Inilah Ciri Haji Mabrur menurut Para Ulama

Imam An-Nawawi berpendapat di antara tanda diterimanya haji seseorang adalah adanya perubahan menuju yang lebih baik setelah pulang dari Baitullah 

HAJI mernurut bahasa adalah menuju ke suatu tempat berulang kali atau menuju kepada sesuatu yang dibesarkan. Allah swt telah menjadikan Baitullah sebagai suatu tempat yang dituju manusia pada setiap tahun.

Allah swt. berfirman:

وَإِذْ جَعَلْنَا ٱلْبَيْتَ مَثَابَةً لِّلنَّاسِ وَأَمْنًا وَٱتَّخِذُوا۟ مِن مَّقَامِ إِبْرَٰهِۦمَ مُصَلًّى ۖ وَعَهِدْنَآ إِلَىٰٓ إِبْرَٰهِۦمَ وَإِسْمَٰعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيْتِىَ لِلطَّآئِفِينَ وَٱلْعَٰكِفِينَ وَٱلرُّكَّعِ ٱلسُّجُودِ

“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” (QS: al-Baqarah: 125).

Baitullah adalah suatu tempat yang didatangi manusia pada setiap tahunnya. Lazimnya mereka yang sudah pernah mengunjungi Baitullah, timbul keinginan untuk kembali lagi yang kedua kalinya.

Maka haji menurut syara’ adalah mengunjungi Baitullah dengan sifat yang tertentu, di waktu tertentu, disertai oleh perbuatan-perbuatan yang tertentu pula.

Syariat Islam mewajibkan haji atas setiap mukallaf sekali dalam seumur hidup. Seluruh ulama sepakat menetapkan bahwasanya haji itu tidak berulang-ulang, sekali saja seumur hidup kecuali kalau dinazarkan.

Selain satu kali yang wajib, maka yang lebih dari satu kali dipandang sunah.

فِيْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ەۚ وَمَنْ دَخَلَهٗ كَانَ اٰمِنًا ۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ

“Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” (QS: Ali Imran; 97

Ibadah haji adalah salah satu ibadah yang paling utama, berdasarkan hadits Rasulullah ﷺ:

عن أبي هريرة قال: سيل رسول الله : أي العمل أفضل؟ قال: (إيمان بالله و رسوله)، قيل: ثم ماذا؟ قال: الجهاد في سبيل الله، قيل: ثم

ماذا؟ قال: حج مبرور

“Dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu ia berkata: Rasulullah ditanya: “Amal ibadah apakah yang paling utama? Beliau bersabda: Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dikatakan (kepadanya): Kemudian apa? Beliau bersabda: Jihad dijalan Allah’. Dikatakan (kepadanya): Kemudian apa?’ Beliau bersabda: ‘Haji yang mabrur.” (HR: Al-Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah, RA Rasulullah ﷺ bersabda,

العمرةُ إلى العمرةِ كفَّارَةٌ لمَا بينَهمَا ، والحجُّ المبرورُ ليسَ لهُ جزاءٌ إلا الجنَّةُ

Antara satu umrah dengan umrah berikutnya terdapat penghapusan dosa-dosa di antara keduanya.  Haji yang mabrur, tidak ada pahala bagi pelakunya, melainkan surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Defenisi Mabrur menurut Ulama

Terdapat beberapa pandangan para ulama berkenaan dengan haji mabrur. Hal ini telah dinukilkan oleh Imam al-Syaukani (w. 1255 H) di dalam kitabnya Nail al-Authar.

Ibnu Khalawaih salah seorang pakar bahasa Arab berasal dari Yaman (w. 370H) berpendapat bahwa haji mabrur adalah haji yang maqbul (diterima oleh Allah SWT).

Ulama lain berpendapat bahwa ia adalah haji yang (pelaksanaannya) tidak dinodai oleh dosa. Pendapat ini dipilih dan dikuatkan oleh Imam al-Nawawi (w.676 H). Beliau adalah seorang ulama yang cukup memiliki otoritas di dalam Mazhab Syafi’i.

Menurut Imam al-Qurtubi (w. 671 H) pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh lain itu saling berdekatan maknanya. Kesimpulannya, haji yang mabrur adalah haji yang sempurna hukum-hukumnya sehingga terlaksana secara sempurna sebagaimana diperintah syarak.

Ciri Haji Mabrur

Rasulullah ﷺ bersabda, bahwa ganjaran terbaik bagi orang mendapatkan peringkat haji mabrur adalah surga.

الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ

Tidak ada balasan (yang pantas diberikan) bagi haji mabrur kecuali surga.” (HR: Bukhari).

Hanya saja, predikat haji mabrur itu adalah hak prerogratif Allah Swt. Kita hanya menerka berdasarkan ciri-ciri yang disampaikan hadis, atau para ulama.

Di antara ciri yang banyak diungkapkan adalah terjadinya perubahan signifikan dalam konteks ketawadhuan dan ketaatan kepada Allah Swt sepulang ibadah.

Selain itu, ia lebih banyak berdzikir dan berdoa kepada Allah Swt. Ini sangat sesuai dengan firman Tuhan:

فَإِذَا قَضَيْتُم مَّنَـسِكَكُمْ فَٱذْكُرواہ اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آَاَاءَاكُمْ وْ Aَ شَدَّ ذكْرً ۗ

“Maka apabila kamu telah selesai menunaikan ibadah hajimu, maka hendaklah kamu menyebut dan mengingat Allah (dengan mengagungkan-Nya) sebagaimana kamu dahulu menyebut (memuji) kakek nenekmu, bahkan dengan sebutan yang lebih banyak lagi.” (Surah al-Baqarah: 200).

Selain itu tanda berikutnya adalah memberi makan dan menyebarkan salam.

Dari Jabir dia berkata, “Rasulullah telah bersabda, haji mabrur tidak ada balasan baginya kecuali Surga.” Mereka (para sahabat bertanya), Ya Rasullah apa kebaikan dari haji mabrur? yaitu memberi makan dan menyebarkan salam.” (HR: Ahmad, 14482).

Dan, telah disebutkan pula beberapa ayat yang membahas hal ini, yakni: QS. al-Ma’idah [5]: ayat 2, dan QS. al-Baqarah [2]: ayat 224.

Pada riwayat dengan redaksi matan yang lain, Rasulullah bersabda: “Orang-orang yang berhaji dan berumrah adalah para tamu Allah, bila mereka berdo’a, Allah SWT akan mengabulkannya dan bila beristigfar Allah akan mengampuninya.” (HR: Nasa’I, Ibn Majah, Ibn Khúzaimah, dan Ibn Hibban).

Imam An-Nawawi berpendapat bahwa di antara tanda diterimanya haji seseorang adalah adanya perubahan menuju yang lebih baik setelah pulang dari pergi haji dan tidak membiasakan diri melakukan berbagai maksiat.

Dari ringkasan tulisan di atas; ada 3 (tiga) ciri atau tanda dari haji mabrur, yaitu:

1. lth’ämu ath-tha’am, yaitu memberi makan, peduli pada pengentasan kemiskinan dan masalah sosial kemasyarakatan.

2. Ifsyāu al-Salăm, senantiasa menebarkan salam dan kedamaian.

3. Thayyibu al-Kalāmi, yaitu bijak dalam bicara, santun dalam berbuat, dan baik dalam bersikap. Maksudnya bahwa ketika berbicara lemah lembut tidak menyakiti hati orang lain, menghormati dan menghargai pendapat orang lain dan berkepribadian luhur dan berakhlak mulia.

Selain itu juga yang merupakan tanda haji mabrur adalah:

  • Banyak mengingat Allah Swt
  • Amal perbuatannya lebih baik dari sebelum menunaikan ibadah
  • haji.
  • Melaksanakan shalat tepat waktu dan membiasakan shalat sunah.
  • Tabah dan sabar dalam menghadapi musibah, berlindung dan bertawakal kepada-Nya.
  • Berupaya mewujudkan kebahagiaan dalam keluarga.

Nabi ﷺ menggambarkan bahwa haji yang mabrur adalah lebih baik dari Jihad. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a.

Beliau pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ.

يَا رَسُولَ اللَّهِ نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ أَفَلَا نُجَاهِدُ قَالَ لَا لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ

Artinya: “Wahai Rasulullah, kami memandang jihad sebagai amalan yang paling baik. Apakah perlu bagi kita untuk berjihad? Baginda berkata “Tidak, tapi jihad terbaik adalah Haji Mabrur.” (HR: Bukhari 1423).

Dalam riwayat lain disebutkan:

يَا رَسُولَ اللَّهِ نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ أَفَلاَ نُجَاهِدُ مَعَكَ? قَالَ :« لاَ وَلَكُنَّ أَفْضَلُ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ

“Wahai Rasulullah , kami memandang jihad sebagai amalan yang paling baik. Apakah perlu bagi kami untuk berjihad  bersamamu? Nabi, , berkata: Tidak perlu, tapi jihad terbaik (untukmu) adalah Haji Mabrur.” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Kitab Sunan-nya).*

HIDAYATULLAH

Tips Sa’i Bagi Jamaah Haji Lansia dengan Manajemen Denyut Nadi

Dari bukit Safa ke Marwah jamaah haji harus jalan kaki kurang lebih 400 meter.

Ibadah haji merupakan ibadah yang memerlukan ketahanan fisik. Bagi jamaah haji yang tergolong kategori risiko tinggi (risti) dan lanjut usia (lansia) butuh strategi untuk bisa menjalankan ibadah umrohnya dengan baik dan aman terutama saat sa’i.

Juru Bicara Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Pusat, Ramadhan Harisman mengatakan, ada tips yang bisa dilakukan jamaah risti dan lansia saat menjalankan sa’i dari bukit Safa ke Marwah di Masjidil Haram.

“Dari bukit Safa ke Marwah jamaah haji harus jalan kaki kurang lebih 400 meter. Saat jalan dari Safa ke Marwa, sejenak berhenti, istirahat dulu, berdoa dua menit untuk menurunkan denyut nadi,” kata Ramadhan, Ahad (11/6/2023).

Ramadhan mengatakan, intinya yang penting jamaah haji memberikan kesempatan kepada jantung untuk istirahat supaya tidak terlalu terforsir. Kemudian jalan lagi melakukan sa’i, setiap putaran dari Sofa ke Marwah harus istirahat. Dengan metode ini mungkin selesainya sa’i lebih lama tapi lebih aman.

“Karenanya, sebaiknya jamaah yang masih muda dan sehat untuk mendampingi jamaah risti dan lansia agar tidak tertinggal dengan kelompok jamaahnya,” ujar Ramadhan.

Ia mengatakan, disarankan jamaah haji yang punya riwayat penyakit jantung dan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) disarankan memakai kursi roda, karena rawan terhadap serangan jantung. Petugas terus memantau khusus jamaah risiko tinggi karena mempunyai penyakit bawaan yang sudah diderita dari Tanah Air.

Berdasarkan data dari Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) hingga tanggal 10 Juni 2023, pukul 24.00 WIB, jumlah total kedatangan jamaah haji Indonesia di Arab Saudi berjumlah 118.541 orang atau 308 kelompok terbang.

“Jumlah jamaah dan petugas yang didorong hari ini dari Madinah ke Mekkah sebanyak 6.270 orang atau 16 kloter,” jelas Ramadhan.

Disampaikan Ramadhan, terdapat tiga jamaah haji yang meninggal dunia di Makkah atas nama Acu Sanan Inun asal kloter JKS 40, Bhunidhi Sahumi Samit asal kloter SUB 08, dan Asnawi Said Mihi asal kloter SUB 43

“Sehingga sampai dengan saat ini jumlah jamaah haji yang wafat di Makkah sebanyak 15 orang. Secara keseluruhan, jamaah yang wafat hingga sampai saat ini berjumlah 40 orang. Sesuai ketentuan, jamaah yang wafat akan dibadalhajikan,” ujarnya.

IHRAM

Kiswah Ka’bah Dinaikkan Menyusul Persiapan Haji 2023

Kain kiswah juga dinaikkan untuk mencegah praktik ibadah yang salah.

Kepresidenan Umum untuk Urusan Dua Masjid Suci, telah menaikkan kiswah Ka’bah sekitar tiga meter dan area di bawahnya telah ditutupi dengan kain katun putih. Ini merupakan tradisi tahunan yang dilakukan Kerajaan dalam mempersipakan musim haji. 

Dilansir dari Arab News, pada Ahad (11/6/2023), ini prosedur yang sama diulang setiap tahun sebelum musim haji untuk melindungi kiswah, karena beberapa peziarah menyentuhnya saat mengitari Ka’bah. Presiden Kepresidenan Umum untuk Urusan Dua Masjid Suci, Dr. Abdulrahman Al-Sudais juga hadir saat kiswah dinaikkan.

Asisten presiden jenderal untuk urusan Kompleks Raja Abdulaziz untuk Ka’bah Suci Kiswa, pameran, teknik, teknis, dan urusan operasional, Sultan Al-Qurashi, mengatakan bahwa menaikkan bagian bawah kiswah berfungsi untuk menjaga kebersihan dan (integritas) dan mencegah gangguan.

“Kain kiswah juga dinaikkan untuk mencegah praktik beberapa peziarah berdasarkan kepercayaan yang salah,” ujar Al-Qurashi.

Setiap tahun, pada hari kesembilan bulan Islam Dul Hijjah, kain sutra hitam dilepas dan kiswah baru disampirkan di tempatnya.

Sumber:

https://www.arabnews.com/node/2319271/saudi-arabia

Haji Ramah Lansia dan Tangis Haru Suhartini di Makkah

Jamaah haji Indonesia sudah mulai berdatangan dari Madinah dan Jeddah.

Oleh Fuji Eka Permana dari Makkah, Arab Saudi

Suhartini, jamaah haji lansia asal Kabupaten Bantul di Daerah Istimewa Yogyakarta turun dari bis menggunakan kursi roda. Ia nampak kelelahan saat tiba di Makkah setelah melakukan perjalanan panjang dari Jakarta ke Jeddah kemudian ke Makkah.

Petugas haji layanan lansia di Makkah membantu Suhartini untuk turun dari kursi roda dan duduk di kursi. Di balik wajah lelahnya, Suhartini menyimpan haru, tidak lama kemudian ia menangis seolah tidak percaya sudah sampai Tanah Suci, Makkah.

“Alhamdulillah hirobbil alamin, saya bisa sampai Makkah dengan selamat,” kata Suhartini sambil menangis haru, ia tidak mampu menahan tangisnya yang pecah.

Petugas haji layanan lansia, Syarifuddin tetap menyimak jamaah haji lansia asal Kabupaten Bantul yang sedang menangis dan mengungkapkan rasa syukurnya telah sampai Makkah. Dia tidak menyela Suhartini yang sedang menangis sambil berkata-kata.

Suhartini mengungkapkan bahwa layanan yang diberikan kepadanya sebagai jamaah haji lansia sangat baik. Mulai dari embarkasi, di pesawat, di Jeddah sampai Makkah merasa terlayani dengan baik.

“Jamaah haji yang lansia-lansia dilayani dengan bagus, mulai dari pertama perjalanan sampai di hotel (di Makkah),” ujar Suhartini yang masih tetap menangis saat tiba di Makkah, Jumat (9/6/2023) malam.

Suhartini sambil menangis menyampaikan sambil terbata-bata bahwa dirinya terus didampingi dan diarahkan oleh petugas haji hingga sampai Makkah pada Jumat (9/10/2023) malam.

Suhartini juga terharu ada temannya sesama jamaah haji yang tidak memiliki kaki. Suratini tetap di dekat jamaah haji yang tidak memiliki kaki tersebut karena merasa iba kepadanya.

“Saya kasihan jadi saya dekat terus dengan dia (jamaah haji disabilitas), karena dia lebih parah jadi saya menemani,” ujar Suhartini sambil terbata-bata karena tangisnya yang bercampur rasa haru dan syukur belum reda.

Suhartini mengucapkan terimakasih kepada para petugas haji yang telah melayani dengan bagus dan setulus hati. Jamaah haji lansia ini mengaku merasakan ketulusan para petugas haji yang melayaninya.

Suratini juga mengetahui Kementerian Agama (Kemenag) mengusung tagline ‘Haji Ramah Lansia’ tahun ini. Sehingga ia dapat berangkat ke Tanah Suci untuk melaksanakan ibadah haji. Untuk itu, ia menyampaikan terimakasih kepada penyelenggara haji yang telah mewujudkan mimpi jamaah haji lansia bisa ke Tanah Suci.

Syarifuddin mendampingi Suhartini yang baru saja tiba di Makkah mendoakan semoga jamaah haji Indonesia semuanya menjadi haji yang mabrur.

“Kami senang kalau ibu senang, kami senang kalau ibu sehat, kami akan melayani dengan baik, doakan juga kami para petugas haji,” ujar Syarifuddin kepada Suratini yang masih belum reda tangisnya.

Sebagaimana diketahui, jamaah haji Indonesia sudah mulai berdatangan dari Madinah dan Jeddah. Sebanyak 30 persen atau sekitar 67.000 jamaah haji adalah lansia. Kemenag berkomitmen untuk memberikan layanan terbaik kepada jamaah haji lansia.

IHRAM

Jamaah Haji Diingatkan Agar tidak Merokok di Tanah Suci, Ini Sanksinya

 Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Riau, Mahyudin, mengatakan ada banyak peraturan di negara Arab Saudi yang harus diperhatikan jamaah haji selama melaksanakan ibadah di tanah suci. Di antara larangan yang menurut Mahyudin harus diperhatikan bagi jamaah perokok adalah memperhatikan tempat merokok di Arab Saudi.

Karena di negara tersebut, kata Mahyudin, merokok di sembarangan tempat dapat dikenai sanksi denda sampai sanksi kurungan. “Jamaah yang memiliki ketergantungan dengan rokok, sebaiknya selama berada di tanah suci untuk berpuasa/tidak merokok lebih dahulu atau jika tidak bisa juga, jangan merokok disembarang tempat. Bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi,” kata Mahyudin, Kamis (8/6/2023).

Mahyudin juga mengingatkan jamaah supaya tidak sembarangan membuang sampah di sekitaran Masjidil Haram dan juga di Masjid Nabawi. Bahkan bila perlu menurut Mahyudin jamaah bila melihat sampah harus bantu membuang ke tempatnya.

“Bila melihat sampah, kita bantu ambil dan kita buang pada tempat yang sudah disediakan. Kita berbuat baik di rumah Allah, insya allah berpahala dan kita pun senang jika tempat ibadah kita bersih,” ujar Mahyudin.

Kemudian lanjut Mahyudin, jamaah ataupun kelompok jamaah juga tidak boleh membentangkan spanduk atau tanda-tanda yang mencirikan kelompoknya. Baik itu di Masjid Nabawi maupun Masjidil Haram. Karena bisa ditangkap oleh Askar yang berjaga.

Lalu jamaah juga tidak boleh mengambil barang atau benda yang tercecer tanpa berkoordinasi dengan pihak keamanan. Walau berniat baik, sebaiknya kata Mahyudin membiarkan saja bila melihat benda yang tercecer karena di masjid ada CCTV.

Satu lagi kata dia jamaah disarankan tidak berkumpul atau berkerumun ketika berada di dalam maupun di luar halaman Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Karena hal itu dapat mengganggu aktivitas jamaah lain.

IHRAM

Muamalat Mudahkan Transaksi Jamaah Haji di Tanah Suci

Hal ini sesuai komitmen Bank Muamalat menyukseskan penyelenggaraan ibadah haji.

PT Bank Muamalat Indonesia Tbk memberikan kemudahan bagi jamaah haji yang ingin bertransaksi di Tanah Suci, Arab Saudi, melalui melalui Kartu Shar-E Debit Muamalat.

Direktur Utama Bank Muamalat Indra Falatehan dalam keterangan resmi yang disampaikan pada Kamis (1/6/2023) menjelaskan, kartu Shar-E Debit Muamalat berlogo VISA bisa digunakan di mesin ATM dan Electronic Data Capture (EDC) berlogo VISA/Plus di Arab Saudi. Selain itu, kartu tersebut juga bisa digunakan di mesin ATM milik Bank Al Rajhi yang tersebar di Kota Makkah, Madinah hingga Jeddah di Arab Saudi.

Indra menjelaskan, kelebihan dari Kartu Shar-E Debit Muamalat adalah tersedia pilihan transaksi bahasa Indonesia saat bertransaksi di ATM. Hal tersebut bermanfaat dan memberikan nilai tambah kepada para nasabah Bank Muamalat yang menunaikan ibadah haji di Tanah Suci. “Hal ini pun sejalan dengan komitmen Bank Muamalat untuk senantiasa berkontribusi terhadap kesuksesan penyelenggaraan ibadah haji,” kata Indra.

Dia melanjutkan, setiap bertransaksi tarik tunai di ATM berlogo VISA/Plus di Arab Saudi, nasabah mendapatkan subsidi biaya tarik tunai, maksimal tiga kali dalam sebulan untuk kartu Shar-E Debit Ihram, dengan kurs yang kompetitif. Selain itu, terdapat pula subsidi belanja yang berlaku di toko atau pedagang berlogo VISA/Plus dengan syarat dan ketentuan berlaku.

Indra mengatakan kartu Shar-E Debit Muamalat sudah bisa digunakan untuk bertransaksi secara online di berbagai e-commerce atau online shop dengan fitur keamanan yang sudah tersertifikasi oleh VISA (Verified by VISA Secure Code). Dia menjelaskan pengamanan transaksi pada fitur tersebut menggunakan teknologi 3D Secure dengan validasi One Time Password (OTP) berupa PIN 6 digit yang dikirimkan melalui SMS.

“Tujuan OTP adalah untuk memastikan keamanan transaksi antara pedagang dan pelanggan seolah keduanya bertransaksi secara tatap muka,” ujar Indra.

Bank Muamalat memiliki produk perbankan bagi masyarakat yang ingin merencanakan ibadah haji yang bernama Tabungan iB Hijrah Haji, yang mana basabah yang membuka tabungan ini akan dibekali dengan kartu Shar-E Debit yang bisa digunakan untuk bertransaksi di Tanah Suci. Selain itu, masyarakat juga dapat mempersiapkan langkah #HajiAnakHebat dengan Tabungan iB Hijrah Haji, sehingga putra-putrinya dapat menabung sejak dini, dan dapat beribadah dengan kondisi prima di usia muda.

IHRAM

Haji; Tamu Allah Sekali Seumur Hidup!

Nabi ﷺ telah menjanjikan balasan surga kepada sesiapa yang mencapai tahap mabrur dalam pelaksanaan ibadah hajinya, karena itu berusahalah haji sekali seumur hidup jika mampu

IBADAH haji merupakan salah satu rukun Islam yang lima, yang wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang mukallaf. Hendaknya,  setiap Muslim menanamkan dalam diri dan hatinya,  serta berazam untuk menunaikan ibadah haji dan senantiasa berusaha sebisa mungkin dalam melaksanakan perintah Allah SWT tersebut.

Pada dasarnya semua ulama menyepakati kewajiban menunaikan ibadah haji sebagaimana Al-Qur an, sunnah dan ijma’. Hal ini jelas sebagaimana firman Allah SWT:

يْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ەۚ وَمَنْ دَخَلَهٗ كَانَ اٰمِنًا ۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ

“Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” (QS: Ali Imron: 97).

Syeikh al-Maraghi ketika menafsirkan ayat di atas, menerangkan bahwa haji adalah wajib bagi setiap muslim yang mampu. Hal ini karena perintah haji merupakan kehormatan besar bagi Baitullah mulai dari zaman Nabi Ibrahim AS sampai zaman Nabi Muhammad ﷺ. Dengan demikian, pelaksanaan haji dan umrah dapat menjadi tonggak dan bukti pengabdian setiap hamba kepada Penciptanya. (Lihat Tafsir al-Maraghi, 2/853).

Selain itu, Allah SWT berfirman:

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ

“Dan serukanlah umat manusia untuk mengerjakan ibadah Haji.” (Surah al-Hajj: 27)

Syeikh al-Sa‘di ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan, maksudnya adalah beritahu kepada mereka mengenai ibadah haji tersebut, dan ajaklah mereka kepadanya. Sampaikan kepada mereka baik orang yang dekat maupun yang jauh tentang kewajiban haji dan keutamaannya. Hal ini karena jika Anda telah memanggil mereka, pasti mereka akan datang kepada Anda sebagai orang yang menunaikan haji atau umrah. (Lihat Tafsir al-Sa’di, 1/536).

Seterusnya, Nabi ﷺ turut menegaskan berkenaan hal tersebut melalui sabdanya:

بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Islam didirikan di atas lima perkara: Bersaksi bahwa tiada Tuhan yang disembah melainkan Allah SWT dan Nabi Muhammad ﷺ adalah hamba-Nya dan utusan-Nya, mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, menunaikan haji ke Baitullah, dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR: Muslim)

Muhammad al-Amin al-Harari ketika menjelaskan lafaz “وَحَجِّ الْبَيْتِ” menyatakan, tujuannya adalah untuk mengerjakan ibadah khusus, bagi mereka yang mampu untuk menunaikannya. (Lihat al-Kaukab al-Wahhaj Syarh Sahih Muslim, 2/132).

Para ulama telah sepakat untuk memutuskan bahwa haji itu wajib, tidak ada perselisihan soal ini. Oleh karena itu, mereka menghukumi  kafir siapa saja yang mengingkari sesuatu yang telah ditetapkan oleh al-Quran, al-Sunnah dan ijma’. (Lihat al-Fiqh al-Manhaji, 2/115).

Mengenai hal ini, Ibn Hazm menyatakan, para ulama telah bersepakat bahwa seorang Muslim yang merdeka, berakal, baligh, dan memiliki tubuh badan yang sehat dengan dua tangan, penglihatan (yang baik) dan dua kaki, serta yang mempunyai perbekalan dan kendaraan, serta sesuatu (yakni nafkah) yang ditinggalkan kepada ahli keluarganya selama perjalanannya, karena tidak ada lautan atau ketakutan di jalannya, dan tidak ada orang tuanya atau salah satu dari mereka yang mencegahnya, maka haji wajib baginya. (Lihat Maratib al-Ijma’, hal. 41).

Para ulama telah bersepakat bahwa hukum mengerjakan ibadah haji adalah wajib ‘ain. Dalam arti kata lain, jika ia adalah hajjah al-Islam (haji kali pertama) dan memenuhi syarat-syarat wajib untuk mengerjakan haji, maka ia adalah wajib ain ke atasnya. Syarat-syarat tersebut ialah; Islam, mumayyiz, baligh, merdeka dan istita‘ah (berkemampuan). (Lihat al-Taqrirat al-Sadidah, hlm. 470-472).

Justru, ibadah haji adalah wajib dikerjakan sekali seumur hidup bagi mereka yang berkemampuan atau berkecukupan harta. Selain itu, para ulama juga bersepakat mengatakan bahwa seseorang itu hanya diwajibkan haji sekali saja seumur hidupnya, yakni  hajjah al-Islam kecuali jika dia bernazar, maka ia wajib ditunaikan. (Lihat al-Ijma‘ oleh Ibn al-Munzir, hlm. 51; al-Fiqh al-Manhaji, 2/116).

Hal ini berdasarkan hadis Nabi ﷺ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحَجُّوا. فَقَالَ رَجُلٌ: أَفِي كُلِّ عَامٍ يَا رسول الله؟ فَسَكَتَ عَنْهُ حَتَّى أَعَادَهُ ثَلاَثًا، ثُمَّ قَالَ: ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ، وَلَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ، وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ، وَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ، وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءِ فَأتُوا مِنْه مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ

“Wahai manusia, Allah telah mewajibkan haji kepada kalian, maka laksanakanlah”. Seseorang berkata: apakah dilakukan setiap tahun wahai Rasulullah?, lalu beliau terdiam, sampai orang tadi mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali. Lalu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Seandainya aku mengatakan ya, maka akan diwajibkan setiap tahun, dan kalian tidak akan mampu melaksanakannya”. Lalu beliau menlanjutkan: “Biarkan saja apa yang tidak aku perintahkan; karena binasanya umat terdahulu sebelum kalian, disebabkan mereka banyak bertanya, dan menyelisihi para Nabi mereka. Apabila aku perintahkan kepada kalian tentang sesuatu maka kerjakanlah sesuai kemampuan, dan apabila aku melarang kalian dengan sesuatu maka tinggalkanlah.” (HR. Muslim 1337)

Namun, sebagian menilai haji dan umrah sunah dilakukan berulang kali. Sebab, di dalambya banyak kelebihan yang dijanjikan.

Daripada Abu Hurairah R.A, Rasulullah ﷺ bersabda:

الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

”Dari satu umrah ke umrah yang lain adalah penghapus dosa di antara keduanya. Dan haji mabrur tidak ada balasannnya melainkan Surga.” (HR. Malik (767), Ahmad (9949), al-Bukhari (1683), Muslim (1349), at-Tirmidzi, an-Nasa’i)

Hadis di atas jelas menunjukkan kepada kita bahwa syariat ibadah haji dan umrah merupakan satu syariat yang agung di sisi Allah SWT. Hal ini jelas dapat dilihat berdasarkan hadis yang telah dinyatakan seperti di atas.

Nabi ﷺ telah menjanjikan balasan surga kepada sesiapa yang mencapai tahap mabrur dalam pelaksanaan ibadah hajinya. Begitu juga kepada siapa saja yang melaksanakan ibadah umrah secara berulang kali, dosa-dosa kecil mereka akan dihapuskan sepanjang tempoh jarak ibadah umrah tersebut.

Kesimpulan

Berdasarkan kepada kenyataan dan perbincangan di atas, kami berpandangan bahwa wajib ke atas setiap Muslim yang berkemampuan untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah paling kurang sekali seumur hidup mereka.

Namun, bagi mereka yang mempunyai kecukupan dan kemampuan yang lebih, disunahkan bagi mereka untuk mengulangi ibadah haji dan umrah pada tahun-tahun berikutnya.

SemoGa kita semua menjadi jiwa yang diberi kemudahan menjadi dhuyuf al-Rahman(tamu agungnya Allah) walaupun sekali seumur hidup. Karena itu terus berdoa dan berusahalah untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah sebaik mungkin, sambil mempersiapkan bekal dari segi mental dan fisikal agar kita dapat menumpukan sepenuh perhatian dalam pelaksanaan ibadah mulia ini.* Dr. Zulkifli Mohamad Al-Bakri

HIDAYATULLAH

Ibadah Haji, Antara Keinginan Dan Kebutuhan

Ibadah haji secara syar’i hukumnya wajib. Tetapi hukum wajibnya tidak bersifat mutlak karena hanya ditujukan kepada mereka yang telah mampu. Dilihat dari ilmu ekonomi, ibadah haji adalah kebutuhan bagi mereka yang telah mampu dan karenanya harus dipenuhi. Bagi mereka, pemenuhan kebutuhan melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci tidak mengganggu pemenuhan kebutuhan-kebutuhan lainnya karena mereka memang memiliki rezeki yang lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.

Ayat Tentang Kewajiban Haji

Oleh karena itu sangat jelas dinyatakan bahwa ibadah haji adalah wajib bagi orang-orang yang telah mampu sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, surat Ali Imran, ayat 97, sebagai berikut:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

Artinya: “Mengerjakan ibadah haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah.”

Namun demikian kewajiban menunaikan ibadah haji hanyalah sekali dalam seumur hidup sebagaiamana hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai berikut:

أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوا. فَقَالَ رَجُلٌ: أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلاَثًا، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ، وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ

Artinya: “Wahai sekalian manusia, sungguh Allah telah mewajibkan bagi kalian ibadah haji maka tunaikanlah haji kalian!” Seseorang berkata: “Apakah setiap tahun, ya Rasulullah?” Beliau terdiam sehingga orang tersebut mengulangi ucapannya tiga kali. Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Kalau aku katakan ya, niscaya akan wajib bagi kalian dan kalian tidak akan sanggup.” (HR. Ahmad, Muslim dan Nasa’i)

Sedangkan bagi mereka yang belum mampu, ibadah haji hanyalah keinginan sehingga tidak wajib dipenuhi. Artinya daripada mereka direpotkan oleh keinginan beribadah haji dengan bersusah payah memaksakan diri menabung hingga mengabaikan kewajiban yang sudahada di depan mata, yakni memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar berupasandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan bagi diri sendiri dan segenap anggota keluarganya, mereka lebih baik dan wajib hukumnya menyibukkan diri pada upaya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut sebagai kewajiban syarí dan sosial.

Jika kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut telah terpenuhi, mereka bisa meningkatkan status keinginan beribadah haji menjadi azam atau keinginan kuat. Mereka yang telah memiliki keinginan kuat untuk beribadah haji, tentu akan terdorong untuk menabung sebagian penghasilannya agar bisa menunaikan ibadah haji. Ketika tabungan telah mencapai sejumlah tertentu yang setara dengan ongkos naik haji (ONH) dan biaya-biaya lainnya, maka keinginan kuat tersebut meningkat menjadi kebutuhan.Pada tingkat ini mereka wajib menunaikan ibadah haji dan karenanya harus dipenuhi.

Kebutuhan dan Keinginan

Pengetahuan tentang perbedaan antara kebutuhan dan keinginan menurut ilmu ekonomi sebagaimana diuraikan di atas adalah penting sebab dengan pemahaman yang benar kita bisa bersikap bijak dalam memahami rukun Islam kelima tersebut. Jangan sampai terjadi kita memaksakan diri mengejar ibadah haji padahal sebetulnya belum wajib hukumnya karena belum mampu. Ibarat shalat, waktunya belum masuk tetapi sudah melakukannya. Shalat serperti ini sudah pasti tidak sah. Sedangkan haji seperti ini bermasalah setidaknya secara akhlak karena mengabaikan kewajiban memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar keluarga. Bukankah sangat ironis apabila orang tua berangkat ibadah haji, sementara anak-anaknya dibiarkan tidak bersekolah dan kesehatannya memburuk tidak ditangani secara serius karena alasan biaya.

Ibadah haji seperti itu secara hukum agama sulit dibenarkan. Di dalam ilmu agama juga dikenal konsep fiqih al-aulawiyyat atau fiqih prioritas sebagaimana digagas oleh Syekh Dr. Yusuf Al-Qardhawi dari Mesir. Dijelaskan oleh beliau dalam pengantar kitabnya berjudul “Fi fiqihil Aulawiyyat”, halaman 9, tentang maksud fiqih prioritas sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan fiqih prioritas adalah meletakkan segala sesuatu pada peringkatnya dengan dalil, dari segi hukum, nilai, dan pelaksanaannya. Pekerjaan yang mula-mula dikerjakan harus didahulukan berdasarkan penilaian syari’ah yang shahih, yang diberi petunjuk oleh cahaya wahyu dan diterangi oleh akal.”

Jadi, fiqih prioritas pada intinya adalah menekankan urutan pelaksanaan kewajiban atau beban sesuai dengan tingkatan hukumnya. Berdasarkan pada prinsip ini sesuatu yang hukumnya fardhu ain harus diutamakan daripada sesuatu yang hukumnya fardhu kifayah. Sesuatu yang hukumnya wajib harus didahulukan daripada sesuatu yang hukumnya sunnah. Sesuatu yang manfaatnya besar dan luas harus didahulukan daripada sesuatu yang manfaatnya kecil dan terbatas, dan seterusnya. Atau dalam bahasa ekonomi, pemenuhan atas kebutuhan harus didahulukan daripada pemenuhan atas keinginan. Inilah yang disebut skala prioritas dalam ilmu manajemen.

Syekh Dr. Yusuf Al-Qardhawi memberikan contoh dalam masalah ini bahwa ibadah haji bagi orang-orang yang telah melaksanakannya tidak wajib melaksanakan kembali pada tahun-tahun berikutnya.Bagi mereka ibadah haji berikutnya sudah turun tingkatan hukumnya, yakni tidak wajib. Bagi orang-orang seperti itu juga berlaku fiqih prioritas dimana mereka harus lebih mengutamakan ibadah lain yang hukumnya wajib daripada melakukan ibadah haji atau umrah kesekian kali yang hukumnya hanya sunnah.

Dalam kaitan itu, Syekh Dr. Yusuf Al-Qardhawi mengkritik orang-orang kaya yang sering melakukan ibadah hajidan umroh ke Tanah Suci, tetapi pada saat yang sama mereka abai terhadap fakta bahwa di masyarakat masih banyak orang miskin Muslim. Tidak sedikit dari mereka berpindah agama karena tidak mendapatkan pertolongan dari saudara-saudara Muslim yang kaya. Orang-orang kaya itu sebetulnya wajib hukumnya berjihad di jalan Allah dengan menggunakan hartanya untuk mencegah pemurtadan di antara orang-orang miskin Muslim tersebut, misalnya dengan memberikan beasiswa untuk bersekolah, mengikuti kursus ketrampilan atau menyediakan modal yang cukup untuk bekerja.

Di sisi lain, kita melihat beberapa orang dari kalangan ekonomi lemah melaksanakan ibadah haji dengan sebelumnya menabung selama bertahun-tahun. Hal ini tentu tidak menjadi masalah dan bahkan baik selama dalam menabung itu mereka tidak mengabaikan kawajibannya membiayai pendidikan anak-anak, mengobati di antara anggota keluarga yang sakit dan sebagainya, termasuk kewajiban sosial yakni iuran-iuran di masyarakat yang telah menjadi kesepakatan bersama. Atau mereka memang sudah tidak memiliki tanggungan apa-apa terkait kewajibannya sebagai orang tua sekaligus kepala keluarga.

Namun, jika kegiatan menabung untuk ibadah haji ternyata menjadikan anak-anak tidak mendapatkan haknya untuk memperoleh pendidikan yang cukup dan kesehatan yang memadai, hal ini tentu tidak sesuai dengan prinsip fiqih prioritas. Bagaimanapun mencari ilmu hukumnya wajib, dan orang tua wajib hukumnya mengusahakan biaya sekolah bagi anak-anaknya, disamping kewajiban lain yakni menafkahi dan mengobatkan mereka yang sakit.

Dalam kondisi seperti itu ibadah haji tidak wajib bagi mereka dari kalangan ekonomi lemah. Mereka harus memprioritaskan terlaksananya kewajiban-kewajiban yang nyata-nyata ada di depan mata dan hukumnya wajib, yakni kewajiban memberikan nafkah, membiayai pendidikan dan kesehatan mereka sebagaimana disebutkan di atas. Setelah semua kewajiban itu terpenuhi, mereka dapat meningkatkan upayanya untuk dapat melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci dengan semua potensi yang mereka miliki.

Jika ternyata tidak mampu, tentu tidak menjadi masalah karena ibadah haji memang hanya diwajibkan bagi yang telah mampu. Mereka tetap mendapat pahala dari keinginan atau niatnya menunaikan ibadah haji tersebut. Hal ini berdasarkan hadits Rasululullah shallahu alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi sebagai berikut:

نِيةُ المُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ

Artinya: “Niat seorang mukmin lebih utama daripada amalnya.”

Hadits lain yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim berbunyi sebagaimana penggalan berikut:

Artinya: “Maka barang siapa memiliki keinginan atau berniat melakukan sesuatu kebaikan lalu tidak jadi melaksanakannya, Allah akan mencatat pahalanya di sisi-Nya satu kebaikan sempurna.”

Sekali lagi, ibadah haji wajib hukumnya. Namun demikian Allah tidak bermaksud membebani hamba-hamba-Nya dengan mewajibkan rukun Islam kelima itu kecuali sebatas kemampuan masing-masing. Allah subhanu watala berfirman-Nya di dalam Al-Qurán, Surat Al-Baqarah, Ayat 286 sebagai berikut:

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya.”

Hal senada juga ditegaskan dalam Surah Al Maidah, ayat 6:

مَا يُرِيْدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ

Artinya: “Allah tidak menginginkan bagi kalian sesuatu yang memberatkan kalian.”

Kedua ayat tersebut hendaknya menjadi pedoman bagi kaum Muslimin dalam menyikapi kewajiban-kewajiban agama sebagaimana dirumuskan dalam Rukun Islam, khususnya kewajiban beribadah haji ke Tanah Suci di Makkah al-Mukarramah, Saudi Arabia, yang memang membutuhkan biaya yang sangat banyak dan kemampuan fisik yang tidak bisa dianggap enteng. Ibadah haji memang tidak terlepas dari kedua hal ini.

ISLAMKAFFAH

Dam Bagi Orang Melanggar Wajib Haji

Berikut ini dam bagi orang melanggar wajib haji. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam ibadah haji, manasik yang menjadi rukun dan wajib haji itu berbeda. Jika meninggalkan rukun, maka haji orang tersebut tidak sah sampai ia menunaikan rukun tersebut dan tidak bisa diganti dengan denda.

Dam Bagi Orang Melanggar Wajib Haji

Berbeda dengan wajib haji, terdapat denda yang harus dibayar saat seseorang melanggar kewajiban haji, namun jika sengaja meninggalkannya maka ia berdosa. Manasik yang termasuk wajib haji yaitu memulai ihram dari miqat, bermalam atau mabit di Muzdalifah dan Mina, melontar jumrah dan thawaf wadha.

Syeikh Zainuddin Abdul Aziz al-Malibari dalam kitab Qurratul ‘Ain Fii Muhimmati Din menyebutkan, terdapat tahapan denda yang wajib dibayarkan jika orang yang haji meninggalkan manasik wajib. Denda-demda tersebut sebagaimana berikut,

ودم ترك مأمور ذبح فصوم ثلاثة وقبل نحر وسبعة بوطنه

Artinya: “Wajib membayar dam (denda) sebab meninggalkan kewajiban haji yaitu menyembelih seekor kambing kurban, (jika tidak mampu) maka puasa tiga hari sebelum hari kurban (10 Dzulhijjah) dan puasa tujuh hari setelah kembali ke negaranya.

Jenis-jenis Denda karena Melanggar Wajib Haji

Syeikh Zainuddin Abdul Aziz al-Malibari dalam kitab Fathul Muin Syarah Qurratul ‘Ain menjelaskan lebih memperincinya bahwa terdapat dua macam denda bagi orang yang melanggar kewajiban haji;

Pertama, menyembelih seekor kambing kurban sebagaimana seseorang yang melakukan haji tamattu’ dan haji qiran. Hewan kurban tersebut harus disembelih di tanah Haram.

Kedua, puasa 10 hari yaitu puasa tiga hari seketika setelah meninggalkan wajib haji tersebut yang wajib ditunaikan setelah ihram sebelum tanggal 10 Dzulhijjah dan puasa tujuh hari setelah pulang ke tanah air. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT berikut

 فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗ ذَٰلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Artinya: “Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.

Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya. (QS. Al-Baqarah: 196)

Pilihan ini diperuntukkan bagi seseorang yang tidak mampu membeli hewan kurban baik karena tidak ada uang atau bisa namun dengan berhutang maka ia tidak wajib menyembelih kurban. Demikian penjelasan mengenai denda yang wajib dibayar jika seseorang melanggar kewajiban haji.

Demikian penjelasan terkait dam bagi orang melanggar wajib haji. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Tata Cara Shalat Bagi Jemaah Haji Lansia

Berikut tata cara shalat bagi jemaah haji lansia. Hal ini penting sekali dibahas, terlebih saat ini banyak jemaah haji yang lansia. Memasuki musim haji 2023 para jemaah asal Indonesia masih dalam proses pemberangkatan secara bertahap. Dimana gelombang terakhir nantinya akan berangkat pada tanggal 7 Juni 2023 nanti. 

Uniknya di tahun ini, penyelenggaraan haji Kementerian Agama (Kemenag) mengusung tema “Haji Ramah Lansia”. Harun bin Senar atau akrab disapa Mbah Harun menjadi salah satu di antara jemaah haji kategori lansia. 

Dengan usia 119 tahun, Mbah Harun bahkan mencatatkan namanya sebagai jemaah haji 2023 tertua asal Indonesia. Mengetahui banyaknya jamaah haji lansia Indonesia, tentunya ada bahasan menarik terkait bagaimana tata cara ibadah untuk golongan tersebut. Salah satunya yakni tata cara pelaksanaan shalat.

Perintah Shalat dalam Islam

Ibadah shalat sendiri merupakan tiang agama dan termasuk ke dalam rukun Islam yang kedua.Tentunya kaum muslimin wajib menjalankannya (shalat lima waktu), mulai dari Subuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya. Shalat-shalat tersebut merupakan shalat fardhu yang artinya wajib dilaksanakan, berbeda dengan shalat sunnah.

Perintah shalat sendiri termaktub dalam beberapa ayat Al-Qur’an, salah satunya yaitu pada surat Al Isra ayat 78.

أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِدُلُوكِ ٱلشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ ٱلَّيْلِ وَقُرْءَانَ ٱلْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْءَانَ ٱلْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

Artinya: “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”

Sebagaimana kita ketahui, shalat ibadah wajib, maka  tidak ada pengecualian dalam pelaksanaannya. Meski ia sakit, tidak bisa menggerakkan tubuh, bahkan lansia sekalipun. Allah SWT memberi keringanan bagi mereka yang tidak bisa melaksanakan shalat secara normal. Ini membuktikan seberapa pentingnya ibadah shalat bagi kaum muslimin.

Dalam bahasan buku Tuntunan Manasik Haji dan Umrah untuk Lansia terbitan Kementerian Agama (Kemenag RI), selama seseorang berakal dan tidak ada penghalang syar’i untuk meninggalkan shalat, maka kewajibannya untuk mengerjakan ibadah tersebut tidak akan gugur. Lantas, bagaimana tata cara shalat bagi para lansia ketika mengerjakan ibadah haji?

Tata Cara Shalat bagi Jemaah Haji Lansia

Baik untuk golongan yang sudah lanjut usia (lansia) atau sakit tetap diwajibkan melaksanakan ibadah shalat lima waktu. Akan tetapi, ada sejumlah perbedaan mengenai tata caranya loh! Terdapat keringanan bagi para lansia dan orang sakit yang hendak mengerjakan shalat. Adapun tata caranya antara lain sebagai berikut :

Apabila tidak mampu berdiri, maka harus duduk atau rukhshah. Jika tidak mampu duduk, diperbolehkan shalat dengan cara berbaring Ketentuan di atas sesuai dengan hadits Rasulullah SAW dari Imran bin Hushain RA dia berkata, “Pernah penyakit wasir menimpaku, lalu aku bertanya kepada Nabi SAW tentang cara shalatnya. Maka Rasulullah SAW menjawab: ‘Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu, maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah.”

Cara Melakukan Shalat Sambil Duduk dan Berbaring

Dalam syariat shalat sambil duduk bisa saja dikerjakan untuk golongan lansia maupun yang tengah sakit. Yakni dengan cara menggerakkan anggota tubuh seperti biasanya. 

Contohnya seperti memulai dengan takbiratul ihram sembari mengangkat kedua tangan lalu bersedekap. Kemudian ketika ruku, maka seseorang yang shalat sambil duduk bisa membungkukan badan seperti hendak ruku. Sementara itu, gerakan sujud bisa dilakukan seperti biasanya.

Adapun, shalat sambil berbaring bisa dikerjakan dengan kedua kaki yang dihadapkan ke arah kiblat. Posisi kepala yaitu disandarkan dengan bantal hingga wajah menghadap kiblat. 

Usai membaca niat, maka bisa bertakbir dan bersedekap sambil lalu membaca semua bacaan shalat seperti biasanya. Ruku dalam keadaan berbaring bisa dengan menggerakkan kepala sedikit ke arah depan, sedangkan sujud menggerakkan kepala ke depan lagi. 

Akan tetapi ketika tidak mampu melakukan keduanya, baik itu shalat dengan cara duduk dan berbaring juga sulit maka dimaklumi. Yakni seseorang tersebut bisa melakukan amalan wajib Shalat  cukup dengan isyarat kepala atau mata. Apabila tidak mampu juga, diperbolehkan membaca dalam hati.

Selanjutnya, apabila mengerjakan shalat terasa berat bagi lansia atau orang yang sakit, maka diizinkan untuk melakukan jamak yang artinya menggabung shalat. Contoh dari jamak ini yaitu shalat Dzuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya, baik itu jamak taqdim atau takhir serta memilih yang termudah.

Dari Ibnu Abbas RA, Nabi Muhammad bersabda: “Rasulullah SAW telah menjamak antara Dzuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya di kota Madinah tanpa sebab takut dan hujan. Ditanyakan kepada Ibnu Abbas RA: Mengapa beliau berbuat demikian? Dia menjawab: agar tidak menyusahkan umatnya.” (HR At-Tirmidzi)

Hadist diatas menjelaskan bahwa Rasulullah mengizinkan umatnya untuk menjamak shalat karena adanya rasa berat atau menyusahkan. Namun, ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukhsah jamak shalat bagi lansia tidak diperbolehkan kecuali karena kebutuhan mendesak.

Meskipun begitu, pendapat jumhur memperbolehkan jamak shalat pada selain haji karena alasan musafir dan hujan, boleh jamak shalat bagi lansia yang tidak memiliki alasan karena musafir dan hujan adalah umum dari hadits sebelumnya. Lansia yang fisiknya sudah lemah boleh menjamak shalatnya karena memiliki udzur syar’i serupa dengan sadar dan hujan.

Demikian penjelasan terkait tata cara shalat bagi jemah haji lansia. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH