Amalan di Bulan Muharram

Berikut adalah beberapa amalan sunnah di bulan Muharram:

Memperbanyak puasa selama bulan Muharram
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أفضل الصيام بعد رمضان ، شهر الله المحرم

“Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)

Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:

ما رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يتحرى صيام يوم فضَّلة على غيره إلا هذا اليوم يوم عاشوراء ، وهذا الشهر – يعني شهر رمضان

“Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih satu hari untuk puasa yang lebih beliau unggulkan dari pada yang lainnya kecuali puasa hari Asyura’, dan puasa bulan Ramadhan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Puasa Asyura’ (puasa tanggal 10 Muharram)

Dari Abu Musa Al Asy’ari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

كان يوم عاشوراء تعده اليهود عيداً ، قال النبي صلى الله عليه وسلم : « فصوموه أنتم ».

Dulu hari Asyura’ dijadikan orang yahudi sebagai hari raya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Puasalah kalian.” (HR. Al Bukhari)

Dari Abu Qatadah Al Anshari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

سئل عن صوم يوم عاشوراء فقال كفارة سنة

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa Asyura’, kemudian beliau menjawab: “Puasa Asyura’ menjadi penebus dosa setahun yang telah lewat.” (HR. Muslim dan Ahmad).

Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:

قَدِمَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – الْمَدِينَةَ وَالْيَهُودُ تَصُومُ عَاشُورَاءَ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ ظَهَرَ فِيهِ مُوسَى عَلَى فِرْعَوْنَ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – لأَصْحَابِهِ «أَنْتُمْ أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْهُمْ ، فَصُومُوا».

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Madinah, sementara orang-orang yahudi berpuasa Asyura’. Mereka mengatakan: Ini adalah hari di mana Musa menang melawan Fir’aun. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat: “Kalian lebih berhak terhadap Musa dari pada mereka (orang yahudi), karena itu berpuasalah.” (HR. Al Bukhari)

Keterangan:
Puasa Asyura’ merupakan kewajiban puasa pertama dalam islam, sebelum Ramadlan. Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz radliallahu ‘anha, beliau mengatakan:

أرسل النبي صلى الله عليه وسلم غداة عاشوراء إلى قرى الأنصار : ((من أصبح مفطراً فليتم بقية يومه ، ومن أصبح صائماً فليصم)) قالت: فكنا نصومه بعد ونصوّم صبياننا ونجعل لهم اللعبة من العهن، فإذا بكى أحدهم على الطعام أعطيناه ذاك حتى يكون عند الإفطار

Suatu ketika, di pagi hari Asyura’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang mendatangi salah satu kampung penduduk Madinah untuk menyampaikan pesan: “Siapa yang di pagi hari sudah makan maka hendaknya dia puasa sampai maghrib. Dan siapa yang sudah puasa, hendaknya dia lanjutkan puasanya.” Rubayyi’ mengatakan: Kemudian setelah itu kami puasa, dan kami mengajak anak-anak untuk berpuasa. Kami buatkan mereka mainan dari kain. Jika ada yang menangis meminta makanan, kami memberikan mainan itu. Begitu seterusnya sampai datang waktu berbuka. (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, puasa Asyura’ menjadi puasa sunnah. A’isyah radliallahu ‘anha mengatakan:

كان يوم عاشوراء تصومه قريش في الجاهلية ،فلما قد المدينة صامه وأمر بصيامه ، فلما فرض رمضان ترك يوم عاشوراء ، فمن شاء صامه ، ومن شاء تركه

Dulu hari Asyura’ dijadikan sebagai hari berpuasa orang Quraisy di masa jahiliyah. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melaksanakn puasa Asyura’ dan memerintahkan sahabat untuk berpuasa. Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, beliau tinggalkan hari Asyura’. Siapa yang ingin puasa Asyura’ boleh puasa, siapa yang tidak ingin puasa Asyura’ boleh tidak puasa. (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Puasa Tasu’a (puasa tanggal 9 Muharram)

Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau menceritakan:

حين صام رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عاشوراء وأمر بصيامه ، قالوا : يا رسول الله ! إنه يوم تعظمه اليهود والنصارى ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((فإذا كان العام المقبل ، إن شاء الله ، صمنا اليوم التاسع )) . قال : فلم يأت العام المقبل حتى تُوفي رسول الله صلى الله عليه وسلم

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa Asyura’ dan memerintahkan para sahabat untuk puasa. Kemudian ada sahabat yang berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya hari Asyura adalah hari yang diagungkan orang yahudi dan nasrani. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahun depan, kita akan berpuasa di tanggal sembilan.” Namun, belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamsudah diwafatkan. (HR. Al Bukhari)

Adakah anjuran puasa tanggal 11 Bulan Muharram?

Sebagian ulama berpendapat, dianjurkan melaksanakan puasa tanggal 11 Muharram, setelah puasa Asyura’. Pendapat ini berdasarkan hadis:

صوموا يوم عاشوراء وخالفوا فيه اليهود وصوموا قبله يوما أو بعده يوما

“Puasalah hari Asyura’ dan jangan sama dengan model orang yahudi. Puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” (HR. Ahmad, Al Bazzar).

Hadis ini dihasankan oleh Syaikh Ahmad Syakir. Hadis ini juga dikuatkan hadis lain, yang diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra dengan lafadz:

صوموا قبله يوماً وبعده يوماً

“Puasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya.”

Dengan menggunakan kata hubung وَ (yang berarti “dan”) sementara hadis sebelumnya menggunakan kata hubung أَوْ (yang artinya “atau”).

Al-Hafidz Ibn Hajar menjelaskan status hadis di atas:
Hadis ini diriwayatkan Ahmad dan al-Baihaqi dengan sanad dhaif, karena keadaan perawi Muhammad bin Abi Laila yang lemah. Akan tetapi dia tidak sendirian. Hadis ini memiliki jalur penguat dari Shaleh bin Abi Shaleh bin Hay. (Ittihaf al-Mahrah, hadis no. 2225)
Demikian keterangan Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Munajed.

Sementara itu, ulama lain berpendapat bahwa puasa tanggal 11 tidak disyariatkan, karena hadis ini sanadnya dhaif. Sebagaimana keterangan Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam ta’liq musnad Ahmad. Hanya saja dianjurkan untuk melakukan puasa tiga hari, jika dia tidak bisa memastikan tanggal 1 Muharam, sebagai bentuk kehati-hatian.
Imam Ahmad mengatakan:

Jika awal bulan Muharram tidak jelas maka sebaiknya puasa tiga hari: (tanggal 9, 10, dan 11 Muharram), Ibnu Sirrin menjelaskan demikian. Beliau mempraktekkan hal itu agar lebih yakin untuk mendapatkan puasa tanggal 9 dan 10. (Al Mughni, 3/174. Diambil dari Al Bida’ Al Hauliyah, hal. 52).

Disamping itu, melakukan puasa 3 hari, di tanggal 9, 10, dan 11 Muharram, masuk dalam cakupan hadis yang menganjurkan untuk memperbanyak puasa selama di bulan Muharram. Sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)

Ibnul Qayim menjelaskan bahwa puasa terkait hari Asyura ada tiga tingkatan:

  1. Tingkatan paling sempurna, puasa tiga hari. Sehari sebelum Asyura, hari Asyura, dan sehari setelahnya.
  2. Tingkatan kedua, puasa tanggal 9 dan tanggal 10 Muharram. Ini berdasarkan banyak hadis.
  3. Tingkatan ketiga, puasa tanggal 10 saja.

(Zadul Ma’ad, 2/72)

Bolehkah puasa tanggal 10 saja?

Sebagian ulama berpendapat, puasa tanggal 10 saja hukumnya makruh. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berencana untuk puasa tanggal 9, di tahun berikutnya, dengan tujuan menyelisihi model puasa orang yahudi. Ini merupakan pendapat Syaikh Ibn Baz rahimahullah.

Sementara itu, ulama yang lain berpendapat bahwa melakukan puasa tanggal 10 saja tidak makruh. Akan tetapi yang lebih baik, diiringi dengan puasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya, dalam rangka melaksanakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam majmu’ fatawa, Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya:
Bolehkah puasa tanggal 10 Muharam saja, tanpa puasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya. Mengingat ada sebagian orang yang mengatakan bahwa hukum makruh untuk puasa tanggal 10 muharram telah hilang, disebabkan pada saat ini, orang yahudi dan nasrani tidak lagi melakukan puasa tanggal 10.
Beliau menjawab:
Makruhnya puasa pada tanggal 10 saja, bukanlah pendapat yang disepakati para ulama. Diantara mereka ada yang berpendapat tidak makruh melakukan puasa tanggal 10 saja, namun sebaiknya dia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Dan puasa tanggal 9 lebih baik dari pada puasa tanggal 11. Maksudnya, yang lebih baik, dia berpuasa sehari sebelumnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika saya masih hidup tahun depan, saya akan puasa tanggal sembilan (muharram).” maksud beliau adalah puasa tanggal 9 dan 10 muharram….. Pendapat yang lebih kuat, melaksanakan puasa tanggal 10 saja hukumnya tidak makruh. Akan tetapi yang lebih baik adalah diiringi puasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. (Majmu’ Fatawa Ibn Utsaimin, 20/42)

 

KonsultasiSyariah.com

 

12 Amalan Sunah Selama Bulan Muharram, Tahun Baru Islam 2018 serta Jadwal Puasa Asyura dan Tasu’ah

Tahun baru Islam 2018, 1 Muharram 1440 Hijriyah telah tiba. Muharram adalah bulan pertama dalam kalender Islam atau Hijriyah yang menandai pergantian tahun.

Banyak amalan sunnah yang dapat dikerjakan pada bulan Muharram ini, termasuk Puasa Asyura dan Tasu’ah.

Memang, Puasa Asyura dan Tasu’ah yang pelaing banyak dikenal di bulan Muharram, tapi ada juga amalan lain yang tak kalah baik untuk dikerjakan.

Muharram juga adalah satu di antara empat bulan mulia dalam Islam yang jika kita banyak beribadah selama bulan itu, akan diberikan berbagai ganjaran pahala oleh Allah.

Dikutip dari NU Online dalam artikel diterbitkan pada Selasa (28/10/2014) ada 12 amalan yang bisa dikerjakan selama bulan Muharram.

Keutamaan bulan Muharram tidaklah perlu disangsikan lagi, namun keutamaan itu harus diisi dengan berbagai amalan-amalan yang berbobot, sehingga keutamaan itu benar-benar bernilai, baik secara individual maupun sosial.

Para ulama sudah mengklasifikasikan jenis amalan yang hendaknya diperbanyak selama bulan Muharram yaitu:

1. Melakukan shalat

2. Berpuasa

3. Menyambung silaturrahmi

4. Bersedekah

5. Mandi

6. Memakai celak mata

7. Berziarah kepada ulama (baik yang hidup maupun yang meninggal)

8. Menjenguk orang sakit

9. Menambah nafkah keluarga

10. Memotong kuku

11. Mengusap kepala anak yatim

12. Membaca surat al-Ikhlas sebanyak 1000 kali

Untuk mempermudah ingatan, sebagian ulama mengawetkannya dalam bentuk nadham yang dinukil As-Syaikh Abdul Hamid dalam kitabnya Kanzun Naja was Surur Fi Ad’iyyati Tasyrahus Shudur

فِى يوْمِ عَاشُوْرَاءَ عَشْرٌ تَتَّصِلْ * بِهَا اثْنَتَانِ وَلهَاَ فَضْلٌ نُقِلْ

صُمْ صَلِّ صَلْ زُرْ عَالمِاً عُدْ وَاكْتَحِلْ * رَأْسُ الْيَتِيْمِ امْسَحْ تَصَدَّقْ وَاغْتَسِلْ

وَسِّعْ عَلَى اْلعِيَالِ قَلِّمْ ظُفْرَا * وَسُوْرَةَ الْاِخْلاَصِ قُلْ اَلْفَ تَصِلْ

 

Artinya: Ada sepuluh amalan di dalam bulan ‘asyura, yang ditambah lagi dua amalan lebih sempurna. Puasalah, shalatlah,sambung silaturrahmi, ziarahi orang alim, menjenguk orang sakit dan bercelak mata. Usaplah kepala anak yatim, bersedekah dan mandi, menambah nafkah keluarga, memotong kuku, membaca surat al-Ikhlas 1000 kali.

Kedua belas amalan ini hendaknya diperbanyak selama bulan Muharram, mengingat keutamaannya yang terdapat di dalamnya.

 

Niat Puasa Asyura dan Tasu’ah

Puasa bulan muharram ada dua jenis yaitu puasa Tasu’ah dan puasa Asyura. Menurut penjelasan para ulama, bulan muharram merupakan salah satu bulan yang paling mulia selain bulan ramadhan.Karena bulan kemuliaan bulan muharram ini, maka dianjurkan untuk melaksanakan sunnah puasa tasu’a dan puasa asyura.

Dikutip Banjarmasinpost.co.id dari situs Nahdlatul Ulama Indonesia, Puasa Asyura dan Puasa Tasu’a dilaksanakan berurutan. Pelaksanaan puasa sunah Tasu‘a adalah tanggal 9 Muharram dan Puasa Asyura tanggal 10 Muharram.

Berikut ini contoh lafal niat puasa Tasu‘a.

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ التَا سُوعَاء لِلهِ تَعَالَى

Inilah Cara Berbuat Baik Kepada Tetangga (Bagian 3)

Al-Hafizh Ibnu Hajar menerangkan, ”Maksud sabda Nabi, ”Tidak beriman” adalah tidak sempurna iman seseorang. Disebutkan dengan beriman kepada Allah dan hari akhir sebagai isyarat awalnya kehidupan dan tempat kembali manusia.”

Dalam hadits lain diterangkan bahwa orang yang menyakiti tetangga termasuk orang yang belum sempurna imannya. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Syuraih Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، قِيْلَ: وَمَنْ يَا رَسُولَ الله؟ قَالَ: الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ

”Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman.” Nabi ditanya, ”Siapakah dia wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda, ”Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya.” (HR. Al-Bukhari).

Ibnu Baththal menuturkan, ”Hadits ini menegaskan betapa besarnya hak bertetangga, karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memulainya dengan bersumpah yang diulangi sampai tiga kali, dan juga menafikan keimanan seseorang yang menyakiti tetangganya, baik dengan ucapan maupun perbuatan.

Maksud dari tidak beriman di sini adalah iman yang tidak sempurna. Tidak diragukan, bahwa orang yang bermaksiat tidak sempurna imannya.”

Imam An-Nawawi menyebutkan tentang penafian keimanan dalam masalah seperti ini dengan dua jawaban. Pertama, berlaku bagi orang yang menghalalkan perbuatan tersebut. Kedua, maknanya adalah orang yang tidak sempurna imannya. Wallahu A’lam.

Dalam hadits lain juga disebutkan bahwa orang yang tidak menciptakan aman bagi tetangganya tidak akan masuk surga, sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

”Tidak akan masuk surga seorang muslim, yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya.” (HR. Muslim).

Makna kata بَوَائِق (bawa`iq) adalah kejahatan, sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، قَالُوا: وَمَا ذَاكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الْجَارُ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا بَوَائِقُهُ؟ قَالَ: شَرُّهُ

”Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman” Rasullah ditanya, ”Siapakah dia wahai Rasulullah?” Nabi ditanya, ”Siapakah dia wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda, ”Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya.” Para shahabat bertanya, ”Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan bawa’iquhu? Rasulullah bersabda, ”Kejahatannya.” (HR. Ahmad).

Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu berbuat baik kepada tetangga. Aamiin.

Sebagian tulisan ini disadur dari kitab haditsul Ihsan karya Dr. Falih Ash-Shugayyir. Semoga bermanfaat.

[Abu Syafiq/BersamaDakwah]

Inilah Cara Berbuat Baik Kepada Tetangga (Bagian 2)

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sangat menekankan kepada umatnya untuk melaksanakan hak-hak tetangga dan berbuat baik kepadanya, sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir; maka ia harus berkata baik atau diam saja. Barangsiapa yang beriman kepada Allah da hari akhir; maka ia harus memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir; maka ia harus memuliakan tamunya.” (HR. Muslim)

Syaikh Abu Muhammad bin Abi Jamrah menerangkan hak-hak tetangga dan cara berbuat baik kepadanya, dia mengatakan,

”Menjaga tetangga termasuk ciri kesempurnaan iman. Orang-orang jahiliyah dahulu selalu menjaga hak tetangganya, memberikan sesuatu yang berguna sesuai dengan kemampuan, seperti memberikan hadiah, wajah yang berseri ketika bertemu, mengetahui keadaannya dan menolongnya jika ia membutuhkan pertolongan, dan lain sebagainya. Begitu juga dengan menjaganya dari hal-hal yang membahayakan, secara lahir maupun batin.

Bahkan, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menafikan keimanan seseorang yang tidak membuat aman tetangganya, sebagaimana hadits yang akan disebutkan dalam bab ini pada tempatnya tersendiri. Hal itu sangat menegaskan betapa besarnya hak tetangga dan membahayakannya termasuk dosa besar.”

Di antara cara berbuat baik kepada tetangga adalah tidak menyakitinya, baik dengan perkataan maupun perbuatan, sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُؤْذِي جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَسْكُتْ

”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir; maka janganlah ia menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir; maka ia harus memuliakan tamunya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah da hari akhir; harus berkata baik atau diam saja.” (HR. Muslim).

Dalam riwayat lain dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir; maka ia harus berkata baik atau diam saja. Barangsiapa yang beriman kepada Allah da hari akhir; maka ia harus memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir; maka ia harus memuliakan tamunya.” (HR. Muslim)

Imam An-Nawawi Syarh Shahih Muslim mengatakan, ”Al-Qadhi Iyadh menerangkan, ’Makna hadits adalah siapa yang menjalan syariat Islam, maka harus memuliakan tetangga dan tamunya, serta berbuat baik kepada keduanya. Semua itu adalah pengertian hak bertetangga yang dianjurkan untuk selalu menjaganya.”

[Abu Syafiq/BersamaDakwah]

Inilah Cara Berbuat Baik Kepada Tetangga

Di antara hak sesama hamba Allah yang diajarkan dalam agama Islam adalah hak para tetangga. Allah Ta’ala memerintahkan kepada setiap orang untuk menjaga, menunaikan haknya, bersikap peduli padanya, memberikan manfaat untuknya dan mencegah timbulnya bahaya pada dirinya.

Hal ini terdapat dalam banyak ayat Al-Qur`an dan hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Allah Ta’ala berfirman,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. An-Nisaa`: 36).

Dalam ayat ini, Allah tegaskan perintah menjaga hak tetangga setelah perintah berbuat baik kepada kedua orangtua dan kerabat dekat.

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu Anha bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ

”Jibril selalu berwasiat kepadaku untuk berbuat baik kepada tetangga, sampai saya mengira Jibril menjadikan seorang tetangga mendapatkan harta warisan (tetangganya).” (HR. Al-Bukhari).

Ibnu Hajar menerangkan, ”Maksud ayat di atas adalah Jibril menyampaikan perintah Allah bahwa seorang tetangga mewarisi harta tetangganya apabila ia meninggal dunia.”

Tetangga adalah orang yang tinggal di dekatmu. Manusia berbeda pendapat dalam menentukan batasan yang disebut dengan tetangga, sehingga sebagian orang mengatakan, bahwa tetangga adalah 40 rumah di sekitar tempat tinggal Anda, yang diukur dari semua arah. Namun yang lebih penting adalah setiap orang diperintahkan untuk berbuat baik kepada semua kaum muslimin dengan memulai dari yang terdekat lebih dahulu.

Tetangga mencangkup orang muslim dan kafir, ahli ibadah dan fasiq, teman dan musuh, orang asing dan penduduk lokal, yang mendatangkan manfaat dan yang membahayakan, kerabat dekat ataupun bukan, rumahnya yang dekat dan yang jauh. Masing-masing mempunyai tingkatan yang berbeda-beda, sebagian lebih tinggi dari yang lainnya.

Tetangga yang paling tinggi derajatnya adalah tetangga yang memiliki semua sifat-sifat pertama, kemudian yang paling banyak dan seterusnya. Sebaliknya, tetangga yang memiliki semua sifat-sifat kedua tersebut. Berilah hak kepada mereka sesuai dengan keadaannya masing-masing, apabila menemukan tetangga memiliki dua sifat yang berbeda; maka tentukan sifat yang paling dominan.

Menurut sebuah pendapat yang disebutkan dalam kitab Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, ada tiga macam tetangga yaitu:

1. Tetangga yang musyrik, dia hanya memiliki satu hak yaitu hak bertetangga.

2. Tetangga muslim, mempunyai dua hak, yaitu hak tetangga tetangga dan hak sebagai seorang muslim.

3. Tetangga muslim dari karib kerabat, mempunyai 3 hak yaitu hak tetangga, islam dan hak kekerabatan.”

Berbuat baik kepada tetangga dengan menjaga hak-haknya merupakan amalan yang mulia, sifat terpuji, etika yang baik, dan akhlak yang mulia. Bahkan, orang-orang jahiliyah dahulu juga menjaga hak-hak tetangga, menghormati dan menjaga segala sesuatu yang berhubungan dengan tetangganya.

[Abu Syafiq/BersamaDakwah]

Seorang Sufi yang Dibimbing Anjing di Jalan

Sufi terkemuka, Asy-Syibli ditanya: “Siapa yang membimbingmu di jalan?”

Ia berkata, “Seekor anjing. Suatu hari aku melihatnya hampir mati kehausan, berdiri di tepi air. Setiap kali melihat bayangannya di air, ia ketakutan dan mundur, karena dikiranya itu anjing lain. Akhirnya, karena sangat membutuhkan, ia mengusir rasa takutnya dan melompat ke air; dan ‘anjing lain’ itu pun lenyap.”

Anjing tersebut menemukan bahwa rintangan, yang ternyata dirinya sendiri, penghalang antara dirinya dan apa yang ia cari, mencair.

“Dalam cara yang sama, rintanganku sendiri lenyap, ketika aku tahu bahwa itu adalah apa yang kuambil sebagai milikku sendiri. Dan jalanku pertama kali ditunjukkan padaku melalui perilaku seekor anjing.”

Osman al-Hiri dan Undangan Makan Penjahat

Suatu hari, orang yang jahat mengundang Osman al-Hiri untuk makan bersamanya. Ketika Syeikh datang, orang tersebut mengusirnya. Tetapi ketika sudah pergi beberapa langkah, ia memanggilnya kembali.

Hal ini terjadi lebih dari tiga puluh kali, sampai orang lain, tidak sabar melihat kesabaran dan kelembutan sang Sufi, segera berlutut mohon ampun.

“Engkau tidak mengerti,” ujar al-Hiri, “Apa yang kulakukan tidak lebih dari yang dilakukan anjing terlatih. Kalau engkau memanggilnya, ia datang; ketika engkau mengusirnya, ia pergi. Perilaku ini bukan ciri Sufi, dan tidak sulit dilakukan oleh siapa pun.”

Apa yang Diucapkan Setan?

Pada suatu ketika terdapatlah seorang darwis. Saat duduk merenung, ia memperhatikan bahwa terdapat semacam setan di dekatnya.

Si darwis berkata, “Mengapa engkau duduk di sana, tidak berbuat jahat?”

Setan mendongakkan kepala dengan letih, “Sejak para ahli dan calon guru di tarekat semakin bertambah, tidak ada lagi yang dapat kulakukan.” [ ]

 

INILAH MOZAIK

 

Kenapa Abu Hanifah Enggan Diam di Tempat Teduh?

YAZID bin Harun berkata, “Saya belum pernah mendengar ada seseorang yang lebih wara daripada Imam Abu Hanifah. Saya pernah melihat beliau pada suatu hari sedang duduk di bawah terik matahari di dekat pintu rumah seseorang. Lalu saya bertanya kepadanya, “Wahai Abu Hanifah! Apa tidak sebaiknya engkau berpindah ke tempat yang teduh?”

Beliau menjawab, “Pemilik rumah ini mempunyai utang kepadaku beberapa dirham. Maka, saya tidak suka duduk di bawah naungan halaman rumahnya.”

Sikap seperti apa yang lebih wara daripada sikap ini? Di dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau ditanya mengapa enggan berdiam di tempat teduh, lalu Abu Abu Hanifah berkata kepadaku. “Pemilik rumah ini mempunyai sesuatu. Maka, saya tidak suka berteduh di bawah naungan dindingnya, sehingga hal tersebut menjadi upah suatu manfaat.”

Saya tidak berpendapat bahwa hal tersebut wajib bagi semua orang, akan tetapi orang alim wajib menerapkan ilmu untuk dirinya sendiri lebih banyak daripada yang dia ajarkan kepada orang lain.

Sebagaimana pula Imam Abu Hanifah radhiyallahu anhupernah meninggalkan makan daging kambing selama tujuh tahun ketika seekor kambing milik baitul mal di Kufah hilang sehingga beliau yakin kambing tersebut telah mati. Sebab, beliau menanyakan berapa waktu paling lama kambing bisa bertahan hidup?

Dikatakan kepadanya, “Tujuh tahun.” Maka beliau meninggalkan makan daging kambing selama 7 tahun karena untuk berhati-hati lantaran ada kemungkinan kambing haram itu masih hidup. Sehingga, bisa jadi kebetulan dia memakan sebagian dari kambing tersebut yang berarti menzalimi hatinya. Meskipun sebenarnya tidak berdosa karena tidak mengetahui benda itulah yang haram. [Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah]

INILAH MOZAIK

Mengenal Penutup Kepala Khas Orang Arab, Kufiya

Orang Arab Saudi memiliki ciri khas tersendiri dalam berpakaian karena mereka memakai kain penutup di kepala yang disebut kufiya. Istilah kufiya diterjemahkan dari bahasa Arab dengan berbagai macam pengucapan, seperti keffiyeh, kuffiyah, dan banyak lagi. Namun, semua pengucapan itu memiliki makna yang sama.

Hiasan kain di kepala ini juga memiliki serangkaian nama lain dalam bahasa Arab, yang menunjukkan identitas dan pengaruh suatu daerah. Misalnya nama Shamagh, sebuah kufiya yang dibuat dengan warna paduan merah dan putih. Nama ini sering digunakan oleh suku Badui yang banyak berada di Arab Saudi dan Yordania.

Shamagh memiliki kain yang lebih tebal, yang membuat pemakainya hangat di malam-malam gurun yang dingin. Namun, untuk shamagh Yordania, jumlah jumbainya dapat menunjukkan dari daerah mana pemakainya berasal.

Di daerah lain, kufiyah juga disebut dengan istilah ghutra. Istilah ini paling banyak digunakan di Semenanjung Arab dengan hiasan kepala serba putih. Ghutra biasanya dibuat dengan kapas kecil di bagian bawahnya yang dikenal sebagai taqiya. Dengan kapas kecil itu bentuknya akan tetap terjaga dan akan lebih mudah untuk dibuat gaya.

Chafiyeh juga menjadi nama lain dari kufiyah di Persia. Tetapi biasanya Chafiyeh dipakai seperti halnya gaya serban. Chafiyeh dibuat dengan variasi warna yang lebih banyak, seperti hijau gelap, biru tua, ungu tua, dan banyak variasi lainnya.

Jahmahdani adalah nama kufiyah yang digunakan oleh suku Kurdi. Jahmahdani biasanya dipakai dengan gaya turban, yaitu salah satu tren yang sedang diminati dalam menutupi area kepala bagi perempuan berhijab saat ini. Jahmahdani biasanya didesain dengan warna paduan hitam-putih atau merah-putih, sehingga tampak bagus.

Sebanyak 95 persen kufiya terbuat dari kapas murni, kebanyakan dari Mesir atau India, dan sebagian besar ditenun di Suriah, Palestina, dan Irak. Saat ini semakin banyak yang dibuat dalam kombinasi dengan poliester, sementara beberapa yang dibuat di India ditenun dari kasmir dan wol.

Asal-usul dan nama dari kufiya berasal dari zaman perang antara suku-suku Arab dan Persia dekat kota Irak Kufah pada awal abad ketujuh. Penyair dan sejarawan Arab, Yousef Nasser, menceritakan bagaimana sebelum pertempuran, orang-orang Arab menenun iqal, yaitu ikat kepala hitam berbahan karet yang berfungsi untuk menahan kufiya agar tetap berada di atas kepala.

Kufiya dan ikat kepala tersebut digunakan agar para pejuang Arab bisa mengenali rekan-rekan mereka. “Setelah pertempuran, banyak orang Arab menanggalkan tutup kepala mereka, tetapi mereka diberitahu, ‘teruskan sebagai pengingat kemenangan ini sampai akhir waktu,” kata Nasser.

 

REPUBLIKA

Serba-serbi Haji (21): Silat ada di Tanah Suci?

PERTANYAAN tersebut sepertinya sudah lama bersarang di kepala Mat Kelor. Wajar saja kalimat tanya itu muncul darinya karena Mat Kelor itu sesungguhnya adalah aktifis pencak silat Madura yang dikenal dengan istilah “pencak pamor.”

“Pencak pamor adalah seni bertarung dengan gaya yang indah, elastis dan berwibawa,” kata Mat Kelor suatu malam saat ditanya polisi tentang apa yang dipraktekkan.

Ceritanya di suatu malam Mat Kelor ingin berkeringat karena badannya terlalu lama diam. Lalu dia berolahraga pencak silat itu. Baru masuk jurus ketujuh, polisi datang dikira ada yang berkelahi. Mat Kelor ditanya-tanya, saya terjemahkan dan polisi minta supaya adegan diulangi lagi untuk ditontonnya. Polisi Arab itu berkata: “Bagus. Tapi di sini tidak ada model begini karena di tanah suci tidak ada yang berkelahi. Paling parahnya bertengkar adalah bentakan dengan suara keras.” Akhirnya Mat Kelor mendapatkan jawaban.

Olah raga malam itu selesai. Namun Mat Kelor bertanya-tanya lagi, jangan-jangan pencak silat itu populer di negara yang kasus perkelahian juga populer. Saya hanya diam. Saya bersyukur di Asean Games kemaren cabang olahraga pencak silat memboyong banyak medali emas. Semoga bukan indikasi bahwa Indonesia jago berkelahi.

Tadi pagi, Mat Kelor hampir saja berkelahi saat plastik berisi air zamzam yang dibawanya dari masjid dengan di”sunggi” atau diletakkan di atas kepalanya dicoblos oleh orang Arab sambil ketawa-ketawa. Bagi orang Madura, air zamzam adalah air suci, membawanya harus hati-hati.

Saat marahnya memuncak hampir saja jurus silatnya keluar. Namun, dia ingat akan kata polisi bahwa di Arab tidak ada kelahi, paling kerasnya adalah bentakan keras. Mat Kelor mau membentak, tapi tak tahu cara mengungkapkannya dalam bahasa Arab. Mau memakai bahasa Madura atau Indonesia ya percuma saja orang Arabnya tidak akan paham.

Mat Kelor semakin marah melihat orang Arab itu terus cekikikan bersama temannya. Wajah Mat Kelor yang aslinya sudah hitam karena bersahabat dengan matahari gunung itu berpadu dengan aura merah di putih matanya. Didatangi orang Arab itu, dipegang leher bajunya kemudian dibentaknya dengan puncak oktav suara: “MAN RABBUKA.”

Orang Arab itu ketakutan dan minta maaf lalu lari. Terdengar kata-kata orang Arab itu pada temannya yang ikut lari: “Jangan-jangan orang itu temannya malaikat Munkar dan Nakir.” Saya tertawa, hahahaha. Apakah Anda tertawa juga? Kalau tidak: “MAN RABBUKA?” Salam, AIM. [*]

INILAH MOZAIK

Ojek Payung di Bandara Madinah

Madinah (PHU)—OJek payung identik dengan musim hujan, tapi saat di menginjakkan kaki di Bandara Madinah berbeda. Saat suhu di Madinah tercatat 43 derajat celcius saat jarum jam menunjukkan pukul 12.05 waktu Saudi seperti biasanya, matahari sedang terik-teriknya. Dipantulkan aspal Bandara Amir Muhammad bin Abdulaziz, teriknya jadi berlipat-lipat.

Dalam waktu yang bersamaan, tiba bus-bus rombongan Kloter 48 Debarkasi Surabaya (SUB-48). Sesemi (57 tahun) seorang jemaah asal Lamongan salah satu yang turun dari bus itu hari.

“Ya Allah, panase,” kata dia begitu turun dari bus pada Rabu (12/09) tersebut.

Melihat kedatangan jemaah tersebut, Juriyansyah, salah seorang petugas Daerah Kerja (Daker) Bandara langsung menghampiri. Ia kembangkan payungnya dan kemudian melindungi Sesemi dari terik.

“Waduh makasih, Pak. Makasih banyak,” kata Sesemi menyambut gestur tersebut.

Jemaah lain yang dipayungi petugas adalah Soimatun (56). Soimatun sendiri langsung dipayungi petugas Daker Bandara lainnya Kartika. Kartika memayungi Soimatun karena terlihat berjalan tertatih-tatih saat turun dari bus.

“Saya baru habis dirawat di rumah sakit enam hari,” kata Soimatun.

Beberapa hari belakangan, pemandangan petugas Daker Bandara membawa-bawa payung di Bandara Madinah jadi marak. Hal ini sehubungan terik yang makin menjadi-jadi sementara jarak dari bus menuju paviliun bisa mencapai 30 hingga seratus meter. Dengan paparan terik sebegitu, jemaah lansia dan yang dirundung sakit terancam kesehatannya.

“Kami lihat jemaahlama memilih-milih tas di samping bus dan kepanasan, sebab itu langsung kami payungi,” kata Endang Maman, pelaksana tugas Daker Bandara. Para petugas Daker Bandara memanfaatkan payung jemaahyang dilarang pihak maskapai masuk pesawat.

“Banyak jemaah yang kepanasan, kasihan mereka. Makanya setiap petugas bawa payung buat mayungin. Mereka suka banget, lucu kata jemaah, ada yang bilang ojek payung pula,” kata Feby Lazuardi, petugas Daker Bandara lainnya.

Ketua Sektor 1 Daker Bandara, Misroni, perlindungan para jemaah dari teriknya Madinah memang penting sekali. Ia juga mengharapkan, ketua kloter dan ketua rombongan bisa memberi arahan agar jemaah membawa payung bila bertolak ke Bandara Madinah siang hari menuju pemulangan.

Hal jni untuk menghindari para jemaah terkena dehidrasi. Terlebih, jumlah petugas tak cukup bila harus memayungi jemaah satu per satu.

”Di tengah cuaca panas seperti ini, payung itu penting sekali,” kata Misroni.(mch/ha)

KEMENAG RI