Menghayati Hakikat dan Tujuan Ibadah Haji.

Perjalanan ibadah haji bukanlah untuk rekreasi, dan bisnis akan tetapi perjalanan ini untuk mendapatkan hikmah dan tujuan mulia. H. Eko Misbahudin, Lc mengatakan, di antara tujuan dan hikmah penting dalam perjalanan ibadah di antaranya adalah menegakkan tauhid. Jika rangkaian manasik haji diamati secara seksama, maka akan ditemukan bahwa menauhidkan (mengesakan) Allah adalah tujuan utama.

“Dalam talbiyah kita menauhidkan Allah. Ketika menaiki bukit Shafa dan Marwah kita juga melantunkan kalimat tauhid, begitu pula saat wukuf di padang Arafah.

Bahkan menauhidkan Allah dalam ibadah dan doa adalah amalan paling utama selama haji,” tulis H Eko dalam bukunya “Agar Kita Mendapatkan Haji Mabrur”. Maka, dari itu kata dia, hendaklah seorang yang berhaji menghayati makna ini dalam setiap manasiknya.

Dalam surah Al-An-An’am ayat 162-163, Allah SWT berfirman yang artinya:  “Katakanlah sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu baginya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah). 

Perjalanan ibadah haji untuk mendidik hamba agar patuh dan tunduk kepada Allah Azza wajalla.  Dalam rangkaian manasik haji, ada beberapa rahasia dan hikmah yang sulit kita cerna.  

“Sebab tujuan utama dari ibadah ini adalah tunduk dan patuh kepada syariat Allah,” katanya. 

Sebagai contoh; melempar jumrah dan mencium Hajar Aswad. Karenanya, ketika hendak mencium Hajar Aswad, Khalifah Umar bin Khattab berkata:  

“Aku tahu bahwa engkau hanya sebongkah batu, yang tidak mendatangkan manfaat maupun menolak bahaya, jika bukan karena aku telah melihat Rasulullah menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.”(HR. Bukhari). 

Umar radhiyallahu ‘anhu sangat memahami bahwa tujuan utama mencium Hajar Aswad adalah tunduk kepada syariat Allah dan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. 

Untuk dapat menghayati ibadah haji, jamaah harus memperbanyak zikir/mengingat Allah. Jamaah haji diperintahkan berzikir pada setiap sesi manasik, juga setelah selesai menunaikan ibadah haji.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya: 

“Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafat, berzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram. Dan berzikirlah [dengan menyebut] Allah sebagaimana yang ditunjukkanNya kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 198). 

Ibadah haji juga untuk mencapai derajat takwa. Perintah bertakwa banyak kita temukan di sela-sela penjelasan tentang manasik haji, seperti firman Allah yang artinya:

“Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaNya.” (QS. Al-Baqarah: 196). 

Jamaah hai yang serius berangkat haji dapat memperdalam cinta kepada Rasulullah SAW. Semua rangkaian ibadah haji telah dicontohkan secara langsung oleh Rasulullah SAW. Maka, bukti cinta kita kepada beliau adalah dengan menunaikan ibadah mulia ini sesuai tuntunannya.  

Dan dengan mengikuti Rasulullah SAW, Allah akan mencintai kita. Allah berfirman yang artinya: 

“Katakanlah jika kamu [benar-benar] mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31).  

IHRAM

Calon Jamaah Haji Diminta Jaga Kesehatan, Meski Tertunda

Calon jamaah haji diminta optimis untuk menyiapkan kesehatannya sebelum keberangkatan.  Sudah dua tahun calon jamaah haji batal berangkat karena masih pandemi Covid-19. 

Permintaan itu disampaikan Kasub Koordinator Substansi Penyuluhan dan Pembimbingan Pusat Kesehatan Haji,  Imran Handani, saat menjadi pemateri dalam agenda sosialisasi Haji Sehat dan vaksinasi covid-19 kepada Jemaah haji di Kota Makassar pada hari Selasa, 14 September 2021. 

“Oleh karena itu jamaah haji harus menyiapkan kesehatannya sedini mungkin,” kata Imran seperti dikutip Republika.co.id dari situs Puskeshaji, Jumat (17/9). 

Imran, menyampaikan bahwa ibadah haji adalah ibadah fisik. Pada semua rangkaian proses ibadah haji thawaf dan sai sangat dibutuhkan keadaan fisik yang prima.  

Untuk itu sangat penting para calon jamaah haji menyiapkan kesehatannya jauh sebelum keberangkatannya. 

Salah satunya memeriksakan kesehatanya di daerah masing-masing. “Walaupun ibadah haji dan umroh sampai saat ini mengalami penundaan,” katanya. 

Imran memastikan Allah SWT sudah mencatat sebagai pahala ibadah haji bagi setiap jamaah haji yang gagal berangkat sampai dua kali ini. 

Seperti diketahui pemerintah membatalkan penyelenggaraan ibadah haji pada 2020 dan pada 2021 karena Arab Saudi masih belum bisa menyelenggaran haji internasional karena pandemi. “Niat kita semua yang akan berangkat ibadah sudah dicatat Allah SWT,” katanya.   

IHRAM

Kejujuran Selamatkan Az Zujajy dari Perampokan Ketika Haji

Kejujuran dapat menyelamatkan dari perkara-perkara sulit. Hal ini telah dibuktikan seorang wali bernama Abu Amr az-Zujajy rah seperti dikisahkan Abdurrahman Ahmad As-Sirbuny dalam bukanya “198 Kisah Haji Wali-Wali Allah”.

Abu Amar Az-Zujajy menceritakan ketika dia ditinggal meninggal dunia ibunya ia bersedih. Meski demikian ibunya mewarisi sebuah rumah miliknya. Abu Amr menjual rumah warisan ibunya untuk berangkat haji.

“Rumah itu ia jual seharga 50 dinar. Uang itu digunakan untuk menunaikan ibadah haji,” katanya.

Dalam perjalanan haji tersebut, ketika tiba di Babilonia dia dicegah oleh seorang penggali saluran air. Kepada Az-Zujay ia bertanya kepadanya.

“Apakah yang engkau bawa?”

Dalam hatinya berkata “Jujur adalah yang terbaik,”

Dengan santai Abu Amr menjawab.

“Uang 50 dinar. “

Penggali saluran air itu meminta uang itu diserahkan kepadanya.

“Serahkanlah uang itu kepadaku,” pinta dia.

Karena dia memaksa, akhirnya Abu Amr menyerahkan kepadanya berserta kantongnya. Perampok itu menghitung jumlah semua uang yang ada di dalamnya. Ternyata benar 50 dinar dan setelah menghitung uang itu ia malah mengembalikannya kembali kepada Abu Amr.

“Ambilah kembali uang ini! Kejujuranmu telah menyentuh hatiku,” katanya sambil melemparkan kantong uang itu kembali.

Lalu dia turun dari kudanya dan berkata.

“Naiklah kudaku!”

“Tidak aku tidak menginginkannya,” kata Abu Amr

“Harus! Engkau mesti menaikinya, katanya dengan memaksa.

Abu Amar pun menaiki kudanya, dia berkata aku akan berada di belakangmu. Satu tahun kemudian dia berhasil menyusul Amr dan tinggal bersamanya hingga akhir hayat. Abu Amr az-Zujajy wafat pada tahun 381 Hijriyah.  

IHRAM

Penjelasan Haji Jadi Momen Pernikahan Antarsuku Arab

Bangsa Arab memiliki interaksi sosial yang begitu kuat dengan beberapa bangsa dan kabilah satu sama lain. 

Akibat interaksi inilah terjadi pertukaran manusia dari satu keadaan keadaan lain. Ibadah haji menjadi salah satu penyebab terpenting dari terjadinya percampuran darah dan keturunan antara kabilah Arab. 

“Di sana (Makkah saat haji), berkumpul kaum Muslimin dari berbagai bangsa berkenalan-kenalan antara satu dengan yang lain,” tulis Prof Hamka dalam bukunya “Sejarah Umat Islam Prakenabian Hingga Islam di Nusantara”. 

Percampuran darah itu dengan bangsa Mesir, Suriah, Hindi, Tionghoa, Persia, Zanji, Habasyi, Maroko, Aljazair ,Indonesia, Syam, dan lain-lain. Banyak persemendaan dan permantuaan. 

Sekarang ini 65 persen dari penduduk Makkah adalah bangsa campuran dari seluruh darah umat Islam karena pada sebagian kota di Arab banyak terjadi percampuran. 

Sementara itu pada kota yang lain beda pula pencampurannya. Akibatnya, pada zaman sekarang banyak didapati perbedaan perangai atau peradaban di antara para penduduk tanah Arab. 

Orang Arab Makkah memiliki rupa yang kuning. Arab Najd rupanya sedikit hitam. Arab Oman berbadan besar, Arab Yaman berbadan kecil seperti orang Jepang. Arab Suriah hampir menyerupai Arab Marokok yaitu berkulit seperti bangsa barat.  

Arab Mesir agak hitam dan besar tubuhnya mirip orang Sudan, sedangkan yang di kota berkulit kuning karena banyak bercampur dengan darah Turki dan lain-lain. Arab Irak berbadan tegap, demikian juga dengan Arab Andalusia Utara rupanya seperti orang Eropa.  

“Akhirnya sampai pada keturunan bangsa Arab di negeri kita ini seperti yang terdapat di Tanah Bugis hanya kopiah putih nya saja yang menunjukkan ia adalah orang Arab,” katanya. Dan bangsawan-bangsawan Siak dan bangsawan Pontianak sudah memiliki rupa Melayu.  

IHRAM

Bersentuhan dengan Lawan Jenis Ketika Mencium Hajar Aswad

Assalamu ‘alaikum wr.wb.

Saya Hidayah dari Tangerang mau bertanya,

Batalkah wudhu saya, saat itu saya sedang tawaf tujuh putaran, lalu setelah tawaf saya mencium hajar aswad dan berdesak-desakan sehingga bersentuhan kulit, dilanjutkan sholat subuh, apakah sholat subuh saya batal karena saya bersentuhan kulit di luar tawaf?

Terima kasih, mohon penjelasannya.

Nur Hidayah (Disidangkan pada Jumat, 3 Zulhijah 1441 H / 24 Juli 2020 M)

Jawaban:

Wa ‘alaikumus-salam wr.wb.

Terima kasih atas pertanyaan saudara, berikut ini kami sampaikan jawabannya.

Pertanyaan saudara sejatinya sudah ada jawabannya dalam buku Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Jilid 1 halaman 47, buku Tanya Jawab Agama (TJA) Jilid I cetakan VII halaman 41 dan website fatwatarjih.or.id dengan link https://fatwatarjih.or.id/batal-wudhu-bersentuhan-kulit-laki-laki-dan-perempuan/. Namun begitu, agar lebih jelas duduk persoalannya, akan kami jelaskan kembali permasalahan tersebut.

Pembahasan tentang bersentuhan dengan lawan jenis tercantum dalam Q.S. al-Maidah (5) ayat 6 dengan lafal sebagai berikut,

يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى ٱلْمَرَافِقِ وَٱمْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى ٱلْكَعْبَيْنِ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَٱطَّهَّرُوا وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ ٱلْغَائِطِ أَوْ لَٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَٱمْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ  مَا يُرِيدُ ٱللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُۥ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ.

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

Kata لَٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَاءَ (laamastum an-nisa) pada ayat tersebut menuai perbedaan pendapat di kalangan sahabat. Sebagian memaknainya secara hakiki, yakni persentuhan kulit laki-laki dan perempuan dan sisanya memaknai secara majazi yakni setubuh (hubungan seksual suami istri). Pendapat pertama, antara lain pendapat ‘Umar ibn al-Khaththab dan Ibn Mas’ud, yang mengartikan dengan persentuhan kulit laki-laki dan perempuan. Pendapat kedua, antara lain pendapat ‘Ali ibnu Abi Thalib dan Ibn ‘Abbas yang mengartikan potongan ayat di atas dengan setubuh.

Perbedaan pemahaman ini mengakibatkan perbedaan pendapat tentang batal atau tidaknya wudhu karena sebab persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan. Menurut pendapat yang pertama, persentuhan antara kulit laki-laki dan kulit perempuan membatalkan wudhu. 

Pendapat ini dipegangi oleh ulama Syafi’iyah dan ulama Hanbaliyah. Adapun menurut pendapat yang kedua, persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegangi oleh ulama Hanafiyah. Sedangkan menurut ulama Malikiyah, persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan membatalkan wudhu apabila menimbulkan syahwat.

Muhammadiyah dalam Putusan Tarjihnya, menetapkan kata laamastum an–nisa dalam ayat tersebut bermakna majazi, yakni bersetubuh, sehingga persentuhan kulit antara lawan jenis tidaklah membatalkan wudhu. Hal ini didukung oleh beberapa hadits, antara lain seperti yang diriwayatkan ‘Aisyah istri Rasulullah berikut ini,

فَقَدْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ [رواه المسلم والترمذى وصححه].

Pada suatu malam saya kehilangan Rasulullah saw dari tempat tidur, kemudian saya merabanya dan tanganku memegang kedua telapak kaki Rasulullah yang sedang tegak karena beliau sedang sujud [H.R. Muslim dan Tirmidzi serta mensahihkannya].

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ إِنْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُصَلِّى وَإِنِّى لَمُعْتَرِضَةٌ بَيْنَ يَدَيْهِ اعْتِرَاضَ الْجَنَازَةِ حَتَّى إِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ مَسَّنِى بِرِجْلِهِ [رواه النسائى].

Dari ‘Aisyah (diriwayatkan) ia berkata: Pernah Rasulullah saw shalat dan aku berbaring di depannya melintang seperti mayat, sehingga ketika beliau hendak shalat witir, beliau menyentuhku dengan kakinya [H.R. an-Nasai].

Bahkan pada kesempatan lain, ‘Aisyah tidak hanya memegang kedua telapak kaki Nabi saw, namun hingga menyentuh rambut Nabi saw untuk meyakinkan dirinya bahwa Nabi saw tidak meninggalkannya untuk bertemu istri-istri beliau yang lain. Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam asy-Syaukani dalam kitab Nail al-Authar dan ditakhrij salah satunya dalam al-Mu’jam al-Awsath sebagai berikut,

عَنْ عَائِشَةَ فَقَدْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ، فَقُلْتُ: إِنَّهُ قَامَ إِلَى جَارِيَتِهِ مَارِيَةَ، فَقُمْتُ أَلْتَمِسُ الْجِدَارَ، فَوَجَدْتُهُ قَائِمًا يُصَلِّي، فَأَدْخَلْتُ يَدَيَّ فِي شَعْرِهِ لأَنْظُرَ اغْتَسَلَ أَمْ لَا، فَلَمَّا انْصَرَفَ, قَالَ: أَخَذَكِ شَيْطَانُكِ يَا عَائِشَةُ.

Dari ‘Aisyah (diriwayatkan), Aku tidak mendapati Rasulullah saw suatu malam, kemudian aku berkata, sesungguhnya Rasulullah pergi ke istrinya Mariyah lalu aku berdiri dan meraba-raba dinding, maka tiba-tiba aku mendapati Rasulullah sedang mendirikan shalat. Segera aku masukkan tanganku ke rambutnya untuk melihat apakah dia baru saja mandi junub atau tidak. Setelah Rasulullah selesai beliau berkata: Setan telah menggiringmu ya Aisyah.

Istidlal di atas meskipun berkenaan dengan persentuhan lawan jenis antara suami istri, akan tetapi dapat dipahami secara umum, yakni persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan secara umum selama itu tidak bersenggama, maka tidaklah membatalkan wudu. Bahkan pada suatu kesempatan Nabi Muhammad saw tidak hanya bersentuhan kulit dengan lawan jenis, melainkan menciumnya, seperti diterangkan pada hadis berikut,

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبِلَ بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأَ … [رواه أحمد].

Dari ‘Aisyah (diriwayatkan), bahwasannya Rasulullah mencium sebagian istrinya lalu beliau keluar untuk shalat dan tidak mengulang wudunya … [H.R. Ahmad].

Aktivitas mencium yang lebih intim saja tidak membatalkan wudhu menurut keterangan dalam hadis tersebut, apalagi jika hanya sekadar persentuhan kulit. Dengan demikian, sholat subuh yang saudara tunaikan, baik dilakukan setelah berdesak-desakan sewaktu tawaf atau setelah tawaf tetaplah sah selama tidak melakukan hal-hal yang membatalkan wudhu sesuai tuntunan syariat.

Wallahu a‘lam bish-shawab

—–

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 7 Tahun 2021

Link artikel asli

IHRAM

Arab Saudi Umumkan Jamaah yang Ikut Haji Tahun Ini

Kementerian Haji dan Umroh Arab Saudi akan mengumumkan nama-nama dari 60.000 jamaah yang terpilih menunaikan haji tahun ini. Pengumuman akan dilakukan hari ini, Jumat (25/6). 

Seperti dilansir Arab News, Kementerian Kementerian Haji dan Umroh Arab Saudi mengatakan bahwa portal elektronik untuk jamaah haji domestik menerima lebih dari 540.000 aplikasi dari warga dan penduduk Saudi sebelum pendaftaran ditutup pada Rabu (23/6). Kementerian juga menegaskan tidak  ada prioritas untuk pendaftaran awal.

Kementerian juga mengatakan jamaah yang terpilih bisa mulai memesan dan membeli paket pada pukul 1 siang pada Jumat.

Karena pandemi virus corona (COVID-19) dan munculnya mutasi baru, Kementerian Kesehatan dan Haji mengumumkan awal bulan ini bahwa mereka akan membatasi jumlah orang yang diizinkan untuk melakukan haji tahun ini sebanyak 60.000 orang saja. Pendaftaran hanya terbuka untuk warga negara dan penduduk Kerajaan Arab Saudi

Jamaah laki-laki menyumbang 59 persen dari peziarah yang terdaftar. Sementara kelompok usia antara 31 dan 40 tahun menempati slot pendaftaran paling banyak yaitu 38 persen. Jamaah haji yang terdaftar berusia 60 tahun ke atas mewakili kelompok usia terendah sebesar dua persen.

Berdasarkan protokol kesehatan Kerajaan Arab Saudi, jamaah yang ingin melakukan haji harus bebas dari penyakit kronis apa pun. Selain itu jamaah yang harus divaksin dan  berusia antara 18 hingga 65 tahun. 

Jamaah haji harus menerima vaksinasi secara lengkap. Atau bagi jamaah yang mengambil dosis vaksin Covid-19 pertama setidaknya 14 hari sebelumnya, atau yang divaksinasi setelah sembuh dari infeksi virus corona.

IHRAM

Saudi akan Umumkan 60 Ribu Nama Calon Jamaah Haji

Kementerian Haji dan Umrah akan mengumumkan nama-nama pendaftar haji yang telah dipilih untuk melakukan haji tahun ini, pada Jumat (25/6). Sebanyak 60 ribu peziarah domestik, termasuk warga negara dan penduduk, akan dipilih dari 540 ribu pendaftar yang masuk.

Dilansir dari Saudi Gazette, Jumat (25/6) Kementerian menekankan bahwa tidak akan ada prioritas bagi mereka yang melakukan pendaftaran awal. Pemesanan dan pembelian paket haji akan dimulai pada Jumat (25/6) pukul 13.00 waktu setempat.

Kementeriam sebelumnya telah menegaskan, bahwa pendaftaran bagi mereka yang ingin melakukan ritual haji tahun ini telah dibatasi hanya untuk warga negara dan penduduk yang saat ini berada di dalam Kerajaan. Pendaftaran pun hanya satu pintu, yakni melalui aplikasi resmi milik pemerintah Saudi, Tawakkalna.

Kementerian telah menutup pendaftaran pada Rabu (23/6) kemarin pukul 10 malam.  Kementerian menggarisbawahi, bahwa mereka yang ingin melakukan ritual haji harus bebas dari penyakit kronis, dan berada dalam kelompok usia antara 18 dan 65 tahun.

Peziarah wajib diinokulasi terhadap virus corona dan itu sesuai dengan kontrol dan mekanisme yang diikuti di Kerajaan untuk kategori imunisasi, dengan mengambil dua dosis vaksin atau menyelesaikan 14 hari setelah mengambil dosis pertama atau telah pulih dari infeksi Covid-19.

IHRAM

Amalan Tukang Sol Sepatu Kalahkan Haji Ratusan Ribu Orang

Pada suatu masa ketika Abdullah bin Mubarak berhaji, ia tertidur di Masjidil Haram. Di dalam tidurnya, ia bermimpi melihat dua malaikat turun dari langit, kemudian yang satu berkata kepada yang lain, “Berapa banyak orang yang berhaji pada tahun ini?”. “Enam ratus ribu,” jawab yang lain. 

Lalu, ia bertanya lagi, “Berapa banyak yang diterima?” Jawabnya, “Tidak seorang pun yang diterima, hanya ada seorang tukang sepatu dari Damsyik bernama Muwaffaq. Dia tidak dapat berhaji, tetapi diterima hajinya sehingga semua yang haji pada tahun itu diterima dengan berkat hajinya Muwaffaq.” 

Ketika Abdullah bin Mubarak men dengar percakapannya itu, maka ter bangun lah ia dari tidurnya, dan langsung berangkat menuju Damsyik mencari orang yang bernama Muwaffaq. Ketika bertemu dengan Muwaffaq, Abdullah bin Mubarak menceritakan mimpinya dan bertanya, “Kebaikan apakah yang telah Engkau lakukan sehingga mencapai derajat yang sedemikian itu?” 

Jawab Muwaffaq, “Tadinya aku ingin berhaji, tapi tidak terlaksana karena ke adaanku, tetapi mendadak aku mendapat uang tiga ratus dirham dari pekerjaanku membuat dan menambal sepatu, lalu aku berniat haji pada tahun ini. Pada saat itu istriku sedang hamil maka suatu hari, dia mencium bau makanan dari rumah tetanggaku dan ingin mencicipi makanan itu. Aku pun pergi ke rumah tetanggaku dan menyampaikan tujuanku kepadanya.” 

Tetanggaku kemudian menjelaskan, “Aku terpaksa membuka rahasiaku, sebenarnya anak-anakku sudah tiga hari tanpa makanan, karena itu aku keluar mencari makanan untuk mereka. Tiba-tiba menemukan bangkai himar di suatu tempat, lalu aku potong bagian tubuhnya dan aku bawa pulang untuk dimasak. Adapun makanan ini halal bagi kami dan haram untukmu.” 

Ketika aku mendengar jawaban itu, aku segera kembali ke rumah dan meng ambil uang tiga ratus dírham, dan kuserahkan kepada tetanggaku tadi seraya menyuruhnya agar membelanjakan uang itu untuk keperluan anak-anak yatim, yang ada dalam pemeliharaannya itu. 

“Sebenarnya hajiku adalah di depan pintu rumahku,” ujar Muwaffaq menutup kisahnya. Allahu Akbar. (Irsyadul ‘Ibad ila Sabilir Rasyad karya Syekh Zainuddin ibn Abdul Aziz al-Malibari).

Kisah di atas memberikan pelajaran berharga kepada kita, kaum Muslimin, bahwa sesungguhnya haji adalah amalan yang utama. Berjihad juga amalan utama, tetapi menyantuni anak yatim, orang miskin, dan orang telantar merupakan amalan yang lebih utama dan mulia. Beribadah haji itu untuk kepentingan pribadi, sedangkan menyantuni anak yatim dan memberikan makan kepada fakir miskin, menjadi ibadah sosial yang manfaatnya itu lebih besar. Meskipun belum berangkat haji, hal itu menyebab kan mabrurnya semua amalan ibadah lainnya. 

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS Ali Imran 92).

Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa membantu keperluan saudaranya maka Allah akan membantu keperluannya.” (Muttafaq ‘alaih).

Oleh Imam Nur Suharno

IHRAM

Bolehkah Naik Haji tanpa Mahram?

Setiap Muslimah yang kuat iman pasti terpanggil hatinya untuk menunaikan haji. Karena ibadah ini di samping merupakan rukun Islam yang kelima, juga mengandung banyak hikmah dan keutamaan.

Salah satunya dapat melebur dosa. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda, Barang siapa yang berhaji karena Allah, kemudian ia tidak berkata kotor dan berbuat fasik, maka ketika pulang, ia seperti anak yang baru dilahirkan ibunya.

Tetapi untuk mengecap keutamaan itu, terdapat sebuah syarat tambahan bagi seorang Muslimah yang termasuk dalam istithoa’h-nya (syarat mampunya). Yaitu, harus disertai suami atau mahramnya.

Diriwayatkan lagi oleh Bukhari dan Muslim, Ibnu Abbas berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, Jangan sampai seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan tanpa disertai mahramnya. Dan hendaknya seorang perempuan tidak melakukan perjalanan kecuali jika disertai mahramnya.

Lantas seseorang berdiri dan berkata, ”Wahai Rasulullah, istriku melaksanakan haji sementara aku berada di medan perang ini dan itu.” Rasulullah kemudian bersabda, Berangkatlah engkau dan berhajilah bersama istrimu.

Nah, berangkat dari hadis itu, para ulama dari empat mazhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali) punya pandangan berbeda. Ulama dari Mazhab Maliki berpendapat, Ibadah haji bagi seorang Muslimah harus disertai suaminya, atau salah seorang mahramnya, atau seorang teman wanita yang dapat dipercaya. Kalau semua itu tidak ada, maka tidak wajib baginya melaksanakan ibadah haji.

Lain lagi dengan pendapat ulama dari Mazhab Hanafi. Menurut mereka, jika jarak antara Makkah dan rumahnya ditempuh selama lebih dari tiga hari dengan perjalanan kaki, maka wajib bagi seorang Muslimah disertai suami atau mahramnya.

Ini berlaku bagi Muslimah tua maupun muda. Akan tetapi jika jaraknya kurang dari itu, maka haji tetap wajib ditunaikan meskipun tanpa disertai suami atau mahramnya.

Pendapat ulama dari Mazhab Syafi’i sedikit lebih longgar. Mereka berpandangan bahwa apabila haji yang ditunaikan hukumnya wajib (haji pertama), dan keadaan saat itu aman, maka seorang Muslimah boleh pergi haji sendirian.

Akan tetapi jika tidak diketahui aman atau tidaknya keadaan, maka wajib baginya disertai suami, mahram, atau dua orang perempuan atau lebih. Seandainya ia tidak mendapatkan seorang laki-laki yang bersedia menjadi mahramnya, kecuali harus diberi upah, sedangkan syarat-syarat wajib haji yang lain telah terpenuhi, maka kalau Muslimah itu mampu membayar upah, wajib hukumnya melakukan haji.

Akan tetapi jika yang ada hanya seorang teman perempuan saja, maka tidak wajib baginya menunaikan haji. Lain halnya jika yang ditunaikan adalah haji sunnah, maka wajib baginya disertai suami atau mahram. Meskipun ia disertai dua orang wanita atau lebih, tetap saja yang bersangkutan tidak boleh menunaikan haji.

Mengenai ragam pendapat ulama Mazhab Syafi’i ini, Al-Hafizh Ibnu Hajar menggaris bahawi, Pendapat yang masyhur di kalangan ulama Mazhab Syafi’i adalah, hajinya seorang wanita disyaratkan adanya suami, mahram, atau wanita-wanita yang terpercaya.

Sedangkan ulama dari Mazhab Hanbali secara tegas mewajibkan adanya suami atau mahram. Karena, menurut ulama mazhab ini, hal itu merupakan syarat istitho’ah (kemampuan) wanita melaksanakan haji. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, Kalau seorang wanita tidak ada suami atau mahramnya, maka ibadah haji tidak wajib atasnya.

Pendapat tersebut didasarkan pada hadis Nabi SAW, Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian selama tiga hari atau lebih, kecuali bersama ayahnya atau suaminya atau anaknya atau saudaranya atau mahramnya. (Muttafaq ‘Alaihi).

Setelah melihat pendapat ulama dari empat mazhab itu, tampaklah letak perbedaan pandangan mereka tentang masalah ini. Ada yang berpendapat berdasarkan makna lahiriyah dari hadis, yaitu mewajibkan adanya mahram bagi wanita yang berhaji; ada yang memberikan pengecualian bagi wanita yang bersama wanita-wanita lain yang dapat dipercaya; bahkan ada yang berpandangan tidak diwajibkan adanya suami ataupun mahram jika dalam keadaan aman.

Menurut Syekh Yusuf al-Qaradhawi, prinsip hukum atau ketetapan adanya mahram haji bukan untuk membatasi kebebasan Muslimah dalam melakukan ibadah. Tetapi, hal itu dimaksudkan untuk menjaga nama baik dan kehormatannya. Di samping juga untuk melindunginya dari maksud jahat dari orang-orang yang hatinya berpenyakit.

IHRAM

Mabrur Sebelum Berhaji

Meskipun belum berangkat haji, tapi menyebabkan mabrurnya semua amalan ibadah lainnya.

Pada suatu masa ketika Abdullah bin Mubarak berhaji, ia tertidur di Masjidil Haram. Di dalam tidurnya, ia bermimpi melihat dua Malaikat turun dari langit, kemudian yang satu berkata kepada yang lain, “Berapa banyak orang yang berhaji pada tahun ini?” “Enam ratus ribu.” jawab yang lain.

Lalu, ia bertanya lagi, “Berapa banyak yang diterima?” Jawabnya, “Tidak seorang pun yang diterima, hanya ada seorang tukang sepatu dari Damsyik bernama Muwaffaq. Dia tidak dapat berhaji, tetapi diterima hajinya sehingga semua yang haji pada tahun itu diterima dengan  berkat hajinya Muwaffaq.”

Ketika Abdullah bin Mubarak mendengar percakapan itu, maka terbangunlah ia dari tidurnya, dan langsung berangkat menuju Damsyik mencari orang yang bernama Muwaffaq. Ketika bertemu dengan Muwaffaq, Abdullah bin Mubarak menceritakan mimpinya dan bertanya, “Kebaikan apakah yang telah engkau lakukan sehingga mencapai derajat yang sedemikian itu?”

Jawab Muwaffaq, “Tadinya aku ingin berhaji namun tidak terlaksana karena keadaanku, tetapi mendadak aku mendapat uang 300 dirham dari pekerjaanku membuat dan menambal sepatu, lalu aku berniat haji pada tahun ini. Pada saat itu istriku sedang hamil, maka suatu hari dia mencium bau makanan dari rumah tetanggaku dan ingin mencicipi makanan itu. Aku pun pergi ke rumah tetanggaku dan menyampaikan tujuanku kepadanya.”

Tetanggaku kemudian menjelaskan, “Aku terpaksa membuka rahasiaku, sebenarnya anak-anakku sudah tiga hari tanpa makanan, karena itu aku keluar mencari makanan untuk mereka. Tiba-tiba menemukan bangkai himar di suatu tempat, lalu aku potong bagian tubuhnya dan aku bawa pulang untuk dimasak. Adapun makanan ini halal bagi kami dan haram untukmu.”

Ketika aku mendengar jawaban itu, aku segera kembali ke rumah dan mengambil uang 300 dirham dan kuserahkan kepada tetanggaku tadi seraya menyuruhnya membelanjakan uang itu untuk keperluan anak-anak yatim yang ada dalam pemeliharaannya itu.

“Sebenarnya hajiku adalah di depan pintu rumahku,” ujar Muwaffaq menutup kisahnya. Allahu Akbar. (Irsyadul ‘Ibad ila Sabilir Rasyad karya Syekh Zainuddin ibn Abdul Aziz al-Malibari).

Kisah di atas memberikan pelajaran berharga kepada kita kaum Muslimin bahwa sesungguhnya haji adalah amalan yang utama. Berjihad juga amalan utama, namun menyantuni anak yatim, orang miskin, dan orang terlantar merupakan amalan yang lebih utama dan mulia.

Beribadah haji itu untuk kepentingan pribadi, sedangkan menyantuni anak yatim dan memberikan makan kepada fakir miskin menjadi ibadah sosial yang manfaatnya itu lebih besar. Meskipun belum berangkat haji, tapi menyebabkan mabrurnya semua amalan ibadah lainnya.

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS Ali Imran [3]: 92).

Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa membantu keperluan saudaranya, maka Allah akan membantu keperluannya.” (Muttafaq ‘alaih).

OLEH IMAM NUR SUHARNO

KHAZANAH REPUBLIKA