“Allâhumma salli alâ Muhammad…,” terus saya deraskan shalawat begitu lampu-lampu gantung yang khas mulai terlihat dari kejauhan.
Degub jantung kian cepat. Dug-dug-dug-dug. Suaranya terdengar nyaring bagaikan beduk puasa. Tanpa sebab, air mata mulai mengembang. Mulut saya makin komat-kamit menderaskan shalawat:
Yaa Rasulullah. Yaa Nabiyullah. Yaa Habibullah….
“Aku datang dengan segenap rindu. Masukkan aku ke dalam barisan umatmu. Izinkan berjumpa denganmu di tepi telaga Kautsar, bersama para sahabat, syuhada, dan orang-orang sholeh,” pinta saya berulang.
Raudah. Sekeping taman surga yang ada di bumi. Selalu disesaki para peziarah setiap hari. Semua datang untuk menuntaskan rindu. Mengharap syafaat dari manusia terkasih.
Saya pertama kali datang ke Raudah saat haji tahun 2006 lalu. Karena ikut gelombang kedua dengan kloter yang nyaris paling akhir, jadilah saya masuk kota Madinah dalam kondisi yang sudah sangat sepi. Hampir tiap hari ba’da Subuh selalu ikut berlari-lari supaya bisa masuk Raudah begitu pintu dibuka pertama kali.
Tidak seperti jamaah pria yang kapan saja bisa masuk Raudah. Jamaah perempuan dibatasi waktunya. Sehari hanya dua kali: ba’da Subuh sampai jam 11.00 dan ba’da Isya.
Jadilah pengalaman ke Raudah bagi jamaah perempuan sangat dramatis. Di antara derap langkah yang menderu, ditingkahi jerit tangis di sana-sini, ribuan perempuan dari berbagai bangsa berebut untuk shalat di secuil taman surga yang ditandai dengan karpet berwarna hijau.
Sebagai informasi, seluruh karpet yang digunakan di Masjid Nabawi berwarna merah. Kecuali karpet di Raudah yang berwarna hijau.
Bermacam pengalaman saya rasakan di taman surga ini. Sewaktu haji, saya pernah berdesak-desakan menahan arus manusia yang terus mendorong dari belakang. Sementara di depan saya ada orang yang sedang shalat. Berkali-kali saya berteriak, “Shali… shaliii… shaliii,” namun arus manusia tak juga berhenti.
Sampai akhirnya, khawatir terjatuh karena tak sanggup lagi menahan dorongan, saya langkahi orang yang sedang shalat tadi. Tepat saat saya melangkah, ia bangun dari sujudnya. Dan tubuhnya yang besar itu ternyata sanggup mengangkat saya yang berada di atasnya. Kalau pernah melihat reog Ponorogo, kurang lebih seperti itulah gambarannya. Saya pegang erat tubuhnya, sampai diturunkan lagi!
Kali lain, saat saya bangun dari sujud, pemandangan di depan terlihat gelap semua. Ternyata saya berada di dalam abaya seorang perempuan Arab yang sedang melangkahi saya.
Berulang umrah pun pengalaman yang saya rasakan berbeda-beda. Saya pernah menyaksikan perempuan Asia Selatan yang terpelanting jatuh menggelosor beberapa meter. Sampai panik saya berteriak, “Help her… Sister, help her!” Karena khawatir perempuan itu terinjak-injak.
Saya juga pernah mendengar suara tangisan yang begitu menyayat hati seorang perempuan berkerudung merah jambu. Entah apa yang ditangisinya. Tapi sampai sekarang pun hati saya masih pedih kalau mengingat tangisan pilunya.
Kalau ingin membaca cerita lengkapnya, semua ada di timeline saya tahun-tahun sebelumnya.
Biasanya saya selalu ke Raudah “kloter pertama”. Alias begitu pintu dibuka langsung ikut berebut berlari. Baru kemarin saya merasakan masuk Raudah menjelang pintu ditutup untuk perempuan sekitar pukul 11.00.
Ternyata, Subhanallah! Saya baru tahu kalau satu “kloter” sebelum “kloter” terakhir, jamaah justru diberi keleluasaan untuk berlama-lama di Raudah, karena akses pintu masuk telah ditutup, sementara yang di dalam belum disuruh keluar.
Saya bisa shalat berulang-ulang. Berdoa sangat lama. Menderaskan air mata sepuasnya sampai hilang sesak di dada. Merenungi dosa-dosa yang memberatkan langkah selama ini.
Sungguh, saya belum pernah berada di Raudah sepuas ini.
Maka benarlah pepatah, ketika cinta bersabar, akan berbuah berlama-lama di taman surga.
Raudah, 30/12/2018
Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis Buku dan Traveller
IHRAM