Saat perjalanan ke luar negeri, saya selalu menyempatkan pergi ke salah satu Masjid disana. Walaupun di Negara minoritas muslim, misal di Melbourne, ada Masjid Bediuzzaman Said Nursi yang bangunannya berupa rumah satu lantai sederhana tapi terkelola dengan baik.
Namun pengalaman paling berkesan adalah saat beberapa waktu lalu saya berkunjung selama 10 hari ke Istanbul, Turki. Masjid-Masjid disana umumnya memiliki desain yang sama bergaya Kesultanan Utsmani (Ottoman), tanpa dicat, dindingnya berupa susunan batu sehingga berkesan natural dan klasik.
Masjid-Masjidnya terbuat dari batu-batu khusus, seperti salah satu Masjid yang saya kunjungi, Masjid Sulaimaniyah (The Sulaimaniye Mosque) yang berlokasi di Kota Istanbul, yang merupakan Masjid terbesar di Istanbul. Masjid ini sangat strategis, terletak di atas puncak bukit sehingga kita bisa melihat sebagian wilayah Istanbul dari atas, khususnya selat bosphorus yang membelah wilayah Asia dan Eropa Turki.
Perjalanan kaki yang melelahkan mendaki puncak bukit, menyusuri perumahan warga dan toko-toko, hilang seketika saat tiba di Masjid Sulaimaniyah.
Masjid Sulaimaniyah yang dibangun oleh Sultan Sulaiman Al Qanuni ini juga menandakan betapa besarnya Kesultanan Turki dan berjayanya peradaban Islam masa itu. Wilayah kekuasaan cucu Sultan Muhammad Al Fatih ini sangat luas. Sultan Sulaiman Al Qanuni juga pernah menjalin hubungan dan memberi bantuan untuk Kesultanan Aceh Darussalam.
Masjid Sulaimaniyah mulai dibangun tahun 1550 dan selesai pada 1557. Masjid ini memiliki luas 70.000 meter persegi, lengkap dengan fasilitas sekolah belajar Quran dan Hadits, sekolah kesehatan, sekolah menengah atas, rumah sakit, perpustakaan, dapur umum (Soup Kitchen) yang disebut “imarat”, tempat mandi umum, komplek makam dan universitas.
Pada bagian utara Masjid terdapat makam Sultan Sulaiman dan istrinya Huuram Sultan. Saat ziarah ke makam, saya ditemani oleh teman saya yang juga warga Istanbul. Dia menunjukkan bangunan makam Sultan Sulaiman dan dibagian luar atas makam terdapat kepingan batu hajarul aswad. Teman saya juga menunjukkan makam guru yang sangat dihormati oleh presiden Turki Recep Tayyib Erdogan.
Bahan bangunan Masjid Sulaimaniyah ini terbuat dari bahan-bahan terbaik, seperti marmer dan batu yang dibawa dari berbagai wilayah di Anatolia dan Marmara, serta granit merah khusus dari Mesir. Ada 19 jenis batu berbeda yang digunakan untuk membangun Masjid.
Uniknya, dinding-dinding luar bangunan Masjid tidak dicat, dibiarkan alami dengan susunan batu yang masih terlihat jelas. Konon, batu-batu khusus ini dapat menyesuaikan dengan cuaca di luar Masjid, jika di luar panas maka di dalam masjid akan terasa sejuk. Bahkan saat musim dingin, di Masjid Abu Ayyub Al-Ansari, Istanbul, jika kita shalat di shaf depan, karpet akan terasa hangat karena bagian bawah Masjid dipanaskan.
Menara Masjid diambil dari tempat antik dan bangunan dari Baalbek (Lebanon), Alaiyya (Alanya), Mersin dan Istanbul. Dari besarnya pilar Masjid, tergambar berapa lama waktu, teknologi kapal, transportasi lainnya dan tenaga yang dibutuhkan untuk membawa empat menara yang memiliki tinggi 50 meter dan 76 meter, dengan diameter 26.6 meter.
Tempat wudhu juga unik, karena mulai dari kran sampai bangunan tempat wudhunya masih bergaya arsitektur Kesultanan Utsmani. Jumlah kran wudhu pun tidak banyak, tidak sebanding dengan ukuran bangunan Masjid yang sangat besar dan dapat menampung jamaah yang sangat banyak. Mungkin warga Turki terbiasa berwudhu di rumahnya atau sering menjaga wudhu. Tempat wudhu wanita berada di ruangan yang sangat privat.
Sebelum memasuki dalam masjid yang memiliki ruang shalat seluas 3.500 meter persegi dengan dua lantai ini, jamaah terlebih dahulu diharuskan melepas alas kaki dan mengambil plastik tipis yang disediakan oleh pengurus Masjid sebagai tempat menyimpan alas kaki.
Alas kaki dibawa ke dalam Masjid, di dalam sepanjang dinding Masjid sudah tersedia tempat-tempat menyimpan alas kaki, bahkan disekeliling tiang Masjid. Jika alas kaki kita hilang maka akan diganti dengan alas kaki yang baru yang disediakan oleh petugas. Jamaah rata-rata tetap menggunakan kaos kaki saat shalat.
Wisatawan non muslim diperbolehkan masuk kedalam Masjid namun sampai di dalam ada pembatasnya. Mereka wajib memakai pakaian yang menutup aurat dan disediakan kerudung (bukan jubah). Hanya sedikit jumlah shaf perempuan yang tersedia dan ruangannya tertutup seperti berada dalam kamar, hampir tidak terlihat.
Yang menarik, di dekat batas tempat wisatawan boleh masuk ke dalam Masjid dan memotret, ada relawan dan berbagi brosur tentang profil Masjid Sulaimaniyah dalam bahasa Inggris, buku pengenalan Islam berbahasa Inggris dan buku mini Alquran (terjemahannya saja tanpa huruf Arab) dalam berbagai bahasa, Mandarin, Jepang, Inggris, Turki, Belanda.
Semuanya bisa diperoleh dengan gratis. Relawan Masjid bertugas memberi penjelasan tentang sejarah Masjid Sulaimaniyah dan mengenalkan tentang Islam. Salah satu relawan paruh waktu kenalan saya berasal dari Kazakhstan, seorang dokter, menguasai bahasa Turki dan Inggris. Luar biasa, seorang dokter profesional bersedia menyisihkan waktunya mengabdikan diri menjadi relawan Masjid.
Hamparan karpet di dalam Masjid Sulaimaniyah tersusun rapi, bukan karpet per satu shaf tapi karpet yang dijahit khusus sehingga kita tidak akan melihat karpet yang bertumpuk-tumpuk. Dan tidak ada satu sudut pun yang tidak dilapisi karpet. Gantungan lampu yang digunakan juga masih gantungan lampu tradisional dan masih mempertahankan lampu pijar (warna kuning).
Saya jadi teringat Masjid Salman ITB yang juga masih mempertahankan menggunakan lampu pijar padahal disitu pusatnya ahli teknologi namun karena mereka punya ilmu semua ada pertimbangannya. Cahaya kuning lampu pijar memang baik untuk kenyamanan mata dan menyejukkan suasana, suasana terasa lebih teduh. Kalau di smartphone ada fasilitas “Read Mode” yang akan mengubah cahaya menjadi kekuningan sehingga nyaman di mata atau digunakan pada waktu malam.
Jeda antar shalat sunnah rawatib dan shalat wajib juga tergolong lama. Terlebih waktu shalat subuh yang bisa mencapai jeda 30-45 menit. Sehingga memudahkan jamaah untuk melakukan persiapan yang maksimal dan tidak tergesa-gesa saat hendak menunaikan shalat berjamaah di Masjid dan memperoleh kesempatan yang lebih lama agar bisa shalat sunnah sebelum shubuh yang pahalanya lebih baik dari dunia dan seluruh isinya.
Saat shalat Jumat, ada pengalaman menarik yang saya temui. Meskipun saya belum terlambat hadir dalam shalat dan belum azan, tapi jamaah sudah memadati ruang shalat sampai penuh, nyaris tidak ada tempat lagi.
Namun ada kejadian menarik dan sungguh perbuatan yang mulia, saya melihat ada beberapa warga Turki ada yang rela memberikan shafnya kepada orang lain yang masih berdiri menunggu shaf kosong dan ada yang menggeser sampai bersempit-sempit untuk memberikan shaf kepada saya.
Saat khutbah Jumat berlangsung, saya juga tidak melihat kotak amal melewati shaf kami. Kotak amal disediakan lengkap dengan petugasnya di pintu keluar Masjid, dan kita akan diberikan bukti donasi seperti karcis parkir sejumlah uang yang kita donasikan.
Tata tertib shalat berjamaah di Masjid-Masjid di Istanbul juga sama. Ada lima Masjid yang sempat saya kunjungi dan semuanya memiliki tata tertib yang sama. Misalnya, imam memiliki pakaian khusus untuk meng-imami shalat. Bahkan selesai shalat, imam melayani jamaah jika ada yang ingin belajar baca Quran. Sang imam langsung mengajari di suatu bilik khusus di bagian shaf belakang.
Selesai shalat, muazin memimpin zikir dan Imam memimpin doa dan shalawat bersama. Selesai shalat, makmum dan imam saling bersalaman.
Sungguh indah, saya temui tata tertib yang sama ini di setiap Masjid di Istanbul. Pengalaman mengunjungi Masjid-Masjid di Turki dijamin tidak akan bosan, selalu ada kesan tersendiri apalagi jika Anda menguasai bahasa Turki.
Semoga para pembaca kelak berkesempatan berkunjung ke negeri yang pernah menjadi penguasa Dunia dan menjalin hubungan yang mesra dengan Kesultanan Aceh Darussalam.
Oleh: Teuku Farhan – Pengurus Forum Silaturahim Kemakmuran Masjid Serantau (FORSIMAS)
RPUBLIKA