Tanpa terasa renovasi Masjidil Haram akan segera tuntas. Semenjak Ramadhan lalu bentuk perluasan mataf (pelataran tawaf) sudah bisa terlihat. Bagian bangunan berbentuk kerucut putih peninggalan Kesultanan Otoman sudah tidak akan terlihat lagi. Satu persatu pilar, atap, dan tembok banguan yang berdiri pada 1920-an dirobohkan. Lantai mataf kian leluasa hingga makin terasa lapang ketika melakukan tawaf,
Saat itu, sebelum tiba bulan Ramadhan, atau berbarengan dengan penggusuran bangunan atap berbentuk kubus putih tersebut, tempat tawaf sementara knock down juga ikut dibongkar. Satu persatu besi penyangganya dicopoti. Pagi, siang, malam, ratusan pekerja sibuk melakukan pembongkaran. Pekerjaan hanya berhenti ketika waktu shalat tiba.
Maka keluhan bila melakukan tawaf di lantai dasar atau berada di tempat tawaf yang di seputaran Ka’bah terasa sesak kini mereda. Namun, meski berbagai penyekat dari proyek perluasan masjidil haram dan bangunan lama di sekitar mataf itu sudah tak ada lagi, khusus untuk jamaah yang memakai kursi roda tetap dilarang melakukan tawaf di mataf. Mereka diminta melakukan tawaf di lantai dua Masjidil Haram.
Sebagai akibat kian purnanya perluasan Masjidil Haram, maka bangunan ini pun akan segera semakin luas. Bangunan masjid baru yang berada di samping belakang kini sudah siap disambungkan. Tinggal beberapa pengerjaan finishing yang tengah dilakukan seperti pembuatan jembatan, pemasangan lantai, dan pengerjaan berbagai panel listrik, pendingin udara, dan lainnya.
Memang bagi jamaah umrah atau jamaah haji yang muda dan berbadan sehat suasana masjid yang lapang dan indah kini telah hadir di depan mata. Luas lantai tawaf (maaf) menjadi berlipat-lipat, kapasitasnya empat kali dari yang dahulu. Dipastikan, suasana berdesakan akan lumayan terurai terutama di masa akhir Ramadhan dan puncak haji.
Namun, setelah pacaperluasan lantai mataf usai, beban baru jamaah lanjut usia atau mereka yang jamaah yang mengunakan kursi roda bertambah berat. Mereka harus melakukan tawaf di lantai dua Masjidil Haram. Akibatnya, jarak tempuh putaran tawaf enjadi semakin panjang. Setiap satu putarannya akan mencapai sekitar satu kilo meter. Jadi kalau jumlah putaran tawaf mencapai tujuh putaran, maka nanti jamaah lansia dan mengenakan kursi roda tersebut, harus menempuh perjaanan hingga lebih dari tujuh kilo meter.
Tentu saja, setelah melakukan tawaf untuk menuntaskan ibadah haji atau umrah sebelum diperbolehkan melakukan tahalul, para jamaah harus juga melakukan sa’i. Prosesi untuk mengenang gerak Siti Hajar yang ini dilakukan dengan berjalan biasa hingga berlari kecil antara buit Safa dan Marwah sebanyak tujuh kali, maka bila satu putaran tawaf jaraknya mencapai 500 meter, maka untuk tujuh kali jalan tersebut jamaah pun harus berjalan hingga 3,5 kilometer.
Alhasil bila ditotal, untuk menyelesaikan prosesi tawaf dan sa’i seorang jamaah haji dan umrah harus menempuh perjalanan sekitar 11 kilometer. Sebuah jarak yang lumayan jauh.
Lalu berapa lama tawaf diselesaikan seandainya ada jamaah yang mengantarkan orang tuanya melakukan tawaf dengan menggunakan kursi roda? Jawabnya: Memang relatif!
Mengapa demikian? Ini karena tergantung dari kemampuan jasmani, kesempatan waktu, suasana kepadatan area tawaf yang ada di Masjidil Haram. Pada hari ketika tidak ada jamaah umrah (yakni setelah Idul Fitri sampai datangnya rombongan pertama jamaah haji), suasana arena tawaf memang masih lenggang. Orang tawaf memang masih tetap ada sepanjang waktu, cuma jumlahnya tak terlalu banyak. Bahkan antrean untuk mencium Hajar Aswad hanya sekitar sepuluh orang saja.
Nah, pada saat itu orang yang berada di Masjidil Haram dapat mencium Hajar Aswad secara lebih leluasa. Waktu untuk tawaf pun sangat singkat, tak lebih hanya 10 menit untuk tujuh putaran. Saking longgarnya pada saat itu bisa shalat sunat di Hijir Ismail sepuasnya atau berulang kali.
Namun, suasana ini sontak berbalik ketika jamaah haji sudah mulai berdatangan atau pada bulan-bulan biasa ketika kesempatan umrah dibuka. Area tawaf menjad hiruk-pikuk. Mencium Hajar Aswad dan shalat di Hijir Ismail atau berdoa persis di depan Multazam menjadi barang langka.
Nah, dalam suasana padat itu maka tawaf di lantai dua bersama para lansia dan jamaah yang memakai kursi roda benar-benar jadi pilihan. Bahkan, para asykar yang pada hari biasa masih mau memberikan sedikit kelonggaran bagi jamaah berkursi roda untuk tawaf di mataf, maka kala itu yakni bila menjumpai jamaah seperti ini mereka pun langsung mengarahkan agar naik tempat tawaf yang berada di lantai dua.
Alhasil, karena memakai area tawaf di lantai dua itu, waktu tawaf menjadi panjang yang awalnya tak lebih dari 10 menit itu. Berangkat dari pengalaman melakukan umrah pada awal pertengahan tahun lalu, bila melakukan tawaf di lantai dua sembari mendorong kursi roda, proses ini bisa memakan waktu hingga 3,5 jam. Dan total jendral, bila disertai dengan Sa’i ditambah istirahat serta mengerjaan berbagai shalat sunat dan istirahat, maka proses ini akan memakan waktu sekitar lima jam. Ini dijalani dalam suasana hari umrah biasa, bukan pada masa puncak haji atau akhir Ramadhan.
Semakin panjangnya jalur tawaf setelah usainya proyek perluasan Masjidil Haram dibenarkan salah satu pejabat di Kantor Urusan Haji (KUH) KBRI di Jeddah. Menurutnya, dengan semakin luasnya area tawaf, maka proses tawaf akan memakan jarak yang lama. Memang kalau memakai tempat tawaf di lantai dua dan sealigus menyelesaikan sa’i maka setiap jamaah harus menempuh perjalanan sepanjang 11 kiometer.
“Maka para calon jamaah haji harus menyiapkan kebugaran jasmani yang baik. Ingat ibadah haji itu lebih banyak merupakan ibadah fisik,’’ katanya.
Menyadari kenyataan tersebut, terutama untuk para calon haji dan umrah yang lanjut usia atau memakai kursi roda, mulai sekarang bersiaplah secara serius. Pahamilah bahwa haji itu ibadah yang membutuhkan kesemaptaan fisik. Paling tidak kepada para calon jamaah yang akan berangkat pada tahun ini, hendaklah semenjak hari ini hingga tiba waktu keberangkatan haji, merekai sudah terbiasa berjalan jauh.
sumber:RepublikaOnline