عَنْ أَبِيْ عَبْدِ الَّرحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهِ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يَقُوْلُ : بُنِيَ الإسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ, وَحَجِّ الْبَيْتِ, وَصَوْمِ رَمَضَانَ. (رواه البخاري و مسلم)
Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhuma berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Islam dibangun atas lima pekara. (1) Persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad Rasul Allah, (2) mendirikan shalat, (3) mengeluarkan zakat, (4) melaksanakan ibadah haji, dan (5) berpuasa Ramadhan”. [HR Bukhari dan Muslim].
TAKHRIJ HADITS
- Shahihul Bukhari, Kitabul Iman, Bab al Iman wa Qaulin Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,“Buniyal Islamu ‘ala khamsin”, no. 8.
- Shahih Muslim, Kitabul Iman, Bab Bayanu Arkanil Islam, no.16.
- Sunan at Tirmidzi, Kitabul Iman, Bab Ma Ja’a fi Buniyal Islam, no. 2612.
- Sunan an Nasaa-i, Kitabul Iman, Bab ‘Ala Kam Buniyal Islam, VIII/108.
- Musnad Imam Ahmad, II/26, 93, 120, 143.
- Al Humaidi, no. 703.
- Ibnu Hibban, no. 158 dan 1446.
Menurut Imam Ibnu Daqiqil ‘Id (wafat th. 702 H), pada beberapa riwayat disebutkan haji lebih dahulu daripada puasa. Hal ini keraguan dari perawi. Wallahu a’lam. Oleh karena itu, ketika Ibnu ‘Umar mendengar seseorang mendahulukan menyebut haji daripada puasa, ia melarangnya, lalu ia mendahulukan menyebut puasa daripada haji. Ia berkata,”Begitulah yang aku dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .” [Muslim, no.16, 19].
Menurut Imam an Nawawi dalam syarahnya terhadap hadits ini, ia berkata: “Demikianlah, dalam riwayat ini, haji disebutkan lebih dahulu dari puasa. Hal ini sekadar tertib dalam menyebutkan, bukan dalam hal hukumnya, karena puasa Ramadhan diwajibkan sebelum kewajiban haji. Dalam riwayat lain disebutkan puasa lebih dahulu daripada haji”. [Syarah Muslim, I/178,179].
AHAMMIYATUL HADITS (URGENSI HADITS)
Hadits ini mempunyai kedudukan yang agung, karena menerangkan asas dan kaidah-kaidah Islam, yakni Islam dibangun di atasnya, yang dengannya seorang hamba menjadi Muslim. Dan tanpa asas ini, seorang hamba berarti keluar dari agama.
Imam Nawawi berkata,”Sesungguhnya hadits ini merupakan pijakan yang agung dalam mengenal agama Islam. Dengan dasar hadits ini tegaknya agama Islam. Hadits ini mengumpulkan rukun-rukunnya”. [Syarah Muslim, I/179].
Abul Abbas al Qurthubi (wafat th. 671H) berkata,”Lima hal tersebut menjadi asas dan landasan tegaknya agama Islam. Lima hal di atas disebut secara khusus, tanpa menyebutkan jihad –padahal jihad adalah membela agama dan mengalahkan penentang-penentang yang kafir– karena kelima hal tersebut merupakan salah satu fardhu kifayah. Sehingga, pada saat tertentu kewajiban tersebut bisa menjadi gugur.” [Syarah Arba’in an Nawawiyah, hlm. 37, oleh Ibnu Daqiqil ‘Id].
Ibnu Rajab mengatakan, jihad tidak disebutkan pada hadits Ibnu ‘Umar di atas, padahal jihad merupakan amal perbuatan termulia. Di salah satu riwayat disebutkan bahwa, Ibnu Umar ‘ditanya : “Bagaimana dengan jihad?” Ibnu ‘Umar menjawab,”Jihad itu bagus, namun hanya hadits itulah yang aku terima dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .” [Diriwayatkan Imam Ahmad].
Disebutkan di hadits Muadz bin Jabal Radhiyallahu anhu : “Pokok segala sesuatu ialah Islam, tiangnya shalat, dan puncaknya ialah jihad”.
Kendati keberadaan jihad menduduki tempat tertinggi dalam ajaran Islam, namun jihad bukan merupakan salah satu tiang dan rukunnya, tempat bangunan Islam dibangun di atasnya, karena dua sebab. Pertama, jihad -menurut jumhur ulama- adalah fardhu kifayah dan bukan fardhu ‘ain. Ini berbeda dengan kelima rukun di atas. Kedua, jihad tidak berlangsung hingga akhir zaman. Jika Nabi Isa Alaihissallam telah turun dan ketika itu tidak ada agama selain Islam, maka dengan sendirinya perang berhenti, tidak lagi membutuhkan jihad. Ini berbeda dengan kelima rukun Islam yang tetap diwajibkan kepada kaum Mukminin hingga keputusan Allah datang kepada mereka, dan ketika itu mereka dalam keadaan seperti itu. Wallahu a’lam. [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, I/152].
SYARAH HADITS
Maksud hadits di atas ialah, Islam dibangun di atas lima hal. Dan ia seperti tiang-tiang bangunannya.
Hadits di atas diriwayatkan Muhammad bin Nashr al Marwazi dalam Kitabush Shalat, no. 413, sanadnya shahih menurut syarat Muslim. Redaksinya berbunyi :
بُنِيَ الإسْلاَمُ عَلَى خَمسِ دَعَائِمَ
Islam dibangun di atas lima tiang …
Maksud hadits tersebut adalah, penyerupaan Islam dengan bangunan. Adapun tiang-tiang bangunan tersebut berupa kelima hal tersebut. Jadi, bangunan tidak akan kuat tanpa tiang-tiangnya. Sedangkan ajaran-ajaran Islam lainnya berfungsi sebagai penyempurna bangunan. Jika salah satu dari ajaran-ajaran tersebut hilang dari bangunan Islam, maka bangunan itu berkurang, namun tetap bisa berdiri dan tidak ambruk, meskipun berkurangnya salah satu dari penyempurnanya. Ini berbeda jika kelima tiang tersebut ambruk, maka Islam akan runtuh disebabkan tidak adanya kelima tiang penyangga tersebut, dan ini tanpa diragukan lagi.
Islam juga ambruk dengan hilangnya dua kalimat syahadat. Yang dimaksud dengan dua kalimat syahadat ialah, beriman kepada Allah dan RasulNya.
Disebutkan dalam riwayat Bukhari “Islam dibangun atas lima: beriman kepada Allah dan RasulNya, … dan seterusnya” (no. 4514). Dalam riwayat Muslim disebutkan “Islam dibangun atas lima: hendaknya mentauhidkan Allah…” (no. 16)(19). Dalam riwayat Muslim lainnya (no.16)(20) disebutkan :
بُنِيَ الإسْلاَمُ عَلَى خَمسٍ: أن يُعبَدَ اللهُ وَيُكفَرَ بِمَا دُونَهُ…
Islam dibangun atas lima: hendaknya beribadah kepada Allah dan mengingkari peribadahan kepada selainNya… [Lihat penjelasan Ibnu Rajab (wafat th. 795 H) dalam Jami’ul Ulum wal Hikam, I/145].
Seorang hamba tidak dikatakan Islam, sehingga dia melaksanakan asas, tiang dan rukun Islam yang dijelaskan dalam hadits ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan perumpamaan asas dan tonggak ini sebagai bangunan yang kuat dan kokoh. Orang yang tidak berdiri di atas tonggak ini, maka dia akan binasa. Adapun perkara-perkara Islam lainnya yang wajib, ia sebagai penyempurna bagi rukun Islam ini.
Bangunan ini sangat dibutuhkan oleh seorang hamba. Empat tiang yang disebutkan dalam hadits ini, dibangun di atas dua kalimat syahadat, Asyhadu an-la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar- Rasulullah. Karena sesungguhnya, Allah tidak akan menerima sesuatu pun dari amal seseorang tanpa syahadatain. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebut rukun-rukun iman yang wajib lainnya, karena beriman bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, memiliki konsekwensi mengimani seluruh yang disebutkan dalam masalah keyakinan dan ibadah, sebagaimana juga tidak disebutkan tentang jihad, padahal jihad merupakan kewajiban yang besar, yang dengannya kejayaan Islam ditegakkan, panji-panji Islam dikibarkan, dan dengannya orang-orang kafir dan munafik diperangi. Tidak disebutkannya jihad, karena jihad adalah fardhu kifayah yang tidak diwajibkan kepada setiap orang, melainkan pada keadaan-keadaan tertentu saja. [Lihat Qawaid wa Fawaid Minal Arba’in an Nawawiyah, hlm. 53,54].
BANGUNAN ISLAM
Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengilustrasikan Islam dengan sebuah bangunan yang tertata rapi. Tegak di atas pondasi-pondasi yang kokoh. Pondasi-pondasi tersebut sebagai berikut.
Pertama. Dua Kalimat Syahadat.
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ
Makna Laa Ilaaha Illallaah.
Makna dari kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) adalah لاَ مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلاَّ اللهُ (laa ma’buda bi haqqin ilallaah), tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala . Semua sesembahan yang disembah oleh manusia berupa malaikat, jin, manusia, matahari, bulan, bintang, kubur, pohon, batu, kayu dan lainnya, semuanya merupakan sesembahan yang batil, tidak bisa memberikan manfaat dan tidak dapat menolak bahaya.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ ۖ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ
Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim. [Yunus/10:106].
ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” [al Hajj/22 : 62].
Penafsiran Yang Salah Kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله
Ada beberapa penafsiran yang salah tentang makna kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) dan kesalahan tersebut telah menyebar luas.
- Menafsirkan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) dengan لاَ مَعْبُوْدَ إلاَّ اللهِ (tidak ada yang diibadahi kecuali Allah); padahal makna tersebut rancu, karena dapat berarti bahwa setiap yang diibadahi, baik dengan benar maupun salah, adalah Allah.
- Menafsirkan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) dengan لاَ خَالِقَ إِلاَّ اللهُ (tidak ada pencipta kecuali Allah); padahal makna tersebut merupakan bagian dari makna kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ(laa ilaaha illallaah). Dan penafsiran ini masih berupa tauhid rububiyyah saja, sehingga belum cukup. Demikian ini yang diyakini juga oleh orang-orang musyrik.
- Menafsirkan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) dengan لاَ حَاكِمِيَّةَ إِلاَّ لِلّه (tidak ada hak untuk menghukumi kecuali hanya bagi Allah); padahal pengertian ini juga tidak cukup, karena apabila mengesakan Allah dengan pengakuan atas sifat Allah Yang Maha Kuasa saja lalu berdo’a kepada selainNya, atau menyimpangkan tujuan ibadah kepada sesuatu selainNya, maka hal ini belum termasuk definisi yang benar.[1]
- Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin ditanya tentang penafsiran la ilaha illallaah. Penafsiran tersebut ialah “mengeluarkan keyakinan yang jujur dari segala sesuatu dan memasukkan keyakinan yang jujur atas Dzat Allah”.
Menjawab tentang penafsiran ini, Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah berkata : “Ini merupakan penafsiran batil, tidak dikenal oleh Salafush Shalih; karena bukan demikian yang dimaksud dengan meyakini Allah dan mengeluarkan keyakinan dari selainnya. Ini tidak mungkin, karena keyakinan ada juga pada selain Allah. Sungguh kamu benar-benar akan melihat neraka jahim, kemudian kamu benar-benar akan melihatnya denga ‘ainul yaqin (at Takatsur/102 ayat 6-7), meyakini sesuatu yang konkrit sudah diketahui tidak menafikan tauhid. Jadi, berdasarkan pengertian ini, maka tafsir di atas tertolak”. [2]
Rukun Laa Ilaaha Illallaah.
Kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) memiliki 2 rukun, yaitu;
– النَّفْيُ (mengingkari). Yaitu mengingkari (menafikan) semua yang disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala .
– اْلإِثْبَاتُ (menetapkan). Yaitu menetapkan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja. Tidak ada sekutu bagiNya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Barangsiapa yang kufur kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang kepada buhul (tali) yang sangat kokoh yang tidak akan putus, dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [al Baqarah/2 : 256].
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ ۚ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan),”Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah thagut, kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antara mereka yang tetap dalam kesesatan. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” [an Nahl/16 : 36].
Makna Dari Syahadat Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
– طَاعَتُهُ فِيْمَا أَمَرَ, yaitu mentaati yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Barangsiapa taat kepada Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar. [an Nisaa`/4 : 13].
– تَصْدِيْقُهُ فِيْمَا أَخْبَرَ , yaitu membenarkan apa-apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَآمِنُوا بِرَسُولِهِ
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada RasulNya… [al Hadid/ 57 : 28].
– اجْتِنَابُ مَا نَهَى عَنْهُ وَزَجَرَ , yaitu menjauhkan diri dari yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam larang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
… Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah… [al Hasyr/59 : 7].
– أَنْ لاَ يَعْبُدَ اللهَ إِلاَّ بِمَا شَرَعَ, yaitu tidak beribadah kepada Allah melainkan dengan cara yang telah disyari’atkan.
Artinya, kita wajib beribadah kepada Allah menurut yang telah disyari’atkan dan dicontohkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita wajib ittiba` kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tidak boleh mengikuti hawa nafsu dan bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah (Muhammad): “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu”. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Ali ‘Imran/3 : 31]. [3]
Kesaksian bahwa, tiada ilah yang berhak diibadahi melainkan Allah, dan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah, artinya, mengakui adanya Allah yang Tunggal, serta membenarkan kenabian dan kerasulan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Rukun ini ibarat pondasi bagi rukun-rukun yang lain. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ…
Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka menyatakan bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah, dan bahwasanya Muhammad adalah Rasulullah… [HR Bukhari, no. 25; Muslim, no. 22, dan Ibnu Hibban, no. 175].
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
مَن قَالَ: لاَإِلهَ إلاَّ الله مُخْلِصًا دَخَلَ الجَنّة
Barangsiapa yang menyatakan tiada ilah yang berhak diibadahi selain Allah dengan penuh keikhlasan, maka ia akan masuk surga. (HR al Bazzar).
Kedua. Menegakkan Shalat.
Shalat merupakan hubungan antara hamba dengan Rabb-nya yang wajib dilaksanakan lima waktu dalam sehari semalam, sesuai petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
صَلُّوا كمَا رَأيتُمُونِى أُصَلَّي
Shalatlah, sebagaimana kalian melihat aku shalat. [HR Bukhari].
Beruntunglah orang yang melaksanakan shalat dengan khusyu` dan thuma’ninah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ ﴿١﴾ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya. [al Mu’minun/23 : 1, 2].
Barangsiapa yang menjaga shalat yang lima waktu, maka pada hari kiamat, ia akan mendapatkan cahaya, petunjuk dan keselamatan. Dia dijanjikan oleh Allah akan dimasukkan ke dalam surga.
Shalat akan mendidik seorang muslim agar selalu takut dan mengharap kepada Allah. Yang dengannya, seorang muslim akan menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak diridhai Allah. Allah berfirman:
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al Kitab (al Qur`an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaanya dari ibadat-ibadat lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. [al‘Ankabut/29 : 45].
Shalat merupakan amal yang pertama dihisab pada hari Kiamat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أوّل مَايُحَاسَبُ بِهِ العَبدُ يَوم القِيَامَة الصَّلاةُ, فَإن صَلُحَتْ صَلُحَ سَائِرُ عَمَلِهِ, وَإن فَسَدَت فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ
Amal seorang hamba yang pertama kali dihisab pada hari Kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik, maka baik pula seluruh amalnya. Dan apabila shalatnya rusak, maka rusak pula seluruh amalnya. [HR Thabrani dalam Mu’jamul Ausath, II/512 no.1880, dari sahabat Anas bin Malik. Dishahihkanoleh Syaikh al Albani dalam Silsilah Ahadits ash Shahihah, no. 1358].
Shalat yang wajib akan menghapuskan dosa-dosa dan kesalahan. Oleh karena itu, dalam masalah shalat, seorang muslim harus memperhatikan :
- Harus dikerjakan pada waktunya, dab yang utama ialah di awal waktu.
- Harus dikerjakan dengan khusyu` dan thuma’ninah.
- Harus dikerjakan sesuai dengan contoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dari mulai takbir sampai salam.[4]
- Bagi laki-laki, mengerjakannya dengan berjama’ah di masjid.
Hukum Orang Yang Meninggalkan Shalat.
Para ulama kaum Muslimin telah sepakat, orang yang meninggalkan shalat dan mengingkari kewajibannya, maka ia telah kafir dan keluar dari agama Islam.
Adapun orang yang meninggalkan shalat karena malas atau sibuk dengan tanpa alasan, sementara itu orang tersebut memiliki keyakinan tentang wajibnya, dalam hal ini para ulama berselisih paham tentang hukumnya.
Pendapat Pertama mengatakan, bahwa mereka telah kafir. Sahabat yang berpendapat seperti itu adalah Umar bin Khaththab, Abdurrahman bin Auf, Mu’adz bin Jabal, Abu Hurairah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin ‘Abbas, Jabir bin Abdullah dan Abu Darda’. Adapun selain sahabat yang berpendapat demikian adalah Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, ‘Abdullah bin Mubarak serta an Nakhaa-i. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Jabir, bahwa Rasulullah bersabda,
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ
Sesungguhnya batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat. [HR Muslim, no. 82].
Dari ‘Abdullah bin Syaqiq al ‘Uqaili, ia berkata :
كانَ أَصحَابُ رسُول الله لاَ يَرَونَ مِنَ الأَعْمَالِ شَيئًا تَرْكَهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ
Dahulu para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melihat sesuatu amal yang ditinggalkan menjadi kufur, kecuali shalat. [HR Tirmidzi, no. 2622].
Pendapat Kedua mengatakan, bahwa mereka adalah fasik tanpa mengkafirkannya. Demikian ini adalah pendapat jumhur ulama salaf, di antaranya Malik, Syafi’i dan Abu Hanifah. Mereka berdalil dengan hadits Rasulullah :
خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَى الْعِبَادِ مَنْ أَتَى بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ
Ada lima waktu shalat yang diwajibkan Allah atas hamba-hambaNya. Barangsiapa yang mengerjakannya tanpa menyia-nyiakannya sedikit pun dan meremehkan hak-haknya, maka ia telah terikat janji dengan Allah yang akan memasukkannya ke surga. Dan barangsiapa yang tidak mengerjakannya, maka dia tidak memiliki janji dengan Allah. Kalau mau, Allah akan menyiksanya. Dan kalau mau, Allah akan mengampuninya. [HR Ahmad dan Malik]
Adapun syahid dari hadits ini, bahwa orang yang meninggalkan shalat, bisa jadi ia akan diampuni. Ini menunjukkan, meninggalkannya tidak termasuk kufur hakiki. Seandainya itu kufur, maka pelakunya akan terhalang dari ampunan Allah. Begitu juga tidak kekalnya ia dalam neraka menunjukkan bahwa, meninggalkan shalat tidak termasuk kufur hakiki. Karena orang yang kafir akan kekal selama-lamanya di neraka. Juga dalil yang mereka jadikan sebagai hujjah adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia. Dan Dia mengampuni dosa yang lain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. [an Nisaa`/4 : 116].
Juga pertanyaan Shilah bin Zufar kepada Hudzaifah : “Apakah perkataan la ilaha illallah bermanfaat bagi mereka, meskipun mereka tidak mengetahui shalat, puasa, haji dan shadaqah?” Lalu Hudzaifah berpaling darinya, lantas ia (Shilah bin Zufar) mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali. Kemudian Hudzaifah menjawab,”Wahai Shilah, kalimat itu (La ilaha illallah) akan menyelamatkan mereka dari api neraka”. Hudzaifah mengucapkannya sebanyak tiga kali. [HR Ibnu Majah, no. 4049 dan Hakim, IV/473, 545].
Ketika mengomentari hadits ini, Syaikh al Albani berkata : “Hadits ini mengandung hukum fiqih yang penting. Bahwa syahadat dapat menyelamatkan orang yang mengucapkannya dari kekekalan di neraka kelak pada hari Kiamat, sekalipun ia tidak menjalankan rukun islam lainnya, seperti shalat dan lain-lain,” kemudian beliau melanjutkan,”Saya menilai, yang benar adalah apa yang dikemukakan oleh jumhur (mayoritas ulama). Dan pendapat yang dikemukakan sahabat tentang pengkafiran itu, bukanlah kafir yang menjadikannya kekal di neraka, yang tidak mungkin diampuni oleh Allah. Mengapa begitu? Sebab Shilah bin Zhufar yang pemahamannya hampir sama dengan Imam Ahmad ketika bertanya ‘Apakah perkataan la ilaha illallah bermanfaat bagi mereka, meskipun mereka tidak mengetahui shalat …, lalu Hudzaifah menjawab, wahai Shilah, kalimat itu (La ilaha illallah) akan menyelamatkan mereka dari api neraka,’ perkataan ini diucapkannya tiga kali. Ini merupakan penyataan dari Hudzaifah bahwa, orang yang meninggalkan shalat dan selainnya dari rukun-rukun, ia tidak kafir; bahkan dia seorang muslim yang akan selamat dari kekekalan dalam neraka pada hari Kiamat”. [Lihat Silsilah Ahadits ash Shahihah, I/175 no. 87, al Qismul Awwal].
Imam Ibnul Qayyim (wafat th. 751 H) mengatakan, orang yang meninggalkan shalat wajib, maka dia telah melakukan dosa besar yang paling besar. Dosanya, lebih besar di sisi Allah dari membunuh, mengambil harta, berzina, mencuri dan minum khamr. Orang yang meninggalkan shalat wajib, ia akan mendapat kemurkaan Allah dan dihinakan di dunia dan akhirat. [Ash Shalah wa Hukmu Tarikiha, hlm. 29].
Insya Allah bersambung
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله
Read more https://almanhaj.or.id/12026-bangunan-islam-syarah-rukun-islam.html