Month: May 2019
Mengapa Kemaksiatan Tetap Ada Di Bulan Ramadhan?
Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid
Soal:
Bagaimana kemaksiatan bisa terjadi pada bulan Ramadhan, padahal setan-setan dibelenggu dengan rantai-rantai? Saya telah mendengar dari seorang imam (shalat) bahwa setan itu tidak ada pada bulan Ramadhan, jika ucapannya itu benar, maka mengapa kaum muslimin sulit meninggalkan kemaksiatan pada bulan Ramadhan?
Jawab:
Segala puji bagi Allah,
Pertama:
Ucapan bahwa setan tidak ada di bulan Ramadhan, itu ucapan yang tidak benar. Riwayat yang ada dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa setan-setan di belenggu dan diikat pada bulan Ramadhan. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1899), Muslim (1079), dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
(إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ ، وَسُلْسِلَتْ الشَّيَاطِينُ)
“Apabila bulan Ramadhan tiba, pintu-pintu Surga dibuka dan pintu-pintu Neraka ditutup serta setan-setan dibelenggu.”
Lihatlah kembali pertanyaan no. 39736.
Kedua:
Al-Qurthubi mengatakan, “Jika ditanyakan bagaimana kok bisa kami melihat keburukan dan kemaksiatan banyak terjadi pada bulan Ramadhan, (padahal) kalau seandainya setan-setan itu dibelenggu (yaitu: dirantai) tentulah keburukan dan kemaksiatan itu tidak terjadi?
Maka jawabannya adalah:
- Bahwa kemampuan setan menggoda orang-orang yang berpuasa -jika puasanya terpenuhi syarat-syaratnya dan terjaga adab-adabnya- menjadi berkurang.
- Atau kemungkinan makna lain bahwa yang diikat hanyalah sebagian setan-setan saja, yaitu setan-setan pembangkang, bukan semuanya, sebagaimana disebutkan dalam sebagian riwayat.
- Atau yang dimaksud adalah berkurangnya keburukan di bulan tersebut, dan ini adalah perkara yang dapat dirasakan, karena terjadinya keburukan (kemaksiatan) menjadi berkurang di bulan ini dibandingkan dengan di bulan selainnya.
“Di samping itu, seandainya semua setan diikat pun, hal itu bukan berarti tidak akan terjadi keburukan dan kemaksiatan sama sekali, karena semua itu dapat terjadi karena sebab selain (godaan) setan, seperti jiwa yang buruk, kebiasaan yang jelek atau karena (godaan) setan jenis manusia” (Sumber: Fathul Bari).
Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Fatawash Shiyam (hal. 466), ditanya: “Bagaimana mengkompromikan antara pembelengguan setan-setan di bulan Ramadhan dengan terjadinya kemaksiatan yang dilakukan manusia?”.
Beliau menjawab, “Kemaksiatan yang terjadi di bulan Ramadhan tidaklah bertentangan dengan adanya riwayat (yang menyebutkan) bahwa setan-setan dibelenggu di bulan Ramadhan, karena pembelengguan mereka tidak menghalangi (secara totalitas) gerakan mereka menggoda, oleh karena itu ada sebuah riwayat dalam sebuah hadits,
وَيُصَفَّدُ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ ، فَلَا يَخْلُصُوا إِلَى مَا كَانُوا يَخْلُصُونَ إِلَيْهِ فِي غَيْرِهِ
‘Dan dibelenggu di dalamnya setan-setan pembangkang, sehingga tidak bebas melakukan godaan sebagaimana kebebasan mereka melakukannya di selain bulan Ramadhan‘ (HR. Ahmad 7857)”.
Dan Hadits ini disebutkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Dha’ifut Targhib 586, beliau berkata “(Hadits ini) Lemah sekali”.
Bukanlah maksudnya setan-setan tidak bergerak menggoda sama sekali, bahkan mereka masih bisa bergerak menggoda, menyesatkan orang yang bisa disesatkan, namun godaannya di bulan Ramadhan tidak sebagaimana godaannya di bulan selainnya.
Wallahu a’lam.
***
Sumber: http://islamqa.info/ar/37965
Penerjemah: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Baca selengkapnya https://muslim.or.id/25858-mengapa-kemaksiatan-tetap-ada-di-bulan-ramadhan.html
Fikih I’tikaf (3)
Hukum beberapa tempat yang berada di lingkungan masjid
Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du :
Sebagaimana sudah diketahui pada artikel sebelumnya, bahwa definisi i’tikaf adalah
لُزُومُ مَسْجِدٍ لِطَاعَةِ اللهِ تَعَالَى
Menetap di masjid untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Dari definisi i’tikaf di atas, dapat disimpulkan bahwa tempat i’tikaf adalah di masjid dan menetap di masjid adalah syarat sahnya i’tikaf, halini berdasarkan dalil yang telah disebutkan pada artikel sebelumnya.
Oleh karena itu, dari sinilah pentingnya mengetahui tentang beberapa hal yang terkait dengan masjid, seperti:
-
Definisi masjid dan hal ini sudah dijelaskan pada artikel sebelumnya.
-
Hukum batasan masjid dan beberapa tempat yang berada di lingkungannya, seperti : halaman masjid (telah dijelaskan pada artikel sebelumnya), ruang takmir, ruang adzan, atap masjid, tempat wudhu`, kamar mandi, perpustakaan dan yang semisalnya.
Mengetahui batasan masjid dan hukum beberapa tempat yang berada di lingkungan masjid, merupakan pembahasan yang sangat penting, agar seseorang yang sedang i’tikaf mengetahui di tempat-tempat manakah ia boleh berada, sehingga ibadah i’tikaf yang ia lakukan bisa sah diterima oleh Allah Ta’ala.
Berikut ini, penulis nukilkan beberapa fatwa ulama rahimahullah tentang hal itu.
1. Fatwa Komite Fatwa Arab Saudi (Lajnah Daimah) tentang ruang satpam dan panitia zakat
س6: هل تعتبر غرفة الحارس وغرفة لجنة الزكاة في المسجد صالحة للاعتكاف فيها؟ علمًا بأن أبواب هذه الغرف في داخل المسجد.
Pertanyaan no. 6 :
Apakah ruang satpam dan ruang panitia zakat yang terletak di area masjid sah untuk i’tikaf? Perlu diketahui bahwa pintu ruang-ruang tersebut berada di dalam masjid.
ج6: الغرف التي داخل المسجد وأبوابها مشرعة على المسجد لها حكم المسجد، أما إن كانت خارج المسجد فليست من المسجد، وإن كانت أبوابها داخل المسجد.
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
Jawab:
Ruang-ruang yang terletak di dalam areal masjid sedangkan pintunya masuk di masjid, maka hukumnya sebagaimana masjid, adapun jika ruangan tersebut terletak di luar areal masjid, maka bukanlah bagian masjid, walaupun pintunya terletak di masjid.
2. Fatwa Islamweb.net tentang ruang imam
ما قولكم في غرفة الإمام في المسجد هل يجوز البيع والشراء فيها؟
Pertanyaan :
Bagaimana pendapat Anda tentang kamar imam yang terletak di dalam masjid, apakah boleh melakukan jual beli di dalam kamar tersebut?
الإجابــة
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد: فإن غرفة الإمام إذا كانت مستقلة فحكمها حكم البيت وليس حكم المسجد، فقد كانت غرف أمهات المؤمنين وبيوت الصحابة مجاورة ومتلاصفة مع المسجد.. وكانوا يمارسون فيها الأعمال العادية المباحة وتكون عليهم الجنابة والحيض. وعلى هذا، فغرفة الإمام ليس حكمها حكم المسجد، فيجوز فيها البيع والشراء وممارسة الأعمال المباحة، وإن كان ينبغي أن تجتنب فيها بعض الأعمال التي لا تليق بحرمة المسجد، وألاّ تتخذ مكانا دائما للبيع وعقد الصفقات. والله أعلم.
Jawab:
Alhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala Alihi wa sahbihi, amma ba’du,
Sesungguhnya kamar imam jika terpisah, maka hukum yang berlaku adalah hukum rumah dan bukan hukum masjid. Dahulu kamar-kamar para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan rumah-rumah para sahabat bertetangga dan menempel dengan masjid Nabawi.
Mereka dahulu terbiasa melakukan aktifitas sehari-hari yang mubah dan (suatu hal yang lumrah) diantara mereka ada yang mengalami junub ataupun haidh.
Karena inilah, maka kamar imam, hukumnya bukanlah sebagaimana masjid, sehingga boleh dilakukan aktifitas jual beli dan aktifitas keseharian yang mubah di dalamnya.
Walaupun selayaknya di kamar tersebut, dijauhi sebagian aktifitas yang tidak selaras dengan kehormatan masjid dan janganlah dijadikan sebagai tempat tetap untuk melakukan jual beli dan mengadakan akad jual beli. Wallahu a’lam.
[Sumber: Fatwa.Islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=32640]
3. Fatwa Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah tentang perpustakaan masjid
ما حكم تحية المسجد بالنسبة للداخل إلى مكتبة المسجد في الحالات التالية :
1. إذا كان باب المكتبة داخل المسجد .
2. إذا كان باب المكتبة خارج المسجد .
3. إذا كان للمكتبة بابان أحدهما داخله والآخر خارجه ؟ والله يحفظكم ويرعاكم ويمدكم بعونه وتوفيقه .
”Apa hukum shalat Tahiyatul Masjid bagi orang yang masuk kedalam perpustakaan masjid pada keadaan-keadaan berikut:
a. Jika pintu perpustakaan ada di dalam masjid?
b. Jika pintu perpustakaan ada di luar masjid?
c. Jika pintu perpustakaan memiliki dua pintu, salah satunya ada di dalam masjid dan yang lainnya di luarnya? Semoga Allah menjaga dan memelihara Anda serta memberi pertolongan dan taufik-Nya kepada Anda.
فأجاب فضيلته بقوله : بسم الله الرحمن الرحيم .
في الحال الأولى وهي : ما إذا كان باب المكتبة داخل المسجد , تكون المكتبة من المسجد فلها حكمه ، فتشرع تحية المسجد لمن دخلها ، ولا يحل للجنب المكث فيها إلا بوضوء ، ويصح الاعتكاف فيها ، ويحرم فيها البيع والشراء ، وهكذا بقية أحكام المسجد المعروفة .
Maka beliau menjawab:
Bismillahir Rahmanir Rahiim,
“Pada keadaan yang pertama yaitu ketika pintu perpustakaan ada di dalam masjid, maka perpusatakaan tersebut termasuk masjid dan berlaku di dalamnya hukum masjid. Maka disyari’atkan bagi yang masuk ke dalamnya untuk shalat Tahiyatul Masjid, tidak boleh bagi orang yang junub untuk tinggal di dalamnya kecuali kalau ia berwudhu, sah melakukan i’tikaf dan haram berjual beli di situ, begitu itu pula untuk hukum-hukum masjid yang sudah dikenal yang lainnya.
وفي الحال الثانية وهي : ما إذا كان بابها خارج المسجد ، وليس لها باب على المسجد ، لا تكون من المسجد فلا يثبت لها أحكام المساجد ، فليس لها تحية مسجد ، ولا يصح الاعتكاف فيها ، ولا يحرم فيها البيع والشراء ، لأنها ليست من المسجد لانفصالها عنه .
Pada kondisi yang kedua, yaitu ketika pintu perpustakaan di luar masjid, dan ia tidak memiliki pintu ke arah masjid, maka ia bukan bagian dari masjid dan tidak berlaku hukum-hukum masjid. Tidak disyari’atkan shalat Tahiyatul Masjid, tidak sah i’tikaf di di dalamnya, dan tidak diharamkan jual beli, sebab ia bukan bagian dari masjid karena sudah terpisah darinya.
وفي الحال الثالثة وهي : ما إذا كان لها بابان ، أحدهما داخل المسجد , والثاني خارجه ، إن كان سور المسجد محيطاً بها فهي من المسجد , فتثبت لها أحكام المسجد ، وإن كان غير محيط بها بل لها سور مستقل فليس لها حكم المسجد فلا تثبت لها أحكامه , لأنها منفصلة عن المسجد ، ولهذا لم تكن بيوت النبي صلى الله عليه وسلم من مسجده ، مع أن لها أبواباً على المسجد , لأنها منفصلة عنه .
Dan pada kondisi yang ketiga, yaitu jika perpustakaan itu memiliki dua pintu, salah satunya di dalam masjid dan yang lainnya di luar masjid.
Jika pagar masjid mengelilinginya, maka ia termasuk masjid dan berlaku padanya hukum-hukum masjid.
Namun, jika pagar masjid tidak mengelilinginya, bahkan ia memiliki pagar terpisah, tidaklah dihukumi sebagai masjid dan tidak berlaku padanya hukum-hukum masjid, karena ia terpisah dari masjid. Oleh sebab itu, rumah-rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak termasuk bagian dari Masjid Nabawi, padahal ia memiliki pintu-pintu ke arah masjid, karena ia terpisah dari masjid.
[Sumber: Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatisy Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin, hal. 351-3512 (PDF)]
4. Fatwa Jumhur Ulama rahimahumullah tentang atap masjid
يصح الاعتكاف في سطح المسجد أو صعود المعتكف إليه، وهو قول جمهور العلماء من الحنفية ، والشافعية ، والحنابلة ، وحكى ابن قدامة الإجماع على ذلك ؛ وذلك لأنَّ السَّطح من جملة المسجد؛ فيأخذ أحكامه
I’tikaf sah dilakukan di atap masjid dan orang yang sedang i’tikaf sah pula naik ke atap masjid. Ini adalah pendapat jumhur Ulama, yaitu : dari kalangan ulama bermadzhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali. Bahkan Ibnu Qudamah menukilkan terjadinya konsensus ulama (Ijma’) tentang hal ini, hal itu dikarenakan atap masjid termasuk bagian dari masjid, sehingga berlaku hukum-hukum masjid padanya.
[ http://www.dorar.net/enc/feqhia/1984]
5. Fatwa Ulama senior Madinah Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah tentang kamar mandi di halaman masjid
السؤال: ذكرتم حفظكم الله أن ساحة المسجد تعد من المسجد، ولكن الإشكال في وجود دورات المياه في هذه الساحة، والمسجد ينبغي أن ينزه عن ذلك؟
Pertanyaan:
Semoga Allah menjaga Anda. Anda telah menyebutkan bahwa halaman masjid merupakan bagian dari masjid, namun yang menjadi permasalahan, adanya beberapa kamar mandi/toilet di halaman masjid ini1, padahal selayaknya masjid dikosongkan darinya.
الجواب: دورات المياه خارجة عن المسجد، وما عداه يكون مسجداً، ودورات المياه ليست من المسجد، ولو كانت تحيط بها الساحات، وكما هو معلوم لها مكان معين في البدروم، والناس ينزلون إليها، ومن نزل إليها خرج من المسجد
Jawab:
Kamar mandi/toilet (di halaman tersebut) bukanlah termasuk masjid, namun tempat lainnya (dari halaman tersebut), termasuk bagian dari masjid.
Jadi, kamar mandi/toilet (di halaman tersebut) bukanlah termasuk masjid,walaupun diliputi oleh area halaman masjid. Sebagaimana sudah diketahui (bersama), kamar mandi/toilet (di halaman tersebut) berada di suatu tempat tertentu, (yaitu:) di ruang bawah tanah, orang-orangpun singgah padanya, sedangkan orang yang masuk ke tempat tersebut, berarti telah keluar dari masjid2.
[Audio.Islamweb.net/audio/index.phppage=FullContent&audioid=172001].
6. Fatwa Komite Fatwa Arab Saudi (Lajnah Daimah) tentang kamar mandi/toilet di sekitar masjid
دورات المياه حول المسجد
س: لاحظت عدة مساجد يوضع ملاصقا لها أو تحت مناراتها أماكن للوضوء وحمامات، وحيث إن من الأولى تكريم المأذنة وعدم وضعها سقفًا لذلك فإنني أرجو بحث هذه الظاهرة والإفادة لنا بالحكم، لإمكانية التنبيه، حفظكم الله.
Fatwa no. 6857
Kamar mandi/toilet di sekitar masjid
Pertanyaan :
Saya memperhatikan beberapa masjid, dibangun tempat wudhu` dan kamar mandi menempel (dinding) masjid atau dibawah menara masjid, padahal sikap yang lebih utama adalah memuliakan tempat adzan (menara) dan tidak membangunnya di atas tempat-tempat tersebut. Oleh karena itu, saya mengharap adanya pembahasan tentang fenomena ini dan penyebutan hukumnya kepada kami, karena fenomena ini masihmemungkinkan untuk diperingatkan. Semoga Allah menjaga Anda.
ج: إذا كان الواقع كما ذكرت من أن أماكن الوضوء والحمامات.. إلخ وضعت تحت المنارات وملاصقة لجدار المساجد فلا حرج في ذلك إذا لم يحصل على المساجد وأهلها أذى منها؛ لعدم وجود دليل شرعي يمنع من ذلك.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
Jika kenyataannya seperti yang Anda sebutkan, bahwa tempat wudhu` dan kamar mandi …dan seterusnya, dibangun dibawah menara dan menempel dinding masjid, maka hal ini tidaklah mengapa, jika tidak mencemari masjid dan tidak mengganggu jama’ah masjid, karena tidak ada dalil Syar’i yang melarangnya.
Wabillahit Taufik. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.
Kesimpulan
Kesimpulan dari beberapa fatwa ulama yang telah disebutkan tentang beberapa tempat yang berada di lingkungan masjid adalah seluruh tempat yang berada di dalam pagar masjid, maka termasuk bagian dari masjid, sehingga berlaku hukum-hukum untuk masjid di dalamnya, termasuk sah sebagai tempat i’tikaf, sehingga jika seseorang yang sedang i’tikaf keluar dari ruang utama masjid, kemudian berpindah ke tempat-tempat tersebut, tidaklah menyebabkan i’tikafnya batal.
Kesimpulan yang menunjukkan bahwa seluruh tempat yang berada di dalam pagar masjid adalah bagian dari masjid, nampak dalam fatwa berikut ini,
7. Fatwa Komite Fatwa Arab Saudi (Lajnah Daimah) tentang seluruh tempat di dalam pagar masjid
ما كان داخل سور المسجد فهو من المسجد، وله حكم المسجد، فرحبة المسجد من المسجد، ومكتبة المسجد من المسجد إذا كان كل منهما داخل سور المسجد
“Semua yang berada di dalam pagar masjid, maka termasuk bagian dari masjid, hukumnya sama dengan masjid, dengan demikian, halaman masjid juga termasuk masjid, perpustakaan masjid pun bagian dari masjid, jika semua tempat tersebut berada di dalam pagar masjid”.
Jika kita perhatikan, sesungguhnya fatwa-fatwa di atas hakekatnya menerapkan kaidah fikih,
الحَرِيمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَ حَرِيمٌ لَهُ
‘Pada lingkungan suatu tempat berlaku ketentuan yang juga berlaku untuk tempat tersebut.’ (Al-Asybah wan Nazhair, karya As-Suyuthi, hlm. 125).
Dan kaedah tersebut diambil dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ
‘Ingatlah bahwa setiap raja itu memiliki daerah larangan dan ketahuilah bahwa daerah larangan Allah adalah hal-hal yang Allah haramkan.’ (HR. Bukhari dan Muslim)
[Disimpulkan dari http://ferkous.com/home/?q=fatwa-691]
Baca selengkapnya https://muslim.or.id/25985-fikih-itikaf-3.html
Fikih I’tikaf (2)
Berdiam di Masjid syarat sahnya I’tikaf
Berkata Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya: Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ mendefinisikan I’tikaf,
هُوَ لُزُومُ مَسْجِدٍ لِطَاعَةِ اللهِ تَعَالَى
Yaitu menetap di masjid untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Penjelasan :
Apakah maksud مَسْجِدٍ (masjid) di sini?
Secara bahasa adalah :
Berkata Ibnu Mandhur rahimahullah 1:
المسجَد والمسجِد : الذي يسجد فيه
Al-Masjad dan Al-Masjid yaitu (Tempat) yang digunakan untuk bersujud.2
Berkata Sibawaih rahimahullah 3:
أما المسجِد فإنهم جعلوه اسماً للبيت ولم يأتِ على فعل يفعُل
Adapun kata “Al-Masjid”, maka sesungguhnya mereka menjadikannya sebagai sebutan untuk sebuah rumah (baca: tempat), namun (kata tersebut) tidak sesuai dengan wazan (timbangan) “fa’ala-yaf’ulu 4”5
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa Al-Masjad (dengan harakat fathah huruf ج nya) secara bahasa Arab adalah kata keterangan tempat dari sajada- yasjudu, namun karena dalam dalil disebutkan Masjid (dengan harakat kasrah huruf ج nya),maka digunakanlah kata Al-Masjid, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:
{لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا ۚ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ}
Janganlah kamu shalat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya masjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bersih.(At-Taubah:108).
Faedah Ilmiyyah:
Berkata Az-Zakarsyi rahimahullah,
ولما كان السجود أشرف أفعال الصلاة لقرب العبد من ربه اشتق اسم المكان منه فقيل مسجد، ولم يقولوا مركع
Ketika sujud merupakan gerakan shalat yang termulia, karena (pada posisi sujud) hamba dekat dengan Rabbnya, maka diambillah kata keterangan tempat darinya, maka diungkapkan dengan: “masjid” dan mereka tidak menyebut “marki’”.6
Secara Istilah adalah :
Terdapat beberapa definisi Masjid secara istilah dari para Ulama rahimahumullah, namun definisi yang terpilih adalah
المكان الموقوف لأداء صلاة الجماعة
Tempat yang diwakafkan untuk menunaikan shalat berjama’ah (sholat lima waktu).7
,definisi ini adalah menurut ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah, dan definisi ini yang terpilih karena menggabungkan dua syarat suatu tempat dikatakan sebagai masjid, yaitu:
Pertama: Tempat yang diwakafkan Lillahi Ta’ala .
Kedua : Tempat itu digunakan untuk menunaikan shalat berjama’ah lima waktu.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Masjid adalah syarat syahnya I’tikaf, berdasarkan dalil Alquran, As-Sunnah dan Ijma’, salahsatunya adalah firman Allah Ta’ala :
{ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ}
(Tetapi) janganlah kalian campuri mereka itu, sedang kalian sedang beri’tikaf dalam masjid. (Al-Baqarah: 187).
Sisi pendalilannya:
-
Karena Allah menjadikan tempat I’tikaf adalah masjid.
-
Dan karena : Kalau seandainya sah I’tikaf dilakukan di selain masjid, maka tidaklah dikhususkan pengharaman bersetubuh bagi orang yang sedang I’tikaf hanya di masjid saja, namun juga dilarang di tempat lainnya.
Pengkhususan tempat disini menunjukkan pada bahwa tempat I’tikaf hanya satu, yaitu masjid.
2. Tidak boleh I’tikaf di seluruh tempat yang tidak memenuhi definisi masjid, seperti: kantor, kelas sekolahan, mushola (tempat sholat) kantor, mushola sekolah dan mushola pabrik. Mushola juga bukan termasuk masjid, karena:
-
Mushola kantor bisa saja tidak digunakan sholat atau hanya untuk sholat karyawan, sedang masjid untuk sholat setiap orang yang mengunjunginya. Atau digunakan untuk shalat, namun bukan lima waktu, hanya satu atau dua waktu saja.
-
Mushola tidak ada imam tetap sholat lima waktunya, adapun masjid ada.
-
Masjid tidak boleh dijual dan disewakan, karena telah diwakafkan, adapun mushola kantor, bisa dijual mengikuti dijualnya perusahaan oleh pemilik perusahaan.
-
Tidak berlaku pada mushola hukum-hukum masjid, seperti sholat Tahiyyatul Masjid, dilarang orang yang junub dan wanita haidh berdiam disitu, dilarang berdagang di dalamnya, semua itu tidak berlaku di mushola.
3. Mushola (tempat sholat) untuk menunaikan sholat ‘Iid (atau yang disebut dengan lapangan sholat ‘Iid), juga bukan masjid, menurut pendapat terkuat dan ini pendapat Jumhur Ulama rahimahumullah.
Berkata Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab Al-Majmu’,
المصلى المتخذ للعيد وغيره، الذي ليس بمسجد لا يحرم المكث فيه على الجنب
والحائض على المذهب. وبه قطع الجمهور
Tempat sholat yang dipakai untuk shalat ‘Ied (tanah lapang) dan selainnya yang bukan termasuk masjid, tidaklah diharamkan bagi orang junub dan haidh berdiam padanya , ini menurut madzhab (Syafi’iyyah), dan dengan pendapat inilah Jumhur ulama berpendapat.8
Alasan tanah lapang untuk menunaikan sholat ‘Iid tidak termasuk masjid, diantaranya karena :
-
Tidak dilaksanakan sholat lima waktu di dalamnya.
-
Tidak ada imam tetap shalat lima waktu.
-
Tidak dilakukan shalat Tahiyyatul Masjid padanya.
-
Anak-anak kecil diperbolehkan bermain-main padanya, dan alasan-alasan yang lainnya.
Kesimpulan : Tanah lapang untuk shalat ‘Iid bukanlah termasuk masjid, sehingga tidak sah I’tikaf padanya, menurut pendapat yang terkuat. Wallahu a’lam.
Apakah halaman masjid termasuk masjid sehingga diperbolehkan I’tikaf padanya?
Dalam kitab Fikih I’tikaf, yang ditulis oleh Syaikh Dr. Khalid bin Ali Al- Musyaiqih hafizhahullah , beliau menjelaskan perselisihan ulama dalam masalah ini, berikut intisari penjelasan beliau:
Istilah dan Definisi
Halaman masjid dalam istilah Fikih dinamakan dengan : Rahbatul Masjid. Ulama rahimahullah mendefinisikannya dengan definisi beraneka ragam.
Syaikh Dr. Khalid bin Ali Al- Musyaiqih hafizhahullah berkata,
الرحبة: بفتح الراء وسكون الحاء أو بفتحهما: الأرض الواسعة، ورحبة المكان: ساحته ومتسعه وجمعه: رحاب.
ورحبة المسجد: ساحته و صحنه
Rahbah adalah tanah yang luas. Rahbah suatu tempat adalah halaman yang luas dari tempat tersebut.
Adapun rahbah masjid adalah halaman masjid.9
Tiga pendapat ulama rahimahumullah
Ulama rahimahumullah berselisih pendapat tentang apakah halaman masjid itu termasuk bagian dari masjid atau tidak.
Syaikh Dr. Khalid bin Ali Al- Musyaiqih hafizhahullah menyebutkan ada tiga pendapat dalam maslah ini, berikut ringkasannya:
Pendapat pertama,
Jika halaman masjid tersebut bersambung dengan masjid dan berada di dalam pagar masjid, maka halaman masjid tersebut termasuk masjid.
Namun jika halaman tersebut tidak bersambung dengan masjid dan tidak berada di dalam pagar masjid, maka halaman tersebut bukan termasuk masjid.
Inilah pendapat para ulama bermazhab Syafi’i, salah satu pendapat Imam Ahmad dan pendapat yang dipilih oleh Qadhi Abu Ya’la salah seorang ulama bermazhab Hanbali.
Dalil pendapat ini adalah firman Allah,
{ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ}
(Tetapi) janganlah kalian campuri istri-istri kalian, ketika kalian sedang beri’tikaf dalam masjid. (QS. Al-Baqarah:187).
Jika halaman tersebut dikelilingi pagar masjid dan bersambung dengan bangunan masjid sehingga dikategorikan menyatu dengan masjid, maka hakekatnya halaman tersebut termasuk masjid.
Pendapat kedua
Halaman masjid itu bukan termasuk masjid, sehingga i’tikaf di halaman tersebut tidaklah sah.
Inilah pendapat yang terkenal di antara para ulama bermazhab Maliki 10 Ini juga merupakan pendapat yang paling tepat diantara para ulama bermazhab Hanbali11
Mereka berdalil dengan perkataan Aisyah,
“كنّ المعتكفات إذا حضنّ أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم بإخراجهن من المسجد وأن يضربن الأخبية في رحبة المسجد حتى يطهرن“
“Para wanita yang sedang beri’tikaf, jika sedang haid, diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar keluar dari masjid dan memasang bilik-bilik i’tikaf mereka di halaman masjid sampai mereka suci dari haid”12.
Bantahan: Dibawakan kepada kemungkinan bahwa halaman masjid tersebut tidak berada di dalam pagar masjid.
Pendapat ketiga
Beri’tikaf di halaman masjid itu sah jika bilik i’tikaf dipasang di halaman masjid.
Inilah pendapat Imam Malik.
Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Seorang yang sedang beri’tikaf hanya boleh menginap di dalam masjid yang dia pergunakan untuk i’tikaf saja, kecuali jika bilik i’tikafnya berada di halaman masjid ”13.
Mungkin dalil Imam Malik adalah perkataan Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas.
Pendapat yang terkuat
Pendapat yang terkuat adalah pendapat pertama, berdasarkan dalil yang telah disebutkan. Wallahu a’lam.
Kesimpulan
- Halaman masjid yang terletak di dalam pagar masjid adalah bagian dari masjid, sehingga berlaku semua hukum-hukum masjid.
- Konsekwensinya, halaman masjid yang terletak di dalam pagar masjid itu sah digunakan untuk tempat i’tikaf, sehingga orang yang sedang i’tikaf, jika keluar dari ruang utama masjid, kemudian berpindah ke halaman masjid yang terletak di dalam pagar masjid tersebut, maka tidak menyebabkan i’tikafnya batal.
***
Baca selengkapnya https://muslim.or.id/25983-fikih-itikaf-2.html
Fikih I’tikaf (Bag. 1)
Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah mengatakan dalam kitabnya Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ mendefinisikan I’tikaf,
هُوَ لُزُومُ مَسْجِدٍ لِطَاعَةِ اللهِ تَعَالَى
“Yaitu menetap di masjid untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala”
Penjelasan:
Apakah maksud لُزُومُ (menetap) di sini? Syaikh Manshur bin Yunus Al-Bahuti rahimahullah ketika menjelaskan kata tersebut dalam kitabnya Ar-Raudhul Murbi’,
لزوم مسلم عاقل ولو مميزا لا غسل عليه مسجدا ولو ساعة
“Menetapnya seorang muslim yang berakal, walaupun seorang anak yang mumayyiz, yang tidak berkewajiban mandi, di dalam masjid walaupun sesaat saja”
Pada kalimat di atas, terdapat sebagian syarat-syarat sah I’tikaf, bahwa seseorang yang hendak beri’tikaf haruslah memiliki kriteria, di antaranya sebagai berikut,
1. Muslim
Di antara syarat sahnya I’tikaf adalah beragama Islam, hal ini disepakati oleh empat madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala tentang orang-orang kafir
وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan Kami hadapi segala amal (jenis kebaikan) yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan” (Al-Furqaan: 23).
Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa amal apa saja dari jenis amal kebaikan yang mereka kerjakan, maka akan tidak diterima, tidak diberi pahala dan sirna begitu saja karena tidak adanya keimanan dalam hati mereka. Dengan demikian orang yang kafir atau murtad sedangkan ia belum bertaubat, maka tidak sah I’tikafnya, karena I’tikaf adalah jenis amal shalih dan tidaklah diterima jika yang melakukannya adalah orang kafir.
2. Berakal
Syarat ini disepakati oleh empat madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. Berdasarkan syarat ini, maka orang gila, idiot, pingsan dan mabuk, jika berdiam diri di dalam masjid, maka tidak sah disebut sebagai I’tikaf. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya segala amalan itu tidak lain tergantung pada niat”1
Hadits ini menunnjukkan bahwa setiap ibadah yang kita kerjakan haruslah didasari niat beribadah, sedangkan seorang yang gila, idiot, pingsan dan mabuk, tidak tergambar bisa berniat ibadah dalam beri’tikaf.
3. Mumayyiz
Seseorang yang beri’tikaf itu tidak disyaratkan harus baligh, mumayyiz pun sudah sah beri’tikaf, karena mumayyiz sudah bisa berniat. Jumhur Hanabilah mendefinisikan mumayyiz adalah anak yang sudah berumur tujuh tahun, namun pendapat yang kuat adalah ulama yang mendefinisikan mumayyiz sebagai anak yang sudah paham khithab (pembicaraan) dan bisa menjawab pertanyaan, namun pada umumnya ketika seseorang berumur tujuh tahun sudah mumayyiz.
Dengan demikian anak yang belum mumayyiz tidak sah I’tikaf nya karena tidak tergambar bisa menyengaja berniat untuk I’tikaf.
Inilah alasan Tamyiiz sebagai syarat sahnya I’tikaf, sehingga para ulama ketika membawakan dalil tentang syarat sahnya I’tikaf, mereka membawakan hadits tentang niat yang sudah disebutkan pada syarat yang kedua. Syarat ini disepakati oleh empat madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.
4. Berniat I’tikaf
Niat I’tikaf adalah syarat kesahan I’tikaf, dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya segala amalan itu tidak lain tergantung pada niat.”2
Ini adalah Ijma’ ulama, sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Rusyd rahimahullah dalam Bidayatul Mujtahid.3 Alasan lain dari niat sebagai syarat sah I’tikaf adalah secara akal sehat, seseorang yang menetap di masjid itu, tujuannya bisa bermacam-macam, bisa untuk I’tikaf, namun bisa juga untuk selainnya. Maka haruslah ada niat yang membedakan antara kedua tujuan tersebut.
Juga niat dibutuhkan untuk membedakan antara I’tikaf yang hukumnya sunnah untuk dikerjakan, dengan nadzar I’tikaf yang wajib ditunaikan.
5. Suci dari hadats besar
Tidak sah seseorang memulai i’tikaf dalam keadaan berkewajiban mandi karena berhadats besar, seperti janabah, haidh atau nifas, Syarat ini disepakati oleh empat madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah.
Jumhur ulama rahimahumullah memandang bahwa orang yang haidh, nifas, atau junub tidak sah melakukan I’tikaf, hal ini berbeda dengan pendapat Zhahiriyyah yang berpendapat bahwa I’tikaf mereka itu sah. Dan pendapat yang terkuat adalah pendapat jumhur Ulama, dalilnya adalah firman Allah Ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian shalat, sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kalian mandi” (An-Nisaa`: 43).
Dalam Ayat ini, Allah Ta’ala melarang orang yang junub mendekati tempat-tempat shalat, yaitu masjid, jika orang yang junub saja dilarang, maka lebih-lebih lagi wanita yang haidh dan nifas, karena hadats wanita yang haidh lebih kuat, oleh karena itu wanita yang haidh tidak boleh digauli oleh suaminya, tidak boleh shalat, tidak boleh puasa dan dalam hukum-hukum selainnya.4
6. Minimalnya sehari atau semalam
Masalah waktu minimal I’tikaf ini diperselisihkan ulama, sebagian mereka ada yang mengatakan sehari (seperti pendapat sebagian Malikiyyah, satu riwayat dari Hanafiyyah), adapun Malikiyyah berpendapat sehari dan semalam, ada satu riwayat dari Imam Malik yang menyatakan sepuluh hari dan Mayoritas ulama berpendapat cukup sesaat saja. Pendapat yang mendekati kebenaran-wallahu a’lam- yaitu bahwa waktu minimal I’tikaf adalah sehari atau semalam, alasannya adalah:
-
Alasan pertama
I’tikaf adalah Ibadah, maka batasan waktunya mencukupkan dengan apa yang telah ada dalam dalil.
Dalilnya adalah hadits ‘Umar radhiyallahu ‘anhu dalam Ash-Shahihain,
كُنْتُ نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ قَالَ :فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ
“Aku pernah berrnadzar pada zaman jahiliyah untuk i’tikaf semalam di Masjidil Haram, maka Rasulullah berkata tunaikan nadzarmu”.
Dalam riwayat yang lain disebutkan,
أن عمر بن الخطاب سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم، وهو بالجعرانة، بعد أن رجع من الطائف، فقال: يا رسول الله! إني نذرت في الجاهلية أن أعتكف يوما في المسجد الحرام. فكيف ترى؟ قال (اذهب فاعتكف يوما).
“Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththaab pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang saat itu ia berada di Ji’raanah setelah kembali dari Thaaif. Ia berkata, Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku pernah bernadzar di masa Jahiliyyah untuk ber-i’tikaf selama sehari di Al-Masjidil-Haram. Bagaimanakah pandangan Anda ? Beliau bersabda pergilah, beri’tikaflah sehari!” (HR. Muslim).
Dari kedua hadits tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa paling sedikitnya waktu I’tikaf yang ada dalam dalil adalah sehari atau semalam.
- Alasan kedua
Kalau seandainya I’tikaf kurang dari sehari atau semalam itu disyari’atkan, maka tentulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi contoh langsung, atau memerintahkan para sahabatnya dan hal itu akan tersebar luas di tengah-tengah para sahabat, karena sering berulangnya mereka mendatangi masjid, dan para sahabat akan melakukan hal itu.
Mari kita perhatikan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum banyak keluar masuk masjid untuk melaksanakan shalat jamaah, shalat jumat, kajian dan yang lainnya, namun
- Pernahkah dinukilkan bahwa Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam pernah beri’tikaf kurang dari satu hari atau kurang dari satu malam?
- Pernahkah dikabarkan bahwa beliau pernah menyuruh para sahabatnya untuk melakukan perbuatan itu?
- Pernahkah ada riwayat yang menyebutkan bahwa para sahabat melakukan I’tikaf sesaat, karena jika seandainya hal itu disyari’atkan, tentulah mereka akan bersemangat melakukannya, mereka adalah orang-orang yang paling semangat melakukan kebaikan, apalagi I’tikaf sesaat itu mudah dilakukan dan mereka sering keluar masuk masjid. Sedangkan pendorong berupa semangat ingin mendapatkan pahala I’tikaf dalam jumlah yang banyak itu ada pada diri mereka. Itu memungkinkan, karena mereka sering keluar masuk Masjid. Seandainya ada, penghalang apakah gerangan yang menghalangi mereka, padahal itu adalah ibadah yang mudah dilakukan? 5
Janganlah dipertentangkan dengan pertanyaan Adakah dalil yang melarang I’tikaf kurang dari sehari atau semalam? karena kaidah dalam masalah ibadah adalah Tauqifiyyah, hukum asal ibadah adalah haram, sampai ada dalil yang menunjukkan pensyari’atannya, adapun dalam masalah dunia adalah hukum asalsesuatu (perkara dunia) adalah mubah, sampai ada dalil yang melarangnya.
Kesimpulan
Berkata DR. Khalid Al-Musyaiqih hafizhahullah dalam Fiqhul I’tikaf, hal.54:
لعل أقرب الأقوال – والله أعلم – أن أقل الاعتكاف يوم أو ليلة
“Barangkali pendapat yang paling mendekati kebenaran -wallahu a’lam- yaitu bahwa waktu minimal I’tikaf adalah sehari atau semalam.” Wallahu a’lam.
Baca selengkapnya https://muslim.or.id/25873-fikih-itikaf-1.html
Dan, Setan pun Terbelenggu!
24 Jam di Bulan Ramadhan (Amalan di Sepuluh Hari Terakhir)
Pertama: Lebih serius dalam beribadah pada akhir Ramadhan
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (HR. Muslim, no. 1175)
Dikatakan oleh istri tercinta beliau, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau dari berjima’), menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari, no. 2024 dan Muslim, no. 1174).
Kedua: Melakukan i’tikaf
I’tikaf maksudnya adalah berdiam di masjid beberapa waktu untuk lebih konsen melakukan ibadah.
Dalam hadits disebutkan,
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ:- أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ اَلْعَشْرَ اَلْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ, حَتَّى تَوَفَّاهُ اَللَّهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah. Lalu istri-istri beliau beri’tikaf setelah beliau wafat. (HR. Bukhari, no. 2026 dan Muslim, no. 1172).
Hikmah beliau seperti itu disebutkan dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri berikut di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ
“Aku pernah melakukan i’tikaf pada sepuluh hari Ramadhan yang pertama. Aku berkeinginan mencari malam lailatul qadar pada malam tersebut. Kemudian aku beri’tikaf di pertengahan bulan, aku datang dan ada yang mengatakan padaku bahwa lailatul qadar itu di sepuluh hari yang terakhir. Siapa saja yang ingin beri’tikaf di antara kalian, maka beri’tikaflah.” Lalu di antara para sahabat ada yang beri’tikaf bersama beliau. (HR. Bukhari, no. 2018 dan Muslim, no. 1167).
Ketiga: Meraih lailatul qadar
Allah menyebut keutamaan lailatul qadar,
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5)
“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al-Qadr: 3-5)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari, no. 1901)
Bisa juga kita mengamalkan do’a yang pernah diajarkan oleh Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam jikalau kita bertemu dengan malam Lailatul Qadar yaitu do’a: “ALLAHUMMA INNAKA ‘AFUWWUN TUHIBBUL ‘AFWA FA’FU’ANNI” (artinya: Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai orang yang meminta maaf, karenanya maafkanlah aku). Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan do’a ini pada ‘Aisyah, istri tercinta beliau.
Sumber https://rumaysho.com/20357-24-jam-di-bulan-ramadhan-amalan-di-sepuluh-hari-terakhir.html
I’tikaf Bagi Wanita
Wanita dianjurkan untuk meningkatkan intensitas ibadah pada 10 malam terakhir di bulan Ramadhan untuk mencari kebaikan dan meraih keutamaan lailatul qadr, sama seperti laki-laki. Bahkan, pada 10 malam terakhir ini, laki-laki dianjurkan membangunkan istrinya untuk melaksanakan shalat malam. ‘Aisyah radhiyallahu ’anhaberkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Jika masuk 10 hari terakhir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengencangkan kainnya, menghidupkan malam, dan membangunkan istri (keluarga)nya.” (HR. Al-Bukhari No. 2024, Muslim No. 1174) Tujuannya untuk meraih keutamaan malam lailatul qadr, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تحِرُوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِيْ الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Carilah lailatul qadr pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari No. 2017, Muslim No. 1169)
مَنْ قَامَ لَيْلَة الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غَفَرَ لَهُ مَا تَقَدَّمّ مِنْ ذَنْبِكَ
“Barangsiapa yang shalat malam pada malam lailatul qadr dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari No. 2014, Muslim No. 760)
Disyari’atkannya i’tikaf bagi wanita
Aisyah radhiyallahu ’anha mengatakan bahwa ketika Rasulullah menyampaikan akan ber-i’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan, ia segera meminta izin kepada beliau untuk ber-i’tikaf dan Rasulullah shallaallahu ’alahi wa sallam mengizinkannya. (HR. Al-Bukhari no. 2045 dan Muslim no. 1172)
Dalam riwayat lain, ‘Aisyah berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam selalu ber-i’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan hingga beliau wafat. Sepeninggal beliau, istri-istri beliaupun melakukan i’tikaf.” (HR. Al-Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172)
Berikut ini penjelasan tentang beberapa hukum yang berkaitan dengan i’tikaf bagi wanita :
- Harus dengan izin suami
Wanita tidak boleh ber-i’tikaf, kecuali setelah mendapat izin dari suaminya. Dalam riwayat di atas dijelaskan bahwa ‘Aisyah, Hafshah, dan Zainab meminta izin kepada Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam untuk melakukan i’tikaf.
- Ketika suami meminta istri membatalkan i’tikaf-nya
Apabila i’tikaf yang dilakukan istrinya adalah i’tikaf sunnah, maka suaminya boleh memintanya membatalkan i’tikaf, tetapi jika yang dikerjakan adalah i’tikaf wajib, seperti i’tikafnazar yang dinazarkan dilakukan secara berturut-turut (i’tikaf pada 10 hari terakhir), dan sebelumnya mendapat izin suami maka suaminya tidak dapat membatalkan i’tikaf-nya. Namun, jika tidak disyaratkan berturut-turut maka suami dapat membatalkan i’tikaf-nya, kemudian menyempurnakan nazarnya dengan ber-i’tikaf di kesempatan yang lain.
- I’tikaf hanya boleh dilakukan di dalam masjid
Allah Ta’ala berfirman,
وَأًنْتُمْ عَاكِفُوْنَ فِيْ الْمَسَاجِدِ
“Sedang kamu beri’tikaf di dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah : 187)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan istri-istri beliau pun melakukan i’tikaf di dalam masjid. Seorang wanita tidak boleh ber-i’tikaf di ruang shalat yang ada di rumahnya (Al-Mughala, 5/193) dan tidak diharuskan mengikuti shalat berjamaah di dalam masjid karena hukum shalat berjamaah tidak wajib baginya (Al-Mughni 3/189).
- Wanita yang ber-i’tikaf di masjid harus dalam ruang tertutup
Ketika istri-istri Rasulullah hendak ber-i’tikaf, mereka menyuruh dibuatkan semacam kemah khusus untuknya di dalam masjid. Selain itu, masjid merupakan tempat umum yang selalu didatangi oleh kaum laki-laki dan sebaiknya mereka tidak saling melihat. Jika hendak membuat ruang khusus tersebut maka jangan mengambil tempat shalat kaum laki-laki karena akan memutus shaf dan mempersempit tempat shalat mereka (Al-Mughni 3/191).
- Sibuk dengan ketaatan
Selama i’tikaf, dianjurkan untuk menyibukkan diri dengan berbagai macam ketaatan kepada Allah Ta’ala, seperti shalat, membaca Alquran, tasbih, tahmid, tahlil, takbir, dan istigfar (memohon ampun), membaca shalawat (yang dicontohkan), berdoa, dan bentuk ketaatan lainnya.
Selama i’tikaf dimakruhkan menyibukkan diri dengan segala sesuatu yang tidak bermanfaat, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Juga dimakruhkan menahan diri dari berbicara (puasa bicara) dengan anggapan perbuatan ini adalah ibadah yang mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala (Fiqhus Sunnah 1/404).
- Boleh keluar jika mendesak
‘Amrah menceritakan, “Ketika ber-i’tikaf, ‘Aisyah radhiyallahu ’anha pergi ke rumah jika ada keperluan, lalu mengunjungi orang sakit sejenak untuk bertanya tentang keadaannya. Hal ini ia lakukan sambil berlalu tanpa menghentikan langkahnya.” (Mushannaf Abdurrazzaq (no. 8055) dengan sanad yang shahih).
Akan tetapi, jika ia meninggalkan tempat i’tikaf tanpa keperluan yang jelas maka i’tikaf-nya batal.
- Berhubungan badan membatalkan i’tikaf
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَأًنْتُمْ عَاكِفُوْنَ فِيْ الْمَسَاجِدِ
“Dan janganlah mencampuri mereka, sedang kamu ber–i’tikaf di dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah : 187)
Seluruh ulama sepakat, bahwa orang yang sedang ber-i’tikaf tidak boleh bercumbu dengan istrinya, meskipun hanya menciumnya atau selainnya.
- Boleh menyentuh suami
Dibolehkan menyentuh suami tanpa disertai syahwat, seperti membasuh kepala, menyisir rambut, atau memberi sesuatu padanya.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam memiringkan kepalanya kepadaku ketika beliau sedang tinggal di dalam masjid (i’tikaf), lalu aku menyisir rambutnya, sedangkan aku sendiri ketika itu sedang haid. (HR. Al-Bukhari no. 2029)
- Istihadah, boleh i’tikaf
Wanita yang mengalami istihadah boleh ber-i’tikaf jika ia dapat menjaga kebersihan masjid. ‘Aisyah radhiyallahu ’anha meriwayatkan, “Seorang istri Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam yang sedang istihadah ikut ber-i’tikaf bersama beliau. Ia dapat melihat warna merah dan kuning yang keluar darinya sehingga terkadang kami meletakkan wadah di bawahnya ketika ia sedang shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 2037 dan Muslim no. 2476)
- Boleh temui suami di tempat i’tikaf
Berdasarkan hadits Shafiyyah, istri Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa ia pernah menemui Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam ketika beliau tinggal di masjid pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Ia bercakap-cakap beberapa saat dengan beliau lalu beranjak pulang. Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam pun bangkit untuk mengantarnya, hingga ketika sampai di pintu masjid yang berdekatan dengan pintu rumah Ummu Salamah (HR. Al-Bukhari no. 2053 dan Muslim no. 2175)
- Tetap boleh dilamar atau dinikahi
Wanita yang sedang melaksanakan i’tikaf boleh dilamar maupun dinikahi, yang terlarang adalah berhubungan badan.
Disarikan dari Fiqh Sunnah Wanita hlm. 318-320, karya Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim.
Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/10263-wanita-itikaf-bagaimana-seharusnya.html
Muslimah Menyambut 10 Hari Terakhir Ramadhan
Saudariku tercinta, tak terasa kita telah memasuki penghujung bulan Ramadhan. Oleh karenanya, kami sajikan sedikit pembahasan mengenai keistimewaan 10 hari terakhir Ramadhan beserta amalan yang dapat kita lakukan di hari-hari tersebut. Harapannya, tulisan ini dapat memotivasi saya pribadi dan saudari-saudariku semua untuk bersemangat dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah kita karena sesungguhnya amal itu tergantung dengan penutupnya.
Keistimewaan 10 Hari Terakhir Ramadhan
Keistimewaan terbesar yang terdapat pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan adalah lailatul qadar. Lailatul qadar merupakan malam diturunkannya Alquran. Malam tersebut istimewa karena ia lebih baik dibandingkan 1000 bulan sebagaimana firman Allah Ta’ala,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (١) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (۲) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (۳) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (٤) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ((٥
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada malam kemuliaan. Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Para malaikat dan ar-Ruh (Jibril) turun dengan izin Rabb-nya untuk mengurus setiap urusan. Keselamatan pada malam itu hingga terbit fajar.” (QS. Al-Qadr : 1-5)
Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih bersemangat untuk beribadah ketika memasuki 10 hari terakhir Ramadhan dalam rangka mencari lailatul qadar. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ اَلْعَشْرُ أَيْ: اَلْعَشْرُ اَلْأَخِيرُ مِنْ رَمَضَانَ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ, وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa ketika memasuki 10 Ramadhan terakhir, beliau kencangkan ikat pinggang (bersungguh-sungguh dalam ibadah), menghidupkan malam-malam tersebut dengan ibadah, dan membangunkan istri-istrinya untuk beribadah.” (HR. Al-Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174)
Beliau pun juga memotivasi umatnya untuk mencari lailatul qadar terutama di malam-malam yang ganjil, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari no. 2017)
Amalan di 10 Hari Terakhir Ramadhan
Beberapa amalan yang dapat dilakukan untuk mengisi 10 hari terakhir bulan Ramadhan adalah sebagai berikut.
- I’tikaf di Masjid
I’tikaf adalah berdiam diri di masjid dengan melakukan ketaatan kepada Allah. Ketika seseorang melakukan i’tikaf maka ia mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, menahan jiwanya untuk bersabar dalam ibadah, memutus hubungan dengan makhluk untuk berkomunikasi dengan Khaliq–nya, mengosongkan hati dari kesibukan dunia yang menghalanginya dari mengingat Allah Ta’ala dan sibuk beribadah dengan melakukan dzikir, membaca Alquran, shalat, berdoa, bertaubat, dan beristigfar.
I’tikaf dianjurkan setiap waktu, tetapi lebih ditekankan ketika masuk bulan Ramadhan. Dahulu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melakukan i’tikaf di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan sebagaimana hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ber-i’tikaf pada sepuluh malam terakhir Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian istri beliau ber-i’tikaf setelah itu.” (HR. Al-Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172)
Dari hadits tersebut, dapat kita simpulkan bahwa seorang wanita juga dianjurkan untuk melakukan i’tikaf karena dahulu para istri Nabi tetap melakukan i’tikaf sepeninggal beliau.
- Qiyamul Lail
Di antara amalan yang istimewa di 10 hari terakhir Ramadhan adalah bersungguh-sungguh dalam shalat malam, memperlama shalat dengan memperpanjang berdiri, ruku’, dan sujud. Demikian pula memperbanyak bacaan Alquran dan membangunkan keluarga dan anak-anak untuk bergabung melaksanakan shalat malam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berdiri (untuk mengerjakan shalat) pada lailatul qadr karena keimanan dan hal mengharap pahala, akan diampuni untuknya segala dosanya yang telah berlalu.” (HR. Al-Bukhari no. 1901)
- Membaca Alquran
Hendaknya seseorang bersemangat untuk tilawah Alquran karena Ramadhan merupakan waktu turunnya Alquran. Demikian pula karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetorkan bacaan Alquran kepada Jibril ketika Ramadhan, sebagaimana hadits dari Fathimah radhiyallahu ‘anha,
أنّ جبريل عليه السلام كان يعارضه القرآن كل عام مرةً وأنّه عارضه في عام وفاته مرتين
‘Sesungguhnya Jibril ‘alaihis salam biasanya menyetorkan Alquran dengan Rasulullah sekali dalam setiap tahun. Akan tetapi, ia menyetorkan Alquran dua kali di tahun wafatnya Rasulullah.’ (HR. Muslim no. 2450)
- Shadaqah
Di antara amalan yang dianjurkan ketika bulan Ramadhan adalah ber-shadaqah. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ النَّاسِ بِالْخَيْرِ، وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُوْنُ فِيْ شَهْرِ رَمَضَانَ، إِنَّ جِبْرِيْلَ َعَلْيْهِ السَّلَام ُكَانَ يَلْقَاهُ فِيْ كُلِّ سَنَةٍ فِيْ رَمَضَانَ حَتَّى يَنْسَلِخُ فَيعْرضُ عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقُرْآنَ، فَإِذَا لَقِيْهِ جِبْرِيْلُ كَانَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيْحِ الْمُرْسَلَةِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan manusia paling dermawan dengan kebaikan dan beliau lebih dermawan lagi ketika bulan Ramadhan. Sesungguhnya Jibril menemui beliau setiap tahun di bulan Ramadhan hingga berlalulah bulan Ramadhan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetorkan bacaan Alquran kepada Jibril. Apabila beliau berjumpa dengan Jibril, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dermawan dengan kebajikan melebihi angin yang berhembus.” (HR. Al-Bukhari no. 3220)
- Memperbanyak Doa
Hendaknya seseorang banyak berdoa di 10 hari terakhir Ramadhan karena jika doanya bertepatan dengan malam lailatul qadar maka doanya akan terkabul. Demikian pula, hendaknya seseorang berdoa dengan doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika bertanya tentang doa yang diucapkan ketika lailatul qadar,
قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى
“Berdoalah: Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu’anni (Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai orang yang meminta maaf, karenanya maafkanlah aku).” (HR. At-Tirmidzi no. 3513 dan Ibnu Majah no. 3850, At Tirmidzi berkata: “Hasan shahih”)
- Bertaubat dan Istigfar
Di antara amalan yang sangat dianjurkan untuk dilakukan di bulan Ramadhan adalah memperbanyak taubat dan istigfar karena bulan Ramadhan adalah bulan ampunan. Allah Ta’ala berfirman dalan hadits qudsi,
يَاابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَادَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَاكَانَ فِيْكَ وَلاَأُبَالِىْ يَاابْنَ آدَمَ لَؤْ بَلَغَتْ ذُنُوْ بُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ وَلاَ أُبَالِيْ يَاابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِيْ بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِيْ لاَ تُشْرِكُ بِي شَيْئًا َلأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
“Wahai bani Adam, sesungguhnya selama engkau masih berdoa dan berharap kepada-Ku maka Aku akan mengampuni semua dosa yang ada padamu dan Aku tidak akan peduli. Wahai bani Adam, seandainya dosa-dosamu mencapai langit, kemudian engkau memohon ampun kepada-Ku, Aku akan mengampunimu dan Aku tidak peduli. Wahai bani Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan membawa kesalahan seukuran bumi kemudian engkau datang menjumpai-Ku dalam keadaan tidak berbuat syirik atau menyekutukan-Ku dengan apapun juga maka sungguh Aku akan datang kepadamu dengan membawa ampunan seukuran bumi juga.” (HR. At-Tirmidzi no. 3540, dihasankan al-Albani dalam Shahih at-Targhib, no. 1616)
Lantas, Bagaimana Jika Haid?
Haid merupakan kodrat seorang wanita, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ، فَاقْضِي مَا يَقْضِي الحَاجُّ، غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِي بِالْبَيْتِ
“Haid merupakan keadaan yang Allah tetapkan untuk anak perempuan Adam.” (HR.Al- Bukhari 294, Muslim 1211, dan yang lainnya)
Oleh karena itu, hendaknya seorang muslimah bersabar dalam menerima ketetapan dari Allah tersebut. Meskipun, ia tidak boleh melakukan puasa dan shalat, tetapi wanita yang haid dapat melakukan ibadah-ibadah lain yang tak kalah besar pahalanya. Di antaranya adalah berdzikir, sedekah, memperbanyak doa, membaca Alquran tanpa menyentuhnya, memperbanyak taubat, dan istigfar.
Waspadai Pencuri Ramadhan!
10 hari terakhir Ramadhan merupakan waktu yang sangat rawan terutama bagi seorang wanita. Di antara aktivitas yang semestinya diwaspadai oleh seorang muslimah adalah sebagai berikut.
- Sibuk Memasak di Dapur
Menjelang lebaran, umumnya wanita banyak pergi ke pasar dan berkutat di dapur untuk membuat kue dan menyiapkan hidangan untuk lebaran. Hal ini menyebabkan mereka lalai dari beribadah. Hendaknya seorang muslimah menyadari keistimewaan 10 hari terakhir Ramadhan sehingga ia tidak menghabiskan banyak waktu di pasar dan di dapur.
- Mengejar Diskon Lebaran
Menjelang lebaran, banyak took, dan mall yang menawarkan potongan harga besar-besaran. Hal ini mendorong mayoritas kaum muslimin untuk berbondong-bondong belanja baju lebaran. Akibatnya, toko dan mall menjadi sangat ramai sebaliknya masjid menjadi sangat sepi. Sangat disayangkan ketika kaum muslimin lebih tergiur dengan diskon lebaran dibandingkan diskon pahala. Muslimah yang berakal tentu akan memilih untuk meraup pahala Ramadhan sehingga ia tidak akan sibuk memikirkan baju lebaran.
- Menghabiskan Waktu di Jalan
Di antara tradisi menjelang lebaran adalah mudik ke kampung halaman. Hendaknya seorang muslimah memilih waktu yang tepat dan transportasi yang efisien sehingga dapat menghemat waktu dan tidak berlama-lama di perjalanan. Hal ini sangat penting untuk dilakukan agar seorang muslimah tetap dapat beribadah secara maksimal di 10 hari terakhir bulan Ramadhan sekaligus dapat menyambung tali silaturahim dengan keluarga.
Semoga Allah Ta’ala memberikan kita taufik untuk mengoptimalkan 10 hari Ramadhan dan menerima amal ibadah yang kita lakukan. Aamiin.
Referensi:
Ithaf Ahlil Iman bi Durus Syahri Ramadhan. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah al-Fauzan. Darul ‘Ashimah. Saudi.
Penerjemah: Deni Putri K
Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/10267-muslimah-menyambut-10-hari-terakhir-ramadhan.html
20 Ramadhan: Awal Kehancuran Berhala-Berhala Bangsa Arab
Sebagaimana telah diketahui, terjadi persitiwa besar pada tanggal 20 Ramadhan. Peristiwa dibebaskannya Kota Mekah dari syirik dan ahlinya. Tentang hal ini telah kami muat pada artikel 20 Ramadhan: Pembebasan Kota Mekah. Pada tulisan ini, kami akan memuat tentang hancurnya kesyirikan dan simbol-simbolnya di kota suci Mekah.
Setelah Mekah menjadi wilayah Islam pada 20 Ramadhan 8 H, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai membersihkan Ka’bah dari kotoran kesyirikan. Berhala-berhala dibuang dan dihancurkan. Beliau sendiri turun tangan dalam peristiwa ini. Saat menghancurkan berhala-berhala itu beliau membaca ayat:
قُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَمَا يُبْدِئُ الْبَاطِلُ وَمَا يُعِيدُ
Katakanlah: “Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan mengulangi”. [Quran Saba’: 49]
dan ayat:
وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ ۚ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. [Quran Al-Isra: 81].
Jumlah berhala yang berada di Ka’bah kala itu adalah 360 berhala. Saat itu, di Ka’bah terdapat gambar Nabi Ibrahim, Ismail, dan Ishaq dalam keadaan sedang mengundi nasib dengan anak panah. Gambar-gambar itu diwarnai dengan za’faron. Nabi Muhammad tidak mau masuk ke dalam Ka’abah sebelum gambar-gambar itu dikeluarkan. Beliau bersabda, “Semoga Allah memerangi mereka. Ibrahim tidak pernah mengundi nasibnya dengan anak panah.” (HR. al-Bukhari: al-Fath (16/126, hadits No. 4288), dll).
Dalam riwayat lain disebutkan juga terdapat gambar Maryam. Dan juga ditemukan patung merpati yang terbuat dari kayu, beliau pun membuangnya keluar Ka’bah. Setelah Ka’bah dibersihkan, beliau shalat dua rakaat di dalamnya.
Setelah pembersihan Ka’bah, Rasulullah mengirim utusan ke wilayah sekitar Mekah untuk menghancurkan berhala-berhala terbesar milik bangsa Arab. Rasulullah mengirim Khalid bin al-Walid bersama tiga puluh orang lainnya menuju Bathni Nakhlah yang terdapat di Tsaqif. Mereka diamanahi untuk menghancurkan berhala al-Uzza.
Uzza adalah beberapa pohon di daerah Bathni Nakhlah. Sebuah wilayah antara Mekah dan Thaif. Pohon-pohon ini dikelilingi bangunan dan ditutupi kelambu. Dijaga oleh juru kunci. Dan terdapat setan-setan yang berbicara dengan manusia. Orang-orang penggemar kesyirikan menyangka pohon keramat inilah yang berbicara sendiri. Dan Uzza adalah berhala penduduk Mekah dan sekitarnya. Yakni milik bani Mudhar, Quraisy, dan Kinanah. Uzza dihancurkan saat bulan Ramadhan tinggal tersisa lima hari lagi. Khalid menebang pohon hingga rata dengan tanah. Dan membunuh jin wanita yang berbicara dengan manusia, yang menyesatkan itu.
Rasulullah juga mengutus Saad bin Zaid al-Asyhali bersama dua puluh orang lainnya untuk menghancurkan Manah di al-Musyallal. Sebuah tempat dekat Qudaid. Manah adalah sebuah batu besar yang terletak di sebuah wilayah antara Mekah dan Madinah. Berhala ini milik orang-orang Aus, Khazraj, dan Khuza’ah. Penghancuran ini terjadi enam hari sebelum berakhirnya Ramadhan.
Berhala besar lainnya adalah al-Lata (Arab: اللَاتَ). Ia adalah sebuah berhala besar yang berada di ath-Thaif. Berwujud patung yang memiliki relief. Yang dibangun rumah untuknya. Dan ditutupi dengan kelambu. Agar mirip dengan Ka’bah. Di sekeliling al-Lata terdapat teras dan dijaga oleh juru kunci. Untuk menghancurkan berhala ini, Rasulullah mengutus Abu Sufyan bin Harb dan al-Mughirah bin Syu’bah.
Menurut pendapat yang lainnya nama Lata dibaca dengan al-Latta (Arab: اللَاتَّ). Sebuah kata yang berasal dari kata kerja latta – yaluttu (Arab: لَتَّ – يَلُتُّ) yang artinya menumbuk gandum. Sedangkan al-Latta sendiri artinya orang yang menumbuk gandum. Al-Latta adalah seorang laki-laki shaleh yang menumbuk gandum, memasaknya, kemudian menghindangkannya untuk jamaah haji. Saat ia wafat, dibangunlah rumah di atas makamnya. Dibentangkan kelambu pada makam tersebut. Kemudian menjadi sesembahan selain Allah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengutus Amr bin al-Ash untuk menghancurkan Suwa’. Sebuah berhala milik Hudzail. Berhala-berhala inilah yang Allah sebut dalam firman-Nya,
أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّىٰ (19) وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَىٰ (20)
“Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al Lata dan al Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?” [Quran An-Najm: 19-20].
Dari sini kita mengetahui bahwasanya sesembahan orang-orang musryik jahiliyah itu beragam. Ada yang batu, pohon, kuburan orang shaleh, para nabi, dll. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan antara penyembah pohon dengan penyembah kuburan orang shaleh. Antara penyembah batu dengan penyembah nabi. Semua dihukumi musyrik oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau perangi mereka dalam Fathu Mekah. Dan beliau hancurkan sesembahan-sesembahan mereka.
Pelajaran lainnya adalah gaya pengagungan orang-orang musyrik jahiliyah dengan yang ada pada zaman ini mirip. Kuburan atau batu atau pohon diberi bangunan dan diberi tirai atau kelambu. Sebagai bentuk sakral dan pengagungan.
Daftar Pustaka:
– Fauzan, Shaleh bin Abdullah. 2006. Syarah al-Qawaid al-Arba’. Kairo: Dar al-Imam Ahmad.
– Ahmad, Mahdi Rizqullah. 2012. as-Sirah an-Nabawiyah fi Dhaui al-Mashadir al-Asliyah, Terj. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Perisai Qur’an.
Read more https://kisahmuslim.com/5954-20-ramadhan-awal-kehancuran-berhala-berhala-bangsa-arab.html