Ulama: Jangan Contoh Tokoh Selain Nabi Muhammad

Pembina Pondok Pesantren Babussalam Pekanbaru Syekh H Ismail Royan meminta masyarakat agar tidak mencari teladan hidup selain Nabi Muhammad SAW. Sebab, Nabi Muhammad telah mencontohkan dengan baik segala sisi kehidupan.

“Semua contoh telah ada mulai dari beliau (Nabi Muhammad SAW) remaja, bekerja, berkeluarga atau memimpin masyarakat hingga memimpin negeri yang cukup luas, ” tutur Syekh H Ismail Royan usai peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di pelataran Pondok Pesantren Babussalam Pekanbaru, Senin (20/11) malam.

Dia mengatakan keteladanan Nabi Muhammad itu berlaku hingga akhir jaman karena selalu sesuai dengan kondisi yang ada. Pemimpin Yayasan Syekh Abdul Wahab Rokan ini berharap generasi muda saat ini tidak melupakan sejarah Nabi Muhammad SAW.

“Jangan cari contoh lain selain dari Nabi Muhammad,” ujarnya.

Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Pondok Pesantren Babussalam itu sendiri dihadiri ratusan orang, baik para santri maupun warga sekitar. Bahkan hadir pula sesepuh Tuan Guru Babussalam Syekh H Hasyim Al Syarwani, Gubernur Riau terpilih Syamsuar, dan sejumlah tokoh masyarakat lainnya.

Peringatan Maulid Nabi Muhammad itu dilakukan dengan cara zikir bersama serta mendengarkan kajian Ustadz Zulhendri di pelataran pondok. Pondok Pesantren Babussalam sendiri berdiri di dalam lahan seluas sekitar 10 hektare dan diresmikan pada 1985 oleh Imam Munandar, Gubernur Riau saat itu.

12 Rabiul Awal Kelahiran Nabi Muhammad?

Perbedaan pendapat tentang tanggal kelahiran Nabi Muhammad adalah sesuatu yang wajar. Sebab, semua pendapat itu merujuk pada riwayat yang didapat oleh ulama tertentu. Ada riwayat yang kuat ada pula yang lemah.

Jika status sebuah riwayat sudah diketahui, maka seharusnya kita mengambil yang lebih kuat dan meninggalkan yang lemah.

Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa terdapat dalil tentang tanggal Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dilahirkan. Namun, mereka juga tetap berbeda pendapat tentang kepastian tanggalnya.

Ada yang mengatakan, malam tanggal 2 Rabiul Awal, ada yang mengatakan tanggal 8, tanggal 10, tanggal 12, tanggal 17, tanggal 18, dan ada yang mengatakan tanggal 22. Ada pula yang mengatakan bahwa dua pendapat terakhir tidak benar.

Pendapat populer yang dipegang oleh jumhur adalah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dilahirkan pada hari Senin tanggal 12 Rabiul Awal. Pendapat ini dinyatakan oleh Ibnu Ishaq dan lainnya.

Sementara itu, berkaitan dengan tahunnya, mayoritas ulama berpendapat bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam lahir pada tahun Gajah. Di antara orang yang berpendapat demikian adalah Qais bin Makhramah, Qabats bin Asyyam, dan Ibnu Abbas.

Sebuah riwayat menyatakan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dilahirkan pada hari tentara bergajah menyerbu Ka’bah. Namun, pendapat lain menyangkal kebenaran riwayat ini dengan mengatakan bahwa riwayat ini keliru, karena riwayat yang benar adalah tahun Gajah.

Di antara ulama ada yang menyatakan bahwa pendapat ini sudah disepakati oleh mayoritas ulama dan orang yang tidak sependapat dengan ini, berarti ia telah keliru. Menurut riwayat yang populer, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dilahirkan 50 hari setelah peristiwa penyerbuan tentara bergajah.

Pendapat lain mengatakan, 55 hari setelah peristiwa tentara bergajah. Ada yang mengatakan, sebulan setelahnya. Ada yang mengatakan, 40 hari setelahnya. Ada yang mengatakan, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dilahirkan 10 tahun setelah peristiwa tentara bergajah. Ada yang mengatakan, 23 tahun setelahnya.

Di samping itu, ada yang mengatakan, 40 puluh tahun setelahnya, dan ada yang mengatakan, 15 tahun sebelum peristiwa tentara bergajah.

Menurut jumhur ulama, semua pendapat tersebut merupakan kekeliruan dan di antaranya ada yang tidak benar penyandarannya terhadap seorang perawi.

Sebagian tulisan ini dikutip dari kitab Latha`if Al-Ma’arif karya Ibnu Rajab. Semoga bermanfaat. Aamiin.

Abu Syafiq

BERSAMA DAKWAH

Rasulullah Tunda Haji hingga 4 Tahun?

SEBAGIAN ulama lain menyebutkan bahwa kewajiban melaksanakan ibadah haji boleh diakhirkan atau ditunda pelaksanaannya sampai waktu tertentu, meski sesungguhnya telah terpenuhi semua syarat wajib. Istilah lainnya yang juga sering dipakai untuk menyebutkan hal ini adalah al-wujubuala at-tarakhi.

Kalau segera dikerjakan hukumnya sunah dan lebih utama, sedangkan mengakhirkannya asalkan dengan azam (tekad kuat) untuk melaksanakan haji pada saat tertentu nanti, hukumnya boleh dan tidak berdosa. Dan bila sangat tidak yakin apakah nanti masih bisa berangkat haji, entah karena takut hartanya hilang atau takut nanti terlanjur sakit dan sebagainya, maka menundanya haram.

Di antara yang berpendapat demikian adalah Mazhab As-Syafi’iyah serta Imam Muhammad bin Al-Hasan. Dalil yang digunakan oleh pendapat ini bukan dalil sembarang dalil, namun sebuah dalil yang sulit untuk ditolak.

a. Semua Hadis di Atas Lemah

Meski hadis-hadis yang disodorkan para ulama pendukung kewajiban menyegerakan haji itu kelihatan sangat mengancam, namun jawaban para ulama yang mendukung mazhab ini tidak kalah kuatnya. Mereka bilang bahwa semua hadis di atas itu tidak ada satu pun yang sahih. Semua hadis itu bermasalah, sebagiannya ada yang lemah dan sebagian lagi malah hadis palsu.

Maka kita tidak perlu repot dengan dalil-dalil yang nilai derajat hadisnya masih bermasalah. Karena hadis lemah apalagi palsu, jelas tidak bisa dijadikan sandaran dalam berdalil.

b. Praktek Rasulullah & 124 ribu Sahabat

Sementara di sisi lain justru Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri yang mencontohkan dan juga diikuti oleh 124 ribu sahabat untuk menunda pelaksanan ibadah haji. Sekadar untuk diketahui, ayat tentang kewajiban melaksanakan ibadah sudah turun sejak tahun keenam Hijriah. Sedangkan beliau bersama 124 ribu sahabat baru melakukannya di tahun kesepuluh Hijriah.

Mengerjakan ibadah haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Siapa mengingkari, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari semesta alam. (QS. Ali Imran: 97)

Itu berarti telah terjadi penundaan selama empat tahun, dan empat tahun itu bukan waktu yang pendek. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sejak peristiwa Fathu Mekkah di tahun kedelapan hijriyah sudah sangat mampu untuk melaksanakannya.

Seandainya orang yang menunda ibadah haji itu berdosa bahkan diancam akan mati menjadi Yahudi atau Nasrani, tentu Rasulullah dan 124 ribu sahabat beliau adalah orang yang paling berdosa dan harusnya mati menjadi Yahudi atau Nasrani. Sebab mereka itu menjadi panutan umat Islam sepanjang zaman.

Namun karena haji bukan ibadah yang sifat kewajibannya fauri (harus segera dikerjakan), maka beliau mencontohkan langsung bagaimana haji memang boleh ditunda pelaksanaannya, bahkan sampai empat tahun lamanya.

 

Wallahu a’lam bishshawab. [Ahmad Sarwat, Lc., MA]

INILAH MOZAIK

Selain Nabawi dan Quba, Rasulullah Pernah Shalat di Sini

Madinah merupakan kota suci umat Islam yang bersejarah. Di sinilah rentetan wahyu turun bagi Rasulullah SAW. Di sini pulalah peradaban Islam tumbuh dan berkembang sebagai salah satu kekuatan yang diperhitungkan dunia.

Selama berabad-abad, Madinah menjadi titik penting bagi dinasti-dinasti Islam yang berkuasa dan meninggalkan situs-situs bersejarah yang masih berdiri hingga kini, di antaranya, masjid.

Sebagian dari masjid-masjid itu pernah disinggahi oleh Rasulullah dan dijadikan sebagai tempat shalat. Ternyata, bukan hanya Masjid Nabawi atau Masjid Quba yang terkenal itu.

Masih terdapat masjid lain yang pernah dituju Rasul untuk shalat. Jumlahnya mencapai puluhan. Berikut ini sebagian masjid yang pernah dipilih Rasul sebagai lokasi beribadah:

Masjid Jumat

Masjid yang terletak di barat daya Kota Madinah tersebut adalah lokasi pelaksanaan shalat Jumat pertama kali oleh Rasul beserta rombongan ketika habis singgah dari Quba menuju Madinah. Jaraknya dari Masjid Quba sekira 900 meter.

Khalifah Umar bin Abd al-Aziz merenovasi ulang dan kembali diperbaiki pada masa Dinasti Abbasiyah antara 155 dan 159 H. Masjid ini juga disebut dengan Masjid Bani Salim karena terletak di perkampungan Bani Salim.

Masjid Sujud

Masjid as-Sajdah berada sekira 900 meter utara Masjid Nabawi. Di sinilah Rasul melakukan sujud paling lama sebagai bentuk rasa syukur. Ketika itu, seperti riwayat Abdurahman bin Auf, Jibril memberi kabar gembira kepada Rasul.

Sebab itulah, masjid ini juga disebut sebagai masjid al-Syukr. Dalam riwayat al-Bazar, pahala shalat di masjid yang dikenal pula dengan sebutan Masjid Abu Dzar al-Ghifar ini setara dengan 10 kebaikan.

Masjid Ghamamah

Dinamakan ghamamah yang berarti mendung dalam bahasa Arab lantaran ketika shalat di masjid ini, awan mendung melindungi Rasul dari teriknya matahari. Masjid yang berlokasi 500 meter dari barat daya pintu as-Salam Masjid Nabawi ini diyakini pernah menjadi lokasi shalat Id Rasul. Masjid ini mengalami beberapa kali renovasi dan kini tak lagi difungsikan karena keberadaan Masjid Nabawi.

Ingatlah Perjuangan Rasulullah

Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir (khotamun nabiyyin). Begitu luar biasa kemuliaannya. Nabi yang sangat peduli dengan umatnya. Sampai menjelang ajal,  umatnya yang selalu disebut-sebut sampai tiga kali.

Wajib hukumnya, kita mencintai nabi Muhammad. Beliau sangat cinta kepada umatnya. Janganlah kita menjadi orang yang tidak tahu berterimakasih. Sepelit-pelitnya manusia adalah yang tidak pernah mau bershalawat kepada nabi Muhammad SAW.

Maulid nabi adalah peringatan hari lahirnya nabi Muhammad SAW. Ada banyak pelajaran di dalamnya. Mengingat perjuangan dakwahnya, kesabarannya, dan akhlak mulianya. Betapa egoisnya kita. Muhammad yang telah menyempurnakan akhlak manusia kita lupakan.

Kaum perempuan menjadi sesuatu yang sangat berharga sekarang ini karena jasa Rasulullah SAW. Sebelum Rasulullah diutus, bagaimana zaman jahiliah memperlakukan perempuan?  Dihina, dianggap cela, bisa ditukar tambah, dan dikubur hidup-hidup.

Bershalawatlah sebanyak-banyaknya untuk menunjukkan rasa cinta kepada nabi Muhammad SAW. Setiap shalawat yang kita baca akan dibalas dengan sepuluh kebaikan oleh Allah SWT.

Dahulu, Shalahuddin al-Ayyubi merayakan Maulid Nabi dalam rangka membangkitkan semangat para pejuang fisabilillah. Akhirnya, pasukan sang sultan pun berhasil membebaskan kembali Yerusalem.

Ketika berdakwah, Rasulullah kerap dilempari kotoran, dilempari batu, dihina, dicaci maki, tetap bersabar, sehingga dampak dakwahnya terasa sampai saat ini. Dengan membaca dan mengenang kembali maulid nabi akan selalu membuat hati tenang dan kagum sekali terhadap akhlak Rasulullah SAW.

Karena lemah lembutnya banyak orang-orang yang tadinya sangat membencinya, berubah menjadi sangat mencintainya. Seperti kisah Umar bin Khattab yang sangat marah sekali ketika dikabarkan Rasulullah Saw telah wafat, karena sangat mencintainya dan tidak siap ditinggalkan oleh Rasulullah SAW.

Padahal sebelum menjadi seorang Muslim, Umar bin Khattab adalah orang yang sangat benci dengan dakwahnya Rasulullah SAW. Kisah ini saya sampaikan kepada 30 Jamaah ibu-ibu majlis taklim az-Zahra Bukit Sekatup Damai (BSD) Bontang-Kalimantan Timur, padai Ahad, 3 Rabiul awal 1440 H atau (11/11).

Semoga Maulid Nabi dapat membangkitkan semangat kita untuk terus berakhlak sebagaimana visi dan misi Rasulullah SAW diutus kepada umatnya untuk menyempurnakan akhlak manusia (Innamaa Buitstu Li Utammima Makarimal Akhlak– Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak).

 

Oleh: H. Khumaini Rosadi, SQ, M.Pd.I
Dai Tidim Jatman, Cordofa, Dosen

Ketika Cinta Rasulullah Bertepuk Sebelah Tangan

Perjalanan rumah tangga Rasulullah dengan Khadijah menjadi salah satu kisah cinta paling romantis sepanjang masa. Namun, meski sangat mencintai Khadijah, perempuan mulia itu ternyata bukan cinta pertama Rasulullah. Lalu siapakah perempuan yang mampu membuat Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam jatuh hati untuk kali pertama?

Fakhitah, nama perempuan itu. Putri pamannya, Abu Thalib sekaligus sepupunya itulah yang menjadi cinta pertama Rasulullah. Saat berusia 20 tahun atau lima tahun sebelum menikahi Khadijah, Rasulullah sempat melamar Fakhitah. Namun harapannya bersanding dengan sang sepupu untuk membangun rumah tangga tak terwujud.

Lamarannya ditolak pamannya sendiri, Abu Thalib. Sang paman ingin menikahkan putrinya yang kemudian dipanggil Umm Hani itu kepada pria dari silsilah keluarga Aminah, ibu Rasulullah.

Dikutip dari buku Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik karya Martin Lings, Umm Hani merupakan putri dari paman Rasulullah, Abu Thalib. Rasa cinta tumbuh di hati Muhammad muda. Kemudian Muhammad saat itu memohon kepada pamannya agar diizinkan menikahi putrinya.

Namun, Abu Thalib memiliki rencana lain. Hubayrah, putra saudara ibu Abu Thalib yang berasal dari Bani Makhzum, juga telah melamar Umm Hani.

Hubayrah bukan saja seorang pria yang kaya raya, tetapi juga seorang penyair berbakat, seperti halnya Abu Thalib sendiri. Terlebih lagi kekuasaan Bani Makhzum di Mekkah demikian meningkat seiring dengan merosotnya kekuasaan Bani Hasyim. Kepada Hubayrah-lah Abu Thalib menikahkan putrinya, Umm Hani.

“Mereka telah menyerahkan putri mereka untuk kita nikahi (Aminah), maka seorang pria yang baik haruslah membalas kebaikan mereka,” kata Abu Thalib dengan lembut kepada Muhammad muda.

Abu Thalib menjelaskan keputusannya menikahkan Umm Hani dengan Hubayrah demi menjaga hubungan baik kedua kabilah, sesuai tradisi arab kala itu. Dengan berlapang dada, Muhammad muda menerima penolakan paman yang amat dicintainya.

Meski ditinggal menikah oleh perempuan yang dicintainya, Muhammad muda tak lantas terus larut dalam kesedihan. Seorang saudagar perempuan terkaya di Mekkah, Khadijah dari Suku Asad, diam-diam memerhatikan Muhammad. Caranya mendekati Muhammad sangat elegan. Khadijah menjadikan Muhammad sebagai mitra kerja yang mendagangkan hartanya. Khadijah memilihnya karena nama Muhammad telah dikenal di penjuru Mekkah sebagai Al-amin, orang yang terpercaya, yang dapat diandalkan, jujur.

Khadijah yang tertarik kepada Muhammad kemudian melamarnya, meskipun ia lebih tua 15 tahun dari pemuda yang kelak menjadi nabi dan rasul terakhir. Pernikahan mereka sangat diberkahi dan penuh kebahagiaan, meskipun bukan berarti tidak pernah sedih atau merasa kehilangan. Selain berperan sebagai istri yang baik, Khadijah juga menjadi sahabat bagi suaminya, tempat berbagi suka cita hingga pada tingkat yang luar biasa.

Bersama Khadijah, Rasulullah memiliki enam anak, dua putra dan empat putri. Putra sulungnya diberi nama Qasim, yang meninggal sebelum berusia dua tahun. Berikutnya seorang putri bernama Zaynab, disusul dengan tiga putri lainnya yaitu Ruqayyah, Umm Kultsum dan Fathimah. Dan yang terakhir seorang putra lagi yaitu Abdullah, yang juga tidak berusia panjang.

Pada tahun 619 Masehi, Rasulullah merasa kehilangan besar atas kematian istrinya, Khadijah. Khadijah kira-kira berusia 65 tahun, sedangkan Rasullullah shalallahu alaihi wassalam berusia 50 tahun. Mereka telah hidup bersama secara harmonis selama 25 tahun. Khadijah bukan hanya istri Rasulullah, tetapi juga sahabat dekatnya, penasihatnya, dan ibu seluruh keluarganya.

Keempat putrinya dirundung perasaan duka cita, tetapi Rasulullah menenangkan mereka dengan mengatakan bahwa Jibril baru saja datang kepadanya, mengucapkan selamat dan mengatakan, “Allah telah menyiapkan tempat tinggal baginya (Khadijah) di surga.”

Saat Muhammad diangkat menjadi nabi dan rasul, Fakhitah menjadi pengikutnya. Keputusan memeluk Islam membuat Fakhitah berpisah dengan suaminya, Hubayrah yang enggan masuk Islam. Ketika sudah menjadi janda, Fakhitah mengurus empat anaknya sendirian.

Setelah ditinggal wafat Khadijah, Rasulullah sempat kembali melamar sepupunya tersebut. Cinta pertamanya. Namun, Rasulullah kembali ditolak. Jika dulu pamannya yang menolak, kini Fakhitah yang menolak lamaran Rasulullah.

“Wahai Rasulullah tidak ada wanita yang tak ingin menjadi istrimu, begitu pula denganku, aku memiliki banyak anak, jika aku menikah denganmu aku bingung aku harus memilih berat ke mana. Kalau aku berat kepada suami, aku takut menelantarkan anak-anakku yang masih kecil, dan jika aku berat kepada anak aku takut zalim kepada hak suamiku. Daripada aku menjadi orang yang zalim jadi Rasulullah, maaf saya tidak bisa menerima lamaranmu.”

Berdoa Tanpa Usaha, Bohong, Usaha tak Doa Sombong

BERDOA tanpa usaha sama artinya dengan bohong. Berusaha tanpa berdoa artinya sombong.

Keduanya saling melengkapi aagar terpenuhi harapan diri. Tak akan kecewa hati karena keinginan tercukupi.

Doa adalah permohonan, pengharapan seorang hamba kepada Sang Khaliq. Doa itu intinya adalah ibadah, doa adalah senjata, doa adalah obat, doa adalah pintu segala kebaikan.

Dengan banyak berdoa banyak urusan terselesaikan, banyak kesempitan terlapangkan, banyak masalah akan teruraikan. Doa yang utama kala kita memperbanyak tilawah Alquran.

Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda: Tuhan Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman:

“Barang siapa yang sibuk membaca Alquran dan zikir kepada Ku dengan tidak memohon kepada Ku, maka ia Aku beri sesuatu yang lebih utama dari pada apa yang Aku berikan kepada orang yang meminta”.

Kelebihan firman Allah atas seluruh perkataan seperti kelebihan Allah atas seluruh makhlukNya”. (Hadits ditakhrij oleh Tirmidzi).

Dalam sebuah kisah, Muhammad Bin Qais mengatakan:

“Diberitahukan kepadaku bahwa ketika seorang bangun pada malam hari untuk mengerjakan salat Tahajjud, maka berkah dari Surga akan diturunkan untuknya. Para malaikat akan turun untuk mendengarkan lantunan bacaan Alqurannya.

Mereka berada di rumah tersebut serta semua makhluk yang ada di atmosfer ini akan mendengarkan bacaannya. Ketika dia telah menyelesaikan salat dan duduk untuk berdoa, maka para malaikat akan mengelilinginya dan membaca aamiin untuk doanya tersebut.

Setelah dia selesai mengerjakan salat tahajjud dan beristirahat, maka akan ada seruan yang ditujukan padanya, ‘seorang hamba yang telah melaksanakan ibadah dengan baik tidur dengan penuh kenikmatan”

Apapun persoalan hidup kita, apakah kita sedang bahagia atau sedih, tetaplah berdoa kepada Allah. Jangan pernah berhenti memanjatkan doa kepada Allah, karena doa adalah masa depan kita. Doa adalah kekuatan kita, doa adalah senjata kita.

Perhatikan ada-adab berdoa, dan bersabarlah menunggu dikabulkan-Nya. [Ustazah Rochma Yulika]

 

 

INILAH MOZAIK

Laba-Laba dan Risalah Islam

Laba-laba menjadi makhluk yang memiliki torehan sejarah tersendiri dalam risalah Islam. Allah SWT pernah memerintahkan seekor laba-laba untuk menyelamatkan Nabi Muhammad SAW dari kejaran kaum kafir.

Peristiwa itu terjadi di salah satu gua di Jabal Tsur saat Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar hendak berhijrah dari Makkah ke Madinah. Saat itu, Nabi Muhammad dan Abu Bakar tengah diburu oleh orang-orang Quraisy yang hendak membunuhnya. Nabi dan Abu Bakar pun tiba di sebuah gua, kemudian bersembunyi di dalamnya.

Peristiwa tersebut diabadikan dalam Alquran, tepatnya di surah at-Taubah ayat 40. Ayat itu berbunyi, “Jikalau kalian tidak menolongnya (Muhammad), sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrik Makkah) mengusirnya (dari Makkah), sedangkan dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada di dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya, ‘Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita’. Maka, Allah menurunkan ketenangannya kepadanya (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang tidak kalian lihat dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah mahaperkasa lagi mahabijaksana.”

Setelah itu, Allah memerintahkan seekor laba-laba untuk membuat sarang di mulut gua. Kendati mulut gua tersebut sempat diterawang oleh kaum kafir Quraisy,  mereka tidak dapat melihat keberadaan Nabi Muhammad dan Abu Bakar di dalamnya. Menurut mereka, adanya sarang laba-laba menjadi penanda bahwa tidak ada orang yang masuk ke dalam gua. Selama tiga hari Nabi Muhammad dan Abu Bakar bersembunyi di gua Tsur. Dua sahabat itu akhirnya berhasil lolos dari kejaran kaum kafir yang hendak membunuhnya.

Laba-laba merupakan salah satu binatang yang tertera dalam Alquran. Nama makhluk yang satu ini bahkan, dipilih untuk menjadi tajuk sebuah surah, yakni al-Ankabut (laba-laba).  Kata laba-laba, dalam surah al-Ankabut muncul pada ayat ke-41. Ayat tersebut berbunyi, “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah SWT adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.”

Prof Quraish Shihab dalam tafsir al-Mishbah menjelaskan, ayat di atas menyamakan kaum musyrikin yang menjadi berhala-berhala sebagai pelindung dengan laba-laba yang membuat sarang sebagai pelindung. Sarangnya sangat lemah. Namanya saja rumah atau sarang. Padahal, ia sama sekali tidak melindungi dari sengatan panas dan dingin. Sedikit gerakan akan membuat sarang itu  porak poranda. Sama dengan berhala yang namanya diberikan oleh kaum musyrikin sebagai tuhan-tuhan. Padahal, mereka merupakan benda yang lemah.

Terlepas dari maknanya, secara sains, jaring laba-laba sebenarnya dianggap memiliki kekuatan dan daya elastis yang luar biasa. Sejumlah ahli zoologi menilai bahwa benang laba-laba lebih tahan lama dan elastis dibandingkan fiber terkuat buatan manusia. Namun, Allah SWT justru menyebut sarang atau jaring laba-laba adalah materi yang lemah dan rapuh.

Penulis kenamaan Mesir, Musthafa Mahmud menyatakan,  benang laba-laba yang kuat berbeda setelah dia sudah membentuk jaring. Ayat di atas menyatakan bahwa jaring atau sarang laba-laba merupakan selemah-lemahnya rumah meski dibuat dari benang yang kuat. Faktanya, seperti dikatakan Prof Quraish Shihab, kita bisa dengan mudah menghancurkan sarang laba-laba dengan sekali sentuhan.

Karena itu, ayat tersebut merupakan perumpamaan yang dibuat Allah SWT untuk menggambarkan kondisi kaum musyrik. Sebab mereka mengambil dan menyembah tuhan selain Allah SWT dan mengharapkan pertolongan dan kemurahan rezeki darinya. Keadaan kaum musyrik, menurut Allah SWT, tak ubahnya seperti sarang atau rumah laba-laba yang lemah dan rapuh. Oleh karena itu, bila mereka mengetahui dan menyadari keadaannya, tentu mereka tidak akan meminta pertolongan, selain kepada Allah SWT.

Surah al-Ankabut ayat 41 merupakan sebuah perenungan yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang berilmu dan senantiasa bertawakal kepada-Nya. Walaupun di surah al-Ankabut ayat 41 rumah atau sarang laba-laba disebut sebagai materi yang rapuh dan lemah, Allah SWT justru memerintahkan seekor laba-laba untuk membuat sarang guna melindungi Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar dari kejaran kaum kafir. Hal itu menandakan bahwa Allah SWT memiliki kuasa terhadap segala ciptaan-Nya. Yang lemah dan rapuh dapat Dia kuatkan, begitupun sebaliknya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Tiga Cara Allah Kabulkan Doa

DENGAN sifat-Nya yang Agung, Allah akan senantiasa mengabulkan doa setiap hamba-Nya. Ada sebuah hadis yang menyampaikan dengan indah bahwa Allah mengabulkan doa dengan tiga cara: 1) Allah mengabulkan secara langsung doa yang dipanjatkan; 2) Allah menunda untuk mengabulkan doa tersebut; 3) Allah menggantikan doa tersebut dengan sesuatu yang lebih baik.

Meski demikian, pernahkan kita merenung mengapa doa-doa kita tidak kunjung diijabah? Allah sungguh Maha Penyayang yang sangat mengerti keinginan setiap hamba-Nya. Namun, hendaknya tidak dikabulkannya doa juga menjadi bahan untuk muhasabah. Kisah pada zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib berikut ini insya Allah akan melimpahkan banyak hikmah yang dapat mengingatkan kepada kita tentang sebuah doa.

Dikisahkan pada masa Bani Israel, ada sepasang suami istri yang selalu berdoa kepada Allah swt, agar mereka segera dikaruniai seorang buah hati. Hingga tahun kelima yang sedih karena merasa Allah telah menjauh darinya bertanya kepada Khalifah Ali yang kebetulan sedang memberikan khutbah. “Ya Amirul Mukminin, mengapa doa kami tak diijabah? Padahal Allah swt berfiman bahwa berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-kabulkan doamu.”

Ali bin Abi Thalib balik bertanya, “Apakah engkau sudah menjaga pintu-pintu doamu?”

Sang suami mengerutkan kening. “Aku tidak mengerti ucapanmu, wahai Amirul Mukminin.”

“Apakah kau sudah menjaga pintu doamu dengan melaksanakan kewajibanmu sebagai hambaNya? Kau beriman kepada Allah, tetapi tidak melaksanakan kewajibanmu kepada-Nya. Apakah kau menjaga pintu doamu dengan beriman kepada Rasulullah? Kau beriman kepada Rasul-Nya, tetapi kau menentang sunah dan mematikan syariatnya.”

“Apakah kau sudah menjaga pintu doamu dengan mengamalkan ayat-ayat Alquran yang kau baca? Ataukah kau juga belum sadar tatkala mengaku takut kepada neraka, tetapi kau justru mengantarkan dirimu sendiri ke neraka dengan maksiat dan perbuatan sia-sia? Ketika kau menginginkan surga, sebaliknya kau lakukan hal-hal yang dapat menjauhkanmu dari surga,” Tanya Ali bin Abi Thalib bertubi-tubi. “Apakah kau telah menjaga pintu doamu dengan bersyukur kepada-Nya saat Dia memberikan kenikmatan? Sudahkah engkau memusuhi setan atau malah sebaliknya kau bersahabat dengan setan? Apakah kau pernah menjaga pintu doamu dari menjauhi mencela dan menghina orang lain?” lanjut sang khalifah.

Sang suami terdiam mendengarnya. Khalifah Ali kembali berucap, “Bagaimana doa seorang hamba akan diterima sementara kau tidak menjaga, bahkan menutup pintu doa tersebut? Bertakwalah kepada Allah, perbaikilah amalanmu, ikhlaskanlah batinmu, lalu kerjakanlah amar makruf nahi munkar. Insya Allah, Dia akan segera mengabulkan doa-doamu.” [An Nisaa Gettar]

INILAH MOZAIK

Antusias Ulama dalam Membaca Buku

ADA rahasia menarik yang menjelaskan mengapa ulama-ulama Islam tempo dulu begitu produktif dalam kepenulisan. Salah satunya adalah mereka memanfaatkan waktunya untuk membaca buku. Hal itu dilakukan bukan saja saat luang, bahkan ketika dalam menghadiri undangan, saat sedang berjalan bahkan sakit pun disempatkan untuk membaca buku.

Kisah-kisah inspiratif itu bisa dibaca dalam buku Abdul Fattah Abu Ghaddah yang berjudul “Qīmah al-Zamān ‘Inda al-Ulamā” (1988). Sosok kenamaan seperti Tsa’lab, Imam Nawawi, Syeikh Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Malik, Adz-Dzahabi dan lain sebagainya, disebutkan sebagai ulama yang ‘gila baca’ buku.

Di antara mereka ada yang tidak pernah lepas dari buku. Ahmad bin Yahya asy-Syaibani yang lebih dikenal dengan Tsa’lab (200-291 H) tidak pernah terpisah dari buku ajarnya. Ulama yang dikenal ahli dalam bahasa Arab ini ketika diundang untuk menghadiri acara, beliau memberi syarat agar di depan tempat duduknya disediakan semacam meja untuk membaca buku. Beliau tidak mau waktunya terbuang sia-sia.

Kabarnya, yang cukup mengharukan, sebab wafatnya beliau adalah saat membaca buku di jalan. Waktu itu, pendengarannya agak terganggu. Ketika ada kendaraan kuda lewat, ia sama sekali tak mendengarnya hingga tertabrak dan terpental jatuh ke suatu lubang. Ketika diangkat kondisinya tak sadar. Beliau sempat mengeluhkan sakit kepala. Kemudian, hari kedua pasca kecelakaan beliau meninggal dunia.

Imam al-Khathīb al-Baghdady pun demikian. Saat sedang berjalan dia tak lupa memanfaatkan waktunya untuk membaca buku. Ulama pakar Nahwu seperti Abu Yusuf Ya’qub bin Kharzad al-Nujayrimy juga melakukan hal yang sama. Dikisahkan bahwa beliau saat berjalan menuju Qarafah, ia memegang buku. Perjalanannya diisi dengan membaca buku.

Ketika para ulama tak mampu atau berkesempatan membaca secara langsung, maka mereka meminta untuk dibacakan buku. Imam Adz-Dzabi dalam buku “Tadzkirah al-Huffādz” menceritakan kisah menarik terkait Hafidz Abu Nu’aim al-Ashfahāny. Ulama pakar hadits dan sejarah itu sangat hobi membaca buku. Setiap hari ada orang yang membacakannya buku hingga menjelang zuhur. Saat pulang ke rumah pasca zuhur pun beliau juga dibacakan buku. Menariknya, beliau sama sekali tidak bosan mendengarnya.

Lebih menarik dari itu, kakek Ibnu Taimiyah, Majduddin Abu al-Barakat ketika memasuki toilet (WC), dia meminta pada anaknya (ayah Ibnu Taimiyah), “Bacakanlah untukku pada halaman ini dan keraskan suaramu supaya aku bisa mendengar.” Luar biasa, bahkan di tempat pembuangan hajat pun beliau tidak mau ketinggalan menyerap ilmu dari buku dengan cara dibacakan oleh anaknya.

Sementara itu, ulama lain seperti Ibnu Malik (Ulama Pakar Nahwu) membagi kegiatannya jika tidak shalat, membaca, menulis, maka selebihnya untuk membaca buku. Beliau dikenal sebagai ulama yang sangat disiplin dalam menjaga waktunya. Kabarnya, di saat-saat menjalang ajal pun beliau gunakan untuk menerima ilmu. Suatu hari, beliau bersama sahabat-sahabatnya sedang melakukan safar. Ketika sudah sampai di tempat tujuan, segera ia menyingkir dari mereka tanpa disadari oleh mereka. Setelah dicari ke sana kemari, rupanya beliau sedang asyik bercengkrama dengan buku.

Pembaca mungkin juga tidak asing dengan sosok ulama kenamaan Ibnu Jauzy. Beliau dikenal sebagai ulama yang sangat produktif dalam menulis buku. Seleranya untuk membaca buku sedemikian tinggi. Ia tidak pernah merasa kenyang dalam menelaah buku. Ketika beliau menjumpai buku yang belum pernah dilihat, maka seolah-olah sedang menemukan harta karun.

Imam besar lain seperti An-Nawawi juga sangat antusias dalam membaca buku. Abu Hasan al-Aththar (salah seorang muridnya) memberi kesaksian bahwa Imam Nawawi dalam sehari mampu membaca 12 buku pelajaran di hadapan guru-gurunya baik beriring penjelasan maupun koreksi.

Bahkan dari figur Syeikh Ibnu Taimiyah pun, pembaca bisa menemukan semangat yang sama dalam membaca buku. Beliau ini dikenal sebagai ulama yang produktif menulis dan cepat. Dikisahkan bahwa untuk menulis bantahan pada orang-orang pakar manthiq (logika) Yunani, beliau selesaikan dari bakda zuhur hingga ashar. Tidak mengherankan karena beliau adalah orang yang suka baca buku.

Ketika ditanya mengenai produktifitasnya dalam menulis buku, adalah karenah beliau tidak pernah terpisah dari menelaah, membaca dan membicarakan ilmu baik ketika sakit maupun bepergian. Ibnu Qayyim dalam buku “Raudhah al-Muhibbin” bercerita bahwa suatu hari Ibnu Taimiyah sakit. Oleh dokter disarankan agar mengurangi kegiatannya dalam bidang keilmuan dan membaca buku karena itu bisa memperparah sakit.

Apa jawaban Ibnu Taimiyan? Katanya, “Aku tak kuat menahan diri dari itu. Sekarang aku tanya berdasarkan keilmuanmu: bukankah kalau jiwa gembira maka berpengaruh positif pada kekuatan tabiat (kesehatannya)?” “Betul,” dokter. “Demikian juga aku. Aku sangat senang dan gembira dengan ilmu, aku merasa kuat dan rileks dengannya,” ujar Ibnu Taimiyah. Kata dokter, “Berarti ini di luar pengotan kami.”

Itulah beberapa contoh yang menunjukkan bahwa ulama sangat antusias dalam membaca buku. Dan itu juga sebagai salah satu jawaban atas produktifitas mereka dalam bidang kepenulisan. Demikianlah para ulama. Mereka bisa produktif menulis dan berbagi ilmu kepada umat karena mereka punya bahannya, yang salah satunya diperoleh dengan rajin membaca buku. Sebab, kalau sekiranya mereka tak punya bahan, bagaimana bisa menulis dan berbagi ilmu. Seperti ungkapan Arab “Fāqidu asy-Syai` lā yu’thīhi” (orang yang tidak punya sesuatu, maka tak mungkin bisa memberi orang lain sesuatu).*/Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH