Beginilah Perasaan Takut Para Sahabat Kepada Allah

Ibnu Umar r.a. sering menangis karena takut kepada Allah Swt. Demikian seringnya ia menangis, sehingga matanya buta. Suatu hari dia melihat seseorang memperhatikannya dengan penuh keheranan, karena seringnya menangis. Dia berkata, “Sepertinya engkau heran melihat saya menangis. Sungguh, matahari pun menangis karena takut kepada Allah.”

 

“Maka apabila langit telah terbelah dan menjadi merah seperti kulit yang merah.” (Qs. ar Rahman [55]: 37)

Maka bulu roma si pembaca itu berdiri tegak dan dia menangis terisak-isak sambil berkata, “Aduh, apakah yang akan terjadi pada diriku apabila langit terbelah (hari Kiamat)? Sungguh malang nasibku. ” Nabi saw. berkata kepadanya, “Tangisanmu menyebabkan para malaikat pun ikut menangis bersamamu.

Seorang sahabat Anshar duduk termenung sambil menangis setelah shalat Tahajjud. Dia berkata, “Sungguh saya takut kepada api neraka Jahanam yang telah disediakan Allah.” Rasulullah saw. bersabda, “Engkau telah membuat para malaikat menangis.”

Abdullah bin Rawahah r.a. adalah seorang sahabat. Pada suatu hari ia menangis dengan sedihnya. Melihat keadaan itu, istrinya turut menangis bersamanya. Dia bertanya kepada istrinya, “Mengapa kamu menangis?” Istrinya menjawab, “Apa yang menyebabkan engkau menangis, itulah yang menyebabkan saya menangis.” Abdullah r.a. berkata, “Ketika saya ingat bahwa saya harus menyeberangi neraka melalui Shirat, saya tidak tahu apakah saya akan selamat atau tidak.” (Qiyamul Lail)

Zurarah bin Aufa r.a. suatu hari sedang shalat di Masjid, dia terjatuh dan meninggal dunia seketika setelah membaca ayat berikut:

“Maka apabila ditiup sangkakala, maka yang demikian itu adalah suatu hari yang sulit. ” (Qs. Al Muddatstsir [74]: 8 – 9)

Khulaid rah.a. dalam shalatnya dia membaca ayat al Quran berikut ini:

“Setiap jiwa pasti akan merasakan maut,” (Qs. al‘Ankabut [29] : 57)

Dia mengulangi ayat di atas beberapa kali, tiba-tiba terdengar seseorang berkata kepadanya,; “Berapa kali engkau akan mengulangi ayat itu? Bacaanmu telah menyebabkan kematian empat jin.”

Seseorang menulis dalam kisahnya, ketika membaca ayat:

“Maka mereka dikembalikan kepada Allah, Rabb mereka Yang Maha Benar.” Ketika sampai pada ayat ini, maka terdengar suara teriakan dan menggelepar, kemudian meninggal. Kisah seperti ini banyak sekali terjadi.

Fudhail rah.a. adalah seorang waliyyullah yang sangat terkenal. Ia berkata, “Rasa takut kepada Allah selamanya akan membawa kepada kebaikan.”

Syibli rah.a. pernah berkata, ”Jika saya dalam keadaan takut kepada Allah, maka akan terbukalah rahasia hikmah dan ‘ibrah kepada saya. Demikian terbukanya rahasia itu, sehingga seakan-akan terbukanya pintu Surga.”

Dalam sebuah hadits diterangkan bahwa Allah Swt. berfirman, “Aku tidak akan mengumpulkan dua ketakutan kepada seorang hamba. Jika ia tidak takut kepada-Ku di dunia, maka Aku akan memberikan rasa takut kepadanya kelak di akhirat. Dan jika ia takut kepada-Ku di dunia, maka Aku akan menghilangkan baginya rasa takut di akhirat.”

Rasulullah saw. bersabda, “Seseorang yang takut kepada Allah, maka segala sesuatu akan takut kepadanya. Dan seseorang yang takut kepada selain Allah, maka ia akan takut kepada segala sesuatu.”

Yahya bin Mu’adz rah.a. berkata, “Seandainya seseorang takut kepada neraka sebanyak ketakutannya kepada kemiskinan, maka ia akan langsung masuk surga.

Abu Sulaiman Darani rah.a. berkata, “Kecelakaan bagi jiwa yang kosong dari rasa takut kepada Allah.”

Rasulullah saw. bersabda, “Wajah yang dibasahi air mata karena takut kepada Allah, walaupun sedikit, akan diselamatkan dari api neraka.” Beliau pun bersabda, “Apabila hati seorang Muslim bergetar karena takut kepada Allah, gugurlah dosa-dosanya seperti daun-daun kering berguguran.” Beliau bersabda lagi, “Jika seseorang menangis karena takut kepada Allah Swt., maka dia tidak akan masuk neraka, seperti tidak mungkinnya air susu masuk kembali ke putingnya.”

Uqbah bin Amir r.a. bertanya kepada Nabi saw., “Tunjukanlah kepada Saya jalan ke arah keselamatan.” Nabi saw. menjawab, “Jagalah lidahmu dan tinggallah di rumah sambil menangis menyesali dosa-dosamu.

Aisyah r.a. bertanya kepada Rasulullah saw., “Adakah di antara pengikut-pengikutmu yang akan memasuki Surga tanpa hisab?” “Ya,” jawab Nabi, “Ia adalah orang yang banyak menangis karena menyesali dosa-dosa yang telah ia lakukan.”

Rasulullah saw. bersabda, “Ada dua jenis tetesan yang sangat disukai Allah Swt., tetesan air mata karena takut kepada-Nya dan tetesan darah karena berjuang di jalan-Nya.” Menurut sebuah hadits, ada tujuh golongan manusia yang akan dilindungi di bawah naungan Arasy Ilahi pada hari Kiamat. Salah satunya adalah orang yang mengingat Allah dalam kesunyian, sehingga meneteslah air matanya.

Abu Bakar Shiddiq r.a. berkata, “Jika kalian mampu, perbanyaklah menangis. Jika tidak mampu menangis, maka buatlah wajahmu seperti menangis.”

Muhammad bin Munkadir rah.a. jika menangis, maka air matanya akan membasahi wajah dan janggutnya. Ia menangis sambil berkata, ”Telah sampai sebuah hadits kepadaku bahwa api neraka tidak akan membakar wajah yang basah oleh air mata.”

Tsabit Banani rah.a. suatu ketika menderita penyakit mata. Maka tabib menasihatinya, “Jika kamu ingin agar matamu sembuh, maka janganlah menangis.” Dia menjawab, “Tidak ada kebaikan pada mata yang tidak menangis.”

Yazid biji Maisarah rrih.a. berkata, “Menangis itu disebabkan oleh tujuh hal, yaitu: (1) gembira; (2) gila; (3) sakit; (4) terkejut; (5) riya; (6) mabuk; (7) takut kepada Allah Swt. dan inilah tangisan yang paling berharga. Setetes air mata yang dikeluarkan karena takut kepada Allah akan memadamkan la¬utan api yang sangat luas.”

Ka’ab Akhbar r. a. berkata, “Demi Dzat yang nyawaku ada di tangan- Nya, saya lebih suka menangis sampai air mata membasahi wajah saya daripada bersedekah emas sebesar gunung.

Masih banyak lagi riwayat dan ucapan mereka yang menjelaskan demikian penting dan bermanfaatnya menangis karena takut kepada Allah sambil menyesali dosa-dosa dan mengingat kebesaran Allah. Jika kita senantiasa menyibukkan diri dengan melihat kesalahan-kesalahan kita, ini juga merupakan sesuatu yang bermanfaat. Namun, ada suatu hal yang sangat penting, yaitu jangan sekali-kali berputus asa dalam mengharap rahmat Allah. Kita harus yakin bahwa rahmat Allah lebih luas daripada segalanya.

Umar bin Khaththab r.a. berkata, “Pada hari Kiamat nanti, apabila diumumkan bahwa semua manusia akan memasuki Surga kecuali seorang saja yang akan memasuki neraka, maka saya maerasa khawatir bahwa yang seorang itu adalah saya, karena dosa-dosa saya begitu banyak. Sebaliknya jika diumumkan bahwa semua manusia akan masuk neraka kecuali seorang saja yang akan memasuki Surga, saya pun berharap bahwa yang seorang itu adalah saya sendiri.

Kisah Umar r.a. di atas menunjukkan betapa perlunya perasaan takut dan harap disemaikan dalam hati umat Islam yang menginginkan kebahagiaan ukhrawi. Apabila sedang menghadapi maut, maka harapan kepada rahmat Allah harus melebihi perasaan takut tadi. Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah mati salah seorang dari kalian tanpa husnuzhann (berprasangka baik) kepada Allah.” Ketika Imam Ahmad bin Hambal rah.a. hampir meninggal dunia, dia memanggil anaknya dan berkata, “Bacakan kepada saya hadits- hadits tentang janji-janji Allah Swt. yang dapat menambah harapan saya ke- pada-Nya.” [WARDAN/Deni]

 

sumber: Darunnajah.com

Harap dan Takut kepada Allah

Sesungguhnya harapan dan takut kepada makhluk itu yang membuat kita gelisah. Semakin kita berharap dan takut terhadap makhluk, maka kian tidak tenang hidup ini.

Apabila engkau ingin dibukakan oleh Allah pintu harapan, maka perhatikan kebesaran nikmat-nikmat dan rahmat Allah yang melimpah kepadamu. Dan bila engkau ingin dibukakan bagimu pintu takut, maka perhatikan amal perbuatanmu terhadap Allah.” (al-Hikam, no.160).

Setiap saat kita sering berharap sesuatu dari makhluk. Seperti berharap dipuji, dihargai maupun dibalas budi oleh orang lain. Setiap waktu pula kita merasa takut. Misalnya takut dimarahi, dijauhi, tidak disukai atau dicintai, tidak diberi, dan sebagainya. Rasa takut seolah-olah menjadi sebuah ancaman, yang datang manusia atau makhluk-makhluk lainnya.

Sesungguhnya harapan dan takut kepada makhluk itu yang membuat kita gelisah. Semakin kita berharap dan takut terhadap makhluk, maka kian tidak tenang hidup ini. Oleh karena itu, harap (raja’) dan takut (khauf) cukup hanya kepada Allah SWT saja.

Bukankah makhluk itu tidak ada yang bisa memberi manfaat bagi kita tanpa seizin Allah? Sebesar apa pun harapan kepada makhluk, bila tak diizinkan-Nya, maka tidak akan mendatangkan manfaat sekecil apa pun. Demikian juga ancaman. Dari siapa pun dan di mana pun kita terancam, maka tak ada satu pun yang dapat dilukai atau hilang dari tubuh kita, kecuali atas izin pemiliknya, Allah SWT.

Allah yang menggenggam dan menggerakkan segala sesuatu. Cukup hanya kepada-Nya harap dan takut kita. Berharap dan takut hanya kepada Allah adalah salah satu jalan kebahagiaan. Jadi, bagi yang ingin bahagia, wajib berharap dan takut hanya kepada Allah. Bukan kepada sesama makhluk. Aneh jadinya jika kita mengharapkan sesuatu, atau bergantung kepada yang sama-sama diciptakan.

Harap (raja’) kepada Allah dapat ditanamkan dengan banyak mengingat apa-apa saja yang diberikan-Nya kepada kita. Bagaimana rezeki kita selama ini selalu dicukupi, tanpa pernah terputus. Atau bagaimana dosa dan aib kita masih ditutupi-Nya. Semakin dalam kita mengingat semua karunia yang melimpah, semakin besar pula harapan kita kepada-Nya.

Sedangkan takut (khauf) kepada Allah dapat ditumbuhkan dengan cara mengingat dosa-dosa yang kita lakukan. Mulai dari salat yang tidak khusuk hingga perbuatan-perbuatan maksiat. Baik yang sekadar lirikan mata atau sembunyi-sembunyi, hingga kebusukan di dalam hati. Semakin jauh kita mengingat dosa-dosa, dan sadar bahwa setiap maksiat itu pasti ada balasannya, maka kita juga akan kian takut kepada Allah SWT.

Nah, seseorang yang terus menerus menanamkan harap dan takut hanya kepada-Nya, insya Allah segala resah dan gelisah akan hilang. Allah yang Mahabaik, Mahamenggenggam dan menggerakkan segala sesuatu yang baik, juga akan semakin dekat kepadanya. Orang tersebut pun dapat memperoleh yang terbaik menurut Allah SWT. Wallahu’alam bissawab.

 

sumber: Daarut Tauhiid

Takut Kepada Allah

Setiap orang pasti pernah merasakan takut, mulai dari takut digigit ular, takut kehilangan jabatan, hingga takut kepada Tuhan.

Dalam psikologi agama, sebagian manusia mencari dan membutuhkan Tuhan, antara lain karena adanya rasa takut dalam diri terhadap kekuatan gaib.

Manusia takut kepada kekuatan dahsyat yang ada di alam raya ini, seperti gunung meletus, angin puting beliung, banjir bandang, tsunami, dan sebagainya, sehingga membuatnya mencari pelindung, pemberi rasa aman dan keselamatan hidupnya.

Secara psikologis, takut adalah kondisi psikis (kejiwaan) yang diliputi rasa khawatir, kegalauan, ketakutan, was-was, atau kurang nyaman terhadap sesuatu yang tidak disukainya  itu jika terjadi pada dirinya. Takut  bisa saja menjadi energi positif, jika dimaknai secara postif, demikian pula sebaliknya.

Kata takut dalam al-Qur’an, antara lain, dinyatakan dengan khauf dan khasyyah. Kata khauf lebih umum daripada kata khasyyah. Khasyyah menunjukkan rasa takut yang lebih spesifik, dan disertai pengetahuan (ma’rifah).

Khasyyah disematkan kepada ulama (ilmuwan, saintis yang takut kepada Allah). Hal ini seperti diisyaratkan oleh firman-Nya: “Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (QS. Fathir [35]: 28)

Takut dalam arti khasyyah hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu seperti Nabi SAW sesuai dengan sabdanya: “Sesungguhnya aku adalah orang yang paling bertakwa dan paling takut kepada Allah di antara kalian”.

Sedangkan takut dalam arti khauf cenderung dimaknai menghindar dan lari dari yang ditakuti. Akan tetapi, khasyyah  merupakan takut yang cenderung berpegang teguh kepada ilmu atau pengetahuan akan yang ditakuti dan kepada kebesaran-Nya.

Dalam kajian akhlak tasawuf, takutnya Mukmin harus dimaknai secara positif, yaitu rasa takut yang menyebabkannya melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan Allah dan Rasul-Nya.

Jika rasa takutnya meningkat, Mukmin tidak merasa cukup dengan hanya melaksanakan kewajiban, melainkan juga melengkapinya dengan amalan sunnah, dan menjauhi hal-hal yang berbau syubhat (grey area, abu-abu, samar-samar status hukumnya).

Setidak-tidaknya ada enam hal yang harus ditakuti Mukmin, yaitu, pertama, takut siksa Allah yang ditimpakan kepadanya karena dosa-dosa yang pernah diperbuatnya.

Kedua, takut tidak dapat menunaikan kewajiban kepada Allah SWT dan kepada sesama. Ketiga,  takut tidak diterima amal ibadah yang dilakukannya, sehingga amalnya menjadi sia-sia belaka.

Keempat,  takut dihadapkan kepada aneka fitnah (akibat perilakunya) dan kemurkaan Allah yang akan menimpanya di dunia. Kelima,  takut su’ul khatimah (akhir kehidupan atau kematian yang buruk). Keenam, takut azab kubur, pengadilan dan azab Allah di akhirat kelak.

Oleh karena itu, menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, takut kepada Allah SWT itu hukumnya wajib. Karena takut kepada Allah itu dapat mengantarkan hamba untuk selalu beribadah kepada-Nya dengan penuh ketundukan dan kekhusyukan.

Siapa yang tidak takut kepada-Nya, berarti ia seorang pendosa, pelaku maksiat. Karena tidak takut kepada Allah, koruptor semakin merajalela, semakin serakah, dan tidak lagi memiliki rasa malu.

Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan teman-teman setianya, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang beriman. (QS. Ali Imran [3]: 175)

Muslim yang memaknai takut secara positif pasti akan bervisi masa depan, menyiapkan generasi yang tangguh, kuat, dan unggul.

Allah SWT berfirman: “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar. (QS. an-Nisa’ [4]: 9)

Di atas semua itu, memaknai takut secara positif dapat mengantarkan hamba meraih dan merengkuh rasa cinta paling tinggi, yaitu ridha, sehingga pada gilirannya dapat meraih surga-Nya.

Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS. al-Bayyinah [98]: 8)

Takut kepada Allah SWT menjadikan hamba semakin dekat dan intim dengan-Nya, sehingga ia tidak lagi takut kehilangan jabatan,  takut kepada atasan, atau takut tidak memiliki masa depan. Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Oleh Muhbib Abdul Wahab

sumber: Republika Online

Saat Mengunjungi Masjid Al-Haram

Mengunjungi Masjid Al Haram di Makkah, Arab Saudi merupakan kesempatan emas yang diinginkan setiap Muslim. Ketika berhasil menginjakkan kaki di Tanah Suci ersebut, khususnya di Majidil Haram, Anda diharapkan mematuhi etika untuk menjaga kesopanan dan kesucian tempat tesebut.

Ada beberapa etika yang harus diikuti oleh jamaah haji dan umrah, atau siapapun yang berada di dalam kompleks tersebut. Apa saja? Simak penjelasan berikut:

1. Menjaga kebersihan diri.

Hal ini dapat ditunjukan dengan mengenakan pakaian rapi dan bersih saat mengunjungi Masjid Al-Haram. Pastikan tubuh dan pakaian yang bersih dan murni. Jika Anda baru saja mengonsumsi bawang, sebaiknya tunggu sampai aroma bawang di mulut Anda hilang. Barulah pergi ke masjid.

Jaabir Ibnu ‘Abdullah (RA) melaporkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Dia yang telah memakan bawang putih atau bawang merah harus menjauhkan diri dari kami atau masjid kami. Barangsiapa makan bawang putih atau bawang merah harus tinggal jauh dari kami atau dari masjid kami, dan ia harus tetap di rumahnya (Al-Bukhari dan Muslim).

Hadits tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang telah memakan bawang putih atau bawang merah (atau semacamnya) harus menjauh sementara agar jangan sampai menyebabkan ketidaknyamanan kepada sesama jamaah lain yang datang untuk beribadah karena bau menyengat.

2. Saat masuk ke dalam masjid, melangkahlah dengan kaki kanan dan membaca doa.

Berapa banyak dari kita yang telah menghafal doa memasuki masjid? Jika Anda belum, maka sudah saatnya menghafal doa tersebu. Hal ini sangat dianjurkan ketika memasuki Masjidil Haram dan masjid lainnya.

3. Melakukan shalat tahiyyatul masjid.

Etika yang tak kalah penting yaknj melakukan shalat dua rakaat. Hal ini terlihat dari hadis berikut. Abu Qatadah melaporkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Ketika salah satu dari Anda datang ke masjid, dia harus shalat dua rakaat sebelum ia duduk” (Fiqh Us Sunnah, Volume 2, Halaman 70). Shalat ini didirikan untuk menghormati kesucian dan kebesaran rumah Allah.

4. Habiskan waktu dengan mengingat Allah SWT.

Saat Anda berada di Masjidil Haram atau masjid lainnya, manfaatkanlah kesempatan tersebut untuk berdzikir kepada Allah SWT. Berdzikir lebih banyak mendatangkan manfaat daripada mengobrol terus menerus dengan siapapun di sebelah Anda. Sibukkanlah diri dengan menyebut nama Allah SWT, memuji-Nya, serta memohon ampunan-Nya.

5. Bacalah doa ketika meninggalkan masjid.

Tak hanya ketika memasuki masjid. Sebaiknya Anda pun membaca doa tatkala meninggalkan masjid. Lalu melangkahlah keluar dengan menggunakan kaki kiri terlebih dahulu. Dalam hadits riwayat Ibnu Majah disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Pasar adalah tempat terburuk dan masjid adalah tempat terbaik di Bumi.” Pasar disebut- sebagai tempat terburuk karena dapat membuat umat lebih mengutamakan urusan duniawi melalui perdagangan dan belanja. Sebaliknya, masjid adalah tempat terbaik karena mampu melepaskan umat dari urusan dunia dan membawa lebih dekat kepada Allah SWT.

 

sumber: IhramCoID

Persiapan Umrah Bagi Lansia

Pelaksanaan ibadah umrah dari segi waktu lebih fleksibel daripada ibadah haji. Setiap tahunnya, jumlah jamaah umrah asal Indonesia merupakan yang terbesar dibanding negara lainnya. Sebagian dari jamaah umrah tersebut adalah kaum lanjut usia atau biasa disebut lansia.

Ibadah umrah mempunyai keutamaan untuk memperoleh ampunan Allah SWT dan menutupi (kafarat) kesalahan-kesalahan yang diperbuat. Selain itu, dengan berjiarah ke Tanah Suci seorang Muslim dapat memperbaharui dan meningkatkan iman.

Ada beberapa kesiapan yang perlu dipersiapkan kaum lansia sebelum menunaikan umrah.

Pertama adalah setiap Muslim yang hendak berumrah perlu mempersiapkan niat yang bersih beribadah hanya karena Allah SWT. Meminta ampun dan bertobat kepada Allah SWT.

Niat yang baik hanya karena Allah harus dimiliki siapa saja, baik jamaah lajut usia maupun muda, yang ingin melaksanakan umrah.

Pasalnya, setiap Muslim yang memiliki niat beribadah karena Allah dengan tulus tidak akan merasa berat dalam melaksanakan seluruh rangkaian ibadah umrah. Selian itu, niat yang ikhlas akan mendorong seseorang untuk beribadah lebih khusyu dan maksimal.

Tips kedua, adalah dengan memperdalam ilmu umrah  (rukun, wajib, sunnah, urutan, dan geraknya). Oleh karena itu, manasik umrah,, seperti ihram dari miqat, tawaf, dan sa’i sangat penting untuk dilakukan agar para lansia benar-benar memahami tata cara berumrah. Karena itu, peran pembimbing umrah sangat penting’”

Dari segi kekuatan fisik, kaum lansia memiliki keterbatasan dibandingkan orang muda. Oleh karena itu, imbuh dia, sebelum berangkat ke Tanah Suci, para lansia sebaiknya menjaga kesehatan.

Itu dapat dilakukan dengan  makan-makanan yang mengandung gizi seimbang, banyak serat, dan tak banyak mengandung lemak. Jangan lupa pula istirahat yang cukup, dan olahraga ringan yang cocok untuk lansia. Ada baiknya, para lansia juga divaksin meningitis dan influenza agar tidak tertular penyakit. Persiapan obat-obatan juga sangat diperlukan untuk menjaga kesehatan.

Para lansia diimbau untuk membawa perlengkapan seperlunya, antara lain pakaian secukupnya, bahan makanan yang kering, peralatan makan, kain ihram, sandal, pelengkapan mandi dan shalat.

Sebaiknya, golongan orangtua ini juga membawa uang secukupnya, dan tidak perlu membawa perhiasan mencolok. Saifullah mengungkapkan, bagi lansia yang kondisi fisiknya sudah tidak memungkinkan, dapat membawa pendamping untuk membantu segala aktivitas di Tanah Suci.

 

sumber:IhramCoID

Keteladanan Rasulullah dalam Mendidik

Majelis Taklim Masjid Assakinah menggelar kajian rutin di Masjid Assakinah, Jalan TB Simatupang, Kebagusan, Jakarta Selatan,belum lama ini. Pada kajian tersebut, pengurus majelis taklim membahas tema tentang riwayat Abdullah Ibnu Abbas dan keteladanan Rasulullah SAW dalam mendidik.

Untuk membahas tema terkait, Majelis Taklim Masjid Assakinah mengundang seorang narasumber, yakni Ustaz Azwar. Adapun kajian tersebut dilaksanakan seusai menunaikan shalat Zuhur berjamaah. Ustaz mengatakan, Abdullah Ibnu Abbas atau dikenal pula dengan nama Ibnu Abbas adalah salah satu sahabat Rasulullah SAW yang dikenal karena kedalaman ilmunya dalam bidang tafsir Alquran. Tak sedikit pula hadis sahih yang telah diriwayatkannya. Terutama yang diungkapkan Aisyah, istri Rasulullah SAW.

Ustaz Azwar mengisahkan, Ibnu Abbas lahir di tahun ketiga sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Ibnu Abbas merupakan putra dari Abbas bin Abdul Mutthalib, yang notabene merupakan paman Rasulullah SAW. Menurut Ustaz Azwar, sedari kecil Ibnu Abbas memang telah mendapat pendidikan dari Rasulullah SAW. “Ibnu Abbas selalu meniru dan meneladani apa yang dilakukan Rasulullah SAW pada masa itu,” tuturnya.

Pada suatu ketika, ketika Rasulullah SAW hendak menunaikan shalat malam atau Tahajud, ucap Ustaz Azwar, Ibnu Abbas yang masih berusia kanak-kanak segera mengikutinya. Dia bahkan sempat memberikan wadhu (air untuk berwudhu) kepada Rasulullah SAW.

Melihat hal tersebut, lanjut dia, Rasulullah SAW kemudian segera memanjatkan doa untuknya kepada Allah SWT. “Seperti diriwayatkan Muslim dan Bukhari, (Rasulullah berdoa) berilah dia (Ibnu Abbas) pemahaman yang dalam tentang agama dan ajarkanlah dia ilmu tafsir,” ungkap Ustaz Azwar.

Terkait peristiwa ini, ada pelajaran yang patut dipetik oleh umat. Khususnya pada kalangan orang tua yang telah memiliki anak. “Bahwa ketika kita mendoakan anak kita, doakanlah sesuatu yang besar untuknya, layaknya yang dilakukan Rasulullah SAW. Usia Ibnu Abbas masih kanak-kanak, tapi doa Rasul seolah-olah dia adalah orang dewasa,” ujar Ustaz Azwar.

Pada momen lainnya,  Ustaz Azwar menerangkan, Rasulullah juga pernah memberikan nasihat untuk Ibnu Abbas yang masih berusia kanak-kanak. Dalam nasihat tersebut, Rasulullah mengatakan, jagalah Allah SWT, maka engkau akan mendapatkan-Nya menjagamu.

Mengingat usia Ibnu Abbas yang masih kanak-kanak, nasihat Rasulullah SAW tersebut dinilai istimewa.  “Selain dari kata-katanya yang tidak menggunakan bahasa kanak-kanak, nasihat tersebut juga menjadi bukti bahwa Ibnu Abbas ketika usianya masih dini telah diajarkan tauhid oleh Rasulullah SAW,” ucapnya.

Tak hanya itu, kata Ustaz Azwar, dalam kelanjutan nasihatnya, Rasulullah SAW mengatakan kepada Ibnu Abbas, bila dia memerlukan dan membutuhkan bantuan, mintalah kepada Allah SWT. “Rasul tidak menyuruhnya meminta bantuan kepada manusia, tapi langsung kepada Allah. Dari sini bisa kita pahami bahwa sejak kecil Ibnu Abbas juga sudah dididik untuk tawakal oleh Rasul,” ujar Ustaz Azwar.

Doa dan nasihat Rasulullah SAW kepada Ibnu Abbas, pada akhirnya terwujud. Ia menjadi sahabat yang memiliki ilmu dan wawasan yang cukup luas, terutama dalam bidang tafsir, sebagaimana yang telah didoakan oleh Rasulullah SAW ketika Ibnu Abbas membawakan dan memberinya air untuk berwudhu.

Ustaz Azwat menilai, kisah Ibnu Abbas dan cara Rasulullah SAW menaungi dan mendidiknya dapat dijadikan contoh untuk para orang tua atau pengajar. Bahwa ketika memberikan nasihat kepada anak-anak, misalnya, tidak melulu harus menggunakan kata-kata atau kalimat yang bersifat kekanak-kanakan.  Dengan demikian, sisi mental dan akhlak anak akan lebih mudah terbentuk.

Kemudian, lanjutnya, jangan ragu pula untuk mengajarkan anak tentang tauhid sedari dini. “Contohlah bagaimana Rasul mengajarkan Ibnu Abbas terkait hal ini (tauhid) ketika usianya masih kanak-kanak. Dan lihat bagaimana (hasilnya) ketika Ibnu Abbas tumbuh dewasa,” ucap Ustaz Azwar.

 

sumber: Republika Online

Hakim Teradil

Secara gamblang dalam Alquran disebutkan bahwa Sang Khalik telah menunjuk Nabi SAW sebagai  seorang hakim. Penunjukan itu tercantum dalam surah An-Nisa’  [4] ayat 61, 65, dan 105; surah As-Syura’ [42] ayat 15; dan surah An-Nur ayat [24] 51.

Surah An-Nur [24] ayat 51 menunjukkan bahwa posisinya sebagai hakim tidak terpisahkan dari posisinya sebagai rasul. Beliau bertindak sebagai hakim sekaligus utusan Allah SWT.

Nabi Muhammad SAW diakui sejarah sebagai penggagas hukum yang paling besar karena beliau tidak saja menghakimi kasus secara adil dan imparsial, tetapi juga menetapkan asas hukum yang universal dan seimbang bagi seluruh umat manusia.

Tentu saja meliputi seluruh aspek kehidupan: perlindungan hidup, harta benda, kehormatan, dan melindungi hak-hak pribadi, sosial, legal, sipil dan beragama setiap individu. Apa pun peran yang beliau jalankan dalam kapasitasnya sebagai legislator merupakan teladan abadi yang menunjukkan kebesaran dan keadilannya bagi seluruh generasi mendatang.

Muhammad SAW menegaskan bahwa hukum Allah bersifat universal dalam maslahat dan lingkupnya, imparsial dan adil dalam penerapannya, serta abadi sifatnya. Karenanya, beliau menekankan bahwa hukum tersebut harus berada di atas seluruh hukum dan peraturan buatan manusia.

Rasulullah mengajarkan bahwa seluruh manusia harus memasrahkan, baik secara individu maupun bersama-sama, seluruh hak dan pembuatan hukum kepada-Nya. Sebab, manusia tidak diberi hak membuat hukum apa pun tanpa wewenang-Nya.

Sebagai manusia, Nabi Muhammad SAW pun tunduk pada kedaulatan Ilahi seperti manusia lainnya. Karena itu, beliau tidak memiliki hak untuk memerintah orang-orang menurut kemauannya sendiri agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Afzalur Rahman dalam Ensiklopedi Muhammad Sebagai Hakim, menerangkan, dalam menegakkan aturan hukum, Nabi SAW selalu mengacu kepada sistem hukum bahwa Allah SWT merupakan sumber seluruh hukum. Seluruh dasar hukum Islam adalah bahwa Tuhan sajalah pemegang kedaulatan dan kekuasaan yang sejati, sedangkan manusia bertindak sebagai perwakilan-Nya atau khalifah-Nya di muka bumi.

Nabi Muhammad dengan jelas telah menggambarkan aspek hukum Islam melalui banyak cara. Beliau menegaskan kewajiban umat Islam untuk menaati Alquran. Kemudian, tentang posisi Sunah di hadapan Alquran, Nabi menyatakan, Perintahku tidak dapat membatalkan perintah Allah, namun perintah Allah dapat membatalkan perintahku.” (HR Daruquthni).

Legislator Islam pertama

Di dalam kitab suci Alquran terdapat sejumlah ayat yang terkait dengan masalah hukum. Ayat-ayat tersebut meliputi masalah waris, pernikahan, mahar, perceraian, gratifikasi (pemberian hadiah), wasiat, jual beli, perlindungan, jaminan dan pidana.

Namun, di dunia yang senantiasa berubah dan berkembang, beberapa masalah hukum ini tidak bisa mencakup seluruh situasi dan masalah-masalah baru. Karenanya, Alquran telah memerintahkan kepada para legislator di masa depan untuk menyusun hukum-hukum sesuai dengan kebutuhan waktu dan tempat di bawah arahan prinsip-prinsip dasar Islam, memastikan semuanya sesuai dengan semangat hukum Islam, dan tidak melanggar prinsip-prinsip dasarnya.

Dalam hal ini, Nabi SAW adalah legislator Islam pertama. Beliau menafsirkan hukum Alquran dan memberikan komentar terhadapnya dan menjelaskan tata cara penerapan Alquran ke dalam masalah-masalah praktis kehidupan. Beliau tidak bisa mengganti atau mengubah hukum Ilahi mana pun yang terkandung dalam Alquran. Beliau bertindak hanya sebagai penafsir dan komentator, kemudian menerapkannya dalam beragam situasi.

 

sumber:republika Online

Rasulullah, Panglima Perang yang Bersahaja

Sejarah Islam tak hanya mencatat sosok Muhammad SAW sebagai seorang utusan Allah yang berakhlak mulia tanpa cela, tapi juga sosok pahlawan besar. Dalam banyak perjuangan membela Islam, Rasulullah adalah prajurit Allah yang gagah perkasa dan panglima perang yang bersahaja.

Sejarah Islam dan juga Alquran mencatat sejumlah peperangan yang terjadi pada masa awal Islam. Dalam bahasa Arab, peperangan itu disebut ghazwah dan sariyya. Keduanya sama-sama melibatkan kaum Muslimin, namun ghazwah diikuti langsung oleh Rasulullah, sementara sariyya tanpa beliau.

Lebih dari 25 ghazwah pernah terjadi sepanjang sejarah Islam. Namun, dari jumlah tersebut, hanya sembilan peperangan yang berakhir dengan pertempuran. Selebihnya diakhiri oleh menyerahnya pihak musuh atau tercapainya perdamaian. Pertempuran-pertempuran tersebut, di antaranya, Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq (Parit), Perang Khaibar, Fathu Makkah, Perang Hunain, dan Perang Tabuk.

Perang Badar merupakan salah satu pertempuran terbesar yang terjadi pada 17 Ramadhan tahun kedua Hijriyah atau 17 Maret 624 M. Pada peperangan yang melibatkan lebih dari 300 Muslim itu, kaum Muslimin menang dengan gemilang. Sebanyak 70 orang dari kelompok kafir tewas dan 70 lainnya tertawan dalam pertempuran. Sedangkan, 14 orang dari kelompok Muslim wafat sebagai syuhada.

Pertempuran besar selanjutnya, Uhud, tak segemilang Badar. Kaum Muslimin tercerai-berai dan kalah dalam pertempuran yang terjadi pada 7 Syawal tahun tiga Hijriyah (22 Maret 625 M) tersebut. Beberapa peperangan lainnya, seperti Khandaq dan Fathu Makkah, berakhir dengan kondisi yang ber beda pula. Meski memunculkan ketegangan yang luar biasa, keduanya berakhir tanpa pertumpahan darah.

Allah memerintahkan umat Islam untuk memerangi kelompok yang memerangi Islam, namun dengan sejumlah catatan yang membatasinya. Seperti disebutkan dalam surah al-Baqarah ayat 190, “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang meme rangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas karena sesungguhnya Allah tidak menyu kai orang-orang yang melampaui batas.”

Sebagai panglima yang menggerakkan perang untuk membela Islam, Rasulullah SAW tidak berpegang, tetapi pada ketentuan Allah. Semua itu tercermin dalam peperangan-peperangan yang dipimpinnya, termasuk strategi perang dan caranya memperlaku kan para tawanan perang.

Di luar itu, Rasulullah dikenal sebagai panglima yang mampu menimbulkan perasaan takut dalam diri para musuhnya, tahu cara terbaik memperoleh informasi tentang kekuatan musuh, serta memotivasi pasukannya untuk tidak gentar melawan para musuh Allah.

 

 

sumber:Republika Online

Memaafkan, Akhlak Mulia Rasulullah

Memaafkan merupakan bagian dari akhlak mulia yang diajarkan Rasulullah SAW kepada umatnya.  Abdullah al-Jadali berkata, ”Aku bertanya kepada Aisyah RA tentang akhlak Rasulullah SAW, lalu ia menjawab, ‘Beliau bukanlah orang yang keji (dalam perkataan ataupun perbuatan), suka kekejian, suka berteriak di pasar-pasar atau membalas kejahatan dengan kejahatan, melainkan orang yang suka memaafkan.” (HR Tirmidzi; hadis sahih).

Umat Islam diperintahkan untuk memaafkan kesalahan orang lain kepadanya. Rasulullah SAW  bersabda, ”Orang yang hebat bukanlah orang yang menang dalam pergulatan. Sesungguhnya orang yang hebat adalah orang yang (mampu) mengendalikan nafsunya ketika marah.  Memaafkan  dan mengampuni juga merupakan perbuatan yang diperintahkan Sang Khalik kepada umatnya.

Dalam surah al-A’raaf ayat 199, Allah SWT berfirman, ”Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.”  Pada surah al-Hijr ayat 85, Allah SWT kembali berfirman, ”Maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik.”

Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk memaafkan orang-orang musyrik atas tindakan mereka menyakiti dan mendustakan beliau.  Sebab, Allah SWT sangat menyukai hamba-Nya yang berbuat kebajikan dan memaafkan. ”Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (QS: asy-Syuura; 43).

Menurut Syekh Mahmud al-Mishri dalam kitab Mausu’ah min Akhlaqir-Rasul, memaafkan adalah pintu terbesar menuju terciptanya rasa saling mencintai di antara sesama manusia. ”Jika orang lain mencerca kita, sebaiknya kita membalasnya dengan memberi maaf dan perkataan yang baik,” ungkap Syekh al-Mishri.

Begitu juga ketika seorang berbuat jahat kepada kita, papar Syekh al-Mishri, seharusnya kita membalas dengan berbuat baik kepadanya.  Menurut dia, Allah SWT akan selalu memberikan pertolongan kepada kita selama memiliki sifat memaafkan dan kebaikan. Memaafkan adalah ciri orang-orang yang baik.

Allah SWT berfirman dalam surat  asy-Syuraa ayat 40, ”Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah…” Semoga kita menjadi insan yang bisa  dan selalu ikhlas memaafkan kesalahan orang lain. n sumber:  Syarah Riyadgus Shalihin karya Syekh Salim bin Ied al-Hilali dan Ensiklopedia Akhlak Muhammad SAW karya Syekh Mahmud al-Mishri. 

 

sumber:Republika Online  

Perilaku Berpolitik Nabi Perlu Diteladani

Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan Kalimantan Tengah Awaludin Noor mengajak seluruh politisi agar meneladani Nabi Muhammad SAW dalam berpolitik. “Nabi Muhammad selain pendakwah juga sebagai Kepala Pemerintahan yang punya pengalaman buruk diolok-olok namun tidak melakukan pembalasan. Malah justru mendoakan para pelakunya,” kata Awaludin di Palangka Raya, Senin (12/12).

Dia mengataka, sikap Nabi ini harus tetap dilestarikan dan dicontoh, setidaknya di kalangan para kader PPP se Indonesia. “Harapan kita para politisi lainnya juga ikut meneladani sikap dan tindakan Nabi Muhammad SAW,” tambahnya.

Dia juga mengajak seluruh politisi di lingkungan DPRD Kalteng di momentun Maulid Nabi Muhammad SAW 2016 mendapat pencerahan. Sebab, menurut Awaludin, sekarang ini kalangan DPRD Kalteng sedang mengalami ‘turbulensi’ politik kecil.

Anggota DPRD Kalteng periode 2009-2014 ini mengatakan ‘turbulensi’ politik itu harapannya mampu dilalui dengan aman. Sehingga seluruh kepentingan dapat terlaksana secara baik dan bermanfaat bagi seluruh masyarakat di Provinsi berjuluk “Bumi Tambun Bungai-Bumi Pancasila” ini.

“Teman-teman DPRD Kalteng, ayolah meneladani Nabi Muhammad SAW. Kompromi itu penting. Kedepankan jalan keluar menang-menang, bukan menang-kalah. Hargai semua pendapat. Saya yakin anggota DPRD Kalteng semua telah berpengalaman,” ucapnya.

Ketua PPP Kalteng ini menyebut tiga rancangan peraturan daerah yakni tentang KUA PPAS APBD 2017, rencana program jangka menengah daerah (RPJMD), dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) sangat penting untuk segera disahkan sebagai Perda bagi kemajuan provinsi ini. “Prediksi saya berbagai polemik yang terjadi antara DPRD dan Pemprov Kalteng dalam waktu dekat ada jalan keluarnya. Prediksi saya sebentar lagi tiga raperda itu selesailah. Sudah berpengalaman semua kok. Saya yakin itu,” kata Awaluddin.

PPP di seluruh Indonesia serentak merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW, Minggu (11/12) malam. DPW PPP Kalteng pun merayakannya bersama sejumlah tokoh dan kader serta anak-anak panti asuhan.