Kontroversi Menggerakkan Telunjuk Saat Tahyat

MASALAH menggerakkan jari telunjuk saat tahiyat di dalam salat adalah masalah khilafiyah yang termasuk paling klasik. Kami katakan klasik, karena sejak zaman dahulu, para ulama sudah berbeda pendapat. Perbedaan pendapat di antara mereka tidak kunjung selesai sampai ribuan tahun lamanya, bahkan sampai hari ini.

Masalahnya bukan karena para ulama itu hobi berbeda pendapat, juga bukan karena yang satu lebih sahih dan yang lain kurang sahih. Juga bukan karena yang satu lebih mendekat kepada sunah dan yang lain kurang dekat. Masalahnya sangat jauh dan tidak ada kaitannya dengan semua itu.

Titik masalahnya hanya kembali kepada cara memahami naskah hadis, di mana ada dalil yang sahih yang disepakati bersama tentang kesahihannya, namun dipahami dengan cara yang berbeda oleh masing-masing ulama.

Sayangnya, teks hadis itu sendiri memang sangat dimungkinkan untuk dipahami dengan cara yang berbeda-beda. Alias tidak secara spesifik menyebutkannya dengan detil dan rinci.

Yang disebutkan hanyalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggerakkan jarinya, tetapi apakah dengan teknis terus-terusan dari awal tahiyat hingga selesai, ataukah hanya pada saat mengucapkan ‘illallah’ saja, tidak ada dalil yang secara tegas menyebutkan hal-hal itu.

Dari Wail bin Hujr berkata tentang sifat salat Rasulullah, “Kemudian beliau menggenggam dua jarinya dan membentuk lingkaran, kemudian mengangkat tangannya. Aku melihat beliau menggerakkan jarinya itu dan berdoa”. (HR Ahmad, An-Nasai, Abu Daud dan lainnya dengan sanad yang sahih)

Dari Abdullah bin Umar ra berkata, “Rasulullah bila duduk dalam salat meletakkan kedua tangannya pada lututnya, mengangkat jari kanannya (telunjuk) dan berdoa”. (HR Muslim)

Dengan adanya kedua dalil ini, para ulama sepakat bahwa menggerakkan jari di dalam salat saat tasyahhud adalah sunah. Para ulama yang mengatakan hal itu antara lain adalah Al-Imam Malik, Al-Imam Ahmad bin Hanbal serta satu pendapat di dalam mazhab Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahumullah.

Tinggal yang jadi titik perbedaan adalah cara mengambil pengertian dari kata ‘menggerakkan’.

1. Sebagian ulama seperti kalangan mazhab As-Syafi’i mengatakan bahwa yang dimaksud dengan menggerakan hanyalah sekali saja, yaitu pada kata ‘illallah’. Setelah gerakan sekali itu, jari itu tetap dijulurkan dan tidak dilipat lagi. Demikian sampai usai salat.

2. Sebagian lainnya malah sebaliknya. Seperti kalangan mazhab Al-Hanafiyah yang mengatakan bahwa gerakan menjulurkan jari itu dilakukan saat mengucapkan kalimat nafi (Laa illaha), begitu masuk ke kalimat isbat (illallaah) maka jari itu dilipat kembali. Jadi menjulurkan jari adalah isyarat dari nafi dan melipatnya kembali adalah isyarat kalimat itsbat.

3. Sebagian lainnya mengerakkan jarinya hanya pada setiap menyebut lafadz Allah di dalam tasyahud. Seperti yang menjadi pendapat kalangan mazhab Al-Imam Ahmad bin Hanbal.

4. Dan sebagian lainnya mengatakan bahwa tidak ada ketentuannya, sehingga dilakukan gerakan jari itu sepanjang membaca tasyahud. Yang terakhir itu juga merupakan pendapat Syeikh Al-Albani. (Lihat kitab Sifat Salat Nabi halaman 140). Sehingga beliau cenderung mengambil pendapat bahwa menggerakkan jari dilakukan sepanjang membaca lafadz tasyahud.

Akan tetapi, sekali lagi kami katakan itu adalah ijtihad karena tidak adanya dalil yang secara tegas menyebutkan hal itu. Sehingga antara satu ulama dengan ulama lainnya sangat mungkin berbeda pandangan. Selama dalil yang sangat teknis tidak atau belum secara spesifik menegaskannya, maka pintu ijtihad lengkap dengan perbedaannya masih sangat terbuka luas.

Dan tidak ada orang yang berhak menyalahkan pendapat orang lain, selama masih di dalam wilayah ijtihad. Pendeknya, yang mana saja yang ingin kita ikuti dari ijtihad itu, semua boleh hukumnya. Dan semuanya sesuai dengan sunnah nabi Muhammad.

Wallahu a’lam bishshawab. [Ahmad Sarwat, Lc]

INILAH MOZAIK

Hukum Berdoa Mengharapkan Kematian

Larangan mengharapkan kematian karena musibah yang menimpa

Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمُ المَوْتَ لِضُرٍّ نَزَلَ بِهِ، فَإِنْ كَانَ لاَ بُدَّ مُتَمَنِّيًا لِلْمَوْتِ فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الحَيَاةُ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الوَفَاةُ خَيْرًا لِي

“Janganlah salah seorang di antara kalian berangan-angan untuk mati karena musibah yang menimpanya. Kalau memang harus berangan-angan, hendaknya dia mengatakan, “Ya Allah, hidupkanlah aku jika kehidupan itu baik untukku. Dan matikanlah aku jika kematian itu baik bagiku.” (HR. Bukhari no. 6351, 5671 dan Muslim no. 2680)

Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang berangan-angan agar mati. Dalam riwayat dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَتَمَنَّى أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ، وَلَا يَدْعُ بِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَهُ

“Janganlah seseorang mengharapkan kematian dan janganlah berdoa meminta mati sebelum datang waktunya.” (HR. Muslim no. 2682)

Dari dua hadits di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berangan-angan mati dalam pikiran dan juga berdoa (dengan diucapkan) meminta kematian.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

لَوْلاَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَانَا أَنْ نَدْعُوَ بِالْمَوْتِ لَدَعَوْتُ بِهِ

“Jika bukan karena aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk berdoa meminta kematian, niscaya aku akan memintanya.” (HR. Bukhari no. 7234)

Dua alasan mengapa dilarang berangan-angan meminta kematian

Dalam hadits di atas terkandung larangan bagi setiap muslim untuk berangan-angan atau meminta kematian karena musibah yang dia alami, baik berupa kemiskinan, kehilangan sesuatu yang berharga, penyakit tertentu yang parah, luka secara fisik, atau musibah-musibah lainnya. Larangan ini karena dua alasan:

Alasan pertama, perbuatan tersebut menunjukkan keluh kesah terhadap musibah yang menimpa, tidak ridha dengan takdir Allah Ta’ala dan menentang takdir yang telah Allah Ta’ala tetapkan.

Yang menjadi kewajiban bagi seorang muslim adalah bersabar dalam menghadapi musibah. Kewajiban sabar ini berdasarkan ijma’ ulama. Yang lebih utama dari sabar adalah bersikap ridha terhadap musibah atau takdir dari Allah Ta’ala tersebut. Ridha terhadap musibah hukumnya sunnah, tidak sampai derajat wajib, menurut pendapat yang paling kuat.

Alasan kedua, berdoa meminta kematian tidaklah mendatangkan maslahat, namun di dalamnya justru terdapat mafsadah (keburukan), yaitu meminta hilangnya nikmat kehidupan dan berbagai turunannya yang bermanfaat.

Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا يَتَمَنَّى أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ، وَلَا يَدْعُ بِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَهُ، إِنَّهُ إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ، وَإِنَّهُ لَا يَزِيدُ الْمُؤْمِنَ عُمْرُهُ إِلَّا خَيْرًا

“Janganlah seseorang mengharapkan kematian dan janganlah meminta mati sebelum datang waktunya. Karena orang mati itu amalnya akan terputus, sedangkan umur seorang mukmin tidaklah bertambah melainkan akan menambah kebaikan.” (HR. Muslim no. 2682)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

وَلاَ يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمُ المَوْتَ: إِمَّا مُحْسِنًا فَلَعَلَّهُ أَنْ يَزْدَادَ خَيْرًا، وَإِمَّا مُسِيئًا فَلَعَلَّهُ أَنْ يَسْتَعْتِبَ

“Janganlah salah seorang di antara kalian mengharapkan kematian. Jika dia orang baik, semoga saja bisa menambah amal kebaikannya. Dan jika dia orang yang buruk (akhlaknya), semoga bisa menjadikannya bertaubat.” (HR. Bukhari no. 5673)

Bagaimana jika musibah tersebut menimpa agama seseorang?

Dzahir hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa “musibah” tersebut bersifat umum, baik musibah yang terkait dengan dunia atau yang terkait dengan agama. Akan tetapi, sejumlah ulama salaf memaknai larangan tersebut jika musibah tersebut berkaitan dengan dunia. Maksudnya, jika musibah tersebut berkaitan dengan agama seseorang, di mana seseorang mengkhawatirkan akan adanya fitnah atau kerusakan pada agamanya, maka hal ini tidak termasuk dalam larangan di atas.

Dalam riwayat An-Nasa’i, terdapat hadits di atas dengan lafadz,

لَا يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ لِضُرٍّ نَزَلَ بِهِ فِي الدُّنْيَا

“Janganlah salah seorang di antara kalian berharap mati karena musibah duniawi yang menimpanya.” (HR. An-Nasa’i no. 1820, shahih)

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menjelaskan,

على أن في في هذا الحديث سببية أي بسبب أمر من الدنيا

“Bahwa kata “fii” dalam hadits tersebut menunjukkan “sebab”. Maksudnya, dengan sebab suatu perkara (musibah) duniawi.” (Fathul Baari, 10: 128)

Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَمُرَّ الرَّجُلُ بِقَبْرِ الرَّجُلِ فَيَقُولُ: يَا لَيْتَنِي مَكَانَهُ

“Kiamat tidak akan terjadi sampai seseorang melewati makam orang lain dan mengatakan, “Duhai, seandainya aku menempati posisinya.” (HR. Bukhari no. 7115 dan Muslim no. 157)

Juga dalam hadits panjang yang diriwayatkan dari sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, di dalamya diceritakan kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ فِعْلَ الخَيْرَاتِ، وَتَرْكَ المُنْكَرَاتِ، وَحُبَّ المَسَاكِينِ، وَأَنْ تَغْفِرَ لِي وَتَرْحَمَنِي، وَإِذَا أَرَدْتَ فِتْنَةً فِي قَوْمٍ فَتَوَفَّنِي غَيْرَ مَفْتُونٍ

“Ya Allah, sesungguhnya aku memintamu berbuat kebaikan, meninggalkan kemungkaran, mencintai orang-orang miskin, ampunilah aku dan rahmatilah aku, dan bila Engkau menghendaki fitnah pada hamba-hamba-Mu, wafatkanlah aku dalam keadaan tidak terkena fitnah.” (HR. Tirmidzi no. 3235, shahih)

Jika harus berangan-angan kematian

Dalam hadits pertama di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalau memang harus berangan-angan, hendaknya dia mengatakan, “Ya Allah, hidupkanlah aku jika kehidupan itu baik untukku. Dan matikanlah aku jika kematian itu baik bagiku.”

Artinya, jika tidak boleh tidak dia ingin berangan-angan kematian karena keinginan kuat dari jiwa dan hawa nafsunya, sehingga mencegahnya untuk menjauhi larangan, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan solusi untuk berdoa dengan lafadz di atas.

Dari kalimat doa yang diajarkan dan diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, terkandung makna pasrah dan tunduk terhadap ketentuan Allah Ta’ala, memasrahkan semua urusan kepada Allah Ta’ala yang Maha Mengetahui semua urusan dan hasil akhirnya. Yaitu, seseorang menggantungkan urusannya kepada ilmu Allah Ta’ala.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdoa dengan lafadz tersebut dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu,

اللهُمَّ بِعِلْمِكَ الْغَيْبَ، وَقُدْرَتِكَ عَلَى الْخَلْقِ، أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الْحَيَاةَ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي

“Ya Allah, dengan ilmu ghaib-Mu dan kekuasaanmu atas seluruh makhluk, hidupkanlah aku jika Engkau mengetahui bahwa kehidupan itu lebih baik untukku, dan wafatkanlah aku jika kematian itu lebih baik untukku … “ (HR. Ahmad 30: 265, shahih)

Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/43190-hukum-berdoa-mengharapkan-kematian.html

Doa agar Terhindar dari Hilangnya Nikmat & Bencana yang Tiba-Tiba

Ketika banyak muncul bencana tiba-tiba seperti gempa, banjir, kebakaran dan musibah lainnya hendaknya kita memperbanyak membaca doa berikut.

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ, وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ, وَفَجْأَةِ نِقْمَتِكَ, وَجَمِيعِ سَخَطِكَ

Ya Allah, Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari lenyapnya nikmat-Mu, dari beralihnya keselamatan (yang merupakan anugerah)-Mu; dari datangnya siksa-Mu (bencana) secara mendadak, dan dari semua kemurkaan-Mu. (HR. Muslim)

Maksud dari kata-kata (فَجْأَةِ نِقْمَتِكَ) “siksa yang tiba-tiba” adalah bencana dan musibah yang tiba-tiba, hal ini lebih parah daripada bencana yang tidak datang tiba-tiba. Syaikh Abdul Mushin Az-Zamili menjelaskan,

ﻓﺠﺄﺓ ﺍﻟﻨﻘﻤﺔ ﺃﻭ ﻓﺠﺎﺀﺓ ﺍﻟﻨﻘﻤﺔ ﻣﻦ ﺑﻼﺀ ﺃﻭ ﻣﺼﻴﺒﺔ ﻳﺄﺗﻲ ﻋﻠﻰ ﻓﺠﺄﺓ ﺑﺨﻼﻑ ﻣﺎ ﺇﺫﺍ ﺳﺒﻘﻪ ﺷﻲﺀ ﺑﺄﻥ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻓﺠﺄﺓ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﻜﻮﻥ ﺃﺧﻒ

“Siksa yang tiba-tiba yaitu berupa bencana atau musibah yang datang secara mendadak.Tentunya berbeda dengan musibah yang didahului oleh sesuatu (sebagai awalnya semisal penyakit) dan tidak mendadak, hal ini lebih ringan perkaranya.”. (Syarh Bulughul Maram)

Bencana seperti gempa, banjir dan musibah akan menghilangkan nikmat dan bisa jadi merupakan murka dari Alllah karena banyaknya kesyirikan dan maksiat. Untuk menghindari terjadi musibah dan bencana pada kita hendaknya kita benar-benar memhami bahwa sebab turunnya musibah dan bencana akibat keyirikan dan kemaksiatan yang dilakukan oleh manusia. Hendaknya kita melakukan muhasabah dan segera kembali kepada Allah serta menghentikan keyirikan dan kemaksiatan yang merajalela agar terhindar dari hilangnya nikmat, datangnya bencana dan terhindar dari murka Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalahdisebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy Syura: 30).

Bisa jadi Allah kirimkan bencana dan musibah kepada manusia agar manusia takut kepada Allah dan agar kaum muslimin kembali kepada Allah dan menghentian kesyirikan dan maksiat.

Allah berfirman,

وَمَا نُرْسِلُ بِالْآيَاتِ إِلَّا تَخْوِيفًا

“Tidaklah Kami mengirim tanda-tanda kekuasaan Kami kecuali untuk menakut-nakuti“. (Al-Isra’ : 59)

Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa maksud menakuti-nakuti di sini adalah agar manusia takut kepada Allah. Beliau berkata,

أذن الله سبحانه لها في الأحيان بالتنفس فتحدث فيها الزلازل العظام فيحدث من ذلك لعباده الخوف والخشية والإنابة والإقلاع عن معاصيه والتضرع إليه والندم

“Terkadang Allah subhanahu mengizinkan bumi untuk bernafas maka terjadilah gempa bumi yang dahsyat, maka muncul rasa takut dan khawatir pada hati hamba-hamba Allah dan agar mau kembali kepada-Nya, meninggalkan kemaksiatan dan merendahkan diri dihadapan-Nya serta menyesal (atas dosa dan maksiat).” (Miftah Daris Sa’adah 1/229)

Demikian semoga bermanfaat

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/43134-doa-agar-terhindar-dari-hilangnya-nikmat-bencana-yang-tiba-tiba.html

Siklus Menu Makan Jemaah Haji Indonesia Gunakan Rumus 2-3-4-5

Madinah (Kemenag) — Jemaah haji Indonesia selama 8-9 hari berada di Madinah akan memperoleh layanan katering berupa makan selama 18 kali. Hal ini dikatakan Kepala Bidang Katering Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi, Ahmad Abdullah.

Abdullah menjelaskan bahwa siklus menu makanan untuk jamaah haji Indonesia per minggunya ada 14 kali. Ia menambahkan, rumus yang digunakan sebagai acuan menu makanan jamaah adalah 2-3-4-5.

“Yakni 2 kali telur, 3 kali daging, 4 kali ayam, dan 5 kali ikan,” kata Abdullah, Rabu (10/07). Ia menjelaskan bahwa tahun ini konsumsi ikan diperbanyak porsinya untuk menghindari rasa bosan mengkonsumsi daging.

Untuk musim haji tahun ini, PPIH Arab Saudi menggandeng 13 penyedia katering untuk di layanan katering di Madinah, 36 penyedia katering di Makkah dan Mina 13 penyedia katering sedangkan selebihnya dikelola oleh muassasah asia tenggara.

“Setiap perusahaan penyedia katering diwajibkan memiliki juru masak (chef) dan bahan baku yang berasal dari Indonesia,” ujar Abdullah ketika mengunjungi salah satu penyedia katering.

Ia juga menjelaskan bahwa untuk memastikan kualitas masakan, petugas katering diupayakan untuk melihat, meraba, merasakan makanan sebelum didistribusikan ke jemaah.

“Moto pelayanan kita adalah tepat distribusi, tepat jumlah, tepat menu dan tepat rasa,” ujarnya. 

Abdullah menambahkan bahwa pengawasan layanan katering tidak hanya saat distribusi, tapi juga saat produksi, mulai pemilihan bahan baku, lauk pauk dan buah.

Ia juga mengimbau jemaah tidak perlu membawa gula, kopi, teh, dan kecap. Karena saat tiba di Madinah dan Makkah, jemaah akan memperoleh paket kelengkapan konsumsi yang terdiri dari : kecap, sambal, kopi, teh, gula dilengkapi dengan sendok dan gelas.

KEMENAG RI


Apakah Kita Rajin Ibadah Hanya di Ramadan?

Ibadah dan amalan ketaatan bukanlah ibarat bunga yang mekar pada waktu musimnya saja. Ibadah shalat 5 waktu, shalat jamaah, shalat malam, gemar bersedekah dan berbusana muslimah, bukanlah jadi ibadah musiman.

Namun sudah seharusnya amalan-amalan tadi di luar bulan Ramadhan juga tetap dijaga. Para ulama seringkali mengatakan, “Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah (rajin ibadah) hanya pada bulan Ramadhan saja.”

Ingatlah pula pesan dari Kaab bin Malik, “Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan lantas terbetik dalam hatinya bahwa setelah lepas dari Ramadhan akan berbuat maksiat pada Rabbnya, maka sungguh puasanya itu tertolak (tidak bernilai apa-apa).”

Semoga Allah beri taufik dan sungguh hidayah itu begitu indah. Alhamdulillahilladzi bi nimatihi tatimmush sholihaat. [Muhammad Abduh Tuasikal]

INILAH MOZIK

Jangan Sembarang Share Berita dan Wacana Yang Membuat Resah

Diantara adab Islam yang sudah mulai luntur di zaman media sosial ini adalah sikap al hilm dan al ‘anahAl hilm adalah bersikap tenang adapun al anah adalah bersikap hati-hati dalam bertindak. Termasuk dalam masalah menyebarkan dan menyampaikan berita. Hendaknya seorang Muslim tenang dan bersikap tenang dan hati-hati dalam menyebarkan dan menyampaikan berita. Karena andaikan berita itu benar pun, tidak boleh sembarang menyampaikan dan menyebarkan berita yang menyebabkan keresahan di tengah masyarakat. Ini perkara yang dilarang dalam syariat. Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau pun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)” (QS. An Nisa: 83).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah menjelaskan: “Ini adalah bimbingan Allah kepada para hambanya agar tidak melakukan hal yang tidak layak. Yaitu bahwasanya jika datang suatu perkara yang terkait dengan suatu hal yang urgen dan merupakan urusan banyak orang, atau yang terkait dengan keamanan atau kebahagiaan kaum Mu’minin, atau bisa menimbulkan ketakutan karena di dalamnya terdapat musibah bagi kaum Mu’minin, hendaknya mereka timbang dengan matang terlebih dahulu dan tidak tergesa-gesa dalam menyebarkan khabar tersebut. Bahkan yang benar adalah mengembalikannya kepada Rasulullah dan kepada ulil amri di antara mereka, yaitu para ulama. Yang mereka memahami duduk permasalahan dan memahami apa yang maslahah dan apa yang mafsadah. Jika mereka memandang bahwa menyebarkannya itu baik dan bisa memotivasi kaum Mu’minin dan membuat mereka bahagia, membuat mereka kuat menghadapi musuh, maka silakan dilakukan. Jika para ulama memandang bahwa perkara tersebut tidak ada maslahahnya atau ada maslahah namun lebih besar mudharatnya, maka jangan disebarkan” (Tafsir As Sa’di, 1/190).

Sebagian ulama mengatakan, bahwa perbuatan seperti ini adalah tabiat orang-orang munafik. Disebutkan dalam Tafsir Al Qurthubi,

قَالَ الضَّحَّاكُ وَابْنُ زَيْدٍ: هو فِي الْمُنَافِقِينَ فَنُهُوا عَنْ ذَلِكَ لِمَا يَلْحَقُهُمْ مِنَ الْكَذِبِ فِي الْإِرْجَافِ

“Adh Dhahhak dan Ibnu Zaid mengatakan: ayat ini tentang orang munafik. Mereka dilarang melakukan hal tersebut karena mereka biasa berdusta dalam menyebarkan kabar tentang ketakutan dan bahaya” (Tafsir Al Qurthubi, 5/297).

Orang munafik adalah orang yang menampakkan Islam namun dalam hatinya menyimpan kebencian dan permusuhan kepada Islam. Mengapa perbuatan ini disebut sebagai tabiat orang munafik? Karena orang munafik itu senang jika kaum Mu’minin sedih, resah dan takut, dan mereka sedih jika kaum Mu’minin senang. Allah Ta’ala berfirman:

إِنْ تُصِبْكَ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِنْ تُصِبْكَ مُصِيبَةٌ يَقُولُوا قَدْ أَخَذْنَا أَمْرَنَا مِنْ قَبْلُ وَيَتَوَلَّوْا وَهُمْ فَرِحُونَ

“Jika kamu mendapat sesuatu kebaikan, mereka menjadi tidak senang karenanya; dan jika kamu ditimpa oleh sesuatu bencana, mereka berkata: “Sesungguhnya kami sebelumnya telah memperhatikan urusan kami (tidak pergi berperang)” dan mereka berpaling dengan rasa gembira” (QS. At Taubah: 50).

Bersikaplah Tenang Dan Hati-Hati

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda tentang Al Asyaj ‘Abdul Qais:

إن فيكَ خصلتينِ يحبهُما اللهُ : الحلمُ والأناةُ

“sesungguhnya pada dirimu ada 2 hal yang dicintai Allah: sifat al hilm dan al aanah” (HR. Muslim no. 17).

Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

التَّأنِّي من اللهِ و العجَلَةُ من الشيطانِ

“berhati-hati itu dari Allah, tergesa-gesa itu dari setan” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra [20270], dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 1795).

Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

السَّمْتُ الحَسَنُ والتُّؤَدَةُ والاقتصادُ جزءٌ من أربعةٍ وعشرينَ جُزءًا من النبوةِ

“Sikap yang baik, berhati-hati dalam bersikap, dan sederhana adalah bagian dari 24 sifat kenabian” (HR. At Tirmidzi no. 2010, ia berkata: “hadits hasan gharib”, dihasan Al Albani dalam Sunan At Tirmidzi).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan:

“Al Hilm adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan dirinya ketika marah. Ketika ia marah dan ia mampu memberikan hukuman, ia bersikap hilm dan tidak jadi memberikan hukuman.

Al Aanah adalah berhati-hati dalam bertindak dan tidak tergesa-gesa, serta tidak mengambil kesimpulan dari sekedar yang nampak sekilas saja, lalu serta-merta menghukuminya, padahal yang benar hendaknya ia berhati-hati dan menelitinya.

Adapun Ar Rifq, adalah bermuamalah dengan orang lain dengan lembut dan berusaha memberi kemudahan. Bahkan ketika orang tersebut layak mendapatkan hukuman, tetap disikapi lembut dan diberi kemudahan” (Syarah Riyadhus Shalihin, 3/573).

Maka bertaqwalah kepada Allah, jangan sembarang melontarkan suatu perkara ke tengah kaum Mu’minin yang membuat mereka resah, takut dan sedih. Jangan tiru perbuatan kaum munafik. Bersikap tenang dan penuh kehatian-hatian dalam menyebarkan berita. Konsultasikanlah dengan orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang paham duduk permasalahannya. Minta pendapat mereka mengenai bagaimana sikap dan solusi yang benar.

Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/44200-jangan-sembarang-share-berita-dan-wacana-yang-membuat-resah.html

Jihad Memberantas Hoax

Medsos di zaman sekarang memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Namun sayangnya, banyak sekali medsos sekarang ini berisi sampah berupa berita-berita hoax yang tidak jelas sumbernya sehingga menimbulkan kekacauan dan kegaduhan.

Oleh karenanya, kita harus cerdas menyikapi hal ini agar tidak menjadi korban hoax.

Islam mengajarkan kepada kita agar selektif dalam menyikapi berita, sebab tidak semua berita yang terima mesti benar adanya sesuai dengan fakta, lebih-lebih pada zaman sekarang di mana kejujuran sangat mahal harganya.

Ibnu Baadis mengatakan, “Tidak semua yang kita dengar dan kita lihat harus diyakini oleh hati-hati kita, namun hendaknya kita mengeceknya dan memikirkannya secara matang. Jika memang terbukti dengan bukti nyata maka kita mempercayainya, namun jika tidak maka kita meninggalkannya.” (Ushul Hidayah hln. 97

Dalam al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan sebuah prinsip dasar dalam menyikapi sebuah isu yang beredar dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS Al-Hujurat [49]: 6)

Asy-Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab berkata, “Ketahuilah dan renungkanlah ayat ini baik-baik.” (Ad Durar Saniyyah 1/35)

Di dalam ayat ini terdapat pelajaran berharga bagi setiap mukmin yang perhatian terhadap agama dalam berinteraksi dengan saudaranya seiman, hendaknya selektif terhadap hembusan isu yang bertujuan untuk meretakkan barisan, memperuncing api permusuhan, dan memperlebar sayap perpecahan.

Lebih-lebih lagi jika hal itu menyangkut kehormatan negara, pemerintah, atau ulama maka sikap selektif harus lebih ditingkatkan.

Alangkah bagusnya apa yang dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, “Diharuskan bagi seorang yang ingin menilai suatu ucapan, perbuatan, atau golongan untuk berhati-hati dalam menukil dan tidak memastikan kecuali benar-benar terbukti. Tidak boleh mencukupkan diri hanya pada isu yang beredar, apalagi jika hal itu menjurus kepada celaan kepada seorang ulama.” (Dzail Tibril Masbuk hlm. 4 karya As Sakhowi)

Penulis: Ustadz Abu Ubaidah As Sidawi

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/44396-jihad-memberantas-hoax.html

Bahaya Dusta Atas Nama Nabi

Berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk dosa besar, bahkan bisa kafir.

Imam Adz Dzahabi dalam kitab beliau Al Kabair (mengenai dosa-dosa besar) berkata, “Berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu bentuk kekufuran yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Tidak ragu lagi bahwa siapa saja yang sengaja berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal berarti ia melakukan kekufuran. Adapun perkara yang dibahas kali ini adalah untuk bentuk dusta selain itu.”

Beberapa dalil yang dibawakan oleh Imam Adz Dzahabi adalah sebagai berikut.

Dari Al Mughirah, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4).

Dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ  بنيَ لَهُ بَيْتٌ فِي جَهَنَّمَ

Barangsiapa berdusta atas namaku, maka akan dibangunkan baginya rumah di (neraka) Jahannam.” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir)

Imam Dzahabi juga membawakan hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang berkata atas namaku padahal aku sendiri tidak mengatakannya, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka.

Dalam hadits lainnya disebutkan pula,

يُطْبَعُ الْمُؤْمِنُ عَلَى الْخِلاَلِ كُلِّهَا إِلاَّ الْخِيَانَةَ وَالْكَذِبَ

Seorang mukmin memiliki tabiat yang baik kecuali khianat dan dusta.” (HR. Ahmad 5: 252. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini dhoif)

Dari ‘Ali, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ رَوَى عَنِّى حَدِيثًا وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنِ

Siapa yang meriwayatkan dariku suatu hadits yang ia menduga bahwa itu dusta, maka dia adalah salah seorang dari dua pendusta (karena meriwayatkannya).” (HR. Muslim dalam muqoddimah kitab shahihnya pada Bab “Wajibnya meriwayatkan dari orang yang tsiqoh -terpercaya-, juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 39. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Setelah membawakan hadits-hadits di atas, Imam Adz Dzahabi berkata, “Dengan ini menjadi jelas dan teranglah bahwa meriwayatkan hadits maudhu’ -dari perowi pendusta- (hadits palsu) tidaklah dibolehkan.” (Lihat kitab Al Kabair karya Imam Adz Dzahabi, terbitan Maktabah Darul Bayan, cetakan kelima, tahun 1418 H, hal. 28-29).

Pembahasan ini bermaksud menunjukkan bahayanya menyampaikan hadits-hadits palsu yang tidak ada asal usulnya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/21024-bahaya-dusta-atas-nama-nabi.html

Rincian Hukum Tauriyah (Bag. 2)

Rincian hukum tauriyah

Dalam pembahasan sebelumnya telah kami sebutkan dalil-dalil yang menunjukkan diperbolehkannya tauriyah. Namun, bukan berarti bahwa hukumnya diperbolehkan secara mutlak dalam semua keadaan. Hal ini karena hukum ucapan itu sesuai dengan hukum tujuan.

Oleh karena itu, terdapat rincian hukum tauriyah dengan menimbang maksud atau tujuan si pembicara. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala.

Pertama, tauriyah yang hukumnya haram.

Yaitu tauriyah yang mengantarkan kepada kebatilan, baik diambilnya hak orang lain tanpa alasan yang dibenarkan, atau untuk berkelit dari kewajiban yang seharusnya dia tunaikan.

Misalnya, seorang pegawai bolos kerja karena malas ke kantor. Keesokan harinya, dia ditanya oleh bosnya ketika sudah masuk kerja kembali, dan menjawab, “Saya sakit.”

Si bos memahami bahwa dia betul-betul sakit sehingga bisa dimaklumi ketika kemarin tidak masuk kerja. Padahal, si pegawai sedang ber-tauriyah karena yang dia maksud adalah “sakit panu”, penyakit yang seharusnya tidak menghalangi masuk kerja.

Ini adalah tauriyah yang haram, karena mengantarkan kepada kebatilan, yaitu tidak adanya amanah.

Kedua, tauriyah yang hukumnya wajib.

Yaitu tauriyah yang mengantarkan kepada kewajiban atau untuk mencegah kedzaliman. Contoh tauriyah semacam ini telah kami sebutkan di awal seri tulisan ini, yaitu tentang adanya seseorang yang ingin mendzalimi orang lain.

Juga tauriyah yang dilakukan oleh para ulama untuk menghindar dari kedzaliman penguasa. Pada masa fitnah Al-Qur’an adalah makhluk, para ulama ahlus sunnah dipaksa untuk mengatakan ucapan kekafiran bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, dan jika tidak mau, mereka akan disiksa atau dibunuh.

Lalu datanglah sejumlah pasukan ke salah seorang ulama, dan beliau pun melakukan tauriyah. Sang ulama mengatakan, “Al-Qur’an, Taurat, Injil, Zabur, semuanya ini adalah makhluk.”

Ketika mengatakan, “Semuanya ini adalah makhluk”; beliau sambil memegang empat jari tangan kiri dengan tangan kanan. Sehingga yang beliau maksud sebenarnya adalah “Semua jari ini adalah makhluk, adapun Al-Qur’an, Taurat, Injil, Zabur, itu bukan makhluk.”

Tauriyah semacam ini hukumnya wajib, karena dengannya jiwa manusia dapat terhindar dari kedzaliman.

Ketiga, tauriyah yang hukumnya diperbolehkan karena adanya maslahat atau karena ada hajat (kebutuhan).

Jika ada kebutuhan atau maslahat tertentu yang ingin dicapai, maka tidak mengapa melakukan tauriyah.

Contoh tauriyah model ini adalah kisah Imam Ahmad rahimahullahu Ta’ala. Ketika itu, beliau kedatangan tamu, yaitu Al-Maruzi. Lalu ada seseorang yang mencari Al-Maruzi sampai ke rumah Imam Ahmad. Namun Al-Maruzi menyampaikan ke Imam Ahmad bahwa dia tidak ingin menemui orang tersebut dengan sebab (alasan) tertentu.

Lalu Imam Ahmad pergi menemui orang yang mencari Al-Maruzi tersebut dan berkata, “Al-Maruzi tidak ada di sini, buat apa Al-Maruzi ada di sini?”

Imam Ahmad mengatakan hal itu sambil berisyarat dengan tangannya. Sehingga makna yang dimaksud oleh Imam Ahmad adalah, “Al-Maruzi tidak ada di tanganku ini, buat apa dia ada di tanganku ini?” Namun makna yang ditangkap oleh si pencari Al-Maruzi adalah bahwa Al-Maruzi tidak ada di rumah Imam Ahmad.

Keempat, tauriyah yang sekedar main-main, tidak ada kebutuhan, dan juga tidak mengantarkan kepada kebatilan.

Tauriyah semacam ini diperselisihkan oleh para ulama tentang boleh atau tidaknya.

Pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu Ta’ala adalah tidak diperbolehkan. Hal ini karena tauriayh itu sisi lahiriyahnya menyelisihi maksud sebenarnya. Sehingga masih terdapat unsur kebohongan dalam tauriyah. Dan juga, terdapat sisi jelek dengan tauriyah yang sekedar main-main saja. Yaitu, ketika seseorang mengetahui bahwa jika secara kenyataan apa yang diucapkan oleh seseorang itu berbeda dengan makna yang dia pahami, hal ini akan menyebabkan si pengucap tersebut bisa dituduh berdusta dan tidak bisa dipercaya, juga menimbulkan buruk sangka kepadanya.

Akan tetapi, yang dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala adalah tidak mengapa, jika kadang-kadang dilakukan, lebih-lebih jika mengabarkan kepada sahabatnya tentang perkara di masa mendatang.

Misalnya, sahabat kita mengatakan, “Kapan ke rumah?” Kita katakan, “Besok.” Padahal yang kita maksud dengan “besok” itu tidak terbatas, tidak dalam waktu dekat ini.

Sejenis dengan ini adalah kisah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu ketika di masa perjanjian Hudaibiyah. ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَلَيْسَ كَانَ يُحَدِّثُنَا أَنَّا سَنَأْتِي البَيْتَ وَنَطُوفُ بِهِ؟

“Bukankah Engkau mengabarkan kepada kita bahwa kita akan mendatangi baitullah dan thawaf di sana?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

بَلَى، أَفَأَخْبَرَكَ أَنَّكَ تَأْتِيهِ العَامَ؟

“Iya benar. Akan tetapi, appakah aku mengatakan kalau kita akan mendatanginya tahun ini?”

‘Umar menjawab, “Tidak.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

فَإِنَّكَ آتِيهِ وَمُطَّوِّفٌ بِهِ

‘Sesungguhnya Engkau akan mendatanginya dan thawaf di sana.” (HR. Bukhari no. 2731 dan 2732) [1]

[Selesai]

***

@FK UGM, 13 Syawwal 1440/17 Juni 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47565-rincian-hukum-tauriyah-bag-2.html

Yuk Berjalan Kaki ke Masjid!

SETELAH berwudhu, menyucikan diri dari segala najis dan kotoran secara sempurna sehingga tubuh dan jiwa kita siap untuk melaksanakan salat berjemaah. Semua ulama bersepakat mengenai anjuran salat berjemaah, bahkan sebagaian ulama mewajibkannya.

Kita sebagai umat Islam, diharuskan untuk berkumpul di masjid untuk mendirikan salat berjemaah dalam barisan yang rapi. Selain pahala besar yang dijanjikan Allah, berjalan menuju masjid untuk mendirikan salat juga mengandung faedah luar biasa bagi kesehatan.

Rasulullah saw sering kali menganjurkan umatnya untuk berjalan kaki menuju masjid atau tempat salat. Anjuran tersebut beliau sampaikan dalam beberapa hadis. Dan, Allah juga akan memberikan pahala yang sangat besar bagi orang yang berjalan menuju tempat salat.

Orang yang paling jauh jaraknya menuju masjid niscaya akan mendapat pahala yang paling besar. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Maukah kalian ditunjukkan kepada suatu amal yang dengannya Allah menghapus dosa dan meninggikan derajat?”

Lalu, para sahabat menjawab, “Tentu saja, Rasulullah.”

“Menyempurnakan wudhu dan menjauhi segala sesuatu yang tidak disukai, memerbanyak langkah menuju masjid, dan menunggu waktu salat dengan mendirikan salat. Itulah keutamaan. Itulah keutamaan.” (HR.Muslim)

Abu Musa ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Orang yang mendapat pahala salat yang paling besar adalah yang paling jauh jarak perjalanannya ke masjid.” (HR.Muslim)

Hadis ini dan hadis sebelumnya menegaskan keutamaan rumah yang jauh dari masjid sehingga butuh banyak langkah untuk sampai ke sana. Pahala yang didapatkannya pun lebih banyak dibandingkan dengan orang lain. Semakin jauh rumah seseorang dari masjid, makin besar pahala salatnya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang bersuci di rumahnya kemudian berjalan menuju salah satu rumah Allah untuk melaksanakan kewajiban dari Allah, niscaya langkahnya itu akan menghapus dosanya dan mengangkat derajatnya.” (HR.Muslim)

Semua hadis di atas menegaskan anjuran kepada kita, umat muslim untuk berjalan kaki menuju masjid sekuat tenaga, tidak diatas kendaraan apapun meskipun rumahnya jauh dari masjid, selama tidak ada uzur atau hambatan yang menghalangi perjalanannya. Ingat, pulang juga dianjurkan dengan berjalan kaki. [Chairunnisa Dhiee]

INILAH MOZAIK