Month: February 2017
5 Perbedaan antara taaruf dengan pacaran
Taaruf adalah berkenalan antara pria dan wanita secara islami yang bertujuan untuk mencari jodoh. Taaruf sangat berbeda dengan pacaran. Secara syari, taaruf diperintahkan oleh Rasulullah bagi setiap pasangan yang ingin menikah.
Perbedaan antara berpacaran dengan taaruf ialah dari segi tujuan dan manfaat. Dikutip dari buku Istri Yang Di Rindukan Surga: Berdasarkan Al Quran dan As Sunah, karya Mutmainah Afra Rabbani menjelaskan, berpacaran lebih kepada kenikmatan sesaat, zina dan maksiat. Sedangkan taaruf tujuannya untuk mengetahui kriteria calon pasangannya.
Perbedaan lain antara taaruf dengan pacaran yakni:
1. Taaruf untuk perkenalan sebelum menikah. Jadi kalau keduanya merasa tidak cocok dapat menyudahi taarufnya. Hal ini lebih baik dibandingkan orang berpacaran kemudian putus. Biasanya orang yang berpacaran hatinya akan bertaut sehingga jika tidak cocok sulit untuk putus dan akan terasa menyakitkan.
Akan tetapi taaruf, niatnya untuk menikah jika cocok bertawakal saja. Mungkin memang bukan jodohnya. Sehingga dengan begitu tidak ada pihak yang dirugikan atau pun merugikan.
2. Taaruf itu lebih adil. Pada masa perkenalan diisi dengan saling tukar informasi tentang diri masing-masing baik itu kebaikan atau keburukannya. Misalnya, seperti mengidap penyakit tertentu, tidak bisa memasak atau lainnya.
Informasi tersebut bukan hanya dari si calon saja, melainkan bisa dari orang yang mengenalnya yaitu keluarga dan sahabat. Hal ini berbeda dengan pacaran yang biasanya diselimuti dengan kepura-puraan.
3. Dengan taaruf bisa berusaha untuk mengenal calon serta mengumpulkan informasi sesingkat-singkatnya. Dalam hal ini dapat terjadi karena kedua belah pihak siap menikah dan siap membuka diri baik kelebihan maupun kekurangan. Dengan demikian dapat menghemat waktu.
Sedangkan pacaran, meski berhubungan sangat lama terkadang masih merasa belum dapat mengenal pasangannya. Dengan begitu hanya membuang-buang waktu.
4. Melalui taaruf diperbolehkan mengajukan kriteria calon yang diinginkan. Jika ada hal-hal yang cocok bisa dilanjutkan, tapi kalau kurang cocok bisa dipertimbangkan dengan hati dan pikiran yang sehat.
Keputusan akhir berdasarkan dengan berdialog dengan Allah melalui salat istikarah. Berbeda dengan berpacaran, terkadang hal buruk diterima meski hati kecilnya tidak menyukainya. Tetapi karena cinta terpaksa menerima.
5. Jika keduanya cocok, biasanya jangka waktu taaruf ke lamaran dan ke akad nikah tidak terlalu lama. Hal ini bisa menghindarkan dari berbagai perbuatan zina, termasuk zina hati.
Selain itu, tidak ada perasaan yang ‘digantung’ pada pihak wanita. Sebab, semua itu tujuannya untuk memenuhi sunnah Rasulullah yakni menikah. [hhw]
Mencari Berkah Pernikahan dari Ta’aruf
Beberapa waktu lalu, kabar bahagia datang dari salah satu aktor Indonesia yaitu Fedi Nuril. Ia menikahi seorang wanita pilihannya, Vanny Widyasasti. Tak ada kabar kedekatan keduanya sebelum menikah, dan baru diketahui saat hari bahagia itu bahwa keduanya melakukan proses ta’aruf dalam bertemu satu sama lain.
Fedi Nuril bukan satu-satunya yang melakukan proses pencarian pasangan secara agama Islam itu. Ta’aruf sendiri diyakini banyak muslim sebagai cara yang dianjurkan oleh agama Islam dalam bertemu pasangan hidup.
“Saya memilih jalan ta’aruf karena lebih nyaman di hati,” kata Ikhwan (bukan nama sebenarnya), salah seorang yang bertemu pasangan dan kemudian menikah setelah melalui jalan taaruf.
Ikhwan bersedia bercerita kepada CNNIndonesia.com alasannya memilih ta’aruf sebagai jalan menemukan tambatan hati, di tengah berbagai jenis perjodohan yang ia ketahui.
“Setahu saya, ada tiga jenis cara, dua yang paling umum itu ada pacaran dan dijodohkan. Kalau pacaran, saya merasa pasangan hanya menunjukkan yang baik-baik saja menurut dia. Kalau dijodohkan, sifatnya diberi, yang menikah tidak tahu apa-apa. Nah saya merasa ta’aruf ini berada di antara keduanya,” papar Ikhwan.
“Lagipula di era Nabi Muhammad tidak ada pacaran, kan?”
Taaruf menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti perkenalan yang diserap dari bahasa Arab “lita’arafu” yang bermakna saling mengenal.
Namun, kebanyakan mengenal ta’aruf sebagai ajang pencarian jodoh melalui perantara orang ketiga yang sesuai dengan tuntunan ajaran agama Islam.
Padahal, ta’aruf tidak serta merta bertemu dengan jodoh, melainkan sebuah usaha saling mengenal satu sama lain baik untuk keperluan umum maupun khusus.
“Ta’aruf yang saya rasakan ini berkenalan namun tidak sampai pacaran yang berinteraksi hingga seolah-olah tidak ada batas, tapi juga tidak ‘given’. Melalui ta’aruf, seseorang dapat mengenal orang lain lebih dalam melalui perantara orang ketiga,” tutur Ikhwan.
Perantara orang ketiga yang dimaksud oleh Ikhwan adalah peran sahabat atau pihak-pihak yang dianggap dekat dan mengenal dengan jelas karakter ataupun kepribadian orang yang ingin dikenal, salah satunya adalah melalui pembina keagamaan keduanya.
Cara ini dianggap Ikhwan mendekati objektif, karena bukan hanya meminta pendapat dari satu pihak semata.
Menurut Ikhwan, walaupun bisa jadi antar orang yang berta’aruf belum pernah bertemu sebelumnya, namun ta’aruf menyediakan kesempatan untuk saling bertemu dan berkenalan dengan dibantu orang-orang terdekat.
Akan tetapi, bila ternyata sudah kenal sebelumnya, maka hal itu akan mempermudah dalam menilai apakah calon benar-benar cocok sesuai pilihan hati.
Direstui Calon Mertua
Proses ta’aruf yang dijalani Ikhwan terbilang singkat, ia mulai memutuskan untuk memberitahu kesiapannya dalam mengikuti ta’aruf kepada pembina agamanya pada Desember 2010.
Dan pada Maret 2011, ia bertemu dengan sang calon istri. Bagai berjodoh, tak banyak aral menghadang keduanya hingga November 2011 Ikhwan dan sang istri resmi menikah.
Meski terkesan singkat, namun bukan berarti Ikhwan tak perlu persiapan. Hal pertama yang harus ia hadapi adalah penerimaan orang tuanya dengan sistem ta’aruf ini. Ia mengaku butuh setidaknya dua tahun untuk mengenalkan sistem ta’aruf kepada orang tuanya, sebelum ia bertaaruf.
“Soalnya ta’aruf banyak yang belum kenal, baru ada film Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih orang jadi lebih mudah membahasakan taaruf,” kata Ikhwan.
Ikhwan juga melalui proses ta’aruf pada umumnya, dimulai dengan pengajuan keinginan berta’aruf kepada pembina agamanya, lalu diteruskan dengan pencarian calon oleh sang pembina sesuai kriteria yang ditetapkan Ikhwan.
Bila bertemu yang sekiranya cocok, maka keduanya akan saling bertukar informasi kepribadian melalui perantara orang lain.
Bila dari pertukaran informasi tersebut menghasilkan hal yang positif, maka keduanya dipertemukan untuk saling mengenal lebih lanjut dengan pendampingan pembina agama dan orang terdekat.
Bila hasil positif juga, maka kemudian waktunya pemberitahuan kepada keluarga masing-masing dan dapat diteruskan ke jenjang lamaran serta menikah.
Setelah empat tahun pernikahan, Ikhwan dan sang istri telah dikaruniai dua orang putra.
“Saya rasa semua orang menginginkan keberkahan dalam pernikahannya, apapun kondisinya. Dan menurut saya, ta’aruf adalah cara yang punya keberkahan lebih banyak dibandingkan berpacaran,” kata Ikhwan.
Berlandaskan Komitmen
Menurut psikolog hubungan Sri Juwita Kusumawardhani, dalam berhubungan ada yang dikenal dengan segitiga cinta. Teori ini dikenalkan oleh Robert Sternberg, menyatakan bahwa cinta memiliki tiga dimensi yaitu hasrat, keintiman, dan komitmen.
“Segitiga cinta ini seperti bentuk cinta yang ideal. Nah kalau orang yang memilih ta’aruf sebagai cara mencari jodoh, psikologi memandang orang ini berarti melandaskan komitmen terlebih dahulu,” kata Sri saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Sabtu (13/2).
Menurut Sri, meski tidak harus berurut terjadinya, namun biasanya manusia akan lebih tertarik secara biologis terhadap seseorang karena faktor fisik. Kondisi inilah yang disebut hasrat.
Setelahnya, kedua insan melakukan kontak interaksi yang dapat menimbulkan keintiman. Dimensi ini menekankan pada keeratan perasaan di antara keduanya dan kekuatan yang mengikat mereka untuk bersama.
Sedangkan dimensi komitmen didefinisikan sebagai keputusan tetap bersama sebagai pasangan dalam hidupnya. Komitmen ini berarti juga memberikan perhatian, berusaha mempertahankan dan melindungi hubungan.
“Namun bila suatu hubungan hanya dilandaskan komitmen tanpa keintiman dan hasrat, jadinya akan membosankan,” kata Sri. “Cara mendekatkan kembali kepada pasangan masing-masing, keduanya harus membuka diri. Dan keduanya harus menerima kondisi pasangannya juga sadar bahwa tidak ada pasangan yang sempurna,”
Sri mengatakan bahwa taaruf adalah salah satu alternatif perjodohan yang ada di masyarakat. Namun bila perjodohan biasanya berlandaskan mempertahankan keturunan dan harta, ta’aruf berlandaskan agama.
Keyakinan akan ta’aruf didasarkan pada keyakinan individu tersebut terhadap aturan agama yang ia anut.
Entah apapun cara bertemunya, menurut Sri akan selalu ada fase saat individu dalam pasangan beradaptasi dengan lingkungan baru yang bernama pernikahan.
Walaupun seringkali ta’aruf diidentikkan menikah dengan yang ‘orang asing’ dibandingkan sistem berpacaran, menurut Sri, baik pacaran atau ta’aruf dan semua jenis cara berjodoh bermula dari tidak saling kenal.
“Entah pacaran atau ta’aruf tak ada yang memiliki jaminan paling efektif. Pacaran lama belum tentu kenal baik dengan pasangannya, apalagi ta’aruf. Ta’aruf memang lebih efisien dari segi waktu, namun dalam sebuah hubungan pernikahan diperlukan pengenalan karakter luar dalam yang baik, tidak cukup hanya dari profil semata. Tapi semuanya akan kaget ketika masuk dunia pernikahan, karena saat itulah hal yang belum terungkap dari pasangan akan terbuka,” papar Sri.
Yang Baik Belum Pasti Berjodoh dengan Yang Baik
KITA sering mendengar istilah peribahasa yang kita dengar bahwa orang baik/ saleh pasti jodohnya ketemu dengan yang baik/ saleh. Itu bukanlah peribahasa tapi cuplikan atau dinukil dari ayat dalam alquran An Nur ayat 26.
Jika difahami secara harfiah tentu kita akan memahaminya sebagaimana adanya. Tapi sebenarnya jika kita lihat asbabun nuzul (sebab turun) ayat tersebut, kita akan faham bahwa yang dimaksud laki-laki baik dan wanita baik dalam ayat tersebut adalah Rasulullah dan Aisyah, jelas ini merupakan pasangan serasi, suami yang baik dengan istri yang baik. Lihat Tafsir Alquran Al-Azhim karya Imam Ibn Katsir dalam menafsiri ayat ini.
Alquran surat An-Nur ayat 26 ini diturunkan untuk menunjukkan kesucian Sayyidah Aisyah dan Shafwan bin al-Muattal dari semua tuduhan yang ditujukan kepada mereka kala itu. Ceritanya dalam sebuah perjalanan sepulangnya dari penaklukan Bani Musthaliq, tanpa sengaja Sayyidah Aisyah terpisah dari rombongan karena mencari kalungnya yang hilang dan kemudian bertemu dengan Shafwan diantarkan pulang oleh Shafwan juga yang sama-sama tertinggal dari rombongan karena sudah menyelesaikan urusannya terlebih dahulu.
Akhirnya Sayyidah Aisyah pulang dikawal oleh Shafwan dengan naik untanya masing-masing hingga sampai ke Madinah. Golongan Yahudi dan orang-orang munafik melihat peristiwa ini sebagai kesempatan untuk menghembuskan fitnah perselingkuhan.
Saat itu kaum muslimin pun ada yang pro dan yang kontra menanggapi isu tersebut. Sikap Nabi juga jadi berubah terhadap Aisyah, beliau menyuruh kepada Aisyah untuk segera bertobat atas apa yang telah terjadi. Namun Sayyidah Aisyah tentu tidak mau bertobat karena merasa tidak pernah melakukan apa yang dituduhkan kaum munafik kepadanya, Aisyah hanya menangis dan berdoa agar Allah menunjukkan fakta yang sebenarnya. Allah menjawab doa Aisyah dengan menurunkan surat An-Nur ayat 26 ini.
Ayat ini justru merupakan anjuran bagi setiap muslim untuk berhati-hati dalam memilih pasangannya agar memilih calon suami yang baik dan juga bagi para pria untuk memilih calon istri yang baik pula. Kadang orang baik dapat pasangan yang buruk. Jika laki-laki yang baik hanya untuk wanita yang baik, kenapa Alquran menyebutkan bahwa kelak di akhirat ada istri-istri orang yang beriman yang menjadi musuh? Mereka menghujat suaminya dan hendak menjerumuskannya kedalam neraka. Ini berarti ada laki-laki beriman yang mempunyai istri yang buruk.
Coba perhatikan Alquran surat At-Taghabun ayat 14: “Hai orang-orang beriman, sungguh di antara para istri dan anak-anakmu ada yang jadi musuhmu, maka berhati-hatilah terhadap mereka dan apabila kamu memaafkan, tidak memarahi serta mengampuni mereka maka sungguh Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”
Wallahu a’lam. [Ustadz Yusrizal, ST]
– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2360301/yang-baik-belum-pasti-berjodoh-dengan-yang-baik#sthash.gQexUq5P.dpuf
Doa Mendapatkan Anak yang Soleh/solehah
Mengikuti Petunjuk Allah yang Mana Jodohku…
KITA tetap di wajibkan Ikhtiar “MEMILIH”. Apakah sudah maksimal di lakukan ikhtiarnya? Manusia itu diwajibkan 3 perkara: Doa, Ikhtiar, Tawakal. Kalau kita sudah maksimal melaksanakan 3 hal tersebut, Allah berkehendak lain, itu hanya karena kasih sayang Allah sama hambaNya. Karena apa yang Allah berikan ke hambaNya pastilah yang terbaik. Karena Rasulullah menyuruh kita memilih kalau kita mau bahagia dan beruntung.
Masalah dia berjodoh atau tidak dengan kita biarkan takdir yang memainkan peranannya. Tugas kita hanya berdoa memohon yang terbaik dan berusaha melakukan yang baik sesuai pesan Rasulullah. Rasulullah telah memberi petunjuk dan nasihat memilih pasangan hidup kepada kita. Jika setelah tahu kita tetap memilih yang berlawanan karena mengedepankan nafsu dan ego saja. Itu berarti kita telah memilih sendiri jalan hidup kita yang berlawanan dengan apa yang sudah Rasulullah anjurkan. Jadi jangan salahkan takdir, jangan salahkan Allah jika kamu terjebak ke dalam jalan kerugian. Karena kamu sendiri yang memilih.
Bukankah Allah sudah memperingatkan. Rasulullah pun sudah berpesan. Kita sendiri yang menentukan pilihan, walaupun hasil akhirnya tetap ada di tangan Tuhan, apakah mempersatukan dengan orang pilihan kita meskipun kita salah jalan, atau justru menggagalkan. Jika Allah menyatukan jangan berbangga dan merasa benar dulu, belum tentu Allah meridai pilihan kita tadi bukan? Karena Allah hanya akan meridai yang baik-baik saja. Tapi karena kasih-Nya, Dia mengabulkan apa yang kita usahakan, Dia mengizinkan semua itu terjadi, namun yakinlah di balik kehendak-Nya tadi.
“Inikah maumu? Inikah yang membuatmu bahagia? Inikah yang kau pilih? Maka Aku izinkan semua maumu ini terjadi. Namun kau juga harus mempertanggung jawabkan semua ini di akhirat nanti.” Di dunia Allah masih menyayangi semua hamba-Nya, baik itu yang bertakwa maupun yang durhaka. Semua mempunyai hak yang sama. Tapi di akhirat? Jangan harap. Allah hanya akan mencintai hamba-Nya yang bertakwa di dunia bukan yang selalu mendurhakai-Nya.
Jangan selalu menjadi manusia yang pandai menyalahkan orang lain atas hal buruk yang terjadi dalam hidup kita, apalagi sampai menyalahkan Allah. Kita semua di anugerahi akal untuk berpikir, untuk menimbang apa saja kemaslahatan dan kemudaratan yang akan kita tanggung ketika kita hendak memilih atau melangkah. Awali dengan cara Islam, jalani dengan aturan Islam. Semoga kita mendapat akhir yang tentram.
Jodoh RAHASIA ALLAH. Kita sebagai hamba hanya bisa mengikuti petunjuk-petunjuk-Nya agar bisa mencapai puncak keberuntungan. Ikhtiar dan doa janganlah lupa dan tetap menjadikan pesan Rasulullah sebagai kriteria utama memilih dan menerima calon pendamping kita. Karena kehidupan tidak akan berakhir hanya di dunia. Ada kehidupan setelah ini yang lebih abadi, dan apa yang kita kerjakan di dunia inilah yang menjdi penentu kebahagiaan kita di akhirat kelak.
Masalah di akhirat dia dapat jodoh wallahu a’lam itu tergantung amalan nya ketika di dunia. Apakah amalan di dunia nya di terima Allah. Wallahu a’lam. [Ustadz Yusrizal, ST]
– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2360300/mengikuti-petunjuk-allah-yang-mana-jodohku#sthash.Mt4pMQDL.dpuf
Lihatlah! Betapa Bahayanya Jika Menjomblo
ADA seorang pemuda yang percaya, dirinya akan lebih berguna untuk agama, bangsa dan masyarakatnya dalam statusnya saat ini: jomblo alias membujang. Bagaimana Islam mengatur persoalan ini, terutama berkaitan dengan dalih membujangnya itu yang seolah-olah untuk kemaslahatan umat?
Untuk itu, bisa dijawab sebagai berikut:
Allah SWT menciptakan manusia dan menjadikan di antara tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan suami-isteri laki-laki perempuan, dan Dia jadikan di antara keduanya rasa cinta dan kasih sayang dalam pernikahan sesuai hukum-hukum syara. Allah SWT berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS ar-Rum [30]: 21)
Islam mendorong untuk menikah. Menikah itu lebih menundukkan pandangan, lebih menjaga kemaluan, lebih menenangkan jiwa dan lebih menjaga agama:
Imam al-Bukhari telah mengeluarkan dari Abdullah ra, ia berkata: kami bersama Nabi saw lalu beliau bersabda:
“Siapa saja di antara kalian yang sanggup menikah maka hendaklah dia menikah, sesungguhnya itu lebih menundukkan pandangan, lebih menjaga kemaluan, dan siapa saja yang tidak mampu maka hendaklah dia berpuasa karena puasa itu perisai baginya.”
– Al-Hakim telah mengeluarkan di al-Mustadrak dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Siapa yang diberi Allah isteri saleh, maka sungguh Allah telah menolongnya atas separo agamanya, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah pada separo lainnya.”
Al-Hakim berkata: “hadis ini sanadnya sahih.” Dan disetujui oleh adz-Dzahabi.
Kemudian orang yang berusaha untuk menikah guna menjaga kesuciannya, dia adalah salah seorang dari tiga golongan yang akan ditolong Allah SWT. Imam Ahmad telah mengeluarkan di Musnad-nya dari Abu Hurairah dari Nabi saw, beliau bersabda:
“Tiga golongan yang masing-masing menjadi hak Allah SWT untuk menolongnya: seorang mujahid di jalan Allah, orang yang menikah demi menjaga kesucian dirinya, dan al-muktab (hamba sahaya yang mengikat perjanjian dengan tuannya membayar sejumlah harta untuk memerdekakan dirinya) yang ingin membayarnya.”
Rasulullah saw melarang tidak menikah bagi orang yang mampu menikah. An-Nasai telah mengeluarkan dari Samurah bin Jundub dari Nabi saw:
Bahwa Beliau melarang membujang (tidak menikah selamanya). Ibn Majah juga telah mengeluarkan hadis demikian.
Rasul saw telah berpesan kepada para bapak jika datang kepada mereka orang yang mereka rida agama dan akhlaknya agar menikahkannya. At-Tirmidzi telah mengeluarkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
“Jika datang mengkhitbah kepada kalian orang yang kalian rida agama dan akhlaknya maka nikahkan dia, jika tidak kalian lakukan maka akan ada fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.”
Ibn Majah telah mengeluarkan dengan lafazh:
“Jika datang kepada kalian orang yang kalian ridhai akhlaknya dan agamanya maka nikahkan dia, jika tidak kalian lakukan maka akan ada fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.”
Demikian juga Rasul saw berpesan agar dipilih seorang wanita shalihah yang memiliki kebaikan agama yang menjaga suaminya, anak-anaknya dan rumahnya. Al-Bukhari dan Muslim telah mengeluarkan dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw, beliau bersabda:
“Seorang wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang memiliki agama, niscaya selamat tanganmu.”
Sedangkan ucapan Anda “ada hadis yang mengatakan yang maknanya “fusq al-ummah adalah orang yang tidak menikah”, maka hadits ini dhaif. Hadits itu seperti berikut: Ahmad telah mengeluarkan di Musnad-nya dari seorang laki-laki dari Abu Dzar, ia berkata: “seorang laki-laki yang disebut Akaf bin Bisyr at-Tamimi menemui Rasulullah saw lalu Nabi saw bersabda kepadanya:
“Ya Akaf apakah kamu punya isteri?” Ia menjawab: “tidak” Nabi bersabda: “sesungguhnya sunnah kami adalah pernikahan. Dan seburuk-buruk dari kalian adalah orang yang tidak menikah (uzb)”
Hadis ini sanadnya dhaif karena kemajhulan seorang perawi dari Abu Dzar. Dan karena kekacauan yang terjadi pada sanad-sanadnya. Ath-Thabarani mengeluarkan di Mujam al-Kabr dan yang lain dari jalur Buqiyah bin Walid, keduanya dari Muawiyah bin Yahya dari Sulaiman bin Musa dari Makhul dari Udhaif bin al-Harits dari Athiyah bin Busrin al-Mazini, ia berkata: “Akaf bin Wadaah al-Hilali datang kepada Rasululla saw lalu ia menyebutkannya. Sanad ini dhaif karena Muawiyah bin Yahya ash-Shadfiy, dan Buqiyah bin al-Walid juga dhaif.
Orang yang tidak menikah (al-uzb) tentu saja bukan lantas seburuk-buruk manusia. Akan tetapi bisa jadi seburuk-buruk orang itu ada dari al-uzb, dan dari selain mereka, sesuai sejarah masing-masing.
Ringkasnya, Rasul saw mendorong untuk menikah bagi orang yang mampu untuk menikah. Menikah itu lebih menjaga agama seseorang, lebih membentengi kemaluan dan lebih menundukkan pandangan Demikian juga Rasul saw melarang membujang (at-tabattul) yakni tidak menikah selamanya
Atas dasar itu, selama Anda wahai penanya, mampu menikah, maka saya berpesan untuk menikah dan Anda pilih seorang wanita shalihah, Anda kerahkan segenap usaha dalam membangun keluarga yang saleh, ikhlaskan untuk Allah SWT, dan jujurlah dengan Rasulullah saw. Dan sungguh Anda dengan izin Allah SWT Anda akan mampu menumbuhkan anak-anak Anda dengan pertumbuhan yang saleh. Dan Allah menjadi penolong orang-orang saleh. []
– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2360549/lihatlah-betapa-bahayanya-jika-menjomblo#sthash.bon37oXu.dpuf
Memupuk Rasa Takut Kepada Allah
Pernahkah kita tersadar bahwa lancangnya kita melakukan hal-hal yang dilarang agama, meninggalkan perintah agama, dan meremehkan ajaran-ajaran agama itu semua karena betapa minimnya rasa takut kita kepada Allah. Bahkan kita terkadang lebih takut kepada manusia daripada kepada Allah Ta’ala. Padahal Allah berfirman (yang artinya) : “..Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku” (QS. Al Ma’idah: 44).
Maka takut kepada Allah (al khauf minallah) adalah ibadah salah satu bentuk ibadah yang semestinya dicamkan oleh setiap mukmin.
Sifat Orang Yang Bertaqwa
Takut kepada Allah adalah sifat orang yang bertaqwa, dan ia juga merupakan bukti imannya kepada Allah. Lihatlah bagaimana Allah mensifati para Malaikat, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) : “Mereka takut kepada Rabb mereka yang berada di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka)” (QS. An Nahl: 50).
Lihat juga bagaimana Allah Ta’ala berfirman tentang hamba-hambanya yang paling mulia, yaitu para Nabi ‘alahimus wassalam (artinya) : “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami” (QS. Al Anbiya: 90)
Semakin Berilmu Semakin Takut Kepada Allah
Oleh karenanya, seseorang semakin ia mengenal Rabb-nya dan semakin dekat ia kepada Allah Ta’ala, akan semakin besar rasa takutnya kepada Allah. Nabi kita Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya aku yang paling mengenal Allah dan akulah yang paling takut kepada-Nya” (HR. Bukhari-Muslim).
Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya) : “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS. Fathir: 28)
Ya, karena para ulama, yaitu memiliki ilmu tentang agama Allah ini dan mengamalkannya, merekalah orang-orang yang paling mengenal Allah. Sehingga betapa besar rasa takut mereka kepada Allah Ta’ala.
Karena orang yang memiliki ilmu tentang agama Allah akan paham benar akan kebesaran Allah, keperkasaan-Nya, paham benar betapa pedih dan ngeri adzab-Nya. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu’alahi Wasallam bersabda kepada para sahabat beliau: “Demi Allah, andai kalian tahu apa yang aku ketahui, sungguh kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis. Kalian pun akan enggan berlezat-lezat dengan istri kalian di ranjang. Dan akan kalian keluar menuju tanah datang tinggi, mengiba-iba berdoa kepada Allah” (HR. Tirmidzi 2234, dihasankan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)
Demikian, sehingga tidaklah heran jika sahabat Umar bin Khattab radhiallahu’anhu, sahabat Nabi yang alim lagi mulia dan stempel surga sudah diraihnya, beliau tetap berkata: “Andai terdengar suara dari langit yang berkata: ‘Wahai manusia, kalian semua sudah dijamin pasti masuk surga kecuali satu orang saja’. Sungguh aku khawatir satu orang itu adalah aku” (HR. Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, 138)
Yaitu karena rasa takut yang timbul dari ma’rifatullah yang mendalam.
Orang yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Nabi Shallallahu’alahi Wasallam, Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, beliau ulama di kalangan para sahabat, yang tidak perlu kita ragukan lagi keutamaannya, beliau pun menangis ketika sekarat menghadapi ajalnya dan berkata: “Aku tidak menangis karena urusan dunia kalian. Aku menangis karena telah jauh perjalananku, namun betapa sedikit bekalku. Sungguh kelak aku akan berakhir di surga atau neraka, dan aku tidak mengetahi mana yang diberikan padaku diantara keduanya” (HR Nu’aim bin Hammad dalam Az Zuhd, 159)
Maka orang-orang yang lancang berbuat maksiat, yang mereka tidak memiliki rasa takut kepada Allah, adalah karena kurangnya ilmu mereka terhadap agama Allah serta kurangnya ma’rifah mereka kepada Allah Ta’ala.
Memupuk Rasa Takut
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, adalah bagaimana kita memupuk rasa takut kepada Allah Ta’ala?
- Mengingat betapa lemahnya kita, dan betapa Allah Maha PerkasaSadarlah betapa kita ini kecil, lemah, hina di hadapan Allah. Sedangkan Allah adalah Al Aziz (Maha Perkasa), Al Qawiy (Maha Besar Kekuatannya), Al Matiin (Maha Perkasa), Al Khaliq (Maha Pencipta), Al Ghaniy (Maha Kaya dan tidak butuh kepada hamba).Betapa lemahnya hamba sehingga ketika hamba tertimpa keburukan tidak ada yang bisa menghilangkannya kecuali Allah. Ia berfirman (yang artinya) : “Jika Allah menimpakan suatu kemudaratan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri” (QS. Al An’am: 17)
Betapa Maha Besarnya Allah, hingga andai kita durhaka kepada Allah, sama sekali tidak berkurang kemuliaan Allah. “Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir, maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS. An Nisa: 131)
Dengan semua kenyataan ini masihkah kita tidak takut kepada Allah?
- Memupuk rasa cinta kepada AllahDua orang yang saling mencintai, bersamaan dengan itu akan timbul rasa takut dan khawatir. Yaitu takut akan sirnanya cinta tersebut. Demikian pula rasa cinta hamba kepada Allah. Hamba yang mencintai Allah dengan tulus, berharap Allah pun mencintainya dan ridha kepadanya. Bersamaan dengan itu ia akan senantiasa berhati-hati untuk tidak melakukan hal yang dapat membuat Allah tidak ridha dan tidak cinta kepadanya.
- Adzab Allah sangatlah pedihJika kedua hal di atas belum menyadarkan anda untuk takut kepada Allah, cukup ingat satu hal, bahwa adzab Allah itu sangatlah pedih yang disiapkan bagi orang-orang yang melanggar aturan agama Allah. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” (QS. An Nuur: 63)Pedihnya adzab Allah sampai-sampai dikabarkan dalam Al Qur’an bahwa setan berkata: “Sesungguhnya aku takut kepada Allah. Dan Allah sangat keras siksa-Nya” (QS. Al Anfal: 48)
Dan hendaknya kita takut pada neraka Allah yang tidak bisa terbayangkan kengeriannya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At Tahrim: 6)
Jangan Merasa Aman
Sebagian orang merasa sudah banyak beramal, sudah banyak berbuat baik, merasa sudah bertaqwa, merasa dirinya suci, sehingga ia pun merasa Allah tidak mungkin mengadzabnya. Hilang darinya rasa takut kepada Allah. Allah berfirman tentang manusia yang demikian (yang artinya) : “Apakah kalian merasa aman dari makar Allah? Tidaklah ada orang yang merasa aman dari makar Allah kecuali orang-orang yang merugi” (QS. Al A’raf: 99).
Bagaimana mungkin seorang yang beriman merasa percaya diri dengan amalnya, merasa apa yang telah ia lakukan pasti akan membuatnya aman dari adzab Allah? Sekali-kali bukanlah demikian sifat seorang mukmin. Adapun orang beriman, ia senantiasa khawatir atas dosa yang ia lakukan, tidak ada yang ia anggap kecil dan remeh. Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu berkata: “Seorang yang beriman melihat dosa-dosanya bagai ia sedang duduk di bawah gunung yang akan runtuh, ia khawatir tertimpa. Sedangkan orang fajir (ahli maksiat), melihat dosa-dosanya bagaikan lalat yang melewati hidungnya” (HR. Bukhari 6308)
Tapi Jangan Putus Asa
Seorang mukmin senantiasa memiliki rasa takut kepada Allah. Namun bukan berarti rasa takut ini menyebabkan kita putus asa dari rahmat-Nya, sehingga kita merasa tidak akan diampuni, merasa amal kita sia-sia, merasa pasti akan masuk neraka dan bentuk-bentuk keputus-asaan lain. Ini tidak benar. Keimanan yang sempurna kepada Allah mengharusnya kita memiliki keduanya, rasa takut (khauf) dan rasa harap (raja’). Dengan berputus-asa terhadap rahmat Allah seakan-akan seseorang mengingkari bahwa Allah itu Ar Rahman (Maha Pemberi Rahmat), Ar Rahim (Maha Penyayang), dan Al Ghafur (Maha Pengampun). Ingatlah nasehat Nabi Yusuf ‘alahissalam kepada anak-anaknya: “dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir” (QS. Yusuf: 87).
Al Hasan Al Bashri berkata: “Raja’ dan khauf adalah kendaraan seorang mukmin”. Al Ghazali pun berujar: “Raja’ dan khauf adalah dua sayap yang dipakai oleh para muqarrabin untuk menempati kedudukan yang terpuji”.
Demikian sedikit yang dapat kami paparkan. Semoga kita menjadi hamba-hamba Allah yang senantiasa takut kepada-Nya, sehingga dengan itu kita engga mengabaikan segala perintahnya dan enggan melanggar segala larangannya.
(Penulis mengambil banyak faidah dari tulisan Syaikh DR. Falih bin Muhammad As Shughayyir berjudul “Al Khauf Minallah”)
Kematian itu Sunatullah, Jangan Takut
BENARKAH manusia takut mati? Sepertinya memang banyak di antara kita yang merasa takut dan khawatir dengan yang namanya kematian. Jika asumsi ini benar, pertanyaannya adalah mengapa manusia takut mati?
Ketakutan manusia terhadap kematian karena, pertama, kurang atau tidak adanya pengetahuan tentang mati. Keadaan mati dan hidup sesudah mati dianggap gelap, sehingga kematian berarti menempuh tempat yang gelap gulita. Semua orang takut menempuh tempat gelap dan tidak diketahuinya.
Bisa juga karena pengetahuannya belum lengkap tentang kematian, seperti yang banyak dialami oleh kita saat ini. Selama ini yang kita ketahui bahwa kematian itu sangat sakit rasanya. Malaikat datang kepada kita dalam bentuk yang mengerikan, dan seterusnya.
Gambaran seperti ini mungkin besar terjadi bagi orang yang tidak mengakui keberadaan Tuhan. Akan tetapi bagi seorang muslim yang taat, kematian merupakan peristiwa yang menyenangkan dan penuh dengan ketenteraman.
Kedua, karena dosa dan kesalahan yang sudah bertumpuk. Takut disiksa karena perbuatan jahatnya itu.
Pada saat masih kuliah S1 di Ciputat, Jakarta selatan, penulis pernah mengalami mimpi saat-saat menjelang akan dicabut nyawa. Saya sudah terbaring di atas kasur dengan selimut yang menutupi badan saya. Keluarga saya sudah berkumpul di dekat pembaringan saya.
Kemudian, entah dari mana munculnya, datang sejumlah orang yang berpakaian serba putih bersih hendak menghampiri saya. Saya menatapnya. Ketika orang-orang ini sudah semakin dekat dengan saya, tiba-tiba saya menjadi sangat khawatir dan takut.
Saat itu, terbayang dalam pikiran saya setiap kesalahan, dan saya berkata, “Tuhan jangan ambil nyawa saya saat ini, sebab saya belum siap, saya tidak akan selamat.” Demikian pinta saya saat itu dengan rasa ketakutan yang amat sangat takut. Saya takut terhadap siksa Tuhan kepada saya.
Tiba-tiba saya pun terbangun. “Terima kasih Tuhan. Ini semua hanya mimpi,” batin saya.
Dalam al-Quran dijelaskan bahwa ada hamba-hamba Allah yang tidak merasa takut dengan kematian, melainkan rindu. Ruh yang merindukan kehidupan abadi dan kesenangan yang hakiki. Di antara mereka adalah Yusuf dan Ibrahim.
Kerinduan Nabi Yusuf a.s. tergambar dalam bunyi ayat ini: “Ya Tuhanku, sesungguhnya engkau sudah beri kepadaku kerajaan (kekuasaan) dan telah ajarkan kepadaku akan takwil mimpi, hai Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, Engkaulah penjagaku di dunia dan akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan seorang muslim, dan hubungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” (QS.Yusuf: 101).
Demikian juga kerinduan Nabi Ibrahim a.s, “Ya Tuhanku, berilah kepadaku hukum dan hubungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh. Jadikanlah bagiku lidah kebenaran bagi orang-orang yang datang kemudian, jadikanlah aku termaksud orang-orang yang mewarisi surga yang penuh nikmat itu.” (QS. Al-Syura: 73-75).
Tidak takut dengan kematian bukan berarti memohon kepada Tuhan agar Dia segera mencabut nyawa kita. Diriwayatkan dari Anas r.a., Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam bersabda, “Janganlah seseorang mengharap-harapkan kematian karena ditimpa sesuatu kesusahan. Kalau ia, tidak boleh tidak atau terpaksa, hendaklah berkata. “Wahai Allah, panjangkanlah umurku kalau hidup itu lebih baik bagiku, dan matikanlah aku jika mati itu lebih baik bagiku.”
Tidak takut dengan kematian adalah tuntutan agama karena manusia tidak boleh menentang hukum Tuhan. Kematian adalah sunnatullah. Jika rasa takut seseorang karena sebab dosa dan kesalahan, maka sebaliknya segera memperbaiki diri. Kembali kepada jalan Tuhan dan menjalankan hidup sesuai aturan-Nya, sehingga akan memberikan ketenteraman hati dan keyakinan akan cinta-Nya kepada kita.*/Muhammad Zul Arifin (dikutip dari buku Rindu Kematian Cara Meraih Kematian yang Indah, oleh Ustadz Muhammad Arifin Ilham).
Malu Jika Takut kepada Selain Allah
AMRU BIN UTBAH merupakan seorang tabi’in yang dikenal dengan kekhusyukan dalam shalat. Suatu saat beliau bersama beberapa sahabatnya mengikuti sebuah peperangan. Dan saat itu budak beliau mendapati bahwa Amru bin Utbah tidak ada pada tempatnya, hingga ia mencarinya.
Tak lama kemudian, sang budak menemukan bahwa majikannya sedang melaksanakan shalat di gunung sedangkan awan menaunginya. Dan suatu malam sang budak mendengar suara auman singa, sehingga siapa saja yang ada di tempat itu berlarian, hanya tinggal Amru bin Utbah yang sedang shalat.
Setelah persitawa itu, sang budak dan lainnya pun bertanya kepada Amru bin Utbah, ”Apakah Anda tidak takut singa?” Maka Amru pun menjawab, ”Sesungguhnya aku benar-benar malu kepada Allah, jika aku sampai takut kepada selain Dia”. (Shifat Ash Shafwah, 3/70)