Syekh Umar Hafal Alquran Sejak Usia Sembilan Tahun

Berkah keluarga Syekh Umar lahir dari keluarga yang taat menjalankan agama. Tak hanya Syekh Umar, banyak dari keluarga besarnya yang menjadi ulama. Sejak kecil, ia telah berguru pada ulama-ulama ternama di negerinya.

Setidaknya, ia telah menimba ilmu kepada lebih dari 70 ulama andal di kawasan jazirah Arab. Sebagian besar ulama Hadramaut telah ia datangi untuk menimba ilmu dari mereka.

Dari sekian nama gurunya, yang tersohor adalah Syekh Abubakar bin Abdullah al-Khatib, Abdur Rahim bin Abdullah bin Salim al-Khatib, Habib Abdur Rahman bin Ubaidillah as-Segaf, Habib Alwi bin Abdur Rahman al-Seri, dan masih banyak lagi. Akan tetapi, guru yang paling ia segani dan kenang sepanjang masa adalah Habib Abdullah bin Idrus bin Alwi Al Idrus.

Umar kecil sudah menunjukkan kemampuan dan kecerdasan dalam mempelajari syariat Islam. Ia berhasil menghafal Alquran pada usia yang relatif muda, yakni sembilan tahun. Kemampuannya menguasai gramatikal bahasa Arab juga tak diragukan, seperti balaghah, nahwu, dan syair.

Kredibilitas intelektual Syekh Umar pun tersiar seantero Tarim. Sejumlah ula ma pernah menawarkanya untuk me megang jabatan sebagai qadi di kota tersebut. Akan tetapi, karena merasa masih belum sanggup maka ia menolak tawaran dengan bijaksana.

Pada 1935, Syekh Umar memutuskan untuk berhijrah ke luar negeri, yakni ke Singapura. Selain untuk mencari penghidupan yang lebih baik, ia pun telah berniat mendakwahkan Islam di negeri ini. Ia memulai hidup di Singapura dengan bekerja sebagai pegawai di salah satu lembaga pertanahan.

Kemudian, dia mencoba berdagang secara kecil-kecilan. Tetapi, sesibuk apa pun dia dengan urusannya, dia tetap tidak mengenyampingkan perhatiannya terhadap majelis ilmu.  Ia selalu menyempatkan mengikuti majelis pengajian. Pada 1967, ia memutuskan berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan juga memperdalam ilmu agama.

Kurang lebih 10 tahun ia di Tanah Suci, sebelum akhirnya kembali lagi ke Singapura pada pertengahan 1977 dan kembali memperkokoh dakwah di Negeri Singa Putih itu.

 

sumber: Republika Online

Taman Surga Rasulullah di Masjid Nabawi

Bagi Muslim yang berkunjung ke Kota Nabi, Raudhah adalah idola. Bagaimana tidak, Rasulullah Muhammad SAW menyebut area seluas 22 kali 15 meter tersebut adalah salah taman di antara taman-taman surga.

Area “taman surga” di Masjid Nabawi menempati ruangan antara kamar Nabi (sekarang menjadi makam Nabi Muhammad dan khalifah Abu Bakar Sidiq dan Umar bin Khatab) dan mimbar untuk berdakwah di dalam masjid lama. Tentu, luasnya yang hanya 144 meter itu tak sebanding dengan ribuan bahkan jutaan jamaah yang ingin berebut masuk ke sana.

Kamis (20/8), barulah saya bergegas menuju Masjid Nabawi sebelum azan berkumandang. Saya dan teman satu kamar di penginapan, Sunu Hasto Fahrurrozi (Koran Sindo) dan Wawan Isab Rubiyanto (Liputan6.com), berjalan kaki menuju Nabawi.

Saat mencapai dekat area Raudhah, kami menabrak bentangan tirai putih setinggi dua meter yang ujungnya terikat tali tembaga (sling) di pilar masjid.

Tak tampak oleh kami tiang-tiang putih dengan ornamen kaligrafi yang khas dan juga karpet berwarna hijau sebagai penanda Raudhah. Semua karpet di Masjid Nabawi berwarna merah. Satu-satunya area yang memiliki warna karpet berbeda adalah Raudhah.

Saya hampir putus asa. “Ahh…ternyata belum bisa ke Raudhah saat ini,” begitu batin saya berbunyi. Saya lantas menghukum diri saya dengan kesimpulan, “Mungkin inilah “hukuman” yang diberikan Allah SWT karena saya tiba di masjid saat iqamah. Saya tidak mendapatkan kaki saya di dalam Masjid Nabawi sebelum atau saat azan berkumandang!”

Tapi, saya ingat betul, sejak keluar kantor misi haji Indonesia sampai Masjid Nabawi, saya tak berhenti membatin, “Assalamu’alaika Ya Rasulullah… Assalamu’alaika Ya Rasulullah...”

Tiba-tiba, saya melihat di ujung tirai di sebelah kanan saya menghadap arah Raudhah ada petugas kebersihan yang membuka sedikit tirai untuk dia berjalan. Beberapa jamaah mengambil kesempatan ikut masuk melalui celah itu sambil berpegang ke pilar masjid.

Saya ikut di belakangnya dan akhirnya berhasil masuk. Begitu juga dua kawan saya. Melihat jamaah mulai berdesakan ingin masuk juga melalui celah itu, seorang askar kemudian menutup dan meminta jamaah menjauhi tirai itu.

Alhamdulillah, saya ternyata sudah berada di atas karpet merah yang hanya berjarak beberapa meter dengan area Raudhah. Di situ, sudah penuh jamaah. Apalagi di area karpet hijau. Sudah tidak ada tempat yang bisa digunakan untuk tambahan jamaah lainnya shalat di sana.

Saya dan dua kawan saya masih berdiri tepat di sisi karpet hijau menunggu ruang kosong. Tidak sampai setengah menit, saya melihat di bagian depan Raudhah ada yang kosong.

Saya pun masuk dan langsung shalat dua rakaat di sana. Dua kawan saya menyusul. Saya dan Sunu duduk bersebelahan. Sedangkan Wawan mendapatkan tempat di belakang saya. Berjarak satu shaf.

Saya bisa merampungkan shalat sunah dua rakaat di Raudhah. Saya pun melanjutkan dengan berdoa kira-kira 40 menit. Saya pun menyampaikan salam dari keluarga, para tetangga, dan kenalan di Tanah Air kepada Rasulullah SAW seperti yang diamanahkan mereka. Setelah itu, saya berpindah tempat dan melanjutkan berdoa.

Selesai berdoa, saya membaca Alquran. Belum usai 56 ayat surat Albaqarah, kemudian ada petugas yang menepuk pundak saya dan mengatakan, Ya Hajj.. Khair…Khair...sambil memberi kode tangan dan meminta saya keluar.

Usai merampungkan bacaan ayat ke 56 Al Baqarah, saya pun beranjak dan pindah ke bawah pilar yang lurus dengan mimbar nabi. Saya menyempatkan shalat dua rakaat lagi dan berdoa. Setelah itu, barulah saya keluar dari Raudhah.

Tak terasa, satu jam saya berada di Raudhah. Menangis bermunajat dan memohon ampun atas semua khilaf dan dosa. Meminta semua keluarga saya diberi kesempatan bisa datang ke Tanah Suci. Terima kasih, Ya Allah atas kesempatan tak terbayangkan ini.

Salam alaika, Ya Rasulullah. Sambungkan kerinduan diri ini atas dirimu dengan kembali mengizinkan saya berada di dalam taman surgamu kelak.

 

sumber: Republika Online

Teliti Sebelum Unduh Aplikasi Alquran di Ponsel

Para alim ulama menyarankan agar umat Muslim lebih teliti lagi dalam memeriksa dan memilih Alquran digital. Ini dilakukan agar tidak mengunduh aplikasi Alquran yang keliru dalam aspek penulisan.

Ketua Ikatan Dai Indonesia KH Ahmad Satori Ismail mengakui banyak menemukan kesalahan itu. Kesalahan dalam penulisan tersebut diantaranya penulisan yang seharusnya terpisah dan ditulis sambung, dan sebaliknya yaitu penulisan yang seharusnya disambung tapi malah ditulis terpisah.

“Satu kesalahan yang terjadi akan mempengaruhi seluruh makna yang terkandung dalam ayat atau surat di Alquran tersebut,” kata dia, Senin (24/8).

Yang lebih parah, kata dia, sejumlah kesalahan tersebut tidak terjadi di satu aplikasi atau dalam satu jenis telepon genggam saja melainkan terjadi di cukup banyak aplikasi dan sejumlah telfon genggam yang banyak digunakan oleh masyarakat, khususnya umat Muslim Indonesia.

Kiai Satori menyarankan agar umat Islam mengikuti perkembangan dari pemeriksaan para alim ulama atau pakar Alquran. Hal tersebut, harus dilakukan oleh umat demi menghindari umat dari tersebarnya Al Qur’an digital yang salah.

“Harus mencari model lain dan harus dilakukan karena untuk menghindari kesalahan,” kata dia.

 

sumber: Republika Online

Bersyahadat Bisa Kapan Saja dan di Mana Saja

Ketua Mualaf Center Indonesia Steven Indra Wibowo mengungkapkan bahwa para mualaf bisa mengucapkan syahadat kapan saja dan di mana saja.

“Selama tempat itu bersih dari najis, syahadat bisa di mana saja dan kapan saja,” kata dia, Rabu (12/8).

Hidayah dari Allah SWT, ujarnya, memang bisa datang tanpa bisa diduga oleh manusia, dan bisa terjadi pada siapapun, dimanapun dan kapanpun Allah SWT menghendakinya. Maka, seorang manusia juga tidak bisa memperkirakan kapan dan di mana seseorang mendapatkan hidayah, serta memiliki keinginan untuk memeluk Islam.

Hal itulah yang diyakini betul oleh Steven sering membimbing para mualaf di tempat-tempat umum, termasuk tempat-tempat nongkrong. Menurutnya, tidak masalah berada dimana saja, kapan saja, selama tempat tersebut suci dari najis, ia akan mensyahadatkan siapaun yang mendapatkan hidayah.

Pengalaman pahit yang pernah ia alami saat mencoba memualafkan sanak keluarganya, semakin meneguhkan niatnya untuk tetap mensyahadatkan orang di manapun dan kapanpun ia bisa.

Kala itu, orang yang sebenarnya sudah ingin memleuk Islam, harus terlebih dahulu dijemput oleh maut, hanya karena ingin bersyahadat dalam Masjid Istiqlal.

Mulai saat itulah, Indra memutuskan untuk bisa mensyahadatkan orang di manapun dan kapanpun sesegera mungkin, selama tempat untuk bersyahadat tersebut bersih dari najis.

Akhir Pekan yang Panas di Masjidil Haram

Seorang bapak tampak menggandeng dua anak laki-laki masuk ke dalam Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi. Ketiganya tampak mengenakan ihram putih.

Si ayah mengulurkan plastik kepada seorang anaknya. Anak tersebut menyambut dan memasukkan sandalnya ke dalam plastik tersebut. Begitu pula dengan anaknya yang kedua. Lalu, si ayah melakukan hal serupa. Selanjutnya, mereka masuk ke dalam Masjid Haram melalui Baabul Malik Fahad.

Shubuh baru saja lewat di Masjid Haram pada Jumat (21/8). Langit masih tampak biru dan belum terlihat semburat jingga, tapi Baitullah sudah terlihat ramai. Ayah dan anak tersebut bukan satu-satunya keluarga yang mengisi akhir pekan dengan beribadah di Masjid Haram. Keluarga-keluarga lain juga memanfaatkan pelataran Masjid Haram untuk bercengkerama.

Jumat memang merupakan hari pertama akhir pekan di Arab Saudi. Tidak seperti di Indonesia yang mempunyai hari libur kerja pada Sabtu-Ahad. Hari libur di Arab Saudi adalah Jumat dan Sabtu sehingga hari kerja dimulai dari Ahad hingga Kamis.

Jika banyak keluarga di Jakarta mengisi akhir pekan di taman seperti Monumen Nasional (Monas), maka keluarga di Makkah pergi ke Masjid Haram. Masjid pun menjadi ruang berinteraksi. Berbagai aktivitas pun dilakukan keluarga-keluarga itu untuk menikmati Jumat pagi di Masjid Haram.

Sebagian membawa anaknya dengan pakaian ihram untuk beribadah seperti si bapak dengan dua anaknya. Namun, ada pula keluarga yang membawa anak-anaknya ke Masjid Haram untuk aktivitas lain seperti rekreasi. Hampir di setiap sudut pelataran Masjid Haram terdapat anak-anak asyik bermain.

Seorang anak kecil berkaos kuning dan bercelana pendek tampak berlarian dengan anak laki-laki lain. Si anak berkaos kecil memiliki tubuh lebih kecil daripada si anak laki-laki lainnya.
Sembari tertawa, si kecil berlarian untuk menghindari kejaran si anak laki-laki yang bertubuh lebih besar. Si kecil sesekali berhenti untuk memancing si besar untuk mendekat. Dia langsung berlari ketika si besar mendekat.

Tidak jauh dari mereka, dua orang perempuan dan seorang laki-laki sedang mengobrol sembari menggelar kudapan. Sesekali, mata satu dari dua orang perempuan itu melihat ke arah dua anak tersebut. Dia tampak mengawasi.

Di sudut lain, empat orang anak, dua laki-laki dan dua perempuan, juga saling bertukar canda. Tawa lepas terlihat dari wajah-wajah mungil itu. Dua orang perempuan dewasa juga duduk tidak jauh dari anak-anak tersebut.

Ada pula seorang anak berusia remaja membantu ayahnya mengambil air zam-zam dalam wadah berukuran lima liter. Ada empat wadah yang dia bawa bersama si ayah. Tak cuma untuk minum, beberapa orang juga terlihat menggunakan air zam-zamu untuk membahasi wajah dan kepalanya.

Air zam-zam memang mudah ditemukan di semua pojok kompleks Masjid Haram. Di pelataran, air zam-zam disediakan dalam bentuk pancuran sehingga orang dengan mudah mengisi ulang botol-botol mereka. Namun, ada pula yang dalam bentuk dispenser. Air zam-zam sanggup melepas dahaga ketika suhu di Makkah mulai naik.

Rombongan kecil keluarga ini mulai berkurang ketika suhu mulai naik seiring dengan ‘pergerakan’ matahari. Pada pukul 06.00 Waktu Arab Saudi, papan pengukur temperatur di Baitullah menunjukkan 35 derajat Celsius. Udara yang hangat dengan sapuan angin membuat Makkah terasa sejuk.‎

Ketika jarum jam menunjukkan pukul 10.00 Waktu Arab Saudi‎, suhu meningkat menjadi 44-45 derajat Celsius. Udara panas pun mulai terasa di kulit.

Pancaran sinar matahari membuat beberapa orang memilih mengenakan kacamata hitam. Sebagian lainnya memicingkan mata menghindari teriknya matahari. Namun, hembusan angin membuat keringat tidak tinggal berlama-lama di kulit.‎

Kendati demikian, semakin siang justru jamaah semakin ramai. Panas tidak menyurutkan jamaah masuk ke dalam Masjid Haram.

Jamaah dari berbagai negara terlihat masuk memadati Masjid Haram. Mereka dapat dengan mudah dikenali dari atributnya seperti jahitan bendera di kain ihram atau tas. Ada juga yang mengenakan gelang dengan aksara khas negara mereka.

Para jamaah tersebut didominasi dari Bangladesh, Pakistan, Mesir, dan Tiongkok bergegas untuk melakukan ibadah umrah. Sebagian besar berjalan dalam kelompok kecil empat sampai lima orang hingga kelompok besar sebanyak 20 orang.

Jamaah haji Indonesia gelombang pertama baru akan memasuki Makkah pada 30 Agustus 2015. Saya pun tidak sabar menunggu mereka datang ke Baitullah. Seperti halnya jamaah dari negara lain, jamaah asal Indonesia juga akan dikenali melalui atributnya, yaitu batik.

Namun, apapun atributnya dan bentuk simbol yang dipertukarkan, keindahan Masjid Haram adalah kita menuju tempat yang sama dan menyembah Allah SWT yang satu.

 

sumber: Republika Online

Nenek Ini Sudah 20 Kali Tunaikan Ibadah Haji

Di antara 435 jamaah calon haji kloter I embarkasi Jakarta yang diberangkatkan hari ini, Hj Rajawali (60) adalah satu-satunya orang yang telah berhaji sebanyak 20 kali.

“Saya sudah 20 kali berangkat bawa jamaah dari KBIH Arridwan,” ujarnya kepada wartawan di Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur, Jumat (21/8/2015).

Rajawali adalah dari pembimbing jamaah calon haji dari Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) Arridwan. Jabatannya sebagai pembimbing itulah yang membuat bisa berulang kali berangkat ke Tanah Suci.

Dari pengakuannya, kali ini dia membawa serta dua jamaah lain dari biro perjalanan haji miliknya. Walau usianya sudah kepala enam dan kini memakai kursi roda, Hj Rajawali mengaku tetap semangat menemani dua jamaah haji tersebut.

Selain itu, Rajawali juga berharap Allah SWT memberi kesehatan dan rezeki yang cukup untuk melaksanakan rukun Islam kelima itu.

Dirinya juga mengakui tahun ini perjalanan haji lebih mudah dari tahun-tahun sebelumnya. Menurutnya, selain mendapat uang saku, fasilitas yang diberikan pemerintah pun kini lebih baik dari dulu.

“Menteri agamanya enggak ada masalah. Baru tahun ini mudah sekali, murah juga, penerbangan diturunin langsung di Madinah, makan dijamin, dikasih uang saku juga 1.500 riyal. Ongkos juga enak lebih murah dari tahun lalu,” tandasnya.

sumber: Okezone

Ketekunan Sunar, Kuli Angkut yang Menabung selama 15 Tahun untuk Berhaji

Ketekunan Sunaryanto (53), warga Kulonprogo, DIY, membuahkan hasil. Setelah menabung selama 15 tahun, pria yang berprofesi sebagai buruh gendong atau kuli angkut ini akhirnya naik haji.

Sunar, panggilan Sunaryanto, bekerja di Pasar Bendungan, Kecamatan Wates, Kulonprogo. Pasar ini terletak sekitar 100 meter dari rumah Sunar. Sebagai kuli angkut, dia dapat mengumpulkan uang sebesar Rp 25 ribu hingga Rp 30 ribu per hari.

“Saya tabung Rp 10 ribu. Sisanya untuk keperluan keluarga di rumah dan memberi uang saku anak saya yang kuliah,” ungkap Sunar kepada wartawan di rumahnya, Dusun Bendungan Kidul, Wates, Kulonprogo Jumat (21/8/2015).

Sunar tidak pernah mematok ongkos jasa angkut. Berapapun bayarannya, dia ikhlas. “Mau memberi Rp 1.000, Rp 2.000, Rp 5.000, berapapun saya terima. Semua pedagang di pasar sudah kenal semua, sudah seperti saudara saja,” katanya.

Saat mengetahui tahun ini bisa berangkat haji, Sunar bersujud syukur. Sesegera mungkin, dia memenuhi semua persyaratan, termasuk melakukan pelunasan.

“Banyak tetangga dan para pedagang di pasar yang mengetahui akan berhaji banyak yang minta didoakan,” ungkapnya.

Selain bekerja di pasar, Sunar adalah takmir Masjid Al Fallah di dusunnya. Dia menjadi petugas kebersihan masjid. Jumat pagi, dia bersama salah seorang rekannya juga sedang mengepel lantai masjid sebelum digunakan untuk salat.

“Kami sekeluarga tidak pernah meninggalkan salat wajib, salat sunat, dhuha maupun salat tahajud. Saat ini saya sudah mempersiapkan fisik maupun mental agar bisa fokus ibadah di tanah suci nanti,” katanya.

Sunar yang tergabung dalam Kloter SOC 28 bersama jamaah asal Kulonprogo dan Sleman itu akan berangkat pada gelombang pertama, tanggal 30 Agustus 2015 melalui Embarkasi Haji Donohudan Solo/Bandara Adi Soemarmo Solo menuju Madinah.
(bgs/try)

ISIS dan Apalah Arti Sebuah Nama…

Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

‘’Apalah arti sebuah nama?,’’ kata sastrawan Inggris William Shakespeare. ‘‘Meskipun kita menyebut mawar dengan nama lain, wanginya akan tetap harum.’’

Namun, bagi Abu Bakar al Baghdadi, nama adalah sangat penting. Ia seperti merek dagang sebuah produk. Ia adalah alat untuk propaganda atau promosi (ad di’ayah). Karena itu, dua tahun lalu, atau tepatnya pada April 2013,  ia pun merasa perlu mengubah nama kelompoknya menjadiad Daulah al Islamiyah fi al Iraq wa as Suriyah. Ia juga mendeklarasikan dirinya sebagai Sang Khalifah dengan sebutan Amirul Mukminin.

Pers Barat pun ramai-ramai menggunakan nama Islamic State of Iraq and Syria sebagai terjemahan dari nama kelompok teroris al Baghdadi itu, yang kemudian dipendekkan (disingkat) menjadi ISIS. Penggunaan nama ini kemudian diikuti oleh media masa di berbagai negara, termasuk di Indonesia.

Penggunaan nama Negara Islam di Irak dan Suriah oleh media di berbagai negara tentu sesuai dengan keinginan Abu Bakar al Baghdadi. Mereka ingin memanfaatkan media, terutama media sosial, sebagai alat propaganda. Dengan nama itu, mereka seolah-olah merupakan pembela Islam terdepan di seluruh dunia untuk melawan orang-orang kafir, melawan hegemoni Barat, membela Arab Suni melawan Syiah, membela bangsa Arab melawan penguasa lalim, dan seterusnya. Namun, seiring jalannya waktu yang terjadi justru sebaliknya.

Faktanya, yang mereka lawan atau dianggap musuh bukan hanya orang-orang yang dicap sebagai kafir, non-Muslim, dan kelompok Syiah. Banyak orang-orang Islam, bahkan dari kelompok Suni sekalipun, yang mereka perangi dan mereka bunuh. Sejumlah bom bunuh diri yang mereka lakukan di Libia, Tunisia, Mesir, Gaza, dan terakhir di Turki, yang menjadi korban kebanyakan adalah orang-orang Islam Suni.

Karena itulah berbagai media Arab sejak awal menolak menggunakan nama ad Daulah al Islamiyah fi al Iraq wa as Suriyah, Islamic State of Iraq and Syria, atau bahkan ISIS. Menurut mantan Presiden Direktur Stasiun Televisi ‘Al ‘Arabiyah’, Abdurrahman al Rasyid, sejak awal media-media Arab telah menggunakan nama Da’isy untuk menyebut kelompok al Baghdadi, termasuk televisi yang ia pimpin itu.

Da’isy merupakan huruf awal atau singkatan dari ad Daulah al Islamiyah fi al Iraq wa as Suriyah. Namun, karena dalam bahasa Arab tidak dikenal yang namanya singkatan, media Barat pada awalnya menganggap nama itu sebagai ejekan untuk kelompok Abu Bakar al Baghdadi itu, sehingga mereka tidak ikut memakainya.

Al Baghdadi sendiri, menurut stasiun televisi ‘Al ‘Arabiyah’, menolak penggunaan nama Da’isy. ‘’Ia (al Baghdadi) menganggap nama itu sebagai penghinaan, karena tidak ada singkatan dalam bahasa Arab,’’ kata al Rasyid yang juga mantan pemimpin redaksi media al Sharq al Awsat. Saking marahnya al Baghdadi dengan sebutan nama itu, ia pun pernah memerintahkan mencambuk seorang anak yang menyebut negaranya dengan Da’isy.

Dalam sejarah kelompok garis keras, persoalan mengenai nama bukanlah baru sekarang ini terjadi. Sebelum 14 abad lalu, umat Islam juga sudah dipusingkan dengan kelompok seperti ISIS sekarang ini. Yaitu ketika muncul sebuah kelompok yang mengafirkan umat Islam lainnya dan tidak mengakui negara yang sah. Mereka menamakan diri sebagai Jama’atul Mukminin. Namun, umat Islam menyebut mereka sebagai al khawarij, yaitu kelompok radikal yang keluar dari mainstream Islam.

Kini sejarah terulang kembali. Sekarang ini kita dihadapkan pada persoalan ideologi yang tidak mungkin dilawanhanya dengan perang bersenjata. Ideologi harus dihadapi dengan ideologi. Termasuk dalam masalah ideologi ini adalah penggunaan nama. Nama yang baik, seperti nama-nama yang terkait dengan Islam, tidak dibenarkan bagi mereka yang menyandangnya berperilaku dengan yang bertentangan dengan nama itu.

Namun, dengan munculnya Negara Islam di Irak dan Suriah alias ISIS, nama-nama yang berhubungan dengan Islam pun ikut tercoreng. Misalnya penyebutan Islami, ekonomi Islam, partai Islam, busana Muslim/Muslimah, syariah, halal, sesuai syariat, gaya hidup Muslim, dan seterusnya. Penggunaan nama-nama ini, terutama di negara-negara berpenduduk mayoritas non-Muslim, bisa berkonotasi negatif.

Bagi ISIS, eh, Da’isy, penggunaan Negara Islam jelas mempunyai tujuan. Pertama, dengan membawa nama sebagai Negara Islam, mereka akan lebih mudah mempengaruhi (baca:merekrut) anak-anak muda untuk bergabung dengan mereka. Istilahnya, berjihad fi sabilillah. Bila mati, maka surga dan bidadari akan menanti. Siapa tidak kepincut? Kedua, untuk mumunculkan Islam phobia alias kebencian kepada Islam dan umat Islam di masyarakat  non-Muslim seperti di negara-negara Barat.

Dengan mengaitkan antara Islam dan aktivitas kelompok-kelompok radikal/teroris akan segera memberi kesan  kepada masyarakat non-Muslim di seluruh dunia bahwa Islam dan umat Islam identik dengan teror dan kekerasan. Pelaku kejahatan sungguh mudah untuk diidentikkan dengan agama, suku, warga negara, atau agama tertentu seperti yang terjadi pada Da’isy. Dan, hal inilah yang diinginkan oleh al Baghdadi dan kelompoknya. Tujuannya untuk menebar teror dan ketakutan di tengah masyarakat non-Muslim.

Abu Bakar al Baghdadi dan kelompoknya tampaknya paham betul psikologi umat Islam kebanyakan. Yakni, segala hal yang terkait dengan sebutan Islam akan segera menarik emosi mereka. Mereka – al Baghdadi dan kelompoknya – paham betul bahwa mayoritas umat Islam adalah orang-orang baik. Mereka orang-orang yang sederhana, namun kurang pengetahuan dan wawasan. Mereka anak-anak muda yang sedang mencari identitas dan eksistensi. Bisa saja mereka percaya bahwa ISIS berjuang untuk Islam karena menamakan diri sebagai Negara Islam di Irak dan Suriah serta menggunakan bendera bertuliskan ‘Allahu Akbar’.

Orang-orang yang terlibat dengan Da’isy adalah sangat pandai. Mereka telah dan terus bekerja keras untuk membangun imej di seluruh dunia, bahwa mereka mewakili Islam dan umat Islam. Mereka paham betul psikologi masyarakat yang menjadi sasaran. Degan mendeklarasikan kolompok mereka sebagai negara atau khilafah Islamiyah akan mudah mendapatkan respon positif dari umat Islam.

Karena itulah al Baghdadi dan kelompoknya selalu menyebut negara mereka secara lengkap sebagai Negara Islam di Irak dan Suriah alias ISIS. Dan, pada gilirannya, tanpa susah payah, media akan ikut menyebarkan serta mempromosikan Negara Islam mereka ke seluruh dunia, ketika menyebut negara mereka adalah negara Islam.

Inilah yang tampaknya membedakan Da’isy dengan organisasi-organisasi teroris lainnya. Alqaida misalnya, tidak pernah memikirkan dampak dari psikologi simbol. Tidak juga peduli dengan brand atau merek.

Jadi, apakah kita akan ikut mempromosikan organisasi teroris al Baghdadi dan kelompoknya dengan menyebut Negara Islam di Irak dan Suriah alias Daulah Islamiyah fi al Iraq wa as Suriyah atawa Islamic State of Irak and Syria atau ISIS?

 

Republika Online

Carolyn Erazo Mendapat Hidayah dari Pemakaman (2-habis)

Carolyn Erazo terbangun sangat awal untuk menemukan sebuah masjid yang telah ia cari sejak malam sebelumnya. Ia harus menuntaskan rasa ingin tahunya. Kali ini, perempuan Amerika itu ingin menjajaki Islam.

Perempuan itu mulai mengemudikan mobilnya di sekitar lokasi, tapi tak bisa menemukan masjid itu, padahal ia sudah memegang alamatnya. Singkat cerita, Carolyn sampai di masjid yang dia tuju. Jauh di lubuk hati, ia merasa agak ketakutan.

Kendati gemetar, Carolyn mendekati pintu dan membukanya. Seorang pria mendekati Carolyn lantaran ia berdiri di pintu masuk dan menanyakan imam masjid.

Ia diberitahu bahwa imam tidak ada di tempat, tapi ia meyakinkan bahwa mereka akan menghubunginya setelah imam datang. Carolyn menuliskan nomor dan bergegas keluar. Jujur, ia tidak yakin akan ditelepon.

Sebelum pergi, orang yang berbicara padanya sempat memperkenalkan nama sang imam. Abdul Lateef, namanya. Sejak keluar dari masjid itu, Carolyn harap-harap cemas, antara ingin ditelepon dan takut ditelepon. Kurang dari dua jam kemudian, ia tidak bisa percaya bahwa Imam Abdul Lateef benar-benar menelepon.

Ketakutannya segera terhapus mendengar suara di ujung telepon. Imam Abdul Lateef mengundangnya untuk datang dan bertemu dengan dia malam itu.

Carolyn kembali datang ke masjid. Ia segera mengulurkan tangan untuk menjabat tangan sang imam dan memperkenalkan diri. Tapi, dengan cepat imam itu menolak uluran tangannya, meminta maaf, sambil menjelaskan alasan.

“Saya ingat dengan jelas. Saya kira itu benar-benar hal pertama yang membuat saya terkesan,” kenang Carolyn. Kendati, ia merasa malu. Sampai-sampai, ia ingin marah pada bosnya lantaran tidak memberi tahu ada aturan itu sebelumnya.

Imam Abdul Lateef mengajaknya duduk dan menanyakan semua persoalan yang ia alami. Carolyn mulai menjelaskan bahwa ia sedang dalam masa pencarian. Ia sudah menjelajahi kekristenan dan mengungkapkan argumen mengapa ia gagal menemukan kebenaran dalam ajaran Kristen.

Imam Abdul Lateef tak banyak berkomentar. Ia membiarkan Carolyn mencurahkan segenap kerisauannya. Setelah usai, barulah Imam Abdul Lateef menjawab pertanyaan demi pertanyaan dengan runtut. Apa yang menjadi kegelisahan Carolyn selama ini mulai menemukan jawaban.

Saat ia perhatikan, apa yang dikatakan Imam tampaknya benar. Tak kurang dari dua jam, Carolyn terus membombardir Imam dengan berbagai pertanyaan. Ia ingin benar-benar meyakinkan diri atas pilihannya.

Ketika ia merasa cukup dan beranjak menuju pintu, Abdul Lateef berkata, “Terima kasih sudah mengizinkan saya menjadi bagian dari perjalanan Anda. Saya berharap, ketika Anda meninggalkan tempat ini, Anda tahu apakah Anda Muslim atau non-Muslim.”

Carolyn memikirkan kata-kata itu setiap  malam, selama lebih dari seminggu. Ucapan itu terngiang-ngiang dan membebani otaknya. Tiga hari berlalu, Imam Abdul Lateef kembali menelepon. Ia seolah tahu bahwa Carolyn sedang membutuhkan lebih banyak jawaban. Mereka berbicara panjang lebar hingga satu jam lewat telepon.

Selama beberapa bulan kemudian, Carolyn melahap berbagai literatur yang berkaitan dengan Islam. Ia harus tahu lebih banyak sebelum memutuskan. Agama ini masuk akal, kata Carolyn, tidak ada yang membuat perempuan itu meragukan kebenaran Islam.

Muslim juga tidak mengerikan, sebagaimana anggapan masyarakat. Bahkan, dalam beberapa hal, mereka lebih baik daripada orang-orang Amerika. Kendati, ada Muslim yang pernah melakukan aksi-aksi teroris seperti yang diklaim Barat dan Amerika, Alquran tidak mengajarkan itu.

“Bagaimana saya menjelaskannya? Tidak ada yang mengerti. Mayoritas di lingkungan saya mengatakan, Islam tidak sesuai dengan identitas kami,” kata Carolyn, yang berkulit putih dan asli Amerika.

Seandainya ia cocok dengan kekristenan, barangkali tidak masalah. Pasalnya, Carolyn merasa tidak cocok. Ia tidak bisa menolak takdir dan iman dia. Hati dan pikirannya terbuka untuk Islam, tapi ia masih belum memutuskan tekad. Ia membuat seribu satu alasan mengapa ia tak bisa. Termasuk, Ramadhan. Ia takut akan kewajiban puasa itu.

Carolyn ingat dengan jelas apa yang dikatakan Imam Abdul Lateef ketika ia mengungkapkan kekhawatirannya.

“Saudariku, Ramadhan seharusnya tidak menakut-nakutimu. Saya jamin, Anda akan bersyahadat sebelum Ramadhan berakhir,” kata dia.

Tebakan Imam Abdul Lateef benar! Dua minggu selepas Ramadhan, Carolyn Erazo bersyahadat.

Ia begitu gugup saat memasuki masjid untuk bersyahadat. Perasaannya tidak terlukiskan. Malam itu juga, ia menelepon Abdul Lateef. Imam itu hanya tertawa kecil. Ia percaya Carolyn tinggal menunggu momentum.

Kebahagiaan Carolyn menuai masalah saat orang-orang di lingkungan sekitarnya mengetahui keislaman perempuan itu. Ia mendapat banyak penentangan. Setiap ejekan seolah sengaja dilontarkan untuk membuat dia marah. Sepanjang waktu, Carolyn mencoba bertahan.

Juni 2015 ini, tepat tiga tahun Carolyn masuk Islam. Perempuan itu mengakui, seseorang tidak mungkin bisa hidup tanpa keyakinan dan iman. Ia mulai aktif di berbagai forum mualaf.

“Saya akan terus belajar memberikan respon-respon cerdas terhadap semua sentimen anti-Muslim yang dilemparkan pada saya,” ucapnya yakin.

 

 

sumber: Republika Online

Carolyn Erazo Mendapat Hidayah dari Pemakaman (1)

Sedari kecil, Carolyn Erazo sering berharap supaya tidak perlu pergi ke gereja meski  dididik dan dibesarkan dalam sebuah keluarga Kristen.

“Saya adalah tipikal gadis Amerika tulen,” katanya memulai cerita padaMuslim Village, Kamis (20/8).
Carolyn mengaku tidak senang dengan kegiatan yang dilaksanakan setiap hari Ahad itu. Ia tidak pernah percaya dengan apa yang diajarkan.

Ada banyak inkonsistensi tampak di hadapannya, tapi tidak sedikitpun terbersit keinginan di hati Carolyn untuk mencari tahu. Ia hanya sekadar berpikir, bagaimana kita bisa mempercayai apa yang tidak kita ketahui?

Apakah semua peristiwa benar-benar terjadi seperti yang dikisahkan Alkitab, atau jangan-jangan Alkitab itu hanya sebuah buku cerita yang terselip di antara deretan rak buku.

Beberapa tahun kemudian, Carolyn menghadiri sebuah retret gereja. Dari sanalah, awalnya Carolyn memiliki keinginan untuk melakukan perjalanan spiritual.

Ia merefleksi kejadian-kejadian yang telah lampau. Di satu sisi, ia bersyukur, semenjak kecil telah menerima banyak kemewahan. Tidak semua orang bisa mendapatkan apa yang ia dapatkan.

Pada hari terakhir retret, Carolyn berjalan menyusuri bukit besar hingga ke pantai dan terduduk memandangi lautan.

Perempuan itu sendirian. Ia begitu berharap Tuhan mengulurkan tangan dan menyentuhnya dengan penuh kasih. Sore itu, ia merasa telah datang kepada-Nya dengan segenap keyakinan bahwa Dialah satu-satunya penolong.

Carolyn menyatakan, peristiwa itu begitu membekas dan mengubah jalan berpikirnya. Ia memutuskan untuk tidak lagi mencari iman, yang menurut dia, tidak akan pernah dia temukan.

Saat itulah, mendadak air mata hangat mengalir di wajah Carolyn. Ia menyerah pada Tuhan. “Baik, kalau Dia melupakanku, aku juga akan melupakannya,” ujar Carolyn saat itu.

Selama tahun-tahun berikutnya, ia hidup tanpa iman. Ia belum menemukan jawaban apapun atas kegelisahannya. Setiap pertanyaan yang muncul malahan membuat Carolyn semakin marah lantaran tidak pernah ada jawaban.

Sampai kira-kira empat tahun lalu, hatinya terbuka kembali. Akhir Februari, ia tengah menghadiri sebuah upacara pemakaman. Carolyn takjub melihat sikap si ibu yang baru saja kehilangan anak di pemakaman itu.

Perempuan yang tengah berduka cita itu sanggup berbicara pada Tuhan dengan lapang dada, tanpa jerit tangis kesedihan.

Carolyn heran. Perempuan itu memahami kenyataan bahwa anaknya kini tenang bersama Tuhan. Sesuatu yang tidak dapat ia pahami. Ia menatap perempuan itu dengan iri. Si ibu itu pasti memiliki keimanan yang kuat pada Tuhan. Kesan itu tidak pernah pudar hingga beberapa hari kemudian.

Carolyn butuh waktu seminggu sampai ia memutuskan untuk melakukan perjalanan spiritual. Ia tidak bisa hanya terus-menerus mencari pembenaran. Ia harus menemukan Tuhan dan menjawab pertanyaan yang berkelindan di benaknya.

“Tentu saja, saya memulai perjalanan dari Kristen. Agama tempat saya dibesarkan,” kata Carolyn. Ia pun duduk di gereja selama berminggu-minggu untuk mendengarkan ceramah.

Tapi, nyatanya ia hanya mendapat sedikit percikan iman. Setelah beberapa bulan, Carolyn pun memperluas skala pencarian.

 

sumber: Republika Online