-nama yang husna, maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya” (QS. Al A’raf: 180)

Tahrif adalah memalingkan makna ayat atau hadits tentang nama atau sifat Allah dari makna zhahir-nya menjadi makna lain yang batil. Sebagai misalnya kata ‘istiwa’ yang artinya ‘bersemayam’ dipalingkan menjadi ‘menguasai’.

Ta’thil adalah mengingkari dan menolak sebagian sifat-sifat Allah. Sebagaimana sebagian orang yang menolak bahwa Allah berada di atas langit dan mereka berkata Allah berada di mana-mana.

Takyif adalah menggambarkan hakikat wujud Allah. Padahal Allah sama sekali tidak serupa dengan makhluknya, sehingga tidak ada makhluk yang mampu menggambarkan hakikat wujudnya. Misalnya sebagian orang berusaha menggambarkan bentuk tangan Allah,bentuk wajah Allah, dan lain-lain.

Adapun penyimpangan lain dalam tauhid asma wa sifat Allah adalah tasybih dan tafwidh.

Tasybih adalah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Padahal Allah berfirman yang artinya:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar Lagi Maha Melihat” (QS. Asy Syura: 11)

Kemudian tafwidh, yaitu tidak menolak nama atau sifat Allah namun enggan menetapkan maknanya. Misalnya sebagian orang yang berkata ‘Allah Ta’ala memang ber-istiwa di atas ‘Arsy namun kita tidak tahu maknanya. Makna istiwa kita serahkan kepada Allah’. Pemahaman ini tidak benar karena Allah Ta’ala telah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Qur’an dan Sunnah agar hamba-hambaNya mengetahui. Dan Allah telah mengabarkannya dengan bahasa Arab yang jelas dipahami. Maka jika kita berpemahaman tafwidh maka sama dengan menganggap perbuatan Allah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Al Qur’an adalah sia-sia karena tidak dapat dipahami oleh hamba-Nya.

Pentingnya mempelajari tauhid

Banyak orang yang mengaku Islam. Namun jika kita tanyakan kepada mereka, apa itu tauhid, bagaimana tauhid yang benar, maka sedikit sekali orang yang dapat menjawabnya. Sungguh ironis melihat realita orang-orang yang mengidolakan artis-artis atau pemain sepakbola saja begitu hafal dengan nama, hobi, alamat, sifat, bahkan keadaan mereka sehari-hari. Di sisi lain seseorang mengaku menyembah Allah namun ia tidak mengenal Allah yang disembahnya. Ia tidak tahu bagaimana sifat-sifat Allah, tidak tahu nama-nama Allah, tidak mengetahui apa hak-hak Allah yang wajib dipenuhinya. Yang akibatnya, ia tidak mentauhidkan Allah dengan benar dan terjerumus dalam perbuatan syirik. Wal’iyydzubillah. Maka sangat penting dan urgen bagi setiap muslim mempelajari tauhid yang benar, bahkan inilah ilmu yang paling utama. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Sesungguhnya ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia dan paling agung kedudukannya. Setiap muslim wajib mempelajari, mengetahui, dan memahami ilmu tersebut, karena merupakan ilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentang nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan hak-hak-Nya atas hamba-Nya” (Syarh Ushulil Iman, 4).

Penulis: Yulian Purnama

Artikel www.muslim.or.id

Menyambut Muharram dengan Menyayangi Anak Yatim

Tak masalah menyambut Muharram dengan lebaran anak yatim.

Sebagian Muslim mungkin ada yang menganggap bulan Muharram sebagai lebarannya anak yatim. Lantas bagaimana awal mulanya dan apa yang mendasari anggapan bahwa tanggal 10 Muharram adalah hari lebaran untuk anak yatim. Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis memberi penjelasan.

Kiai Cholil memaparkan, keidentikkan bulan Muharram dengan lebaran anak yatim didasarkan pada sebuah hadis yang disebut dalam kitab Tanbighul Ghafiliin. “Penyebutan tanggal 10 Muharram sebagai lebaran anak yatim karena ada hadis yang disebutkan dalam kitab Tanbighul Ghafiliin. Man masaha yadihi ala ro’si yatiim yaum asyuro rofa’allah ta’ala bi kulli sya’rotin darojah,” jelasnya.

Hadis tersebut menyampaikan, siapa yang menyantuni anak yatim pada hari Asyuro atau tanggal 10 Muharram, maka derajatnya akan dinaikkan oleh Allah SWT. Namun, hadis itu dianggap dhaif atau lemah oleh para ulama.

Sebagian ulama bahkan memberi penilaian bahwa hadis itu maudhu alias palsu. Sebab, di dalam sanad (jalur) hadisnya ada perawi yang kurang dipercaya. Meski dhaif atau bahkan palsu, hadis itu diposisikan untuk menjaga perilaku sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW, yaitu mengasihi anak yatim.

“Sebagian ulama berpendapat ini (untuk) akhlak saja. Bahwa di hari Asyuro, hari yang baik bagi umat Islam, dijadikan momentum untuk kita mengenang dan mengikuti Rasulullah, yaitu menyayangi anak yatim,” paparnya.

Kiai Cholil pun mengingatkan, Rasulullah adalah sosok penyayang anak yatim. Karena itu pula, hari baik Asyuro dipakai sebagai momentum untuk menyantuni anak yatim. Hadis tersebut untuk mengasah akhlak umat Muslim agar senantiasa memberi kasih sayang kepada anak yatim.

Hadis yang disebutkan dalam kitab Tanbighul Ghafiliin itu,  terang Kiai Cholil, sekadar untuk memotivasi sekaligus mengajarkan kepada setiap Muslim untuk berbuat baik kepada anak yatim dengan menyantuninya.

Ketua Komisi Fatwa MUI Hasanuddin AF, menjelaskan, amal saleh termasuk menyayangi anak yatim itu adalah sesuatu yang sangat dianjurkan. “Saya kurang tahu persis apa itu hadisnya. Tetapi yang namanya menyayangi anak yatim, kapan pun harinya, hari apapun, itu sesuatu perbuatan yang terpuji,” tutur dia.

Hasanuddin menambahkan, meski itu bersumber dari hadis dhaif, kandungan perbuatan baik yang ada di dalamnya tetap bisa dilakukan. Misalnya perbuatan baik yang hubungannya antara hamba dengan Allah SWT (hablumminallah), dengan manusia (hablumminannas), maupun dengan alam sekitar (hablumminal alam).

“Hadis dhaif sekalipun, karena dalam rangka fadhail a’mal, itu bisa diterima hadisnya, untuk meningkatkan amal kita, apalagi terhadap anak yatim. Ini amal saleh kalau kita berbuat sesuatu yang positif dan bermanfaat,” ujarnya.

Jadi, lanjut Hasanuddin, sikap seorang Muslim terhadap bulan Muharram yang diidentikkan dengan lebaran anak yatim itu tidak masalah meski didasarkan pada hadis dhaif. “Karena dalam rangka mendorong perbuatan amal baik. Itu suatu hal yang patut dilakukan, saya kira gak masalah,” ucapnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Perhatikan Dari Mana Engkau Mengambil Akidah

Di antara permasalahan penting yang telah dibahas oleh para ulama’ adalah apa saja sumber yang shahih untuk mengambil ilmu dan akidah. Sebagaimana yang telah ditegaskan oleh para ulama’, kesalahan dalam menentukan sumber ilmu akan berakibat pada kesalahan dalam banyak masalah akidah dan manhaj. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mempelajari apa saja sumber ilmu dan akidah menurut ahlus-sunnah wal-jama’ah, sehingga kita bisa memiliki pondasi yang kuat untuk menentukan mana akidah yang benar dan mana yang salah.

Sumber untuk mengambil ilmu yang lurus dan akidah yang shahihah, yang sering diistilahkan sebagai mashdar talaqqiy dalam literatur para ulama’, menurut ahlus-sunnah wal-jama’ah ada dua jenis:

Pertama: Sumber primer atau utama, yaitu dalil-dalil syar’iy dari Qur’an dan Sunnah, dan ijma’ para ulama’.

Kedua: Sumber sekunder atau penguat, yaitu akal yang lurus, dan fithrah yang selamat.

Sumber utama pertama: Dalil-dalil syar’iy dari Qur’an dan Sunnah

Adapun Qur’an dan Sunnah, maka tidak diragukan lagi bahwa wajib bagi kita untuk berpegang teguh pada keduanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

اتَّبِعوا ما أُنزِلَ إِلَيكُم مِن رَبِّكُم وَلا تَتَّبِعوا مِن دونِهِ أَولِياءَ ۗ قَليلًا ما تَذَكَّرونَ

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).”[1]

فَإِن تَنـٰزَعتُم فى شَىءٍ فَرُدّوهُ إِلَى اللَّـهِ وَالرَّسولِ إِن كُنتُم تُؤمِنونَ بِاللَّـهِ وَاليَومِ الـٔاخِرِ ۚ ذٰلِكَ خَيرٌ وَأَحسَنُ تَأويلًا

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”[2]

وَمَن يَعصِ اللَّـهَ وَرَسولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدودَهُ يُدخِلهُ نارًا خـٰلِدًا فيها وَلَهُ عَذابٌ مُهينٌ

“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.”[3]

Sebagian orang ada yang hanya ingin mengambil al-Qur’an saja sebagai dalil, akan tetapi tidak mau menjadikan as-Sunnah sebagai hujjah. Padahal, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,

قُل إِن كُنتُم تُحِبّونَ اللَّـهَ فَاتَّبِعونى يُحبِبكُمُ اللَّـهُ وَيَغفِر لَكُم ذُنوبَكُم ۗ وَاللَّـهُ غَفورٌ رَحيمٌ

“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[4]

فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤمِنونَ حَتّىٰ يُحَكِّموكَ فيما شَجَرَ بَينَهُم ثُمَّ لا يَجِدوا فى أَنفُسِهِم حَرَجًا مِمّا قَضَيتَ وَيُسَلِّموا تَسليمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”[5]

فَليَحذَرِ الَّذينَ يُخالِفونَ عَن أَمرِهِ أَن تُصيبَهُم فِتنَةٌ أَو يُصيبَهُم عَذابٌ أَليمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul itu takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa ‘adzab yang pedih.”[6]

Yang dimaksud dengan fitnah (cobaan) pada ayat ini adalah menganggap perkara yang baik sebagai buruk dan menganggap perkara yang buruk sebagai baik. Maka itulah yang memang terjadi pada orang-orang yang menyelisihi Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perkara yang tidak disyari’atkan mereka anggap disyari’atkan dan mereka pertahankan, sementara perkara yang disyari’atkan tidak mereka pedulikan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إني قد تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهما: كتاب الله وسنتي، ولن يتفرقا حتى يردا عليَّ الحوض.

“Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh pada keduanya: Kitabullah dan Sunnahku, dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di al-haudh.”

Imam asy-Syafi’iy rahimahullah berkata,

لا يلزم قول بكل حال إلا بكتاب الله أو سنة رسوله صلى الله عليه وسلم، وأن ما سواهما تبع لهما.

“Tidak ada perkataan yang wajib diikuti dalam setiap keadaan kecuali Kitabullah atau Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan yang selain keduanya maka hanya mengikuti keduanya.”

Akan tetapi, tidak boleh bagi kita untuk memahami Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman kita sendiri. Wajib bagi kita untuk memahami keduanya sebagaimana pemahaman as-salafush-shalih atau generasi terdahulu. Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

من كان منكم متأسيا فليتأس بأصحاب محمد صلى الله عليه وسلم، فإنهم كانوا أبر هذه الأمة قلوبا، وأعمقها علما، وأقلها تكلفا، وأقومها هديا، وأحسنها حالا، اختارهم الله لصحبة نبيه صلى الله عليه وسلم وإقامة دينه، فاعرفوا لهم فضلهم واتبعوهم في آثارهم، فإنهم كانوا على الهدى المستقيم.

“Barangsiapa di antara kalian yang ingin mengambil teladan maka teladanilah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang paling baik hatinya di kalangan umat ini, paling mendalam ilmunya, paling sedikit sikap berlebih-lebihannya, paling lurus bimbingannya, dan paling baik keadaannya. Allah telah memilih mereka untuk membersamai Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, kenalilah keutamaan mereka dan ikutilah jalan mereka, karena sesungguhnya mereka itu berada di atas petunjuk yang lurus.”

Sumber utama kedua: Ijma’ para ulama’

Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah wafatnya beliau pada sebuah zaman atas sebuah perkara. Perhatikan bahwa ijma’ adalah kesepakatan para ulama’ mujtahid. Adapun orang awam maka pendapat mereka tidak dianggap dalam penetapan adanya ijma’. Walaupun misalnya mayoritas orang awam meyakini suatu pendapat dan para ulama’ mujtahid yang jumlahnya sedikit itu meyakini pendapat yang berbeda, pendapat orang awam walaupun mereka mayoritas maka tidaklah teranggap.

Wajib bagi kita untuk mengikuti ijma’, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَمَن يُشاقِقِ الرَّسولَ مِن بَعدِ ما تَبَيَّنَ لَهُ الهُدىٰ وَيَتَّبِع غَيرَ سَبيلِ المُؤمِنينَ نُوَلِّهِ ما تَوَلّىٰ وَنُصلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَساءَت مَصيرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”[7]

Yakni, wajib bagi kita untuk mengikuti jalannya orang-orang mukmin, dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah yang paling berhak dan paling utama untuk dimaksudkan dalam ayat ini.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق، لا يضرهم من ناوأهم حتى تقوم الساعة.

“Akan selalu ada kelompok dari umatku yang senantiasa membela kebenaran, tidak akan membahayakan mereka orang yang menentang mereka, hingga datang hari kiamat.”

Yakni, tidak mungkin seluruh umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu zaman itu semuanya bersepakat di atas kesalahan, dengan cara mereka semua mengambil pendapat yang salah dan meninggalkan pendapat yang benar. Maka, kita menyimpulkan dari hadits ini bahwa jika seluruh umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (yakni, para mujtahid di antara mereka, sebagaimana telah dibahas sebelumnya) telah bersepakat atas suatu pendapat, maka tidak mungkin pendapat ini adalah pendapat yang salah, yang tidak diridhai dan dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sumber penguat pertama: Akal yang lurus

Akal bukanlah sumber primer dan utama untuk mengambil ilmu dan akidah. Akan tetapi, akal adalah alat untuk memahami dalil-dalil syar’iy dan menangkap makna dan kandungan dari dalil-dalil tersebut. Itu mengapa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

كِتـٰبٌ أَنزَلنـٰهُ إِلَيكَ مُبـٰرَكٌ لِيَدَّبَّروا ءايـٰتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُوا الأَلبـٰبِ

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya, dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.”[8]

أَفَلا يَتَدَبَّرونَ القُرءانَ أَم عَلىٰ قُلوبٍ أَقفالُها

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”[9]

Akal yang lurus itu menegaskan dan menguatkan dalil-dalil syar’iy. Tidak mungkin bagi akal yang lurus untuk bertentangan dengan dalil-dalil syar’iy yang shahih dan dipahami dengan pemahaman yang benar. Jika tampak bertentangan, maka bisa jadi akal yang digunakan tersebut tidak lurus, atau dalilnya tidak shahih, atau pemahaman terhadap dalilnya tidak benar.

Demikian pula, akal itu terbatas. Tidak boleh bagi kita untuk memahami perkara-perkara ghaib, seperti sebagian besar dari perkara akidah, dengan akal kita yang terbatas tersebut. Tidak boleh bagi kita untuk memahami kaifiyyah (bagaimananya) Sifat-Sifat Allah dengan akal, karena tidak ada jalan untuk memahami kafiyyah Sifat-Sifat Allah tersebut. Tidak ada dalil yang menerangkannya di Qur’an dan Sunnah, dan akal kita tidak bisa mengetahui hakikat dan kaifiyyah dari Sifat Allah sebagaimana akal kita tidak bisa mengetahui hakikat dan kaifiyyah dari Dzat Allah.

Imam al-Barbahariy rahimahullah berkata,

واعلم رحمك الله أن من قال في دين الله برأيه وقياسه وتأويله من غير حجة من السنة والجماعة، فقد قال على الله ما لا يعلم، ومن قال على الله ما لا يعلم فهو من المتكلفين.

“Ketahuilah, semoga engkau dirahmati oleh Allah, bahwa barangsiapa yang berkata mengenai agama Allah dengan akalnya, qiyasnya, dan ta’wilnya, tanpa hujjah dari Sunnah dan Jama’ah, maka dia telah berkata tentang Allah tanpa ilmu. Dan barangsiapa yang berkata tentang Allah tanpa ilmu, maka dia termasuk orang-orang yang menyusahkan diri.”

Sumber penguat kedua: Fithrah yang selamat

Fithrah adalah kondisi asli, bawaan, dan kecenderungan untuk menerima akidah yang benar. Fithrah yang selamat itu menegaskan dan menguatkan dalil-dalil syar’iy, sehingga secara asalnya dengan fithrah tersebut seluruh manusia menegaskan adanya Allah dan mentauhidkan-Nya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ما من مولود إلا يُولَد على الفطرة، فأبواه يهوِّدانه أو ينصِّرانه أو يمجِّسانه، كما تُنتَج البهيمة بهيمة جمعاء، هل تحسُّون فيها من جدعاء

“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fithrah, kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi, sebagaimana hewan yang dilahirkan dalam keadaan selamat tanpa cacat, maka apakah kalian merasakan adanya cacat?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وإني خلقت عبادي حنفاء كلهم، وإنهم أتتهم الشياطين فاجتالتهم عن دينهم، وحرَّمت عليهم ما أحللت لهم، وأمرتهم أن يشركوا بي ما لم أنزل به سلطانا

“Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku seluruhnya sebagai orang-orang yang hanif. Akan tetapi, para syaithan mendatangi mereka lalu memalingkan mereka dari agamanya, mengharamkan apa yang Aku halalkan untuk mereka, dan memerintahkan mereka untuk berbuat kesyirikan terhadap-Ku dengan sesuatu yang Aku tidak pernah menurunkan hujjah tentangnya.”

Oleh karena itu, seluruh manusia termasuk orang kafir bahkan Fir’aun sekalipun, sebenarnya mengakui kepada kebenaran secara bathin mereka, akan tetapi mereka mengingkarinya karena kesombongan dan kezhaliman mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

فَلَمّا جاءَتهُم ءايـٰتُنا مُبصِرَةً قالوا هـٰذا سِحرٌ مُبينٌ * وَجَحَدوا بِها وَاستَيقَنَتها أَنفُسُهُم ظُلمًا وَعُلُوًّا ۚ فَانظُر كَيفَ كانَ عـٰقِبَةُ المُفسِدينَ

“Maka tatkala mu’jizat-mu’jizat Kami yang jelas itu sampai kepada mereka (Fir’aun dan kaumnya), berkatalah mereka, ‘Ini adalah sihir yang nyata.’ Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan mereka padahal hati mereka meyakini kebenarannya. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.”[10]

Inilah empat sumber ilmu dan akidah (atau mashdar talaqqiy) menurut ahlus-sunnah wal-jama’ah, di mana dua sumber yaitu dalil syar’iy (Qur’an dan Sunnah) dan ijma’ sebagai sumber utama, dan dua sumber yaitu akal dan fithrah sebagai sumber penguat. Wajib bagi kita untuk mengambil dari sumber-sumber ini agar kita bisa mendapatkan ilmu yang lurus dan akidah yang shahihah.

@ Dago, Bandung, 28 Dzul-Hijjah 1441 H

Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

Artikel: Muslim.Or.Id

Hukum Meminta-Minta di Dalam Masjid

Masjid adalah rumah Allah Ta’ala, yang dibangun dengan niat untuk berdzikir, berdoa, dan menegakkan ibadah kepada-Nya. Masjid tidak dibangun sebagai sarana untuk mengumpulkan harta dan perhiasan dunia. Oleh karena itu, aktivitas jual beli, mencari barang hilang di masjid, dan aktivitas sejenis lainnya itu dilarang untuk dilakukan di dalam masjid.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, masjid bukanlah tempat untuk meminta-minta harta. Hal ini ditambah dengan alasan bahwa hal itu bisa mengganggu orang-orang yang sedang shalat dan berdzikir, serta beribadah di masjid.
Hukum meminta-minta

Para ulama ijma’ (sepakat) bahwa meminta-minta itu terlarang jika bukan dalam keadaan darurat. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

“Seseorang yang selalu meminta-minta kepada orang lain, di hari kiamat ia akan menghadap Allah dalam keadaan tidak ada sekerat daging sama sekali di wajahnya.” (HR. Bukhari no. 1474 dan Muslim no. 1040)
Dari Hubsyi bin Junadah radhiyallahu ’anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ، فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ

“Barangsiapa yang meminta-minta padahal dia tidak fakir, maka seakan-seakan ia memakan bara api.” (HR. Ahmad no. 17508, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At Targhib no. 802)

An-Nawawi rahimahullah mengatakan ketika beliau menjelaskan bab “An-Nahyu ‘anil Mas’alah”,

مَقْصُودُ الْبَابِ وَأَحَادِيثِهِ النَّهْيُ عَنِ السُّؤَالِ وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَيْهِ إِذَا لَمْ تَكُنْ ضَرُورَةٌ

“Maksud dari bab ini dan hadits-hadits yang ada di dalamnya adalah larangan meminta-minta. Ulama sepakat hukumnya terlarang jika tidak dalam keadaan darurat.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 127)

Dari penjelasan di atas, orang yang fakir dan dalam kondisi darurat dibolehkan minta-minta sekadar untuk keluar dari kondisi daruratnya. Dan inilah kondisi yang menjadi pembahasan kita selanjutnya.

Menggalang dana di masjid untuk kemaslahatan kaum muslimin

Larangan meminta-minta yang dimaksud dalam hadits-hadits adalah jika untuk memperkaya diri sendiri atau untuk kepentingan pribadi. Kriteria ini jelas sekali disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ

“Barangsiapa meminta-minta kepada orang lain dengan tujuan untuk memperbanyak harta, sesungguhnya dia telah meminta bara api. Terserah kepadanya, apakah dia akan mengumpulkan sedikit atau memperbanyaknya.” (HR. Muslim no. 1041)

Adapun penggalangan dana di masjid untuk kemaslahatan masjid, hal ini tidak tergolong meminta-minta yang terlarang. Karena ini termasuk ta’awun ‘ala birri wat taqwa (saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan). Dan ini juga kondisi yang masuk dalam pembahasan kita selanjutnya.

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah ditanya, “Kami memiliki kotak infaq untuk kemaslahatan masjid. Ada orang khusus yang memutarkan kotak ini di tengah-tengah shaf sebelum shalat dimulai. Terkhusus di hari Jum’at. Apa hukum perbuatan ini? Karena telah diketahui bahwa jama’ah mendapati sedikit kesulitan dengan adannya hal tersebut.”
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah menjawab,

هذا فيه نظر؛ لأن معناه سؤال للمصلين وقد يحرجهم ويؤذيهم بذلك ، فكونه يطوف عليهم ليسألهم حتى يضعوا شيئاً من المال في هذا الصندوق لمصالح المسجد : لو تَرك هذا يكون أحسن وإلا فالأمر فيه واسع ، لو قال الإمام : إن المسجد في حاجة إلى مساعدتكم وتعاونكم فلا بأس في ذلك ؛ لأن هذا مشروع خيري

“Perbuatan ini tidak tepat. Karena ketika dia meminta jamaah untuk menyumbang, dia telah mengganggu para jamaah, yaitu dengan memutari shaf hingga para jamaah memberikan sesuatu dalam kotak ini untuk kemaslahatan masjid. Andaikan ini ditinggalkan, itu lebih baik.

Dan ini perkara yang longgar. Imam bisa berkata: masjid ini sedang membutuhkan bantuan anda. MAKA INI TIDAK MENGAPA. Karena ini adalah upaya kebaikan.” (Sumber: https://www.binbaz.org.sa/mat/16368)
Penjelasan beliau ini menunjukkan bolehnya meminta sumbangan di dalam masjid selama itu untuk kemaslahatan masjid, selama tidak menimbulkan gangguan di masjid.

Memberikan harta di masjid tanpa didahului dengan meminta-minta

Terdapat beberapa dalil yang menunjukkan bolehnya memberi harta kepada orang fakir, namun tidak didahului dengan meminta-minta. Jika kita mengetahui ada orang faqir dan kita tahu kemiskinan dan kebutuhannya, maka boleh kita beri harta dari sebagian harta zakat, sedekah, atau sejenis itu. Juga diperbolehkan membagi harta di masjid kepada orang-orang yang memang berhak menerimanya.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَالٍ مِنَ البَحْرَيْنِ، فَقَالَ: «انْثُرُوهُ فِي المَسْجِدِ» وَكَانَ أَكْثَرَ مَالٍ أُتِيَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلم، فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الصَّلاَةِ وَلَمْ يَلْتَفِتْ إِلَيْهِ، فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ جَاءَ فَجَلَسَ إِلَيْهِ، فَمَا كَانَ يَرَى أَحَدًا إِلَّا أَعْطَاهُ، إِذْ جَاءَهُ العَبَّاسُ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ: أَعْطِنِي، فَإِنِّي فَادَيْتُ نَفْسِي وَفَادَيْتُ عَقِيلًا، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «خُذْ» فَحَثَا فِي ثَوْبِهِ، ثُمَّ ذَهَبَ يُقِلُّهُ فَلَمْ يَسْتَطِعْ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، اؤْمُرْ بَعْضَهُمْ يَرْفَعْهُ إِلَيَّ، قَالَ: «لاَ» قَالَ: فَارْفَعْهُ أَنْتَ عَلَيَّ، قَالَ: «لاَ» فَنَثَرَ مِنْهُ، ثُمَّ ذَهَبَ يُقِلُّهُ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، اؤْمُرْ بَعْضَهُمْ يَرْفَعْهُ عَلَيَّ، قَالَ: «لاَ» قَالَ: فَارْفَعْهُ أَنْتَ عَلَيَّ، قَالَ: «لاَ» فَنَثَرَ مِنْهُ، ثُمَّ احْتَمَلَهُ، فَأَلْقَاهُ عَلَى كَاهِلِهِ، ثُمَّ انْطَلَقَ، فَمَا زَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُتْبِعُهُ بَصَرَهُ حَتَّى خَفِيَ عَلَيْنَا – عَجَبًا مِنْ حِرْصِهِ – فَمَا قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَثَمَّ مِنْهَا دِرْهَمٌ

Seperti ditunjukkan dalam riwayat Anas bin Malik, ada harta dari Bahrain dikirim untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau mengatakan, “Letakkan di masjid.”

Itu merupakan harta terbanyak yang pernah diberikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau kemudian keluar untuk shalat tanpa menoleh ke arah harta benda tersebut. Seusai shalat, beliau datang lalu duduk di dekat harta benda tersebut. Setiap melihat seseorang, beliau pasti memberi bagian untuknya. Kemudian al ‘Abbas pun datang, Beliau berkata, “Wahai Rasulullah, berilah aku karena aku telah menebus diriku dan juga menebus seorang keluarga (anak Abu Thalib yang ditawan saat perang Badar).”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bilang kepadanya, “Ambillah”.
‘Abbas kemudian menciduk dengan tangan dan meletakkannya di baju, setelah itu ia angkat hingga tidak kuat. Lalu al ‘Abbas bilang, “Wahai Rasulullah, mungkinkah anda perintahkan seseorang untuk mengangkatkan ini ke pundakku?”.

“Tidak,” kata beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Al ‘Abbas mengatakan, “Kalau begitu, Engkau saja yang mengangkatkan ini ke pundakku.”

“Tidak”, kata beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Al ‘Abbas kemudian meletakkan sebagiannya, baru ia panggul lagi, kemudian pergi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menatap al ‘Abbas hingga tidak kelihatan (karena beliau heran pada semangat al ‘Abbas). Dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, di sana tidak tersisa satu dirham pun” (HR. Bukhari no. 421).

Al-Bukhari rahimahullah meletakkan hadits ini di dalam bab,

بَابُ القِسْمَةِ، وَتَعْلِيقِ القِنْوِ فِي المَسْجِدِ

“Bab pembagian harta dan meletakkan tandan kurma di masjid.”

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Maksud bab ini adalah masjid boleh digunakan sebagai tempat menyimpan harta fai’ (harta rampasan yang didapat tanpa melalui peperangan, pent.), harta seperlima ghanimah (harta rampasan perang, pent.), harta sedekah, dan sejenis itu dari harta-harta milik Allah yang dibagikan kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya”.

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Di dalam hadits tersebut terdapat dalil bolehnya membagi harta fai’ di masjid dan juga menyimpannya di dalam masjid. Inilah maksud Imam Bukhari dengan meriwayatkan hadits tersebut di bab ini.” (Fathul Baari li Ibni Rajab, 3: 154)

Jika ada pengemis di masjid

Adapun jika ada seseorang yang meminta-minta di dalam masjid, sebagian ulama melarang meminta-minta dan memberi uang kepada pengemis secara mutlak, tanpa terkecuali. Ulama yang memiliki pendapat tersebut bisa jadi melihat dalil-dalil umum yang menunjukkan terjaganya masjid dari semua aktivitas selain ibadah.

Permasalahan yang bisa digunakan sebagai bahan analogi dalam kasus ini adalah masalah mencari barang hilang di dalam masjid. Kedua kasus (masalah) ini memiliki persamaan, yaitu mencari dan meminta perkara duniawi. Alasan mencari barang hilang di dalam masjid itu jelas, karena dia mencari barang miliknya sendiri. Meskipun demikian, syariat memerintahkan agar mendoakan orang yang mencari-cari barang hilang miliknya di dalam masjid itu supaya barangnya tidak dikembalikan (tidak ditemukan). Adapun orang yang meminta-minta, dia tidak mencari harta miliknya sendiri, namun harta milik orang lain.

Sebagian ulama memberikan keringanan bolehnya meminta-minta di masjid jika memang betul-betul dalam kondisi terpaksa dan membutuhkan. Itu pun dengan persyaratan bahwa aktivitas meminta-mintanya tersebut tidak menimbulkan gangguan di dalam masjid, baik mengganggu orang yang sedang ibadah di masjid atau dengan lewat di depan orang yang sedang shalat. (Fathul Baari li Ibni Rajab, 3: 157; Al-Haawi, 1: 90; dan Ahkaamul Masaajid fil Islaam, hal. 269)

Mereka berdalil dengan sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Abu Bakr, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,

هَلْ مِنْكُمْ أَحَدٌ أَطْعَمَ الْيَوْمَ مِسْكِينًا؟

“Apakah di antara kalian pada hari ini ada orang yang telah memberi makan seorang miskin?”.
Lalu Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu menjawab,

دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ، فَإِذَا أَنَا بِسَائِلٍ يَسْأَلُ، فَوَجَدْتُ كِسْرَةَ خُبْزٍ فِي يَدِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، فَأَخَذْتُهَا مِنْهُ فَدَفَعْتُهَا إِلَيْهِ

“Saya masuk masjid, dan ternyata saya mendapati seorang miskin yang sedang meminta-minta dan aku dapati sepotong roti di tangan ‘Abdurrahman. Maka aku mengambilnya dan aku berikan kepada orang miskin tersebut.” (HR. Abu Dawud no. 1670)

Dari hadits tersebut, terdapat dalil bahwa bersedekah kepada orang fakir di masjid bukanlah perkara yang makruh. Juga terdapat dalil bolehnya meminta-minta di dalam masjid. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan persetujuan kepada Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu atas tindakannya tersebut. Jika meminta-minta di masjid itu hukumnya haram, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memberikan persetujuan kepada Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan melarang peminta-minta tersebut untuk kembali datang mengemis di masjid. (Lihat Al-Haawi, 1: 89)

Akan tetapi, hadits tersebut, yang digunakan sebagai dalil dalam kasus ini, adalah hadits yang dha’if. Sehingga pendapat ulama yang melarang aktivitas meminta-minta (mengemis) di masjid itulah yang lebih kuat, dalam rangka menegaskan kehormatan masjid dari aktivitas duniawi. Hal ini juga mencegah orang-orang yang lemah jiwanya dari menjadikan masjid sebagai tempat untuk mengemis mencari harta. Lebih-lebih di zaman kita sekarang ini, ketika banyak tersebar kebohongan dan tipu daya. Kecuali meminta sumbangan untuk kemaslahatan masjid, maka boleh di lakukan di dalam masjid, sebagaimana sudah dibahas di atas.

Adapun jika pengemis tersebut duduk di sudut luar masjid atau di depan pintu gerbang masjid, maka diperbolehkan jika ingin memberinya. Adapun jika pengemis tersebut mengganggu orang-orang yang sedang shalat, menghentikan aktivitas dzikir atau membaca Al-Qur’an jamaah, atau sampai lewat di depan orang shalat, maka sangat jelas sekali kalau kita melarang dan mencegahnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Hukum asal mengemis itu dilarang dilakukan di dalam dan di luar masjid, kecuali karena terpaksa (dharurah). Jika terdapat kondisi darurat, dan dia mengemis di masjid, namun tidak mengganggu seorang pun, baik dengan atau tanpa melangkahi pundak-pundak jamaah di masjid, tidak dusta dengan kondisi yang dia ceritakan ketika mengemis, tidak bersuara keras yang bisa mengganggu jamaah, misalnya dia meminta ketika khatib sedang berkhutbah, atau ketika jamaah sedang sibuk mendengarkan majelis ilmu, atau sejenis itu, maka diperbolehkan. Wallahu a’alam.” (Al-Fataawa Al-Kubra, 1: 159)

Kesimpulan

Dari seluruh paparan di atas, kesimpulan dari masalah meminta-minta di masijd, kita perlu melihat dari dua sisi:
Pertama, dari sisi orang yang meminta-minta. Maka jika untuk kepentingan pribadi dan tidak dalam kondisi darurat, hukumnya terlarang berdasarkan ijma’ (kesepakatan) ulama. Dibolehkan jika dalam dua kondisi: darurat (untuk kepentingan pribadi) atau untuk kemaslahatan kaum Muslimin.

Jika meminta-minta untuk kepentingan pribadi yang memang darurat, maka tidak boleh meminta-minta di dalam masjid. Hal ini karena dapat menimbulkan gangguan dan bisa menyibukkan orang-orang di masjid dengan perkara dunia. Dan boleh dilakukan di luar masjid selama tidak menimbulkan gangguan bagi para jamaah.

Adapun meminta sumbangan untuk kemaslahatan masjid, boleh dilakukan di dalam maupun di luar masjid, juga dengan syarat tidak boleh menimbulkan gangguan bagi para jamaah.

Kedua, dari sisi yang orang yang memberi. Baik yang meminta-minta itu dalam kondisi tidak darurat, atau dalam kondisi darurat, atau meminta untuk kepentingan kaum muslimin, maka mereka semua boleh diberi. Kecuali jika mereka memberikan gangguan di masjid, maka yang lebih tepat adalah menasihati mereka dan melarang mereka untuk meminta-minta di masjid. Wallahu a’lam.

[Selesai]

Artikel: Muslim.Or.Id

Catatan kaki:
[1] Pembahasan ini kami sarikan dari kitab Ahkaam Khudhuuril Masaajid karya Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafidzahullah, hal. 221-223 (cetakan ke empat tahun 1436, penerbit Maktabah Daarul Minhaaj, Riyadh KSA). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
[2] Tulisan ini dimuraja’ah oleh Ustadz Yulian Purnama hafidzahullah.

Keutamaan Bulan Muharram dalam Agama Islam

Dalam Sumber Syariat Islam, jumlah bulan dalam satu tahun ada 12 bulan, dimana diantara bulan-bulan tersebut terdapat empat keutamaan bulan yang dianggap istimewa atau bulan yang disucikan, yakni Zulqaidah, Keutamaan Bulan Dzulhijjah, Bulan Muharram dan Keutamaan Puasa Rajab. Mengapa demikian? Lalu bagaimana dengan bulan-bulan yang lain seperti ramadhan yang dianggap sebagai bulan yang paling suci?(Baca : Fadhilah di Bulan Suci Muharram).

Pada dasarnya setiap bulan memiliki kesamaan dan tidak ada perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Dan tentunya ada alasan-alasan khusus mengapa ke empat bulan yaitu Zulqaidah, Zulhijjah, Muharram dan bulan Rajab dianggap sebagai bulan yang disucikan atau istimewa dalam islam.(Baca : Menikah di Bulan Ramadhan)

Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat At- Taubah ayat 36 :

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ

Artinya:

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”

Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalah bersabda :

إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ  وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى  وَشَعْبَانَ

Artinya:

Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan diantaranya terdapat empat bulan yang dihormati : 3 bulan berturut-turut; Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram serta satu bulan yang terpisah yaitu Rajab Mudhar, yang terdapat diantara bulan Jumada Akhiroh dan Sya’ban.” (HR. Bukhari  dan Muslim).

Asal Usul Bulan Muharram atau yang kita kenal dengan Asyura merupakan salah satu dari keempat bulan yang diistimewakan dalam islam, dimana itu adalah bulan yang pertama dalam penanggalan hijriah. Nama muharram secara bahasa artinya adalah diharamkan. Menurut Abu ‘Amr ibn Al ‘Alaa, dinamakan muharram karena  pada bulan tersebut diharamkan terjadinya peperangan (jihad).

Sementara dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir menyatakan bahwa

Dinamakan bulan Muharram karena bulan tersebut memiliki banyak keutamaan dan kemuliaan, bahkan bulan ini memiliki keistimewaan serta kemuliaan yang sangat amat sekali dikarenakan orang arab tempo dulu menyebutnya sebagai bulan yang mulia (haram), tahun berikutnya menyebut bulan biasa (halal).

Jadi bisa dikatakan bahwa Keutamaan Bulan Muharram adalah bulan yang diberkahi dan diagungkan. Selain itu, sangat bagus untuk melaksanakan puasa sunnah pada bulan muharram. Lalu apa saja keistimewaan dan keutamaan bulan muharram tersebut?

1. Salah satu bulan yang disucikan

Muharam merupakan salah satu bulan yang disucikan bagi umat islam, dimana dalam bulan tersebut Allah mengharamkan bagi umat islam untuk melakukan kedzaliman atau perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah SWT seperti membunuh atau berperang.

Seorang ahli tafsir bernama Qatadah bin Di’amah Sadusi rahimahulloh pernah berkata,

Amal sholeh lebih besar pahalanya jika dikerjakan di bulan-bulan haram sebagaimana kezholiman di bulan-bulan haram lebih besar dosanya dibandingkan dengan kezholiman yang dikerjakan di bulan-bulan lain meskipun secara umum kezholiman adalah dosa yang besar”.

Perkataan tersebut mengartikan bahwa apabila pada bulan-bulan haram seperti bulan muharram manusia melakukan kedzaliman seperti berperang atau membunuh, maka ia akan mendapatkan dosa yang berlipat ganda dari Allah SWT. Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT dalah Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 36 di atas.

2. Terjadi berbagai peristiwa penting dalam bulan tersebut

  • Tanggal 1 Muharram merupakan hari dimana Khalifah Umar Bin Khatab membuat penetapan kiraan bulan dalam hijrah untuk pertama kalinya.
  • Pada tanggal 10 Muharram, terjadi berbagai peristiwa penting (bersejarah) dalam islam, seperti :
  1. Muharram merupakan bulan dimana terjadinya penyelamatan Nabi Musa Alaihissalam dan kaum Bani Israil dari kejaran raja Firaun, dimana dalam peristiwa tersebut, Firaun dan keluarganya mati tenggelam di laut Merah.
  2. Hari dimana Allah menjadikan langit dan bumi
  3. Hari dimana Allah menciptakan Adam Alaihissalam dan Siti Hawa.
  4. Hari di mana Allah SWT menjadikan syurga
  5. Hari dimana Allah menerima taubat nabi Adam Alaihissalam dan memasukkannya ke surga
  6. Hari di mana Allah menyelamatkan Nabi Nuh Alaihissalam diselamatkan dari bahtera setelah bumi tenggelam selama enam bulan dan merupakan hari di mana Allah SWT menyelamatkan Nabi Ibrahim dari api yang sengaja digunakan untuk membakar dirinya oleh raja Namrud.
  7. Hari di mana Nabi Musa menerima wahyu dari Allah SWT berupa kitab Taurat
  8. Hari di mana Allah telah membebaskan Nabi Yusuf Alaihissalam dari penjara
  9. Hari di mana Allah memulihkan Nabi Ayyub Alaihissalam dari penyakit kulit yang dideritanya
  10. Hari di mana Allah SWT telah memulihkan penglihatan Nabi Yakub Alaihissalam dari kebutaan
  11. Hari di mana Allah SWT menyelamatkan Nabi Yunus Alaihissalam dari dalam perut ikan setelah terkurung selama 40 hari 40 malam
  12. Hari di mana Allah SWT mengaruniakan kerajaan yang besar bagi Nabi Sulaiman Alaihissalam.
  13. Hari dimana Allah SWT menciptakan alam dan pertama kali menurunkan hujan.

3. Muharram telah disifatkan sebagai syahrullah (bulan Allah)

Muharam juga memiliki kedudukan istimewa dalam islam, dimana bulan tersebut merupakan satu-satunya bulan yang disebut sebagai syahrullah (bulan Allah). Mengapa demikian? Terdapat beberapa pendapat mengenai hal itu, seperti :

  • Para ulama menerangkan bahwa pada saat suatu makhluk mendapatkan gelar atau disandarkan padanya lafzhul Jalallah, maka itu berarti makhluk tersebut mendapatkan kemuliaan dari Allah SWT. Misalnya saja pada kejadian pemberian nama pada ka’bah yaitu Baitullah (rumah Allah) yang merupakan Peninggalan Sejarah Islam di Dunia, maupun pada Unta yang dimiliki nabi Sholeh Alaihissalam yang mendapat julukan naqatallah (unta Allah)
  • As Suyuthi menyatakan bahwa pemberian nama Syahrullah pada bulan Muharram adalah dikarenakan nama Al-Muharram merupakan nama-nama islami, sedangkan nama-nama bulan yang lain telah ada sejak zaman jahiliyah. Dulu, sebelum kedatangan islam, bulan muharram bernama syafar awal.(Baca : Nama – Nama Nabi Dan Rasul)
  • Al Hafizh Abul Fadhl Al ‘Iraqy rahimahulloh menerangkan bahwa pemberian nama syahrullah kemungkinan dikarenakan pada bulan tersebut Allah telah mengharamkan terjadinya peperangan. Selain itu, muharram merupakan bulan yang pertama dalam penanggalan islam, oleh karena itulah disandarkan padanya lafadz Allah sebagai bentuk pengkhususan. Dan hanya pada bulan muharramlah Rasulullah Sholallahu Alaihi wassalam menyandarkan lafadz Allah.

Selain Syahrullah, Muharram juga sering disebut sebagai Syahrullah Al Asham (Bulan Allah yang Sunyi) karena bulan ini dianggap sebagai bulan yang sangat dihormati sehingga tidak diperbolehkan terjadi konflik maupun riak di bulan tersebut.

Begitulah keutamaan-keutamaan bulan Muharram, dan karena hal tersebut maka umat muslim sangat dianjurkan untuk memperbanyak amalan-amalan di bulan haram tersebut. Seperti yang dikutip dari perkataan Qatadah bahwasannya Allah SWT akan melipatgandakan pahala bagi orang-orang yang melaksanakan amalan-amalan sholeh di bulan muharram, sehingga Segala macam bentuk kebaikan maupun amalan sholeh sangat dianjurkan untuk ditingkatkan di bulan tersebut. Dan salah satu bentuk amal  sholeh tersebut adalah dengan melakukan puasa.

Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda :

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ  بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

Artinya:

Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah (yaitu) Muharram dan shalat yang paling utama setelah puasa wajib adalah sholat lail.” (HR. Muslim)

Dari Aisyah Radiallahu Anhu berkata :

مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ

Artinya:

Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, berupaya keras untuk puasa pada suatu hari melebihi yang lainnya kecuali pada hari ini, yaitu hari ‘Asyura dan bulan ini yaitu Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam memerintahkan umatnya untuk berpuasa setiap tanggal 10 Muharam (asyura) sebagai tanda syukur atas pertolongan dari Allah SWT yang untuk selanjutnya dikenal dengan sebutan puasa Asyura’.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ  هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

Artinya:

Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma berkata : Ketika Rasulullah shallallohu alaihi wasallam tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘ Asyura, maka Beliau bertanya : “Hari apa ini?. Mereka menjawab, “Ini adalah hari istimewa, karena pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, Karena itu Nabi Musa berpuasa pada hari ini. Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun bersabda, “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian“. Maka beliau berpuasa dan memerintahkan shahabatnya untuk berpuasa di tahun yang akan datang. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan ketika Rasulullah Sholallahu Alaihi wassalam sedang melaksanakan puasa pada tanggal 10 Muharram, para sahabat bertanya kepada beliau “Ya Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani”.

Maka Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun bersabda:

فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ

Artinya:

Kalau aku masih hidup tahun depan, maka sungguh aku akan berpuasa pada tanggal 9 Muharram (bersama 10 Muharram).“ (HR. Muslim)

Hal tersebut dilakukan sebagai pembeda antara puasanya orang Yahudi dengan umat islam. Sebagaimana sabda Nabi Sholallahu Alaihi Wassalam :

صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْماً أَوْ بَعْدَهُ يَوْماً

Artinya:

Berpuasalah pada hari ‘Aasyuura’ dan selisihilah orang-orang Yahudi, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.“[HR Ahmad, al-Baihaqi, dll)

Salah satu keutamaan melakukan puasa Asyura adalah Allah SWT akan mengampuni dosa-dosanya di tahun yang lalu.

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَالَ صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

Artinya:

Dari Abu Qatadah radhiyallohu anhu bahwa Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam bersabda, Puasa hari ‘Asyuro aku berharap kepada Allah akan menghapuskan dosa tahun lalu” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).

DALAMISLAM




Jangan Menari di Atas Luka Orang Lain

ISLAM adalah agama yang lengkap, tidak bicara hanya tentang hukum mrlainkan juga tentang etika dan estetika. Salah satu ajaran Islam yang kini mulai pupus pelaksanaannya adalah kemampuan diri membahagiakan hati orang lain dan kehendak diri untuk ikut bahagia akan kebahagiaan orang lain. Yang banyak terlihat kini terutama di TV dan media sosial adalah saling hina dan saling caci, saling menyakiti dan membongkar aib orang lain.

Hari ini mari kita renungkan firman Allah dalam surat Al-Isra’ ayat 53 yang artinya “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sungguh, setan itu (selalu) menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sungguh, setan adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS. Al-Isra’ 17: Ayat 53)

Kalau kita sempatkan baca uraian tafsirnya, maka kita simpulkan bahwa hamba Allah yang beriman harus merespon orang lain dengan respon terbaik, respon yang menyenangkan dan membahagiakan. Jangan pernah bangga jika mampu membuat orang lain sedih dan kecewa. Dunia ini berputar, wahai saudaraku dan sahabatku. Jangan suka menari di atas luka orang lain.

Bagaimana praktek nyatanya? Tampillah dengan sikap yang tak membuat orang lain sakit hati. Di hadapan anak yatim, jangan pamer kebanggaan karena orang tua kita hebat. Di depan orang fakir jangan pamer kekayaan dan gaya hidup mewah kita. Singkat uraian, lakukan apa yang membuat orang lain bersyukur akan hidupnya.

Dalam berkata-kata, pilihlah kata-kata yang tepat dengan intonasi yang sopan. Sertai dengan senyuman dan kalam motivasi. Antarkan orang lain untuk bahagia dan merasa beruntung. Jangan jadikan mereka merasa menderita dan bernasib buntung.

Kaidah harian dari nenek moyang kita adalah: “Kalau dicubit sakit, janganlah mencubit.” Pekakan rasa dan naluri kita, jangan hidup seenaknya sendiri. Dunia berputar, saudaraku dan sahabatku. Salam, AIM. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK


Apakah Nabi Ibrahim AS Seorang Yahudi, Nasrani, atau Muslim?

Banyak pertanyaan tentang apakah Nabi Ibrahim Muslim, Yahudi, atau Nasrani.

Semua nabi termasuk Ibrahim terpelihara atau dijaga oleh Allah dari kekufuran, syirik, serta melakukan dosa besar dan dosa kecil yang menghinakan. Maka, mustahil bagi seorang penyampai dakwah rabaniah dan pembawa misi ilahiah tidak mengenal Tuhan yang ia sembah.

Imam al-Qadli ‘Iyadl (W. 544 H/ 1149 M) mengatakan dalam kitabnya asy-Syifa: ”Sesungguhnya para Nabi itu ma’shum (terjaga), baik sebelum maupun sesudah menjadi nabi–dari kebodohan, keraguan (walau sedikit saja) dan ketidakmengenalan terhadap Tuhan dan sifat-sifat-Nya.” 

Allah berfirman dalam QS Al-Anbiya’ ayat 51: 

لَقَدْ آتَيْنَا إِبْرَاهِيمَ رُشْدَهُ مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا بِهِ عَالِمِينَ

“Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim Rusydahu (hidayah petunjuk kebenaran) sebelum ia mencapai umur balig.” (tafsir Imam Mujahid W. 104 H). Ayat ini menjelaskan bahwa sebelum Nabi Ibrahim berdakwah, ia telah diberikan iman yang kokoh dan ma’rifat/pengetahuan bahwa hanya Allah Tuhannya yang layak disembah, bukan bulan, bintang, ataupun matahari.

Sedangkan konteks surat Al-An’am ayat 76-78 tersebut di atas adalah disebabkan kondisi (medan dakwah) kaum Nabi Ibrahim, yakni kaum Harran yang gandrung terhadap ilmu astronomi, bahkan mereka sampai menyembahnya (bintang, bulan, dan matahari).

Oleh sebab itu, Allah mengutus Nabi Ibrahim kepada mereka dengan membawa hujjah qawiyah (argumentasi yang kuat). Bahwa, Apakah layak sesuatu yang terbit lalu tenggelam, sesuatu yang berubah, dan tidak dapat memberikan manfaat dan mudarat untuk dijadikan Tuhan? Oleh karena itu, Ibrahim berkata kepada kaumnya La uhibbul afilin (Saya tidak suka sesuatu yang tenggelam). 

Dalam tafsir Jalalain (karya Jalaluddin al-Mahalli W. 864 H/ 1459 M dan Jalaluddin as-Suyuthi W. 911 H/1505 M) dijelaskan: ”Saya tidak suka sesuatu yang tenggelam untuk dijadikan Tuhan, sebab Tuhan itu tidak patut mempunyai sifat yang berubah-rubah, bertempat, dan berpindah-pindah. Karena, sifat-sifat itu hanya pantas disandang oleh makhluk.”

Adapun dalil lain yang menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim tidak pernah mencari-cari Tuhan atau kebingungan dan mengeluh siapa Tuhannya di antaranya; QS Al-An’am ayat 79: 

إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.”

QS Ali Imran ayat 67: 

مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَٰكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang hanif/lurus lagi Muslim (seorang yang tidak pernah mempersekutukan Allah dan jauh dari kesesatan) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang musyrik (tidak pernah musyrik sama sekali baik sebelum menjadi nabi maupun sesudahnya).”

Sejatinya, tafsir makna surat Al-An’am 76-78 berdasarkan keterangan tersebut di atas adalah sebagaimana berikut: ”Ketika malam telah menjadi gelap, Nabi Ibrahim melihat sebuah bintang lalu ia menyatakan, ”Inikah Tuhanku? sebagaimana kalian kira?”. Maka, ketika bintang itu terbenam dia menyatakan, ”Aku tidak suka kepada yang terbenam” yakni layakkah sesuatu yang terbenam dijadikan Tuhan sebagaimana yang kalian yakini? Maka, ketika kaumnya tidak memahami maksud pernyataan Nabi Ibrahim tersebut, bahkan mereka tetap menyembah bintang, Nabi Ibrahim menyatakan untuk kedua kalinya ketika ia melihat bulan dengan pernyataan yang sama ”Inikah Tuhanku?”.

Demikian Nabi Ibrahim mengulangi kembali pernyataannya ketika melihat matahari ”Inikah Tuhanku?”. Lalu, ketika Nabi Ibrahim tidak dapat memberikan kesadaran/hidayah terhadap kaumnya, ia menyatakan kepada kaumnya, inni bariun mimma tusyrikun (Sungguh, aku berlepas diri [tidak bertanggung jawab dan tidak ikut menyembah bintang] dari apa yang kalian persekutukan).

Kesimpulannya, Ibrahim sebagai nabi dan rasulullah telah mengenal dan beriman kepada-Nya jauh-jauh hari sebelum menjadi nabi sebagaimana para nabi lainnya. Tidak pernah ada keraguan sedikit pun akan keberadaan Allah Sang Pencipta Semesta. Dan, ketuhanan hanya layak disandang oleh Allah. Tiada pencipta yang berhak disembah kecuali Allah.

Bukan seperti asumsi sebagian orang bahwa Nabi Ibrahim, suatu ketika, pernah kebingungan, ragu, lalu mencari siapa Tuhannya. Karena, semua para nabi mustahil melakukan atau jatuh dalam kesesatan, kekufuran, syirik, dosa besar, dan dosa kecil yang menghinakan, baik sebelum maupun sesudah menjadi nabi. Karena, para nabi dan rasul diutus sebagai Hudatan Muhtadin (orang yang mencerahkan dan tercerahkan) guna menyampaikan risalah kebajikan kepada seluruh alam semesta. 

KHAZANAH REPUBLIKA  

Alasan Mengapa Rasulullah SAW Doa 3 Permintaan di Pagi Hari

Rasulullah SAW memanjatkan 3 permintaan doa pada pagi hari.

Pagi menjadi waktu yang utama bagi setiap Muslim untuk berdzikir dan bermunajat kepada Allah SWT.

Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar An-Nawawiyah menyebutkan, dzikir siang (an-nahar) yang paling utama adalah di waktu pagi usai Subuh. Bahkan, di antara doa dan dzikir Nabi Muhammad SAW yang paling banyak adalah berdzikir di waktu pagi, selain juga waktu sore. 

Ini menunjukkan bahwa pagi merupakan waktu yang baik untuk mengawali hari dengan bermunajat kepada Allah. Sebab, doa akan berpengaruh terhadap perilaku kita.

Di antara doa yang dimunajatkan Nabi Muhammad SAW di waktu pagi, salah satunya adalah doa yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah. 

Dia meriwayatkan bahwa tatkala pagi Rasulullah SAW berdoa: 

أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم كان إذا أصبَح قال: اللَّهمَّ إنِّي أسأَلُكَ عِلمًا نافعًا، ورِزْقًا طيِّبًا، وعمَلًا مُتقَبَّلًا  

Allahumma inni as-aluka ‘ilman naafi’an wa rizqan thayyiban wa ‘amalan mutaqobbalan 

“(Ya Allah, sungguh aku mohon kepada Engkau ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amal yang diterima).” (HR Ibnu Majah).

Doa yang dimunajatkan Nabi di atas berisi tiga permohonan yang sangat penting digapai oleh setiap Muslim. 

Pertama, ilmu yang bermanfaat (‘ilman nafi’an). Siapa pun kita, terutama yang sedang menuntut ilmu, tentu sangat menginginkan kemanfaatan ilmunya. Ilmu yang bermanfaat tidak sekadar ilmu yang banyak, tetapi lebih dari itu, pengetahuan yang diperoleh dapat memberikan kemanfaatan bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bahkan bangsa dan agamanya.

Kemanfaatan ilmu itu dapat diukur dengan seberapa besar kebaikan ilmu dapat dirasakan oleh diri dan orang lain. Bukan ilmu yang merusak dan menyengsarakan umat, apapun dalih dan profesinya.   

Kedua, rezeki yang baik (rizqan thayyiban). Hampir setiap kita, di saat pagi tiba, diawali untuk mencari rezeki. Dan, ajaran Nabi adalah bagaimana kita mencari rezeki yang baik. 

Tentu saja, rezeki yang baik adalah yang diambil melalui cara dan proses yang benar dan dibelanjakan dengan jalan yang benar pula. Cara-cara haram, seperti korupsi, hanya akan menjauhkan diri kita dari keberkahan rezeki dan kebaikan nikmat.  

Ketiga, amal perbuatan yang diterima oleh Allah SWT (‘amalan maqbulan). Menurut ulama, kriteria aktivitas amal kita dapat diterima Allah jika amal perbuatan itu benar (ash-shawab) dan dilandasi dengan keikhlasan (al-ikhlash). 

Jika kita menginginkan amal baik diterima oleh Allah, maka kita harus mendasarkan amal kita dengan parameter kebenaran dan keikhlasan. 

Semoga hari kita senantiasa dinaungi ilmu, rezeki, dan amal yang baik sebagaimana yang dimunajatkan Nabi SAW di waktu pagi. 

KHAZANAH REPUBLIKA

 

Rasa Takutmu dengan Akhirat adalah Ukuran Keimananmu

Allah Swt Berfirman :

يَسۡتَعۡجِلُ بِهَا ٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ بِهَاۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مُشۡفِقُونَ مِنۡهَا وَيَعۡلَمُونَ أَنَّهَا ٱلۡحَقُّۗ أَلَآ إِنَّ ٱلَّذِينَ يُمَارُونَ فِي ٱلسَّاعَةِ لَفِي ضَلَٰلِۭ بَعِيدٍ

“Orang-orang yang tidak percaya adanya hari Kiamat meminta agar hari itu segera terjadi, dan orang-orang yang beriman merasa takut kepadanya dan mereka yakin bahwa Kiamat itu adalah benar (akan terjadi). Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang-orang yang membantah tentang terjadinya Kiamat itu benar-benar telah tersesat jauh.” (QS.Asy-Syura:18)

Kita semua tau bahwa keimanan dan ketakwaan manusia itu naik turun. Dan bila kita perhatikan, salah satu faktor yang mempengaruhi keimanan dan ketakwaan seseorang adalah rasa takutnya kepada Akhirat.

Setiap kali rasa takut dan khawatir terhadap kehidupan akhirat itu bertambah, maka itu adalah pertanda bahwa ketakwaan seseorang sedang naik. Begitupula sebaliknya !

Al-Qur’an pun sering menceritakan kepada kita bahwa orang-orang yang berpaling dari jalan Allah dan lebih memilih untuk mengikuti hawa nafsunya adalah mereka yang LUPA dengan akhirat dan lalai dari Hari Pembalasan.

إِنَّ ٱلَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ لَهُمۡ عَذَابٌ شَدِيدُۢ بِمَا نَسُواْ يَوۡمَ ٱلۡحِسَابِ

“Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS.Shad:26)

Karena itu pula di ayat lain Allah Swt menyebut orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang takut dengan Allah dan takut dengan akhirat.

Allah Swt Berfirman :

لِّلۡمُتَّقِينَ – ٱلَّذِينَ يَخۡشَوۡنَ رَبَّهُم بِٱلۡغَيۡبِ وَهُم مِّنَ ٱلسَّاعَةِ مُشۡفِقُونَ

“Bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang takut (azab) Tuhannya, sekalipun mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari Kiamat.” (QS.Al-Anbiya’:48-49)

Dan Al-Qur’an juga mengabarkan bahwa para penghuni Neraka yang abadi dengan siksaan-Nya adalah mereka yang tidak meyakini kehidupan di akhirat.

كَلَّاۖ بَل لَّا يَخَافُونَ ٱلۡأٓخِرَةَ

“Tidak! Sebenarnya mereka tidak takut kepada akhirat.” (QS.Al-Muddatstsir:53)

Maka meyakini akhirat dan rasa takut terhadapnya adalah salah satu syarat utama yang dapat menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat.

Semoga Bermanfaat….

KHAZANAH ALQURAN