Abdurrahman bin Auf: Pengusaha Sukses yang Dijamin Masuk Surga

Siapa pun dapat masuk surga dengan potensi yang mereka miliki. Inilah yang dibuktikan oleh Abdurrahman bin Auf. Ia memiliki latar belakang perjuangan yang berbeda dengan tiga sahabat sebelumnya. Ia adalah ahli surga yang berasal dari kalangan pengusaha. Kecerdasannya dalam berbisnis membuat segala hal yang ia lewati menjadi peluang. Bahkan, ketika memindahkan sebuah batu ia berharap di bawah batu itu terdapat emas dan perak. Betapa ia sangat bersemangat dalam mencari uang. Lalu mengapa pengejar harta seperti Abdurrahman bin Auf dapat masuk surga bersama Isa bin Maryam?

Abdurrahman bin Auf termasuk garda terdepan penerima ketauhidan yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Ia adalah sahabat Abu Bakar dan termasuk orang kelima yang di Islamkanolehnya. Sebagai seorang pengusaha, ia tidak apatus dengan peperangan. Ia mendapatkan 20 hujaman dan giginya rontok dalam perang Uhud. Ia menyadari, pengorbanan yang harus diberikan kepada Islam bukan hanya harta tetapi juga jiwa.

Berhijrah ke Habasyah adalah salah satu tugasnya dalam menjalankan roda dakwah Rasulullah Saw. Sesungguhnya hijrah yang pertama dilakukan oleh kaum Muslimin adalah ke Habasyah. Mereka berpindah karena gangguan dari kaum musyrikin Quraisy yang semakin menjadi. Ada yang menganggap kepergiannya adalah refleksi dari kegentarannya menghadapi ujian keimanan. Namun, Allah Swt. Menjelaskan, hijrah adalah sesuatu yang diharuskan jika tantangan di tempat asal sudah sangat besar.

Dengan kemampuannya dalam berbisnis, Abdurrahman bin Auf juga membawa seluruh kekayaannya ketika berhijrah ke Madinah. Di perjalanan kekayaannya dirampas olehQuraisy, penguasa Mekkah. Ia dan Suhaib Ar Rumi kehilangan seluruh harta kekayaannya.

Dalam keadaan demikian, Abdurrahman bin Auf tidak menyerah. Rasulullah Saw. mempersaudarakan orang-orang yang berhijrah yang kebanyakan pedagang dengan orang-orang asli Madinah yang mayoritas petani. Di Madinah, Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan Sa’ad ibnu Arabi Alausani. Ia memberikan sebagian harta dan menawarinya seorang calon istri. Abdurrahman bin Auf hanya berkata, “Semoga Allah Swt. memberkahi hartamu dan keluargamu, tunjukkanlah kepadaku di mana pasar.”

Abdurrahman bin Auf memang pebisnis yang handal. Dengan modal secukupnya ia berjualan keju dan minyak samin, bangkit dan mampu menikah dengan salah satu perempuan Anshar. Setelah menikah dengan memberi mahar sebutir emas (seberat sebutir kurma) Rasulullah Saw memintanya mengadakan walimah. Ini adalah pertanda, pernikahan sesederhana apa pun harus dilanjutkan dengan walimah meskipun hanya dengan menyembelih seekor kambing.

Rasulullah Saw juga sangat menghargai kemandirian Abdurrahman bin Auf dalam hal ekonomi. Rasulullah Saw, bersabda, “Seorang yang mencari kayu lalu memanggulnya lebih baik daripada orang yang mengemis yang kadangkala diberi atau ditolak. (H.R. Bukhari)

Pesan ini membuat seluruh Muslimin yang ada di Madinah bangkit dan bekerja menjadi petani, pedagang, dan buruh. Tidak ada seorang pun yang menganggur, termasuk kaum perempuan.

Dalam beberapa waktu, Abdurrahman bin Auf menjadi orang kaya dan Rasulullah Saw, berkata kepadanya, “Wahai Abdurrahman bin Auf, kamu sekarang menjadi orang kaya dan kamu akan masuk surga dengan merangkak (mengingsut). Pinjamkanlah hartamu agar lancar kedua kakimu” (H.R. Al-Hakim).

Pernyataan itu membuat Abdurrahman bin Auf berpikir keras dan banyak menginfakkan hartanya di jalan Allah Swt. Ia berkata, “Kalau bisa aku ingin masuk surga dengan melangkah (berjalan kaki)”. Ia berlomba dengan pebisnis lain, yaitu  Ustman bin Affan dalam bersedekah. Abdurrahman bin Auf memberikan separuh hartanya untuk dakwah Rasulullah Saw.

Rasulullah Saw berkata, “Semoga Allah Swt memberkahi apa yang kamu tahan dan kamu berikan.“ Abdurrahman bin Auf hartanya menjadi berlipat ganda sehingga ia tak pernah merasa kekurangan.

Setelah Abdurrahman bin Auf bersedekah, turunlah firman Allah Swt, “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah Swt kemudian ia tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan menyakiti perasaan (si penerima), mereka mendapat pahala di sisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula merasakan bersedih hati.”

Sebelum wafat, Abdurrahman bin Auf menginfakkan 400 dinar hartanya untuk peserta perang Badar  yang masih hidup. Setiap orang mendapatkan empat dinar termasuk Ali R.a. dan Ustman R.a. Ia juga memberikan hadiah kepada Umul Mukminin (janda-janda Nabi Saw). Aisyah R.a. pun berdo’a untuknya, “Semoga Allah Swt memberi minum kepadanya air dari mata air salsabila di surga”.

Abdurrahman bin Auf wafat dalam usia 75 tahun. Ia dishalatkan oleh saingannya dalam berinfak di jalan Allah Swt, yaitu Ustman R.a. Ia di usung oleh Sa’ad bin Abi Waqqas ke pemakaman Al Baqi. Setelah Abdurrahman bin Auf wafat, Ali berkata, “Pergilah wahai Ibnu Auf, kamu telah memperoleh kejernihan dan meninggalkan kepalsuan (keburukannya)”. (H.R. Al-Hakim)

Abdurrahman bin Auf telah genap memperoleh segala kebaikan dari hartanya, dan meninggalkan segala keburukan yang ada pada harta dunia.

[Bernard Abdul Jabbar]

 

 

Ya Allah, Sampaikan Salamku pada Rasulullah

ZAID bin Datsinah RA, seorang sahabat Anshar yang termasuk dalam kelompok sepuluh sahabat dibawah pimpinan Ashim bin Tsabit. Kelompok sahabat ini dikirim Nabi SAW untuk mematai-matai kaum Quraisy (atau dalam riwayat lain, atas permintaan Bani Adhal dan Qarah untuk mendakwahi kaumnya). Kemudian mereka ini dikhianati sehingga terjadi pertempuran tidak seimbang dengan 100 orang kafir, delapan orang menemui syahidnya, Zaid bin Datsinah dan Khubaib bin Adi tertawan, dan dijual kepada orang-orang Quraisy di Makkah. Zaid dibeli oleh Shafwan bin Umayyah dengan harga 50 ekor unta.

Pada waktu yang ditetapkan untuk eksekusi, Zaid dibawa ke suatu tempat di luar Masjidil Haram. Orang-orang telah berkumpul untuk melihat hukuman mati yang akan dijatuhkan kepada Zaid. Sebagian orang-orang kafir melemparinya dengan anak panah sambil membujuknya kembali murtad. Tetapi ia tidak bergeming sedikitpun dan memasrahkan dirinya kepada Allah.

Abu Sufyan bertanya kepadanya, “Maukah kau, jika kepalamu yang akan dipenggal ini digantikan dengan kepala Muhammad, dan kamu dibebaskan sehingga bisa berkumpul dan bergembira bersama keluargamu?”

Tetapi Abu Sufyan dan orang-orang kafir itu memperoleh jawaban yang mengejutkan, Zaid berkata, “Demi Allah, kehidupanku bersama keluargaku tidak akan menjadi senang, jika aku membiarkan duri sekecil apapun menusuk badan kekasihku, Muhammad.”
Abu Sufyan berkata, “Kasih sayang yang ditunjukkan sahabat-sahabatnya kepada Muhammad tidak ada bandingannya.”

Shafwan telah menugaskan salah satu hamba sahayanya bernama Nisthas untuk membunuh Zaid, ia menikam tubuh Zaid dengan lembing sehingga menemui syahidnya. Sebelum ajal menjemputnya, ia sempat berkata, “Ya Allah, sampaikan salamku kepada Rasulullah SAW.”

Nabi SAW yang berada di Madinah mendengar salam yang disampaikannya lewat malaikat Jibril, dan beliau membalasnya, sambil mengabarkan pada sahabat-sahabat lainnya tentang pembunuhan Zaid dan Khubaib oleh orang kafir Quraisy.

 

Referensi: 101 Sahabat Nabi/Hepi Andi Bustomi/Pustaka Al-Kautsar

sumber: Islam Pos

Lima Fase Hidup Nabi yang Perlu Kita Teladani [2]

Sambungan artikel PERTAMA

 

Berdagang

Beliau mengikuti perjalanan berdagang ke luar dari Mekkah dua kali, yang pertama bersama dengan pamannya Abu Thalibketika beliau. berumur 12 tahun, perjalanan yang ke dua ketika beliau berumur 25 tahuny untuk melakukan perdagangan dengan harta Khadijah ra. Kedua perjalanan tersebut ke kotaBashrah di syam, dalam kedua perjalanan tersebut beliau mendengarkan percakapan yang dilakukan para pedagang, dan beliau menyaksikan peninggalan-peninggalan negeri yang dilewatinya begitupun adat istiadat (kebiasaan) yang di lakukan oleh para penduduknya.

Apa yang didapat Muhammad dari pekerjaan barunya itu? Selain menumbuhkan kesadaran akan tanggung jawab yang lebih besar, Beliaudituntut membuktikan bahwa kejujurannya tidak lekang oleh panas maupun hujan, juga tidak tergantung pada tempat dan waktu, bersifat universal (menyeluruh). Kegiatan ini juga memberikan penekanan bahwa sebaik-baik harta adalah yang didapat dari usaha sendiri.

Berdagang juga memberikan sebuah pegalaman baru, yaitu tentang dunia perekonomian, di mana perdagangan merupakan proses perputaran kegiatan ekonomi, kegiatan yang penuh tipu daya dan strategi, sehingga Muhammad tertempa menjadi pribadi yang kritis dalam menanggapi perubahan. Memiliki daya saing yang sehat.   Menyentuh wilayah ini sama halnya menyentuh semua bagian kehidupan.   Fase ini mepertajam sifat amanah.

Ber-Khadijah

Pada usia 25 tahun Nabi menikah dengan Siti Khadijah binti Khuwailid. Seorang wanitaQuraisy terhormat, konglomerat dan suci. Dari pernikahan dengan beliau Siti Khadijahmelahirkan dua putra yang kemudian meninggal di masa kanak mereka. Dan melahirkan empat putri : Zainab, Ruqayah, Ummu Kultsum dan Fatimah.

Hal yang tidak diperkirakan orang tentang Khadijah adalah pengabdian yang tulus kepada agama. Khadijah juga merupakan pendukung pertama gerakan dakwah, dan tetap setia hingga masa kematiannya. Hartanya yang melimpah, keseluruhannya disumbangkan secara maksimal demi kemajuan Islam. Sosok Khadijah merupakan simbol yang memang sangat dibutuhkan untuk memajukan dakwah sepanjang zaman.

وَوَجَدَكَ عَائِلاً فَأَغْنَى

“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.”(QS: Adh Dhuha: 8).

Selain itu juga, menjadi suami Khadijah merupakan penempaan bagi Muhammad untuk bisa melayani ummatnya sepenuh hati. Perbedaan usia antara keduanya ini gampang sekali menimbulkan sikap mentang-mentang. Sementara bagi Muhammad sendiri harus bisa menjaga sikap dan perkataannya demi tidak menyinggung perasaan istrinya, sekecil apapun. Lagi-lagi pemuda ini dituntut untuk menjauhkan diri dari sikap sombong. Berkeluarga sebagaimana umumnya merupakan bertujuan untuk melangsungkan hidup dan berketurunan, namun itu bukan tujuan utama. Pada kenyataannya tujuan utama hidup adalah menuju Yang Mahahidup. Fase ini menumbuhkan sikap tabligh dan fathanah, yaitu sifat yang mampu membawa misi hidup dan berfikir strategis.

Ber-gua Hira’

Pada usia 35 tahun, 10 tahun setelah melewati fase berdagang, beberapa tahun sebelum beliau  di utus menjadi seorang rasul Allah menjadikan beliau senang untuk berkhalwat(menyepi untuk beribadah) di Gua Hira (sebuah gunung yang terletak di sebelah barat laut di Makkah). Beliau berkhalwat  untuk memikirkan karunia-karunia  Allah dan mencari solusi tahapan untuk memulai menggulirkan perbaikan, penyelamatan, pengabdian, terhadap bangsanya yang terjangkiti penyakit moral yang sangat akut.

Khalwat/ tahanust adalah kecendrungan diri kepada   Allah Subhanahu Wata’ala dengan mengikuti agama Ibrahim. Dengan berkhalwat itu secara langsung juga menumbuhkan kekuatan jiwa, kebersihan hati, dan menghimpun kekuatan berfikir serta keberanian. Disamping itu bertahanus juga menjadi benteng pertahanan diri guna persiapan menerima wahyu pertama maupun wahyu berikutnya, tanpa merusak fisik dan mengganggu paksa hak-hak orang lain.

Saat menyendiri di Goa Hira itulah ia mendapatkan jawaban jalan keluar dan petunjuk dari Tuhannya.

وَوَجَدَكَ ضَالّاً فَهَدَى

“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.” (QS. Adh Dhuha: 7)

Kelima tahapan inilah yang mengantarkan Muhammad pada gerbang kenabian. Secara substansial, pada skala yang lebih kecil, tahapan seperti ini juga akan dilalui siapapun yang menginginkan dan memperoleh hidayah (petunjuk)  Allah Subhanahu Wata’ala.

Sifat mandiri dan rendah hati, suka bekerja keras, tidak mendahulukan nafsu badani dan serius mencari kebenaran hakiki dengan segala cara, merupakan prasyarat agar hidayah itu merasuk kedalam sanubari. Sebab, lawan dan sifat-sifat itu semuanya akan cenderung merusak, dan bila demikian maka tidak akan membawa kesejahteraan bagi manusia dan alam semesta.

Ibnu Taimiyah pernah mengatakan, “Orang yang terkekang adalah yang terhalang dari ma’ rifatullah. Dan orang yang tertawan ialah orang yang ditawan hawa nafsunya.”

Paripurna

Al-Quran hanya bisa tumbuh pada hati yang bersih dan suci. Tidak terkontaminasi pangkal dosa. Yaitu sombong, serakah, dan hasud. Tidak dapat menyentuh Al-Quran kecuali orang-orang yang suci. Steril dari kepentingan syahwat. Karena itu di dalam menerima nilai-nilai wahyu dibutuhkan persiapan-persiapan ruhaniyah.

Rosulullah dapat menerima Al-Quran secara paripurna karena jiwa beliau sudah terhantar sedemikian rupa, sehingga klop dengan nilai Al-Quran. Beliau telah diberi kemampun mengaktualisasikan secara pribadi maupun sosial.

Ada syarat yang harus dipenuhi agar seseorang dapat berquran dengan baik, antara lain, menjauhi sifat sombong (thagha’), tidak cinta dunia, menahan hawa nafsu dan takut kepada Tuhan.

فَأَمَّا مَن طَغَى

وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا

فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى

فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى

“Adapun orang yang melampaui batas, Dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, Maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).” (QS  An-Naazi’aat [79]: 37-41).*

 

 

Oleh: Shalih Hasyim

sumber: Hidayatullah

Lima Fase Hidup Nabi yang Perlu Kita Teladani [1]

Al-Quran hanya bisa tumbuh dengan subur pada hati yang bersih dan suci. Tidak dapat menyentuh Al-Quran kecuali orang-orang yang suci

 

IBARAT menanam tumbuhan, lahannya harus dipersiapkan terlebih dahulu. Tumbuhan akan tumbuh dengan baik apabila lahannya baik. Sebaliknya, tumbuhan akan kerdil bila tanahnya kering, bahkan tidak mustahil akan mati.

Al-Quran hanya bisa tumbuh dengan subur pada hati yang bersih dan suci. Tidak dapat menyentuh Al-Quran kecuali orang-orang yang suci. Pada hati yang suci Al-Quran akan hidup dengan kokoh dan membuahkan akhlak yang agung. Karena itu di dalam menerima nilai-nilai wahyu dibutuhkan proses, persiapan-persiapan ruhaniyah (mujahadah dan riyadhah). Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam dapat menerima Al-Quran secara paripurna karena jiwa beliau sudah terantar sedemikian rupa, sehingga klop  (connect) dengan nilai Al-Quran. Beliau telah diberi kemampun mengaktualisasikan secara pribadi maupun sosial.

Ada syarat yang harus dipenuhi agar seseorang dapat berquran dengan baik, antara lain ; menjauhi sifat sombong (thagha’), tidak cinta dunia, menahan hawa nafsu dan takut kepadaTuhan. Thagha akan menolak kebenaran yang datang karena merasa paling benar, cinta dunia akan mengalahkan imannya, hawa nafsu akan menghalangi hati dari petunjuk, dan orang yang tidak takut kepada  Allah Subhanahu Wata’ala.

Sifat-sifat mulia yang dimiliki Rosul tidak lepas dari perjalanan hidupnya sebelum menerima wahyu. Ada proses manusiawi di samping proses Ilahiah, sehingga beliau mampu tertempa menjadi manusia yang siap mengemban Al-Quran. Beliau memiliki sifat-sifat yang sangat kondusif terhadap masuknya nilai-nilai Al-Quran. Seperti yang kita ketahui, yaitu shiddiq(jujur), amanah (bertanggung jawab), tabligh (menyampaikan wahyu), dan fathanah (cerdas), serta sifat-sifat terpuji lainnya.

Periode kehidupan yang mengantarkan Muhammad ke jenjang kenabian ini selayaknya dicermati untuk diambil hikmahnya, mengingat tetap berlakunya sunnatulloh berupa hukum sebab-akibat dari proses kehidupan tersebut terhadap hasil berikutnya. Output (hasil), tidak dapat dilepaskan dari rangkaian proses dan input.

Hasil dari proses pendidikan sejak lahir tersebut menjadi salah satu prasyarat kelayakan dan kepatutan Muhammad untuk menerima wahyu dan mengemban amanah   Allah Subhanahu Wata’ala di muka bumi ini. Bila disimpulkan, episode panjang selama 40 tahun itu telah mencakup segala aspek yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin. Diawali pada penekanan aspek spiritual,  psikologis, ketrampilan berkomunikasi, aspek sosial, ekonomi, hukum dan diakhiri dengan pendalaman aspek falsafi. Kelima bidang ini tepat dengan pembagian secara garis besar fase-fase kehidupan Muhammad yang terbagi dalam lima tahap, yaitu; fase yatim, fase mengembala, fase berdagang, fase berkeluarga dan fase ber-gua Hira.

Berikut diantara hikmah-hikmah dari proses pra-wahyu :

Fase Yatim

Nabi Muhammad saw dilahirkan pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun 570 Masehi di Makkah.

Ayah beliau Abdullah dan ibu beliau Aminah. Sebelum beliau lahir, ayah beliau telah meninggal dunia dan dimakamkan di Madinah. Kemudian beliau diasuh oleh kakek beliau,Abdul Muthalib, seorang pembesar Quraisy, yang sangat mencintai Muhammad. Ia pernah berkata: “Putraku Muhammad memiliki masa depan yang cemerlang.”

Menginjak usia enam tahun, ibu beliau meninggal dunia. Pada usia sembilan tahun, kakek beliau pun meninggal dunia. Sebelum wafat,  Abdul Muthalib menitipkan cucunya ini (saw) kepada putranya, Abu Thalib agar menjaga dan merawatnya.

Sejak lahir, Muhammad tidak dikenalkan secara akrab dengan ayah, ibu dan kakeknya. Padahal orang tua merupakan orang terdekat yang membentuk pola pikir dan kepribadian anak. Hal ini menjadikan kepribadian Muhammad tidak terwarnai dan tetap fitrah dari pengaruh lingkungan keluarga dan masyarakat jahiliah pada saat itu. Fakta ini didukung dengan peristiwa pengasuhan Muhammad kecil di pegunungan Bani Sa’diyah, sebuah dusun yang jauh dari keramaian kota. Hal ini juga pembebasan dari pengaruh idiologi orang-orang kuat di sekitarnya yang akan menjadi jaminan akan kemurnian risalah kelak. Sebab, bagaimanapun, kakek beliau, Abdul Muthalib merupakan orang berpengaruh di tengah kaumnya. Tumbuhnya Muhammad sebagai anak yatim ini juga menjaganya dari tangan-tangan yang memanjakannya, baik harta maupun kemudahan lain. Otomatis hal ini mencetak kepribadiannya untuk tidak tergatung terhadap keduniaan dan kedudukan. Fase ini juga mendidik Muhammad untuk tidak memiliki sifat sombong, merasa benar ( ‘ujub) dan mau menang sendiri (ananiyah).

Al Quran telah mengisyaratkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam adalah seorang anak yatim:

أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيماً فَآوَى

“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu.” (QS: Ad Dhuha : 6).

Fase Menggembala

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam masih remaja beliau mengembala kambing untuk penduduk Makkah dengan mengambil beberapa upah dari kerjanya tersebut.

Diceritakan oleh Imam Malik, bahwasanya di sampaikan kepadanya bahwasanya Rasulullah telah bersabda: “Bahwa tidak seorangpun dari seorang nabi kecuali ia telah mengembala kambing, kemudian beliau (Nabi) ditanya: dan Anda bagaimana wahai Rasulullah? beliau saw. menjawab: saya juga.” (Muwattha’ oleh Imam Malik).

Mengembala kambing, sesuai denga situasi saat itu, memaksa seseorang untuk menjauh dari hiruk-pikuk keduniawian. Menjadi pengembala juga memaksa seseorang untuk peduli secara detail terhadap sesuatu, utamanya terhadap yang di gembalakannya (tanggungjawab dan kepekaan).

Pendekatan semacam ini mutlak penting bagi siapapun yang yang hendak menempatkan diri sebagai pemimpin. Jiwa sosial Muhammad tertempa dengan aktivitas seperti ini. Hal ini juga memberikan penekanan bahwa sebaik-baik harta adalah yang didapat dari hasil usaha sendiri. Untuk hidup mulia, seorang harus sanggup memeras keringat dan membanting tulang secara wajar dan bermartabat. Mengembala juga bukan pekerjaan terhormat, sehingga lagi-lagi Muhammad tertempa menjadi manusia rendah hati. Selain itu, aktivitas ini menyatu dengan alam, cinta alam, alam tidak pernah berdusta, sehingga akan membantu mempertajam sifat shiddiq.* (BERSAMBUNG)

 

Oleh: Shalih Hasyim

Penulis tinggal di Kudus, Jawa Tengah

Inilah 10 Sahabat Rasulullah yang Dijamin Masuk Surga

Rasulullah diutus Allah untuk menyebarkan ajaran Islam. Dalam dakwahnya Rasulullah ditentang oleh banyak orang. Tetapi beliau juga memiliki para sahabat yang selalu mendukung dan membantu Rasuldalam berdakwah. 10 sahabatRasulullah yang dijamin masuk surga karena memiliki andil yang besar dalam Islam.

Berikut ini adalah 10 sahabat nabi yang dijamin masuk surga:
 
1. Umar bin Khattab
Umar adalah khalifah kedua setelah Abu Bakar. Rasulullah sangat mengasihi Umar. Sebelumnya, ia suka mabuk-mabukan dan pintar berkelahi. Tapi, setalah mendengar surat Thoha ia pun memeluk agama Islam. Ia dikenal sebagai khalifah yang sangat keras dalam membela agama Islam. Bahkan banyak kaum Quraish yang tidak berani melawan umat muslim karena adanya khalifah Umar.
2. Abu Bakar Ash-Shiddiq
Abu Bakar merupakan khalifah pertama yang juga sahabat Rasulullah. Ia adalah sahabat yang paling dekat karena ia selalu menyertai atau menemani Rasulullah di setiap langkahnya. Bahkan ia juga ikut dalam perjalanan yang beresiko ketika hijah dari Makkah ke Madinah. Abu Bakar sudah dekat dengan Rasul ketika masih remaja sehingga tidak susah baginya untuk memahami agama Islam. Bahkan ia adalah sahabat pertama yang memeluk agama Islam.
3. Ali bin Abi Thalib
Ali telah masuk Islam ketika masih kecil. Ia dikenal sebagai orang yang pandai, cerdas, dan memiliki strategi dalam berperang. Pada suau hari, Ali tidur di atas tempat tidur Rasul sehingga ketika orang Quraish itu mengepung rumah Rasul, mereka mengira bahwa Ali adalah Rasul sehingga mereka membunuhnya.
4. Ustman bin Affan
Ustman merupakan khalifah ketiga yang masuk Islam karena ajakan Abu Bakar. Ia dikenal sebagai orang yang kaya raya tapi sangat dermawan. Selain itu, ia dijuluki sebagai dua cahaya karena telah menikahi dua putri Rasulullah, yakni Ummu Kultsum dan Ruqqayah. Pada pemerintahan inilah, ia mampu menyusun mushaf Al-Qur’an.
5. Zubeir bin Awwan
Zubeir termasuk golongan orang yang masuk agama Islam pertama. Ia memiliki keberanian yang sangat besar dalam membela agamanya. Ia tidak pernah absen dalam semua peperangan yang melibatkan kaum muslim. Bahkan ia selalu berada di barisan terdepan hingga mmebuatnya sering terluka parah. Suatu ketika terjadi perseteruan antara kaum muslim, Zubeir tidak memihak salah satunya, tapi ia justru menyatukan mereka.
6. Thalhah bin Abdullah
Thalhah merupakan salah satu konsultan dai Rasulullah. Ia sangat berupaya melindungi Rasulullah. Ketika terjadi perang uhud, ia menjadi perisai bagi Rasulullah hingga ia mengalami luka parah.
7. Sa’id bin Zaid
Sa’id juga merupakan salah satu dari 10 sahabat yang telah dijamin surga yang setia dengan keteguhannya dalam membela Islam. Rasulullah sangat percaya padanya hingga ia diutus untuk mematah-matahi musuh.
8. Sa’ad bin Ali Waqqas
Sa’ad masuk islam pada umur 17 tahun. Ia sangat pandai memanah dan menunggang kuda. Ketika ia masuk Islam, ibunya mogok makan karena tidak setuju dengan hal itu. Tapi ia tidak mau berpindah dari ajaran Islam hingga ibunya hampir meninggal. Ia tidak akan menjual keyakinannya.
9. Abu ‘Ubaidah bin Jarrah
Abu ‘Ubaidah adalah salah satu dari 10 sahabat penghuni surge yang sangat dipercaya oleh Rasulullah. Ia dikenal sebagai orang yang jujur dan amanah dalam mengemban tugas. Bahkan ia dipercaya untuk memimpin beberapa peperangan.
10. Abdurrahman bin ‘Auf
Abdurrahman merupakan sahabat Rasul orang yang memiliki banyak harta. Tapi ia tidak sombong dengan hal itu, bahkan memakainya di jalan Allah. Ia menyumbangkan kekayaannya untuk perjuangan Islam.
Demikianlah daftar 10 sahabat Rasulullah yang dijamin masuk surga.

Kisah Tangisan Rasul Mengguncangkan Arasy

Rasulullah adalah utusan Allah yang dipercaya untuk menyebarkan ajaranIslam. Beliau memiliki perilaku dan tutur kata yang sangat mulia. Hal inilah yang membuat Rasulullahmemiliki keistimewaan di hadapanAllah. Bahkan tangisan Rasulullahmenggoncangkan Arasy yang berada jauh dari kehidupan di dunia. Simaklah penjelasan berikut ini!
Kisah tangisan Rasulullah SAW menggoncangkan Arasy bermula dari Ka’bah dimanaRasulullah sedang melakukan thawaf mengelilingi ka’bah. Namun, tidak sengaja ia melihat seorang yang juga melakukan thawaf di hadapannya. Ia sedang berdzikir “Ya Karim! Ya Karim!”. Mendengar hal tersebut, Rasulullah menirukannya. Kemudian orang tersebut berhenti di salah satu sudut Ka’bah dan melanjutkan dzikirnya. Rasulullah berada di belakang orang tersebut dan mengikuti dzikir orang tersebut.
Orang yang diikuti oleh Rasul merasakan bahwa ia telah diikuti seseorang. Karena hal inilah ia merasa bahwa ia telah diolok-olok. Setelah itu, ia menoleh ke belakang dan ia melihat seorang laki-laki yang tampan dan gagah. Ia tidak pernah melihat orang tersebut sebelumnya. Kemudian, ia bertanya apakah orang itu sengaja mengikuti dengan niat mengolok-oloknya karena ia merupakan orang Arab Badwi. Lalu ia menambahkan, jika orang tersebut tidak memiliki ketampanan dan kegagahan maka ia akan melaporkan orang tersebut pada kekasih Allah, yakni Nabi Muhammad SAW.
Mendengar hal tersebut, Rasulullah pun tersenyum dan bertanya apakah orang Arab Badwi itu mengenali nabinya. Lalu ia menjawab jika ia tidak mengenali siapa nabinya. Rasulullah pun menambahkan, bagaimana orang itu mengimani nabinya jika tidak mengenali.
Orang tersebut menjawab bahwa meskipun ia belum pernah bertemu dengan Nabi ataupun utusannya, tapi ia beriman kepadanya. Ia percaya akan kenabian Rasulullah.
Setelah itu, Rasulullah menjelaskan bahwa ia adalah nabi yang dimaksud oleh orang tersbeut. Mendengar hal itu, orang tesebut tercengang dan tidak percaya jika Nabi Muhammad berada di hadapannya. Makanya dia memastikan dengan bertanya apakah dia Nabi Muhammad SAW. Dan Rasul menjawab iya. Dengan seketika orang tersbeut langsung tunduk dan mencium kedua kaki Rasul. Tapi, Rasulullah menarik tubuh orang tersebut dan mengatakan bahwa jangan melakukan hal tadi kepada orang lain. Karena hal itu hanya diperuntukkan bagi majikan dari hambanya. Rasulullah menjelaskan bahwa Allah mengutus beliau bukan untuk mencari kehormatan atau perhatian orang, tapi untuk menyebarkan ajaran Islam.
Saat itulah, malaikat Jibril turun dan mengatakan kepada Rasul agar orang Arab itu tidak terlena dengan penagmpunan Allah. Apa yang dilakukan oleh orang itu tadi akan dihisab pada hari akhir nanti. Allah akan menimbang segala amal, sekecil apapun perbuatannya. Rasulullah pun menjelaskan hal itu kepada orang Arab tersebut.
Setelah mendengar berita dari Rasulullah, kemudian orang itu berkata jika Allah memperhitungkan amalan hamba-Nya, maka hamba-Nya akan memperhitungkan juga. Apabila Allah memperhitungkan dosa hamba-Nya maka ia akan memperhitungkan betapa besarnya pengampunan dari Allah. Arasy digoncangkan tangisan Rasullulah karena ucapan dari orang Arab ini.
Mendengar hal itu, Rasulullah pun meneteskan air mata hingga mengalir melewati janggutnya karena perkataan tersebut amatlah benar. Lalu malaikat Jibril kembali turun dan mengatakan pada Rasul agar ia menghentikan tangisan tersebut. Malaikat pun menjelaskan jika ketika Rasul menangis, penjaga langit Arasy lupa dengan bacaan tahmid dan tasbih hingga membuat tangisan Rasullulah membuat Arasy bergoncang. Jibril membawa berita bahwa Allah akan menghapuskan dosa yang diperbuat oleh orang Arab itu, bahkan ia akan menemani Rasul di surga nanti. Mendengar hal ini, orang Arab itu sangat gembira. Demikian tangisan Rasulullah menggoncangkan Arasy.

sumber: Kumpulan Misteri

Islam, Iman, dan Ihsan

Islam memiliki beberapa pengertian. Hal ini berdasarkan dalil-dalil yang ada serta kesimpulan yang diberikan oleh para ulama. Secara umum telah kita pahami bahwa Islam adalah nama dari agama yang diturunkan Allah kepada umat manusia. Inilah agama yang diajarkan oleh setiap rasul kepada umatnya. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul -yang menyerukan  ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut’.” (QS. An Nahl : 36)

Islam dalam pengertian ini biasa didefinisikan secara lebih rinci oleh para ulama sebagai : “kepasrahan kepada Allah dengan tauhid, tunduk kepada-Nya dengan melaksanakan segala ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelaku-pelakunya”. Islam dalam pengertian ini mencakup semua ajaran para rasul.

Adapun istilah Islam secara khusus adalah agama yang diturunkan Allah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah menghapuskan syari’at umat-umat terdahulu. Agama para nabi itu satu (sama), walaupun syari’at mereka berbeda-beda, dan ini semua tentu dilandasi hikmah Allah Ta’ala.

Kemudian, Islam yang memiliki cakupan khusus ini -yang sekarang ini berlaku hingga akhir zaman-  dibangun di atas lima pondasi atau pilar sebagaimana disebutkan dalam hadits Jibril yang terkenal, yaitu : syahadat, sholat, zakat, puasa, dan haji. Inilah yang biasa kita kenal dengan istilah rukun Islam.

Dengan pemaknaan semacam ini, maka Islam lebih condong kepada syari’at-syari’at yang lahiriyah, sementara istilah iman -yang disebutkan dalam satu rangkaian pembicaraan dengan Islam- lebih condong kepada syari’at-syari’at yang batin (berkaitan dengan keyakinan dalam hati-red) atau biasa kita kenal dengan istilah pokok keimanan atau rukun iman, yaitu iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan iman kepada takdir.

Namun, apabila istilah Islam dan iman disebutkan dalam konteks terpisah -Islam saja atau iman saja- maka makna keduanya akan melebur menjadi satu. Jika yang disebutkan Islam saja, maka Islam mencakup perkara lahir dan batin. Demikian juga iman. Sebab keislaman yang benar adalah yang ditegakkan di atas keislaman secara lahir dan batin. Demikian pula keimanan yang benar adalah keimanan yang ditegakkan di atas keimanan secara lahir dan batin.

Oleh sebab itu, para ulama kita mendefinisikan iman sebagai pembenaran dengan hati, ucapan dengan lisan, dan amalan dengan anggota badan, iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan. Iman itu meliputi perkara-perkara yang sifatnya wajib dan perkara yang sifatnya sunnah/mustahab. Sesuatu yang wajib apabila ditinggalkan akan merusak iman, berbeda halnya dengan perkara sunnah. Diantara perkara-perkara wajib itu ada yang termasuk pokok agama -yang apabila ditinggalkan menyebabkan keluar dari agama- dan ada yang menjadi cabangnya -yang tidak sampai menyebabkan keluar dari Islam bagi orang yang meninggalkannya-. Inilah kaidah yang harus kita pahami agar tidak salah dalam memahami iman.

Dalam masalah iman ini, ada dua kelompok besar yang menyimpang dari jalan yang benar, yaitumurji’ah dan khawarij atau wa’idiyah. Kaum murji’ah mengeluarkan amal dari hakikat iman. Sehingga menurut mereka keimanan itu cukup dengan pembenaran hati atau ditambah dengan ucapan lisan, sementara amal bukan bagian dari iman. Konsekuensi pendapat mereka ini adalah imannya orang yang paling salih sama dengan imannya orang yang paling bejat dan paling jahat. Hal ini karena mereka mengatakan amal tidak mempengaruhi keimanan. Tentu ini keliru.

Adapun kaum khawarij atau wa’idiyah menganggap bahwa orang yang melakukan dosa besar maka dia akan kekal di neraka kalau mati dan tidak bertaubat. Mereka tidak meyakini adanya orang-orang yang masuk ke neraka lalu dikeluarkan darinya dan masuk surga. Tentu keyakinan mereka ini bertentangan dengan dalil-dalil Al Kitab dan As Sunnah. Diantara ciri kelompok ini juga adalah gemar mengkafirkan kaum muslimin selain kelompoknya terutama pemerintahnya.

Diantara perkara yang sering dilalaikan oleh mereka yang terpengaruh pemikiran khawarij ini adalah bahwa tidaklah setiap penafian (peniadaan) iman di dalam dalil Al Qur’an dan As Sunnah itu menunjukkan kekafiran pelakunya. Seperti misalnya, di dalam hadits disebutkan ‘Tidak beriman orang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya’, maka makna ‘Tidak beriman’ di sini bukanlah kafir, akan tetapi dia telah meninggalkan salah satu kewajiban iman.

Demikian pula, diantara perkara yang sering dilupakan oleh mereka, bahwa pengkafiran itu bukanlah perkara yang ringan -sebab ia mengandung konsekuensi yang sangat berat-, dan membutuhkan penegakan hujjah (argument/dalil), terpenuhinya syarat-syarat pengkafiran dan tidak dijumpainya penghalang-penghalang vonis kekafiran.

Di sisi lain, perlu diketahui bahwa pengkafiran itu ada dua macam. Ada yang disebut takfir muthlaq -tanpa mengaitkan dengan orang tertentu, hanya sifatnya- dan takfir mu’ayyan -yaitu dengan menunjuk orang tertentu dan menjatuhkan vonis kafir kepadanya-.

Diantara perkara yang telah disepakati para ulama adalah, bahwa barangsiapa yang mengingkari salah satu rukun iman maka dia menjadi kafir karenanya. Demikian pula orang yang tidak bersyahadat. Adapun mengenai hukum orang yang meninggalkan sholat, maka para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengkafirkan dan sebagian yang lain tidak. Dan yang dimaksud meninggalkan sholat di sini adalah karena malas. Adapun apabila orang itu meninggalkan sholat karena menentang bahwa shalat itu wajib maka para ulama sepakat tentang kekafirannya.

Demikian pula termasuk perkara yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam adalah apabila dia melakukan pembatal-pembatal keislaman seperti berbuat syirik akbar dalam bentuk berdoa kepada selain Allah, menyembelih untuk selain-Nya, sihir, dan lainnya. Demikian pula apabila ia menentang salah satu perkara yang secara mendasar diketahui sebagai bagian dari agama Islam, misalnya dia mengatakan bahwa khamr itu halal, zina itu halal, dan sebagainya.

Adapun istilah ihsan -sebagaimana disebutkan dalam hadits Jibril- maka maksudnya adalah beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya atau meyakini bahwa Allah senantiasa melihat dan mengawasi kita. Ini merupakan bentuk ihsan dalam beribadah kepada Allah. Ihsan ini mencakup dua tingkatan : [1] musyahadah, yaitu menyaksikan kebesaran nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan [2]muraqabah, merasa diawasi Allah. Tingkatan pertama adalah tingkatan yang lebih utama.

Di sisi lain, ada juga ihsan dalam berinteraksi dengan sesama, yaitu dengan berbuat baik kepada orang lain sesuai dengan hak mereka masing-masing, seperti kedua orang tua, tetangga, kerabat, anak, istri, bahkan kepada hewan dan tumbuhan sekalipun. Ciri orang yang baik adalah ihsan dalam beribadah kepada Allah dan ihsan dalam berinteraksi dengan sesama makhluk. Oleh sebab itu Allah sering menggandengkan antara perintah sholat dengan perintah zakat. Karena sholat adalah simbol ihsan dalam beribadah kepada Allah, sedangkan zakat adalah simbol ihsan dalam bergaul dengan sesama.

 

Ustadz Ari Wahyudi, S.Si

 

sumber: Buletin At Tauhid

Bagaimana Beriman kepada Kitab Allah?

Iman kepada kitab-kitab Allah merupakan salah satu rukun iman yang wajib diimani oleh setiap muslim. Bagaimana beriman kepada kitab Allah? Simak pembahasan berikut. Semoga Allah  ‘Azza wa Jalla menunjukkan kepada kita aqidah yang lurus.

Urgensi Iman kepada Kitab Allah

Iman kepada kitab yang Allah turunkan merupakan salah satu ushul (landasan) iman dan merupakan rukun iman yang enam. Iman yang dimaksud adalah pembenaran yang disertai keyakinan bahwa kitab-kitab Allah haq dan benar. Kitab-kitab tersebut merupakan kalam Allah‘Azza wa jalla yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya kepada umat yang turun kepadanya kitab tersebut. Diturunkanya kitab merupakan di antara bentuk kasih sayang Allah  kepada hambanya karena besarnya kebutuhan hamba terhadap kitab Allah. Akal manusia terbatas, tidak bisa meliputi rincian hal-hal yang dapat memberikan manfaat dan menimbulkan madharat bagi dirinya.

Cakupan Iman Kepada Kitab Allah

Iman kepada kitab Allah harus mencakup empat perkara :

Pertama: Mengimani bahwa turunnya kitab-kitab Allah benar-benar dari sisi Allah Ta’ala.

Kedua: Mengimani nama-nama kitab yang kita ketahui namanya seeprti Al Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa ‘alaihis salaam, Injil yang diturunkan kepada Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam, danZabur yang diturunkan kepada Nabi Dawud ‘alaihis salaam. Sedangkan yang tidak kita ketahui namanya, kita mengimaninya secara global.

Ketiga: Membenarkan berita-beritanya yang benar, seperti berita mengenai Al Quran, dan berita-berita  lain yang tidak diganti atau diubah dari iktab-kitab terdahulu sebelum Al Quran.

Keempat: Mengamalkan hukum-hukumnya yang tidak dihapus, serta ridho dan tunduk menerimanya, baik kita mengetahui hikmahnya maupun tidak.  (Syarh Ushuulil Iman, hal 30)

Kitab-Kitab Sebelum Al Quran Telah Dimansukh (Dihapus)

Seluruh kitab-kitab terdahulu telah termansukhkan (terhapus) oleh Al Quran Al ‘Adziim. AllahTa’ala berfirman,

وَأَنزَلْنَآإِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ …{48}

Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai muhaiminterhadap kitab-kitab yang lain itu…” (QS. Al Maidah: 48). Maksud “muhaimin” adalah Al Quran sebagai haakim (yang memutuskan benar atau tidaknya, ed) apa yang terdapat dalam kitab-kitab terdahulu. Berdasarkan hal ini, maka tidak dibolehkan mengamalkan hukum apapun dari hukum-hukum kitab terdahulu, kecuali yang benar dan diakui oleh Al Quran.  (Syarh Ushuulil Iman, hal 30-31)

Kitab-kitab terdahulu semuanya mansukh (dihapus) dengan turunnya Al Quran Al ‘Adziim yang telah Allah jamin keasliannya. Karena Al Quran akan tetap menjadi hujjah bagi semua makhluk sampai hari kiamat kelak. Dan sebagai konsekuensinya, tidak boleh berhukum dengan selain Al Quran dalam kondidi apapun. Sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah ,

…فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً {59}

“…Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”  (QS. An Nisaa’: 59). (Husuulul Ma’muul bi Syarhi Tsalaatsatil Ushuul, hal 33)

Setiap Rasul Memiliki Kitab

Setiap Rasul memiliki kitab. Dalilnya dalah firman Allah,

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ … {25}

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan)…” (QS. Al Hadiid: 25)

Ayat ini menjadi dalil bahwa setiap rasul memiliki kitab, namun kita tidak mengetahui seluruh kitab. Kita hanya mengetahuii sebagiannya, seperti shuhuf Ibrahim dan Musa, Taurat, Zabur, Injil, dan Al Quran. Kita mengimani setiap kitab yang diturunkan kepada para rasul. Jika kita tidak mengetahuinya, maka kewajiban kita adalah beriman secara global. (Syarh al ‘Aqidah al Washitiyah, hal 40)

Sikap Manusia Terhadap Kitab yang Allah Turunkan

Manusia  terbagi menjadi tiga golongan dalam menyikapi kitab samawi yang Allah turunkan:

Golongan pertama: Orang-orang yang mendustakan semuanya. Mereka adalah musuh-musuh para rasul dari kalangan orang kafir, orang musyrik, dan ahli filsafat.

Golongan kedua: Orang-orang mukmin yang beriman terhadap seluruh rasul dan kitab yang diturunkan kepada mereka. Sebagaimana Allah firmankan,

ءَامَنَ الرَّسُولُ بِمَآأُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ ءَامَنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ … {285}

Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya…” (QS. Al Baqoroh: 285).

Golongan ketiga: Orang-orang Yahudi dan Nashrani serta yang mengikuti jalan mereka. Mereka mengatakan,

… نُؤْمِنُ بِمَآ أُنزِلَ عَلَيْنَا وَيَكْفُرُونَ بِمَا وَرَآءَهُ وَهُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا لِّمَا مَعَهُمْ … {91}

…Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami”. Dan mereka kafir kepada Al Qur’an yang diturunkan sesudahnya, sedang Al Qur’an itu adalah (Kitab) yang hak. yang membenarkan apa yang ada pada mereka,,,” (QS. Al Baqoroh: 91).

Mereka beriman terhadap sebagian kitab, namun kufur dengan sebagian yang lain. Allah berfirman tentang mereka,

… أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَاجَزَآءُ مَن يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنكُمْ إِلاَّ خِزْيُُفيِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلىَ أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ {85}

… Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat” (QS. Al Baqoroh:85).

Tidak ragu lagi bahwa beriman dengan sebagian kitab dan kufur dengan sebagian yang lainsama saja dengan kufur terhadap semuanya.  Karena keimanan harus mencakup dengan seluruh kitab samawi dan seluruh para rasul, tidak memebdakan dan menyelisihi  sebagiannya. Allah Ta’ala mencela orang-orang yang membedakan dan menyelisihi kitab, sebagaimana firman-Nya,

… وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِي الْكِتَابِ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ {176}

…dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Al Kitab itu, benar-benar dalam penyimpangan yang jauh (dari kebenaran)” (QS. Al Baqoroh:176). (Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqaad, hal 143-144)

Mengimani Al Quran dengan Benar

Termasuk keimanan kepada kitab Allah adalah beriman kterhadap Al Quran yang diturunkan kepada Nabi Terakhir, Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Keimanan terhadap Al Quran yang benar sebagaimana diungkapakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitab beliau al ‘Aqidah al Washitiyah. Beliau mengatakan,  “ Termasuk keimanan kepada Allah dan kitab-kitab-Nya yaitu beriman bahwa Al Quran merupakan kalam Allah yang diturunkan dan bukan makhluk. Al Quran berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Alllah Ta’ala berbicara secara hakiki. Dan sesungguhnya Al Quran yang diturunkan kepada Muhammad merupakan kalam Allah yang hakiki dan bukan kalam selain-Nya. Tidak boleh memutlakkan perkataan bahwa Al Quran merupakan hikayat dari kalam Allah atau merupakan ungkapan (ibaroh) dari kalam Allah. Bahkan jika manusia membacanya dan menulisnya dalam mushaf bukan berarti menafikan bahwa Al Quran merupakan kalam Allah yang hakiki. Karena kalam hanya disandarkan secara hakiki pada yang pertama kali mengucapkannya bukan kepada yang menyampaikannya kemudian. Al Quran merupakan kalam Allah baik huruf dan maknanya, bukan hanya huruf tanpa makna atau makna tanpa huruf.” (matan al ‘Aqidah al Washitiyah)

Faedah Iman Kepada Kitab Allah

Iman kepada kitab-kitab Allah akan membuahkan faedah yang agung, di antaranya :

Pertama: Mengetahui perhatian Allah terhadap para hambanya dengan menurunkan kitab kepada setiap kaum sebagai petunjuk bagi mereka.

Kedua: Mengetahui hikmah Allah Ta’ala mengenai syariat-syariat-Nya, di mana Allah telah menurunkan syariat untuk setiap kaum yang sesuai dengan kondisi mereka, sebagaimana yang Allah firmankan,

… لِكُّلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا … {48}

…Untuk tiap-tiap umat diantara kamu , Kami berikan aturan dan jalan yang terang…” (QS. Al Maidah: 48).

Ketiga: Mensyukuri nikmat Allah berupa diturunkanya kitab-kitab(sebagai pedoman dan petunjuk, ed). (Syarh Ushuulil Iman, hal 31).

Demikianlah secara ringkas aqidah ahlussunnah tentang iman kepada kitab suci. Semoga tulisan yang ringkas ini bermanfaat. Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.

Sumber Rujukan :

  1. Syarhu Ushuulil Iman, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Penerbit Daarul Qasim, Cetakan pertama, 1419 H
  2. Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqaad, Syaikh Sholih Al Fauzan, Penerbit Maktabah Salsabiil, Cetakan pertama, tahun 2006.
  3. Syarhu al ‘Aaqidah al Washitiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Kumpulan Ulama, Penerbit Daarul Ibnul Jauzi.
  4. Husuulul Ma’muul bi Syarhi Tsalaatsatil Ushuul, Syaikh Abdullah Al Fauzan, Penerbit Maktabah ar Rusyd, Riyadh, Cetakan pertama, tahun 1422H/2001 M.

Penulis:  Abu ‘Athifah Adika Mianoki

Muroja’ah: M. A. Tuasikal

 

 

Sumber: www.muslim.or.id