Makna Riba Ada 73 Pintu

Riba Ada 73 Pintu

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Ada banyak redaksi hadis yang menyebutkan bahwa riba itu memiliki 73 pintu. Kita akan sebutkan diantaranya,

Pertama, riwayat Ibn Majah, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا

Riba itu ada 73 pintu. (HR. Ibnu Majah 2361 dan dishahihkan al-Albani)

Dalam riwayat lain di Sunan Ibnu Majah, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرِّبَا سَبْعُونَ حُوبًا أَيْسَرُهَا أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ

Riba itu ada 70 dosa. Yang paling ringan, seperti seorang anak berzina dengan ibunya. (HR. Ibnu Majah 2360 dan dishahihkan al-Albani)

Kedua, riwayat Hakim dari Ibnu Mas’ud dengan redaksi lebih panjang

الرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا؛ أَيْسَرُهَا مِثلُ أَن يَنْكِحَ الرَّجُل أُمَّه، وَإنّ أَربَى الرِّبَا عِرضُ الرَّجُل الـمُسْلِم

Riba itu ada 73 pintu, yang paling ringan, seperti orang yang berzina dengan ibunya. Dan riba yang paling riba adalah kehormatan seorang muslim. (HR. Hakim 2259 dan dishahihkan ad-Dzahabi).

Ketiga, riwayat Thabrani dari Barra bin Azib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الربا اثنان وسبعون باباً أدناها مثل إتيان الرجل أمه، وإن أربى الربا استطالة الرجل في عرض أخيه

Riba itu ada 72 pintu. Yang paling ringan, seperti seorang anak berzina dengan ibunya. Dan riba yang paling parah adalah seseorang membeberkan kehormatan saudaranya sesama muslim. (HR. Thabrani dalam al-Ausath, 7151)

Keterangan:

Kita bisa perhatikan, ada banyak riwayat yang berbeda tentang jumlah pintu riba. Artinya, angka yang disebutkan dalam hadis, bukan untuk pembatasan, akan tetapi untuk menunjukkan banyak itu jumlahnya banyak (at-Taktsir).

As-Sindi menjelaskan,

والمراد التكثير دون التحديد وبه يظهر التوفيق بين هذا الحديث والحديث الآتي

Maksudnya adalah untuk menunjukkan bahwa celah riba itu banyak, dan bukan untuk pembatasan. Sehingga dengan ini kita bisa menyelaraskan dengan hadis setelahnya yang menyebutkan angka berbeda. (Hasyiyah as-Sindi, 2/39).

Dan kita bisa memahami ini, karena menurut orang arab, ketika mereka hendak menyebutkan sesuatu yang banyak, mereka menggunakan angka 70.

Rincian 70 Pintu Riba

Kami tidak menjumpai keterangan seorangpun ulama yang menyebutkan rincian 70 pintu riba itu.

Bahkan dalam Fatwa Syabakah Islamiyah, di bawah bimbingan Dr. Abdullah al-Faqih, ketika membahas masalah pintu riba, dinyatakan,

لم نجد من تعرض من أهل العلم لتعيين هذه الأبواب وتعدادها

Kami tidak menjumpai seorangpun ulama yang merinci apa saja pintu-pintu riba. (Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 4471)

Mengapa Pintu Riba Jumlahnya Banyak?

Riba dalam makna yang lebih luas mencakup semua transaksi jual beli yang dilarang oleh syariat.

Ibnu Abi Aufa mengatakan,

الناجش آكل ربا خائن

“Orang yang melakukan jual beli najsy adalah orang yang memakan riba dan seorang yang tidak amanah.” (HR. Bukhari secara muallaq, Bab Najasy).

Karena itulah, ketika ayat larangan riba diturunkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengharamkan dagang khamr.

Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

لَمَّا أُنْزِلَتِ الآيَاتُ مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ فِى الرِّبَا – قَالَتْ – خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِلَى الْمَسْجِدِ فَحَرَّمَ التِّجَارَةَ فِى الْخَمْرِ

“Tatkala beberapa ayat terakhir dari surat al-Baqarah yang isinya melarang riba, Rasulullah pergi ke masjid lantas mengharamkan jual beli khamr sebagai realisasi pelarangan riba.” (HR. Bukhari 4540 dan Muslim 4131)

Umar bin al Khattab mengatakan,

إن من الربا بيع التمرة وهي معصفة قبل أن تطيب

“Sungguh termasuk riba adalah menjual korma dalam kondisi masih hijau dan belum enak dikomsumsi.”  (al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 10/24).

Karena yang terjadi adalah jual beli ijon sebelum bisa diprediksi, dan itu unsur ghararnya besar.

Riba paling Riba, Mempermalukan Kehormatan Orang Lain

Masih ada satu pertanyaan yang tersisa,

Apa makna: “Riba yang paling parah adalah seseorang membeberkan kehormatan saudaranya sesama muslim”?

Hadis ini menjelaskan perbandingan dampak buruk karena membeberkan kehormatan orang lain. Yang itu bahayanya sangat besar, melebihi riba. Dengan pertimbangan, Orang yang makan riba mungkin saja bertaubat. Sementara orang yang mempermalukan kehormatan orang lain, bisa jadi dia tidak mau bertaubat.

Imam Ibnu Baz mengatakan,

جعل صلى الله عليه وسلم الاستطالة في عرض المسلم من الربا؛ لأن ضررها عظيم وتسبب فتنة ونزاعات وفساداً في المجتمع وشحناء إذا بلغ الشخص ما قاله في الآخر

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut dosa mempermalukan orang lain sebagai riba, karena bahayanya besar, menjadi sebab tersebarnya fitnah, sengketa, dan kerusakan  dan permusuhan di masyarakat. Terutama ketika sudah tersebar ke orang lain.

Mengapa ini bisa disebut riba?

Karena makna bahasa dari kata riba adalah tambahan. Sehingga semua bentuk tambahan yang melebihi apa yang Allah halalkan, bisa disebut riba secara makna bahasa.

Imam Ibn Baz melanjutkan keterangannya,

فالربا ليس خاصاً بالبيع والشراء فقط، بل يكون في المعاصي والمخالفات والتعدي على الناس بالغيبة والنميمة، نسأل الله العافية؛ لأنه زيادة على ما أباح الله، فقد أربى بزيادته على ما أباح الله له حتى وقع في الحرام

Riba tidak hanya khusus dalam jual beli saja. Bahkan semua tindakan maksiat dan penyimpangan, melanggar hak orang lain dengan ghibah dan adu domba, termasuk riba. Karena di sana ada tambahan dari batas yang Allah halalkan. Dia menambahi dari apa yang Allah bolehkan, sehingga terjerumus ke dalam hal yang haram.

Sumber: http://www.binbaz.org.sa/node/3407

Allahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina PengusahaMuslim.com)

Read more https://pengusahamuslim.com/5021-makna-riba-ada-73-pintu.html

Memprioritaskan Dakwah kepada Keluarga Terdekat

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala

Pertanyaan:
Bagaimanakah hukum syar’i berkenaan dengan dakwah kepada Allah Ta’ala di luar daerah (luar negeri), baik di negeri Arab atau di negeri-negeri asing yang lain? Karena banyak di antara para da’i yang memberikan fokus perhatian terhadap hal itu dengan perhatian yang sangat?

Jawaban:
Yang menjadi pendapatku adalah hendaknya kita berdakwah kepada masyarakat yang terdekat dengan kita. Sesungguhnya Allah Ta’ala ketika pertama kali mengutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Ta’ala mengatakan,

وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy-Syu’araa’ [26]: 214)

Jika di negerinya sendiri terdapat ruang dan kesempatan untuk berdakwah dan memperbaiki kondisi masyarakat, maka tidak selayaknya baginya untuk keluar ke negeri yang lain, meskipun bersama tetangganya. Jika tidak ada (ruang untuk dakwah, pent.), misalnya karena di negerinya sudah berada dalam kondisi yang diinginkan oleh syari’at, maka boleh baginya untuk keluar ke negeri (yaitu negeri yang ke dua), kemudian ke negeri yang ke tiga, dan demikian seterusnya.

Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya,

وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy-Syu’araa’ [26]: 214)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً

“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang ada di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu.” (QS. At-Taubah [9]: 123)

Sehingga kepergiannya menuju Amerika, Rusia, dan negeri sejenis itu untuk berdakwah, sedangkan di negerinya sendiri membutuhkan dakwah, hal ini bukanlah sikap hikmah (dalam dakwah, pent.).

Sikap hikmah dalam berdakwah adalah memperbaiki kondisi masyarakat di negerinya sendiri sebelum yang lain. Bahkan, (memperbaiki kondisi) keluarganya terlebih dahulu, sebelum yang lain, kemudian ke masyarakat yang terdekat, dan seterusnya. Hal ini dalam rangka mengikuti petunjuk Allah Ta’ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[Selesai]

***
@Rumah Lendah, 10 Rajab 1440/17 Maret 2019

Penerjemah: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.Or.Id

Catatan kaki:
Diterjemahkan dari Ash-Shahwah Al-Islamiyyah: Dhawabith wa Taujihaat, hal. 157; karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala, cetakan ke dua tahun 1436, penerbit Muassasah Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Al-Khairiyyah.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/47167-memprioritaskan-dakwah-kepada-keluarga-terdekat.html

Kekuatan Sebuah Doa

Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu Ta’ala ‘anha mengatakan:

سَلُوا اللَّهَ كُلَّ شَيءٍ حَتَّى الشِّسعَ

Mintalah kepada Allah bahkan meminta tali sendal sekalipun.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 2/42, al-Albani berkata: “mauquf jayyid” dalam Silsilah adh- Dha’ifah no. 1363)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا تَمَنَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُكْثِرْ فَإِنَّمَا يَسْأَلُ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ

Barangsiapa yang mengangankan sesuatu (kepada Allah), maka perbanyaklah angan-angan tersebut karena ia sedang meminta kepada Allah Azza wa Jalla.” (HR. Ibnu Hibban no. 889, dishahihkan al-Albani dalam Shahih alJami’ no. 437)

Dalam hadits lain disebutkan:

لِيَسْئَلْ أَحَدُكُمْ رَبَّهُ حَاجَتَهُ أَوْ حَوَائِجَهُ كُلَّهَا حَتَّى يَسْأَلَهُ شِسْعَ نَعْلِهِ إِذَا انْقَطَعَ وَحَتَّى يَسْأَلَهُ الْمِلْحَ

Hendaklah salah seorang diantara kamu sekalian meminta kepada Tuhannya akan segala kebutuhannya hingga meminta tali sandalnya yang putus atau sampai meminta garam sekalipun.” (HR. At-Tirmidzi no. 3604, dalam Silsilah adhDha’ifah [1362] al-Albani mengatakan: “hadits ini dhaif”)

Allah Ta’ala memerintahkan segenap hamba-Nya untuk memperbanyak doa dan permohonan kepada Allah Ta’ala.  Sering berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla merupakan indikasi betapa ia hamba yang sangat butuh pertolongan dari-Nya. Orang yang selalu berdoa, dia hakikatnya memperbanyak ibadah kepada-Nya, dan juga seorang insan yang begitu mencintai Dzat Yang Maha Mengabulkan doa.

Orang beriman akan selalu butuh kepada Allah Ta’ala, ia merasa dirinya tak memiliki kekuatan tanpa bersandar serta bertawakal kepada Dzat Yang Maha Perkasa dan Bijaksana. Selayaknya, seorang mukmin tidak memiliki sifat sombong dengan meremehkan pentingnya sebuah doa.

Sebuah kenyataan memprihatinkan ketika banyak kaum muslimin terjebak  dalam kesyirikan dengan berdoa kepada selain Allah Ta’ala. Bukankah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menyatakan bahwa doa adalah ibadah. Dalam Alqur`an surat an-Naml ayat 62, Allah Ta’ala berfirman,

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ ۗ أَإِلٰهٌ مَعَ اللَّهِ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada Tuhan yang lain? Amat sedikitlah kamu mengingatNya?

Hendaklah kaum muslimin senantiasa memurnikan doanya kepada Allah Ta’ala agar ia dicatat sebagai hamba yang bertakwa. Dan orang yang berdoa kepada selain Allah Ta’ala maka doa itu akan sia-sia belaka dan tak memberi manfaat, bahkan akan dimurkai-Nya.

Maka dari itu, wahai saudaraku muslim, jauhilah berdoa dan memohon kepada selain Allah Ta’ala karena hal itu akan membuatmu kafir dan tersesat. Berdoalah kepada Allah Ta’ala yang mempunyai kemampuan mengabulkan sehingga engkau akan menjadi orang-orang beriman yang bertauhid. (“Jalan Hidup Golongan Yang Selamat” [terjemah], Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, hlm. 106)

Doa adalah senjata orang mukmin dalam segala keadaan dan suasana, tatkala bahagia dia harus bersyukur  dengan banyak memuji kepada Allah Ta’ala. Dalam keadaan berduka seorang hamba harus mohon kekuatan dan keteguhan hati agar Allah Ta’ala menjadikannya kuat dan tegar. Begitulah doa dengan izin Allah Ta’ala, akan selalu memotivasi kita untuk optimis menjalani kehidupan, membuat semangat menatap masa depan dan menjauhkan dari berbagai bisikan-bisikan setan yang melemahkan iman.

Betapa dahsyatnya kekuatan sebuah doa. Banyak kesusahan diangkat, penyakit disembuhkan, kesuksesan diraih, dan berbagai prahara kehidupan dapat diselesaikan dengan doa dan pertolongan Allah Ta’ala. Sesuatu yang sepertinya mustahil terjadi bisa menjadi kenyataan indah karena kekuatan sebuah doa yang diucapkan dengan ikhlas kepada Allah Ta’ala, dengan kesabaran yang disertai  keimanan yang mantap hanya fokus pada pertolongan Allah Ta’ala.

Jangan berputus asa ketika doa belum dikabulkan, yakinlah Allah Ta’ala akan mencintai orang yang banyak bermunajat kepada-Nya. Bisa jadi doa Anda dikabulkan dalam bentuk lain atau dikabulkan di akhirat. Yang pasti, Allah Maha Mendengarkan lagi Mengabulkan doa.

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Referensi

  1. Jalan Golongan yang selamat, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Media Hidayah, Yogyakarta, 2003.
  2. Doa dan Sholat Istikharoh, Samir Qorni Muhammad Rizq, Media Hidayah, Yogyakarta, 2002.
  3. Mutiara Faidah Kitab Tauhid, Abu Isa Abdullah bin Salam, LBI al-Atsari, Yogyakarta, 1426 H.

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/10448-kekuatan-sebuah-doa.html

Jangan Malu Mengatakan “Saya Tidak Tahu”

Seorang mukmin atau pendidik sebaiknya memiliki sikap mulia dan menjauhi dari berkata tanpa didasari ilmu yang benar. Ketika ia ditanya sesuatu yang sebenarnya ia tidak mengetahuinya, maka jangan ragu untuk mengatakan tidak tahu. Hal ini menunjukkan sikap tawadhu’ dan bahwasanya pengetahuan manusia terbatas. Justru dengan berbesar hati, berterus terang akan membuat ita lebih bersemangat dalam mencari ilmu dan lebih intens belajar.
Al-Mawardi dalam Adab Ad-Din wa Ad-Dunya hal. 123, berkata, “Jika tidak ada jalan untuk menguasai seluruh ilmu maka tidak ada cela untuk jahil pada sebagiannya. Dan jika tidak ada cela pada sebagiannya maka tidak boleh dihina untuk mengatakan “saya tidak tahu” pada apa yang tidak diketahuinya”.
Allah sangat mencela orang yang berbicara tanpa dasar ilmu karena bisa menyesatkan manusia. Ilmu Allah sangatlah luas, tidak ada makhluk yang menandinginya. Allah Dzat yang ilmunya menguasai segala sesuatu. Maha suci Allah dengan segala kebesaran kekuasaan dan pengetahuan-Nya.

وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا

“ … dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit“(Q.S. Al-Isra: 85)
Ada kisah menarik betapa sikap tawadhu’ sangat dibutuhkan pendidik agar terhindar dari kesombongan.
Dahulu, ada seorang ulama ditanya suatu masalah lalu dia menjawab, “Saya tidak tahu”. Lantas ada seorang muridnya berkata, “Saya mengetahui jawaban masalah tersebut.” Mendengar hal tersebut, sang ulama langsung memerah wajahnya dan memarahi murid tersebut.
Sang murid lalu berkata, “Wahai ustadz, setinggi apa pun ilmu Anda, tetapi Anda tak sepandai Nabi Sulaiman. Saya juga tak lebih bodoh dari burung hud-hud. Namun burung hud-hud pernah berkata kepada Nabi Sulaiman,

فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطْتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ

Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini” (Q.S. An-Naml: 22)
Setelah itu, sang guru tak lagi memarahi murid cerdas tersebut” (Miftah Dar As-Sa’adah, Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, I/521).
Perkataan “saya tidak tahu” bukanlah aib atau cela bagi orang yang memang tidak tahu. Bahkan berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya sangat diharamkan Allah. Mengada-ada bukanlah akhlak seorang mukmin. Apalagi hanya demi gengsi pada manusia agar tidak digelari orang bodoh. Para malaikat yang mulia dan juga Rasul serta para Anbiya juga mengatakan saya tidak tahu ketika mereka benar-benar belum mengetahui hakikat ilmu yang sebenarnya. Terlebih lagi untuk perkara-perkara ghaib, yang tahu ilmunya hanyalah Allah Ta’ala.
Karakter jujur perlu ditanamkan kepada anak didik agar mereka menjadi insan yang kuat kepribadiannya. Menjauhkan anak dari sikap dusta karena ia karakter sejati orang-orang munafik. Tentu semua ini perlu keteladanan dan contoh nyata dari para orang tua dan pendidik. Tanpa diawali dengan keteladanan sangat sulit dipraktikkan oleh peserta didik.
Betapa agung ucapan sahabat Abu Darda, “Ucapan ‘saya tidak tahu’ adalah setengah dari ilmu.” (Mukhtashar Jami’ Bayan al-Ilmi wa Fadhih, Ibnu Abdil Bar, hal 225)
Semoga Allah mengokohkan kita di dalam kebenaran Islam sebagaimana jalan yang pernah ditempuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan salafuna saleh. Amin.

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa
Referensi:
Begini Seharusnya Menjadi Guru (terjemah), Fuad bin Abdul Aziz Asy-Syaihub, Darul Haq, Jakarta, 2014
Majalah Al-Furqan, edisi 12 tahun ke-13

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/10876-jangan-malu-mengatakan-saya-tidak-tahu.html

Kaidah-Kaidah Penting Memahami Hakikat Istiqomah (bag. 5)

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan sahabatnya. Wa ba’du.
Alhamdulillah kami dapat kembali melanjutkan serial artikel Kaidah-Kaidah Penting Memahami Hakikat Istiqomah.

Kaidah ketujuh: tidak menggantungkan keistiqomahan pada amal pribadinya.

Seseorang yang telah mencapai istiqomah tidak boleh tertipu dengan banyaknya amal shalih dan ketaatan yang ia lakukan. Karena sejatinya, seseorang masuk ke dalam surga bukan karena banyaknya amal shalih dan ketaatan, melainkan karena rahmat Allah kepadanya.

فَإِنَّهُ لا يُدْخِلُ أَحَدًا الجَنَّةَ عَمَلُهُ

Tidak ada seorangpun yang masuk surga karena amalnya.

قَالُوا : وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟

Para sahabat menanggapi, “Tidak juga engkau wahai Rasulullaah?”

قَالَ : وَلا أَنَا، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِمَغْفِرَةٍ وَرَحْمَةٍ

Beliau menjawab : “Tidak pula diriku, hanya saja Allah telah menutupnya dengan ampunan dan rahmat-Nya.” (HR. Bukhari No. 6467)

Adapun amal shalih yang ia lakukan sebagai sebab datangnya rahmat Allah, sedangkan rahmat Allah tidak mungkin diberikan kepada orang yang hatinya ujub dan lalai dari kekhawatiran akan diterima atau tidaknya amalan.

Kaidah kedelapan : buah keistiqomahan di dunia adalah istiqomah di atas shirat pada hari kiamat.

Ash-shirat adalah adalah jembatan yang terbentang di punggung neraka jahannam. Seluruh manusia akan melewati jembatan ini. Keadaan dan kemampuan manusia ketika melewati ash-shirat bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkat keistiqomahan mereka di dunia di atas jalan Allah Ta’ala. Ada yang melewati shirat secepat kilat, seperti hembusan angin, ada yang berlari, berjalan, merangkak, bahkan ada yang tejerembab dan terhentak ke neraka jahannam. Semua kondisi tersebut menggambarkan keistiqomahan mereka di dunia.
Allah berfirman,

وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَكُبَّتْ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ هَلْ تُجْزَوْنَ إِلَّا مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Dan barangsiapa yang membawa kejahatan, maka disungkurkanlah muka mereka ke dalam neraka. Tidaklah kalian dibalas kecuali karena apa yang dulu kalian lakukan.” (QS. An-Naml: 90)

Kaidah kesembilan : syubhat dan syahwat adalah dua penghalang istiqomah.

Syubhat merupakan kerancuan pemikiran dalam beragama sehingga terjadi penyimpangan, sedangkan istiqomah menuntut untuk komitmen di atas cara beragama yang benar. Syubhat dapat diobati dengan menuntut ilmu agama berdasarkan al-Qur’an dan sunnah serta memahaminya dengan pemahaman shalafus shalih.
Sedangkan syahwat adalah berbagai keinginan nafsu yang bertentangan dengan syariat. Bisa jadi telah sampai padanya ilmu yang benar, namun syahwatnya menghalanginya untuk mengamalkan ilmu tersebut dan lebih condong pada nafsu yang tak sejalan dengan syariat. Obat untuk penyakit syahwat adalah sabar, menundukan hati dan pandangannya dari syahwat dunia.
Hendaknya kita senantiasa memohon petunjuk kepada Allah untuk diistiqomahkan di jalan yang benar dan dijauhkan dari nafsu yang merusaknya.

Kaidah kesepuluh : tasyabbuh dengan kaum kafir akan menjauhkan diri dari istiqomah.

Tasyabbuh yaitu menyerupai kaum kafir dalam perkara yang menjadi kekhususan mereka. Tasyabbuh dengan mereka menghasilkan dua kerusakan: yaitu kerusakan dari sisi ilmu maupun amal.
Kita memohon petunjuk kepada jalan yang lurus dan dijauhkan dari tasyabbuh kepada kaum kafir disetiap rakaat dalam shalat

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat, bukan (jalan) orang yang dimurkai dan bukan pula (jalan) orang yang sesat.” (QS. Al-Fatihah: 6-7)
Orang-orang yang dimurkai adalah kaum yahudi yang mereka rusak dari sisi amal, yaitu mereka berilmu tentang kebenaran namun enggan mengamalkannya. Sedangkan orang yang sesat adalah kaum nashrani yang rusak dari sisi ilmu, dimana mereka bersemangat beramal tanpa ilmu. Adapun orang yang diberi nikmat adalah kaum muslimin yang mereka beramal dengan ilmu. Ayat ini menunjukkan rusaknya tasyabbuh dengan kaum kafir karena menjadi sebab dijauhkannya dari istiqomah.

Disarikan dari kitab ‘Asyru Qawaaid Fil Isiqomah karya Syaikh Abdur Razzaq bi Abdul Muhsin Al-Badr, Daarul Fadhilah, cet. I 1431 H.
Referensi lain:
Terjemahan Al-Quran Al-Kariim

Penulis: Titi Komalasari
Murojaah: Ustadz Ratno, Lc

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11305-kaidah-kaidah-penting-memahami-hakikat-istiqomah-bag-5.html

Kaidah-Kaidah Penting Memahami Hakikat Istiqomah (bag. 4)

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan sahabatnya. Wa ba’du.
Alhamdulillah kami dapat kembali melanjutkan serial artikel Kaidah-Kaidah Penting Memahami Hakikat Istiqomah.

Kaidah keempat: istiqomah yang dituntut adalah as-sadaad, jika tidak mampu maka berusaha mendekati (derajat istiqomah)
As-sadaad yaitu berusaha seoptimal mungkin mencocoki al-qur’an dan sunnah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda

فَسَدِّدُوْا وَقَارِبُوْا وَأَبْشِرُوْا

Luruslah, mendekatlah dan berilah kabar gembira..” (HR. Bukhari)
Yang dituntut dalam bab istiqamah adalah as-sadaad (lurus), tidak pernah melenceng dan tidak berbelok dari jalan kebenaran, inilah kesempurnaan istiqomah seorang hamba.
Namun, tidak mungkin seorang hamba tidak pernah berbuat kesalahan. Yang terpenting, kita tidak sengaja untuk terjerumus dalam kesalahan dan segera kembali ke jalan yang lurus ketika sadar mulai melenceng dari kebenaran. Inilah yang dimaksud dengan mendekati lurus, yaitu senantiasa rujuk kepada al-qur’an dan sunnah setelah sebelumnya tergelincir.

Allah Ta’ala berfirman,

فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ

Maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya.” (QS. Fushilat: 6)

Penyebutan istighfar setelah perintah istiqomah adalah isyarat bahwa seorang hamba pasti punya kekurangan dalam istiqomah walaupun ia telah berusaha secara optimal.
Al Hafidz Ibnu Rajab rahimahullaah menjelaskan maksud ayat di atas

إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّهُ لَابُدَّ مِنْ تَقْصِيرٍ فِي الِاسْتِقَامَةِ الْمَأْمُورِ بِهَا، فَيُجْبَرُ ذَلِكَ بِالِاسْتِغْفَارِ الْمُقْتَضِي لِلتَّوْبَةِ وَالرُّجُوعِ إِلَى الِاسْتِقَامَةِ، فَهُوَ كَقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمُعَاذٍ ((اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا))

“Ayat ini merupakan isyarat bahwa pasti terdapat kekurangan dalam merealisasikan istiqomah. Kemudian kekurangan itu bisa ditutupi dengan beristighfar (memohon ampun). Dan istighfar ini memiliki konsekuensi untuk bertaubat dan kembali istiqomah. Sehingga keadaan ini sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz, “Bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada dan iringilah perbuatan buruk itu dengan kebaikan untuk menghapusnya.”

Saudariku, seseorang yang ingin menggapai derajat istiqomah tentu akan senantiasa merasa kurang dalam amalnya sehingga senantiasa istighfar dan bertaubat kepada Allah.

Kaidah kelima: istiqomah mencakup perkataan, perbuatan dan niat.

Maksudnya, seluruh sikap kita dituntut untuk istiqomah, baik yang lahir berupa perkataan dan perbuatan, maupun yang batin berupa niat yang lurus. Inilah hakikat kesempurnaan istiqomah, yaitu sejalannya perkataan, perbuatan dan hati di atas kebenaran sesuai al-qur’an dan sunnah.
Bagaimana agar perkataan, perbuatan dan niat bisa istiqomah? Kuncinya ada pada perbaikan qalbu, sebagaimana kaidah ‘pokok istiqomah adalah istiqomahnya qalbu’. Walaupun qalbu hanyalah segumpal daging, namun seluruh tubuh bertindak sesuai arahannya.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةُ،

Sesungguhnya dalam jasad ada segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka baik pulalah seluruh jasad dan jika segumpal daging itu rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Segumpal daging itu adalah qalbu.” (HR. Bukhari No. 52 dan Muslim No. 1599)

Kaidah keenam: istiqomah harus lillah, billah wa ‘ala amrillah.

Lillah maknanya ikhlas kepada Allah, yaitu menempuh jalan istiqomah karena ikhlas mengharap balasan dan ridho Allah Ta’ala. Tidaklah Allah memerintahkan suatu ketaatan dan membalasnya kecuali agar hamba mengikhlaskan amal hanya untuk-Nya.
Allah berfirman

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Billah artinya, meminta pertolongan Allah agar di tetapkan di atas keistiqomahan. Seorang hamba diperintahkan untuk istiqomah dan menempuh sebabnya, namun keistiqomahan adalah pemberian Allah, maka hendaknya kita meminta tolong kepada Allah untuk bisa menempuh sebab-sebabnya dan kokoh di atas jalan istiqomah. Dalam banyak dalil, Allah menggandengkan perintah beribadah dengan perintah untuk memohon pertolongan kepadanya.
Allah berfirman dalam ummul qur’an

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya kepada Engkau kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5)
Rasulullah juga menegaskan perintah memohon pertolongan kepada Allah dalam setiap amal
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ

Bersungguh-sungguhlah untuk hal yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah (untuk menjalankannya).” (HR. Muslim No. 2664)
Dan ‘ala amrillah, yaitu istiqomah dengan menempuh jalan yang benar sesuai syariat Allah.
Allah berfirman

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ

Maka istiqomahlah kamu (di atas jalan yang benar) sebagaimana diperintahkan kepadamu.” (QS. Hud: 112)

Seseorang yang menginginkan istiqomah hendaknya mengikhlaskan niatnya kepada Allah, memohon pertolongan kepada-Nya dan menjaga batasan-batasan Allah berupa perintah dan larangan-Nya.
Wallaahu a’lam, semoga bermanfaat. Simak terus pembahasan tentang kaidah-kaidah untuk memahami hakikat istiqomah di artikel muslimah.or.id selanjutnya, in syaa Allah.

Disarikan dari kitab ‘Asyru Qawaaid Fil Isiqomah karya Syaikh Abdur Razzaq bi Abdul Muhsin Al-Badr, Daarul Fadhilah, cet. I 1431 H.
Referensi lain:
Terjemahan Al-Quran Al-Kariim

Penulis: Titi Komalasari
Murojaah: Ustadz Ratno, Lc

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11311-kaidah-kaidah-penting-memahami-hakikat-istiqomah-bag-4-2.html

Sunnah-Sunnah Setelah Ramadhan

Sungguh suatu kenikmatan kita bisa berkesempatan untuk bertemu dengan Ramadhan. Ramadhan merupakan bulan yang penuh keberkahan dimana kita melaksanakan ibadah yang mulia, yaitu berpuasa. Puasa memiliki banyak keutamaan, salah satunya adalah orang yang berpuasa akan mendapatkan pengampunan dosa. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam  yang menyebutkan bahwa Allah berjanji pada hamba-Nya yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah akan diampuni dosanya yang telah lalu. Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu,Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِه

“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.” (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760).

 

Setelah berlalu bulan Ramadhan, jangan sampai semangat beribadah kita menjadi kendor karena perjalanan kita masih panjang dan masih perlu banyak bekal untuk bisa mendapatkan nikmat di kehidupan akhirat nanti. Oleh karena itu, sebagai seorang muslimah harus tetap bersemangat beribadah walaupun bulan Ramadhan sudah berlalu dan bersemangat dalam menyempurnakan ibadah di bulan Ramadhan dengan mengerjakan amalan-amalan sunnah.  Amalan-amalan yang disunnahkan setelah bulan Ramadhan tersebut diantaranya adalah:

Shalat ‘Id (Hari Raya)

Shalat ‘Id merupakan sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Allah setelah kita mendapatkan kesempatan untuk menunaikan ibadah yang agung, yaitu puasa Ramadhan. Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya untuk melaksanakan shalat tersebut baik muslim maupun muslimah. Disunnahkan bagi muslimah untuk menghadirinya dengan tidak memakai wangi-wangian maupun pakaian yang penuh hiasan. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Hendaknya mereka (para wanita) berangkat dengan tidak memakai wewangian.” (H.R. Bukhari/324 dan Muslim/2051)

 

Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِى الْفِطْرِ وَالأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ. قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لاَ يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ « لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا ».

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami agar mengajak serta keluar melakukan shalat Idul Fithri dan Idul Adha para gadis, wanita haidh dan wanita yang sedang dipingit. Adapun mereka yang sedang haidh tidak ikut shalat, namun turut menyaksikan kebaikan dan menyambut seruan kaum muslimin. Saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, di antara kami ada yang tidak memiliki jilbab.” Beliau menjawab: “Hendaknya saudaranya yang memiliki jilbab memberikan pinjaman untuknya.”  (H.R. Al Bukhari no. 324 dan Muslim no. 890)

 

Memperbanyak puasa sunnah

Salah satunya adalah puasa enam hari di bulan Syawal, puasa ayyamul bidh setiap bulannya pada bulan Hijriyah, puasa Senin-Kamis, puasa Arafah, puasa Asyura, puasa Daud dan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban.

Berpuasa enam hari di bulan Syawal memiliki keutamaan karena puasa ini menyempurnakan puasa Ramadhan yang telah dilaksanakan. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari Abu Ayyub Al Anshariy,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)

 

Berikut ini faedah yang akan didapatkan jika seseorang melakukan puasa enam hari di bulan Syawal yang disebutkan oleh Ibnu Rajab (Latha’if Al Ma’arif, hal. 244),

  • Puasa enam hari di bulan Syawal akan menyempurkan pahala berpuasa setahun penuh
  • Puasa enam hari di bulan Syawal sebagaimana shalat sunnah rawatib, yaitu amalan sunnah yang akan menyempurnakan kekurangan dan cacat yang ada di dalam amalan wajib
  • Puasa enam hari di bulan Syawal merupakan tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan.
  • Allah berjanji akan mengampuni dosa hambaNya yang telah lalu bagi yang melakukan puasa setelah puasa Ramadhan, yaitu puasa enam hari di bulan Syawal

 

Akad Nikah

Hal ini berdasarkan perkataan A’isyah radhiyallahu ‘anha, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawal, dan beliau tinggal satu rumah (campur) denganku juga di bulan Syawal. Siapakah diantara istri beliau yang lebih beruntung dari pada aku. A’isyah suka jika wanita dinikahi bulan Syawal.” (HR. Muslim).

Iktikaf

Bagi orang yang terbiasa melakukan iktikaf, namun karena ada udzur yang menyebabkan dia tidak bisa melaksanakan iktikaf di bulan Ramadhan, maka dia dianjurkan untuk melaksanakan iktikaf di bulan Syawal sebagai bentuk qadha sunnah.

A’isyah radhiyallahu ‘anha menceritakan iktikafnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamkemudian di pagi harinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ada banyak kemah para istrinya. Beliau bertanya: Apa-apaan ini? Setelah diberi tahu, beliau berkata kepada para istrinya: “Apakah kalian menganggap ini baik?” kemudian beliau tidak iktikaf di bulan itu, dan beliau iktikaf pada sepuluh hari di bulan Syawal. (HR. Al Bukhari & Muslim).

Wallahu a’lam.

Penulis : Annisa Nurlatifa Fajar (Ummu Tsurayya)

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/10320-sunnah-sunnah-setelah-ramadhan.html