ADA rahasia menarik yang menjelaskan mengapa ulama-ulama Islam tempo dulu begitu produktif dalam kepenulisan. Salah satunya adalah mereka memanfaatkan waktunya untuk membaca buku. Hal itu dilakukan bukan saja saat luang, bahkan ketika dalam menghadiri undangan, saat sedang berjalan bahkan sakit pun disempatkan untuk membaca buku.
Kisah-kisah inspiratif itu bisa dibaca dalam buku Abdul Fattah Abu Ghaddah yang berjudul “Qīmah al-Zamān ‘Inda al-Ulamā” (1988). Sosok kenamaan seperti Tsa’lab, Imam Nawawi, Syeikh Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Malik, Adz-Dzahabi dan lain sebagainya, disebutkan sebagai ulama yang ‘gila baca’ buku.
Di antara mereka ada yang tidak pernah lepas dari buku. Ahmad bin Yahya asy-Syaibani yang lebih dikenal dengan Tsa’lab (200-291 H) tidak pernah terpisah dari buku ajarnya. Ulama yang dikenal ahli dalam bahasa Arab ini ketika diundang untuk menghadiri acara, beliau memberi syarat agar di depan tempat duduknya disediakan semacam meja untuk membaca buku. Beliau tidak mau waktunya terbuang sia-sia.
Kabarnya, yang cukup mengharukan, sebab wafatnya beliau adalah saat membaca buku di jalan. Waktu itu, pendengarannya agak terganggu. Ketika ada kendaraan kuda lewat, ia sama sekali tak mendengarnya hingga tertabrak dan terpental jatuh ke suatu lubang. Ketika diangkat kondisinya tak sadar. Beliau sempat mengeluhkan sakit kepala. Kemudian, hari kedua pasca kecelakaan beliau meninggal dunia.
Imam al-Khathīb al-Baghdady pun demikian. Saat sedang berjalan dia tak lupa memanfaatkan waktunya untuk membaca buku. Ulama pakar Nahwu seperti Abu Yusuf Ya’qub bin Kharzad al-Nujayrimy juga melakukan hal yang sama. Dikisahkan bahwa beliau saat berjalan menuju Qarafah, ia memegang buku. Perjalanannya diisi dengan membaca buku.
Ketika para ulama tak mampu atau berkesempatan membaca secara langsung, maka mereka meminta untuk dibacakan buku. Imam Adz-Dzabi dalam buku “Tadzkirah al-Huffādz” menceritakan kisah menarik terkait Hafidz Abu Nu’aim al-Ashfahāny. Ulama pakar hadits dan sejarah itu sangat hobi membaca buku. Setiap hari ada orang yang membacakannya buku hingga menjelang zuhur. Saat pulang ke rumah pasca zuhur pun beliau juga dibacakan buku. Menariknya, beliau sama sekali tidak bosan mendengarnya.
Lebih menarik dari itu, kakek Ibnu Taimiyah, Majduddin Abu al-Barakat ketika memasuki toilet (WC), dia meminta pada anaknya (ayah Ibnu Taimiyah), “Bacakanlah untukku pada halaman ini dan keraskan suaramu supaya aku bisa mendengar.” Luar biasa, bahkan di tempat pembuangan hajat pun beliau tidak mau ketinggalan menyerap ilmu dari buku dengan cara dibacakan oleh anaknya.
Sementara itu, ulama lain seperti Ibnu Malik (Ulama Pakar Nahwu) membagi kegiatannya jika tidak shalat, membaca, menulis, maka selebihnya untuk membaca buku. Beliau dikenal sebagai ulama yang sangat disiplin dalam menjaga waktunya. Kabarnya, di saat-saat menjalang ajal pun beliau gunakan untuk menerima ilmu. Suatu hari, beliau bersama sahabat-sahabatnya sedang melakukan safar. Ketika sudah sampai di tempat tujuan, segera ia menyingkir dari mereka tanpa disadari oleh mereka. Setelah dicari ke sana kemari, rupanya beliau sedang asyik bercengkrama dengan buku.
Pembaca mungkin juga tidak asing dengan sosok ulama kenamaan Ibnu Jauzy. Beliau dikenal sebagai ulama yang sangat produktif dalam menulis buku. Seleranya untuk membaca buku sedemikian tinggi. Ia tidak pernah merasa kenyang dalam menelaah buku. Ketika beliau menjumpai buku yang belum pernah dilihat, maka seolah-olah sedang menemukan harta karun.
Imam besar lain seperti An-Nawawi juga sangat antusias dalam membaca buku. Abu Hasan al-Aththar (salah seorang muridnya) memberi kesaksian bahwa Imam Nawawi dalam sehari mampu membaca 12 buku pelajaran di hadapan guru-gurunya baik beriring penjelasan maupun koreksi.
Bahkan dari figur Syeikh Ibnu Taimiyah pun, pembaca bisa menemukan semangat yang sama dalam membaca buku. Beliau ini dikenal sebagai ulama yang produktif menulis dan cepat. Dikisahkan bahwa untuk menulis bantahan pada orang-orang pakar manthiq (logika) Yunani, beliau selesaikan dari bakda zuhur hingga ashar. Tidak mengherankan karena beliau adalah orang yang suka baca buku.
Ketika ditanya mengenai produktifitasnya dalam menulis buku, adalah karenah beliau tidak pernah terpisah dari menelaah, membaca dan membicarakan ilmu baik ketika sakit maupun bepergian. Ibnu Qayyim dalam buku “Raudhah al-Muhibbin” bercerita bahwa suatu hari Ibnu Taimiyah sakit. Oleh dokter disarankan agar mengurangi kegiatannya dalam bidang keilmuan dan membaca buku karena itu bisa memperparah sakit.
Apa jawaban Ibnu Taimiyan? Katanya, “Aku tak kuat menahan diri dari itu. Sekarang aku tanya berdasarkan keilmuanmu: bukankah kalau jiwa gembira maka berpengaruh positif pada kekuatan tabiat (kesehatannya)?” “Betul,” dokter. “Demikian juga aku. Aku sangat senang dan gembira dengan ilmu, aku merasa kuat dan rileks dengannya,” ujar Ibnu Taimiyah. Kata dokter, “Berarti ini di luar pengotan kami.”
Itulah beberapa contoh yang menunjukkan bahwa ulama sangat antusias dalam membaca buku. Dan itu juga sebagai salah satu jawaban atas produktifitas mereka dalam bidang kepenulisan. Demikianlah para ulama. Mereka bisa produktif menulis dan berbagi ilmu kepada umat karena mereka punya bahannya, yang salah satunya diperoleh dengan rajin membaca buku. Sebab, kalau sekiranya mereka tak punya bahan, bagaimana bisa menulis dan berbagi ilmu. Seperti ungkapan Arab “Fāqidu asy-Syai` lā yu’thīhi” (orang yang tidak punya sesuatu, maka tak mungkin bisa memberi orang lain sesuatu).*/Mahmud Budi Setiawan
HIDAYATULLAH