Month: April 2019
Orang Miskinpun Bisa Bersedekah Setiap Hari
ALHAMDULILLAH, Segala Puji Bagi Allah Subhanahu wa taala, shalawat dan salam semoga tetap tecurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.
Merasa iri dengan ibadah orang lain adalah sesuatu yang dibolehkan dalam agama islam, tidak semua ibadah dapat dilakukan seseorang, misalnya orang yang miskin ia tidak bisa berinfak atau bersedekah, menunaikan ibadah haji dan lain-lain. Namun agama islam yang mulia ini memberikan solusi bagi si miskin agar tetap bisa bersedekah meskipun tanpa harta? Bagaimana bisa, mari kita simak hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam yang menceritakan tentang sahabatnya yang miskin merasa iri terhadap sahabat Nabi yang kaya raya selalu terdepan dalam beramal kebaikan.
Dari Abu Dzar Radhiyallahu anhu bahwa beberapa orang dari Sahabat berkata kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah! Orang-orang kaya telah pergi dengan membawa banyak pahala. Mereka shalat seperti kami shalat, mereka puasa seperti kami puasa, dan mereka dapat bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian sesuatu yang dapat kalian sedekahkan? Sesungguhnya pada setiap tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, [HR. Muslim]
Nah, dari hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam tersebut terbuka lebar kesempatan emas bagi si miskin untuk bersedekah dengan mengucapkan tasbih (ucapan Subhanallah), tahmid (ucapan Alhamdulillah), takbir (ucapan Allahu Akbar) dan Tahlil (ucapan Laa ilaha illallah).
Ucapan dzikir ini bisa terus diulang-ulang dalam setiap aktivitas yang artinya semakin banyak berdzikir maka semakin banyak pula bersedekah dengan ucapan dizikir ini. Mudah-mudahan Allah mempermudah setiap kita mengucapkan kalimat dzikir ini. Wallahu alam. [*]
Info Tambahan Kuota, Dirjen PHU: Kemenag Akan Konfirmasi
Jakarta (Kemenag) — Beredar informasi bahwa Indonesia mendapat tambahan kuota haji sebesar 10ribu. Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nizar Ali mengaku masih akan meminta konfirmasi dan penjelasan terkait dengan berita tersebut.
“Kami akan meminta konfirmasi bila memang ada penambahan sebanyak 10 ribu jemaah haji,” tutur Nizar di Jakarta, Senin (15/04).
Menurut Nizar, pihaknya belum mendapat penjelasan yang lebih lengkap terkait dengan itu. Apakah benar adanya penambahan kuota, dan jika benar apakah akan diterapkan untuk tahun ini.
“(Jika tahun ini), Tentunya akan berpengaruh terhadap Biaya Penyelenggaran Ibadah Haji (BPIH) yang sudah ditetapkan oleh Presiden melalui persetujuan DPR. Sebab, dalam BPIH itu ada biaya yang ditanggung jemaah dan ditanggung dari dana optimalisasi setoran awal,” kata Nizar.
“Bila ada tambahan 10 ribu berarti ada tambahan-tambahan yang tidak tertera di BPIH 2019,” lanjutnya.
Jika tambahan kuota itu benar adanya, Nizar akan segera mengkonsultasikan hal tersebut kepada Menteri Agama, utamanya terkait dengan mekanismenya. Sebab, penambahan kuota akan berdampak pada penambahan biaya dan itu harus mendapat persetujuan DPR.
“Semantara, kuota haji reguler tahun ini (dalam pembahasan BPIH) masih ditentukan sebesar 204 ribu calon jemaah haji,” tandasnya.
Arab Saudi Tambah Kuota Haji 10 Ribu untuk RI
Wakil Ketua Komisi VIII DPR-RI Ace Hasan Syadzily mengungkapkan, jumlah kuota haji Indonesia telah bertambah sebanyak 10 ribu jamaah. Tambahan itu muncul setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertemu dengan Raja Salman di Riyadh, Arab Saudi, pada Ahad (14/4). Sebagai informasi, saat ini kuota jemaah haji RI sebanyak 221 ribu jamaah.
“Keputusan penambahan kuota haji ini disampaikan saat pertemuan Presiden Jokowi dengan Raja Kerajaan Arab Saudi, Raja Salman di Istana Pribadi Raja (Al-Qahr al-Khas) di Riyadh, Ahad 14 April 2019,” kata Ace Hasan Syadzily dalam keterangan tertulisnya, Senin (15/4).
Menurut Ace, penegasan keputusan itu juga disampaikan kembali Putera Mahkota Kerajaan Arab Saudi, Muhammad bin Salman (MBS). MBS sebelumnya telah menerima kedatangan Presiden Jokowi pada hari yang sama.
Penambahan kuota haji itu dinilai bermanfaat dalam mengurangi daftar tunggu jamaah haji Indonesia yang kini rata-rata mencapai 18 tahun. Bahkan, umpamanya, di Sulawesi Selatan daftar tunggu itu bisa mencapai 40 tahun.
“Tambahan ini merupakan upaya diplomasi Presiden Jokowi yang secara khusus kepada Pemerintahan Kerajaan Arab Saudi,” tambahnya.
Politikus Partai Golkar itu mengklaim, penambahan kuota haji itu merupakan salah satu bukti kedekatan diplomatik antara Indonesia dan Kerajaan Arab Saudi saat ini. Karena itu, dirinya menilai kunjungan Presiden Jokowi ke Arab Saudi kemarin patut diapresiasi.
Makna Ikhlas dan Tidak Ikhlas
IKHLAS kepada Allah bermaksud bahwa ibadah yang dilakukan adalah dalam rangka mendekat kepada Allah (taqarrub ilallah) dan keridhaan Allah. Tidak terbersit niat pada dirinya selain dalam rangka mendekat kepada Allah untuk meraih ridha Allah. Inilah makna ikhlas.
Adapun tidak ikhlas, ini diperinci dalam beberapa kondisi. Apabila seseorang beribadah dengan menginginkan ridha Allah namun ingin pula selain ridha Allah, maka kita lihat ia mengamalkannya untuk/demi apa. Bisa jadi seseorang beramal karena ingin dipuji oleh makhluk. Tentu amalannya tidak diterima bahkan ia menjadi pelaku syirik (kecil).
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwa Nabi Muhammad shallallaahu alaihi wasallam bersabda, “Allah berfirman: Aku adalah Dzat yang tidak butuh kepada persekutuan para sekutu; barangsiapa yang melakukan amalan yang di dalamnya dia mempersekutukan-Ku dengan sesuatu selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya bersama kesyirikan yang dilakukannya” (HR. Muslim).
Ada pula keadaan seseorang tidak ikhlas namun tidak pula mengharap pujian atau pengakuan makhluk. Yang ia tuju adalah keuntungan duniawi seperti kepemimpinan, kehormatan dan harta. Bukan untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah. Yang seperti ini tentu tidak mendapatkan keridhaan Allah.
Allah Subhanahu wataala berfirman, “Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang mereka kerjakan” (Hud: 15-16)
Sedang kondisi ketiga, adalah orang yang beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, namun pada amal ibadahnya ada konsekwensi logis secara duniawiah. Misalnya ketika bersuci, ia berniat beribadah/taqarrub, namun ia berniat pula agar mendapatkan kebersihan dan kesegaran pada dirinya. Atau ketika pergi haji, disamping ia niatkan ibadah pada Allah, untuk menyaksikan lokasi-lokasi sepanjang ibadah haji. Atau untuk bertemu dengan banyak orang (jamaah haji lainnya).
Amal ibadah demikian, maka niat mana yang lebih mendominasi, itulah yang akan memperberat timbangannya kelak di akhirat.
Allahu Aalm
Bantu Jamaah Hindari Riba, Al Fath Gandeng BMT
Biro perjalanan umrah dan haji khusus Al Fath Sunnah Amanah resmi bekerja sama dengan Baitul Mal Wattamwil (BMT) Ash Shiddiq. Kolaborasi dengan lembaga keuangan mikro syariah ini dilakukan untuk membantu para calon jamaah dalam menghindari riba, khususnya terkait pembiayaan Biro perjalanan umrah dan haji khusus Al Fath Sunnah Amanah resmi bekerja sama dengan Baitul Mal Wattamwil (BMT) Ash Shiddiq. Kolaborasi dengan lembaga keuangan mikro syariah ini dilakukan untuk membantu para calon jamaah dalam menghindari riba, khususnya terkait pembiayaan ibadah umrah.
Jangan Kufur Nikmat!
Akulah Gerbang Para Kekasih Tuhan
ADA cahaya yang memendar nun jauh di sana. Tak habis-habisnya mata memandang penuh pesona. Indah dan menakjubkan, hingga tiada sesaat pun melainkan sebuah klimaks dari puncak rasa kita, terkadang seperti puncak gelombang Cinta, terkadang menghempas seperti sauh-sauh kesadaran di hempas pantai, terkadang begitu jauh di luar batas harapan, padahal ia lebih dekat dari sanubari kita sendiri.
Tiba-tiba cahaya itu ada di depan mata hati kita. Ternyata sebuah gerbang keagungan yang dahsyat penuh kharisma. Gerbang itu seakan bicara: Akulah gerbang para kekasih Tuhan. Sejengkal saja kaki kita melangkah, memasuki pintu gerbang itu, seluruh kesadaran kita sirna dalam luapan gelombang cinta yang digerakkan oleh kedahsyatan angin kerinduan. Kata pertama yang berbunyi di sana adalah deretan puja dan puji:
Segala puji bagi Allah yang telah meluapi lembah kalbu para wali-Nya dengan luapan Cinta kepada-Nya. Dia yang membangunkan istana khusus agar luapan arwah para kekasih-Nya itu, senantiasa menyaksikan keagungan-Nya. Dia pula yang menghamparkan padang marifatullah melalui rahasia-rahasia jiwanya. Lalu kalbunya berada di sebuah taman surga. Taman itu penuh dengan lukisan-lukisan marifatullah yang tiada tara. Sedangkan arwah-arwah mereka berada di Taman Malakut, tak sejenak pun arwah itu melainkan berada dalam keabadian penyucian pada-Nya. Duh, rahasia arwahnya, mendendangkan tasbih dalam tarian Lautan Jabarut-Nya.
Lalu sebuah gerbang yang begitu agung dan indahnya, mengukirkan prasasti yang ditulis oleh Qalam Ruhani. Segala Puja bagi Allah, yang telah membuka gerbang Cinta-Nya bagi para Kekasih-Nya. Lalu Dia mengurai rantai yang membelenggu jiwanya, sehingga mereka teguh dalam keharusan khidmah pada-Nya, sedangkan cahaya-cahaya-Nya melimpahi akal-akal mereka. Lalu tampak jelas, keajaiban-keajaiban kekuasaan-Nya, sedangkan kalbu-kalbu mereka terjaga dari haru biru tipudaya yang menumpah pada pesona-pesona cetak lahiriyah jagad semesta, sampai akhirnya menggapai marifat paripurna. Amboi, ruh-ruh mereka tersingkapkan dari kemahasucian paripurna-Nya, dan sifat-sifat keagungan-Nya.
Merekalah penempuh jalan hadirat-Nya, dalam kenikmatan rahasia kedekatan dengan-Nya, melalui tarekat dahsyat rindu dendam-Nya, hingga mereka termanifestasi dalam hakikat, melalui penyaksian Ketunggalan-Nya. Mereka telah diraih dari mereka, dan Dia menyirnakan mereka dari mereka, lalu mereka ditenggelamkan dalam lautan Kemaha-Dia-an-Nya. Dia memisahkan pasukan-pasukan terpencar dalam kesatuan kitab-Nya bagi para kekasih terpilih-Nya. Lalu mereka terjaga oleh kerahasiaan jiwa melalui limpahan cahaya-cahaya, agar ia menjadi obyek manifestasi, di samping ke-Tunggal-Dirian-Nya.
Kalau saja kita ingin mengenal gerbang-gerbang Kekasih Allah itu, semata bukanlah hasrat dan ambisi untuk menjadi Kekasih-Nya. Sebab, mengangkat derajat seseorang menjadi Kekasih-Nya adalah Hak Allah, dan Allah sendiri yang memberi Wilayah itu kepada hamba-Nya yang dikehendaki-Nya.
Sekadar berkah atas cahaya kewalian dari kekasih-kekasih-Nya itu, sesungguhnya lebih dari cukup bagi kita. Sedangkan pengetahuan kita atas dunia kewalian yang menjadi bagian dari misteri-misteri Ilahi, tidak lebih dari limpahan-limpahan Ilahi, agar kita lebih yakin kepada-Nya atas keimanan kita selama ini.
Para Auliya Allah adalah Ahlullah. Mereka terpencar di muka bumi sebagai tanda-tanda Ilahiyah, dengan jumlah tertentu, dan tugas-tugas tertentu. Di antara mereka ada yang ditampakkan karamahnya, ada pula yang tidak ditampakkan sama sekali. Oleh karena itu hamba-hamba Allah yang diberi kehebatan luar biasa, tidak sama sekali disebut Waliyullah, dan belum tentu juga yang tidak memiliki kelebihan sama sekali, tidak mendapat derajat Wali Allah. Para Auliya adalah mereka yang senantiasa mencurahkan jiwanya untuk Ubudiyah kepada Allah, dan menjauhkan jiwanya dari kemaksiatan kepada Allah.
Di masyarakat kita, seringkali terjebak oleh fenomena-fenomena metafisikal yang begitu dahsyat yang muncul dari seseorang. Lalu masyarakat kita mengklaim bahwa orang tersebut tergolong Waliyullah. Padahal kata seorang syekh sufi, Jika kalian melihat seseorang bisa terbang, bisa menembus batas geografis dengan cepat, bahkan bisa menembus waktu yang berlalu dan yang akan datang, janganlah Anda anggap itu seorang Wali Allah sepanjang ia tidak mengikuti Sunnah Rasulullah SAW.
Mengapa? Sebab ada ilmu-ilmu hikmah tertentu yang bisa dipelajari, agar seseorang memiliki kehebatan tertentu di luar batas ruang dan waktu, dan ironisnya ilmu demikian disebut sebagai Ilmu Karamah. Padahal karamah itu, adalah limpahan anugerah Ilahi, bukan karena usaha-usaha tertentu dari hamba Allah.
Karamah sendiri bukanlah syarat dari kewalian. Kalau saja muncul karamah pada diri seorang wali, semata hanyalah sebagai petunjuk atas kebenaran ibadahnya, kedudukan luhurnya, namun dengan syarat tetap berpijak pada perintah Nabi SAW. Jika tidak demikian, maka karamah hanyalah kehinaan syetan. Karena itu di antara orang-orang yang saleh ada yang mengetahui derajat kewaliannya, dan orang lain tahu. Ada pula yang tidak mengetahui derajat kewaliannya sendiri, dan orang lain pun tidak tahu. Bahkan ada orang lain yang tahu, tetapi dirinya sendiri tidak tahu.
Tetapi di belahan ummat Islam lain juga ada yang menolak konsep kewalian. Bahkan dengan mudah mengklaim yang disebut Auliya itu seakan-akan hanya derajat biasa dari derajat keimanan seseorang. Tentu saja, kelompok ini sama kelirunya dengan kelompok mereka yang menganggap seseorang, asal memiliki kehebatan, lalu disebut sebagai Waliyullah, apalagi jika orang itu dari kalangan kiai atau ulama.
Meluruskan pandangan Kewalian di khalayak ummat kita, memang sesuatu yang rumit. Ada ganjalan-ganjalan primordial dan psikologis, bahkan juga ganjalan intelektual.
Al-Quthub Abul Abbas al-Mursi, semoga Allah meridlainya, menegaskan dalam kitab yang ditulis oleh muridnya, Lathaiful Minan, karya Ibnu Athaillah as-Sakandari, Waliyullah itu diliputi oleh ilmu dan marifat-marifat, sedangkan wilayah hakikat senantiasa disaksikan oleh mata hatinya, sehingga ketika ia memberikan nasehat seakan-akan apa yang dikatakan seperti identik dengan izin Allah. Dan harus dipahami, bagi siapa yang diizinkan Allah untuk meraih ibarat yang diucapkan, pasti akan memberikan kebaikan kepada semua makhluk, sementara isyarat-isyaratnya menjadi riasan indah bagi jiwa-jiwa makhluk itu.
Dasar utama perkara Wali itu, kata Abul Abbas, adalah merasa cukup bersama Allah, menerima Ilmu-Nya, dan mendapatkan pertolongan melalui musyahadah kepada-Nya. Allah Taala berfirman: Barangsiapa bertawakkal kepada Allah, maka Dia-lah yang mencukupinya. (QS. ath-Thalaq: 3). Bukankah Allah telah mencukupi hambanya? (QS. Az-Zumar: 36). Bukankah ia tahu, bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Tahu? (QS. al-Alaq :14). Apakah kamu tidak cukup dengan Tuhanmu, bahwa sesungguhnya Dia itu Menyaksikan segala sesuatu? (QS. Fushshilat: 53).
Syekh Agung Abdul Halim Mahmud dalam memberikan catatan khusus mengenai Lathaiful Minan karya as-Sakandari mengupas panjang lebar mengenai Kewalian ini. Hal demikian dilakukan karena, as-Sakandari menulis kitab itu memulai tentang wacana Kewalian, karena memang, buku besar itu ingin mengupas tuntas tentang biografi dua Waliyullah terbesar sepanjang zaman, yaitu Sulthanul Auliya Syekh Abul Hasan asy-Syadzili ra dan muridnya, Syekh Abul Abbas al-Mursi.
Dalam sebuah ayat yang seringkali menjadi rujukan utama dunia Kewalian adalah: Ingatlah bahwa sesungguhnya para Wali-wali Allah itu tidak punya rasa takut dan rasa gelisah. Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka bertaqwa. Mereka mendapatkan kegembiraan dalam kehidupan dunia dan dalam kehidupan akhirat. Tidak ada perubahan bagi Kalimat-kalimat Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar. (QS. Yunus: 62-64)
Dalam salah satu hadits Qudsi yang sangat populer disebutkan, Rasulullah SAW bersabda: Allah Taala berfirman: Siapa yang memusuhi Wali-Ku, maka benar-benar Aku izinkan orang itu untuk diperangi. Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku yang lebih Aku cintai dibanding apa yang Aku wajibkan padanya. Dan hamba-Ku itu senantiasa mendekatkan pada-Ku dengan ibadah-ibadah Sunnah sehingga Aku mencintai-Nya. Maka bila Aku mencintainya, Akulah pendengarannya di mana ia mendengar, dan menjadi matanya di mana ia melihat, dan menjadi tangannya di mana ia memukul, dan menjadi kakinya di mana ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, Akupasti memberinya, jika ia memohon perlindungan kepadaKu Aku pasti melindunginya.
Karenanya al-Hakim at-Tirmidzi, salah satu sufi besar generasi abad pertengahan, menulis kitab yang sangat monumental hingga saat ini, Khatamul Auliya (Tanda-tanda Kewalian), yang di antaranya berisi 156 pertanyaan mengenai dunia sufi, dan siapa yang bisa menjawabnya, maka ia akan mendapatkan Tanda-tanda Kewalian itu. Beliau juga menulis kitab Ilmul Auliya.
Ragam Para Wali
Para Syekh Sufi membagi macam para Wali dengan berbagai versi, termasuk derajat masing-masing di hadapan Allah Taala. Dalam kitab Al-Mafakhirul Aliyah fi al-Maatsir asy-Syadzilyah disebutkan ketika membahas soal Wali Quthub. Syekh Syamsuddin bin Katilah Rahimahullaahu Taala menceritakan: Saya sedang duduk di hadapan guruku, lalu terlintas untuk menanyakan tentang Wali Quthub. Apa makna Quthub itu wahai tuanku? Lalu beliau menjawab, Quthub itu banyak. Setiap muqaddam atau pemuka sufi bisa disebut sebagai Quthub-nya.
Sedangkan al-Quthubul Ghauts al-Fard al-Jami itu hanya satu. Artinya bahwa Wali Nuqaba itu jumlahnya 300. Mereka itu telah lepas dari rekadaya nafsu, dan mereka memiliki 10 amaliyah: empat amaliyah bersifat lahiriyah, dan enam amaliyah bersifat bathiniyah. Empat amaliyah lahiriyah itu antara lain:
1) Ibadah yang banyak, 2) Melakukan zuhud hakiki, 3) Menekan hasrat diri, 4) Mujahadah dengan maksimal. Sedangkan lelaku batinnya: 1) Taubat, 2) Inabat, 3) Muhasabah, 4) Tafakkur, 5) Merakit dalam Allah, 6) Riyadlah. Di antara 300 Wali ini ada imam dan pemukanya, dan ia disebut sebagai Quthub-nya.
Sedangkan Wali Nujaba jumlahnya 40 Wali. Ada yang mengatakan 70 Wali. Tugas mereka adalah memikul beban-beban kesulitan manusia. Karena itu yang diperjuangkan adalah hak orang lain (bukan dirinya sendiri). Mereka memiliki delapan amaliyah: empat bersifat batiniyah, dan empat lagi bersifat lahiriyah: Yang bersifat lahiriyah adalah 1) Futuwwah (peduli sepenuhnya pada hak orang lain), 2) Tawadlu, 3) Menjaga Adab (dengan Allah dan sesama) dan 4) Ibadah secara maksimal. Sedangkan secara Batiniyah, 1) Sabar, 2) Ridla, 3) Syukur), 4) Malu.
Adapun Wali Abdal berjumlah 7 orang. Mereka disebut sebagai kalangan paripurna, istiqamah dan memelihara keseimbangan kehambaan. Mereka telah lepas dari imajinasi dan khayalan, dan mereka memiliki delapan amaliyah lahir dan batin. Yang bersifat lahiriyah: 1) Diam, 2) Terjaga dari tidur, 3) Lapar dan 4) Uzlah. Dari masing-masing empat amaliyah lahiriyah ini juga terbagi menjadi empat pula: Lahiriyah dan sekaligus Batiniyah:
Pertama, diam, secara lahiriyah diam dari bicara, kecuali hanya berdzikir kepada Allah Taala. Sedangkan Batinnya, adalah diam batinnya dari seluruh rincian keragaman dan berita-berita batin. Kedua, terjaga dari tidur secara lahiriyah, batinnya terjaga dari kealpaan dari dzikrullah. Ketiga, lapar, terbagi dua. Laparnya kalangan Abrar, karena kesempurnaan penempuhan menuju Allah, dan laparnya kalangan Muqarrabun karena penuh dengan hidangan anugerah sukacita Ilahiyah (uns). Keempat, uzlah, secara lahiriyah tidak berada di tengah keramaian, secara batiniyah meninggalkan rasa suka cita bersama banyak orang, karena suka cita hanya bersama Allah.
Amaliyah Batiniyah kalangan Abdal, juga ada empat prinsipal: 1) Tajrid (hanya semata bersama Allah), 2) Tafrid (yang ada hanya Allah), 3) Al-Jamu (berada dalam Kesatuan Allah, 3) Tauhid.
Ragam lain dari para Wali ada yang disebut dengan Dua Imam (Imamani), yaitu dua pribadi, salah satu ada di sisi kanan Quthub dan sisi lain ada di sisi kirinya. Yang ada di sisi kanan senantiasa memandang alam Malakut (alam batin) — dan derajatnya lebih luhur ketimbang kawannya yang di sisi kiri –, sedangkan yang di sisi kiri senantiasa memandang ke alam jagad semesta (malak). Sosok di kanan Quthub adalah Badal dari Quthub. Namun masing-masing memiliki empat amaliyah Batin, dan empat amaliyah Lahir. Yang bersifat Lahiriyah adalah: Zuhud, Wara, Amar Maruf dan Nahi Munkar. Sedangkan yang bersifat Batiniyah: Kejujuran hati, Ikhlas, Mememlihara Malu dan Muraqabah.
Wali lain disebut dengan al-Ghauts, yaitu seorang tokoh agung dan tuan mulia, di mana seluruh ummat manusia sangat membutuhkan pertolongannya, terutama untuk menjelaskan rahasia hakikat-hakikat Ilahiyah. Mereka juga memohon doa kepada al-Ghauts, sebab al-Ghauts sangat diijabahi doanya. Jika ia bersumpah langsung terjadi sumpahnya, seperti Uwais al-Qarni di zaman Rasul SAW. Dan seorang Qutub tidak bisa disebut Quthub manakala tidak memiliki sifat dan predikat integral dari para Wali.
Al-Umana, juga ragam Wali adalah kalangan Malamatiyah, yaitu mereka yang menyembunyikan dunia batinnya, dan tidak tampak sama sekali di dunia lahiriyahnya. Biasanya kaum Umana memiliki pengikut Ahlul Futuwwah, yaitu mereka yang sangat peduli pada kemanusiaan.
Al-Afraad, yaitu Wali yang sangat spesial, di luar pandangan dunia Quthub.
Para Quthub senantiasa bicara dengan Akal Akbar, dengan Ruh Cahaya-cahaya (Ruhul Anwar), dengan Pena yang luhur (Al-Qalamul Ala), dengan Kesucian yang sangat indah (Al-Qudsul Al-Abha), dengan Asma yang Agung (Ismul Adzam), dengan Kibritul Ahmar (ibarat Berlian Merah), dengan Yaqut yang mememancarkan cahaya ruhani, dengan Asma-asma, huruf-huruf dan lingkaran-lingkaran Asma huruf. Dia bicara dengan cahaya matahati di atas rahasia terdalam di lubuk rahasianya.
Ia seorang yang alim dengan pengetahuan lahiriah dan batiniyah dengan kedalaman makna yang dahsyat, baik dalam tafsir, hadits, fiqih, ushul, bahasa, hikmah dan etika. Sebuah ilustrasi yang digambarkan pada Sulthanul Aulioya Syeikhul Quthub Abul Hasan Asy-Syadzily semoga Allah senantiasa meridhoi.
Mengambil Faidah Dari Luqmanul Hakim Tentang Pendidikan Anak
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
Allah Ta’ala menceritakan kisah Luqman Al Hakim ketika ia memberikan nasehat yang berharga kepada anaknya:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”” (Luqman: 13).
Jauhilah kesyirikan dalam ibadah kepada Allah, seperti berdoa kepada orang mati atau berdoa kepada orang yang tidak ada di hadapan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
الدعاء هو العبادة
“Doa adalah ibadah” (HR. Tirmidzi, ia berkata: “hasan shahih”).
Dan juga berdasarkan firman Allah Ta’ala:
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik)” (Al An’am: 82).
Terkait ayat ini, disebutkan dalam hadits:
قُلْنَا: يا رَسولَ اللَّهِ، أَيُّنَا لا يَظْلِمُ نَفْسَهُ؟ قالَ: ليسَ كما تَقُولونَ {لَمْ يَلْبِسُوا إيمَانَهُمْ بظُلْمٍ} [الأنعام: 82] بشِرْكٍ، أَوَلَمْ تَسْمَعُوا إلى قَوْلِ لُقْمَانَ لِابْنِهِ يا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ باللَّهِ إنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Para sahabat berkata: wahai Rasulullah, siapa diantara kami yang tidak pernah berbuat zalim pada dirinya sendiri? Maka Nabi menjelaskan: makna ayat [tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman] tidak sebagaimana yang kalian pahami, namun maksudnya kesyirikan. Bukankah kalian mendengar perkataan Luqman kepada anaknya: “sesungguhnya kesyirikan adalah kezaliman terbesar?”” (Muttafaqun ‘alaih).
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu” (Luqman: 14).
Kemudian Allah gandengkan perintah untuk bertauhid dengan perintah untuk berbakti kepada orang tua, karena besarnya hak kedua orang tua. Seorang ibu mengandung anaknya dengan penuh kesusahan. Seorang ayah menanggung nafkah keluarganya. Maka mereka berdua berhak mendapatkan bakti anaknya, sebagai bentuk syukur kepada Allah dan syukur kepada orang tuanya.
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” (Luqman: 15).
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan yang ringkasnya: “jika kedua orang tua berupaya sepenuh tenaga untuk membuatmu mengikuti agama mereka yang kufur, maka jangan ikuti mereka berdua. Namun hal ini tidak boleh menghalangimu untuk tetap mempergauli mereka dengan ma’ruf di dunia, yaitu dengan baik. Dan tetaplah ikuti jalannya kaum yang beriman”.
Hal ini dikuatkan oleh hadits:
لا طاعةَ لأحد في معصيةِ اللهِ . إنما الطاعةُ في المعروفِ
“tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam perkara yang ma’ruf (baik)” (HR. Al Bukhari 7257, Muslim 1840).
يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ
“(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (Luqman: 16).
Ibnu Katsir menjelaskan: “sesungguhnya kezaliman dan dosa walaupun sebesar biji sawi, kelak di hari Kiamat akan Allah hadirkan ketika menimbang amalan-amalan. Dan semua itu akan diganjar. Jika amalannya baik, maka ganjarannya baik. Jika amalannya buruk, maka ganjarannya buruk”.
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ
“Hai anakku, dirikanlah shalat” (Luqman: 17).
Tunaikan shalat sesuai dengan tuntunannya dan rukun-rukunnya, serta pada waktunya.
وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ
“dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar” (Luqman: 17).
Lakukan amar ma’ruf nahi mungkar dengan lemah lembut sesuai kemampuan.
وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ
“dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu” (Luqman: 17).
Ketahuilah bahwa ketika melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, pasti akan mendapatkan gangguan dari orang lain. Maka Allah perintahkan untuk bersabar. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
المؤمنُ الذي يخالطُ الناسَ ويَصبرُ على أذاهم خيرٌ منَ الذي لا يُخالطُ الناسَ ولا يصبرُ على أذاهمْ
“Seorang mukmin yang bergaul di tengah masyarakat dan bersabar terhadap gangguan mereka, itu lebih baik dari pada seorang mukmin yang tidak bergaul di tengah masyarakat dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka” (HR. At Tirmidzi 2507, Al Bukhari dalam Adabul Mufrad 388, Ahmad 5/365, syaikh Musthafa Al ‘Adawi mengatakan hadits ini shahih dalam Mafatihul Fiqh 44).
إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang agung” (Luqman: 17).
Maksudnya, bersabar ketika amar ma’ruf nahi mungkar adalah termasuk perkara yang agung.
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong)” (Luqman: 18).
Maksudnya, jangan palingkan wajahmu dari orang lain karena meremehkan dan sombong, ketika berbicara dengan mereka. Namun bersikap lembutlah dan pasanglah wajah yang cerah kepada mereka. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لا تسبن أحدا ، ولا تحقرن من المعروف شيئا ، ولو أن تكلم أخاك وأنت منبسط إليه وجهك ، إن ذلك من المعروف ، وارفع إزارك إلى نصف الساق ، فإن أبيت فإلى الكعبين ، وإياك وإسبال الإزار ؛ فإنه من المخيلة ، وإن الله لا يحب المخيلة
“Janganlah kalian mencela orang lain. Janganlah kalian meremehkan kebaikan sedikitpun, walaupun itu hanya dengan bermuka ceria saat bicara dengan saudaramu. Itu saja sudah termasuk kebaikan. Dan naikan kain sarungmu sampai pertengahan betis. Kalau engkau enggan, maka sampai mata kaki. Jauhilah isbal dalam memakai kain sarung. Karena isbal itu adalah kesombongan. Dan Allah tidak menyukai kesombongan” (HR. Abu Daud 4084, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
تبسمك في وجه أخيك لك صدقة
“Senyummu terhadap wajah saudaramu adalah sedekah” (HR. Tirmidzi 1956, ia berkata: “Hasan gharib”. Di-shahih-kan oleh Al Albani dalam Shahih At Targhib)
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (Luqman: 18).
Maksudnya, jangan berjalan dengan sombong dan angkuh. Karena itu ak
an membuat Allah murka. Oleh karena itu Allah berfirman setelahnya :
إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”.
Maksudnya, orang yang sombong dan bangga pada dirinya sendiri (mukhtal), dan meremehkan orang lain (fakhur).
وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ
“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan” (Luqman: 19).
Maksudnya berjalanlah dengan penuh kesederhanaan, tidak dengan lambat dan juga tidak dengan terlalu cepat. Namun jalan pas dan pertengahan.
وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
“dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Luqman: 19).
Maksudnya janganlah berlebihan dalam berbicara, dan janganlah meninggikan suara tanpa kebutuhan. Oleh karena itu setelahnya Allah berfirman (yang artinya) : “Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”.
Mujahid rahimahullah berkata: “suara yang paling buruk adalah suara keledai. Maksudnya orang yang meninggikan suaranya diserupakan seperti keledai karena keledai itu suaranya keras dan melengking. Ini menunjukkan haramnya perbuatan tersebut dan sangat tercela. Karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ليس لنا مثل السوء, العائدَ في هبتِه كالكلبِ يعودُ في قَيْئِه
“Tidak ada permisalan orang yang paling buruk, kecuali orang yang meminta kembali apa yang ia berikan, seperti anjing yang menjilat kembali muntahannya” (HR. Bukhari no. 1490, Muslim no. 1620).
إِذَا سَمِعْتُمْ صِيَاحَ الدِّيَكَةِ فَاسْأَلُوا اللَّهَ مِن فَضْلِهِ، فإنَّهَا رَأَتْ مَلَكًا، وإذَا سَمِعْتُمْ نَهِيقَ الحِمَارِ فَتَعَوَّذُوا باللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ، فإنَّه رَأَى شيطَانًا
“Kalau kalian mendengar ayam berteriak (berkokok) maka berdoalah meminta nikmat kepada Allah. Namun jika kalian mendengar suara keledai berteriak (meringkik) maka mintalah perlindungan kepada Allah, karena keledai tersebut sedang melihat setan” (Muttafaqun ‘alaihi)” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/711).
Wallahu a’lam.
Baca selengkapnya https://muslim.or.id/46136-mengambil-faidah-dari-luqmanul-hakim-tentang-pendidikan-anak.html
Menjaga Amanat
Saya merenung saat membaca kisah ulama Tabiin Muhammad bin Sirin rahimahullah (33 – 110 H) saat dipenjara karena kasus utang sebanyak empat puluh ribu dirham.
Beliau diutangi barang dagangan berupa minyak dalam drum dengan jumlah yang banyak. Dalam salah satu drum minyak ada bangkai tikus yang sudah membusuk. Muhammad bin Sirin menganggap bahwa bangkai tikus yang sudah membusuk itu berasal dari satu tempat besar yang menampung semua minyak. Jika ia kembalikan khawatir pemilik minyak akan menjual kepada orang lain. Muhammad bin Sirin tidak ingin merugikan masyarakat yang mungkin akan sakit jika mengkonsumsi minyak yang mengandung bakteri dan bibit penyakit. Akhirnya semua minyak tersebut ditumpahkan.
Muhammad bin Sirin menanggung utang dalam jumlah besar. Rupanya pemilik minyak mengadu ke pengadilan dan menuduh Ibnu Sirin telah menipunya. Akhirnya Muhammad bin Sirin dipenjara.
Berikut ini penjelasan dari Dr Abdurrahman Ra’fat Al Basya rahimahullah, “Cukup lama beliau dipenjara, hingga penjaga merasa kasihan karena mengetahui keteguhan agama dan ketakwaannya dalam ibadah. Dia berkata, “Wahai Syaikh, pulanglah kepada keluarga bila malam tiba dan kembalilah kemari pada pagi harinya. Anda bisa melakukan itu sampai bebas nanti.” Beliau menolak, “Tidak, Demi Allah aku tidak akan melakukan itu.” Penjaga berkata, “Mengapa?” Beliau menjawab, “Agar aku tidak membantumu mengkhianati pemerintah.”
Ketika Anas bin Malik radhiallahu anhu sakit keras, beliau berwasiat agar yang memandikan jenazahnya kelak adalah Muhammad bin Sirin, sekaligus menyalatkannya. Tapi Ibnu Sirin masih berada di dalam tahanan.
Di hari ketika Anas wafat, orang-orang mendatangi gubernur dan menceritakan tentang wasiat sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan memohonkan izin untuk Muhammad bin Sirin agar bisa melaksanakan wasiat Anas, gubernur mengizinkanya. Namun beliau berkata, “Aku tidak akan keluar kecuali jika kalian memintakan izin kepada orang yang mengutangiku, bukankah aku ditahan karena belum mampu membayar utangnya?”
Orang tersebut memberikan izin sehingga dia bisa keluar dari tahanannya. Setelah selesai memandikan, mengafani, dan menyalatkan jenazah Anas radhiallahu anhu, beliau langsung kembali lagi ke penjara tanpa sedikit pun mengambil kesempatan untuk mampir menengok keluarganya.” (Dinukil dari buku Mereka adalah Para Tabi’in halaman 106-107)
Dari kisah di atas banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik, di antaranya tentang menjaga amanat.
Ciri orang beriman adalah menjaga amanat. Allah berfirman, “Dan (sungguh beruntung) orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan janji mereka.” (QS Al Mukminun: 8)
Allah telah memerintahkan kepada kita untuk menunaikan amanat dan melarang berkhianat. Allah berfirman, ”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan (juga) janganlah kalian mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepada kalian, sedang kalian mengetahui.” (QS Al Anfal: 27)
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.. .” (QS An Nisa: 58)
Khianat merupakan ciri orang munafik. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Tanda orang munafik ada tiga: apabila berkata, ia berdusta, apabila berjanji, ia mengingkari, dan apabila diberi amanat, ia berkhianat.” (HR. Muslim)
Setelah membaca ayat-ayat Alquran, hadits Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dan kisah Muhammad bin Sirin, sudah saatnya kita mengevaluasi diri. Masih jauh rasanya dari sifat amanat.
Hidup adalah amanat untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jabatan merupakan amanat yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akhirat.
Anggota tubuh merupakan nikmat sekaligus amanat. Allah berfirman, “Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS An Nur: 24)
“Kalian sekali-sekali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulit kalian kepada kalian bahkan kalian mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kalian kerjakan.” (QS Fushshilat: 22)
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS Al Isra: 36)
Orang tua kita merupakan amanat, sudahkah kita melayani dan berkorban untuk ayah dan ibu kita? Apalagi jika orang tua kita sudah berusia senja atau sakit sakitan, jangan malah anak yang justru banyak membebani orang tuanya.
Anak-anak merupakan amanat, sudahkah kita menjadi teladan bagi mereka? Sudahkah kita membekali anak-anak kita dengan, ilmu, iman dan takwa?
Sebagai suami istri, jangan sampai kita khianat dan berselingkuh, “berpacaran” dengan orang lain lewat medsos. Didiklah istri dengan keteladanan dan akhlak yang baik. Taatilah suami, hormatilah dan layanilah dia dengan semaksimal mungkin.
Seorang teman mengingatkan jika kita bekerja di kantor, “Janganlah khianat dengan datang terlambat. Jika datang terlambat saat bekerja maka pulanglah terlambat juga. Janganlah mengambil kertas foto kopian atau memfoto kopi untuk urusan pribadi dengan menggunakan fasilitas kantor.”
Termasuk khianat jika seseorang menambah nilai uang dalam kwitansi barang yang dibelinya untuk keperluan kantor. Termasuk khianat meminjam uang amanat umat tanpa izin. Termasuk khianat, menggolang (mengembangkan) uang hasil penjualan barang milik orang lain yang sudah jatuh tempo.
Oleh: Fariq Gasim Anuz
REPUBLIKA.co.id