Tata Cara Bayar Zakat Fitrah

Bagaimana tata cara bayar zakat fitrah? Berikut tata cara yang kami sarikan dalam penjelasan Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Insya Allah ini bahasan lengkap dan mudah dipahami.

Penyebutan zakat fitrah

Zakat fitrah adalah kadar harta tertentu yang wajib dikeluarkan pada saat terbenamnya matahari pada akhir hari Ramadhan dengan syarat tertentu, dikenakan bagi setiap mukallaf dan yang ditanggung nafkahnya.

Zakat fitrah ini disebutkan dengan istilah shadaqah al-fithri atau zakat al-fithroh. Para fuqaha menyebut untuk harta yang dikeluarkan zakatnya dengan sebutan fithroh.

Disebut zakat fithri karena kewajibannya dikenakan dengan masuknya Idulfitri pada akhir Ramadhan. Artinya zakat fithri adalah zakat karena berbuka dari berpuasa.

Hukum zakat fitrah

Zakat fitrah itu wajib, diwajibkan pada tahun kedua hijriyah, pada tahun yang sama diwajibkan puasa Ramadhan. Hadits Ibnu ‘Umar berikut menjelaskan tentang kewajiban zakat fitrah. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ

”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa. Zakat tersebut diperintahkan untuk dikeluarkan sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat Id.” (HR. Bukhari, no. 1503 dan Muslim, no. 984)

Hikmah zakat fitrah

Waki’ bin Al-Jarrah mengatakan, “Zakat fitrah untuk bulan Ramadhan itu seperti sujud sahwi ketika shalat. Zakat fitrah itu menutup kekurangan saat puasa sebagaimana sujud sahwi menutupi kekurangan shalat.” (Lihat Mughni Al-Muhtaj dan Al-Majmu’, dinukil dari Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 2:96)

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.” (HR. Abu Daud, no. 1609 dan Ibnu Majah, no. 1827. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Waktu wajib zakat fitrah

Zakat fitrah diwajibkan dengan tenggelamnya matahari pada malam Idulfitri (masuk Idulfitri). Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat untuk berbuka dari Ramadhan (zakat fithri).” (HR. Muslim, no. 984)

  • Dari sini, siapa yang hidup di Ramadhan dan masih ada sampai matahari tenggelam pada malam Idulfitri, lalu ia meninggal dunia setelah itu, maka wajib dikenakan zakat fitrah. Namun, jika ia meninggal dunia sebelum matahari tenggelam, tidak dikenakan wajib zakat fitrah.
  • Siapa saja yang lahir di bulan Ramadhan sebelum tenggelamnya matahari dari hari terakhir Ramadhan dan ia terus hidup hingga matahari tenggelam, maka wajib dikenakan zakat fitrah. Akan tetapi, jika lahir setelah tenggelamnya matahari pada malam Idulfitri, tidak ada kewajiban zakat fitrah.
  • Hal ini juga berlaku untuk orang yang masuk Islam sebelum atau sesudah tenggelamnya matahari tadi.
  • Begitu pula hal ini berlaku jika ada yang menikah di bulan Ramadhan, sampai tenggelam matahari dari akhir Ramadhan, ia masih beristri, ia menanggung zakat fitrah istrinya. Namun jika menikahnya setelah tenggelam matahari, tidak wajib baginya menanggung zakat fitrah istrinya.

Yang terkena kewajiban zakat fitrah

Hukum zakat fitrah itu wajib bagi tiap jiwa yang:

  • mukallaf (terbebani syariat: muslim, baligh, berakal),
  • mendapatkan waktu diwajibkannya zakat fitrah yaitu tenggelamnya matahari pada malam Idulfitri,
  • yang mudah membayar zakat fitrah (punya harta berlebih untuk diri dan keluarga pada malam Idulfitri).

Menanggung zakat fitrah orang lain

Jika terpenuhi syarat-syarat tadi, wajib bagi mukallaf (muslim, baligh, berakal) menunaikan zakat fitrah untuk dirinya masing-masing. Ia juga wajib menunaikan zakat fitrah untuk orang yang ditanggung nafkahnya karena sebab nikah, hubungan kerabat, atau menjadi pembantu (pelayan di rumah). Kesimpulannya, seseorang menanggung zakat fitrah untuk:

  • istrinya, kedua orang tuanya, dan anak-anak yang wajib ia nafkahi (meskipun mereka telah dewasa seperti anak yang kena penyakit kronis atau gila yang tidak punya kemampuan mencari nafkah).
  • pembantunya dan pembantu istrinya jika ia membutuhkan atau yang melayani semisalnya secara umum.

Catatan:

  • Anak yang punya kelapangan nafkah hendaklah menanggung zakat fitrah untuk istri dari ayah (ibu tiri), namun hal itu bukanlah wajib.
  • Seorang ayah tidaklah wajib menanggung nafkah dan zakat fitrah untuk istri dari anak laki-lakinya (menantunya). Demikian sebagaimana disebutkan dalam Al-Majmu’, 6:69, dinukil dari Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 2:99 (bagian catatan kaki).
  • Adapun anak yang sudah dewasa (baligh) dan mampu dalam hal nafkah tidak diwajibkan bagi ayahnya untuk mengeluarkan zakat fitrahnya. Zakat fitrah boleh dibayarkan, asalkan dengan ada izin anak tersebut.
  • Untuk kerabat boleh dikeluarkan zakat fitrah atas nama mereka asalkan dengan izin mereka.
  • Dalam hal mengeluarkan zakat fitrah jika akhirnya punya kelebihan makanan yang terbatas, yang menjadi urutan dalam pengeluaran zakat fitrah adalah: (1) dirinya sendiri, (2) istrinya, (3) anaknya yang paling kecil, (4) ayahnya, (5) ibunya, (6) anaknya yang besar yang tidak mampu bekerja.
  • Jika seseorang hanya mampu menunaikan zakat fitrah untuk dirinya sendiri (untuk satu orang), wajib baginya untuk menanggung dirinya sendiri. Jika dia mementingkan orang lain dalam kondisi ini, zakat fitrahnya tidaklah sah.
  • Jika istri kaya, sedangkan suami orang yang susah, istri tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya, hanya disunnahkan ia mengeluarkannya, agar selamat dari khilaf (perbedaan pendapat dari para ulama).

Ukuran dan jenis zakat fitrah

  • Zakat fitrah dikeluarkan dengan makanan pokok di negeri masing-masing (misal dengan beras, kurma, gandum).
  • Besar zakat fitrah per jiwa adalah 1 sha’ (4 mud, diperkirakan sama dengan 3 Liter, sekitar 2,4 kg)—sebagaimana disebutkan pakar Syafii saat ini, Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhailiy–.
  • Membayar zakat fitrah dengan makanan yang lebih bagus, itu lebih baik karena lebih menambah kebaikan.

Waktu penunaian zakat fitrah

  • Waktu wajib pembayaran zakat fitrah adalah tenggelamnya matahari pada hari terakhir Ramadhan.
  • Waktu yang disunnahkan untuk membayar zakat fitrah adalah sebelum shalat Id sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Umar, “Zakat tersebut diperintahkan untuk dikeluarkan sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat Id.”
  • Boleh mengeluarkan zakat fitrah pada hari Idulfitri secara keseluruhan. Jika zakat fitrah diakhirkan dari hari Idulfitri, hukumnya diharamkan dan wajib diqadha.
  • Zakat fitrah masih boleh disegerakan sejak awal Ramadhan. Dalam madzhab Syafii, zakat fitrah itu wajib karena dua sebab: (1) puasa pada bulan Ramadhan, (2) mendapati waktu berbuka dari berpuasa pada hari raya.

Pengeluaran zakat fitrah

  • Zakat fitrah disalurkan pada golongan yang termasuk pula dalam penerima zakat maal. Pendapat inilah yang dianut madzhab Syafii, disebutkan oleh Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily dalam Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Asy-Syafii, 2:102.
  • Imam Syafii sangat suka menyerahkan zakat fitrah kepada kerabat yang tidak ia tanggung nafkahnya.
  • Zakat fitrah ditunaikan sendiri-sendiri. Anak-anak akan ditunaikan zakat fitrahnya oleh orang tuanya. Istri tidaklah menuntut suami untuk mengeluarkan zakat fitrah untuknya, ia hanya boleh mengingatkan atau menasihatinya.
  • Zakat fitrah tidak diwajibkan untuk janin kecuali kalau janin tersebut lahir sebelum matahari tenggelam pada malam Idulfitri.
  • Zakat fitrah tidak boleh disalurkan pada orang kafir.
  • Zakat fitrah disalurkan pada enam golongan dari delapan golongan yang tercantum dalam surah At-Taubah ayat 60. Yang tidak perlu disalurkan zakat fitrah adalah amil zakat dan muallafatu quluubuhum (mereka yang ingin dilembutkan hatinya).

Referensi:

Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbit Dar Al-Qalam.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24448-tata-cara-bayar-zakat-fitrah-secara-lengkap-dan-mudah-dipahami.html

Pemerintah Undur Kepastian Soal Haji Jadi 1 Juni

Menteri Agama Fachrul Razi meminta jamaah haji untuk bersabar menunggu informasi dan kepastian dari Pemerintah Arab Saudi mengenai keberangkatan mereka. Setelah sebelumnya Menag memberikan tenggat waktu kepada Pemerintah Arab Saudi hingga 20 Mei untuk memberikan informasi, kini tenggat waktu itupun diundur hingga 1 Juni mendatang.

“Kalau tadinya kami buat deadline tanggal 20 Mei, kami mundur jadi 1 Juni sesuai petunjuk bapak Presiden setelah bicara dengan Raja Salman mungkin akan ada kepastian kalau di sana lebih baik,” ujar Menag saat konferensi pers, Selasa (19/5).

Menag mengatakan, Presiden telah berkomunikasi dengan Raja Salman terkait hal ini. Karena itu, Jokowi pun menyarankan agar tenggat waktu yang diberikan kepada Pemerintah Arab Saudi diundur.

Fachrul sendiri menyebut telah menyiapkan beberapa alternatif terkait pemberangkatan jamaah haji. Ketiga alternatif tersebut yakni memberangkat semua jamaah haji sesuai dengan kuota, memberangkatkan sebagian jamaah haji mengingat akan ada penerapan jaga jarak, dan membatalkan seluruh keberangkatan jamaah.

Sementara, negeri jiran Singapura memutuskan menunda pelaksanaan ibadah haji 2020 sampai tahun depan akibat pandemi wabah virus Covid-19. Hal ini disampaikan Dewan Agama Islam Singapura (MUIS) sebagaimana dilansir dari Straitstimes, Sabtu (16/5).

“Dalam konsultasi dengan Kementerian Kesehatan, (MUIS) telah memutuskan bahwa, sebagai pemangku kepentingan yang bertanggung jawab, Singapura sebaiknya menunda rencana Haji 2020 untuk semua 900 peziarah kami ke tahun berikutnya,” bunyi pernyataan MUIS.

Komite Fatwa Singapura, kumpulan cendekiawan agama senior yang mengeluarkan peraturan dan pedoman agama, juga telah melakukan pertemuan membahas persoalan ini. Komite tersebut mendukung penundaan pelaksanaan ibadah haji di tengah pandemi dengan alasan kesehatan dan keselamatan.

IHRAM

Sunnah Terlupakan, Istigfar di Waktu Sahur

[Rubrik: Sekedar Sharing]

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, ada satu sunnah yang kita dan sayapun juga lalai serta lupa, yaitu beristigfar di waktu sahur

Allah Ta’ala berfirman mengenai orang-orang shalih.

وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ

“Dan orang-orang yang meminta ampun di waktu sahur.” (QS. Ali Imran: 17).

Istigfar ini amalan yang cukup mudah tetapi berpahala besar, tentunya harus disertai dengan pemgakuan diri bahwa kita banyak bermaksiat dan lalai mengingat Allah, Rabb yang telah memberikan segalanya kepada kita . Kita harus memelas dan memohon ampun kepada Allah serta merendahkan sayap kesombongan
Makna Istigfar yaitu

Pertama: kita meminta Agar Allah menutupi dosa kita

Yang kedua: Meminta agar Allah mengampuni dan tidak menyiksa kita karena dosa kita

Mari kita isi waktu sahur kita dengan istigfar dan doa karea sahur juga waktu mustajab untuk berdoa, bukan dengan ngobrol-ngobrol, nonton TV atau youtube yang tidak bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

Sungguh, Inilah Orang yang Berpuasa itu?

IMAM Ibnul Qoyyim -rahimahullah- berkata:

Orang yang berpuasa itu adalah orang yang anggota badannya berpuasa dari perbuatan dosa. Lidahnya berpuasa dari perkataan bohong, keji dan dusta.

Perutnya berpuasa dari makan dan minum. Dan farjinya dari berhubungan badan. Jika ia berbicara, maka ia tidak berbicara dengan perkataan yang dapat merugikan puasanya.

Jika ia berbuat, maka ia tidak melakukan perbuatan yang dapat merusak puasanya. Lisannya hanya mengucapannya setiap yang bermanfaat dan baik saja.

Demikian juga amalnya seperti minyak wangi yang mana setiap orang yang duduk bersamanya akan mencium wanginya. Seperti itulah siapa saja yang berteman dengan orang yang berpuasa, ia dapat mengambil manfaat darinya.

Dan selamat dari kedustaan, kebohongan, kemaksiatan dan kedzaliman. Inilah puasa yang disyariatkan, tidak hanya menahan makan dan minum saja.

Maka puasa itu adalah puasanya anggota badan dari dosa. Dan puasanya perut dari makan dan minum.

Seperti halnya makanan dan minuman dapat menghancurkan dan merusaknya, begitu pula dosa dapat melenyapkan pahala dan merusak hasilnya. Sehingga menjadikannya seperti orang yang tidak berpuasa.

[Al Wabilush Sayyib: 32/31]

INILAH MOZAIK

Menyaksikan Lailatul Qadar

Pertanyaan:

Apakah lailatul qadar dapat disaksikan oleh mata manusia secara langsung? Sebagian orang mengatakan bahwa jika seseorang mampu melihat lailatul qadar, maka ia akan menyaksikan cahaya di langit atau yang semisal. Bagaimana dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat ridhwanullah ‘alaihim ajma’in melihatnya? Bagaimana seseorang mengetahui bahwa ia telah menyaksikan lailatul qadar? Apakah seseorang memperoleh pahala meskipun pada malam itu ia tidak bisa melihat lailatul qadar? Kami berharap penjelasan mengenai hal tersebut beserta penyebutan dalilnya.

Jawaban:

Terkadang lailatul qadar dapat disaksikan secara langsung bagi orang-orang yang diberi taufik oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, yakni dengan melihat tanda-tandanya. Dahulu para sahabat radhiyallahu ‘anhum membuktikan datangnya lailatul qadar dengan ciri-cirinya. Namun, ketika seseorang tidak melihat tanda lailatul qadar, bukan berarti ia tidak meraih keutamaannya. Khususnya bagi orang-orang yang menghidupkan malam tersebut karena dorongan iman dan mengharap pahala. Seorang muslim sepatutnya bersungguh-sungguh dalam mencari lailatul qadar di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Sebagaimana perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam rangka berburu pahala. Tatkala ibadahnya yang dilandasi dengan keimanan dan mengharap balasan dari Allah tersebut bertepatan dengan lailatul qadar, maka ia akan memperoleh pahala meskipun ia tidak menyadarinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa menghidupkan lailatul qadar dengan amal shalih karena iman dan berharap pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”

Dalam riwayat yang lain,

مَنْ قَامَهَا ابْتِغَاءَهَا ثُم َّوَقَعَتْ لَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ

Barangsiapa beribadah di malam lailatul qadar karena mencari pahala, kemudian ia mendapatkannya, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.”

Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan bahwa di antara tanda-tanda lailatul qadar adalah terbitnya matahari di pagi harinya tanpa sinar terik. Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu dahulu pernah bersumpah bahwa lailatul qadar jatuh pada malam ke-27 dan berargumen dengan ciri-ciri ini. Namun, pendapat yang lebih kuat yakni bahwa lailatul qadar berpindah-pindah di sepuluh malam yang terakhir. Malam yang ganjil lebih besar kemungkinannya. Malam ke-27 adalah malam ganjil yang lebih ditekankan lagi. Barangsiapa bersungguh-sungguh dalam sepuluh hari terakhir dengan shalat, membaca Al-Qur’an, berdoa, dan berbagai amal kebaikan yang lain, maka ia pasti akan mendapatkan lailatul qadar tanpa diragukan lagi. Ia pun berhasil memperoleh keutamaan yang telah Allah janjikan bagi hamba-Nya yang menghidupkan lailatul qadar jika ia melakukannya dengan motivasi iman dan mengharap pahala.

Wallahu waliyyut taufiq wa shallallahu wasallama ‘ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi.

Teks fatwa:

حول رؤية ليلة القدر

سؤال:
هل ترى ليلة القدر عيانا أي أنها ترى بالعين البشرية المجردة؟ حيث أن بعض الناس يقولون إن الإنسان إذا استطاع رؤية ليلة القدر يرى نورا في السماء ونحو هذا، وكيف رآها رسول الله ﷺ والصحابة رضوان الله عليهم أجمعين؟ وكيف يعرف المرء أنه قد رأى ليلة القدر؟ وهل ينال الإنسان ثوابها وأجرها وإن كانت في تلك الليلة التي لم يستطع أن يراها فيها؟ نرجو توضيح ذلك مع ذكر الدليل.

جواب:
قد ترى ليلة القدر بالعين لمن وفقه الله سبحانه، وذلك برؤية أماراتها، وكان الصحابة يستدلون عليها بعلامات، ولكن عدم رؤيتها لا يمنع حصول فضلها لمن قامها إيمانا واحتسابا، فالمسلم ينبغي له أن يجتهد في تحريها في العشر الأواخر من رمضان كما أمر النبي ﷺ طلبا للأجر والثواب فإذا صادف قيامه إيمانا واحتسابا هذه الليلة نال أجرها وإن لم يعلمها قال ﷺ: من قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه وفي رواية أخرى: من قامها ابتغاءها ثم وقعت له غفر له ما تقدم من ذنبه وما تأخر.
وقد ثبت عن النبي ﷺ ما يدل على أن من علاماتها طلوع الشمس صبيحتها لا شعاع لها، وكان أبي بن كعب يقسم على أنها ليلة سبع وعشرين ويستدل بهذه العلامة، والراجح أنها متنقلة في ليالي العشر كلها، وأوتارها أحرى، وليلة سبع وعشرين آكد الأوتار في ذلك، ومن اجتهد في العشر كلها في الصلاة والقرآن والدعاء وغير ذلك من وجوه الخير أدرك ليلة القدر بلا شك وفاز بما وعد الله به من قامها إذا فعل ذلك إيمانا واحتسابا.
والله ولي التوفيق وصلى الله وسلم على نبينا محمد وآله وصحبه[1].
Diterjemahkan dari https://binbaz.org.sa/fatwas/1883/%D8%AD%D9%88%D9%84-%D8%B1%D9%88%D9%8A%D8%A9-%D9%84%D9%8A%D9%84%D8%A9-%D8%A7%D9%84%D9%82%D8%AF%D8%B1

Penerjemah: Ummu Fathimah

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/12108-menyaksikan-lailatul-qadar.html

Seorang Istri Yang Tawadhu’

Tak jarang ditemui sosok istri yang shalihah, tekun thalabul ‘ilmi, gemar tilawah Al-Qur`an bahkan bercita-cita menjadi hafizhah (penghapal Al-Qur`an), ibadah wajib dan sunnah-nya sangat luar biasa. Sementara takdir mengantarkannya berjodoh dengan sosok suami yang kadar iman dan amal shalihnya biasa saja. Bagaimana sikap yang bijak bagi istri dalam menjembatani perbedaan tersebut agar kehidupan pernikahannya harmonis lagi bahagia?

Jadilah pribadi yang tawadhu’

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku supaya kalian bersikap tawadhu’ sehingga tidak ada seseorang yang membanggakan dirinya terhadap yang lain, dan tidak seseorang yang mendzhalimi yang lain.” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)

Seorang istri hendaklah rendah hati dan tidak berbangga diri dengan keimanan dan amal shalihnya. Semua itu tentunya terwujud dengan hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tak sepantasnya ia merendahkan suaminya, bisa jadi suami juga mempunyai kelebihan, seperti kebersihan hati dari hasad, kesabaran ekstra dalam mencari rezeki, hatinya mudah tersentuh penderitaan orang lain atau amal lain yang tersembunyi yang tidak diketahui istri.

Yakinlah, Anda bisa jadi mampu mewujudkan gambaran indah sebagai wanita shalihah karena doa dan keikhlasan suami dalam memberi Anda keleluasaan beragama sebagai tanggung jawab kepala rumah tangga. Maka bersyukurlah pada Allah dan berterima kasih pada pasangan. Sebagai wanita shalihah, Anda harus menghargai suami, hindari komentar negatif yang tidak perlu ketika saatnya Anda memberi masukan demi kemaslahatan bersama. Terimalah ia dengan segala kelebihan dan kekurangan yang bisa dibenahi bersama dengan bijak dan hikmah. Akuilah kelebihannya dengan proporsional meski Anda kadang melakukan pengorbanan demi kebahagiaan bersama.

Agungkan hak suami

Penghormatan dan bakti istri akan lebih kokoh ketika ia memahami hak-hak suami yang harus ditunaikan. Dari Hushain bin Muhshan, ia menuturkan bahwa bibinya menuturkan kepadanya : “Aku datang menemui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam karena ada keperluan. Beliau bersabda: “Siapa ini? Apakah engkau bersuami?” Ia menjawab:”Ya benar.” Beliau shalallahu hi wa sallam bersabda: “Bagaimana engkau terhadapnya?” Aku menjawab:”Aku tidak mengecewakannya kecuali yang tidak mampu aku lakukan.” Beliau bersabda: “Lihatlah dimana kedudukanmu dari dia, ia adalah surgamu dan nerakamu.” (HR. Ahmad. no. 19025, 27392, Al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra no. 14483)

Saatnya Anda menunjukkan muamalah yang baik, segera raih kecintaannya dengan terus mendoakan agar suami meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam menjalankan agama. Jadilah istri yang selalu membuatnya ridha. Ketika Anda telah berupaya untuk membuatnya tertawan oleh pesona kebaikan anda, dia akan bersimpati bahkan sangat menghargai Anda. Insya Allah dengan kesabaran, kelembutan, dan sikap yang mencerminkan kemuliaan akhlak maka segala yang Anda anggap beda akan lebih mudah dijembatani dengan sikap lapang dada.

Tunjukkan bahwa Anda mampu membersamainya dalam segala suasana, lebih fokuslah dalam menjalankan kewajiban Anda sebagai istri shalihah. Didiklah anak-anak dengan baik sebagaimana perintah Allah dan Rasul-Nya sebagai aplikasi dari ketaatan pada suami. Muslimah yang bertakwa akan lebih dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan suami.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah orang beriman mendapat manfaat lebih baik setelah takwa kepada Allah daripada istri yang shalihah yang bilamana suaminya memandang ia menyenangkan, bilamana memberi perintah ia menaatiny, bilamana memberinya jatah ia berbuat baik kepadanya, bilamana tidak hadir bersamanya ia memelihara kehormatan dirinya dan harta bendanya.” (HR. Abu Dawud no.1417, Ibnu Majah no 1857)

Wallahu a’lam.
***
Referensi :
1. Aturan Islam Tentang Bergaul dengan Sesama (terjemah), DR. ‘Abdul ‘Aziz bin Fauzan bin Shalih al-Fauzan, Griya Ilmu, Jakarta, 2010.
3. Begini Seharusnya menjadi Guru (terjemah), Fuad bin ‘Abdul ‘Aziz asy- Syalhub, Darul Haq, Jakarta, 2014.

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/12105-seorang-istri-yang-tawadhu.html

Bolehkah Berbuka Sebelum Mendengar Adzan?

KETIKA matahari telah terbenam, maka orang berpuasa dihalalkan untuk berbuka. Baik muazin adzan maupun belum. Yang menjadi patokan adalah terbenamnya matahari. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam:

“Ketika malam telah datang dari sini dan siang meninggalkan dari sini serta matahari telah terbenam, maka orang berpuasa sudah boleh berbuka.” (HR. Bukhori, 1954 dan Muslim, 1100)

Ibnu Daqiqul Id mengatakan, “Hadits ini sebagai bantahan terhadap orang Syiah yang mengakhirkan berbuka sampai terlihat bintang.” (Fathul Bari)

Dikutip dari islamqa.info sebagian muazin terkadang mengakhirkan beberapa waktu setelah terbenam matahari. Hal ini tidak dijadikan patokan azannya. Tindakannya ini menyalahi petunjuk Nabi sallallahu alaihi wa sallam yang menganjurkan untuk bersegera berbuka setelah terbenam matahari seraya bersabda:

“Orang-orang senantiasa dalam kebaikan selagi mensegerakan berbuka.” (HR. Bukhori, 1957 dan Muslim, 1098)

Jika orang yang berpuasa memiliki kuat dugaan bahwa matahari sudah terbenam, maka diperbolehkan berbuka, tidak disyaratkan harus mendapatkan keyakinan, tapi cukup dengan perkiraan kuat. Ketika orang berpuasa dalam persangkaan kuat matahari telah terbenam, maka berbuka tidak apa-apa. Namun, tidak boleh dia berbuka selagi dia masih ragu dengan terbenamnya matahari.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Disunahkan bersegera berbuka maksudnya adalah bersegera ketika telah terbenam matahari maka yang menjadi patokan adalah terbenam matahari bukan azan terutama waktu sekarang, karena orang-orang berpedoman pada kalender dan menjadikannya sebagai acuan dengan jamnya, sementara jamnya terkadang berubah lebih cepat atau lebih lambat. Jika matahari telah terbenam dan anda menyaksikannya, sementara orang-orang belum azan, maka anda dibolehkan berbuka. Kalau mereka telah azan, sementara anda melihat matahari belum terbenam, maka anda tidak diperbolehkan berbuka. Karena Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Ketika malam datang dari sini (seraya memberi isyarat ke arat timur) dan siang meninggalkan dari sini (seraya memberi isyarat ke arah barat), dan matahari telah terbenam, maka orang berpuasa sudah boleh berbuka.”

Adanya sisa cahaya terang tidak berpengaruh. Sebagian orang mengatakan, “Kita tetap (menunggu) sampai bulatan (Matahari) tidak nampak dan hari mulai gelap. Hal ini tidak dijadikan patokan. Tapi lihatlah bulatan matahari itu, kapan dia terbenam bagian paling atas, maka matahari telah terbenam dan disunahkan berbuka.

Dalil disunahkan bersegera adalah sabda Beliau sallallahu alaihi wa sallam:

“Orang-orang senantiasa dalam kebaikan selagi mensegerakan berbuka.”

Dengan demikian dapat kita ketahui, bahwa orang yang mengakhirkan berbuka sampai terlihat bintang seperti Rofidhoh mereka tidak dalam kebaikan.

Kalau ada orang mengatakan, “Apakah saya diperbolehkan berbuka dengan persangkaan kuat, dalam artian kalau dalam persangkaan kuatku bahwa matahari telah terbenam, apakah saya diperbolehkan berbuka?

Maka jawabnya adalah ya, dalil akan hal itu adalah apa yang ada ketetapan dalam Shahih Bukhori dari Asma’ binti Abu Bakar radhiallahu anha berkata:

“Kami berbuka di hari mendung pada zaman Nabi sallallahu alaihi wa sallam, kemudian terbit (kelihatan) matahari.”

Telah diketahui mereka tidak berbuka dengan keyakinan (ilmu), karena kalau mereka berbuka dengan keyakinan (ilmu), maka matahari tidak akan terlihat lagi. Akan tetapi mereka berbuka berdasarkan persangkaan kuat telah terbenam. Kemudian mendungnya tersingkap dan matahari terlihat.” (Asy-Syarhul Mumti’, 6/267). []

ISLAMPOS




Ulama Arab Saudi Serukan Sholat Idul Fitri di Rumah

Grand Mufti Arab Saudi Syeh Abdul Aziz al-Asheikh menyerukan sholat Idul Fitri di rumah selama situasi pandemi corona belum reda. Sholat Idul Fitri terdiri atas dua rakaat dengan tambahan sejumlah takbir.

Dilansir di Saudi Gazette, Senin (18/5), al-Asheikh juga menyoroti zakat fitrah agar dibagikan sebelum Idul Fitri. Muslim Arab Saudi bisa menyerahkan zakat ke lembaga tepercaya. “Orang tua harus menyenangkan anak kecilnya selama masa ini agar mereka tenang,” kata al-Asheikh.

Sementara itu, anggota komisi Fatwa Arab, Syeh Abdul Salam Abdullah al-Sulaiman, menyebut sholat Idul Fitri bisa dilakukan secara individual atau berjamaah di rumah. Ia membagikan pedoman sholat Idul Fitri agar Muslim tak salah jika melakukannya di rumah.

“Disarankan membaca surat al-Qaf, al-Qamar, surah al-A’la, atau al-Ghashiya setelah membaca al-Fatihah,” ujar al-Sulaiman.

Al-Sulaiman mencontohkan sahabat Nabi Muhammad, Anas bin Malik, pernah menunaikan sholat Idul Fitri di rumah bersama keluarga. Alasannya, ia tak kunjung menemukan tempat untuk menyelenggarakan sholat Idul Fitri di sekitar Kota Basra.

“Disarankan sholatnya 15-30 menit setelah matahari terbit, bukan saat matahari terbit,” kata al-Sulaiman.

IHRAM 

Bolehkah Tidak Shalat Jum’at karena Covid-19? Ini Penjelasan Kiai Cholil Nafis

Seusai fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Covid-19 dikeluarkan banyak diskusi dan masyarakat bertanya-tanya. Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis menjelaskan bahwa dalam fatwa tersebut menegaskan tentang dua hal:

Pertama, orang yang terpapar Covid-19 harus mengisolasi diri dan haram untuk melaksanakan shalat Jum’at karena dapat menularkan dan membahayakan orang lain. Tentu prinsipnya, memelihara kemaslahatan umum didahulukan daripada kemaslahatan individu dan juga prinsip menolak keburukan didahulukan daripada memperoleh kebaikan.

Kedua, orang yang sehat dan belum diketahui terkena Covid-19 maka ada dua hal dan kondisi. Jika ia berada di daerah yang rawan tinggi dan menurut otoritas medis dan pemerintah yang dipercaya rawan dan bahaya dengan penularan penyakit maka ia boleh tidak melaksanakan shalat Jum’at. Kata Boleh itu artinya juga boleh melaksanakan jum’atan. Meskipun itu juga bisa jadi udzur untuk tidak melaksanakan shalat jum’at.

Namun, jelas laki-laki yang saat ini juga menjabat sebagai Dewan Pengawas Koperasi Syariah itu, jika dalam kondisi sehat di tempat yang rendah bahkan tak ada tanda-tanda penularan Civid-19 maka tetap wajib shalat Jum’at dengan penuh kehati-hatian dan ikhtiyar dengan sebaik-baiknya, seperti jaga kebersihan dan selalu memelihara wudhu.

Yang perlu diperhatikan adala kata Tidak melaksanakan ibadah jum’at itu berbeda dengan meniadakan jum’atan. “Tidak melaksanakan shalat jum’at berarti bisa saja hanya dia sendiri yang tak melaksanakan shalat jum’at. Namun meniadakan shalat jum’at berarti melarang semuanya untuk menyelenggarakan ibadah shalat Jum’at,” jelasnya sebagaimana dalam penjelasan tertulis di laman facebook-nya.

Tentu meniadakan shalat jum’at pasti bertentangan dengan semangat beragama dan melanggar kewajiban agama, namun shalat Jum’at itu selalu dilakukan dengan ramai hingga melibatkan puluhan kadangkala ratusan orang sehingga dikhawatirkan wabahnya cepat menular kepada orang banyak.

Ketentuan Hukum Shalat Jum’at Menurut Empat Madzhab

Masih menurut Kiai Cholil Nafis, dalam kondisi mewabahnya Covid-19 ini umat Islam dapat memilih pendapat imam mazhab yang lebih memungkin tentang syarat sahnya shalat jum’at harus berjemaah. “Mari kita simak pendapat ulama tentang jumlah jemaah shalat Jum’at,” katanya lagi.

1. Madzhab Hanafi.

Syarat sahnya shalat jum’at harus berjemaah yang sedikitnya berjumlah tiga orang selain Imamnya (4 orang). Dan ketiganya tidak harus hadir saat khutbah, yang penting di antara jemaah meskipun hanya seseorang ada yang mendengarkan khutbah. Shalat jum’atnya pun tak harus dimasjid.

2. Madzhab Maliki

Shalat Jum’at harus dilaksanakan secara berjemaah yang sedikitnya dua belas orang selain imam (13 orang) dengan syarat semua jemaahnya adalah orang yang wajib shalat jum’at, penduduk setempat dan semuanya hadir dari awal khutbah sampai selesai pelaksanaan shalat jum’at.

3. Madzhab Syafi’i

Shalat Jum’at dilaksanakan oleh jemaah yang sedikitnya empat puluh orang meskipun sekalian dengan imamnya. Semua harus penduduk setempat, orang-orang yang wajib shalat jum’at yang hadir dari awal khutbah sampai selesai pelaksanaan shalat.

4. Madzhab Hanbali

Demikian madzhab Hambali hampir sama dalam hal ini dengan madzhab Syafi’i.

Semua pendapat imam mazhab ini, jelas Kiai Cholil Nafis, memungkinkan untuk diikuti asalkan tidak karena talfiq, yakni memcampur pendapat ulama mazhab dengan tujuan cari kemudahan dan  menggampangkan hukum Islam (tatabbu’urukhash)

Menurut Kiai yang menyelesaikan Post Doctoral-nya di Muhammad V University, Maroko itu, di antara sebab perbedaan pendapat ulama ini adalah interpretasi surat al-Jum’ah ayat 9 yang dapat ditafsirkan jumlah peserta yang diseru untuk shalat Jum’at 3 orang lebih. Maka lebih dari 3 orang dalam satu daerah hukumnya wajib melaksanakan shalat Jum’at. Tapi karena kehati-hatian Imam Syafi’i menyaratkan minimal shalat jum’at dilakukan oleh 40 orang.

Sementara, jelasnya, kondisi sekarang ini seperti di Jakarta dapat memilah tempat mana yang rawan covid-19 sehingga boleh meninggalkan shalat Jum’at demi keselamatan diri dan masyarakat. Lalu seperti daerah lain yang masih steril dari Covid-19 maka wajib melaksanakan shalat Jum’at seraya ikhtiyar dan berhati-hati. Wallahua’alam bisshawab.

BINCANG SYARIAH

Semua Manusia Akan Singgah ke Neraka?

SALAH satu jemaah pengajian bertanya kepada Ustaz Ammi Nur Baits terkait Surat Maryam 71-72 yang disebutkan bahwa semua akan mendatangi Neraka. Apakah kita akan masuk kedalamnya? Atau menghampirinya lalu setelah itu apa? Apakah hanya melewati jurang Asshirat?

Atas pertanyaan itu, Ustaz Ammi menjelaskan sebagai berikut: Bismillah was shalatu was salamu ala Rasulillah, wa badu.

Kita simak firman Allah, “Tidak ada seorangpun dari kamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut.” (QS. Maryam: 71 72)

Selanjutnya kita akan lihat, bagaimana respons para ulama ketika membaca ayat ini. Pertama, riwayat dari Qais bin Abu Hazim bahwa Abdullah bin Rawahah pernah sakit dan kepalanya diletakkan di pangkuan istrinya. Lalu beliau menangis dan istrinya pun ikut menangis.

“Mengapa kamu nangis” tanya Abdullah.

“Aku lihat kamu nangis, jadi aku ikutan nangis.” Jawab istrinya.

Lalu Abdullah mengatakan, “Aku teringat firman Allah Taala, Tidak ada seorangpun dari kamu, melainkan mendatangi neraka itu. Dan aku tidak tahu, apakah aku bisa selamat ataukah tidak?.” (Tafsir Abdurrazaq, 2/11)

Kedua, riwayat dari Abu Ishaq, bahwa Abu Maisarah jika hendak tidur, beliau mengatakan, “Andai aku tidak dilahirkan ibuku.” Lalu beliau menangis. “Apa yang membuat anda menangis, hai Abu Maisarah?” tanya kawannya.

Kata Abu Maisarah, Aku mendapat kabar di Alquran bahwa aku akan mampir ke Neraka. Sementara aku tidak mendapat kabar dari Alquran bahwa aku akan selamat darinya.” (Tafsir at-Thabari, 16/82)

Ketiga, Hasan al-Bashri menceritakan, ada dua orang bersaudara yang ngobrol.

Si A: “Bukankah ada ayat yang mengabarkan bahwa kita akan mampir ke Neraka?”

Si B: “Benar.”

Si A: “Lalu apakah ada ayat yang mengabarkan bahwa kamu akan dikeluarkan dari Neraka?”

Si B: “Tidak ada.”

Si A: “Lalu mengapa kita banyak ketawa.”

Setelah itu, tidak pernah terlihat keduanya tertawa sampai bertemu Allah (wafat). (Tafsir Ibnu Katsir, 5/252).

Keempat, riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma. Ketika beliau membaca ayat di atas, beliau mengatakan, Demi Allah, sungguh doa orang di masa silam: “Ya Allah, keluarkanlah aku dari Neraka dengan selamat, dan masukkanlah aku ke dalam Surga dengan sukses.” (Tafsir Ibnu Katsir, 5/253)

Dari keteragan di atas, para ulama memahami bahwa sasaran dari ayat ini adalah semua manusia. Hingga orang-orang soleh di masa silam, mereka khawatir, termasuk di dalamnya.

Imam as-Sadi mengatakan, ayat itu diarahkan kepada seluruh makhluk. Yang baik maupun yang jahat. Mukmin maupun kafir, bahwa mereka semua pasti akan menghampiri Neraka. Sebagai bentuk ketetapan dari Allah dan ancaman bagi para hamba-Nya. Dan itu pasti terjadi, tidak bisa dielakkan.

Selanjutnya, beliau menyebutkan beberapa perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang makna menghampiri neraka itu,

Pertama, yang dimaksud menghampiri neraka adalah memasukinya. Namun bagi orang mukmin, itu menjadi dingin dan mereka selamat. Kedua, bahwa semua makhluk akan mendatanginya, sehingga mereka semua mengalami ketakutan, kemudian setelah itu, Allah selamatkan orang yang bertakwa.

Ketiga, maknanya adalah melewati jembatan, yang berada di punggung jahannam. Manusia melewatinya sesuai bekal amal yang mereka miliki. Ada yang seperti kilat, ada yang seperti angin berhembus, atau ada yang seperti kuda cepat, ada juga seperti onta cepat. Ada yang berlari, ada yang berjalan, ada yang tersandung-sandung, dan ada yang tersambar hingga masuk neraka. Semua sesuai kadar takwanya.

Karena itulah, Allah berfirman di lanjutan ayat, “Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam Neraka dalam keadaan berlutut.” (QS. Maryam: 71 72). Karena yang kekal di neraka, hanyalah orang kafir. (Tafsir as-Sadi, hlm. 498).

Dan keterangan ini, sesuai tafsir Ibnu Abbas, sebagaimana yang diriwayatkan at-Thayalisy, dari Syubah, dari Abdullah bin Saib, dari orang yang pernah mendengar Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, beliau mengatakan, “Tidak ada seorangpun dari kamu, melainkan mendatangi neraka itu.” Maksudnya adalah orang kafir. (Ibnu Katsir, 5/283). Allahu alam. [konsultasisyariah]

INILAH MOZAIK