Kapan Belajar Ilmu Ushul Fiqh?

Penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:

Banyak penuntut ilmu memberikan perhatian dalam menghapal Al-Qur’an Al-Karim dan hadits-hadits hukum. Akan tetapi, mereka meremehkan ilmu ushul fiqh, dan mencukupkan diri dengan hapalan Al-Qur’an dan hadits. Padahal diketahui bahwa ilmu ushul fiqh mengajarkan kita bagaimanakah metode memahami dalil-dalil tersebut. Kami mengharapkan arahan syaikh berkaitan dengan masalah ini.

Jawaban:

Yang menjadi pendapatku dalam masalah menuntut ilmu adalah seseorang itu, apalagi para pemuda yang masih pemula, memulai dengan menghapalkan Al-Qur’an sebelum semua ilmu (agama) yang lain. Karena inilah perbuatan (contoh) para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Mereka mempelajari Al-Qur’an, mempelajari makna kandungan Al-Qur’an, dan mempraktikkannya (mengamalkannya). 

Sedangkan penuntut ilmu itu sangat butuh terhadap Al-Qur’an. Tidakkah Engkau lihat, jika Engkau berbicara di suatu majelis (perkumpulan) dan Engkau ingin berdalil dengan Al-Qur’an sedangkan Engkau tidak menghapalnya, maka tidak mungkin Engkau bisa berdalil dengan Al-Qur’an. 

Jadi aku memotivasi penuntut ilmu, lebih-lebih para pemuda, untuk menghapalkan kalamullah (Al-Qur’an), kemudian menghapalkan hadits-hadits yang mudah, misalnya kitab ‘Umdatul Ahkaam, atau Bulughul Maraam, jika mampu. Kemudian setelah itu, dia memasuki bidang fiqh dan ilmu ushul fiqh. 

Tidak diragukan lagi bahwa ushul fiqh adalah di antara ilmu yang paling bagus. Di dalamnya terkandung kenikmatan bagi orang-orang yang mempelajarinya. Karena jika seseorang memahami kaidah-kaidah, maka pikirannya akan berjalan untuk memakai (menerapkan) kaidah-kaidah tersebut untuk menyimpulkan hukum dari dalil-dalil syar’i dengan perantaraan kaidah-kaidah dan ushul tersebut.

[Selesai]

***

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/54065-kapan-belajar-ilmu-ushul-fiqh.html

Allah Sangat Menyukai Hamba yang Optimistis

Allah memerintahkan manusia untuk menjauhi sikap putus asa, berbuat sebaik-baiknya.

Sikap optimistis merupakan hal yang positif. Tak hanya itu, sikap optimistis ini ternyata kerap disinggung dalam dalil baik itu di Alquran maupun hadis. Isyarat itu menunjukkan bahwa Allah sangat menyukai hamba-hamba-Nya yang bersikap seperti itu.

Ibnu Abi Dunya dalam kitabnya Husnuzh Zhanni Billah menyebut, terdapat 151 teks baik berupa ayat maupun hadis yang menyinggung soal optimistis. Allah memerintahkan manusia untuk menjauhi sikap putus asa, berbuat sebaik-baiknya dan berbaik sangka pada Allah.

Dari teks-teks tersebut, beliau menjabarkan, manusia akan mendapatkan kenyataan bahwa teks tentang janji untuk membalas perbuatan yang baik, jauh lebih besar jumlahnya daripada teks tentang ancaman karena melakukan dosa. Artinya, Allah sangat menggemari hamba-hambaNya yang bekerja dan bersikap dengan pondasi optimistik.

Di sisi lain, Syekh Aidh al-Qarni dalam kitabnya La Tahzan menjabarkan, rasa cinta dan kasih Allah kepada hambaNya sangatlah besar. Hal itu dibuktikan dengan hadirnya dalil-dalil yang menjanjikan rahmat. Jumlah dalil-dalil itu, menurut beliau, bahkan jauh lebih banyak daripada dalil mengenai sanksi.

Sikap optimistis merupakan hal yang positif. Tak hanya itu, sikap optimistis ini ternyata kerap disinggung dalam dalil baik itu di Alquran maupun hadis. Isyarat itu menunjukkan bahwa Allah sangat menyukai hamba-hamba-Nya yang bersikap seperti itu

Ibnu Abi Dunya dalam kitabnya Husnuzh Zhanni Billah menyebut, terdapat 151 teks baik berupa ayat maupun hadis yang menyinggung soal optimistis. Allah memerintahkan manusia untuk menjauhi sikap putus asa, berbuat sebaik-baiknya dan berbaik sangka pada Allah.

Dari teks-teks tersebut, beliau menjabarkan, manusia akan mendapatkan kenyataan bahwa teks tentang janji untuk membalas perbuatan yang baik, jauh lebih besar jumlahnya daripada teks tentang ancaman karena melakukan dosa. Artinya, Allah sangat menggemari hamba-hambaNya yang bekerja dan bersikap dengan pondasi optimistik.

Di sisi lain, Syekh Aidh al-Qarni dalam kitabnya La Tahzan menjabarkan, rasa cinta dan kasih Allah kepada hambaNya sangatlah besar. Hal itu dibuktikan dengan hadirnya dalil-dalil yang menjanjikan rahmat. Jumlah dalil-dalil itu, menurut beliau, bahkan jauh lebih banyak daripada dalil mengenai sanksi.

Musibah, cobaan, serta tantangan hidup yang dialami manusia sesungguhnya telah Allah atur sedemikian rupa sesuai dengan kadar kemampuan manusia itu sendiri. Hal ini ditegaskan dengan sebuah dalil:

“La yukallifullahu nafsan, illa wus-aha,”. Yang artinya: “Tidaklah Allah berikan beban (cobaan) kepada seseorang kecuali berdasarkan kadar dan kemampuan orang tersebut,”. Dan harus dipahami bahwa, terdapat hal-hal yang tersembunyi di balik Allah dalam menentukan kadar tertenu bagi setiap sesuatu.

KHAZANAH REPUBLIKA

Subhanallah, Kita Lelah Saja Disukai Oleh Allah

SETIDAKNYA ada delapan (8) kelelahan manusia yang disukai Allah SWT dan RasulNya. Kedelapan kelelahan tersebut adalah :

1. Lelah dalam berjihad di jalan-Nya (QS. 9:111)

2. Lelah dalam berda’wah/mengajak kepada kebaikan (QS.41:33)

3. Lelah dalam beribadah dan beramal sholeh (QS.29:69)

4. Lelah mengandung, melahirkan, menyusui. merawat dan mendidik putra/putri amanah Illahi (QS. 31:14)

5. Lelah dalam mencari nafkah halal (QS. 62:10)

6. Lelah mengurus keluarga (QS. 66:6)

7. Lelah dalam belajar/menuntut ilmu (QS. 3:79)

8. Lelah dalam kesusahan, kekurangan dan sakit (QS.2:155)

Lelah itu nikmat. Bagaimana mungkin? Logikanya bagaimana? Jika Anda seorang ayah, yang seharian bekerja keras mencari nafkah sehingga pulang ke rumah dalam kelelahan yang sangat. Itu adalah nikmat Allah swt yang luar biasa, karena banyak orang yang saat ini menganggur dan bingung mencari kerja.

Jika Anda seorang istri yang selalu kelelahan dengan tugas rumah tangga dan tugas melayani suami yang tidak pernah habis. Sungguh itu nikmat luar biasa, karena betapa banyak wanita sedang menanti-nanti untuk menjadi seorang istri, namun jodoh tak kunjung hadir.

Jika kita orangtua yang sangat lelah tiap hari, karena merawat dan mendidik anak-anak, sungguh itu nikmat yang luar biasa. Karena betapa banyak pasangan yang sedang menanti hadirnya buah hati, sementara Allah swt belum berkenan memberi amanah.

Lelah dalam mencari nafkah

Suatu ketika Nabi saw dan para sahabat melihat seorang laki-laki yang sangat rajin dan ulet dalam bekerja, seorang sahabat berkomentar: Wahai Rasulullah, andai saja keuletannya itu dipergunakannya di jalan Allah.

Rasulullah saw menjawab: Apabila dia keluar mencari rezeki karena anaknya yang masih kecil, maka dia di jalan Allah. Apabila dia keluar mencari rejeki karena kedua orang tuanya yang sudah renta, maka dia di jalan Allah. Apabila dia keluar mencari rejeki karena dirinya sendiri supaya terjaga harga dirinya, maka dia di jalan Allah. Apabila dia keluar mencari rejeki karena riya dan kesombongan, maka dia di jalan setan. (Al-Mundziri, At-Targhb wa At-Tarhb).

Sungguh penghargaan yang luar biasa kepada siapa pun yang lelah bekerja mencari nafkah. Islam memandang bahwa usaha mencukupi kebutuhan hidup di dunia juga memiliki dimensi akhirat.

Bahkan secara khusus Rasulullah saw memberikan kabar gembira kepada siapa pun yang kelelahan dalam mencari rejeki. Barangsiapa pada malam hari merasakan kelelahan mencari rejeki pada siang harinya, maka pada malam itu ia diampuni dosanya oleh Allah swt.

Subhanallah, tidak ada yang sia-sia bagi seorang muslim, kecuali di dalamnya selalu ada keutamaan.

Kelelahan dalam bekerja bisa mengantarkan meraih kebahagiaan dunia berupa harta, di sisi lain dia mendapatkan keutamaan akhirat dengan terhapusnya dosa-dosa. Syaratnya bekerja dan lelah. Bukankah ini bukti tak terbantahkan, bahwa kelelahan ternyata nikmat yang luar biasa?

Kelelahan mendidik anak

Di hari kiamat kelak, ada sepasang orangtua yang diberi dua pakaian (teramat indah) yang belum pernah dikenakan oleh penduduk bumi. Keduanya bingung dan bertanya: Dengan amalan apa kami bisa memperoleh pakaian seperti ini? Dikatakan kepada mereka: Dengan (kesabaran)mu dalam mengajarkan Al-Quran kepada anak-anakmu.

Merawat dan mendidik anak untuk menjadi generasi shaleh/shalehah bukan urusan yang mudah. Betapa berat dan sangat melelahkan. Harta saja tidak cukup.

Betapa banyak orang-orang kaya yang anaknya gagal karena mereka sibuk mencari harta, namun abai terhadap pendidikan anak. Mereka mengira dengan uang segalanya bisa diwujudkan. Namun, uang dibuat tidak berdaya saat anak-anak telah menjadi pendurhaka.

Berbahagialah manusia yang selama ini merasakan kelelahan dan berhati-hatilah yang tidak mau berlelah-lelah. Segala sesuatu ada hitungannya di sisi Allah swt. Kebaikan yang besar mendapat keutamaan, kebaikan kecil tidak akan pernah terlupakan.

Rasulullah saw bersabda: Pahalamu sesuai dengan kadar lelahmu.

Allah swt akan selalu menilai dan menghitung dengan teliti dan tepat atas semua prestasi hidup kita, sebagaimana firman-Nya: Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan di perlihatkan kepadanya. Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna. 

INILAH MOZAIK

Membaca Dzikir ini Setara dengan Menanam Pohon di Surga

Membaca Dzikir ini Setara dengan Menanam Pohon di SurgaSHAREIBADAH

Membaca Dzikir ini Setara dengan Menanam Pohon di Surga

Fera Rahmatun Nazilah13 Januari 2020  4538

Membaca Dzikir ini Setara dengan Menanam Pohon di Surga

Setiap manusia tentu saja mendambakan surga dan pertemuan dengan Rabb nya di akhirat kelak. Di antara berbagai ibadah, ada amalan kecil yang bisa mengantarkan pelaksananya menuju surga, salah satunya adalah dzikir.

Rasulullah SAW pernah menyebutkan dzikir yang apabila diucapkan seorang muslim, maka akan ditanamkan untuknya satu pohon di surga dari setiap bacaannya. Dzikir ini sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW kepada Abu Hurairah.

Suatu ketika Abu Hurairah sedang menanam tanaman. Tiba-tiba Rasulullah SAW lewat di hadapannya. Beliau pun bertanya “Wahai Abu Hurairah, pohon apa yang sedang kamu tanam?” “Tanaman milikku” jawab Abu Hurairah.

Melihat antusias Abu Hurairah menanam pohon, Rasulullah SAW kembali bertanya “Maukah kamu kutunjukkan tanaman yang lebih baik dari milikmu ini?”

“Tentu saja mau ya Rasulullah,” jawab Abu Hurairah bersemangat. Terbayang di fikirannya tanaman-tanaman yang lebih baik dari miliknya.

Rasulullah SAW kemudian bersabda “Ucapkanlah Subhanallah walhamdulillah wa laa ilaaha illallah wallahu akbar, maka akan ditanamkan satu pohon untukmu di surga dari setiap bacaannya.”

(Disarikan dari hadis riwayat Ibnu Majah)

Wallahu a’lam bisshawab

ISLAMIco

Arti Pahala dan Sanksi dalam Al-Qur’an

Hukum-hukum yang dipaparkan oleh Islam bukan sekedar nasihat ataupun bimbingan belaka. Namun dibalik setiap hukum itu ada pahala bagi yang mengikutinya dan ada sanksi bagi yang melanggarnya.

Pahala dan sanksi di ukur dari dua sisi, yakni dilihat dari “perbuatan apa” yang dilakukan dan juga dilihat dari “siapa yang melakukan”.

Sebenarnya semua pahala dan sanksi itu akan diberikan kelak di Akhirat, namun demi kelanggengan dan keseimbangan kehidupan di dunia maka ada sanksi-sanksi yang diberikan bagi mereka yang melanggar hukum Allah di dunia. Dan sanksi di dunia itu akan dijalankan oleh orang-orang yang diberi wewenang untuk memberikan sanksi tersebut.

Bila kita bertanya, apa maksud dari adanya pahala dan siksa? Apa yang diinginkan agama dibalik “iming-iming” pahala dan “ancaman” siksa bagi manusia?

Sebenarnya filosofi dari adanya pahala dan siksa itu sangat jelas, yaitu agar manusia sadar bahwa segala sesuatu yang ia perbuat ataupun ia ucapkan kelak akan dipertanggung jawabkan. Dan semua yang ia lakukan memiliki nilai yang akan ia panen kelak.

Nilai dari perbuatan baik adalah pahala dan kenikmatan sementara nilai dari keburukan adalah dosa dan siksa.

فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرٗا يَرَهُۥ – وَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٖ شَرّٗا يَرَهُۥ

“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS.Az-Zalzalah:7)

Kelak semuanya akan tersaring. Orang-orang yang berjuang untuk menjalankan ketaatan dan bersabar untuk melawan desakan syahwatnya, maka ia akan berada dalam golongan orang-orang yang memanen pahala. Dan mereka yang menyembah dan mengikuti semua ajakan syahwatnya akan berada dalam golongan orang-orang yang sengsara.

Bila pahala dan siksa itu tidak ada maka kebaikan dan keburukan itu sama sekali tak ada nilainya. Dan kehidupan ini menjadi sia-sia. Orang yang berbuat kebaikan merasa tak ada nilainya dan orang yang berbuat keji merasa tidak punya beban untuk berbuat sesukanya.

Dalam kisah Dzul Qornain, Al-Qur’an mengutip pernyataannya :

قَالَ أَمَّا مَن ظَلَمَ فَسَوۡفَ نُعَذِّبُهُۥ ثُمَّ يُرَدُّ إِلَىٰ رَبِّهِۦ فَيُعَذِّبُهُۥ عَذَابٗا نُّكۡرٗا

Dia (Zulkarnain) berkata, “Barangsiapa berbuat zhalim, kami akan menghukumnya, lalu dia akan dikembalikan kepada Tuhannya, kemudian Tuhan mengazabnya dengan azab yang sangat keras.” (QS.Al-Kahfi:87)

وَأَمَّا مَنۡ ءَامَنَ وَعَمِلَ صَٰلِحٗا فَلَهُۥ جَزَآءً ٱلۡحُسۡنَىٰۖ وَسَنَقُولُ لَهُۥ مِنۡ أَمۡرِنَا يُسۡرٗا

“Adapun orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka dia mendapat (pahala) yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami sampaikan kepadanya perintah kami yang mudah-mudah.” (QS.Al-Kahfi:88)

Karena itu dalam Al-Qur’an Allah sering membicarakan tentang pahala dan sanksi agar membuat manusia menjadi rindu dengan pahala dan sekaligus takut dengan sanksi-Nya.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Dalam Islam, Lelaki Itu Jantan!

Banyak adab-adab dalam Islam bagi para lelaki yang mengarahkan mereka untuk jadi lelaki sejati. Maka yang menerapkan adab-adab tersebut insya Allah jauh dari suka sesama jenis atau LGBT, bahkan akan jadi lelaki yang sejati.

  1. Islam melarang laki-laki menyerupai wanita

Tidak diperbolehkan menyerupai lawan jenis dalam bertingkah-laku, berkata-kata, dan dalam semua perkara demikian juga dalam hal berpakaian. Laki-laki tidak boleh menyerupai wanita, demikian juga sebaliknya. Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu, beliau berkata:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنْ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan para wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Bukhari no. 5885).

Dalam riwayat lain dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhu, ia berkata:

لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُخَنَّثِينَ مِنْ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنْ النِّسَاءِ وَقَالَ أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat laki-laki yang kebanci-bancian dan para wanita yang kelaki-lakian”. Dan Nabi juga bersabda: “keluarkanlah mereka dari rumah-rumah kalian!” (HR. Bukhari no. 5886).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

ثلاثةٌ لا يَدخلُونَ الجنةَ: العاقُّ لِوالِدَيْهِ ، و الدَّيُّوثُ ، ورَجِلَةُ النِّساءِ

“Tidak masuk surga orang yang durhaka terhadap orang tuanya, ad dayyuts, dan wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Al Baihaqi dalam Al Kubra 10/226, Ibnu Khuzaimah dalam At Tauhid 861/2, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’, 3063).

Maka hendaknya para lelaki gunakan pakaian yang dikenal sebagai pakaian lelaki, demikian juga wanita hendaknya gunakan pakaian yang dikenal sebagai pakaian wanita.

1.Islam mengharamkan lelaki memakai pakaian dan perhiasan yang menjadi kekhususan bagi wanita

Islam membolehkan sebagian pakaian dan perhiasan khusus bagi wanita namun haram bagi lelaki, agar terbedakan penampilan wanita dan lelaki

Diantaranya, laki-laki Muslim dilarang menggunakan pakaian dari sutra. Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَن لبِس الحريرَ في الدُّنيا لم يلبَسْه في الآخرةِ وإنْ دخَل الجنَّةَ لبِسه أهلُ الجنَّةِ ولم يلبَسْه هو

“Barangsiapa yang memakai pakaian dari sutra di dunia, dia tidak akan memakainya di akhirat. Walaupun ia masuk surga dan penduduk surga yang lain memakainya, namun ia tidak memakainya” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya, no. 5437, dishahihkan oleh Al Aini dalam Nukhabul Afkar 13/277).

Ath Thahawi rahimahullah mengatakan:

الآثار متواترة بذلك

“Hadits-hadits tentang ini (larangan memakai sutra) mutawatir” (Syarah Ma’anil Atsar, 4/246).

Dan larangan ini berlaku untuk laki-laki. Adapun wanita dibolehkan menggunakan pakaian sutra. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

أُحلَّ الذهبُ والحريرُ لإناثِ أُمتي، وحُرِّم على ذكورِها

“Dihalalkan emas dan sutra bagi wanita dari kalangan umatku, dan diharamkan bagi kaum laki-lakinya” (HR. An Nasa’i no. 5163, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa’i).

Demikianlah, agar laki-laki terbedakan dari wanita dari segi cara berpakaian.

2.Islam mewajibkan suami mencari nafkah, sedangkan istri tidak wajib bahkan untuk dibolehkan ada syarat-syaratnya

Memberi nafkah merupakan kewajiban seorang suami. Islam telah menjadikan sikap menyia-nyiakan hak istri, anak-anak serta kedua orang tua dalam nafkah termasuk dalam kategori dosa besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كفى بالمرء إثما أن يضيع من يقوت

“Cukuplah seseorang itu berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud. Al Hakim berkata bahwa sanad hadits ini shahih).

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membolehkan bahkan menganjurkan menimbang faktor kemampuan memberi nafkah dalam memilih suami. Seperti kisah pelamaran Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha:

عن فاطمة بنت قيس رضي الله عنها قالت‏:‏ أتيت النبي صلى الله عليه وسلم، فقلت‏:‏ إن أبا الجهم ومعاوية خطباني‏؟‏ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم‏:‏‏”‏أما معاوية، فصعلوك لا مال له ، وأما أبوالجهم، فلا يضع العصا عن عاتقه‏

“Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, ia berkata: ‘Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku berkata, “Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Adapun Mu’awiyah adalah orang fakir, ia tidak mempunyai harta. Adapun Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya”.” (HR. Bukhari-Muslim)

Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merekomendasikan Muawiyah radhiyallahu ‘anhu karena miskin. Maka ini menunjukkan bahwa masalah kemampuan memberi nafkah perlu diperhatikan.

Adapun wanita, tidak ada kewajiban bekerja dan mencari nafkah. Bahkan lebih utama bagi mereka untuk lebih banyak di rumah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ

“Dan tinggal-lah kalian (para wanita) di rumah-rumah kalian.” (QS. Al Ahzab [33]: 33)

Ibnu Katsir menjelaskan, “Ayat ini menunjukkan bahwa wanita tidak boleh keluar rumah kecuali ada kebutuhan” (Tafsir Al Quran Al Adzim 6/408).

3. Islam mewajibkan lelaki shalat berjamaah di masjid, sedangkan wanita lebih baik di rumah

Laki-laki wajib menunaikan shalat berjama’ah di masjid. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لقد هممت أن آمر بالصلاة فتقام ثم آمر رجلا فيصلي بالناس ثم أنطلق معي برجال معهم حزم من حطب إلى قوم لا يشهدون الصلاة فأحرق عليهم بيوتهم بالنار

Sungguh aku benar-benar berniat untuk memerintahkan orang-orang shalat di masjid, kemudian memerintahkan seseorang untuk menjadi imam, lalu aku bersama beberapa orang pergi membawa kayu bakar menuju rumah-rumah orang yang tidak menghadiri shalat jama’ah lalu aku bakar rumahnya” (HR. Bukhari no. 7224, Muslim no. 651).

Andaikan di rumah-rumah tidak ada wanita dan anak-anak kecil, beliau sudah melakukan hal tersebut. Sebagaimana dalam riwayat Ahmad disebutkan bahwa beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

لولا ما في البيوتِ مِنَ النِّساءِ والذرِّيَّةِ لَأقَمتُ الصَّلاةَ، صلاةَ العشاءِ، وأَمَرتُ فتياني يُحَرِّقون ما في البيوتِ بالنَّارِ

Andaikan di rumah-rumah tidak ada wanita dan anak-anak kecil sungguh aku akan dirikan shalat Isya kemudian aku perintahkan para pemuda untuk membakar rumah-rumah dengan api” (HR. Ahmad no. 8796, dishahikan oleh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Al Musnad).

Maka tidak mungkin sikap beliau demikian tegas dan kerasnya, andaikan shalat berjamaah di masjid hanya disunnahkan.

Adapun wanita, sebagaimana dipahami dalam hadits Abu Hurairah di atas, mereka (wanita) tidak wajib shalat berjama’ah di masjid. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak jadi menghukum orang-orang yang mangkir shalat jama’ah dikarenakan di rumah-rumah ada para wanita. Menunjukkan para wanita tidak wajib shalat di masjid. 

Kemudian dalam hadits Ummu Humaid radhiallahu’anha, beliau berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُحِبُّ الصَّلاةَ مَعَكَ قَالَ قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلاةَ مَعِي وَصَلاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ وَصَلاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاتِكِ فِي دَارِكِ وَصَلاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي مَسْجِدِي قَالَ فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسْجِدٌ فِي أَقْصَى شَيْءٍ مِنْ بَيْتِهَا وَأَظْلَمِهِ فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لَقِيَتْ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ

“Wahai Rasulullah, saya ingin shalat bersama anda.” Maka Nabi menjawab: “Aku sudah tahu bahwa engkau ingin shalat bersamaku, namun shalatmu di kamar tempatmu tidur lebih baik daripada shalatmu di kamarmu. Shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di ruang tengah rumahmu. Shalatmu di ruang tengah rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kampungmu. Dan shalatmu di masjid kampungmu, lebih baik daripada shalatmu di masjidku ini”. Ummu Humaid lalu meminta untuk dibangunkan tempat shalat di pojok kamarnya yang paling gelap. Dan biasa melakukan shalat di sana hingga berjumpa dengan Allah ‘Azza wa Jalla (yaitu hingga beliau wafat)” (HR. Ibnu Hibban no. 2217, Ibnu Khuzaimah no. 1689, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Khuzaimah).

4.Islam mewajibkan shalat jum’at, sedangkan wanita tidak diwajibkan

Ulama ijma’ (sepakat) bahwa wanita tidak wajib melaksanakan shalat jum’at. Dari Thariq bin Syihab radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الجمعةُ حقٌّ واجبٌ على كلِّ مسلمٍ فبجماعةٍ إلاَّ أربعةً عبدٌ مملوكٌ أوِ امرأةٌ أو صبيٌّ أو مريضٌ

“Shalat Jum’at adalah wajib bagi setiap Muslim dengan berjama’ah kecuali empat orang: hamba sahaya, wanita, anak kecil, orang sakit” (HR. Abu Daud no. 1067, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

5.Islam mensyariatkan ketika mengingatkan imam dalam shalat, lelaki dengan suara, wanita dengan tepukan.

Menunjukkan bahwa lelaki boleh lantang, sedangkan wanita dikedepankan sitr (menutup diri) dan malu. Dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا لِي رَأَيْتُكُمْ أَكْثَرْتُمُ التَّصْفِيقَ، مَنْ رَابَهُ شَيْءٌ فِي صَلاَتِهِ، فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ التُفِتَ إِلَيْهِ، وَإِنَّمَا التَّصْفِيقُ لِلنِّسَاءِ

“Mengapa kalian tadi banyak bertepuk tangan? Barangsiapa menjadi makmum lalu merasa ada kekeliruan dalam shalat, hendaklah dia membaca tasbih. Karena jika dibacakan tasbih, dia (imam) akan memperhatikannya. Sedangkan tepuk tangan itu untuk wanita.” (HR. Bukhari no. 684 dan Muslim no. 421).

6. Islam menganjurkan agar lelaki tidak sisiran tiap hari

Laki-laki tidak boleh berlebihan dalam merawat rambut sehingga sibuk dandan dan bersolek. Karena dandan dan bersolek itu tabiat wanita. Dari Abdullah bin Mughaffal radhiallahu’anhu:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ التَّرَجُّلِ إِلَّا غِبًّا

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarang laki-laki menyisir rambutnya kecuali ghibban (sehari menyisir, sehari tidak)” (HR. Abu Daud no.3628, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Bukan berarti tidak boleh menyisir setiap hari, namun makna hadits ini adalah larangan berlebihan dalam berdandan bagi lelaki. Sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Buraidah radhiallahu’anhu:

كانَ ينْهانا عن كثيرٍ منَ الإرفاهِ

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang kami terlalu banyak berdandan” (HR. Abu Daud no. 4160, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Asy Syaukani menjelaskan hadits Abdullah bin Mughaffal dengan mengatakan:

والحديث يدل على كراهة الاشتغال بالترجيل في كل يوم؛ لأنه نوع من الترفه

“Hadits ini menunjukkan dimakruhkannya menyibukkan diri dengan menyisir rambut setiap hari. Karena ini adalah bentuk terlalu banyak berdandan” (Nailul Authar, 1/159).

7. Islam melarang lelaki mencukur jenggot

Diantara hikmahnya agar wajah lelaki tidak halus lembut seperti wanita. Banyak sekali dalil-dalil yang memerintahkan kaum lelaki untuk memelihara jenggot. Dan semuanya menggunakan gaya bahasa perintah. Dari Ibnu Umar radhiallahu’anhuma, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ ، وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ

“Bedakan diri kalian dengan orang-orang Musyrikin, lebatkanlah jenggot dan pendekkanlah kumis” (HR. Bukhari no. 5892, Muslim no. 259).

Dari Ibnu Umar radhiallahu’anhuma, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

انهكوا الشواربَ ، وأعفوا اللحى

“Pendekkanlah kumis dan biarkanlah jenggot” (HR. Bukhari no. 5893, Muslim no. 259).

Oleh karena itu tidak diperbolehkan memangkas jenggot, hukumnya haram. Terlebih lagi memangkas habis jenggot, para ulama mutaqaddimin ijma (sepakat) tentang keharamannya.

Ibnu Hazm mengatakan;

واتَّفَقوا أنَّ حَلقَ جميعِ اللِّحيةِ مُثْلةٌ لا تجوزُ

“Para ulama sepakat bahwa memangkas habis jenggot adalah sebuah maksiat, tidak diperbolehkan” (Maratibul Ijma’, 120).

Ibnu Qathan mengatakan:

واتفقوا أن حلق اللحية : مُثْلَة ، لا تجوز

“Ulama sepakat bahwa memangkas habis jenggot adalah maksiat, tidak diperbolehkan” (Al Iqna fi Masail Al Ijma‘, 2/3953).

8. Islam mensyariatkan jihad bagi lelaki. Sedangkan jihad bagi wanita adalah haji

Jihad adalah amalan yang utama dan tinggi. Allah ta’ala berfirman:

لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلّاً وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْراً عَظِيماً

“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai udzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk, satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar” (QS. An-Nisaa: 95)

Namun jihad itu hanya wajib bagi lelaki, wanita tidak ada kewajiban jihad perang. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bertanya kepada Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam, 

يَا رَسَوْلَ اللهِ، هَلْ عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ؟ قَالَ: جِهَادٌ لاَ قِتَالَ فِيْهِ، اَلْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ.

“Wahai Rasulullah, apakah ada jihad bagi wanita?” Beliau menjawab, “Jihad yang tidak ada peperangan di dalamnya, yaitu haji dan umrah” (HR. Ibni Majah II/968, no. 2901, dishahihkan Al Albani dalam Shahih al-Jami’ish Shaghir no. 2345).

9. Disyariatkan pula semua hal yang termasuk i’dad jihad (persiapan jihad)

Seperti berlatih berkuda, memanah, berenang, bahkan termasuk juga bela diri, lari, dan melatih fisik. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu’anhu) ia berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: 

عَلَيْكُمْ بِالرَّمْيِ ، فَإِنَّهُ خَيْرٌ لَعِبِكُمْ

“hendaknya kalian latihan menembak karena itu permainan yang paling bagus bagi kalian” (HR. Al Bazzar dalam Musnad-nya (1048), Al ‘Athar dalam Juz-nya (52), Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Ausath (2093), dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 2/204-205).

Imam Nawawi ketika menjelaskan hadits:

ألا إنَّ القوةَ الرميُ

“ketahuilah bahwa al quwwah itu adalah skill menembak”

Beliau menjelaskan: “Dalam hadits ini dan hadits-hadits lain yang semakna ada keutamaan skill menembak serta keutamaan skill militer, juga anjuran untuk memberi perhatian pada hal tersebut dengan niat untuk jihad fii sabiilillah. Termasuk juga latihan keberanian dan latihan penggunaan segala jenis senjata. Juga perlombaan kuda, serta hal-hal lain yang sudah dijelaskan sebelumnya. Maksud dari semua ini adalah untuk latihan perang, mengasah skill dan mengolah-ragakan badan” (Syarh Shahih Muslim, 4/57).

10. Islam melarang khalwat dan ikhtilat

Diantara hikmahnya lelaki akan lebih sering berkumpul bersama para lelaki dan terbentuk karakter lelaki. Munculnya sifat kewanitaan terkadang karena sering berkumpul dengan para wanita. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ

“Tidak boleh seorang laki-laki berduaan dengan perempuan kecuali dengan ditemani mahramnya” (HR. Bukhari no. 5233 dan Muslim no. 1341).

Imam An Nawawi berkata: “adapun jika lelaki ajnabi dan wanita ajnabiyah berduaan tanpa ada orang yang ketiga bersama mereka, hukumnya haram menurut ijma ulama. Demikian juga jika ada bersama mereka orang yang mereka berdua tidak malu kepadanya, semisal anak-anak kecil seumur dua atau tiga tahun, atau semisal mereka, maka adanya mereka sama dengan tidak adanya. Demikian juga jika para lelaki ajnabi berkumpul dengan para wanita ajnabiyyah di suatu tempat, maka hukumnya juga haram” (Syarh Shahih Muslim, 9/109).

11. Islam menganjurkan untuk bersegera menikah.

Diantara hikmahnya, dengan menikah lelaki akan semakin timbul kelaki-lakiannya, dan wanita semakin timbul kewanitaannya. Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda, barangsiapa yang sudah sanggup menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu obat pengekang nafsunya” (HR. Bukhari no. 5056, Muslim no. 1400).

12. Islam melarang istri menolak ajakan berhubungan intim dari suami, bahkan bercumbu dengan istri termasuk sedekah.

Lebih sering terjadi percumbuan dan hubungan intim antara suami istri, lebih baik. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ » قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ « أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ

“Hubungan intim antara kalian adalah sedekah”. Para sahabat lantas ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin kami mendatangi istri kami dengan syahwat itu malah mendapatkan pahala?’ Beliau menjawab, ‘Bukankah jika kalian bersetubuh pada wanita yang haram, kalian mendapatkan dosa? Maka demikian pula jika kalian bersetubuh dengan wanita yang halal, kalian akan mendapatkan pahala” (HR. Muslim no. 1006).

13. Islam menganjurkan untuk memiliki banyak anak

Tentu ini juga mempertajam sifat kelaki-lakian sang ayah. Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih calon istri yang subur,

تزوجوا الودود الولود فاني مكاثر بكم الأمم

“Nikahilah wanita yang penyayang dan subur! Karena aku berbangga dengan banyaknya ummatku.” (HR. An Nasa’I, Abu Dawud. Dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih Misykatul Mashabih).

14. Islam mengajarkan adab berjalan bagi lelaki yang jantan

Jalan yang baik bagi lelaki adalah tegap, gagah, tenang tapi tidak lambat, tidak seperti orang malas dan juga tidak gemulai. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berjalan dengan enerjik, mengerahkan tenaganya, bukan jalannya orang yang malas atau loyo. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَشَى، مَشَى مَشْيًا مُجْتَمِعًا يُعْرَفُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمَشْيِ عَاجِزٍ وَلا كَسْلانَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika berjalan beliau berjalan dengan enerjik, sehingga sangat terlihat bahwa beliau bukan orang yang lemah dan juga bukan orang yang malas” (HR. Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, dihasankan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 2140).

Maka berjalan yang baik adalah dengan tenang dan berwibawa tidak harus lambat dan loyo. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berjalan dengan tenang dan berwibawa namun juga cepat dan bertenaga. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:

إذا مشَى تكفَّأ تكفُّؤًا كأنَّما ينحَطُّ من صبَبٍ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika berjalan menghentakkan kakinya seakan-akan ia turun dari tempat yang tinggi” (HR. At-Tirmidzi dalam Asy-Syamail Al-Muhammadiyyah, no.120, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Mukhtashar Asy-Syamail).

Ali Al-Qari menjelaskan makna hadits tersebut dengan mengatakan:

وَالْمَعْنَى يَمْشِي مَشْيًا قَوِيًّا سَرِيعًا. وَفِي شَرْحِ السُّنَّةِ: الصَّبَبُ الْحُدُورُ، وَهُوَ مَا يَنْحَدِرُ مِنَ الْأَرْضِ يُرِيدُ لَهُ أَنَّهُ كَانَ يَمْشِي مَشْيًا قَوِيًّا يَرْفَعُ رِجْلَيْهِ مِنَ الْأَرْضِ رَفْعًا بَائِنًا لَا كَمَنْ يَمْشِي اخْتِيَالًا وَيُقَارِبُ خُطَاهُ تَنَعُّمًا

“Maknanya, beliau berjalan dengan jalan yang kuat dan cepat. Dalam Syarhus Sunnah, ash-shabab artinya al-hudur, yaitu jalan yang digunakan untuk turun dari suatu tempat. Maksudnya, beliau berjalan dengan jalan yang kuat, dengan benar-benar mengangkat kakinya dari tanah, bukan seperti jalannya orang yang sombong atau seperti orang yang santai-santai” (Mirqatul Mafatih Syarah Misykatul Mashabih, 9/3704).

Dan masih banyak lagi insya Allah adab-adab yang lain yang jika kita renungkan ternyata membuat seorang lelaki menjadi lelaki sejati.

Belum lagi jika kita membaca sirah para Nabi dan sahabat Nabi, mereka adalah lelaki sejati. Mereka gagah perkasa, baik dalam jihad ilmu maupun dalam jihad perang.

Wallahu a’lam bis shaab.

*

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53983-dalam-islam-lelaki-itu-jantan.html

Jika Kau Seorang Ibu…

JADILAH seperti Nuwair binti Malik yang berhasil menumbuhkan kepercayaan diri dan mengembangkan potensi anaknya. Saat itu sang anak masih remaja. Usianya baru 13 tahun.

Ia datang membawa pedang yang panjangnya melebihi panjang tubuhnya, untuk ikut perang badar. Rasulullah tidak mengabulkan keinginan remaja itu. Ia kembali kepada ibunya dengan hati sedih. Namun sang ibu mampu meyakinkannya untuk bisa berbakti kepada Islam dan melayani Rasulullah dengan potensinya yang lain.

Tak lama kemudian ia diterima Rasulullah karena kecerdasannya, kepandaiannya menulis dan menghafal Quran. Beberapa tahun berikutnya, ia terkenal sebagai sekretaris wahyu. Karena ibu, namanya akrab di telinga kita hingga kini: Zaid bin Tsabit.

Jika suatu saat nanti kau jadi ibu…

Jadilah seperti Shafiyyah binti Maimunah yang rela menggendong anaknya yang masih balita ke masjid untuk shalat Subuh berjamaah. Keteladanan dan kesungguhan Shafiyyah mampu membentuk karakter anaknya untuk taat beribadah, gemar ke masjid dan mencintai ilmu. Kelak, ia tumbuh menjadi ulama hadits dan imam Madzhab. Ia tidak lain adalah Imam Ahmad.

Jika suatu saat nanti kau jadi ibu…

Jadilah ibu yang terus mendoakan anaknya seperti Ummu Habibah. Sejak anaknya kecil, ibu ini terus mendoakan anaknya. Ketika sang anak berusia 14 tahun dan berpamitan untuk merantau mencari ilmu, ia berdoa di depan anaknya:

“Ya Allah Tuhan yang menguasai seluruh alam! Anakku ini akan meninggalkan aku untuk berjalan jauh, menuju keridhaanMu. Aku rela melepaskannya untuk menuntut ilmu peninggalan Rasul-Mu. Oleh karena itu aku bermohon kepada-Mu ya Allah, permudahlah urusannya. Peliharalah keselamatannya, panjangkanlah umurnya agar aku dapat melihat sepulangnya nanti dengan dada yang penuh dengan ilmu yang berguna, aamiin!”.

Doa-doa itu tidak sia-sia. Muhammad bin Idris, nama anak itu, tumbuh menjadi ulama besar. Kita mungkin tak akrab dengan nama aslinya, tapi kita pasti mengenal nama besarnya: Imam Syafii.

Jika suatu saat nanti kau jadi ibu…

Jadilah orang yang pertama kali yakin bahwa anakmu pasti sukses. Dan kau menanamkan keyakinan yang sama pada anakmu. Seperti ibunya Zewail yang sejak anaknya kecil telah menuliskan “Kamar DR. Zewail” di pintu kamar anak itu.

Ia menanamkan kesadaran sekaligus kepercayaan diri. Diikuti keterampilan mendidik dan membesarkan buah hati, jadilah Ahmad Zewail seorang doktor. Bukan hanya doktor, bahkan doktor terkemuka di dunia. Dialah doktor Muslim penerima Nobel bidang Kimia tahun 1999.

Lamunan untuk kita yang dititipi Allah calon ayah dan ibu masa depan. Ingatlah ayah bunda, anak kita akan terus tumbuh dan tumbuh. Isi jiwanya, damaikan hatinya, dorong dia untuk merengkuh cakrawala hidup yg ia pilih. Semoga anak-anak kita senantiasa dalam lindunganNya. Amiin.

INILAH MOZAIK

Raih 5 Kebahagiaan dalam 15 Menit

LANGKAH ini membuat aku kagum hingga aku pilih untuk aku bagikan kepada orang yang aku cintai. Ada Lima perkara, kita semua pasti inginkan serta berusaha untuk mendapatkannya:

1. Wajah yang menarik
2. Uang yang banyak
3. Sehat dan kuat
4. Anak-anak yang patuh dan sukses
5. Tidur nyenyak tanpa obat penenang

Hal itu Mudah kita peroleh, hanya butuh waktu 15 menit saja.

Bagaimana caranya?

1. Nabi bersabda : Barangsiapa yang tinggalkan salat Subuh maka wajahnya tak akan ada cahaya

2. Barangsiapa yang tinggalkan salat Dzuhur niscaya tak ada keberkahan dalam rezekinya.

3. Barangsiapa yang tinggalkan salat Ashar niscaya tak ada kekuatan dalam jasadnya.

4. Barangsiapa yang tinggalkan salat Magrib niscaya tak ada buah hasil yang boleh di petik dari anak-anaknya.

5. Barangsiapa yang tinggalkan salat Isya’ tak ada kenyamanan dalam tidurnya.

Tahu kenapa kalimat Laa ilaaha Illallaah tidak sampai menggerakkan bibir jika diucapkan. Sebab ini adalah Rahmat dari Allah kepada kita supaya jika maut menghampiri dengan mudah ia menyebutkan kalimat itu. []

INILAH MOZAIK

Menantu Tidak Berkewajiban Menafkahi Mertua?

Pertanyan:

Siapakah yang berkewajiban menafkahi mertua ustadz, saya seorang suami melihat mertua selalu minta jatah uang bulanan ke istri saya. Padahal mertua saya punya anak laki-laki juga. Terimakasih.

Jawaban:

Bismillah, alhamdulillaah wasshalaatu wassalaamu ‘ala rasuulillaah. Ammaa ba’du;

Seorang laki-laki yang telah menikah wajib menafkahi istrinya. Adapun mertuanya tidaklah termasuk tanggungan wajib. Maka tidak dibenarkan jika seorang istri mengambil harta suaminya untuk diberikan kepada orang tuanya kecuali dengan izin serta keridhaan suami.

Lantas siapakah yang wajib menafkahi mertua?

Yang wajib menafkahi mertua adalah anak-anaknya. Sekiranya seorang istri memiliki harta pribadi (bukan harta suami) dan dia memiliki harta yang lebih dari kebutuhannya, maka wajib baginya untuk menafkahi kedua orang tuanya yang fakir. Karena secara umum menafkahi kedua orang tua adalah kewajiban atas anak, baik laki-laki ataupun perempuan. Dan hal itu termasuk bentuk bakti kepada keduanya.

Ibnul Mundzir (318 H) berkata:

أجمع أهل العلم على أن نفقة الوالدين الفقيرين اللذين لا كسب لهما، ولا مال، واجبة في مال الولد…

“Telah sepakat ahli ilmu bahwa nafkah kedua orang tua yang fakir yang tidak memiliki penghasilan dan tidak memiliki harta adalah sebuah kewajiban pada harta seorang anak. (Al-Mughni: 8/212)

Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu anha, Nabi ﷺbersabda:

إنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ، وَإِنَّ وَلَدَهُ مِنْ كَسْبِهِ.» رواه أبو داود.

“Sungguh sebaik-baik makanan yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil usahanya dan sesungguhnya anak dia adalah bagian dari hasil usahanya.” (HR. Abu Dawud)

Hadits ini menerangkan bahwa orang tua memiliki hak atas harta anaknya. Maka boleh bagi keduanya untuk mengambil darinya. Tentu dengan beberapa syarat seperti;

(1) Mengambil sebatas yang tidak bermudharat bagi anaknya,

(2) Tidak mengambil harta yang berkaitan dengan kebutuhan anak,

(3) Tidak mengambil untuk diberikan kepada anaknya yang lain. Dan sebagian ulama menjelaskan hal tersebut hanya diperbolehkan dalam kondisi ketika orang tua membutuhkan saja.

Seorang anak -baik laki ataupun perempuan- wajib untuk menafkahi kedua orang tuanya apabila dalam kondisi berikut;

Pertama: Fakirnya kedua orang tua serta tidak mampunya mereka bekerja,

Kedua: Anak berkecukupan dan memiliki harta yang lebih dari kebutuhannya.

Akan tetapi telah terjadi perselisihan dikalangan para ulama siapakah yang wajib menafkahi kedua orang tua apabila memiliki anak laki-laki dan perempuan.

Ibnu Qudamah (682 H) dalam Al-Mugni berkata:

وإن اجتمع ابن وبنت، فالنفقة بينهما أثلاثا، كالميراث. وقال أبو حنيفة: النفقة عليهما سواء؛ وقال الشافعي: النفقة على الابن؛ لأنه العصبة.

“Jika berkumpul anak laki-laki dan perempuan, maka nafkah antara keduanya dibagi sepertiga bagian seperti dalam warisan. Dan berkata Abu Hanifah: Nafkah atas keduanya sama. Dan berkata Syafi’i: Nafkah itu atas anak laki-laki, karena ia adalah Ashabah (Ahli waris yang bagiannya tidak ditentukan).” (Al-Mughni: 8/219)

Maksud dari “antara keduanya dibagi sepertiga bagian seperti dalam warisan” yaitu karena dalam warisan bagian satu orang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan. Misal orang tua yang memiliki satu anak laki-laki dan satu anak perempuan maka anak laki-laki wajib memberikan nafkah dua pertiga bagian dan anak perempuan sepertiga bagian. Apabila memiliki satu anak laki-laki dan dua anak perempuan maka nafkah dibagi empat bagian dua bagian atas anak laki-laki dan dua bagian atas dua anak perempuannya. Dan begitu seterusnya.

Ini adalah yang wajib, akan tetapi sekiranya salah satu dari mereka telah mencukupi nafkah orang tuanya maka gugur kewajiban nafkah atas saudara yang lain. Dan baginya pahala disisi Allah Ta’ala. Atau semua sepakat dengan jumlah tertentu atas masing-masing mereka.

Wallahu ta’ala a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Idwan Cahyana, Lc.

KONSULTASI SYARIAH

Dahulukan Mana Bersedekah Apa Bayar Utang?

KITA diajarkan untuk mendahulukan kewajiban sebelum amal yang sifatnya anjuran. Baik kewajiban terkait hak Allah maupun kewajiban terkait hak makhluk. Ada kaidah mengatakan, “Didahulukan yang wajib sebelum yang anjuran.” Kita bisa memahami, perbedaan hukum antara membayar utang dan sedekah. Utang terkait kewajiban kita kepada orang lain dan harus kita penuhi. Sementara sedekah sifatnya anjuran. Karena itulah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan agar manusia bersedekah setelah memenuhi kebutuhan pribadinya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sedekah terbaik adalah sedekah setelah kebutuhan pokok dipenuhi. Dan mulailah dari orang yang wajib kamu nafkahi.” (HR. Bukhari 1360 & Muslim 2433). Mengingat pertimbangan ini, para ulama memfatwakan agar mendahulukan pelunasan utang sebelum bersedekah. Bahkan sebagian ulama menyebut orang yang mendahulukan sedekah sementara utangnya belum lunas, bisa terhitung memalak harta orang lain.

Imam Bukhari dalam shahihnya mengatakan, “Siapa yang bersedekah sementara dia membutuhkan, keluarganya membutuhkan atau dia memiliki utang, maka utangnya lebih layak dia lunasi sebelum sedekah, membebaskan budak, atau memberi hibah. Maka sedekah ini tertolak baginya. Dan dia tidak boleh menghilangkan harta orang lain.” Lalu beliau membawakan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Siapa yang membawa harta orang lain (secara legal, seperti utang) dan dia berniat untuk tidak mengembalikannya maka Allah akan menghilangkannya.”

Imam Bukhari melanjutkan, “Kecuali masih dalam batas normal, dilandasi bersabar, lebih mendahulukan orang lain dari pada dirinya, meskipun dia membutuhkannya. Seperti yang dilakukan Abu Bakr ketika beliau mensedekahkan hartanya atau perbuatan orang anshar yang lebih mendahulukan Muhajirin. Dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang kita untuk menyia-nyiakan harta. Karena itu, tidak boleh menyia-nyiakan harta orang lain dengan alasan sedekah.” (Shahih Bukhari, 2/517). Masih banyak keterangan lain yang disampaikan ulama yang menekankan agar pelunasan lebih didahulukan dari pada sedekah. Kita sebutkan diantaranya,

[1] Keterangan Badruddin al-Aini, “Bahwa bagian dari syarat sedekah, dia bukan termasuk orang yang membutuhkan, keluarganya membutuhkan dan tidak memiliki utang. Jika dia memiliki utang, maka wajib baginya melunasi utangnya. Dan melunasi utang lebih berhak didahulukan dari pada sedekah, membebaskan budak, atau hibah. Karena harus mendahulukan yang wajib sebelum yang anjuran.” (Umdatul Qari, Syarh Sahih Bukhari, 13/327).

[2] Keterangan Ibnu Bathal, “Pernyataan Bukhari, Orang yang bersedekah sementara dia memiliki utang, maka seharusnya pelunasan utang lebih didahulukan dari pada sedekah, membebaskan budak, dan hibah. Ini merupakan ijma ulama, tidak ada perbedaan dalam hal ini diantara mereka.” (Syarh Shahih Bukhari, Ibnu Batthal, 3/430).

Dalam al-Minhaj dan syarahnya Mughnil Muhtaj buku madzhab Syafiiyah disebutkan keterangan an-Nawawi dan komentar al-Khatib as-Syarbini. An-Nawawi mengatakan, “Orang yang memiliki utang dianjurkan untu tidak bersedekah sampai dia lunai utangnya.” Komentar al-Khatib as-Syarbini, “Menurutku, pendapat yang kuat adalah haramnya sedekah terhadap harta yang dia butuhkan dan menjadi kebutuhan orang yang dia nafkahi, atau karena dia memiliki utang yang tidak ada harapan bisa melunasi.” (Mughnil Muhtaj, 4/197).

Keterangan lain disampaikan Ibnu Qudamah, “Siapa yang memiliki utang, tidak boleh bersedekah yang menyebabkan dia tidak bisa membayar utang. Karena membayar utang itu wajib yang tidak boleh dia tinggalkan.” (al-Kafi, 1/431). Keterangan di atas berlaku ketika utang tersebut harus segera dilunasi. Karena itulah, ketika utang jatuh tempo masih jauh, dan memungkinkan baginya untuk melunasi, seseorang boleh bersedekah, meskipun dia memiliki utang.

Imam Ibnu Utsaimin ditanya tentang hukum sedekah ketika seseorang memiliki utang. Jawab beliau, “Jika utangnya jatuh tempo masih jauh, dan waktu jatuh tempo anda memiliki dana untuk melunasinya, silahkan sedekah, tidak ada masalah. Karena anda terhitung mampu.” (Taliqat Ibnu Utsaimin ala al-Kafi, 3/108). Memahami fiqh prioritas akan mengarahkan kita untuk memutuskan sesuai dengan urutan yang paling penting. Para ulama membahas ini bukan untuk mengajak umat agar bersikap pelit. Tapi untuk memahamkan masyarakat terkait sesuatu yang harus diprioritaskan. Tunaikan hak orang lain yang ada di tempat kita, kerena itu kewajiban yang menjadi tanggung jawab kita. Allahu alam. [Ustaz Ammi Nur Baits]

INILAH MOZAIK