Masalah hutang orang yang telah meninggal kerap kali menjadi polemik di tengah masyarakat. Tidak jarang, ada orang tua yang bermudah-mudahan berhutang dengan anggapan bahwa nanti anak-anaknya yang akan melunasi hutangnya. Benarkah demikian?
Hutang mayit wajib dibayar dari harta waris
Orang yang meninggal dalam keadaan memiliki hutang, wajib segera dibayarkan hutang tersebut dari harta si mayit. Allah ta’ala setelah menjelaskan beberapa bagian waris, Allah ta’ala berfirman:
مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
“(itu dilakukan) setelah ditunaikan wasiat dari harta atau setelah ditunaikan hutang” (QS. An Nisa: 11).
Maka uang peninggalan si mayit wajib digunakan untuk membayar hutang-hutangnya terlebih dahulu sebelum dibagikan kepada ahli waris. Al Bahuti mengatakan:
ويجب أن يسارع في قضاء دينه، وما فيه إبراء ذمته؛ من إخراج كفارة، وحج نذر، وغير ذلك
“Wajib menyegerakan pelunasan hutang mayit, dan semua yang terkait pembebasan tanggungan si mayit, seperti membayar kafarah, haji, nadzar dan yang lainnya” (Kasyful Qana, 2/84).
Jika uangnya sudah habis dan hutangnya masih ada, maka wajib menjual aset-aset milik mayit untuk membayar hutang. Syaikh Muhammad Mukhtar Asy Syinqithi mengatakan:
فإذا مات الوالد أو القريب وقد ترك مالاً أو ترك بيتاً ، وعليه دين : فيجب على الورثة أن يبيعوا البيت لسداد دينه ، وهم يستأجرون
“Jika seorang anak meninggal atau seorang kerabat meninggal, dan ia meninggalkan harta atau rumah, sedangkan ia punya hutang. Maka wajib bagi ahli waris untuk menjual rumahnya untuk melunasi hutangnya, walaupun mereka sedang menyewakannya” (Syarah Zadul Mustaqni).
Anak tidak wajib menanggung hutang orang tua
Jika uang peninggalan mayit sudah habis dan aset pun sudah habis, maka tidak ada kewajiban bagi ahli waris untuk melunasi. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan:
فَإِنْ لَمْ يَخْلُفْ تَرِكَةً، لَمْ يُلْزَمْ الْوَارِثُ بِشَيْءٍ؛ لِأَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ أَدَاءُ دَيْنِهِ إذَا كَانَ حَيًّا مُفْلِسًا، فَكَذَلِكَ إذَا كَانَ مَيِّتًا
“Jika mayit tidak meninggalkan harta waris sedikitpun, maka ahli waris tidak memiliki kewajiban apa-apa. Karena mereka tidak wajib melunasi hutang si mayit andai ia bangkrut ketika masih hidup, maka demikian juga, mereka tidak wajib melunasinya ketika ia sudah meninggal” (Al Mughni, 5/155).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan: “andaikan mayit punya hutang 1000 dan warisannya 500, maka ahli waris tidak boleh dituntut untuk membayar lebih dari 500 itu. Karena tidak ada harta si mayit yang ada di tangan mereka kecuali sejumlah itu saja. Dan mereka tidak boleh diwajibkan untuk membayarkan hutang orang tuanya. Maksudnya, jika yang meninggal dalam keadaan punya hutang adalah ayahnya dan hutangnya lebih besar dari warisannya maka anak tidak wajibkan untuk membayar hutang ayahnya” (Al Qawa’idul Ushul Al Jami’ah, 195).
Sehingga tidak layak seseorang mengatakan “biar saya berhutang sebanyak-banyaknya, toh kalau saya mati nanti yang melunasi adalah keluarga saya”. Ini tidak dibenarkan, karena keluarganya atau ahli warisnya tidak berkewajiban untuk melunasinya.
Hukumnya mustahab (dianjurkan) untuk melunasi hutang orang tua
Walaupun tidak wajib, hukumnya mustahab (dianjurkan) bagi ahli waris, terutama bagi anak-anak dari mayit untuk membayarkan hutang orang tuanya yang sudah meninggal. Al Bahuti mengatakan:
فإن تعذر إيفاء دينه في الحال، لغيبة المال ونحوها استُحب لوارثه ، أو غيره : أن يتكفل به عنه
“Jika hutang mayit tidak bisa dilunasi ketika ia meninggal, karena tidak adanya harta padanya, atau karena sebab lain, maka dianjurkab bagi ahli waris untuk melunasinya. Juga dianjurkan bagi orang lain untuk melunasinya” (Kasyful Qana, 2/84).
Sehingga mayit terbebaskan dari keburukan yang disebabkan karena hutang. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
نَفْسُ الْـمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّىٰ يُقْضَى عَنْهُ
“Ruh seorang mukmin tergantung karena hutangnya hingga dilunasi” (HR. Tirmidzi no. 1078, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Apa yang dimaksud dengan ruhnya tergantung? Al Mula Ali Al Qari menjelaskan:
فَقِيلَ: أَيْ مَحْبُوسَةٌ عَنْ مَقَامِهَا الْكَرِيمِ، وَقَالَ الْعِرَاقِيُّ: أَيْ: أَمْرُهَا مَوْقُوفٌ لَا يُحْكَمُ لَهَا بِنَجَاةٍ وَلَا هَلَاكٍ حَتَّى يُنْظَرَ، أَهَلْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ مِنَ الدَّيْنِ أَمْ لَا؟
“Sebagian ulama mengatakan: ruhnya tertahan untuk menempati tempat yang mulia. Al Iraqi mengatakan: maksudnya, ia (di alam barzakh) dalam kondisi terkatung-katung, tidak dianggap sebagai orang yang selamat dan tidak dianggap sebagai orang yang binasa sampai dilihat apakah masih ada hutang yang belum lunas atau belum?” (Mirqatul Mafatih, 5/1948).
Ash Shan’ani mengatakan:
وَهَذَا الْحَدِيثُ مِنْ الدَّلَائِلِ عَلَى أَنَّهُ لَا يَزَالُ الْمَيِّتُ مَشْغُولًا بِدَيْنِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ
“Hadits ini adalah diantara dalil yang menunjukkan bahwa mayit terus berada dalam kerepotan karena hutangnya, setelah kematiannya” (Subulus Salam, 1/469).
Namun sekali lagi, membayar hutang itu bukan kewajiban anak-anak atau ahli waris, hukumnya mustahab (dianjurkan) saja. Oleh karena itu boleh juga dilakukan oleh orang lain yang selain ahli waris. Sebagaimana Abu Qatadah pernah melunasi mayit salah seorang sahabat yang meninggal.
Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu ia mengatakan:
تُوُفِّيَ رَجُلٌ مِنَّا, فَغَسَّلْنَاهُ, وَحَنَّطْنَاهُ, وَكَفَّنَّاهُ, ثُمَّ أَتَيْنَا بِهِ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقُلْنَا: تُصَلِّي عَلَيْهِ? فَخَطَا خُطًى, ثُمَّ قَالَ: أَعَلَيْهِ دَيْنٌ? قُلْنَا: دِينَارَانِ، فَانْصَرَفَ, فَتَحَمَّلَهُمَا أَبُو قَتَادَةَ، فَأَتَيْنَاهُ, فَقَالَ أَبُو قَتَادَةَ: اَلدِّينَارَانِ عَلَيَّ، فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أُحِقَّ اَلْغَرِيمُ وَبَرِئَ مِنْهُمَا اَلْمَيِّتُ? قَالَ: نَعَمْ, فَصَلَّى عَلَيْهِ
“Ada seorang laki-laki di antara kami meninggal dunia, lalu kami memandikannya, menutupinya dengan kapas, dan mengkafaninya. Kemudian kami mendatangi Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan kami tanyakan: Apakah baginda akan menyalatkannya? Beliau melangkah beberapa langkah kemudian bertanya: “Apakah ia mempunyai hutang?”. Kami menjawab: Dua dinar. Lalu beliau kembali. Maka Abu Qatadah menanggung hutang tersebut. Ketika kami mendatanginya; Abu Qotadah berkata: Dua dinar itu menjadi tanggunganku. Lalu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Betul-betul engkau tanggung dan mayit itu terbebas darinya” (HR. Abu Daud no.3343, dihasankan Al Albani dalam Ahkamul Jana’iz hal. 27).
Bahaya berhutang
Jika kita telah memahami penjelasan di atas, kita akan mendapatkan pelajaran tenrang bahaya berhutang. Karena ketika anda meninggal dalam keadaan memiliki hutang, tidak ada orang lain yang berkewajiban membayarkan hutang anda. Selain itu, banyak lagi keburukan yang disebabkan karena hutang. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
أيما رجلٍ تديَّنَ دَيْنًا ، و هو مجمِعٌ أن لا يُوفِّيَه إياه لقي اللهَ سارقًا
“Siapa saja yang berhutang dan ia tidak bersungguh-sungguh untuk melunasinya, maka ia akan bertemu Allah sebagai seorang pencuri” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 5561, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no. 2720).
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
من مات وعليه دَينٌ ، فليس ثم دينارٌ ولا درهمٌ ، ولكنها الحسناتُ والسيئاتُ
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih punya hutang, maka kelak (di hari kiamat) tidak ada dinar dan dirham untuk melunasinya namun yang ada hanyalah kebaikan atau keburukan (untuk melunasinya)” (HR. Ibnu Majah no. 2414, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 437).
Maka jangan bermudah-mudahan untuk berhutang dan jika masih memiliki hutang maka hendaknya bersegera untuk melunasinya. Karena ketika anda meninggal dalam keadaan memiliki hutang, tidak ada orang lain yang berkewajiban membayarkan hutang anda. Rezeki dari Allah, jika ternyata ada yang mau melunasi hutang anda setelah anda meninggal. Namun jika tidak ada bagaimana? Wal’iyyadzu billah.
Semoga Allah memberi taufik.
Penulis: Yulian Purnama
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/57223-apakah-anak-wajib-membayar-hutang-orang-tua.html