Mendonasikan Dana Riba untuk Pengadaan APD dan Bantuan Paramedis?

Ustadz, di situasi sprti saat ini kebutuhan paramedis pd APD dan alat kesehatan sangat mendesak. Namun stok di pasaran sangat terbatas sehingga harga mahal. Apkh boleh kita donasikan dana riba utk hal sprti ini??

Jawaban :

Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah wa ba’du.

Pertama, tentang keharaman riba, semua kita tahu bahwa riba adalah harta haram. Bahkan ancaman untuk mereka para pelaku riba sangat mengerikan, Allah menantang perang dan Rasul mengancam laknat.

فَإِن لَّمۡ تَفۡعَلُواْ فَأۡذَنُواْ بِحَرۡبٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ

Jika kalian enggan meninggalkan riba, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. (QS. Al-Baqarah : 279)

Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksinya dan penulisnya.” Beliau melanjutkan, “Mereka semua sama (kedudukannya dalam hal dosa)”. (HR Muslim).

Kedua, setelah kita meyakini, bahwa riba adalah haram, meski dibungkus dengan nama-nama yang indah, seperti bunga di negeri kita atau faidah (manfaat) dalam bahasa arab, maka WAJIB bagi seorang muslim yang memiliki harta riba, bertaubat kepada Allah dan melepaskan harta itu dari kantong, dompet atau rekeningnya.

Tidak boleh dikembalikan kepada bank, karena uang riba bukan hak mereka.

Ketiga, bagaimana caranya?

Yaitu dengan mendonasikan dana riba :

[1] Untuk maslahat umum.

[2] Untuk fakir miskin.

Dalam Fatawa Syabakah Islamiyyah (lembaga fatwa yang bermarkas di Qatar) nomor 12995 diterangkan,

فالتخلص من الفوائد الربوية واجب، ويتم ذلك بصرف هذه الفوائد في مصالح المسلمين العامة، كبناء المدارس أو المستشفيات أو صرفها للفقراء والمحتاجين، ونحو ذلك، ولا يحل الانتفاع بها لصاحبها مطلقاً

“Berlepas diri dari harta riba hukumnya wajib. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara menyalurkan dana riba untuk kepentingan masalahat umum kaum muslimin, seperti membangun sekolah, rumah sakit, atau diberikan kepada orang-orang miskin yang membutuhkan dan yang semisalnya. Dan tidak dihalalkan sama sekali bagi penerima riba untuk memanfaatkannya.”

Dari sini kita bisa menyimpulkan, bahwa menyalurkan dana riba untuk donasi kebutuhan APD dan kebutuhan rumah sakit lainnya, diperbolehkan. Karena hal tersebut termasuk  maslahat umum untuk kaum muslimin.

Masih dari Fatawa Syabakah Islamiyyah no. 62361, diterangkan tentang definisi masalahat umum,

وضابط تلك المصالح: كل ما لا يعود نفعه على أحد معين وكان نفعه مشاعاً بين المسلمين، ومثال ذلك المدارس والمستشفيات ورصف الطرق وإنشاء الجسور.

“Yaitu : segala hal yang manfaatnya tidak kembali kepada person tertentu. Akan tetapi manfaat yang dirasakan tersebar luas di tengah kaum muslimin. Seperti untuk membangun sekolah, rumah sakit, pengerasan jalan dan pembangunan jembatan.”

Namun meskipun boleh, ada catatan penting saat kita mendonasikan dana riba untuk hal yang seperti ini :

Harus disadari bahwa hal tersebut bukan sedekah. Dan tidak boleh mengharap pahala sedekah. Karena tujuan mendonasikan dana riba, bukan untuk mencari pahala sedekah. Akan tetapi untuk bertaubat dan membersihkan diri dari harta haram. Meskipun dia akan tetap mendapatkan pahala dari upaya taubatnya.

Ini yang harus menjadi niat kita saat melepas harta riba. Karena Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda,

إن الله طيب لا يقبل إلا طيبا

Allah maha baik, tidak akan menerima kecuali yang baik.

Demikian.

Wallahua’lam bis showab.

******

Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori, Lc
(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta)

Read more https://konsultasisyariah.com/36288-mendonasikan-dana-riba-untuk-pengadaan-apd-dan-bantuan-paramedis.html

Tidak Shalat Jamaah Karena Takut Tertular Virus Corona

Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah wa ba’du.

Wabah Corona atau yang dikenal COVID-19 mulai meresahkan masyarakat di tanah air kita. Setiap hari surat kabar cetak maupun online, demikian beranda-beranda sosmed, dipenuhi kabar tentang virus mematikan ini. Pemerintah telah mengimbau untuk banyak melakukan aktivitas di rumah, termasuk ibadah, dan menghindari acara yang mengumpulkan banyak masa.

Muncullah kebimbangan, tentang pelaksanaan sholat Jumat, apakah boleh ditiadakan karena wabah Corona?

Berikut ulasannya.

Meniadakan sholat Jumat, karena wabah Corona, adalah uzur yang sah secara syariat.

Dalilnya adalah berikut:

Pertama: kaidah fikih yang menyatakan,

درء المفاسد أولى من جلب المصالح

Dar-ul mafaasid aulas min jalbil mashoolih

“mencegah bahaya, didahulukan daripada mendatangkan maslahat.”

(Al-mumti’ fil Qawa’id Al fiqhiyyah, hal. 253)

Sholat jama’ah adalah manfaat.
Wabah Corona adalah bahaya.

Mencegah bahaya lebih didahulukan daripada mendatangkan manfaat.

Maka = menunda tidak ke masjid dulu, demi mencegah tersebarnya Corona, lebih didahulukan daripada sholat Jumat dan sholat berjamaah.

Penjelasan selengkapnya tentang kaidah ini bisa dipelajari di sini :

Kedua, hadis dari sahabat Abdullah bin Harits, dari Abdullah bin Abbas bahwa Abdullah bin Abbas pernah menyampaikan pesan kepada Muazin beliau di hari turun hujan,

إِذَا قُلْتَ : أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ ، فَلَا تَقُلْ : حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ ، قُلْ : صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ ” ، قَالَ : فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ ، فَقَالَ: ” أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا ؟! ، قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي ، إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ ، وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ ، فَتَمْشُوا فِي الطِّينِ وَالدَّحْضِ

Jika anda mengucapkan AS-SYHADU ALLAA ILAA HA ILLALLAH, AS-SYHADU ANNA MUHAMMADAN RASULULLAH.. Setelah itu jangan ucapkan Hayya ‘alas sholaah (mari kita sholat). Akan tetapi ucapkanlah SHOLLU FII BUYUUTIKUM (sholatlah di rumah-rumah kalian).”

“Tampaknya masyarakat mengingkari pendapat tersebut. Lalu Ibnu Abbas bertanya kepada masyarakat, “Apa kalian heran dengan pendapat ini?! Hal seperti ini sungguh telah dilakukan oleh manusia yang lebih baik dariku.

Sesungguhnya shalat Jum’at adalah kewajiban. Namun aku tidak suka untuk mengeluarkan kalian, sehingga kalian berjalan di tanah yang penuh dengan air dan lumpur.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Pada hadis di atas diterangkan, sahabat Ibnu Abbas membolehkan tidak sholat Jumat karena kondisi hujan lebat. Dan wabah corona lebih berbahaya daripada hujan lebat. Ini menunjukkan bahwa, meniadakan sholat Jumat karena wabah virus Corona juga dibolehkan, bahkan lebih layak untuk dibolehkan.

Ketiga, kesimpulan ini ditarik dari metode istidlal (memahami dan menerapkan dalil) yang dikenal dalam ilmu Ushul Fikih : Qiyasul A’la Bil Adna, yaitu menganalogikan kasus yang berat pada kasus yang ringan.

Contohnya, kasus hujan dan wabah virus Corona, mana kiranya yg lebih besar bahayanya?

Tentu wabah virus Corona. Jika hujan saja bisa menjadi uzur boleh tidak shalat Jumat dan jama’ah, apalagi virus Corona.

Metode pendalilan inilah yang digunakan oleh Syekh Prof Sulaiman Al Ruhaili -hafidzohullah- (ulama Madinah dan guru besar fakultas Syari’ah Universitas Islam Madinah) pada fatwa beliau di bawah ini :

إذا وجد فيروس الكورونا في المنطقة أو منعت الدولة من التجمعات جاز تعطيل الجمعة والجماعة ويرخص للناس في الصلاة في بيوتهم فإن هذا أشد من الوحل والمطر الذي يرخص به في ترك الجمعة والجماعة، ومن كان مصابا أو يشتبه أنه مصاب يحرم عليه حضور الجمعة والجماعة حمى الله الجميع

Jika didapati keberadaan virus Corona di suatu daerah, atau pemerintah setempat melarang kerumunan masa, maka boleh tidak melaksanakan sholat Jum’at dan sholat jama’ah di masjid. Masyarakat mendapatkan pahala keringanan boleh sholat di rumah mereka. Karena wabah Corona lebih berbahaya daripada hujan lebat, sedangkan karena hujan lebat saja. Untuk penderita Corona atau yang suspec Corona, maka diharamkan baginya untuk menghadiri sholat Jumat dan sholat jama’ah. Semoga Allah melindungi semuanya. (Sumber : Twitter resmi beliau)

Kesimpulannya, meniadakan jumatan karena wabah Corona, adalah uzur yang sah secara syariat.

Penerapan Fatwa di Indonesia

Setelah kita mengetahui, bahwa wabah corona dapat mengugurkan kewajiban sholat Jumat, maka kemudian yang juta pelajari adalah, apakah situasi di tanah air kita Indonesia, layak kita terapkan fatwa di atas?

Fatwa Syekh Prof Sulaiman Al Ruhaili -hafidzohullah-
yang disampaikan di atas adalah solusi hukum tentang kasus coronavirus di Saudi Arabia.
Dalam penerapan fatwa ulama berkaitan dengan kasus situasional seperti wabah Corona, tentu tidak cukup hanya melihat isi atau dalil fatwanya. Namun juga kita perlu melihat illat fatwa, apakah illat tersebut juga ada di negeri kita? Sehingga juga bisa kita terapkan di negeri kita.

Untuk menjawabnya, kami lebih tentram mengikuti fatwa ulama negeri ini yaitu MUI. Di fatwa MUI ada rincian :
– Untuk daerah yang postensi penularan Corona tinggi, maka boleh tidak jumatan.
– Untuk wilayah yang potensi penularan virus Corona rendah, maka tetap wajib melaksanakan jumatan.

Ukuran potensi tinggi rendahnya adalah, berdasarkan keputusan dari pemerintah setempat.
(Lihat : Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020. Tentang : Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Corona)

Wallahua’lam bis showab.

Ditulis oleh Ustadz Ahmad Anshori
(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta)

Read more https://konsultasisyariah.com/36250-tidak-shalat-jamaah-karena-takut-tertular-virus-corona.html

Adakah Khasiat Khusus Mengamalkan Asmaul Husna?

TANYA: Saya ingin bertanya perihal status seseorang dalam media sosial facebook-nya yang menjelaskan bahwa membaca As Salaam (Yang memberi keselamatan) sebanyak 136 kali, maka insyaAllah penyakit yang ada dalam tubuhnya akan sembuh. Begitu juga dengan bacaan asmaul husna lainnya.

Lantas apakah betul ada dalilnya untuk mengamalkan amalan tersebut? Bolehkah saya mengutip penjelasan ustadz di facebook saya itu untuk menyampaikanya ke teman saya?

JAWAB:

Seorang muslim tidak boleh menetapkan sesuatu amalan dan fadhilah (keutamaan) kecuali dengan dalil yang shahih dan pemahaman yang benar.

Dan pendapat yang mengatakan bahwa setiap nama dari Asmaul Husna memiliki keutamaan khusus adalah pendapat yang tidak ada dalilnya dan termasuk mengada-ada di dalam agama. Demikian pula mengulang-ulang sebuah nama diantara Asmaul Husna juga tidak ada dalilnya.

Syeikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullahu berkata ketika menyebutkan beberapa kesalahan yang terjadi dalam pengamalan asmaul husna:

“Diantara (kesalahan-kesalahan tersebut) selebaran yang dibagikan akhir-akhir ini diantara orang awam dan orang-orang yang tidak tahu, penulisnya menyangka bahwa setiap nama diantara nama-nama Allah yang husna keutamaan penyembuhan untuk penyakit tertentu, ada nama khusus untuk penyakit-penyakit mata, ada nama khusus untuk penyakit-penyakit telinga, ada nama khusus untuk penyakit-penyakit tulang, ada nama khusus untuk penyakit-penyakit kepala, dan seterusnya, dengan menentukan untuk setiap penyakit beberapa nama-nama Allah.”

“Ini semua adalah kebathilan yang Allah tidak menurunkan dalil tentangnya, tidak berdasarkan hujjah dan keterangan yang jelas, bahkan yang ada di dalam dzikir-dzikir yang disyariatkan dan ruqyah-ruqyah yang ada dalilnya adalah kalimat yang sempurna, dan tidak ada mengulang-ulang nama, sebagaimana dalam selebaran tersebut.”

Penulis status tersebut dengan amalan ini telah melanggar 2 perkara:

Pertama: Memasukkan manusia di dalam amalan baru yang tidak disyariatkan ini

Kedua: Memalingkan manusia dari dzikir-dzikir dan ruqyah-ruqyah yang disyari’atkan di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. (Fiqh Al-Asmaul Husna hal: 66-67).

Cara yang benar adalah berdoa kepada Allah dengan Asmaul Husna dan berdoa dengan nama Allah yang sesuai dengan keadaannya. Allah ta’ala berfirman:

“Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs. 7:180)

Misalnya:

Ya Syafi, isyfini (Wahai Yang Maha Penyembuh, sembuhkanlah aku)

Ya Rahman, irhamni (Wahai Yang Maha Penyayang, sayangilah aku)

Ya Razzaq, urzuqni (Wahai Yang Maha Pemberi rezeki, berilah aku rezeki)

Kemudian hendaknya mengambil sebab untuk mewujudkan apa yang dia minta seperti bekerja, berobat dll, dan menyerahkan hasilnya kepada Allah semata.

Wallahu a’lam. []

Sumber: konsultasisyariah.com

ISLAMPOS





Ketika Wanita Hadir di Masjid (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Ketika Wanita Hadir di Masjid (Bag. 1)

Syarat-Syarat Jika Wanita Pergi ke Masjid

Wanita yang hendak pergi ke masjid, hendaklah memenuhi syarat-syarat berikut ini, selain syarat yang telah kami sebutkan di seri sebelumnya (yaitu meminta izin suami):

Pertama, tidak memakai minyak wangi

Dari Zainab Ats-Tsaqafiyyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami,

إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلَا تَمَسَّ طِيبًا

“Apabila salah seorang dari kalian kaum wanita hendak menghadiri shalat di masjid, maka janganlah kalian memakai wangi-wangian.” (HR. Muslim no. 443)

Artinya, jika kalian para wanita ingin pergi ke masjid, janganlah memakai minyak wangi. Minyak wangi adalah di antara sebab fitnah karena bisa membangkitkan syahwat para lelaki. Seorang wanita yang ingin pergi ke masjid hendaklah berada dalam kondisi menutupi diri sebaik-baiknya, dan menjauhkan diri dari segala sesuatu yang bisa membangkitkan syahwat para lelaki. 

Kedua, menundukkan pandangan.

Hendaklah para wanita menundukkan pandangannya dari laki-laki ajnabi (laki-laki asing, yaitu lelaki non-mahram). Allah Ta’ala berfirman,

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya.” (QS. An-Nuur [24]: 31) 

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Maksudnya, dari melihat yang haram, yaitu selain suami mereka. Oleh karena itu, banyak ulama berpendapat bahwa tidak boleh atas seorang wanita untuk melihat lelaki ajnabi (yaitu, lelaki yang bukan mahram, pent.) baik dengan syahwat ataupun tanpa syahwat … “ (Tafsir Ibnu Katsir, 6: 46)

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Pendapat yang shahih yang menjadi pendapat jumhur ulama dan mayoritas shahabat adalah diharamkan atas wanita untuk melihat lelaki ajnabi, sebagaimana kaum lelaki juga diharamkan memandang kaum wanita.” (Syarh Shahih Muslim, 10: 353)

Tidak diragukan lagi bahwa fitnahnya sama. Sebagaimana lelaki memandang wanita merupakan sebab terfitnahnya kaum lelaki, demikian pula sebaliknya. 

Ketiga, jalan menuju masjid adalah jalan yang aman.

Jika jalan dari rumah menuju masjid itu tidak aman, misalnya dikhawatirkan adanya orang-orang bermoral bejat yang mungkin akan mengganggu, maka tidak boleh bagi wanita untuk pergi menuju masjid. Karena memungkinkan akan timbul bahaya dan kerusakan. 

Keempat, memakai hijab syar’i.

Syarat berikutnya adalah memakai hijab syar’i yang menutupi seluruh badannya. Tidaklah halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah Ta’ala dan hari akhir, pergi ke masjid dalam kondisi tidak memakai hijab syar’i. Dia pergi dalam rangka beribadah kepada Allah Ta’ala, padahal beribadah di rumahnya itu lebh afdhal, akan tetapi dia kembali dengan membawa dosa yang besar karena fitnah yang dia timbulkan baik bagi dirinya sendiri atau orang lain, yaitu menggerakkan dan membangkitkan syahwat para lelaki. 

Kelima, tidak bercampur baur dengan kaum lelaki. 

Seorang wanita tidak boleh bercampur baur dengan kaum lelaki, baik ketika di jalan menuju masjid atau ketika berada di masjid. Dia tidak boleh maju menuju shaf kaum lelaki atau menuju tempat kaum lelaki. Akan tetapi, dia shalat di belakang kaum lelaki dan menjauh dari mereka. 

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

“Sebaik-baik shaf bagi kaum laki-laki adalah shaf di depan, dan sejelek-jelek shaf adalah shaf di belakang. Dan sebaik-baik shaf wanita adalah shaf di belakang, dan sejelek-jelek shaf adalah shaf di depan.” (HR. Muslim no. 440)

Keenam, tidak meninggikan suara.

Yaitu, tidak meninggikan suara sehingga bisa didengar oleh kaum lelaki, baik ketika membaca bacaan shalat, mengucapkan “aamiin”, atau ketika mengingatkan imam yang lupa (namun cukup dengan tepuk tangan). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

التَّسْبِيحُ لِلرِّجَالِ، وَالتَّصْفِيقُ لِلنِّسَاءِ

“Ucapan tasbih hanyalah buat laki-laki, sedangkan bertepuk tangan buat wanita.” (HR. Bukhari no. 1203 dan Muslim no. 422)

Ketujuh, pulang dari masjid sebelum kaum lelaki.

Hal ini agar mereka tidak berdesak-desakan dengan kaum lelaki di jalan-jalan atau pintu keluar masjid. Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَلَّمَ يَمْكُثُ فِي مَكَانِهِ يَسِيرًا قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: فَنُرَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ لِكَيْ يَنْفُذَ مَنْ يَنْصَرِفُ مِنَ النِّسَاءِ

“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai salam, beliau tetap berdiam di tempatnya sejenak.” Ibnu Syihab berkata, “Menurut kami -dan Allah yang lebih tahu-, hal itu agar wanita yang akan pergi punya kesempatan.” (HR. Bukhari no. 802)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini terkandung faidah bahwa seorang imam itu memperhatikan keadaan makmumnya, berhati-hati dengan menjauhi perkara yang bisa mendatangkan kejelekan. Di dalamnya juga terkandung faidah menjauhi tempat-tempat yang mengkhawatirkan (akan timbul fitnah), dan haramnya campur baur antara lelaki dan perempuan di jalan-jalan, lebih-lebih di dalam rumah.” (Fathul Baari, 2: 336)

Oleh karena itu, wanita harus menghindarkan diri dari berdesak-desakan dengan kaum lelaki di pintu-pintu masjid, lebih-lebih ketika selesai shalat. Agar terhindar dari itu, bisa jadi dengan: (1) menunggu sampai mayoritas jamaah lelaki sudah meninggalkan masjid; atau (2) segera pergi dari masjid setelah imam mengucapkan salam sebelum kaum lelaki meninggalkan masjid.

Telah diketahui bahwa dianjurkan bagi kaum lelaki untuk memastikan bahwa jamaah wanita telah keluar dari masjid, sebelum mereka pergi meninggalkan masjid. Akan tetapi, mayoritas orang belum memahami masalah ini.

Kesimpulan

Ringkasnya, seorang wanita diperintahkan untuk menutupi diri dan menjauhkan diri dari segala sesuatu yang bisa membangkitkan syahwat kaum lelaki ketika keluar dari rumahnya secara umum, dan ketika pergi ke masjid secara khusus. 

Oleh karena itu, kami nasihatkan kepada para wanita, agar memperhatikan batasan-batasan yang telah Allah Ta’ala tetapkan. Hendaklah dia mengetahui dengan yakin bahwa Dzat yang memerintahkan dia shalat dan membolehkan dia pergi ke masjid, itu juga Dzat yang memerintahkan dia untuk berhijab, berhias diri dengan rasa malu dan kesederhanaan. Bagaimana mungkin dia hanya menaati Allah Ta’ala dalam perkara yang pertama, namun durhaka pada perkara yang kedua?

Bagaimana mungkin dia mendapatkan pahala dengan menerjang larangan-Nya? Bagaimana mungkin dia melakukan perkara yang mubah (pergi ke masjid) sedangkan sarananya adalah sarana yang haram?

Tidaklah jauh kemungkinan bahwa shalat wanita tersebut adalah shalat yang berkurang nilai pahalanya. Karena perbuatan maksiat, jika tidak membatalkan pahala suatu amal ibadah, minimal bisa mengurangi pahala amal ibadah tersebut. 

[Selesai]

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55646-ketika-wanita-hadir-di-masjid-bag-2.html

Social Distance dan Uzlah Corona

Dalam khazanah Islam, social distance serupa konsep uzlah, pengasingan diri.

Menghadapi wabah Virus Corona COVID-19 yang sudah mengglobal ini, menginfeksi hampir di semua negara, terlebih hingga sekarang ini para peneliti belum menemukan vaksin untuk melindungi tubuh dari virus tersebut, para ahli di dunia menyepakati cara efektif agar tidak tertular virus ini adalah dengan melakukan social distance. Social distance atau jarak sosial adalah seseorang menjaga kedekatan fisik dengan orang lain guna mengurangi perpindahan virus dari tubuh satu ke yang lain.

Kegiatan social distance atau social distancing merupakan strategi kesehatan untuk mencegah atau memperlambat penyebaran virus. Bahkan, mengutip dari CTV News, social distancing is the new norm as the world tries to contain COVID-19, social distance telah menjadi norma baru ketika dunia mencoba menghadapi Virus Corona COVD-19.  Selain itu, social distance juga dilakukan dengan mengisolasi diri bagi orang yang terinfeksi, mengkarantina diri, sehingga orang dapat terpisah satu sama lain.

Kini, social distance telah diterapkan di banyak negara yang terinfeksi Virus Corona COVID-19, termasuk Indonesia. Presiden Jokowi pada Ahad (15/3/2020) telah meminta agar masyarakat melakukan social distance guna mencegah penularan Virus Corona COVID-19.  MUI Pusat (Senin, 16/03/2020) juga sudah mengeluarkan fatwa tentang social distance ini yang terkait dengan kegiatan ibadah: Shalat Jumat bisa diganti dengan shalat Dzuhur di rumah masing-masing, shalat lima waktu tidak berjamaah, shalat tarawih tidak berjamaah, Shalat Id juga tidak berjamah dan kegiatan majelis taklim tatap muka langsung dihentikan. Fatwa ini berlaku bagi umat Islam di wilayah di mana kondisi penyebaran virus corona atau COVID-19 yang sudah tak terkendali.

Dalam khazanah Islam, khususnya tasawuf, konsep social distance bukanlah hal yang baru. Social distance dapat disamakan dengan konsep uzlah, pengasingan diri. Akar kata uzlah dalam bahasa Arab adalah `azala, yang artinya memisahkan, menyingkirkan. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah  uzlah/uz•lah/ merupakan kata benda yang berarti pengasingan diri untuk memusatkan perhatian pada ibadah (berzikir dan tafakur) kepada Allah Swt.

Ada istilah yang memilki kedekatan dengan uzlah, yaitu khalwat. Secara bahasa, khalwat berasal dari akar kata khala, yang  berarti sepi, Khalwat merupakan praktik menyepi untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dalam laku tasawuf, seorang melakukan tahapan uzlah dahulu, memisahkan diri, menjaga jarak dari perbuatan tercela, baru kemudian melakukan khalwat, menyepi.

Maka selayaknya, bagi seorang Muslim, social distance  dimaknai sebagai momentum untuk melakukan uzlah corona, uzlah untuk menjaga jarak dari orang lain, dari kehidupan sosial, untuk sementara waktu sampai wabah Virus Corona COVID-19 ini mereda dan hilang. Mengisi uzlah ini melalui kegiatan-kegiatan ibadah yang dilakukan secara personal, utamanya seperti laku para sufi saat sedang uzlah dengan memperbanyak dzikir, dan juga sholawat, membaca Alquran serta tafakur.  

Bisa jadi, Virus Corona COVID-19 yang sudah memisahkan kita dari ibadah berjamaah merupakan teguran bagi kita yang mungkin selama ini beribadah di tengah masyarakat umum lebih banyak riya, unjuk pamer kesalehan dan mencari perhatian orang banyak, jauh dari keikhlasan. Karenanya Allah Swt yang memiliki sifat Al-Ghayyur, Maha Pencemburu, menghadirkan Virus Corona COVID-19  untuk memaksa kita uzlah demi menyelamatkan ibadah kita dari kesia-siaan dan agar kita beribadah penuh kekhlasan hanya untuk-Nya, baik dalam kesendirian maupun di tengah keramaian. Wallaahu `alam.

Oleh: Rakhmad Zailani Kiki,Kepala Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre

KHAZANAH REPUBLIKA

Tiga Warisan ‘Islam’ Melawan Covid-19

Sejumlah prosedur pencegahan Covid-19 ternyata diprakarsai para ilmuwan Islam.

Di langit-langit ruang baca utama Perpustakaan Kongres AS di Washington DC, salah satu perpustakaan terbesar di dunia saat ini, ada lukisan yang dikerjakan Edwin Blashfield. Lukisan itu menggambarkan orang-orang dalam posisi duduk secara melingkar. Mereka masing-masing melambangkan sumbangan sejumlah peradaban kepada dunia.

Di antaranya, Mesir menyumbangkan penulisan sejarah, Yahudi menyumbangkan agama, Yunani mnenyumbangkan filsafat, Romawi menyumbangkan birokrasi. Selanjutnya, peradaban Islam menyumbangkan “Physics” alias “Fisika” atau ilmu alam.

Mengapa ilmu alam? Bukan rahasia, para ilmuwan pada masa keemasan Islam menyumbangkan banyak inovasi saintifik, termasuk di bidang kedokteran. Yang tak banyak diketahui, bahkan hingga saat ini sejumlah prosedur yang dijalani sepanjang merebaknya wabah Covid-19 ini, ternyata juga merupakan warisan keilmuan Islam. Berikut di antaranya.

Ruang Isolasi 

Sejak awal peradaban Islam pada abad ke-9 rumah sakit-rumah sakit yang dibangun, dinamai “bimaristan”, punya perbedaan mencolok dengan rumah penyembuhan terdahulu. Salah satunya, bimaristan memperkenalkan bangsal terpisah. Kamar-kamar pasien dipisahkan dengan kamar para dokter dan perawat.

Tak hanya itu, menurut Husain Nagamia dalam “Islamic Medicine History and Current Practice” (2003), bangsal-bangsal itu juga memisahkan pengidap penyakit menular dengan pengidap penyakit lainnya. Praktik pemisahan pengidap penyakit menular dari yang lainnya itu jadi salah satu protokol utama pencegahan Covid-19 di rumah sakit-rumah sakit saat ini.

Karantina

Dalam buku “the Story of Medicine” karya Anne Rooney dan “The Bloomsbury Reader on Islam in the West” karya Edward Curtis dituliskan bahwa konsep penyakit menular sedianya tak dikenal dalam ilmu kedokteran kuno. Setelah datang Rasulullah SAW yang mensabdakan sejumlah hadits tentang menghindari pengidap penyakit tertentu baru para ilmuwan mulai menimbang hal itu.

Kemudian pada abad ke-11, tepatnya 1020, Ibn Sina sang dokter agung menjalankan konsep bernama “al-Arba’iniya” yang terjemahan langsungnya “empat puluhan”. Konsep itu diterapkan dengan memisahkan pengidap penyakit menular seperti kolera, campak, kusta, dan lainnya untuk mencegah penyebaran.

Saat wabah pes melanda Eropa pada abad ke-14, konsep serupa dimulai di Venecia, Italia, kota pelabuhan yang akrab dengan kebudayaan Islam. Istilah yang digunakan saat itu adalah terjemahan langsung konsep 40 hari Ibn Sina, “quarantena (40 hari)” yang kemudian jadi “quarantine” dalam bahasa Inggris dan “karantina” setelah disadur bahasa Indonesia.

Disinfektan

Penelitian sejumlah ilmuwan mengindikasikan bahwa virus SARS-CoV2 yang membawa Covid-19 tak mampu bertahan jika terpapar cairan yang mengandung sedikitnya 60-70 persen alkohol. Sebab itu, cairan beralkohol disebut jadi disinfektan yang ampuh dan belakangan disemprotkan ke banyak tempat.

Ada dua jalur warisan ilmuan Islam dalam praktik ini. Pertama, kamus lengkap Bahasa Inggris Merriam-Webster menjelaskan bahwa kata “alkohol” berasal dari bahasa Arab “al-kuhl” terkait senyawa-senyawa yang berhasil disarikan dari proses distilasi. Pemisahan senyawa ini kerap dilakukan pelopor alkimia, Jabir ibn Hayyan.

Secara substansi, alkohol sudah ada di minuman memabukkan dari fermentasi gandum dan anggur seribuan tahun sebelum Islam datang. Kendati demikian, ilmuan Persia Muhammad ibn Zakariya al-Razi melalui karyanya “Al-Hawi” adalah salah satu yang pertama kali menyatakan bahwa alkohol bisa digunakan sebagai antiseptik dalam pembedahan. Prosedur disinfektasi tersebut kemudian dijalankan rumah sakit-rumah sakit di Baghdad pada abag ke-9 dan akhirnya menyebar ke mana-mana. n

Oleh: Fitriyan Zamzami

KHAZANAH REPUBLIKA

Janganlah Kalian Memuji Diri Sendiri!

DALAM kajian seputar raqaiq (membangun kelembutan hati), kita selalu diajarkan bahwa tidak ada pujian yang berarti selain pujian Allah, dan tidak ada celaan yang berarti, selain celaan dari Allah, karena Dia-lah Zat yang mengetahui kondisi hamba-Nya lahir batin. Allah Taala berfirman, “Jangan kalian memuji-muji diri kalian sendiri, karena Dia-lah yang paling tahu siapa yang bertakwa.” (QS. an-Najm: 32)

Karena itulah, seorang mukmin akan lebih memperhatikan kondisi batinnya dibandingkan penilaian orang lain. Manusia hanya bisa menilai lahiriah, sementara kondisi batin mereka buta. Kami tidak mengetahui adanya doa khusus dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika kita mendengar pujian orang lain. Hanya saja ada riwayat dari sahabat yang membaca doa berikut ketika dia berdoa.

Dari Adi bin Arthah rahimahullah (seorang ulama Tabiin) beliau bercerita, “Dulu ada seorang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yang apabila dia dipuji mengucapkan, “Ya Allah, jangan Engkau menghukumku disebabkan pujian yang dia ucapkan, ampunilah aku, atas kekurangan yang tidak mereka ketahui. Dan jadikan aku lebih baik dari pada penilaian yang mereka berikan untukku.”

Doa ini diriwayatkan Bukhari dalam Adabul Mufrad (no. 761) dan sanadnya dishahihkan al-Albani. Juga al-Baihaqi dalam Syuaabul Iman (4/228). Doa ini menunjukkan bahwa sahabat adalah manusia yang jauh dari karakter bangga dengan pujian manusia. Bahkan mereka mengakui kekurangan yang mereka miliki, yang itu tidak diketahui orang yang memuji. Dengan ini akan menghalangi kita dari potensi ujub. Dengan ini pula kita akan lebih mudah mengakui kekurangan kita. Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

INILAH MOZAIK

Bersama Menanggulangi Wabah Corona

Kaum muslimin yang semoga selalu dirahmati Allah, tidaklah samar bagi kita keadaan musibah wabah yang saat ini tengah melanda dunia, yaitu wabah SARS CoV-2/COVID-19 (Corona Virus Infection Disease-19) atau umum disebut sebagai virus corona. Banyak korban jiwa yang telah melayang di berbagai negara dan Indonesia pun termasuk negara dengan presentase kematian yang cukup tinggi dibandingkan dengan negara-negara lainnya. 

Menempuh Sebab dalam Menanggulangi Wabah

Untuk menanggulangi wabah dan musibah ini, kita perlu melakukan sebab-sebab secara syar’i (sebab non fisik) dan sebab-sebab secara fisik (sebab kauni). Di antara kedua sebab ini yang paling ditekankan adalah menempuh sebab-sebab syar’i karena bersumber dari petunjuk Allah dan Rasul-Nya (berdasarkan bimbingan wahyu). Meskipun demikian kita tidak boleh mengabaikan sebab fisik/sebab kauni karena hal itu adalah bagian dari usaha (mengambil sebab) yang diperintahkan dalam agama. 

Itulah bentuk tawakal kita kepada Allah ta’ala. Karena rukun tawakal adalah menempuh sebab yang mengantarkan untuk memperoleh apa yang kita inginkan lalu hati kita pasrah total kepada Allah ta’ala. Jika kita terhindar dari penyakit atau mendapatkan kesembuhan dari penyakit, hal itu semata karena karunia Allah ta’ala. Jika ternyata setelah melakukan sebab syar’i dan sebab kauni (usaha lahiriah) kita tetap terkena penyakit atau tidak mendapatkan kesembuhan, maka itu merupakan takdir Allah yang semestinya kita terima dengan hati legowo (lapang) dan semua itu baik bagi seorang mukmin. [1] 

Menempuh Sebab-Sebab Fisik

Pemerintah telah membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 (wabah Corona). Di antara poin-poin penting yang sepatutnya diperhatikan oleh segenap warga masyarakat ialah melakukan pencegahan dalam level individu dalam bentuk menjaga kebersihan diri dan rumah (universal precaution). 

Di antara himbauan yang diberikan adalah sebagai berikut.

  1. Sering mencuci tangan dengan air dan sabun dengan langkah yang benar (5-6 langkah cuci tangan), terutama saat baru memasuki rumah, sebelum dan sesudah makan, sesudah dari toilet, setelah menyentuh benda-benda yang tidak diketahui pasti kebersihannya, setelah mengurus binatang, dan lain-lain.
  2. Hindari menyentuh mata, hidung dan mulut dengan tangan yang belum dicuci.
  3. Segera ganti baju dan mandi sepulang dari bepergian.
  4. Tidak berjabat tangan.
  5. Tidak berinteraksi dari jarak dekat dengan orang lain, baik yang memiliki gejala sakit ataukah tidak.
  6. Tutupi mulut saat batuk dan bersin dengan lengan atas dan ketiak dan segera cuci tangan.
  7. Sering membersihkan/mengelap permukaan benda seperti meja/kursi yang sering disentuh .

Kemudian, juga ada beberapa cara untuk mencegah meluasnya wabah ini pada tingkatan masyarakat dengan melakukan pembatasan interaksi fisik seperti:

  • Tidak berdekatan atau berkumpul di tempat keramaian.
  • Gunakan masker saat keluar rumah.
  • Tidak mengadakan pertemuan yang melibatkan banyak peserta.
  • Hindari melakukan perjalanan ke luar kota.
  • Mengurangi berkunjung ke rumah orang lain dan kurangi menerima kunjungan.
  • Mengurangi frekuensi pergi untuk belanja dan usahakan bukan pada jam ramai.
  • Menerapkan bekerja dari rumah.
  • Menjaga jarak saat mengantri atau duduk di bus, kereta, atau fasilitas umum lainnya minimal 1 meter.
  • Anak-anak bermain di rumah saja.
  • Ibadah dapat dilaksanakan di rumah untuk sementara waktu. [2]

Selain itu, pemerintah juga menghimbau atau memberikan ketentuan bagi masyarakat untuk melakukan pembatasan sosial berupa menjaga jarak fisik dengan beberapa cara, misalnya:

  • Tidak bersalaman, berpelukan atau berciuman (cipika cipiki).
  • Hindari penggunaan transportasi publik dan hindari jam sibuk ketika bepergian.
  • Dilarang berkumpul massal di kerumunan dan fasilitas umum.
  • Hindari berkumpul tatap muka dengan banyak orang dan menunda kegiatan bersama.
  • Gunakan telepon atau layanan online untuk menghubungi orang lain.
  • Jika anda sakit jangan mengunjungi/berdekatan dengan orang lanjut usia.

Semua orang harus mengikuti ketentuan ini. Pemerintah juga menghimbau untuk mengikuti petunjuk ini dengan ketat dan membatasi tatap muka dengan teman dan keluarga, khususnya jika anda berusia 60 tahun ke atas, atau memiliki penyakit penyerta seperti diabetes melitus, hipertensi, kanker, asma dan penyakit paru obstruksi kronik, atau ibu hamil. [3]

  Pemerintah juga telah memberikan penjelasan ringkas berkaitan dengan klasifikasi kasus COVID-19 untuk masyarakat sebagai berikut :

  • Orang Tanpa Gejala (OTG): Orang tanpa gejala yang memiliki kontak dengan kasus positif. Maka bagi kelompok ini diberlakukan isolasi diri sendiri di rumah.
  • Orang Dalam Pemantauan (ODP): Orang yang memiliki gejala ringan, dan membutuhkan pemeriksaan. Bagi kelompok ini juga harus mengisolasi diri sendiri di rumah. 
  • Pasien Dalam Pengawasan (PDP): Pasien yang memiliki gejala ringan/sedang/berat yang memiliki riwayat perjalanan/kontak dan membutuhkan pemeriksaan. Bagi kelompok ini jika sakitnya ringan cukup mengisolasi diri di rumah. Jika sakitnya sedang perlu dirawat di Rumah Sakit Darurat. Dan apabila sakitnya berat harus dirawat di Rumah Sakit Rujukan. 
  • Konfirmasi: Yaitu pasien yang terinfeksi COVID-19 dengan hasil pemeriksaan positif. Apabila sakitnya ringan bisa mengisolasi diri di rumah. Apabila sakitnya sedang harus dirawat di Rumah Sakit Darurat. Dan apabila sakitnya berat harus dirawat di Rumah Sakit Rujukan. [4]

Menempuh Sebab-Sebab Non-Fisik

Perlu diketahui oleh segenap kaum muslimin bahwasanya dalam kondisi wabah dan musibah yang begitu berat semacam ini perlu dilakukan usaha-usaha non fisik yang berkaitan dengan agama dan keyakinan kita sebagai seorang muslim. Salah satu perkara mendasar yang harus kita ingat adalah betapa fakir dan butuhnya kita kepada Allah.

Allah berfirman

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

“Wahai manusia, kalian adalah orang-orang yang fakir/butuh kepada Allah. Dan Allah Mahakaya lagi Mahaterpuji” (QS. Fathir: 15) 

Kebutuhan ini semakin penting dan mendesak pada saat tertimpa kesulitan dan musibah berat semacam ini.

Kaidah pertama. Kita harus meyakini bahwa Allah telah menakdirkan segala sesuatu. Allah berfirman 

وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا

“Dan Allah menciptakan segala sesuatu dan menetapkan takdirnya dengan sebenar-benarnya.” (QS. al-Furqan: 2)

Oleh sebab itu kita mengimani takdir Allah ini dan menghadapi musibah yang menimpa dengan kesabaran. 

Kaidah kedua. Kita harus menyempurnakan tawakal kepada Allah dan menyandarkan segala urusan kepada-Nya. Allah berfirman,

قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

“Katakanlah; Tidak akan menimpa kami kecuali apa-apa yang telah ditetapkan Allah menimpa kami, Dia lah penolong bagi kami. Dan kepada Allah semata hendaknya orang-orang mukmin bertawakal.” (QS. At-Taubah : 51)

Kaidah ketiga. Kita harus kembali kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya. Allah berfirman,

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan ulah tangan-tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian akibat dari apa yang mereka kerjakan, mudah-mudahan mereka kembali/bertaubat.” (QS. Ar-Rum : 41) 

Kaidah keempat. Kita harus menempuh sebab-sebab (upaya nyata) untuk menghindar dari wabah. Allah berfirman,

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan janganlah kalian dengan sengaja menjerumuskan diri kalian menuju kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah: 195)

Termasuk dalam usaha ini adalah dengan tidak mendatangi tempat-tempat yang terkena wabah dan melakukan upaya-upaya fisik (secara medis) untuk terhindar atau selamat dari wabah atau penyakit tersebut. 

Kaidah kelima. Kita harus bersungguh-sungguh dalam mengambil informasi yang berkaitan dengan wabah ini dari sumber-sumber yang terpercaya dan ahli pada bidangnya. Dan harus menjauhi berbagai berita yang tidak jelas kebenarannya (kabar burung). Hendaknya kita mengembalikan setiap urusan kepada ahlinya dan tidak menerima kabar-kabar yang tidak jelas yang pada akhirnya justru akan membahayakan atau merugikan orang banyak. 

Kaidah keenam. Semestinya kita terus bersungguh-sungguh dalam berdoa kepada Allah karena doa itulah intisari dari ibadah. Baik itu doa secara umum agar dihindarkan atau diangkat dari bencana yang menimpa. Seperti dengan ucapan, “Ya Allah, singkirkanlah dari kami wabah ini.” atau doa-doa serupa. Oleh sebab itu, para ulama juga telah menyampaikan anjuran untuk banyak-banyak berdoa agar wabah ini diangkat dan disingkirkan bahkan hal itu telah tertulis dalam kitab-kitab hadits sejak ratusan tahun yang silam. Bisa juga dengan doa-doa secara khusus seperti:

  • Membaca surat al-Falaq dan an-Naas
  • Membaca doa 

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ البَرَصِ ، وَالجُنُونِ ، والجُذَامِ ، وَسَيِّيءِ الأسْقَامِ

‘Allahumma inni a’uudzu bika minal barash wal junun wal judzam wa sayyi’il asqam’

Artinya:

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari penyakit belang, gila, kusta, dan dari segala penyakit yang buruk lainnya.”

  • Rutin membaca dzikir pagi-petang, misalnya:

بِسْمِ اللَّهِ الَّذِي لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Bismillahilladzi laa yadhurru ma’asmihi syai’un fil ardhi wa laa fis samaa’ wa huwas samii’ul ‘aliim.”

Artinya:

“Dengan nama Allah yang apabila disebut, tidak akan berbahaya segala sesuatu yang ada di bumi maupun di langit. Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

dibaca sebanyak tiga kali setiap pagi (habis subuh) dan sore (habis ashar). 

Inilah ringkasan enam kaidah pokok untuk menyikapi merebaknya wabah Corona sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah al-Ushaimi hafizhahullah; seorang ulama besar dan pengajar tetap di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi Arab Saudi dalam sebuah nasihat beliau yang berjudul ‘Ushul Sittah fil Iftiqar ilallah fisy Syiddah’ atau enam kaidah dalam mewujudkan perasaan fakir/butuh kepada Allah dalam kondisi musibah yang sangat berat. 

Kemudian juga perlu kami tekankan di sini apa-apa yang telah dinasihatkan oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah tentang wajibnya kita untuk bertaubat kepada Allah atas semua dosa. Beliau mengutip nasihat dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu

ما نزل البلاء إلا بذنب وما رفع إلا بتوبة

“Tidaklah Allah menurunkan bala’ (bencana, wabah penyakit) kecuali disebabkan perbuatan dosa, dan tidaklah diangkat bala’ tersebut kecuali dengan bertaubat kepada Allah.”  

Beliau juga mengingatkan kita terhadap firman Allah, 

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang beriman, agar kamu beruntung.” (QS. an-Nur: 31) 

Allah juga berfirman, 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya.” (QS. at-Tahrim: 8)

Beliau juga mewasiatkan agar kita tetap menegakkan sholat 5 waktu dan mengerjakan sholat-sholat sunnah, memperbanyak istighfar, tasbih/membaca subhanallah, memuji Allah/mengucapkan alhamdulillah, berdzikir dan melakukan amal salih, perbanyak sedekah dan memperbanyak shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[5] 

Berdzikir kepada Allah merupakan sebab Allah mengingat dan memberikan pertolongan kepada hamba-Nya. Allah berfirman,

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ

 Ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku pun ingat kepada kalian.” (QS. al-Baqarah : 152)

Ibnu ‘Abbas menafsirkan ayat tersebut, “Ingatlah kalian kepada-Ku dengan melakukan ketaatan kepada-Ku niscaya Aku akan mengingat kalian dengan memberikan ampunan-Ku kepada kalian.”  Sa’id bin Jubair berkata, “Artinya; Ingatlah kalian kepada-Ku pada waktu berlimpah nikmat dan kelapangan niscaya Aku akan mengingat kalian ketika berada dalam keadaan tertimpa kesusahan dan bencana.” [6]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى رَبِّكُمْ فَإِنِّي أَتُوبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ

“Wahai umat manusia, bertaubatlah kepada Allah. Karena sesungguhnya aku bertaubat dalam sehari kepada-Nya seratus kali.” (HR. Muslim no. 2702)

Syaikh Abdul Qayyum as-Suhaibani hafizhahullah mengatakan dalam sebuah nasehatnya, “Tidaklah musibah-musibah -dan kehinaan- menimpa kaum muslimin kecuali disebabkan minimnya perendahan diri mereka kepada Allah. Dan hal ini merupakan sunnah kauniyah; barangsiapa yang tidak mau tunduk merendahkan diri kepada Allah, maka Allah akan buat dia tunduk/merendah kepada selain-Nya.” [7]

Demikian sedikit rangkuman arahan dan nasihat yang dapat kami kumpulkan dengan taufik dari Allah semata. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita dan segera mengangkat wabah ini, sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha dekat serta mengabulkan doa-doa. [8]

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55671-bersama-menanggulangi-wabah-corona.html

Sejarah Haji Pernah Beberapa Kali Ditiadakan (Bagian 3)

Kini, lebih dari dua abad berlalu, bayangan Covid-19 turut mengancam pelaksanaan haji tahun ini. Seorang akademisi dan penulis asal Mesir, Hani Nasira, mengatakan jika kasus Covid-19 di seluruh dunia terus meningkat, keputusan untuk menghentikan ibadah haji seharusnya tidak mengejutkan. 

Sebab, jika diberlakukan, keputusan meniadakan haji dinilainya akan bijaksana dan sesuai dengan syariah Islam. Pasalnya, Islam pada dasarnya bertujuan untuk melindungi dan melestarikan kehidupan masyarakat.

“Di dalam Alquran, Allah berfirman ‘dan jangan bunuh dirimu.’ Nabi Muhammad juga memperingatkan sahabat-sahabatnya terhadap wabah. Abdulrahman bin Awf meriwayatkan, bahwa Nabi Muhammad SAW berkata, ‘jika Anda mendengar wabah di suatu negeri, jangan memasukinya. Tetapi jika wabah itu ada di suatu tempat dan Anda berada di dalamnya, jangan tinggalkan tempat itu.’ Hadits ini menunjukkan pentingnya menghindari wabah,” kata Nasira, dilansir di Arab News, Senin (6/4).

Ia menekankan bahwa wabah Covid-19 telah merenggut ribuan jiwa di seluruh dunia dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Ia mengatakan, seluruh dunia menderita akibat penyebaran virus yang cepat dan semua orang berada dalam ketakutan.

Apalagi, saat ini para ilmuwan belum menemukan obat atau vaksin untuk virus corona. Sehingga, menurutnya, situasi demikian yang berlanjut membuat penangguhan haji diperlukan guna melindungi kehidupan. Ia juga menyoroti beberapa negara Muslim, termasuk Iran dan Turki, yang termasuk negara dengan korban wabah terbesar.

“Kami tidak ingin menambahkan bahan bakar ke api. Itu tidak logis, dan Islam juga tidak pernah menerima atau menyetujui itu. Jika saya seorang mufti, saya tidak akan ragu untuk meminta penangguhan,” tambahnya.

Sementara itu, seorang peneliti studi Islam, Ahmed Al-Ghamdi, mengatakan bahwa haji bukanlah ritual terbatas dalam arti bahwa ibadah haji dapat dilakukan setidaknya sekali seumur hidup seorang Muslim dewasa. Menurutnya, ibadah haji tidak terbatas pada waktu tertentu. Sehingga, Muslim dapat melakukan haji kapan pun dia mau saat mereka telah mencapai usia baligh.

“Nabi Muhammad, misalnya, tidak melakukan haji di tahun pertama haji menjadi kewajiban. Dia melakukan haji setahun kemudian,” kata Al-Ghamdi.

Peneliti yang berspesialisasi dalam ilmu hadits ini juga sependapat dengan Nasira. Menurutnya, syariah Islam sangat mendukung kepentingan dan kesejahteraan publik. Ia mengatakan, haji dapat ditangguhkan dalam hal kebutuhan yang mendesak, seperti karena penyebaran penyakit virus corona, alasan politik atau tekanan keamanan.

Hal itu menurutnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Ia menambahkan, bahwa ibadah haji didirikan dengan alasan dan logika. Dengan demikian, jika pejabat kesehatan menemukan bahwa penyakit menular dapat menyebabkan kematian, ia mengatakan bahwa menjaga kehidupan manusia lebih penting daripada ibadah haji itu sendiri.

“Tidak ada yang salah dengan alur pemikiran dalam syariah Islam ini. Yang Maha Kuasa telah memerintahkan kita untuk tidak menjerumuskan diri kita pada bahaya,” katanya.

IHRAM

Sejarah Haji Pernah Beberapa Kali Ditiadakan (Bagian 2)

Gangguan berikutnya terjadi pada 968 M. Mengutip buku Ibn Kathir “Al-Bidaya wan-Nihayah,” laporan itu menyebutkan bahwa haji pernah ditiadakan karena adanya penyakit yang menyebar di Makkah dan merenggut nyawa banyak jamaah. Pada saat yang sama, unta yang digunakan untuk mengangkut jamaah haji ke Makkah mati karena kelangkaan air.

“Banyak dari mereka yang berhasil mencapai Makkah dengan aman tidak bisa hidup lama setelah haji karena alasan yang sama,” menurut laporan Darah.

Di antara mereka yang datang ke Makkah untuk menunaikan haji dalam jumlah yang signifikan adalah orang Mesir. Namun pada 1000 Masehi, mereka tidak mampu melakukan perjalanan karena tingginya biaya hidup di Saudi pada tahun itu.

Sekitar 29 tahun kemudian, tidak ada jamaah dari Timur atau Mesir yang datang untuk berhaji. Menurut laporan Darah, pada 1030 hanya beberapa jamaah asal Irak yang berhasil mencapai Makkah untuk melakukan haji. Sembilan tahun kemudian, Muslim dari Irak, Mesir, Asia Tengah dan Arab utara tidak dapat melakukan haji.

Kepala departemen sejarah di Universitas King Abdul Aziz, Dr. Emad Taher, mengatakan gangguan yang terjadi saat itu adalah kerusuhan politik dan ketegangan sektarian. Selanjutnya, pada 1099 tidak ada yang melakukan ibadah haji karena takut dan rasa tidak aman di seluruh dunia Muslim sebagai akibat dari perang.

Sekitar lima tahun sebelum Tentara Salib merebut Yerusalem pada 1099, para penguasa Muslim di wilayah Arab kurang bersatu. Akibatnya, tidak ada Muslim yang bisa mencapai Makkah untuk menunaikan haji.

Pada 1168, orang-orang Mesir terjebak dalam konfrontasi dengan Komandan Kurdi Asaduddin Shirkuh, yang ingin memperluas dinasti Zangid ke Mesir. Situasi saat itu secara alami tidak memungkinkan orang Mesir untuk melakukan haji.

Ibadah haji kembali terganggu pada abad ke-13. Laporan Darah menyebutkan, tidak ada orang dari luar wilayah Hijaz yang dapat melaksanakan haji antara tahun 1256 dan 1260.

Selanjutnya, penyelenggaraan haji terganggu akibat kampanye militer yang dilancarkan oleh pemimpin Perancis Napoleon Bonaparte di wilayah Ottoman di Mesir dan Suriah dari 1798 hingga 1801. Hal itu lantas membuat rute standar ke Makkah tidak aman bagi jamaah.

IHRAM