Penolakan Klaim AS Soal Yerusalem Disarankan Dibawa ke MU PBB

Jakarta – Hak veto yang dikeluarkan Amerika Serikat (AS) atas draf Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menipiskan peluang terjadinya perdamaian di Palestina. Meski demikian, masih ada cara agar perdamaian itu tercipta dan Palestina bisa diakui kemerdekaannya.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menilai, sebaiknya Palestina dan negara yang menolak kebijakan AS tersebut membawa persoalan tersebut ke Majelis Umum PBB. Di sana akan kelihatan negara mana saya yang menolak sikap AS.

“Kalau gagal di DK PBB karena di veto AS, maka sebaiknya pergi ke Majelis Umum PBB. Karena di Majelis Umum itu satu negara satu suara. Dan nanti akan ada voting dan bisa terlihat mayoritas negara menolak tindakan AS untuk memindahkan kedutaan besar mereka dari Tel Aviv ke Yerusalem, karena dianggap melanggar resolusi DK PBB,” kata Hikmahanto saat berbincang dengan detikcom, Selasa (19/12/2017).

Di Majelis Umum PBB tersebut, kata Hikmahanto, harus disampaikan bahwa tindakan AS atas pengakuan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel mengancam perdamaian dunia. Diharapkan Donald Trump melihat kenyataan di Majelis Umum PBB tersebut mengubah sikap yang diambil atas nama negaranya.

“Dan resolusi DK PBB harusnya bilang Amerika Serikat segera mengubah kebijakan mereka untuk tidak mengakui Ibu Kota Israel pindah ke Yerusalem. Itu yang harus didorong,” katanya.

“Dengan harapannya adalah Presiden Trump akan melihat kenyataan ini dan mengubah kebijakannya,” tambahnya.

Hikmahanto juga mengatakan, banyak negara yang tidak mau mengikuti apa yang telah diputuskan oleh AS. Untuk itu, dukungan untuk Palestina perlu dilakukan lewat jalur formal.

“Sebenarnya itu yang diharapkan dunia,” katanya.

Dia juga menilai, langkah untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina sangat logis jika dilakukan di Majelis Umum PBB tersebut.

“Sekarang yang paling efektif untuk menunjukkan pada Trump bahwa dunia tidak mendukung, termasuk demo besar dan lain-lain. Tapi sekarang perlu diformalkan lewat Majelis Umum PBB. Karena Dewan Kemanaan PBB ada 5 negara tetap dan punya veto, salah satunya AS,” jelas Himahanto.

“Ini jadi momentum penting dengan adanya blunder Trump ini untuk meperjuangkan Palestina,” tambah dia.

Sebelumnya, AS menggunakan hak vetonya atas draf Resolusi DK PBB yang menolak keputusan Presiden Donald Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Duta Besar AS untuk PBB, Nikki Haley, mengatakan draf resolusi tersebut merupakan ‘penghinaan’. Dia juga mewanti-wanti bahwa AS tidak akan melupakan pengajuan draf semacam itu.
(jor/imk)

DETIK

Benarkah Ratu Elizabeth II Keturunan dari Nabi?

LAMAN berita Observer pada Bulan Maret 2017 merilis sebuah artikel dari Persatuan Pers Internasional yang dikeluarkan pada tahun 1986. Isinya menerangkan bahwa Ratu Elizabeth II, merupakan keturunan ke-43 dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Berita ini pun kemudian diterjemahkan dan dipublikasikan juga di laman nasional republika.co.id pada tanggal 5 Desember 2017.

Rilis ini didasarkan pada catatan silsilah keluarga kerajaan yang diterbitkan oleh Burke Peerage (BP). BP sendiri telah menerbitkan catatan geneologi silsilah keluarga kerajaan yang otoritatif selama lebih dari 190 tahun. Keterangan tersebut bermula saat Harold Brooks-Baker, Direktur Penerbit Burke saat itu, menulis untuk Perdana Menteri Margaret Thatcher agar memberikan keamanan yang lebih baik untuk keluarga kerajaan. Ia mengatakan bahwa keturunan keluarga kerajaan yang merupakan keturunan langsung Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wassallam tidak dapat diandalkan untuk selamanya melindungi keluarga kerajaan dari “teroris Islam”.

Brooks-Baker mengatakan bahwa Keluarga Kerajaan Inggris merupakan keturunan langsung dari Nabi Muhammad melalui Raja-Raja Arab yang pernah menguasai Sevilla. Melalui pernikahan, darah mereka mengalir ke Raja-Raja Eropa seperti Portugal dan Castilla sampai ke Raja Edward IV pada abad 15.

Kemudian disebutkan bahwa “Kekhalifahan Bani Umayyah, Khalifah Arab yang didirikan setelah wafatnya Nabi Muhammad, memerintah lebih dari 15 Juta km persegi dari Kaukakus (Eurasia) sampai ke Semenanjung Iberia. Khilafah Bani Umayyah kemudian jatuh setelah Revolusi Abbasiyah (661-750 M). Dinasti Abbasiyah dibentuk oleh Abu al-Qasim Muhammad Ibn Abbad yang diklaim oleh sejarawan sebagai keturunan langsung dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam melalui Fatimah.

Dari al-Qasim inilah, para sejarawan Barat mempercayai Ratu Elizabeth memiliki darah dari Nabi. Al-Qasim menguasai Sevilla hingga wafat pada tahun 1042. Cucunya, al-Mu’tamid menguasai Cordoba pada 1071 sekaligus menjadi pemimpin terakhir Abbasiyah. Tahun 1091, Abbasiyah jatuh ke tangan Dinasti Murabithun dan putri al-Qasim yang bernama Zaida melarikan diri ke Istana Raja Alfonso VI, Raja Leon, Castilla dan Garcia. Ia kemudian masuk Agama Katolik, berganti nama menjadi Isabella, dan menikah dengan Alfonso. Dari Zaida ini lah kemudian lahir keturunan yang menikah dengan putra Raja Edward III dari Inggris dan dari keturunannya lah lahir Ratu Elizabeth.”

Empat Kekeliruan Fatal

Banyak kekeliruan dalam penjelasan di atas. Kesalahan pertama, setelah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam wafat, pemerintahan Islam dilanjutkan oleh Khulafaur-Rasydin, yaitu Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan terakhir Hasan bin Ali. Kemudian Muawiyyah membentuk Khilafah Umayyah. Baru pada tahun 750 M, Khilafah Umayyah jatuh dan digantikan oleh Khilafah Abbasiyyah.

Kesalahan kedua,  Observer menyamakan Dinasti Abbasiyyah dengan Dinasti Bani Abbad. Padahal  Abbasiyah dan Bani Abbad adalah dua dinasti yang berbeda.

Pendiri Khilafah Abbasiyyah adalah Abdullah as-Saffah bin Muhammad, keturunan Abbas bin Abdul Muththalib, paman Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam. Sementara Abu al-Qasim Muhammad bin Abbad adalah penguasa Sevilla dari Bani Abbad pada masa Thawaif, yaitu masa setelah Bani Umayyah tidak lagi berkuasa di Andalus.

Bani Abbad sendiri tidak pernah menjadi kerajaan besar seperti halnya Khilafah Umayyah atau Khilafah Abbasiyyah.

Kesalahan ketiga,  berkaitan dengan Zaida yang disebut sebagai putri dari al-Qasim. Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, dalam  Qishotul Andalusi: min al-Fath ila as-Suquth, justru menyebutkan bahwa Zaida adalah seorang budak yang dinikahi oleh al-Ma’mun, anak al-Mu’tamid. Ia membelot dan menikahi Alfonso VI setelah Sevilla dikuasai Murabhitun. Ini berarti Zaida bukan keturunan asli Bani Abbad, apalagi keturunan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam. Tidak mungkin ada yang berani memperbudak keluarga Rasulullah sementara masih banyak ulama dan ahli nasab di zaman tersebut.

Dalam rilis tersebut juga disebutkan silsilah lengkap Ratu Elizabeth hingga ke Hasan bin Ali karena Zaida memiliki nasab yang tersambung hingga ke Zahra binti Husain bin Hasan bin Ali. Klaim ini juga bermasalah.

Selain status Zaida yang sudah dijelaskan sebelumnya, Prof. Dr. Raghib as-Sirjani juga menuliskan bahwa Bani Abbad berasal dari keturunan Suku Lakhm (yaitu Athaf bin Nu’aim yang disebut kakek dari seluruh Bani Abbad). Tidak diceritakan adanya hubungan pernikahan antara suku Lakhm dengan anak keturunan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam yang disebutkan dalam artikel bernama Zahra binti Husain.

Seandainya memang ada hubungan ini, pastilah akan dituliskan karena ini merupakan peristiwa penting dalam hubungan nasab. Asep Sobari, Peneliti Insists dan pendiri Sirah Community Indonesia (SCI), menyebutkan bahwa berdasarkan pendapat terkuat ahli nasab, dari 19 anak Hasan bin Ali, hanya 3 yang memiliki keturunan yaitu al-Hasan (al-Mutsanna) bin al-Hasan, Zayd bin al-Hasan, dan Umm Abdillah binti al-Hasan.

Sebagian ahli nasab lain yang meyakini al-Husain bin al-Hasan memiliki keturunan sekalipun tidak menyebut nama az-Zahra sebagai anak perempuannya.

Terakhir, Burke Peerage sebagai penerbit ternyata memiliki reputasi yang kurang baik. Laman Koran Independent dari Inggris mengutip pernyataan Antony Camp, Direktur Komunitas Geneologis, yang mengkritisi terbitan Burke Peerage.

Ia mengatakan “The World Book of Surname” hanyalah daftar alamat yang diambil dari daftar pemilihan umum, biasanya sudah kadaluarsa. Harold Brooks-Baker juga memiliki reputasi yang kurang baik. Laman Koran Berita Telegraph dari Inggris, menulis tentangnya sebagai seorang jurnalis yang sering salah. The Guardian pun menyebutnya sebagai seorang yang sok tahu.

Dari analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa klaim tersebut masih simpang-siur alias kurang dapat dipercaya. Selain banyaknya kesalahan pada data yang disajikan, Burke Peerage dan direkturnya saat itu, Harold Brooks-Baker sendiri memiliki reputasi yang kurang baik. Wallahu ‘alam.* 

 

Oleh: Adi Zulfikar, Penulis Pegiat Sirah Community Indonesia

HIDAYATULLAH

 

Tujuh Syarat Wajib Salat Jumat

JUMAT merupakan salah satu salat yang diwajibkan selain salat fardlu lima waktu yang dilakukan setiap hari. Salat Jumat dilaksanakan satu minggu sekali, tepatnya pada waktu dhuhur hari Jumat, menggantikan kewajiban salat dhuhur. Namun, kewajiban Jumat tidak dibebankan kepada seluruh orang.

(Baca juga: Enam Syarat Sah Pelaksanaan Salat Jumat)

Ada kriteria tertentu orang-orang yang diwajibkan menjalankan Jumat atau diistilahkan dengan syarat wajib pelaksanaan Jumat. Syekh Muhammad bin Ahmad al-Syathiri dalam Syarh al-Yaqut al-Nafis menyebutkan bahwa syarat wajib Jumat ada tujuh. Sekiranya tidak terpenuhi, maka tidak wajib menjalankan Jumat. Berikut ini tujuh syarat wajib Jumat:

Syarat pertama, kedua, dan ketiga adalah Islam, akil baligh, dan berakal. Ketiga syarat ini berlaku di setiap kewajiban ibadah lainnya, tidak terkecuali salat Jumat. Sebab bila tidak terpenuhi, maka seseorang tidak terkena beban (taklif) melakukan kewajiban-kewajiban syariat. Sehingga Jumat tidak diwajibkan atas non-Muslim, anak kecil yang belum akil baligh, orang gila dan orang epilepsi.

Syarat keempat dan kelima adalah merdeka dan laki-laki. Tidak seperti salat fardlu lainnya, Jumat tidak dibebankan kepada hamba sahaya dan perempuan serta khuntsa (orang yang tidak jelas jenis kelaminnya). Hal ini berdasarkan hadits Nabi Saw:

“Jumat adalah kewajiban bagi setiap Muslim secara jemaah kecuali empat orang. Hamba sahaya yang dimiliki, perempuan, anak kecil dan orang sakit”. (HR. Abu Daud).

Namun demikian, sunah bagi tuannya hamba untuk memerintah hamba sahayanya melaksanakan Jumat. Demikian pula bagi perempuan tua, sunah melaksanakan Jumat dengan catatan tidak khawatir menimbulkan fitnah, mendapat izin dari suaminya (bagi yang telah menikah) dan dengan memakai pakaian sederhana. Makruh bagi perempuan muda menghadiri Jumat meskipun dengan pakaian sederhana dan telah mendapat izin suaminya. Dalam kitab Hasyiyah al-Syarwani disebutkan:

“Sunah bagi sayyid mengizinkan hambanya untuk menghadiri Jumat. Demikian pula sunah bagi wanita tua sekiranya tidak ada fitnah untuk menghadirinya seperti diketahui dalam keterangan yang lalu di awal bab salat jemaah. Demikian pula sunah menghadiri Jumat bagi wanita tua dengan catatan mendapat izin dari suaminya atau bagi wanita tua yang tidak memiliki suami. Dari keterangan ini dapat dipahami bahwa makruh menghadiri Jumat bagi perempuan muda meskipun dengan pakaian sederhana dan mendapatkan izin dari suaminya”. (lihat Syekh Abdul Hamid al-Syarwani, Hasyiyah al-Syarwani ala Tuhfah al-Muhtaj, juz.2, hal.443, Dar al-Fikr-Beirut, cetakan pertama tahun 1997).

Syarat keenam, sehat jasmani. Mengingat dalam menghadiri Jumat dibutuhkan stamina yang cukup prima, sehingga Jumat hanya dibebankan kepada orang yang sehat. Maka tidak wajib Jumat bagi orang sakit. Disamakan dengan orang sakit dalam hal tidak diwajibkan Jumat, yaitu orang-orang yang terdapat uzur dalam meninggalkan salat jemaah. Dalam arti, kriteria uzur dalam permasalahan salat jemaah juga berlaku dalam bab Jumat.

Batasan uzur yang dapat menggugurkan salat Jumat dan jemaah menurut Syekh Muhammad bin Ahmad al-Syathiri dalam Syarh al-Yaqut al-Nafis kembali kepada dua kaidah. Pertama, sekiranya terdapat kepayahan yang parah (masyaqqah syadidah) dalam menghadiri Jumat. Seperti disebabkan sakit, cuaca terlampau panas, cuaca terlampau dingin dan lain sebagainya. Kedua, sekiranya menghadiri Jumat berdampak terbengkalainya kemashlahatan yang tidak dapat digantikan orang lain. Maka tidak wajib Jumat bagi petugas kepolisian yang mengamankan lalu lintas, perawat orang sakit, penjaga pos keamanan warga dan lain sebagainya. (lihat Syekh Muhammad bin Ahmad al-Syathiri, Syarh al-Yaqut al-Nafis, hal. 207-208, Dar al-Minhaj-Jedah, cetakan ketiga tahun 2011).

Syarat ketujuh, bermukim. Sehingga tidak wajib Jumat bagi orang yang sedang bepergian meski jarak tempuhnya tidak sampai batas jarah diperbolehkan mengqashar salat. Namun, gugurnya kewajiban Jumat bagi musafir dengan catatan perjalanannya dengan tujuan yang mubah dan dilakukan sebelum terbit fajar subuh hari Jumat.

Apabila perjalanannya dengan tujuan maksiat atau ditempuh setelah subuh, maka wajib bagi musafir menjalankan Jumat di tengah perjalanannya. (lihat Syekh Abdul Hamid al-Syarwani, Hasyiyah al-Syarwani ala Tuhfah al-Muhtaj, juz.2, hal.443, Dar al-Fikr-Beirut, cetakan pertama tahun 1997).

Wallahu alam.

(M. Mubasysyarum Bih/nuol)

 

INILAH MOZAIK

Ketika Sahabat Ali Terlambat Salat Subuh Berjemaah

Dini hari itu Ali bin ABi Thalib bergegas bangun untuk mengerjakan shalat Subuh berjamaah di masjid bersama Rasulullah. Rasulullah tentulah sudah berada di sana.

Rasanya, hampir tidak pernah Rasulullah keduluan orang lain dalam berbuat kebaikan. Tidak ada yang istimewa karena memang itulah aktivitas yang sempurna untuk memulai hari, dan bertahun-tahun lamanya Ali bin Abi Thalib sudah sangat terbiasa.

Langit masih gelap, cuaca masihlah dingin, dan jalanan masih pula diselimuti kabut pagi yang turun bersama embun. Ali melangkahkan kakinya menuju masjid. Dari kejauhan, lamat-lamat sudah terdengar suara Bilal memanggil-manggil dengan adzannya yang berkumandang merdu ke segenap penjuru Kota Madinah.

Namun, belumlah begitu banyak melangkah, di jalan menuju masjid, di hadapannya ada sesosok orang. Ali mengenalinya sebagai seorang kakek tua yang beragama Yahudi. Kakek tua itu melangkahkan kakinya teramat pelan sekali. Itu mungkin karena usianya yang telah lanjut. Tampak sekali ia sangat berhati-hati menyusuri jalan.

Ali sebenarnya sangat tergesa-gesa. Ia tidak ingin tertinggal mengerjakan shalat tahyatul masjid dan qabliyah Subuh sebelum melaksanakan shalat Subuh berjamaah bersama Rasulullah dan para sahabat lainnya.

Ali paham benar bahwa Rasulullah mengajarkan supaya setiap umat muslim menghormati orang tua. Siapa pun itu dan apapun agamanya. Maka, Ali pun terpaksa berjalan di belakang kakek itu. Tapi apa daya, si kakek berjalan amat lamban, dan karena itu pulalah langkah Ali jadi melambat. Kakek itu lemah sekali, dan Ali tidak sampai hati untuk mendahuluinya. Ia khawatir kalau-kalau kakek Yahudi itu terjatuh atau kena celaka.

Setelah sekian lamanya berjalan, akhirnya waktu mendekati masjid, langit sudah mulai terang. Kakek itu melanjutkan perjalanannya, melewati masjid.

Ketika memasuki masjid, Ali menyangka shalat Subuh berjamaah sudah usai. Ia bergegas. Ali terkejut sekaligus gembira, Rasulullah dan para sahabat masih rukuk pada rakaat yang kedua. Berarti Ali masih punya kesempatan untuk memperoleh shalat berjamaah. Jika masih bisa menjalankan rukuk bersama, berarti ia masih mendapat satu rakaat shalat berjamaah.

Sesudah Rasulullah mengakhiri shalatnya dengan salam, Umar bin Khattab memberanikan diri untuk bertanya. “Wahai Rasulullah, mengapa hari ini shalat Subuhmu tidak seperti biasanya? Ada apakah gerangan?”

Rasulullah balik bertanya, “Kenapakah, ya Umar? Apa yang berbeda?”

“Kurasa sangat lain, ya Rasulullah. Biasanya engkau rukuk dalam rakaat yang kedua tidak sepanjang pagi ini. Tapi, tadi itu engkau rukuk lama sekali. Kenapa?”

Rasulullah menjawab, “Aku juga tidak tahu. Hanya tadi, pada saat aku sedang rukuk dalam rakaat yang kedua, Malaikat Jibril tiba-tiba saja turun lalu menekan punggungku sehingga aku tidak dapat bangun iktidal. Dan itu berlangsung lama, seperti yang kau ketahui juga.”

Umar makin heran. “Mengapa Jibril berbuat seperti itu, ya Rasulullah?”

Nabi berkata, “Aku juga belum tahu. Jibril belum menceritakannya kepadaku.”

Dengan perkenaan Allah, beberapa waktu kemudian Malaikat Jibril pun turun. Ia berkata kepada Nabi saw., “Muhammad, aku tadi diperintahkan oleh Allah untuk menekan punggunmu dalam rakaat yang kedua. Sengaja agar Ali mendapatkan kesempatan shalat berjamaah denganmu, karena Allah sangat suka kepadanya bahwa ia telah menjalani ajaran agamaNya secara bertanggung jawab. Ali menghormati seorang kakek tua Yahudi. Dari penghormatannya itu sampai ia terpaksa berjalan pelan sekali karena kakek itupun berjalan pelan pula. Jika punggungmu tidak kutekan tadi, pasti Ali akan terlambat dan tidak akan memperoleh peluang untuk mengerjakan shalat Subuh berjamaah denganmu hari ini.”

Mendengar penjelasan Jibril itu, mengertilah kini Rasulullah. Beliau sangat menyukai perbuatan Ali karena apa yang dilakukannya itu tentunya menunjukkan betapa tinggi penghormatan umat Islam kepada orang lain. Satu hal lagi, Ali tidak pernah ingin bersengaja terlambat atau meninggalkan amalan shalat berjamaah. Rasulullah menjelaskan kabar itu kepada para sahabat. []

 

Sumber: artikel Mochamad Bugi/ INILAH MOZAIK

3 Peristiwa Besar di Yerusalem

Sampai abad ketujuh, setidaknya ada tiga peristiwa besar yang berlangsung di Yerusalem. Pertama, serbuan tentara Persia (Sasanid) pada 614 yang berakibat pembantaian atas 60 ribu orang Kristen di Yerusalem. Lebih dari 30 ribu orang Kristen lainnya dibawa ke Persia untuk menjadi budak. Bangunan peribadatan Kristen di Yerusalem pun ikut diluluhlantakkan.

Kedua, Kaisar Romawi Timur Heraclius kembali menguasai Yerusalem pada 629. Kali ini orang-orang Yahudi menjadi sasaran untuk dibunuh. Sementara itu, Heraclius juga memulihkan kembali hegemoni Dunia Kristen atas Yerusalem sepeninggalan kekuatan Persia di sana. Saat dua peristiwa besar itu berlangsung, Islam mulai mengukuhkan pengaruhnya di Semenanjung Arab, khususnya setelah Penaklukan Makkah terjadi pada 630.

Ketiga, pembebasan Yerusalem oleh umat Islam di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab. Pada masa khalifah kedua itu, baik kekaisaran Persia maupun Romawi Timur sedang mengalami degradasi.

Sementara, umat Islam sedang bersemangat menyebarkan ajaran Rasulullah SAW ke luar Arab, antara lain, dengan jalan penaklukan. Pada 20 Agustus 636, tentara Muslim menang melawan pasukan Romawi Timur di Perang Yarmuk. Pada Juli 637, kaum Muslim berhasil mengepung Yerusalem.

Seperti digambarkan Karen Armstrong dalam bukunya, Jerusalem: One City Three Faiths, Khalifah Umar mendengar kabar tentang sikap keras pemuka Kristen Yerusalem, Sophronius. Dia menginginkan agar kunci gerbang Yerusalem diserahkan kepada Umar langsung, alih-alih pemimpin militer lapangan. Maka, datanglah Khalifah Umar ke sana, sedangkan Sophronius dan bawahannya telah menyiapkan gelaran upacara yang terkesan mewah demi menghormati Umar.

Begitu melihat kedatangan Umar, Sophronius dan kaum Kristen setempat terheran-heran. Pasalnya, sang khalifah tampil dengan busana yang biasa dikenakannya di Madinah: baju dengan bahan kain kasar, selayaknya rakyat miskin. Bagi Karen, agaknya para pemuka Kristen Yerusalem merasa tersentuh, betapa pemimpin Muslim itu lebih menghayati ajaran Yesus tentang empati kepada kaum papa ketimbang mereka.

Umar juga menunjukkan pentingnya gagasan welas asih lebih dari siapa pun penakluk Yerusalem sebelumnya, mungkin selain Nabi Daud. Dia (Umar bin Khaththab)menerapkan penaklukan yang paling damai dan paling tanpa pertumpahan darah sepanjang sejarah panjang kota itu (Yerusalem)yang penuh kesedihan dan tragedi, tulis Karen Armstrong lagi.

Khalifah Umar juga menolak berdoa (shalat) di dalam gereja. Alasannya disampaikan kepada Sophronius. Umar tidak ingin gereja itu kemudian diubah oleh tentara Muslim menjadi masjid hanya karena pemimpinnya pernah berdoa di sana.

Umar juga peka terhadap kaum Yahudi.

Sejarah mencatat, selama kuatnya dominasi Romawi Timur di Yerusalem, kaum Kristen setempat menjadikan sisa bangunan Kuil Kedua yang dihancurkan Persia sebagai tempat sampah. Ini tentunya menyakiti perasaan kaum Yahudi.

Begitu melihat penampakan bangunan itu, Khalifah Umar untuk sesaat terkejut.

Namun, seperti dituturkan sejarawan Mujirudin, Umar kemudian mengambil beberapa batu yang menimbun bekas Kuil Kedua itu. Tindakan Umar ini segera diikuti seluruh pasukan Muslim.

Beberapa saat kemudian, situs tersebut tampak lebih bersih dari semula. Umar, sebagaimana seluruh kaum Muslim pada saat itu, memahami benar signifikansi Yerusalem bagi tiga umat yang mengakui kenabian Ibrahim AS. Hanya saja, berbeda daripada penguasa Kristen maupun Yahudi yang saling mendiskreditkan satu sama lain, Khalifah Umar berupaya menjadikan Yerusalem sebagai rumah yang terbuka untuk kaum Muslim, kaum Kristen, dan kaum Yahudi.

Khalifah Umar selanjutnya memanggil Kaab bin Ahbar, seorang Muslim yang dahulunya beragama Yahudi untuk dimintai pendapatnya. Sahabat Nabi SAW bergelar al-Faruq ini ingin memastikan lokasi situs- situs di Yerusalem yang bersejarah dalam perspektif Yahudi

 

REPUBLIKA

Anda Sudah Berusia 40 Tahun? Simak yang Ini!

Doa Saat Sudah Berumur 40 Tahun

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Shalawat dan salam atas hamba dan utusan-Nya, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam , keluarga dan para sahabatnya.

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. Al-Ahqaf: 15)

Keistimewaan Umur 40 Tahun

Sebagian orang menyebut, umur empat puluh tahun penuh teka-teki dan penuh misteri. Sehingga terbit sebuah buku berjudul, “Misteri Umur 40 tahun” yang diterbitkan pustaka al-tibyan – Solo, diterjemahkan dari buku berbahasa Arab, Ya Ibna al-Arba’in, oleh Ali bin Sa’id bin Da’jam.

Seseorang yang sudah mencapai umur 40 tahun berarti akalnya sudah sampai pada tingkat kematangan berfikir serta sudah mencapai kesempurnaan kedewasaan dan budi pekerti. Sehingga secara umum, tidak akan berubah kondisi seseorang yang sudah mencapai umur 40 tahun.

Al-Tsa’labi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah menyebutkan umur 40 tahun karena ini sebagai batasan bagi manusia dalam keberhasilan maupun keselamatannya.”

Ibrahim al-Nakhai rahimahullah berkata, “Mereka berkata (yakni para salaf), bahwa jika seseorang sudah mencapai umur 40 tahun dan berada pada suatu perangai tertentu, maka ia tidak akan pernah berubah hingga datang kematiannya.” (Lihat: al-Thabaqat al-Kubra: 6/277)  

Allah Ta’ala telah mengangkat para nabi dan Rasul-Nya, kebanyakan, pada usia 40 tahun, seperti kenabian dan kerasulan Muhammad, Nabi Musa, dan lainnya ‘alaihim al-Shalatu wa al-Sallam. Meskipun ada pengecualian sebagian dari mereka.

Imam al-Syaukani rahimahullah berkata, “Para ahli tafsir berkata bahwa Allah Ta’ala tidak mengutus seorang Nabi kecuali jika telah mencapai umur 40 tahun.” (Tafsir Fathul Qadir: 5/18)

Dengan demikian, usia 40 tahun memiliki kekhususan tersendiri. Pada umumnya, usia 40 tahun adalah usia yang tidak dianggap biasa, tetapi memiliki nilai lebih dan khusus.

Dihikayatkan, al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi adalah seorang laki-laki yang shalih, cerdas, sabar, murah hati, berwibawa dan terhormat. Ia berkata, “manusia yang paling sempurna akal dan pikirannya adalah apabila telah mencapai usia 40 tahun. Itu adalah usia, di mana pada usia tersebut Allah Ta’ala mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan pikiran manusia akan sangat jernih pada waktu sahur.” (Lihat: al-Wafyat A’yan, Ibnu Khalkan: 2/245)

Disebutkan tentang biografi al-Hafidz Jalaluddin al-Suyuthi, “Bahwa ketika mencapai umur 40 tahun ia berkonsentrasi untuk beribadah dan memutuskan diri dari hubungan dengan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, dan ia berpaling dari semua urusan dunia dan umat manusia, seakan-akan ia tidak pernah kenal seorangpun dari mereka. Dan ia terus menyusun karya-karya tulisnya. . .” (Syadzratu al-Dzahab: 8/51)

Al-Qur’an Menyebut Umur 40 Tahun

Cukuplah Al-Qur’an yang telah menyebutkan umur 40 tahun dengan tegas itu menjadi perhatian. Sehingga kita lihat, saat memasuki usia ini para ulama salaf mencapai kebaikan amal mereka dan menjadikannya sebagai hari-hari terbaik dalam hidupnya.

Allah Ta’ala berfirman,

حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”.” (QS. Al-Ahqaf: 15)

Umur 40 Tahun dan Syukur

Ayat di atas mengisyaratkan, saat sudah menginjak usia 40 tahun hendaknya seseorang mulai meningkatkan rasa syukurnya kepada Allah juga kepada orang tuanya. Ia memohon kepada-Nya, agar diberi hidayah, taufik, dibantu, dan dikuatkan agar bisa menegakkan kesyukuran ini. Karena segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini adalah dengan kehendak dan izin-Nya, sehingga ia meminta hal itu kepada-Nya. Ini sebagaimana doa yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘Anhu, “Aku wasiatkan kepadamu wahai Mu’adz, Janganlah engkau tinggalkan untuk membaca sesudah shalat:

اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِك ، وَشُكْرِك وَحُسْنِ عِبَادَتِك

Ya Allah, bantulah aku untuk berdzikir, beryukur, dan memperbaiki ibadah kepada-Mu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Nasai dengan sanad yang kuat)

Karena sesungguhnya seorang hamba pasti sangat butuh kepada pertolongan Tuhannya  dalam menjalankan perintah, menjauhi larangan, dan sabar atas ketetapan-ketetapan takdir-Nya. (Dinukil dari Subulus Salam, Imam al-Shan’ani)

Sebenarnya bersyukur itu sepanjang umur. Dan dikhususkan pada umur 40 tahun ini karena pada saat usia ini seseorang benar-benar harus sudah mengetahui segala nikmat Allah yang ada padanya dan pada orang tuanya, lalu ia mensyukurinya.

Imam al-Qurthubi rahimahullah dalam tafsirnya berkata, “Allah Ta’ala menyebutkan orang yang sudah mencapai umur 40 tahun, maka sesungguhnya telah tiba baginya untuk mengetahui nikmat Allah Ta’ala yang ada padanya dan kepada kedua orang tuanya, kemudian mensyukurinya.”

Sesungguhnya hakikat syukur itu mencakup tiga komponen; hati, lisan, dan anggota badan. Hati dengan mengakui bahwa semua nikmat itu berasal dari pemberian Allah. Lisan dengan menyebut-nyebut dan menyandarkan nikmat itu kepada-Nya serta memuji-Nya. Sementara anggota badan adalah dengan menggunakan nikmat itu untuk taat kepada-Nya, yakni untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Oleh karenanya, disebutkan dalam ayat, “Dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai.

Ditekankan Bersyukur Kepada Orang Tua

Saat seseorang berumur 40 tahun, maka ia memiliki tanggungjawab di tengah keluarga dan masyarakat yang lebih besar. Anak-anak memerlukan biaya yang lebih untuk pendidikan dan lainnya. Sementara orang tuanya, pastinya sudah renta dan sangat memerlukan bantuan dari anak-anaknya. Di sinilah sering seseorang melupakan orang tuanya karena konsentrasinya yang lebih terhadap keluarga dan anak-anaknya. Padahal seharusnya dengan bertambahnya umur semakin membuat ia sadar akan jasa-jasa orang tuanya kepada dirinya. Sehingga disebutkan dalam hadits, “Merugilah seseorang, merugilah seseorang, merugilah seseorang yang mendapatkan kedua orang tuanya, salah seorang atau kedua-duanya, tapi tidak bisa masuk surga (dengan itu).” Dalam riwayat lain, “Tapi keduanya tidak bisa memasukkannya ke dalam surga.” (HR. Ahmad dan lainnya)

Ayat tentang kewajiban berbuat ihsan kepada orang tua di atas diawali dengan perintah untuk mentahidkan Allah, ikhlash ibadah kepada-Nya, dan istiqamah di atasnya. Seolah menunjukkan, saat Allah perintahkan untuk mentauhidkan-Nya ada di antara hamba yang menyambut dan ada pula yang menentang. Sama juga dengan perintah berbakti kepada orang tua, ada manusia yang berbakti kepada orang tuanya dan ada pula yang malah durhaka.

Juga mengisyaratkan, agar tidak membedakan dan membentukan berbuat ihsan kepada orang tua dengan mentauhidkan Allah. Sesungguhnya berbuat ihsan kepada kedua orang tua itu bagian dari ibadah kepada Allah. Sehingga tidak boleh dalam berbuat ihsan tersebut melanggar nilai-nilai ketauhidan. Walau besar hak orang tua atas anak, tidak boleh mentaati keduanya dalam maksiat kepada Allah. Karena tetaplah nikmat yang orang tua dapatkan itu berasal dari Allah juga.

Bentuk berbuat ihsan kepada orang tua yang diperintahkan dalam ayat tersebut mencakup segala bentuk berbuat baik seperti memenuhi nafkah orang tua, memnuhi kebutuhannya, mentaati perintahnya yang ma’ruf, menghidarkan dari bahaya, mengobatkannya jika sakit, menghiburnya jika sedih, dan memohonkan ampun dan doa untuk kedunya, serta yang lainnya.

Jangan Lupakan Keturunan

Sesudah seorang muslim diperintah berbuat baik kepada orang yang di atasnya dan mengerjakan amal shalih untuk dirinya, janganlah ia lupa terhadap anak keturunanya. Ia juga wajib memperhatikan pendidikan dan pengarahan mereka, agar menjadi orang yang taat kepada Allah Ta’ala. Karena mereka adalah amanat yang harus diarahkan untuk taat kepada Tuhan-Nya.

Dan sesungguhnya di antara balasan baik dari amal shalih mereka adalah diperbaiki keturunan mereka. Baiknya orang tua akan berefek kepada perbaikan anak. Ini juga menjadi pelajaran, dalam melakukan pendidikan kepada anak haruslah orang tua memulai dari menshalihkan diri mereka dengan ilmu dan amal. Di samping supaya bisa menjadi teladan, baiknya anak keturunan juga menjadi balasan bagi dirinya.

Syaikh al-Sa’di berkata dalam menafsirkan ayat di atas, “Sesungguhnya baiknya orang tua dengan ilmu dan amal termasuk sebab yang besar untuk baiknya anak-anak mereka.”

Selain itu, berdoa sebagai bagian dari tawakkal kepada Allah dalam usaha tidak boleh dianggap ringan. Karena hati manusia itu berada di antara dua jari dari jemari Allah Ta’ala yang diarahkan kepada Dia kehendaki. Oleh sebab itu, kita dapatkan doa dari para Nabi dan orang-orang shalih untuk keshalihan anak-anak mereka. Silahkan baca: Doa Agar Dikaruniakan Anak Shalih.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, ada seorang lelaki yang mengadikan tentang anaknya kepada Thalhah bin Musharrif Radhiyallahu ‘Anhu, maka Thalhah berkata kepadanya, “Minta tolonglah dalam masalah anakmu dengan ayat,

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. Al-Ahqaf: 15)

Memperbaharui Taubat

Usia 40 tahun haruslah menjadi titik tolak dan perbaharuan taubat penyesalan seseorang atas dosa-dosa dan kufur nikmat selama hidupnya. Karena pada usia ini benar-benar telah merasakan banyaknya nikmat dan tidak sebandingnya rasa syukur terhadapnya. Maka pengakuan dosa pasti akan mengalir dari orang yang mau merenungkan masa lampaunya, sehingga dari itu lahir penyesalan, tumbuh istighfar dan taubat kepada Allah.

Oleh sebab itu, disebutkan dalam doa di atas,

إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. Al-Ahqaf: 15)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Dan di dalamnya terdapat petunjuk bagi orang yang sudah berusia 40 tahun agar memperbaharui taubat dan inabah kepada Allah ‘Azza wa Jalla serta bertekad kuat atasnya.” Dia harus terus meninggakatkannya saat usianya menginjak 40 tahun sampai ajal menjemputnya. Wallahu Ta’ala A’lam.

 

Oleh: Badrul Tamam

[PurWD/voa-islam.com]

 

 

 

————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Apabila Meninggalkan Rukun Islam: Salat

IBNU Rajab berkata, ada berbagai hadits yang menyatakan bahwa meninggalkan shalat mengakibatkan keluar dari Islam. Seperti hadits Jabir berikut yang dikeluarkan oleh Imam Muslim, “(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim, no. 82)

Umar radhiyallahu anhu pernah berkata, “Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” (Riwayat ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Ash-Shalah, hlm. 41-42. Dikeluarkan oleh Malik, begitu juga diriwayatkan oleh Saad dalam Ath-Thabaqat, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Iman. Diriwayatkan pula oleh Ad-Daruquthniy dalam sunannya, juga Ibnu Asakir. Hadits ini shahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa Al-Ghalil, no. 209)

Bahkan Ayyub As-Sikhtiyani berani menyimpulkan, “Meninggalkan shalat itu berarti kafir. Hal ini tidak diperselisihkan sama sekali.” (Jami Al-Ulum wa Al-Hikam, 1: 147)

Imam Ahmad dan Imam Ishaq juga mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat. Mereka samakan dengan kafirnya Iblis yang diperintahkan sujud pada Adam dan enggan. Dan Iblis juga enggan bersujud pada Allah Yang Maha Mulia. (Jami Al-Ulum wa Al-Hikam, 1: 149)

Sebagai tanda mulianya shalat, saat lupa atau ketiduran (asalkan bukan kebiasaan) tetap dikerjakan saat ingat atau tersadar. Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang lupa shalat, hendaklah ia shalat ketika ia ingat. Tidak ada kewajiban baginya selain itu.” (HR. Bukhari, no. 597; Muslim, no. 684)

Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Barangsiapa yang lupa shalat atau tertidur, maka tebusannya adalah ia shalat ketika ia ingat.” (HR. Muslim, no. 684)

 

INILAHMOZAIK

Berdosakah Lelaki yang Tak Salat Jemaah di Masjid?

RASULULLAH shallallahu alaihi wa sallam memperingatkan keras pria yang meninggalkan shalat jamaah yaitu ingin membakar rumah mereka. Tentu saja hal ini menunjukkan bahwa shalat jamaah adalah wajib. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, ingin kiranya aku memerintahkan orang-orang untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku perintahkan mereka untuk menegakkan shalat yang telah dikumandangkan adzannya, lalu aku memerintahkan salah seorang untuk menjadi imam, lalu aku menuju orang-orang yang tidak mengikuti sholat jamaah, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka”.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, seorang lelaki buta datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki penunjuk jalan yang dapat mendampingi saya untuk mendatangi masjid.” Maka ia meminta keringanan kepada Rasulullah untuk tidak shalat berjamaah dan agar diperbolehkan shalat di rumahnya. Kemudian Rasulullah memberikan keringanan kepadanya. Namun ketika lelaki itu hendak beranjak, Rasulullah memanggilnya lagi dan bertanya, “Apakah kamu mendengar adzan?” Ia menjawab,”Ya”. Rasulullah bersabda,”Penuhilah seruan (adzan) itu.”

Orang buta ini tidak dibolehkan shalat di rumah apabila dia mendengar adzan. Hal ini menunjukkan bahwa memenuhi panggilan adzan adalah dengan menghadiri shalat jamaah. Hal ini ditegaskan kembali dalam hadits Ibnu Ummi Maktum. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, di Madinah banyak sekali tanaman dan binatang buas. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kamu mendengar seruan adzan hayya alash sholah, hayya alal falah? Jika iya, penuhilah seruan adzan tersebut”.”

Lihatlah laki-laki tersebut memiliki beberapa udzur: [1] dia adalah seorang yang buta, [2] dia tidak punya teman sebagai penunjuk jalan untuk menemani, [3] banyak sekali tanaman, dan [4] banyak binatang buas. Namun karena dia mendengar adzan, dia tetap diwajibkan menghadiri shalat jamaah. Walaupun punya berbagai macam udzur semacam ini, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tetap memerintahkan dia untuk memenuhi panggilan adzan yaitu melaksanakan shalat jamaah di masjid. Bagaimana dengan orang yang dalam keadaan tidak ada udzur sama sekali, masih diberi kenikmatan penglihatan dan sebagainya?!

Kesimpulan: Shalat jamaah adalah wajib (fardhu ain) sebagaimana hal ini adalah pendapat Atho bin Abi Robbah, Al Hasan Al Bashri, Abu Amr Al Awzai, Abu Tsaur, Al Imam Ahmad (yang nampak dari pendapatnya) dan pendapat Imam Asy Syafii dalam Mukhtashor Al Muzanniy. Imam Asy Syafii mengatakan: “Adapun shalat jamaah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur.” Pendapat Imam Asy Syafii ini sangat berbeda dengan ulama-ulama Syafiiyah.

Menurut Hanafiyyah yang benar dari pendapat mereka- dan ini juga adalah pendapat mayoritas Malikiyah, juga pendapat Syafiiyah bahwa shalat jamaah 5 waktu adalah sunnah muakkad. Namun sunnah muakkad menurut Hanafiyyah adalah hampir mirip dengan wajib yaitu nantinya akan mendapat dosa. Dan ada sebagian mereka (Hanafiyyah) yang menegaskan bahwa hukum shalat jamaah adalah wajib. Lalu pendapat yang paling kuat dari Syafiyah, shalat jamaah 5 waktu adalah fardhu kifayah. Pendapat ini juga adalah pendapat sebagian ulama Hanafiyah semacam Al Karkhiy dan Ath Thohawiy.

Namun sebagian Malikiyah, mereka memberi rincian. Shalat jamaah menurut mereka adalah fardhu kifayah bagi suatu negeri. Jika di negeri tersebut tidak ada yang melaksanakan shalat jamaah, maka mereka harus diperangi. Namun menurut mereka, hukum shalat jamaah 5 waktu adalah sunnah di setiap masjid yang ada dan merupakan keutamaan bagi para pria. Namun menurut Hanabilah, juga salah satu pendapat Hanafiyyah dan Syafiiyyah bahwa shalat jamaah adalah wajib, namun bukan syarat sah shalat.

Itulah perselisihan ulama yang ada. Ada yang mengatakan shalat jamaah 5 waktu adalah fardhu ain, ada pula yang mengatakan fardhu kifayah, dan ada pula yang mengatakan sunnah muakkad. Namun, agar lebih-lebih hati-hati dan tidak sampai terjerumus dalam dosa, maka pendapat yang lebih tepat kita pilih sebagaimana dalil-dalil yang telah diutarakan di atas: shalat jamaah 5 waktu adalah wajib, fardhu ain.

Demikianlah penjelasan singkat mengenai hukum shalat berjamaah di masjid dari Al Quran dan As Sunnah. Kami tegaskan bahwa untuk wanita, tidak diwajibkan bagi mereka untuk shalat jamaah di masjid berdasarkan kesepakatan (ijma) para ulama. Ya Allah dengan izin-Mu, berilah kami petunjuk kepada kebenaran atas semua perkara yang dipersilisihkan. Amin Ya Mujibbas Sailin. Alhamdulillahilladzi bi nimatihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ala nabiyyina Muhammad wa ala alihi wa shohbihi wa sallam. [Muhammad Abduh Tuasikal]

 

INILAH MOZAIK

Singkat Padat, Panduan Muslim dalam Mencari Rezeki

BEGINILAH Alquran bertutur, membuat sebuah panduan yang berharga untuk setiap muslim, bahwa apa yang kita tuju menentukan cara kita untuk sampai kepadanya.

(1). Urusan berzikir (salat), perintahnya adalah “Berlarilah!”

“Wahai orang yang beriman, apabila kalian diseru untuk menunaikan salat Jumat, maka BERLARILAH kalian MENGINGAT Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al-Jumah: 9)

(2). Urusan melakukan kebaikan, perintahnya adalah “Berlombalah!”

“Maka BERLOMBA-LOMBALAH dalam berbuat KEBAIKAN.” (QS. Al-Baqarah: 148)

(3). Urusan meraih ampunan, perintahnya adalah “Bersegeralah!”

“Dan BERSEGERALAH kamu menuju AMPUNAN dari Tuhanmu dan menuju SURGA” (QS. Ali Imron: 133)

(4). Urusan menuju Allah, perintahnya adalah “Berlarilah dengan cepat!”

“Maka BERLARILAH kembali taat kepada ALLAH.” (QS. Adz-Dzaariyat: 50)

(5). Tapi, urusan menjemput rezeki (Duniawi), perintahnya HANYALAH “Berjalanlah!”

“Dialah yang menjadikan bumi mudah bagimu, maka BERJALANLAH di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya.” (QS. Al-Mulk: 15)

Semestinya kita memahami, kapan kita perlu BERLARI, atau menambah kecepatan lari kita, atau bahkan CUKUP BERJALAN saja. Jangan-jangan, selama ini kita merasa lelah, karena malah berlari mengejar dunia yang seharusnya CUKUP DENGAN BERJALAN.

Ya Allah, bimbinglah kami! Wallaahu a’lam bish shawwab. [Muslim.or.id]

 

INILAH MOZAIK

Mau Masuk Surga? Amalkanlah Bacaan zikir Ini

ZIKIR merupakan sumber ketenangan di dalam hati orang-orang yang beriman. Ketenangan hati inilah yang menjadi sebab utama kesehatan pikiran dan fisik seseorang. Tanpa ketenangan, kesehatan adalah kemustahilan.

Zikir juga dikategorikan sebagai salah satu amalan yang paling utama bagi seorang hamba yang beriman. Hal ini didasarkan pada hadits Hasan yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dari Abdullah bin Busyr, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

Seorang sahabat mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam seraya bertanya, “Ya Rasulallah, sungguh syariat Islam itu teramat banyak untukku. Maka beritahukanlah kepadaku tentang sesuatu yang menjadi pegangan pokok untukku.”

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pun bersabda, “Hendaklah lisanmu selalu basah dengan berzikir kepada Allah Taala.”

Di antara kalimat-kalimat dzikir yang matsur itu, ada satu kalimat agung yang mafhum kita ucapkan. Luar biasanya lagi, Nabi menyampaikan janji pasti dengan mengatakan, “Siapa yang membacanya, sudah sepatutnya ia masuk ke dalam surga.”

Qaala Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam: Man qaala Radhiitu bi-Allahi Rabbaan, wa bi al-Islami diinaan, wa bi Muhammadi an-nabiyyan wa Rasuulan, wa jabat lahu al-jannatu.

Diriwayatkan secara terpercaya dari Abu Said al-Khudri dalam Sunan Abu Dawud, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa membaca Radhiitu bi-Allahi Rabbaan, wa bi al-Islami diinaan, wa bi Muhammadi an-nabiyyan wa Rasuulan (Aku ridha Allah sebagai Tuhanku, dan Islam sebagai agamaku, dan (Nabi) Muhammad sebagai Nabi dan rasulku), maka sudah sepatutnya ia masuk ke dalam surga.”

Kalimat zikir ini amat masyhur. Bahkan, kalimat ini sudah diajarkan kepada kita dan anak-anak kita sejak usianya masih belia. Hendaknya kita meminta kekuatan kepada Allah Taala untuk mendawamkan dzikir ini, lalu mempelajari tafsinya dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Ya Allah, kami meminta tolong untuk senantiasa mengingat-Mu, mensyukuri nikmat-Mu, dan membaguskan kualitas ibadah kepada-Mu.Wallahu alam. [bersamadakwah]

 

INILAH MOZAIK