Lisa Vogl-Hamid: Bersyahadat Putusan Terbaikku

Lisa Vogl-Hamid adalah seorang fotografer pernikahan dan fashion internasional memilih menjadi seorang Muslimah. Sehari-hari dia tampil di publik dengan jilbab sebagai penutup aurat.

Proses Lisa memeluk Islam menjadi bagian sangat penting dalam hidupnya. Ketika melihat ke belakang perjalanannya itu, dia seolah-olah merasa selalu ditakdirkan untuk menjadi seorang Muslim. Ujian yang dihadapi selama menjadi mualaf tak berarti dibandingkan dengan barokah yang datang kepadanya karena Islam.

Masyarakat sekitar dan kolega menerima Lisa seutuhnya sebagai seorang Muslim yang taat dan dinamis.Meski sudah bersyahadat, Lisa tidak membatasi diri dalam pergaulan selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.

Masa muda penuh dengan tantangan. Pada saat berusia 19 tahun, Lisa pindah ke Maroko selama tiga bulan untuk tinggal dengan keluarga Maroko. Di sana dia mengenal dan mempelajari beragam budaya.Ketika itu dia menyadari kehidupan Barat bukan satu-satunya, bukan yang unggul.

Lisa menyadari hidup harus saling bersinergi dan mengapresiasi, sehingga sama-sama menuju kemajuan.

“Sejujurnya, saya tidak kembali dengan kebutuhan akan Islam karena perjalanan itu lebih merupakan pengalaman budaya. Saya kembali dengan penghargaan atas kehidupan yang Tuhan berikan kepada keluarga. Hal-hal sederhana seperti mandi menjadi kemewahan saat saya tinggal di rumah tanpa air panas dan tidak ada toilet saat di Maroko,” jelas dia.

Setelah perjalanan itu, Lisa kembali untuk menyelesaikan sekolahnya tapi dia memutuskan untuk pindah ke sekolah swasta khusus wanita. Dia mengambil jurusan cultural studies and marketing. Lulus dari perguruan tinggi harus dilalui dengan menyelesaikan tugas khusus. Lisa wajib menulis tentang wanita di media dan eksploitasi mereka di masyarakat barat.

Melihat kembali pilihannya, dia tidak pernah menyadari bahwa secara tidak sadar perjalanan ke Maroko telah memberinya perspektif berbeda tentang wanita.Dia lebih ingin mengeksplorasi jilbab dan hak perempuan dalam Islam. Isu inilah yang membuatnya tertarik belajar Islam secara mendalam yang pada akhirnya membuat dirinya yakin untuk bersyahadat.

Lulus kuliah

Setelah lulus kuliah, dia langsung mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan.Tetapi tak lama dia baru menyadari jika pekerjaan itu tidak cocok untuknya. Setelah memutuskan berhenti bekerja Lisa kemudian memilih untuk melanjutkan pendidikan di sekolah fotografi.

Beberapa bulan menempuh pendidikan khusus, dia diberi tugas untuk membuat gambar dokumenter dua menit mengenai topik apa pun yang diinginkan. Dia memutuskan untuk memilih jilbab sebagai topiknya.

“Saya tidak pernah benar-benar bertanya mengapa wanita memakainya, yang mengejutkan mengingat saya memakainya sendiri selama tiga bulan sementara di Maroko. Saya hanya melihatnya sebagai lebih dari pakaian budaya bukan aturan agama,”jelas dia.

Tapi perlu banyak diketahui, banyak cara masyarakat Barat mengeksploitasi wanita melalui media.Namun, banyak pihak kini menyadari, jilbab di dalam Islam terbukti melindungi wanita dan meningkatkan harga diri.

Mempelajari Islam

Setelah selesai membuat dokumenter, Lisa menjadi sangat tertarik dengan Islam. Dia kemudian belajar agama itu selama beberapa bulan. Semakin mendalami Islam semakin dia meyakini agama ini adalah yang dicarinya selama ini. Dia kemudin mengucapkan syahadat pada 29 Juli 2011.

“Itu adalah keputusan terbaik yang pernah saya buat. Setelah pengalaman saya, melihat ke belakang, semakin menyadari bahwa jika tidak mengejar mimpi untuk menjadi seorang fotografer, mungkin saya tidak memiliki alasan untuk belajar Islam,” ujar dia.

Lisa pun menyarankan agar jika suatu saat memiliki keinginan, maka hanya tinggal dikerjakan. Manusia tidak akan pernah tahu apa yang terjadi pada masa mendatang. Dalam kisahnya, Lisa terinspirasi untuk melakukan perjalanan dan mempelajari fotografi sehingga membawanya kepada Islam.

Lisa juga terinspirasi dengan perkataan ibu Teresa yang sangat berarti baginya, “Perdamaian dimulai dengan senyuman.

Kutipan itu mengingatkan dia pada sesuatu yang selalu dikatakan ibunya. Lisa mengenang kisahnya sewaktu kecil bahwa ketika saudara perempuan dan dirinya bertengkar, ibunya mengatakan bagaimana bisa mengeluh tentang perang jika diri sendiri berbaku hantam di rumah.Setiap kali mulai pertengkaran kata- kata ibunya selalu terkenang sehingga mereka dengan cepat berbaikan.

Apakah Taat Harus Didahului Faham?

Usianya baru 13 tahun. Namun ia dihadapkan pada ujian pengorbanan dan taat maha berat. Bukan sekedar mengorbankan harta terbaik miliknya atau berperang melawan musuh hingga terbunuh. Ia dihadapkan pada perintah mengorbankan nyawanya; disembelih oleh sang ayah.

“Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu,” kata Ibrahim sebagaimana diabadikan Allah dalam Surat Ash Shaafat ayat 102.

Ismail tidak bertanya mengapa dirinya harus disembelih dan untuk apa. Jawabannya mencerminkan ketaatan tertinggi dan kesabaran yang luar biasa.

“Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS. Ash Shafat: 102)

Ismail taat tanpa tapi. Bahkan tanpa pertanyaan. Saat membaca tafsir ayat ini, kita tidak akan mendapati Ismail mempertanyakan alasannya, tujuannya, atau pertanyaan lain yang lebih detail. Bagi Ismail, pemahaman mendasar telah cukup menjadi panduan; bahwa perintah itu dari Allah. Tak ada pilihan lain kecuali mentaatinya.

Dan kita semua akhirnya mengetahui ending kisah mendebarkan itu. Allah memuji Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail yang lulus dalam menghadapi ujian ketaatan itu. Dan Dia menebus Ismail dengan domba. Napak tilas pengorbanan keduanya kini mewujud dalam ibadah qurban; kita menyembelih hewan qurban pada setiap idul adha.

Ujian Ketaatan

Awalnya, cukup banyak laki-laki yang bergabung menjadi pasukan Thalut. Sebab sebelumnya mereka memang meminta kepada Sang Nabi untuk mengangkat pemimpin agar bisa berperang di bawah kepemimpinannya.

Thalut adalah pemimpin sah, mandatnya sesuai mekanisme yang mereka inginkan. Namun mereka ragu dan mempertanyakan kapasitasnya. Hingga Allah pun memberikan tanda; kembalinya Tabut sebagai bukti kepemimpinan Thalut.

Pasukan pun berangkat menuju medan jihad. Cukup banyak yang ikut serta, namun ujian berupa perintah pimpinan menjadi seleksi ketaatan dan kesetiaan.

Dalam kondisi haus, pasukan itu mendapat instruksi dari Thalut:

إِنَّ اللَّهَ مُبْتَلِيكُمْ بِنَهَرٍ فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَمَنْ لَمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي إِلَّا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً بِيَدِهِ

“Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka dia adalah pengikutku” (QS. Al Baqarah: 249)

Benar! Mereka kemudian melewati sungai Jordan. Dan terbagilan pasukan menjadi tiga bagian; orang-orang yang minum sepuasnya, orang-orang yang minum seceduk tangan, dan orang-orang yang tidak minum sedikitpun.

“Inilah satu perintah harian yang mengandung ujian. Barangsiapa yang tidak minum sama sekali, itulah yang dipandang tentara setia, termasuk golongan yang dipercaya Raja Thalut. Siapa yang minum dipandang bukanlah pengikut setia kecuali yang meminum hanya seceduk telapak tangan. Yang meminum seceduk telapak tangan ini boleh juga dimasukkan pengikut, tetapi mutu kedudukannya tentu tidak sama dengan yang tidak minum sama sekali,” tulis Buya Hamka saat menjelaskan ayat ini.

Pasukan yang tidak minum dan yang hanya meminum seceduk tangan tidak mempertanyakan mengapa saat kehausan mereka tidak boleh meminum air sungai yang berlimpah itu. Bagi mereka, pemahaman mendasar telah cukup menjadi panduan; bahwa instruksi itu dari pemimpin. Selama tidak mengandung kemaksiatan, tak ada pilihan lain kecuali mentaatinya.

“Kalau orang setia kepada pimpinan,” tegas Buya Hamka, “perintah itulah yang akan dilaksanakannya walaupun haus ditahannya.”

Terkadang pemimpin (qiyadah) perlu mengambil inspirasi dari Thalut untuk mengetahui kesiapan pasukan menghadapi medan perjuangan.

“Perlu dilakukan percobaan yang bersifat praktis, dalam bentuk tindakan nyata, dan menghadapi peristiwa-peristiwa di jalan menuju peperangan sebelum terjun ke kancah. Pengalaman ini juga menunjukkan ketegaran hati sang pemimpin terpilih itu yang tidak bergoncang hatinya meskipun sebagian besar tentaranya surut ke belakang pada percobaan yang pertama. Bahkan, ia terus melanjutkan perjalanannya,” kata Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil Quran.

Taat Meskipun Belum Tahu Hikmahnya

Setelah menyeberangi sungai dan melihat begitu banyaknya Pasukan Jalut, terungkaplah hikmah di balik perintah Thalut. Mereka yang tidak bisa menahan haus lantas minum sepuasnya, dihinggapi kepayahan dan kelemahan. Tak mampu melawan musuh meskipun sempat menyusul pasukan. Jadilah mereka orang-orang yang kalah sebelum berperang.

Sedangkan mereka yang tidak minum atau minum hanya seceduk tangan, kekokohan imannya memberi kekuatan dan ketaatan kepada pemimpin mendatangkan keberkahan. Maka dengan penuh keyakinan, mereka mengatakan:

“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah” (QS. Al Baqarah: 249)

Kisah Perjanjian Hudaibiyah juga begitu. Meskipun sempat dongkol karena tidak memahami apa sebenarnya yang dilihat oleh Rasulullah di balik perjanjian itu, para sahabat tetap taat.

Sejak saat penulisan perjanjian, para sahabat sudah kecewa. Bagaimana tidak, duta kafir Quraisy Suhail bin Amr menghendaki Bismillaahirrahmaanirrahiim diganti Bismikallaahumma. Rasulullah menurutinya. Suhail juga tidak setuju dengan istilah Rasulullah dalam perjanjian itu dan minta diganti dengan Muhammad bin Abdullah. Rasulullah juga menyetujuinya.

Lalu isi perjanjian itu? Para sahabat merasa sangat dirugikan. Bayangkan, Rasulullah dan kaum muslimin tidak boleh memasuki Makkah tahun tersebut. Orang Quraiys yang datang ke Madinah setelah perjanjajian itu ditulis, harus dikembalikan ke Makkah. Namun pengikut Muhammad yang membelot ke Makkah tidak boleh dikembalikan ke Madinah.

Para sahabat dongkol. Bahkan ketika Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk menyembelih hewan qurban, Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury menggambarkan tak ada satu orang pun yang bangkit. Diulangi tiga kali perintah itu, “Bangkitlah dan sembelihlah hewan qurban,” mereka tak juga bangkit.

Rasulullah masuk ke tenda menemui Ummu Salamah dan menceritakan kondisi itu. Atas usul Ummu Salamah, Rasulullah lalu keluar dan tak bicara dengan siapapun sampai beliau memotong hewan qurban dan memanggil tukang cukur untuk tahalul. Melihat itu, para sahabat pun mentaati Rasulullah meskipun mereka belum juga memahami apa hikmah Perjanjian Hudaibiyah.

Umar termasuk yang paling kecewa. Ia mengungkapkan perasaannya kepada Abu Bakar.

“Taatlah kepada perintah dan larangan beliau sampai engkau meninggal dunia. Demi Allah, beliau berada di atas kebenaran,” tegas Abu Bakar kepada Umar.

Bagi Abu Bakar, pemahaman mendasar telah cukup menjadi panduan; bahwa perintah itu dari Rasulullah. Tak ada pilihan lain kecuali mentaatinya, meskipun belum memahami hikmahnya.

Beberapa waktu kemudian Allah menurunkan surat Al Fath. Menyebut perjanjian Hudaibiyah itu sebagai “fathan mubina” kemenangan yang nyata. Para sahabat pun kemudian mengetahui hikmah perjanjian itu; kaum muslimin bebas berdakwah keluar Madinah tanpa disibukkan dengan serangan kafir Quraisy, hanya orang Makkah yang sungguh-sungguh beriman yang masuk Islam, dan Madinah terbersihkan dari pengkhianatan orang-orang yang membelot.

Bukankah Al Fahm Lebih Dulu?

Ya, Hasan Al Banna meletakkan Al Fahm sebagai rukun pertama dalam arkanul baiat dan menempatkan Ath Tha’ah sebagai rukun keenam. Urutannya sudah benar, bahkan Yusuf Qardhawi menilai urutan itu telah disesuaikan berdasarkan fiqih aulawiyat (prioritas).

Namun yang perlu digarisbawahi, untuk melaksanakan rukun berikutnya tidak harus menunggu rukun sebelumnya sempurna. Bukankah di lapangan dengan mudah kita temukan, kader dakwah yang pengorbanannya belum sempurna. Lalu apakah dia tidak boleh mengimplementasikan ukhuwah yang urutannya lebih akhir?

Saya pernah bertanya kepada puluhan kader dakwah, berdoa kepada Allah disertai tawassul dengan salah satu makhluk-Nya, apakah itu termasuk khilafiyah dalam masalah furu’ atau justru merupakan masalah aqidah? Banyak yang tidak bisa menjawab padahal itu ada dalam ushul isyrin yang merupakan bagian dari Al Fahm yang disusun Hasan Al Banna. Tentu ini juga menjadi evaluasi bagi kader-kader dakwah yang terinspirasi dari Hasan Al Banna tetapi masih jauh pemahamannya dari ushul isyrin. Tapi apakah lantas mereka harus menunggu sempurna memahami ushul isyrin baru boleh beramal? Tentu tidak.

Sekali lagi, al fahm memang urutannya lebih dulu dari rukun yang lain termasuk ath tha’ah. Namun bukan berarti untuk taat harus faham betul alasan sebuah perintah, hikmahnya, dan hal-hal mendetail tentang perintah atau instruksi itu. Terlebih dalam jihad siyasi yang sifatnya dinamis.

Justru orang yang mensyaratkan taat harus didahului dengan faham betul alasan sebuah perintah, hikmahnya, dan hal-hal mendetail tentang perintah atau instruksi tersebut, itu tidak sejalan dengan taujih Rabbani dan sabda Rasul-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu” (QS. An Nisa’: 59)

لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللَّهِ

“Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah” (HR. Muslim)

Inilah pemahaman mendasar yang kita butuhkan. Bahwa kita wajib taat kepada ulil amri, termasuk para pimpinan dakwah menurut DR Amir Faishol Fath, ahli tafsir Al Quran di Indonesia. Dan inilah batasannya; tidak bermaksiat kepada Allah. Jika ulil amri atau pemimpin memerintahkan bermaksiat kepada Allah, tidak ada kewajiban taat pada perintah itu.

Sayyid Quthb ketika menafsirkan ayat ini membawakan sabda Rasulullah:

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

“Wajib atas orang muslim untuk mendengar dan taat terhadap apa yang ia sukai atau tidak ia sukai, asalkan tidak diperintahkan kepada maksiat. Apabila diperintahkan kepada maksiat, maka tidak boleh mendengar dan taat” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pemahaman ketaatan seperti inilah yang membuat pasukan Thalut taat meskipun kehausan. Para sahabat tetap taat meskipun merasa dirugikan dengan perjanjian hudaibiyah. Khalid bin Walid tidak mempertanyakan saat menerima surat pergantian panglima perang dari Umar. Abu Dzar Al Ghifari tidak mau menjelekkan Utsman meskipun gerakan dakwah zuhud-nya tidak disetujui dan ia diminta menghentikannya. Akhirnya ia memilih uzlah, hidup sendirian.

Namun pada akhirnya semua ketaatan itu berbuah keberkahan. Pasukan Thalut mendapatkan kemenangan. Perjanjian Hudaibiyah menjadi fathan mubina. Khalid namanya mengabadi sebagai pedang Allah dan mendapatkan pahala syahid meski tidak terbunuh di medan perang. Abu Dzar pun mendapatkan husnul khatimah dan masuk surga.

 

Muchlisin BK/BersamaDakwah

Menutup Pintu Kefakiran

Suatu hari, sahabat Nabi bernama Abu Bisyr Qabishah Ibnul Muhkariq menemui Rasulullah SAW. Tanggungan hidup yang sedemikian berat membuatnya tak sungkan lagi meminta pertolongan.”Tunggulah, jika zakat sudah terkumpul, engkau akan mendapat bagian,” jawab Nabi SAW dengan santun.

Lalu, beliau bersabda, “Meminta- minta itu tidak diperbolehkan kecuali karena salah satu dari tiga alasan. Pertama, seseorang yang menanggung beban sangat berat, kemudian setelah itu ia tidak melakukan lagi. Kedua, seseorang yang ditimpa musibah (bencana) yang menguras semua hartanya sehingga dengan bantuan itu ia bisa bangkit kembali. Ketiga, seseorang yang fakir dan tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan hidupnya.”

Pengujung hadis yang dinukil Imam an-Nawawi ini mengingatkan bahwa selain ketiga alasan tersebut, meminta-minta adalah perbuatan haram dan orang yang memakannya pun berarti makan barang yang haram (HR Muslim).

Alquran menyebutkan dua sikap kefakiran, yakni as-saailiindan al- mahruum(QS 70:24-25, 51:19). Prof Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan bahwa as-saailin bukanlah peminta di jalanan atau pengangguran yang berkeliaran, melainkan para petugas zakat, orang- orang yang terdesak dengan utang, atau para penuntut ilmu yang kekurangan.

Sementara, al-mahruum adalah orang yang tidak punya apa-apa karena merugi dalam niaganya atau hartanya habis (bangkrut) tetapi tetap menjaga diri. Islam mengajarkan ikhtiar sungguh-sungguh untuk meraih kenikmatan dan kejayaan duniawi.Artinya, kita wajib bekerja keras sedaya mampu demi mencari kekayaan dengan cara yang benar (halal), disertai perilaku baik dan tidak menimbulkan kerusakan (QS 28:77).

Begitu pun Nabi SAW memotivasi kita untuk mau bekerja apa saja walau harus mengambil seutas utas tali dan mencari kayu bakar lalu menjualnya daripada meminta-minta, baik diberi maupun tidak. (HR Bukhari).

Belakangan, makin banyak orang yang masih muda dan kuat berpura- pura miskin atau cacat, ataupun mencuri bahkan menjarah barang milik orang lain secara terang- terangan. Ada pula modus untuk sumbangan masjid atau pesantren, padahal untuk kepentingan pribadi.

Sebagian lagi menjadikan pengemis sebagai pekerjaan tetap karena hasilnya melebihi upah buruh kasar. Tidak sedikit pula orang tua mewariskan mentalitas pengemis atau menyewakan anaknya, sementara ia duduk santai menunggu setoran.

Sungguh, tanggung jawab besar di pundak orang tua untuk menanamkan karakter kemandirian, kerja keras, dan dermawan pada anaknya agar lahir pribadi tangguh yang bertangan di atas (pemberi), bukan bertangan di bawah (peminta).

Sejatinya, bencana yang melanda Palu dan Donggala saat ini semestinya menjadi wahana pembelajaran berharga untuk berbagi. Jangan sampai kita meninggalkan generasi yang lemah iman, ilmu, adab, dan ekonomi (QS 4:9).

Apalagi, tumbuh dalam dirinya mentalitas pemalas dan pengemis. Walaupun sudah berjaya, ia suka meminta dan memeras.Akhirnya, ketika menjadi penguasa, ia melakukan korupsi dan zalim kepada orang yang tak berdaya seperti para korban bencana.

Ketika seseorang meminta-minta, Allah akan membuka pintu kefakiran (HR at-Turmudzi). Maka, tutuplah pintu kefakiran dengan kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas. Telapak tangan yang mengeras, kucuran keringat dan air mata dalam mencari nafkah sangat dicintai Allah SWT. Kemudian, biarlah Dia yang akan mencukupkan segala kebutuhan kita (QS 53:48). Allahu a’alam bish-shawab.

OLEH DR HASAN BASRI TANJUNG

“Tak Ada Jalan Buntu, Selama Yakin Pada Allah”

Dalam mengarungi samudra kehidupan, menusia laksana sebuah roda. Kadang ia berada di atas, kadang pula ia berada di bawah. Begitu pula dengan kisah hidup Azam, pria asal Bojonegoro, Jawa Timur.

Dikisahkan olehnya, ketika ia dalam masa kejayaan, bukan hanya rumah yang menjadi simbol kekayaannya. Mobil yang berjumlah tiga buah, juga menjadi fasilitas yang melengkapi kemewahan yang ia miliki. Belum lagi hasil dari usaha yang ia geluti, jual beli beras, yang omzetnya mencapai 25 ton per-bulan.

Namun malang tidak bisa dihindari, ketika roda kehidupan bergelinding membawanya ke posisi dasar. Usahanya bangkrut, dan utang bertebaran di sana-sini. Inilah kisahnya yang ditulis dengan bahasa tutur.

***

Kisah ini saya mulai dari sejarah masuknya saya ke lembaga dakwah. Saya bergabung pada tahun 1995, setelah menyelesaikan studi di Institut Kejuruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), Surabaya tahun 1994, jurusan Fisika.

Langkah bergabung dengan lembaga dakwah bukan langkah mudah. Keputusan ini, sungguh sangat bertentangan dengan keinginan orangtuaku yang ingin aku menjadi seorang pegawai negeri (PNS). Maklum, di desa, jarang anak mengenyam bangku kuliah. Apalagi, statusku sebagai sarjana Fisika. Merekapun selalu memaksaku, bahkan tidak jarang dengan menggunakan bahasa yang –kadang-kadang- tidak mengenakkan. Namun, laksana karang di lautan, tekadku untuk berdakwah dan bergabung di sebuah lembaga dakwah tak pernah runtuh, sampai akhirnya mereka pun menyerah.

Saya memilih sebuah lembaga dakwah, sebagai ‘pelabuhan’, karena saya melihat keindahan Islam di sana, yang sebelumnya tidak pernah saya saksikan di beberapa lembaga lain. Bagaimana para penghuninya menghormati tamu, sungguh mengesankan. Belum lagi melihat para awak yang senantiasa menjaga keistiqomahan dalam menunaikan shalat jama’ah dan shalatul lail (tahajjud), menjadi daya pengikat tersendiri. Pemandangan semacam inilah yang membuat hatiku berbunga-bunga, dan mendesakkan hati untuk segera berbabung.

Selain itu, dulu, di era Orde Baru (Orba) yang sangat otoriter ditambah kejaman Orba, rekayasa intelijen kepada umat Islam yang sangat kasar, membuatku merasa enggan untuk mendaftarkan diri menjadi PNS.

Setelah tiga bulan aktif, saya memutuskan untuk mengakhiri masa lajang, maka nikahlah aku dengan seorang wanita asal Surabaya, yang notabenya adalah teman kuliah.

Sambil menikmati bulan madu, aku mulai aktif di lembaga dakwah. Berbagai amanah pernah saya emban, mulai dari wakil kepala sekolah (Waka), bendahara Yayasan, dan berbagai amanah lain.

Apapun yang diamanahkan oleh lembaga kepadaku, dengan sekuat tenaga akan aku lakukan dengan sebaik-baiknya.

Merintis Bisnis

Ditengah-tengah kesibukan sebagai aktivis dakwah, pada 1998, aku memberanikan diri untuk terjun di dunia enterpreunership (kewirausahaan). Dan bisnis yang menjadi incaran adalah jual-beli beras dari desa ke kota.

Bisnis ini aku pilih, karena memang pada saat itu, pasar Surabaya sedang membutuhkan asupan beras yang tinggi. Peluang inilah yang aku baca, kemudian terjun di dalamnya. Adapun daerah asal penyuplaian, saya pilih Bojonegoro karena kabupaten ini merupakan salah satu penghasil beras terbanyak di Jawa Timur (Jatim).

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Hanya dalam waktu satu tahun, aku mampu meraih keuntungan yang cukup besar. Aku telah mampu mengontrak rumah yang lumayan megah. Mobil tidak hanya satu, aku beli tiga sekaligus. Bila dikalkulasi, omzetku saat itu, mampu mencapai 25 ton, tiap bulannya. Padahal, jujur, modal yang saya gunakan untuk memulai bisnis ini hanya keberanian. Tak sepeser pun uang saya keluarkan untuk memulai bisnis ini. Bukan karena apa-apa, tapi memang tidak ada.

Saya datang ke Bojonegoro menemui salah satu juragan beras di sana, kemudian menjelaskan prihal bisnis yang sedang saya rancang. Ia menyetujui untuk menjadi mitra kerja. Pada awal pengiriman, dia hanya memberikan 3 ton. Lambat-laun, setelah mengetahui perkembangan bisnis ini sangat masif, beliau pun akhirnya berani mengirim seberapapun jumlah yang saya butuhkan.

Bisnis ini terus berjalan dengan lancar, hingga memasuki tahun 2001. karena begitu mudahnya rizki hinggap ke pangkuanku, maka sempat timbul sifat arogansi (sombong) dalam diri. Pernah pada suatu saat, aku hampir ‘ketiban durian jatuh’. Uang sebesar Rp 2,2 Milyar hampir aku dapat namun akhirnya lenyap. Padahal, bisa dikatakan uang tersebut tinggal sejengkal saja menjadi hak milik saya.

Usut punya usut, mungkin, penyebabnya karena kesombonganku. Ceritanya, ketika mengetahui akan mendapat rizki nomplok, aku berkata ke pada istriku, “Bu, lihatlah, siapa diantara teman-temanku yang mampu mendapatkan uang Rp. 2,2 Milyar dalam umur semuda aku?” Maklunm kala itu, umurku masih 34 tahun. Tak disangka, kekotoran hati seperti itulah, rupanya, yang kemudian menjadi boomerang dan biang kehancuran bisnisku.

Roda Berbalik

Selain sifat takabbur yang pernah menyelinap di hati, aku merupakan orang yang paling sering ditipu oleh mitra bisnis. Meskipun aku telah berhati-hati dalam bertindak, tapi tetap saja penipuan itu berlanjut. Mungkin itu adalah salah satu bentuk teguran Allah kepadaku. Puncak dari penipuan itu terjadi pada tahun 2002. saat itu, tersebutlah P.T Pohon Mas dan Goldquest yang mengajak untuk berkerja sama dengan cara menanam saham. Setelah dijelaskan bagaimana sistem kerjanya, aku pun tertarik. Uang sebesar Rp 50 juta, aku serahkan langsung tanpa curiga. Lalu apa yang terjadi? Ternyata itu hanyalah modus penipuan. Maka lenyaplah uang itu entah-brantah.

Mulai dari sinilah bisnisku macet. Untuk menutupinya, mobil aku jual, selain itu aku pun berusaha mencari pinjaman ke teman-teman. Karena tidak mencukupi, maka akhirnya aku putuskan untuk meminjam di beberapa Bank seperti; BRI, BNI, Niaga, Permata. Gali lobang untuk tutup lobang.

Aku benar-benar menjadi orang yang terlilit hutang. Bahkan, karena tidak mampu lagi membayar kontrakan rumah, aku dan keluarga harus menumpang di rumah mertua.

Tiga tahun kondisi memprihatinkan tak juga berlalu. Di tengah kekalutan itu, ada kabar yang mengagetkan bahwa rumah yang kami tempati itu akan dijual oleh mertua. Ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga. Aku tak bisa berfikir lagi, mau dibawa kemana keluarga saya ini?. Meskipun saya punya banyak famili, tapi aku tidak akan melibatkan mereka dalam kasus ini.

Singkat cerita, rumah mertua akhirnya terjual seharga Rp. 130 Juta. Dari hasil penjualan, bapak (mertua) memberi kami Rp. 20 juta. Namun belum genap berumur satu minggu, uang itu sudah ludes untuk mencicil hutang-hutangku yang menumpuk. Istriku menangis, sebab, sedianya uang itu akan kamu gunakan untuk mengontrak rumah. Tapi, apalah daya, si-pengutang terus berdatangan menagih.

Di tengah kekalutan, aku datangi temanku. Aku sampaikan permasalahanku dan aku utarakan bahwa saat ini aku sedang butuh kontrakan. Melalui perantaranyalah aku dipertemukan dengan seorang pemilik rumah. Setelah bertemu si-empunya, aku dibingungkan dengan uang kontrakan yang mencapai Rp 16 juta yang tak mungkin kumiliki. (sebelumnya, rumah ini ada yang ingin mengontrak sebesar Rp. 36 juta), Lallahu’alam, Karena kelembutan hatinya, kami dipersilahkan menempati rumah tersebut. Sebagai ganti, aku diminta untuk bekerja dengannya. Rumah berukuran 9×10 meter persegi itulah, yang sejatinya bekas kantor, akhirnya menjadi tempat kami sekeluarga bernaung hingga saat ini. Allahuakbar! Puji syukur ku terus kuucapkan kepada Allah yang telah memudahkan segala urusanku.

Membangun Strategi

Setelah mendapat tempat tinggal yang pasti, saya mencoba menata ulang kehidupan. Aku melamar untuk menjadi agen sebuah majalah Islam. Al-hamdilillah diterima. Pelangganku juga lumayan banyak. Untuk majalah, berkisar 30 orang, buletin 50. Selain itu, aku juga berjualan kecil-kecilan. Karena pernah aktif di sebuah lembaga zakat, akupun ditawari untuk menjadi konsultan seuah lembaga zakat.

Selain disibukkan dengan urusan di atas, aku juga diamanahi untuk merintis badan ‘amil zakat.

Melalui aktivitas-aktivitas inilah, aku bisa kembali bangkit dari sebelumnya. Bahkan, pada bulan Oktober tahun lalu, rumah yang kami (yang semula kontrak telah resmi jadi milik kami). Karena aku telah membelinya seharga Rp 180 juta.

Mungkin ada yang bertanya, mengapa saya mampu menanggung beban seberat ini?dan mampu kembali bangkit?. Jawabannya mungkin satu. Dalam menjalani kehidupan, aku memiliki satu prinsip yang membuatku teguh dan tak mudah runtuh.

“Tidak ada jalan buntu selama kita pasrahkan semua urusan kepada Allah.” Sekalipun saat itu saya tidak memiliki sepeser uang, tetapi dengan prinsip itu, Allah senantiasa memperkuat diriku untuk mampu menghadapi ujian demi ujian.

Sebagai gambaran betapa mujarabnya prinsip tersebut, pernah pada bulan suci Ramadhan, kami kebingungan untuk membayar zakat fitrah. Uang yang kami punya tidak cukup untuk memenuhi kewajiban itu. Namun alhamdulillah, tanpa disangka-disangka, Allah memberi rizki kami melalui salah satu sahabatku. Sangat luar biasa. Saya senantiasa berpesan kepada Anda, mulai saat ini, libatkanlah Allah dalam setiap urusan kita. InsyaAllah, semuanya akan terasa lebih mudah.

HIDAYATULLAH

Jadilah Orang Baik yang Sejati

ALHAMDULILLAH. Segala puja dan puji hanya milik Allah Swt., Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Karunia-Nya tiada pernah berhenti mengalir kepada seluruh kita meski seringkali kita lupa mengingat-Nya dan lalai beribadah kepada-Nya. Hanya kepada Allah kita menyembah dan hanya kepada-Nya kita akan kembali. Sholawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada baginda nabi Muhammad Saw.

Saudaraku, mudah-mudahan kita menjadi orang baik. Yaitu baik dalam pandangan Allah Swt., karena tidak ada pandangan yang paling sempurna dalam menilai seseorang, kecuali hanya penilaian Allah Swt. Baik dalam pandangan manusia, belum tentu baik dalam pandangan Allah. Karena baik menurut orang itu bisa relatif, sedangkan baik menurut Allah pasti baik yang sejati.

Sesungguhnya Allah mengetahui bahwa kebaikan seseorang tidak hanya secara lahiriyah saja. Ketika seseorang bertuturkata baik, maka Allah mengetahui niat yang ada di dalam hatinya, apakah baik ataukah tidak. Ketika seseorang berbuat baik, maka sesungguhnya Allah mengetahui apa maksud yang ada di baliknya. Perkataan atau perbuatan yang dianggap baik oleh mata manusia, belum tentu baik menurut Allah. Karena manusia hanya melihat yang tersurat, tak bisa betul-betul melihat yang tersirat.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw pernah menyampaikan kisah tiga orang yang mati dengan membawa amal perbuatan yang menurut mereka adalah kebaikan. Pertama, orang yang gugur di medan jihad. Kedua, seorang pembaca dan penghapal Al Quran. Ketiga, orang yang gemar bersedekah.

Ketiga orang ini mengira bahwa amal perbuatannya adalah kebaikan. Namun, rupanya tidak demikian, karena Allah mengetahui isi hati mereka. Yang gugur di medan perang adalah karena ingin dipandang oleh orang lain sebagai pemberani dan pahlawan. Yang pandai membaca Al Quran adalah karena ingin dikagumi orang. Dan yang gemar bersedekah adalah karena ingin dipandang sebagai dermawan. Akhirnya, semua amal perbuatan mereka pun sia-sia di hadapan pengadilan Allah Swt. karena Allah Maha Mengetahui niat di dalam hati mereka.SubhaanAllah.

Allah Swt. berfirman,“Sesungguhnya Allah mengetahui yang tersembunyi di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.”(QS. Faathir [35] : 38).

Oleh karena itu saudaraku, marilah kita senantiasa memeriksa ke dalam hati kita, memeriksa niat kita setiap kali berbuat kebaikan. Jagalah niat kita hanya karena mengharap ridho dan penilaian Allah Swt. Kalaupun perbuatan kita itu diketahui oleh orang lain, maka niatkanlah itu sebagai syiar agar semakin menular kebaikan itu. Semoga Allah Swt. senantiasa memberikan kekuatan kepada kita untuk istiqomah.Aamiin yaa Robbal aalamiin. [smstauhiid]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

 

 

Etika Menghadiri Majelis

Dalam kehidupan sehari-hari, hadir di sebuah majelis ilmu menjadi pemandangan yang lazim. Ada pengajian pekanan khusus Muslimah ataupun taklim yang peruntukkannya untuk jamaah laki-laki.

Ternyata, hadir di majelis tak sekadar hadir dan tanpa aturan. Ada beberapa tata krama yang mesti diindahkan.

Dalam kehidupan sehari-hari, hadir di sebuah majelis ilmu menjadi pemandangan yang lazim. Ada pengajian pekanan khusus Muslimah ataupun taklim yang peruntukkannya untuk jamaah laki-laki.

Ternyata, hadir di majelis tak sekadar hadir dan tanpa aturan. Ada beberapa tata krama yang mesti diindahkan.

Dalam buku tersebut, Dr Ratib menguraikan beberapa adab yang mesti diperhatikan dalam menghadiri sebuah majelis. Adab tersebut disarikan dari Alquran dan hadis. Dari sumber Alquran, ayat di atas cukup memberikan gambaran yang jelas perihal bagaimanakah Rasulullah SAW mengajarkan tata cara hadir di sebuah majelis.

Ayat tersebut turun agar para sahabat meletakkan norma dalam majelis. Sebelum ayat ini diturunkan, para sahabat berlomba-lomba untuk menjadi yang terdekat dengan posisi duduk Rasul.

Sejumlah sahabat yang datang terlambat memaksa menggeser-geser, bahkan sebagiannya meminta yang lain untuk segera beranjak. Maka, hal semacam ini tidak diperbolehkan.

Jamaah yang datang lebih awal maka ia berhak atas tempat yang telah didudukinya. Tidak patut untuk menggusur apalagi menyuruh orang berdiri.

Ini mengajarkan bahwa sejatinya manusia itu sederajat di sisi Allah SWT. Hendaknya, tidak saling membanggakan status dengan seenaknya menyuruh orang lain pindah.

Namun demikian, ketentuan tersebut bukan berarti harga mutlak. Artinya, bila seseorang dengan sukarela memberikan tempat duduknya, ini akan sangat mulia

pekerti yang luhur. Rasulullah pun berkomentar melihat aksi dua sahabat kesayangannya itu. “Tidak bisa mengatuhi keutamaan, kecuali orang yang istimewa pula,” titah Rasul.

Ratib juga menegaskan, tak jarang sebuah majelis dihentikan untuk menyambut tokoh atau tamu penting yang datang. Hal ini tidak perlu dilakukan. Karena sesuai dengan kaidah, tak ada kata itsar dalam kamus kebaikan. Tetap saja majelis berlangsung,  persilakan dan percayakan orang lain  untuk penyambutan.

Dalam ayat tersebut juga, Ratib menambahkan, dijelaskan soal etika bubar dari majelis. Yakni, bila majelis selesai, jangan memaksakan diri untuk tetap “menahan” tokoh yang bersangkutan hingga berlarut-larut. Tindakan tersebut bisa memberikan kesan tak nyaman. Ini pula yang ditekan oleh Rasul, seperti yang tertuang dalam ayat QS al-Mujadilah [58]: 11, “Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah.”

Syekh Ratib menegaskan, jangan sesekali membuat daftar posisi tempat duduk berdasarkan status sosial atau jabatan. Kehormatan seseorang, menurut Islam, bukan diukur atas jabatan, harta, atau status social, melainkan dilihat dari kadar keimanan, ilmu, dan konsistensi amal.

pekerti yang luhur. Rasulullah pun berkomentar melihat aksi dua sahabat kesayangannya itu. “Tidak bisa mengatuhi keutamaan, kecuali orang yang istimewa pula,” titah Rasul.

Ratib juga menegaskan, tak jarang sebuah majelis dihentikan untuk menyambut tokoh atau tamu penting yang datang. Hal ini tidak perlu dilakukan. Karena sesuai dengan kaidah, tak ada kata itsar dalam kamus kebaikan. Tetap saja majelis berlangsung,  persilakan dan percayakan orang lain  untuk penyambutan.

Dalam ayat tersebut juga, Ratib menambahkan, dijelaskan soal etika bubar dari majelis. Yakni, bila majelis selesai, jangan memaksakan diri untuk tetap “menahan” tokoh yang bersangkutan hingga berlarut-larut. Tindakan tersebut bisa memberikan kesan tak nyaman. Ini pula yang ditekan oleh Rasul, seperti yang tertuang dalam ayat QS al-Mujadilah [58]: 11, “Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah.”

Syekh Ratib menegaskan, jangan sesekali membuat daftar posisi tempat duduk berdasarkan status sosial atau jabatan. Kehormatan seseorang, menurut Islam, bukan diukur atas jabatan, harta, atau status social, melainkan dilihat dari kadar keimanan, ilmu, dan konsistensi amal.

Ini pernah dicontohkan Umar bin Khatab. Ayahanda Hafshah tersebut pernah mendahulukan Ibnu Abbas dari sahabat yang lain. Padahal, usia Ibn Abbas kala itu masih belia.

Tak elak, sikap Sang Khalifah menuai kecemburuan. Usut punya usut, keputusan Umar itu dilandasi atas dasar keluasan dan kualitas pemahaman ilmu syariah dari Ibnu Abbas. Penilaian itu lantaran sahabat yang berjuluk tarjaman Alquran itu memberikan penafsiran unik atas surah an-Nashr.

Bahkan, Umar pernah memilih kalangan budak sebagai pemimpin di sejumlah wilayah yang menuai kontroversi saat itu. Lalu, tercetuslah pernyataan Umar yang tersohor, “Allah SWT meninggikan dan merendahkan sebuah kaum lewat (takaran) pemahaman Alquran.” 

Ini pernah dicontohkan Umar bin Khatab. Ayahanda Hafshah tersebut pernah mendahulukan Ibnu Abbas dari sahabat yang lain. Padahal, usia Ibn Abbas kala itu masih belia.

Tak elak, sikap Sang Khalifah menuai kecemburuan. Usut punya usut, keputusan Umar itu dilandasi atas dasar keluasan dan kualitas pemahaman ilmu syariah dari Ibnu Abbas. Penilaian itu lantaran sahabat yang berjuluk tarjaman Alquran itu memberikan penafsiran unik atas surah an-Nashr.

Bahkan, Umar pernah memilih kalangan budak sebagai pemimpin di sejumlah wilayah yang menuai kontroversi saat itu. Lalu, tercetuslah pernyataan Umar yang tersohor, “Allah SWT meninggikan dan merendahkan sebuah kaum lewat (takaran) pemahaman Alquran.” 

Ratib menambahkan, sejumlah tata krama dalam sebuah majelis yang disarikan dari sunah Rasulullah, antara lain, tidak menyenderkan kaki di atas kaki lainnya, menghindari kantuk dengan bergegas keluar, lalu berwudhu, dan tak kalah penting, ialah menutup sebuah pertemuan dengan doa penutup majelis.

“Mahasuci Engkau Ya Allah dan dengan segala pujian-Mu, aku bersaksi tiada tuhan selain Engkau, aku meminta ampun dan bertobat kepada-Mu.” 

REPUBLIKA

Indonesia Sabet Tiga Penghargaan dari Arab Saudi

Musim haji telah berakhir, dan sudah saatnya pemerintah mulai melakukan evaluasi guna mengintrospeksi kinerja dan kesuksesan terselenggaranya musim haji 2018. Untuk itu, Kementerian Kesehatan bersama lembaga terkait menggelar Evaluasi Nasional Kesehatan Haji 2018 dengan tema Profesionalitas petugas kesehatan dalam mendukung penyelenggaraan haji.

Acara yang digelar di Jakarta, dan akan berlangsung sejak Kamis 11 Oktober hingga 13 Oktober 2018 ini, dihadiri oLeh lebih dari 150 peserta dari dinas kesehatan berbagai daerah. Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Nila Moeloek mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh petugas kesehatan haji yang telah bekerja maksimal dalam menyukseskan penyelenggaraan haji 2018 ini.

“Apa yang telah dikerjakan oleh petugas kesehatan haji, kementrian kesehatan, kementrian agama, sudah sangat maksimal. Mulai dari persiapan, pada saat ibadah haji, hingga kepulangan. Saya kira ini sudah sangat bagus sekali, dan kami akan segera siapkan untuk musim haji 2019 nanti agar bisa lebih bagus lagi,” kata Nila, Kamis (11/10).

Dikatakan Nila, tahun ini, jumlah jamaah yang berisiko tinggi jauh lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya, yakni sekitar 65.5 persen, atau 2.1 persen lebih tinggi dari sebelumnya. Adapun upaya yang telah dilakukan untuk menanggulanginya adalah dengan istitaah.

Istitaah itu, kata Nila, merupakan kesepakatan antara kementrian kesehatan dan kementerian agama untuk memfilter calon jamaah yang layak berangkat haji. Upaya ini juga merupakan implementasi dari Permenkes No 15 tahun 2016 mengenai istitaah kesehatan haji yang berupa pembinaan, pelayanan, dan bimbingan kesehatan bagi jamaah baik sejak di tanah air maupun saat kembali lagi ke tanah air.

Untuk mewujudkannya, diperlukan kerja sama dinkes daerah dan provinsi untuk mendata riwayat dan kondisi kesehatan terkini calon jamaah. Data yang telah terkumpul akan dimasukkan ke sistem komputerisasi pusat Kemenkes, yang nantinya akan memudahkan petugas mengetahui kondisi kesehatan jamaah.

“Data ini juga akan tersimpan di masing masing kartu kesehatan jamaah haji sehingga pelaksanaan ibadah haji akan semakin mudah,” ujar Menkes.

Menkes berpesan, bagi para calon jamaah haji, agar dapat menjalani istitaah dengan maksimal untuk mengukur kemampuan sebelum menunaikan ibadah haji. Kementerian Agama, lanjut dia, juga telah mengatur kebijakan terkait jamaah yang gagal seleksi istitaah, yakni dapat digantikan oleh wali.

“Karena memang untuk pergi haji bukan hanya membutuhkan kemampuan secara finansial, tapi juga mampu fisiknya,” ujar Nila.

Hingga saat ini, seleksi istitaah telah berjalan maksimal, bahkan telah melebihi target. Hal itu dapat dilihat dari berkurangnya angka kematian jamaah haji dibanding tahun sebelumnya, yakni 1.5 persen dari total jamaah sebanyak 221 ribu jamaah.

Dengan pencapaian ini, Kementrian Kesehatan juga menyabet tiga penghargaan sekaligus dari Pemerintah Arab Saudi. Yakni penghargaan sebagai pelayanan kesehatan terbaik, tim promosi dan preferensi terbaik, dan penghargaan umum sebagai negara dengan pelayanan kesehatan terbaik.

Nila mengaku, inovasi pelayanan haji tahun ini memang lebih matang dan efektif. Mulai dari sistem pengecekan kesehatan, tim gerak cepat, hingga tim promosi baik saat berada di tanah air maupun Tanah Suci.

Fasilitas kesehatan seperti posko kesehatan hingga rumah sakit Indonesia di beberapa wilayah di Arab Saudi seperti Jedah, Makkah dan Madinah, kata Nila, kini juga telah banyak diperbaiki dan diperlengkap, sehingga pelayanan kesehatan dapat lebih maksimal.

“Penghargaan ini tentu merupakan sebuah penghormatan dan pemacu semangat untuk lebih baik lagi, dan semoga dengan evaluasi ini kita dapat melihat kinerja masing-masing tim pelaksana haji dan meningkatkannya,” tutup Nila.

KH Luthfi Bashori: Liberalisme Bukan Ajaran Aswaja

Pengasuh Pesantren Ribath Al Murtadla Al Islami Singosari Malang KH Luthfi Bashori mengatakan, liberalisme sebagai penganut kebebasan bukanlah berasal dari ajaran Islam, apalagi lebih spesifik Ahlus Sunnah Wal Jamaah (ASWAJA).

Liberalisme atau liberal adalah sebuah ideologi (keyakinan), pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama.

“Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama,” jelasnya dalam Kuliah Aswaja di Dalwa Hotel, Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, Kamis (11/10/2018).

Liberalisme bukan ajaran Aswaja, jelasnya, karena ajaran Aswaja itu bukan ajaran kebebasan, namun ajaran yang penuh dengan aturan.

Baik yang bersifat aturan global seperti batasan-batasan yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun Hadits, atau aturan yang lebih terinci, yaitu hasil ijtihad para ulama dalam menerjemahkan isi yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits, lantas dicetuskan dalam bentuk batasan ilmu Fiqih, ilmu Tasawwuf, ilmu falaq, ilmu Faraid, dan sebagainya.

“Dari sini jelaslah, bahwa hanyalah sebuah kebohongan dan penipuan saja jika kaum liberal mengaku-ngaku sebagai penganut Aswaja. Sekalipun banyak di antara penganut liberalisme yang sengaja mendompleng kepada ormas-ormas Islam yang berasas Aswaja. Hal ini mereka lakukan dengan tujuan untuk melancarkan upaya liberalisasi ormas yang mereka masuki tersebut,” ungkap Ketua Komisi Hukum dan Fatwa MUI Kabupaten Malang ini.

Sayangnya, kata Gus Luthfi, banyak aktivis ormas Islam yang tidak sadar dan kurang peduli terhadap bahaya liberalisme yang merusak eksistensi ormas Islam yang disusupinya, khususnya dalam bidang keselamatan aqidah para anggota ormas terkait.

Ia mengatakan, liberalisme itu aslinya adalah kepanjangan tangan dari strategi kaum orientalis Barat non-Muslim, yang mana mereka sengaja mempelajari keislaman, namun bukan untuk diamalkan sesuai aturan syariat yang telah diajarkan oleh baginda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam serta dilestarikan oleh para ulama salaf, namun hanya untuk sekadar dipelajari dan dikaji.

Menurutnya, bilamana komunitas liberalis menemukan adanya ajaran Rasulullah yang tidak sesuai dengan selera hawa nafsu mereka, maka mereka pun tidak segan-segan berusaha merevisinya, misalnya dengan alasan ‘ajaran ini’ sudah tidak relevan untuk diterapkan pada jaman sekarang.

“Jadi, tujuan utama kaum liberal adalah upaya mereduksi ajara Islam dengan standar pemahaman kaum orientasi Barat non-Muslim,” ujarnya.

Ending-nya yang terjadi, hampir setiap hasil ‘koreksi’ dari kaum liberalis terhadap ajaran Islam ini, menjadi rujukan baru bagi ‘bos-bos’ mereka di dunia Barat non-Muslim, kata dia.

Hal ini menurutnya dikarenakan kaum liberal tetap menggunakan nama-nama serta simbol-simbol keislaman, sehingga tujuan utama kaum orientalis Barat untuk menghancurkan Islam dari dalam, semakin mendekati keberhasilan.

Ia mengatakan, menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), liberalisme adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an dan Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata. Umat Islam haram mengikuti paham liberalisme.

“Masih segar dalam ingatan, KH Mas Subadar, kiai berpengaruh asal Pasuruan, Jawa Timur, melontarkan peringatan keras saat Muktamar NU di Boyolali, Desember 2004: “Bersihkan pengurus NU dari unsur Islam liberal.” Sebelumnya, seruan yang sama juga terjadi saat Muktamar Pemikiran NU di Situbondo, Oktober 2003,” ungkap putra KH Bashori Alwi ini.

Ia mengatakan, Komisi Bahts al-Masail al-Maudhu’iyyah dalam Muktamar Boyolali juga menolak Metode Hermeneutika yang dinilai sebagai agenda kaum liberalis untuk menghancurkan Islam lewat komunitas Nahdliyyin.

“Hermeneutika adalah salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna,” jelasnya.

Nama hermeneutika, terangnya, diambil dari kata kerja dalam bahasa Yunani hermeneueinyang berarti, menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan.

Jika dirunut lebih lanjut, kata kerja tersebut diambil dari nama Hermes, dewa pengetahuan dalam mitologi Yunani, yang bertugas sebagai pemberi pemahaman kepada manusia, terkait pesan yang disampaikan oleh para dewa-dewa di Olympus, masih kata Gus Luthfi.

Sejak saat itu Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu dalam keyakinan mereka,” pungkasnya.*

 

HIDAYATULLAH

AMALAN HARI JUMAT untuk Mendapat Rezeki dan Berkah, Ada 8 Keistimewaannya

Hari Jumat, hari istimewa yang diakui seluruh umat, terutama umat Islam yang bahkan menjalankan ibadah salat Jumat, tanda betapa istimewa hari ke-7 dari satu pekan itu.

Umat Nasrani pun demikian, bahkan ada istilah Jumat Agung yang mereka sebut dalam acara Misa, yang mereka gelar di mana hari bersejarah.

Nah berikut ini, kajian secara Islam akan membahas secara detil bagaimana istimewanya hari Jumat. sebab berbagai perisitwa penting, hari kelahiran, keberkahan hari Jumat ini melebihi kebaikan hari lainnya.

Apa saja keistimewaan hari Jumat, berikut ini 8 Keistimewaannya sebagaimana dirangkum dari dokumen Sriwijaya Post serta berbagai sumber otentik.

“Hari Jumat hari paling istimewa, karena terdapat periswita yang melibatkan insan paling Agung dan hari paling istimewa di antara 7 hari lainnya,” ujar Ustadz Atoillah, Mudir Ponpes Miftahul Huda.

1. Hari Paling Istimea Dalam Setiap Pekan

TANDA istimewa hari Jumat bagaimana Allah mewajibkan setiap umat laki-laki sholat Jum’at. Pertanda ini sangat istimewa.

Bagaimana pada hari itu Islam memperlihatkan persatuan umat, yang tidak membedakan golongan dan status berkumpul dan duduk sejajar dalam satu masjid.

Bersilaturahmi setiap minggu melalui hari yang santa istimewa.

Mengenai kebesaran Hari Jumat disampaikan melalu Sabda Rasulullah:
Berikut Ini:
Ibnu Abbas z berkata : Rasulullah SAW bersabda :

“Hari ini yaitu hari besar yang Allah tentukan untuk ummat Islam, jadi siapa yang akan menghadiri shalat Jum’at sebaiknya mandi terlebih dulu. ” (HR. Ibnu Majah)

2. Hari Paling Bersejarah Karena Melihat Manusia dan Insan Paling Agung

BANYAK peristiwa besar dalam kejadian yang sebagaian kita jarang memperhatikan:

– Hari Jumat kerupakan proses diciptakannya mania pertama.

– Allah membuat Nabi Adam ‘alaihissallam serta mewafatkannya.

– Kemudian Jumat pula, Hari Nabi Adam alaihissallam dimasukkan kedalam surga

– Hari Nabi Adam ‘alaihissallam di turunkan dari surga menuju bumi.

– Hari yang dipercaya akan terjadinya kiamat seperti dimanfaatkan dalam berbagai sumber di Alquran dan Al Hadist.

Mengenai hal ini tercantum dalam Sabda Rasulullah.

Seperti diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

“Hari terbaik di mana matahari terbit pada hari itu yaitu hari jumat, pada hari itu Adam diciptakan, serta pada hari itu juga Adam dimasukkan kedalam surga, dan di turunkan dari surga, pada hari itu juga kiamat bakal berlangsung, pada hari itu ada satu saat di mana tidaklah seseorang mukmin shalat menghadap Allah menginginkan kebaikan terkecuali Allah bakal mengabulkan permintannya. ” (HR. Muslim)

3. Kemudian Mendapatkan Pahala dari Salat Jumat, setara dengan orang beribadah 1 tahun lamanya.

Seperti disampaikan Aus bin Aus z yang berkata: Rasulullah bersabda:

”Siapa yang mandi pada hari Jum’at, lalu bersegera pergi menuju masjid, serta tempati shaf paling depan lalu dia diam, jadi tiap-tiap langkah yang dia ayunkan memperoleh pahala puasa serta shalat sepanjang setahun, serta itu yaitu hal yang mudah untuk Allah “. (HR. Ahmad serta Ashabus Sunan, dinyatakan shahih oleh Ibnu Huzaimah).

Nah dari hal diatas dapat kita lihat bagaimana istimewa hari Jumat.

4. Hari Dihapuskannya Dosa-Dosa Jika Benar-benar Bertobat

Pengampunan dosa kepada umat jatuh pada hari Jumat. Hal ini disapaikan oleh Salman Al Farisi z berkata :

Rasulullah bersabda:

“Siapa yang mandi pada hari Jum’at, bersuci sesuai sama kekuatan, membereskan rambutnya, memoleskan minyak wangi, lantas pergi ke masjid, serta masuk masjid tanpa ada melangkahi di antara dua orang untuk dilewatinya, lalu shalat sesuai sama tuntunan serta diam ketika imam berkhutbah, pasti diampuni dosa-dosanya diantara dua Jum’at “. (HR. Bukhari)

Hal diperkuat oleh hadis berikut.

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya, dari Salman dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya kepadaku, “Apakah kamu tahu hari Jum’at itu?” Aku menjawab, “Hari Jum’at adalah hari Allah mengumpulkan Nabi Adam.” Beliau menjawab,

“Tapi aku mengetahui apa hari jum’at itu. Tidaklah seseorang menyempurnakan bersucinya, lalu mendatangi shalat Jum’at, kemudian diam hingga imam selesai melaksanakan shalatnya, melainkan akan menjadi penghapus dosa antara Jum’at itu dengan Jum’at setelahnya, jika dia menjauhi dosa besar.”

Masih dalam Al Musnad, dari Atha’ al Khurasani, dari Nubaisyah al Hudzaliy bahwa dia meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Bahwasanya jika seorang muslim mandi pada hari Jum’at, lalu datang ke masjid dan tidak menyakiti seseorang; dan jika dia mendapati imam belum datang di masjid, dia shalat hingga imam datang; dan jika ia mendapati imam telah datang, dia duduk mendengarkan khutbah, tidak berbicara hingga imam selesai melaksanakan khutbah dan shalatnya. Maka (balasannya) adalah akan diampuni semua dosa-dosanya pada Jum’at tersebut atau akan menjadi penebus dosa Jum’at sesudahnya.”

Tunda Mandi Junub tak Didekati Malaikat Rahmat

SERING kali orang menunda mandi junub tanpa alasan. Misalnya pasangan suami istri yang telah menyelesaikan hajatnya. Mereka langsung tidur begitu saja.

Dalam kitab Shahih At Targhib wa At Tarhib, ada satu bab khusus berjudul “Ancaman Menunda Mandi (Junub) Tanpa Alasan”. Di bawah bab itu dicantumkan dua buah hadits shahih yang berisi ancaman menunda mandi junub tanpa alasan. Apa ancamannya? Orang yang menunda mandi junub tidak akan didekati oleh malaikat rahmat.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Tiga orang yang tidak didekati oleh malaikat (rahmat): orang junub, orang mabuk dan orang yang berlumuran minyak wangi khaluq.” (HR. Al Bazzar; shahih)

Dijelaskan oleh Al Hafizh bahwa yang dimaksud dengan malaikat pada hadits ini adalah malaikat yang turun membawa rahmat dan berkah, bukan malaikat hafazhah (yang mengawasi) karena mereka selalu bersama manusia dalam kondisi apapun.

Jadi, bagi orang yang menunda mandi junub tanpa alasan, misalnya, karena malas atau menyepelekan, maka ia tidak didekati oleh malaikat rahmat. Lalu apakah seseorang harus segera mandi junub begitu ia selesai berhubungan? Rasulullah mencontohkan, setelah menunaikan hajat bersama istrinya kadang beliau langsung mandi junub kadang tidak langsung mandi junub. Ketika beliau tidak bisa langsung mandi junub, maka beliau berwudhu dulu sebelum tidur.

“Dari Abdullah bin Abi Qais ia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah tentang witir Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Lalu dia menyebutkan suatu hadits. Aku bertanya lagi, Bagaimana yang beliau perbuat ketika dalam keadaan junub, apakah beliau harus mandi sebelum tidur atau tidur tanpa mandi? Aisyah menjawab, ‘Sungguh semuanya telah dilakukan beliau, kadang beliau mandi lalu tidur, kadang beliau berwudhu lalu tidur.’ Aku berkata, ‘Segala puji bagi Allah yang menciptakan dalam perkara tersebut suatu keleluasaan’.” (HR. Muslim)

Hadits lain dalam bab ancaman menunda mandi (junub) tanpa alasan memperjelas bahwa yang terkena ancaman tidak didekati malaikat rahmat adalah menunda mandi junub tanpa berwudhu.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tiga orang yang tidak didekati oleh malaikat: bangkai orang kafir, orang yang berlumuran minyak wangi khaluq dan orang junub kecuali jika ia berwudhu” (HR. Abu Dawud; shahih)

Adapun yang dimaksud dengan minyak wangi khaluq adalah minyak wangi kombinasi zafaran dan lainnya, didominasi oleh warna merah dan kuning.[bersamadakwah]