Ibnu Khaldun : Setiap Peradaban itu Bangkit dan Musnah

Abdurrahman bin Muhammad atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Khaldun. Lahir di Maghrib 1332 M / 723 H (Maghrib adalah Maroko-Aljazair-Tunisia sekarang). Barat mengenalnya sebagai Muslim Sosiolog dan History Scholar. Belia adalah salah satu dari sekian ulama yang konsen pada ilmu sosial dan sejarah. Selain al-Muqaddimah, kitabnya yang lain dan menjadi rujukan para sejarawan adalah Tarikh Ibnu Khaldun.

Ibnu Khaldun terkenal dengan Hukumnya “Setiap peradaban itu bangkit dan musnah” kebangkitan peradaban selalu diawali dengan fanatisme dan semangat menuntut ilmu. Setiap peradaban akan sampai pada puncak kejayaannya. Dan yang menjatuhkan suatu peradaban adalah degradasi moral dan hilangnya semangat keilmuan. Sekalipun peradaban itu memiliki kekayaan berlimpah dan tentara yang kuat, ia akan jatuh juga. Sebenarnya banyak faktor sekunder lainnya namun kedua faktor inilah yang paling kentara.

“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)” [QS. Ali Imran : 140] [1]

          Dimulai dari peradaban Yunani. Geliat kejayaan peradaban tertua ini dimulai dengan semangat keilmuan. Para pemudanya kemudian mengembangkan dasar-dasar Ilmu Logika Filsafat.[2] Filsafat memiliki tiga pokok perangkat dasar yakni,  etika, logika dan estetika.[3] Dari filsafat inilah budaya keilmuwan Yunani berkembang ilmu geometri-matematika, kedokteran dan arsitektur. Peradaban Yunani mulai jatuh ketika terjadi kerusakan / degradasi moral penduduknya. Kemudian di ikuti oleh para pemimpinnya. Demonsthenes, seorang ahli filsafat pada masa degradasi moral itu,  mengungkapkan fenomena penduduk Yunani yang berilmu sekaligus tidak berakhlak berkata;

“Kami mempunyai institusi pelacuran kelas elit (courtesans) untuk pelampiasan hasrat. Para tuna susila untuk kesehatan badan. Dan Istri hanyalah untuk melahirkan keturunan halal (resmi) dan juga untuk mengurusi urusan rumah yang dipercayai” [4]

Kebiadaban akhirnya menjadi akhlak orang-orang Yunani. Penduduknya sudah terjangkit penyakit wahn yang sangat akut. Kalangan terpelajarnya memuja hasrat wanita dan kalangan pemimpinya mencintai pesta dalam gelimangan harta. Seakan-akan surga itu ada di istana. Seakan-akan hidup mereka akan selamanya. Serasa kejayaan kerajaan tidak akan pernah runtuh. Namun pekiraan mereka salah sama sekali. Peradaban yang sekarat itu jatuh diserang oleh pasukan Roma. Luluh lantaknya Yunani itu dikenang dalam sejarah sebagai Pertempuran Beneventum (275 SM).[5]

Pola naik dan jatuhnya peradaban ini kentara sekali terlihat pada setiap peradaban. Peradaban Islam, Peradaban Eropa, Peradaban Jepang, Peradaban Cina, pun terlihat jelas sekarang ini pada Peradaban Amerika yang sedang sekarat. Dan saat ini merupakan masa kejatuhan peradaban Kristen, keemasan peradaban Yahudi yang kedua dan kebangkitan perdaban Islam yang kedua.

Sesuai dengan janji Allah di dalam al-Qur’an bahwa Bani Israil (Yahudi) akan mengalami kejayaan 2 kali. “Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu: “Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar “[QS. al-Isra’ : 4]. Masa kejayaan Yahudi yang pertama telah lewat, yakni Masa Kerajaan Nabiullah Sulaiman alaihi salam.Sepeninggal beliau kemudian kerajaan terpecah menjadi Kerajaan Israel di utara dan Kerajaan Yehuda di Selatan.

Perpecahan berarti kehancuran. Kehancuran ini diiringi dengan degradasi moral mereka. Seperti yang dikatakan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bahwa fitnah Bani Isra’il adalah wanita dan fitnah ummatku adalah harta[6]. Gelar “almarhum pertama” bangsa Israil benar-benar ternobatkan setelah Nebukanezar (Raja Babilonia) menyerang kedua kerajaan itu. Kehinaan Yahudi pertama itu tercatat  dalam sejarah terjadi pada 586 SM.[7]

Seperti yang dikatakan oleh Mahattir Muhammad, mantan perdana menteri Malaysia, bahwa Yahudi sedang mengalami kejayaannya sekarang dan mereka mengendalikan dunia dari balik layar (by the Proxy). Dan kejayaan kedua Yahudi ini cepat atau lambat akan kita rebut. Tulisan ini saya akhiri dengan kembali mengutip Hukum Ibnu Khaldun, “Setiap peradaban itu bangkit dan musnah” kebangkitan peradaban selalu diawali dengan fanatisme dan semangat menuntut ilmu. Setiap peradaban akan sampai pada puncak kejayaannya. Dan yang menjatuhkan suatu peradaban adalah degradasi moral dan hilangnya semangat keilmuan. Sekalipun peradaban itu memiliki kekayaan berlimpah dan tentara yang kuat, ia akan jatuh juga.

Wallahu al’am bishawab

Akbar Novriansyah,Yogyakarta

ERA MUSLIM

 

Madame Fatima: Tak Jadi Masuk Biara Setelah Mendengar Kalimat “Allahu Akbar”

Kisah Madame Fatima Mil Davidson mendapatkan hidayah Islam terbilang unik. Seperti sebuah keajaiban, cahaya Islam itu menyentuhnya saat ia baru saja masuk ke kehidupan biara. Waktu itu ia memang sudah berniat untuk menjadi biarawati.

Saat ini Madame Fatima menjabat sebagai Menteri Pembangunan Sosial dan Pemerintah Lokal, Republik Trinidad dan Tobago, sebuah negara kepulauan di kawasan Laut Karibia bagian selatan. Pada majalah berbahasa Arab Men-bar-al-Islam di Kairo, ia menceritakan awal mula menemukan Islam dan bagaimana akhirnya ia menjadi seorang Muslimah.

“Saya membantah keras cerita yang mengatakan bahwa saya masuk

Islam pada tahun 1975 dengan tidak mengakui ajaran Kristen. Sungguh, saya tidak bisa memahami dan menjelaskan apa yang saya alami. Saya akan mengajak Anda kembali ke tanggal 9 Maret 1950, hari yang sudah ditetapkan buat saya untuk masuk biara. Ketika saya bangun pagi di hari itu , saya merasa mendengar suara yang menyebutkan kalimat ‘Allahu Akbar, Allahu Akbar’, suara itu terngiang-ngiang di telinga saya dan membuat seluruh tubuh dan hati saya bergetar,” kata menteri yang sebelum masuk Islam bernama Model Donafamik Davidson.

“Saya tidak begitu tahu, itu apa. Tapi hari itu saya menolak masuk ke biara. Setelah itu, menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mencari petunjuk Tuhan, sampai akhirnya saya menemukan Al-Quran dengan terjemahannya. Lalu, dengan mudah saya menaruh kepercayaan pada terjemahan Al-Quran yang saya baca,” sambungnya.

Secara kebetulan, Madame Fatima kemudian bertemu dengan seorang cendikiawan muslim asal Pakistan Maulana Siddiq dan ulama dari India Syaikh Ansari. Ia terlibat pembicaraan yang mendalam dengan kedua ulama itu, tentang budi pekerti dan apa yang dirasakan dalam hatinya. Begitu banyak pertanyaan detil yang diajukan Madame Fatima, hingga kedua ulama berseru, “Alhamdulillah, Anda seorang muslim ! Anda sekarang seorang muslim. Bacalah apa yang Anda sukai, masuklah ke masjid dan berdoa. Kami siap menerima Anda, kapanpun Anda merasa ingin belajar apapun.”

Madame Fatima merasa gembira dengan respon kedua ulama tersebut. “Saya bahagia. Setelah hari itu, saya merasa hati saya dilimpahi dengan keimanan dan rasa cinta serta kebanggaan terhadap Nabi Muhammad Saw,” ujarnya.

Meski demikian, Madame Fatima mengaku baru secara resmi memeluk Islam sekitar tahun 1975. “Sampai sekarang, sudah 36 tahun saya menjadi seorang muslim. Sejak saya mendengar suara misterius yang menggetarkan kalbu, dan lalu saya menolak masuk biara. Hati saya sudah memproklamirkan Allahu Akbar,” tukasnya.

“Saya menjadi gadis pertama dari komunitas kulit berwarna yang masuk ke masjid. Dan ini mendorong banyak remaja muslimah untuk juga datang ke masjid-masjid untuk salat, khususnya ke Masjid Anjuman Jami’ Sanatal yang didirikan oleh ulama besar Dr. Syaik Ansari di kota Francis di Trinidad. Masjid itu sekarang dipimpin oleh Al-Haj Shafiq Muhammad,” tutur Madame Fatima.

Ia juga menceritakan bahwa warga di lingkungannya masih berpikir bahwa Islam adalah agama orang India, yang memiliki ajaran dari beragam kepercayaan dan agama. “Dalam perkembangannya, di kalangan warga pribumi, kebanyakan yang berasal dari Afrika, makin banyak yang memeluk Islam. Rasio warga muslim meningkat hingga 13 persen dari total penduduk Republik Trinidad dan Tobago. Selebihnya, 31 persen penduduk negara ini beragama Kristen, 27 persen beragama Protestan, 6 persen pemeluk agama Hindu dan 23 persen pemeluk keyakinan lainnya, ” papar Madame Fatima.

Lalu, apakah keislamannya membawa dampak pada pekerjaannya sebagai salah satu pejabat di negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim? Menjawab pertanyaan ini, Madame Fatima menjawab, “Islam mengajarkan kita untuk ikhlas dan efisien dalam menjalankan pekerjaan dan saya mempraktekkan ajaran Islam dengan tulus …”

“Saya tidak berbohong, baik dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan pribadi saya. Saya berusaha menghindari segala sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam, semampu saya dan dengan kesadaran diri yang kuat. Jadi, dampak keislaman saya pada pekerjaan, tidak lain hanyalah semua pekerjaan saya berjalan baik dan penuh rahmat. Mantan perdana menteri bahkan menganjurkan saya untuk berkunjung ke Mesir, tempat sekolah Islam terkenal Al-Azhar dan salah satu pusat peradaban. Dia suka membicarakan Islam juga,” ujar Madame Fatima.

Ia sungguh beruntung, karena perdana menteri yang sekarang menjabat, mengizinkannya berkunjung ke Mesir terkait tugasnya sebagai menteri pembangunan sosial dan pemerintahan lokal. “Perdana Menteri juga menganjurkan saya mengunjungi Al-Azhar dan Mahkamah Tinggi Agama Islam,” imbuhnya.

Madame Fatima beberapa kali berpartisipasi dalam pemlu parlemen dan sukses. Ia pernah menjabat sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan. Ia menjadi teladan sebagai seorang muslim yang mampu menunjukkan kemampuannya di bidang politik.

“Hal penting yang harus Anda ketahui, Republik Trinidad dan Tobago memberikan hari libur resmi pada saat Idul Fitri dan Idul Adha. Komunitas Muslim bebas menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan, baik di rumah maupun di masjid-masjid,” jelas Madame Fatima.

Sebagai bagian dari umat Islam, ia menyerukan dunia Islam untuk bersatu dibawah bendera Islam agar posisi dunia Islam dan kaum Muslimin menjadi kuat. “Allah Yang Mahabesar telah membimbing saya ke jalan Islam dan saya berdoa padaNya untuk membimbing umat Islam ke arah persaudaraan dan perdamaian, agar umat Islam menjadi masyarakat terbaik di masa kini, dan sudah menjadi inspirasi bagi umat manusia,” tandas Madame Fatima. (ln/SP)

 

ERA MUSLIM

Makkah dan Bakkah

Allah SWT menggunakan kata ‘Bakkah’ untuk menyebut kota suci yang umumnya disebut Makkah. Penyebutan ini tentu saja menyedot perhatian para pakar bahasa dan sejarah Arab. Mereka mengajukan sejumlah alasan dan penjelasan.

Dalam Alquran, Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya rumah pertama kali dibangun untuk (tempat beribadah) adalah Baitullah di Bakkah yang diberkati dan dijadikan petunjuk bagi semua manusia. Di dalamnya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim. Siapa yang memasukinya maka amanlah dia. Menunaikan haji adalah kewajiban manusai terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Siapa yang mengingkari kewajiban ini, maka sesungguhnya Allah Mahakaya dari semesta alam.” (QS. Ali Imran : 96-97)

Dikutip dari Ensiklopedia Alquran bahwa sekelompok pakar linguistik mengatakan, bahwa nama Bakkah berasal dari kata ‘al-bakk’ yang berarti padat dan mendorong. Pendapat pertama, orang Arab mengatakan, ‘Fulan bakka fulanan bakkan,’ yang berarti fulan menghimpit dan mendorong orang itu ketika berjalan. Atau tabakka an-nas yang artinya terjadi kepadatan dan aksi saling mendorong dalam suatu tempat atau jalan yang sempit lantaran kepadatannya.

Seperti diketahui ketika melakukan tawaf di sekitar Ka’bah, jamaah haji atau umrah mengalami kepadatan dan melakukan aksi saling dorong. Radius kepadatan ini semakin melebar hingga meliputi seluruh Baitul haram. Karena alasan inilah, tempat itu dinamakan Bakkah yang berarti kota yang dipadati manusia.

Pendapat kedua mengatakan bahwa nama Bakkah berasal dari kata kerja ‘bakka-yabukku’. Ketika menyaksikan seseorang jatuh dari gunung, orang Arab mengatakan, “Inbakka ‘unuquhu (lehernya patah hingga meninggal dunia).” Pertanyaannya, apa hubungan leher patah dengan kota yang disucikan itu?

Menurut mereka, Allah SWT memelihara dan melindungi rumah-Nya, sehingga setiap orang yang ingin menghancurkan atau merusaknya pasti dihancurkan oleh-Nya. Demikianlah, dia dinamakan Bakkah karena menjadi tempat leher orang-orang zalim dan kuat dipatahkan setiap kali ingin menghancurkan tempat tersebut.

Peristiwa paling melekat dalam ingatan umat Muslim adalah yang menimpa Abrahah dan pasukannya. Dia adalah panglima negeri Habasyah (sekarang Eritrea) yang ingin menyerang Makkah dengan mengerahkan tentara gajah. Allah SWT menghancurkan mereka dengan mengirim burung-burung ababil dan menghujani mereka dengan bebatuan neraka. Akibatnya, sebagaimana dikisahkan dalam surah al-Fil, mereka seperti daun yang dimakan ulat.

Persoalannya kemudian, mengapa Bakkah berubah menjadi Makkah? Menurut sejumlah pakar linguistik, orang Arab seringkali mengganti huruf ba dengan huruf mim untuk memudahkan dan meringankan pengucapannya. Untuk menyebut contoh, mereka akan mengatakan pukulan yang keras dan akurat sebagai, ‘dharbah lazib’. Namun, mereka juga mengucapkan ‘dharbah lazim’ dengan arti yang sama seperti ungkapan sebelumnya.

Kelompok pakar linguistik lainnya mengatakan  bahwa nama Makkah berasal dari kata kerja ‘imtakka-yamtakku’ yang artinya menghisap. Karena, seekor anak unta akan terus menghisap dengan lahap sampai tetes susu yang terakhir ketika menyusu pada induknya. Perbuatan anak unta itu  oleh orang Arab disebut sebagai ‘imtakka, menghisap susu ibunya sampai habis. Orang Arab juga menyebut seseorang yang menghisap sumsum tulang sebagai ‘imtakka’.

Dari sinilah nama Makah diberikan kepada sebuah kota yang terdapat Baitullah, karena di musim haji banyak orang yang tergesa-gesa berjalan menuju sumber-sumber air. Sementara itu, sumur-sumur berisikan sedikit air. Mereka menimba habis isinya, sama dengan seekor anak unta yang menghisab habis air susu induknya atau seorang yang menghisap habis sumsum tulang. Karena itulah, kota ini dinamakan Makah.

Sebagian pakar sejarah Arab meyakini bahwa nama Bakkah berbeda dengan Makkah. Bakkah hanya digunakan untuk menyebut kompleks Masjidil Haram, sedangkan Makkah dialamatkan kepada seluruh wilayah Haram, termasuk rumah-rumah penduduknya.  Abu Ubaidah ra berpendapat bahwa Bakkah hanya diberikan kepada daerah pusat Kota Makah.

 

 

REPUBLIKA

Rasulullah Tertawa Saat Badui Tanyakan Tawaran Dajjal

Sesungguhnya penghuni surga berbicara dalam bahasa Nabi SAW. Beliau berbicara dengan mencakup seluruh maksud pembicaraan, tidak kelebihan dan tidak pula kekurangan. Sebagian  pembicaraannya mengikuti pembicaraan yang lain. Di antara perkataannya diselingi dengan berhenti agar dihafal dan dimengerti oleh pendengarnya.

Rasulullah SAW adalah orang yang paling fasih bicaranya dan paling manis kata-katanya. Beliau bersabda, “Aku adalah orang Arab yang paling fasih.”

Dikutip dari buku yang berjudul ‘Mutiara Ihya’ Ulumuddin’ karya Al-Ghazali bahwa Rasulullah SAW tidak berbicara dalam keadaan sedang senang dan marah kecuali yang benar. Beliau adalah orang yang paling banyak tersenyum dan yang paling baik jiwanya selama tidak sedang diturunkan kepadanya Alquran, menyebut hari kiamat, atau berkhutbah menyampaikan pengajaran.

Pada suatu hari, seorang Arab Badui datang kepada Rasulullah SAW, sedangkan saat itu warna muka Beliau berubah dan tidak ada seorang sahabat pun memahaminya. Orang Arab Badui itu ingin bertanya kepada Rasulullah SAW tetapi para sahabat berkata, “Jangan engkau lakukan, wahai orang Arab Badui, karena warna muka Beliau sedang berubah.” Orang Arab Badui itu menjawab, “Biarkanlah aku.  Demi Allah yang mengutusnya dengan kebenaran sebagai nabi, aku tidak akan meninggalkannya hingga Beliau tersenyum.”

Selanjutnya orang Arab Badui itu berkata, “Wahai Rasulullah, telah sampai kabar kepada kami bahwa Al-Masih Ad-Dajjal akan datang kepada manusia dengan membawa roti kuah, sementara manusia telah binasa karena kelaparan. Bagaimana menurutmu demi bapakku, engkau dan ibuku, apakah aku harus meninggalkan roti kuah itu sebagai sikap menjaga kesucian dan kebersihan diri sehingga aku binasa karena kurus? Atau, aku harus mengambil roti kuah itu sehingga apabila telah memperoleh rasa kenyang, aku beriman kepada Allah dan kufur terhadap Al-Masih ad-Dajjal?”

Maka, Rasulullah SAW tertawa sehingga tampak gigi gerahamnya. Kemudian beliau berkata, “Tidak, tetapi Allah akan mencukupkan sesuatu yang mencukupkan orang-orang Mukmin.”

Apabila Rasulullah SAW menghadapi suatu urusan, maka Beliau menyerahkan urusan itu kepada Allah. Beliau membebaskan dirinya dalan urusan itu kepada Allah. Beliau membebaskan dirinya dalam urusan itu dari daya dan kekuatan, Beliau memohon turunnya petunjuk dari Allah. Beliau mengucapkan:

“Ya Allah, tunjukkanlah padaku kebenaran itu sebagai kebenaran, lalu aku mengikutinya. Tunjukkanlah padaku kemungkaran itu sebagai kemungkaran, lalu berilah aku (kekuatan) untuk menjauhinya. Lindunginlah aku dari perkara yang samar bagiku, lalu kami mengikuti hawa nafsu tanpa mendapatkan petunjuk dari-Mu. Jadikanlah hawa nafsuku mengikuti ketaatan kepada-Mu. Ambillah keridhaan diri-Mu dari diriku dalam kesehatan. Tunjukkanlah aku kebenaran pada hal-hal yang masih dipertentangkan dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberi petunjuk kepada orang yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.”

 

REPUBLIKA

 

————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Nasihat Utsman Bin Affan untuk Kita

Utsman bin Affan adalah sahabat nabi dan juga khalifah ketiga dalam Khulafaur Rasyidin. Ia dikenal sebagai pedagang kaya raya dan ekonomi yang handal namun sangat dermawan.

Banyak bantuan ekonomi yang diberikannya kepada umat Islam di awal dakwah Islam. Selain itu sahabat nabi yang satu ini memiliki sifat yang sangat pemalu.

Rasulullah S.A.W sendiri menggambarkan Utsman bin Affan sebagai pribadi yang paling jujur dan rendah hati di antara kaum muslimin. Utsman bin Affan juga banyak memberikan nasehat tentang kehidupan bagi umat muslim.

Dalam buku Kepemimpinan dan Keteladanan Utsman bin Affan yang ditulis oleh Fariq Gasim Anuz menyebutkan di antara nasihat Utsman bin Affan radhiyallahu anhu, yaitu:

1.  Untuk Lebih Memikirkan Urusan Akhirat Ketimbang Urusan Dunia.

“Kesedihan karena memikirkan urusan dunia dapat menggelapkan hati, sedangkan kesedihan karena memikirkan urusan akhirat bisa menerangi hati.”(Dalam Nasha ’Ihul ‘Ibad, Syaikh Nawawi Al Bantani)

2.  Perbanyak Berdzikir Tanda Orang Bijak.

“Di antara tanda-tanda orang yang bijaksana ialah: Hatinya selalu dipenuhi dengan dzikrullah, kedua matanya menangis karena penyesalan terhadap dosa, segala perkara dihadapinya dengan sabar dan tabah, serta lebih mengutamakan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia.”

3.  Mendapatkan Nikmat Dalam Beribadah

“Aku menemukan kenikmatan beribadah dalam emapt hal, yaitu:
•    Ketika mampu menunaikan kewajiban-kewajiban dari Allah.
•    Ketika mampu menjauhi hal-hal yang diharamkan oleh Allah.
•    Ketika mampu melakukan amar ma’ruf dan mencari pahala dari Allah.
•    Ketika mampu melakukan nahi munkar daan menjaga diri dari murka Allah.”
(Nasha’ihul ‘Ibad, Syaikh Nawawi Al Bantani)

4.  Memanfaatkan Kehidupan Ini Dengan Melakukan Kebaikan.

“Ingatlah, kalian berada di tempat yang terus berubah. Manfaatkanlah sisa umur kalian dengan baik. Bersiaplah menjemput ajal sebaik mungkin. Dan jangan lupa, kematian pasti datang menjemput pada waktu yang tak terduga. Ketahuilah, dunia ini dibentangkan penuh dengan tipuan.

5. Belajar Dari Sejarah

“Belajarlah dari pengalaman generasi sebelum kalian, bersu gguh-sungguhlah dan jangan melupakan agar kalian tidak dilupakan. Dimana para penghuni dunia yang memakmurkan dan menikmatinya dalam waktu cukup panjang? Jauhilah dunia ini sebagaimana Allah telah menghamparkannya, dan carilah keuntungan akhirat. Allah telah membuat perumpamaan untuk itu.

 

REPUBLIKA

Ini Makna Asli Fitnah Lebih Kejam dari Pembunuhan

APA yang dimaksud dengan fitnah lebih kejam dari pembunuhan? Sebagian orang ternyata salah memahami istilah Al-Quran “fitnah lebih kejam dari pembunuhan”. Dinilai bahwa fitnah yang dimaksud dalam ayat adalah memfitnah orang, mengisukan yang tidak benar.

Menurut kamus bahasa Indonesia, fitnah adalah perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang. Sedangkan memfitnah adalah menjelekkan nama orang (menodai nama baik, merugikan kehormatan, dan sebagainya).

Ayat yang membicarakan “fitnah lebih kejam dari pembunuhan” adalah, “Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 191)

Coba kita lihat makna fitnah dalam ayat apakah sama seperti yang dipahami oleh sebagian kita. UIama tafsir terkemuka, Imam Ath-Thabari menyatakan bahwa yang dimaksud fitnah di sini adalah perbuatan syirik. Sehingga dikatakan bahwa syirik lebih besar dosanya dari pembunuhan. Imam Ath-Thabari juga menjelaskan bahwa asal makna dari fitnah adalah al-ibtila dan al-ikhtibar yaitu ujian atau cobaan. Sehingga maksud ayat kata Ibnu Jarir Ath-Thabari, “Menguji seorang mukmin dalam agamanya sampai ia berbuat syirik pada Allah setelah sebelumnya berislam, itu lebih besar dosanya daripada memberikan bahaya dengan membunuhnya sedangkan tetap terus berada dalam agamanya.”

Ada riwayat dari Muhammad bin Amr, telah menceritakan dari Abu Ashim, telah menceritakan dari Isa bin Ibnu Abi Najih, dari Mujahid, ia berkata mengenai ayat fitnah lebih parah dari pembunuhan, “Membuat seorang mukmin kembali menyembah berhala (murtad) lebih dahsyat bahayanya dibanding dengan membunuhnya.”

Qatadah juga menyatakan, “Syirik lebih dahsyat dari pembunuhan.” Ar-Rabi dan Adh-Dhahak mengungkapkan hal yang sama seperti Qatadah. Ibnu Zaid menyatakan bahwa yang dimaksud fitnah dalam ayat adalah fitnah kekafiran (yaitu membuat orang kafir). (Tafsir Ath-Thabari, 2: 252-253) Sehingga yang dimaksud dengan fitnah dalam ayat ini adalah syirik. Dan membuat orang terjerumus dalam kesyirikan lebih dahsyat dosanya dari membunuhnya.

Kita dapat simpulkan pula bahwa kata fitnah dalam bahasa kita ternyata berbeda maksudnya dengan kata fitnah dalam Al-Quran atau bahasa Arab yang maknanya lebih luas. Moga kita semakin diberi tambahan ilmu dalam memahami Al-Quran. [Referensi: Jami Al-Bayan an Tawil Ayi Al-Quran (Tafsir Ath-Thabari)/Muhammad Abduh Tuasikal]

 

INILAH MOZAIK

Apabila Meninggalkan Rukun Islam: Salat

IBNU Rajab berkata, ada berbagai hadits yang menyatakan bahwa meninggalkan shalat mengakibatkan keluar dari Islam. Seperti hadits Jabir berikut yang dikeluarkan oleh Imam Muslim, “(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim, no. 82)

Umar radhiyallahu anhu pernah berkata, “Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” (Riwayat ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Ash-Shalah, hlm. 41-42. Dikeluarkan oleh Malik, begitu juga diriwayatkan oleh Saad dalam Ath-Thabaqat, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Iman. Diriwayatkan pula oleh Ad-Daruquthniy dalam sunannya, juga Ibnu Asakir. Hadits ini shahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa Al-Ghalil, no. 209)

Bahkan Ayyub As-Sikhtiyani berani menyimpulkan, “Meninggalkan shalat itu berarti kafir. Hal ini tidak diperselisihkan sama sekali.” (Jami Al-Ulum wa Al-Hikam, 1: 147)

Imam Ahmad dan Imam Ishaq juga mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat. Mereka samakan dengan kafirnya Iblis yang diperintahkan sujud pada Adam dan enggan. Dan Iblis juga enggan bersujud pada Allah Yang Maha Mulia. (Jami Al-Ulum wa Al-Hikam, 1: 149)

Sebagai tanda mulianya shalat, saat lupa atau ketiduran (asalkan bukan kebiasaan) tetap dikerjakan saat ingat atau tersadar. Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang lupa shalat, hendaklah ia shalat ketika ia ingat. Tidak ada kewajiban baginya selain itu.” (HR. Bukhari, no. 597; Muslim, no. 684)

Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Barangsiapa yang lupa shalat atau tertidur, maka tebusannya adalah ia shalat ketika ia ingat.” (HR. Muslim, no. 684)

 

INILAH MOZAIK

Memahami Asbabun Nuzul Ayat Al-Qur’an

Al-Qur’an tidak turun dalam satu masyarakat yang hampa budaya. Sekian banyak ayatnya oleh ulama dinyatakan sebagai harus dipahami dalam konteks sebab nuzul-nya. Hal ini berarti bahwa arti “sebab” dalam rumusan di atas –walaupun tidak dipahami dalam arti kausalitas, sebagaimana yang diinginkan oleh mereka yang berpaham bahwa “Al-Qur’an qadim”– tetapi paling tidak ia menggambarkan bahwa ayat yang turun itu berinteraksi dengan kenyataan yang ada dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa “kenyataan” tersebut mendahului atau paling tidak bersamaan dengan keberadaan ayat yang turun di bumi itu.
Dalam kaitannya dengan asbabun nuzul, mayoritas ulama mengemukakan kaidah al-‘ibrah bi ‘umum al-lafzh la bi khushush al-sabab (patokan dalam memahami ayat adalah redaksinya yang bersifat umum, bukan khusus terhadap (pelaku) kasus yang menjadi sebab turunnya).
Sedangkan sebagian kecil dari mereka mengemukakan kaidah sebaliknya, al-‘ibrah bi khushush al-sabab la bi ‘umum al-lafzh (patokan dalam memahami ayat adalah kasus yang menjadi sebab turunnya, bukan redaksinya yang bersifat umum).
Di sini perlu kiranya dipertanyakan: “Bukankah akan lebih mendukung pengembangan tafsir jika pandangan minoritas di atas yang ditekankan?” Tentunya, jika demikian, maka perlu diberikan beberapa catatan penjelasan sebagai berikut:
Seperti diketahui setiap asbabun nuzul pasti mencakup: (a) peristiwa, (b) pelaku, dan (c) waktu. Tidak mungkin benak akan mampu menggambarkan adanya suatu peristiwa yang tidak terjadi dalam kurun waktu tertentu dan tanpa pelaku.
Sayang, selama ini pandangan menyangkut asbabun nuzul dan pemahaman ayat sering kali hanya menekankan kepada peristiwanya dan mengabaikan “waktu” terjadinya –setelah terlebih dahulu mengabaikan pelakunya– berdasarkan kaidah yang dianut oleh mayoritas tersebut.
Para penganut paham al-‘ibrah bi khushush al-sabab, menekankan perlunya analogi (qiyas) untuk menarik makna dari ayat-ayat yang memiliki latar belakang asbabun nuzul itu, tetapi dengan catatan apabila qiyas tersebut memenuhi syarat-syaratnya. (Muhammad Abdul Azhim Al-Zarqaniy, Manahil Al-‘Irfan, Al-Halabiy, Mesir, Cet. III, 1980 Jilid I h. 125)
Pandangan mereka ini, hendaknya dapat diterapkan tetapi dengan memperhatikan faktor waktu, karena kalau tidak, ia menjadi tidak relevan untuk dianalogikan. Bukankah, seperti dikemukakan di atas, ayat Al-Qur’an tidak turun dalam masyarakat hampa budaya dan bahwa “kenyataan mendahului/bersamaan dengan turunnya ayat”?
Analogi yang dilakukan hendaknya tidak terbatas oleh analogi yang dipengaruhi oleh logika formal (al-manthiq, al-shuriy) yang selama ini banyak mempengaruhi para fuqaha’ kita. Tetapi, analogi Yang lebih luas dari itu, yang meletakkan di pelupuk mata al-mashalih al-mursalah dan yang mengantar kepada kemudahan pemahaman agama, sebagaimana halnya pada masa Rasul dan para sahabat.” (Yusuf Kamil, Al-‘Ashriyun Mu’tazilat Al-Yawm, Al-Wafa’ Al-Mansurah, Mesir, 1985, h. 22)
Qiyas yang selama ini dilakukan menurut Ridwan Al-Sayyid adalah berdasarkan rumusan Imam Al-Syafi’i, yaitu Ilhaq far’i bi ashl li ittihad al-‘illah, yang pada hakikatnya tidak merupakan upaya untuk mengantisipasi masa depan, tetapi sekadar membahas fakta yang ada untuk diberi jawaban agama terhadapnya dengan membandingkan fakta itu dengan apa yang pernah ada. (Ridhwan Al-Sayyid, Al-Islam Al-Mu’ashir, Naz’at fi Al-Hadhir wa Al-Mustaqbal, Dar Al-‘Ulum Al-Arabiyah, Beirut, 1986, h. 90)
Pengertian asbabun nuzul dengan demikian dapat diperluas sehingga mencakup kondisi sosial pada masa turunnya Al-Qur’an dan pemahamannya pun dapat dikembangkan melalui kaidah yang pernah dicetuskan oleh ulama terdahulu, dengan mengembangkan pengertian qiyas. (Fathoni)
Disunting dari M. Quraish Shihab dalam buku karyanya ”Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat” (Mizan, 1999).