Berapa Hari Kita Disunnahkan Puasa Rajab?

Kesunnahan puasa di bulan rajab telah dirumuskan oleh para dalam beberapa kitab fiqih klasik. Semuanya hampir sepakat mengenai anjuran berpuasa sunnah di bulan rajab dengan berdasarkan dalil-dalil dan argumen yang Sharih (jelas) dan dapat dipertanggung jawabkan.

Pada tulisan sebelumnya penulis telah menjelaskan bahwa kesunahan puasa Rajab ditetapkan berdasarkan beberapa hadis Nabi. Yang di antaranya adalah hadis riwayat Abi Dawud sebagai berikut:

عَنْ مُجِيبَةَ الْبَاهِلِيَّةِ عَنْ أَبِيهَا أَوْ عَمِّهَا أَنَّهُ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَأَتَاهُ بَعْدَ سَنَةٍ وَقَدْ تَغَيَّرَتْ حَالُهُ وَهَيْئَتُهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمَا تَعْرِفُنِي قَالَ وَمَنْ أَنْتَ قَالَ أَنَا الْبَاهِلِيُّ الَّذِي جِئْتُكَ عَامَ الْأَوَّلِ قَالَ فَمَا غَيَّرَكَ وَقَدْ كُنْتَ حَسَنَ الْهَيْئَةِ قَالَ مَا أَكَلْتُ طَعَامًا إِلَّا بِلَيْلٍ مُنْذُ فَارَقْتُكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَ عَذَّبْتَ نَفْسَكَ ثُمَّ قَالَ صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَيَوْمًا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَ زِدْنِي فَإِنَّ بِي قُوَّةً قَالَ صُمْ يَوْمَيْنِ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ وَقَالَ بِأَصَابِعِهِ الثَّلَاثَةِ فَضَمَّهَا ثُمَّ أَرْسَلَهَا

Diriwayatkan dari Mujibah Al-Bahiliyyah, dari bapaknya atau pamannya, bahwa ia mendatangi Nabi. Kemudian ia kembali lagi menemui Nabi satu tahun berikutnya sedangkan kondisi tubuhnya sudah berubah (lemah/ kurus). Ia berkata, ‘Ya Rasul, apakah engkau mengenaliku?’ Rasul menjawab, ‘Siapakah engkau?’ Ia menjawab, ‘Aku Al-Bahili yang datang kepadamu pada satu tahun yang silam.’ Nabi menjawab, ‘Apa yang membuat fisikmu berubah padahal dulu fisikmu bagus (segar).’ Ia menjawab, ‘Aku tidak makan kecuali di malam hari sejak berpisah denganmu.’ Nabi berkata, ‘Mengapa engkau menyiksa dirimu sendiri? Berpuasalah di bulan sabar (Ramadhan) dan satu hari di setiap bulannya.’ Al-Bahili berkata, ‘Mohon ditambahkan lagi ya Rasul, sesungguhnya aku masih kuat (berpuasa). Nabi menjawab, ‘Berpuasalah dua hari.’ Ia berkata, ‘Mohon ditambahkan lagi ya Rasul.’ Nabi menjawab, ‘Berpuasalah tiga hari.’ Ia berkata, ‘Mohon ditambahkan lagi ya Rasul.’ Nabi menjawab, ‘Berpuasalah dari bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah, berpuasalah dari bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah, berpuasalah dari bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah.’ Nabi mengatakan demikian seraya berisyarat dengan ketiga jarinya, beliau mengumpulkan kemudian melepaskannya’. (HR Abu Dawud).

Menanggapi bagian akhir teks hadis di atas, Syaikh Abu Thayyib Syamsul Haq Al-Azhim dalam kitabnya ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud mengemukakan pendapat,

أَيْ صُمْ مِنْهَا مَا شِئْتَ وَأَشَارَ بِالْأَصَابِعِ الثَّلَاثَةِ إِلَى أَنَّهُ لَا يَزِيْدُ عَلَى الثَّلَاثِ الْمُتَوَالِيَاتِ وَبَعْدَ الثَّلَاثِ يَتْرُكُ يَوْمًا أَوْ يَوْمَيْنِ وَالْأَقْرَبُ أَنَّ الْإِشَارَةَ لِإِفَادَةِ أَنَّهُ يَصُوْمُ ثَلَاثًا وَيَتْرُكُ ثَلَاثًا وَاللهُ أَعْلَمُ  قَالَهُ السِّنْدِيُّ

Maksudnya, berpuasalah dari bulan-bulan mulia, apa yang engkau kehendaki. Nabi berisyarat dengan ketiga jarinya untuk menunjukkan bahwa Al-Bahili hendaknya berpuasa tidak melebihi tiga hari berturut-turut, dan setelah tiga hari, hendaknya meninggalkan puasa selama satu atau dua hari. Pemahaman yang lebih dekat adalah, isyarat tersebut untuk memberikan penjelasan bahwa hendaknya Al-Bahili berpuasa selama tiga hari dan berbuka selama tiga hari. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Syekh As-Sindi. (‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, juz 6 hal. 58)

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami, Nabi memberi petunjuk kepada sahabatnya Al-Bahili berpuasa di bulan-bulan mulia termasuk Rajab hendaknya tidak dilakukan secara terus-menerus. Namun, diberi jeda waktu. Bisa tiga hari berpuasa, tiga hari berbuka (tidak berpuasa). Atau tiga hari berpuasa berturut-turut, selanjutnya diberi jeda satu atau dua hari untuk berbuka, kemudian memulai lagi berpuasa tiga hari.

Akan tetapi, petunjuk Nabi di atas bersifat kasuistik. Petunjuk Nabi berpuasa Rajab di atas diarahkan bagi orang yang keberatan untuk memperbanyak puasa di bulan Rajab. Sedangkan bagi seseorang yang kuat untuk berpuasa Rajab melebihi petunjuk Nabi di atas, maka hal tersebut adalah lebih baik baginya, karena dalam satu bulan penuh di bulan Rajab semuanya baik untuk dipuasai. Ibnu Hajar Al-Haitami dalam karyanya Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra menegaskan,

 قال الْعُلَمَاءُ وَإِنَّمَا أَمَرَهُ بِالتَّرْكِ لِأَنَّهُ كان يَشُقُّ عليه إكْثَارُ الصَّوْمِ كما ذَكَره في أَوَّلِ الحديث فَأَمَّا من لَا يَشُقّ عليه فَصَوْمُ جَمِيعِهَا فَضِيلَةٌ

Ulama berpendapat, Nabi memerintahkan Al-Bahili untuk meninggalkan puasa, sebab memperbanyak puasa baginya berat sebagaimana yang disebutkan dalam awal hadits. Sedangkan bagi orang yang tidak berat berpuasa, maka berpuasa di sepanjang bulan-bulan mulia merupakan keutamaan. (Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, juz 2 hal. 53)

Walhasil, berpuasa Rajab tidak ada batasan berapa hari yang baik untuk dipuasai. Namun menyesuaikan dengan batas kemampuan setiap orang. Bisa satu hari, tiga hari, satu minggu, dua minggu, atau bahkan satu bulan penuh.

Semoga bermanfaat. Wallahua’lam…

BINCANG MUSLIMAH

Ciri Wali Allah yang Diungkap Nabi Khidir AS

Syekh Maulana Muhammad Zakariya Al-Kandahlawi Rah.a menceritakan suatu ketika ada seorang wali Abdal bertanya kepada Nabi Khidir a.s. Apakah Nabi Khidir pernah melihat seorang wali yang lebih tinggi martabatnya daripadanya?  

Nabi Khidir menjawab. “Ya, aku pernah melihatnya,” kata Nabi Khidir menjawab pertanyaan sang wali Abdal itu seperti dikisahkan dalam kita Fadhilah Haji.

Nabi Khidir menceritakan bahwa dirinya ketika itu sedang berada di Masjid Nabawi Madinah. Ia melihat seseorang ahli hadist, yakni Imam Abdul Razaq sedang memperdengarkan hadits. 

Banyak sekali orang yang berkumpul untuk mendengarkan hadits yang dibacakannya. Namun di salah satu pojok masjid ia melihat seorang pemuda yang duduk bersandar sambil meletakkan kepalanya di atas lututnya.

Nabi Khidir mendekat dan bertanya kepada pemuda itu. “Apakah engkau tidak melihat bahwa di sini ada suatu kumpulan manusia yang sedang mendengarkan hadits-hadits Rasulullah SAW? Mengapa engkau tidak duduk bersama mereka?”

Tanpa mengangkat kepalanya dan tanpa menoleh kepada Nabi Khidir, pemuda itu berkata. “Mereka adalah orang-orang yang mendengar hadits dari hamba Dzat Yang Memberi rezeki (yaitu makna dari Abdul Razaq). Dan di sini adalah orang yang mendengarkan hadits langsung dari Dzat Yang Memberi rezeki, bukan dari hamba Dzat Yang Pemberi rezeki.”

Lalu Nabi Khidir berkata kepadanya. “Apabila ucapanmu benar, katakanlah siapa aku ini,” katanya.

Pemuda itu menoleh kepada Nabi Khidir dan berkata. “Kalau firasatku benar, engkau adalah Khidir Alaihissalam ” katanya.

Kemudian Nabi Khidir melanjutkan perkataannya dari kejadian itu ia mengetahui bahwa ada sebagian Wali Allah yang karena ketinggian martabatnya sampai-sampai ia (Nabi Khidir) tidak mengenalnya.

IHRAM

Gandeng Kemenkes-Satgas, Kemenag Evaluasi Kebijakan Umroh

Arab Saudi beberapa waktu lalu mengeluarkan daftar negara yang aksesnya ditutup sementara dan tidak diizinkan masuk ke negara tersebut. Dari 20 negara yang ada, Indonesia masuk di dalamnya.

Terkait keputusan Saudi ini, Kementerian Agama (Kemenag) berencana melakukan evaluasi kebijakan umroh selama pandemi Covid-19 yang berlaku beberapa waktu ke belakang.

“Kita lakukan evaluasi kedisiplinan penerapan protokol kesehatan (prokes),” ujar Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Kemenag, Arfi Hatim, saat dihubungi Republika, Rabu (17/2).

Untuk melakukan evaluasi ini, ia menyebut Kemenag akan menggandeng pihak luar untuk membahas bersama. Satuan tugas (Satgas) Covid-19 dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan menjadi mitra dalam rencana evaluasi tersebut.

Arfi lantas menyebut nantinya Kemenag akan mengagendakan pertemuan guna membahas evaluasi kebijakan umroh selama pandemi Covid-19 dengan kementerian/lembaga pemerintah ini.

Rencana evaluasi ini pertama kali disampaikan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, saat menerima perwakilan asosiasi-asosiasi Penyelanggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) di  Kantor Kementerian Agama, Jakarta, Senin (15/2) lalu.

“Nanti kita akan lakukan evaluasi kembali semuanya, dan tentunya berkoordinasi dengan  Satgas Covid-19 agar penyelenggaraan umroh tetap aman bagi jamaah,” ucap Menag, kala itu.

Ia lantas mengajak seluruh pihak memanfaatkan momen ditutupnya umroh ini untuk melakukan evaluasi. Dengan demikian, nantinya saat Saudi sudah membuka kembali akses umrah, Indonesia dengan seluruh elemennya sudah betul-betul siap.

Tak hanya itu, ia juga mengingatkan PPIU untuk membantu pemerintah dalam menyukseskan penyelenggaraan umroh di masa pandemi. Salah satunya, dengan mengedukasi jamaah terkait protokol kesehatan Covid-19.

“Jangan sampai saat di tanah suci, jemaah masih ada yang kedapatan coba-coba tidak menaati protokol kesehatan di Arab Saudi. Karena menurut laporan, masih banyak yang kedapatan melanggar di sana. Saya berharap jamaah umroh kita dapat menjadi contoh bagi dunia,” kata dia.

Dalam pertemuan yang sama, para perwakilan asosiasi ini menyampaikan beberapa keluhan terkait penyelenggaraan ibadah umroh di masa pandemi. Salah satunya, aturan karantina selama enam hari lima malam pasca kepulangan dari tanah suci.

“Ini cukup memberatkan bagi jemaah. Karena mereka harus menanggung biaya karantina sendiri, dan itu cukup besar, sekitar 4-5 juta per-jamaah,” ujar Ketua Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI), Firman M. Nur.

Penambahan biaya ini dirasa semakin memberatkan jamaah. Terlebih, mengingat kebanyakan jmaah yang berangkat adalah calon jamaah haji yang tertunda keberangkatannya sejak Maret 2020.

Tak hanya itu, mereka juga sebelumnya telah diminta menambah biaya umrah, terkait berubahnya harga referensi. Harga referensi umrah yang semula minimal Rp 20juta, kini berubah menjadi Rp 26 juta mengingat ada tambahan operasional di masa pandemi ini.  

IHRAM

Ringkasan Fikih Wasiat (Bag. 2)

Pada artikel sebelumnya kami telah menjelaskan tentang: anjuran untuk membuat wasiat, kewajiban menunaikan wasiat, dan sebagian ketentuan-ketentuan dalam wasiat. Diantara ketentuan-ketentuan dalam wasiat yang telah kami jelaskan antara lain:

1. isi wasiat tersebut berupa kebaikan, bukan maksiat atau perkara yang batil;
2. wasiat berupa muamalah yang masih dalam ruang lingkup hak si mayit.

Pada artikel ini kami akan melanjutkan penjelasan tentang ketentuan-ketentuan dalam wasiat dan apakah boleh mengganti serta mengurangi wasiat.

(Lanjutan) ketentuan-ketentuan dalam wasiat

Ketiga, wasiat harta tidak boleh lebih dari 1/3 total harta

Ketentuan terkait wasiat dalam bentuk tabarru‘ (perbuatan baik) dengan harta, ia tidak boleh lebih dari 1/3 total harta. Karena jika lebih dari 1/3 total harta, akan membahayakan ahli waris, yang mereka lebih berhak terhadap harta warisan mayit. Sehingga tidak sah wasiat harta yang melebihi 1/3 dari total harta. Sebagaimana dalam hadis dari Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiallahu’anhu, ia berkata,

تَشَكَّيْتُ بمَكَّةَ شَكْوًا شَدِيدًا، فَجاءَنِي النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَعُودُنِي، فَقُلتُ: يا نَبِيَّ اللَّهِ، إنِّي أتْرُكُ مالًا، وإنِّي لَمْ أتْرُكْ إلَّا ابْنَةً واحِدَةً، فَأُوصِي بثُلُثَيْ مالِي وأَتْرُكُ الثُّلُثَ؟ فقالَ: لا قُلتُ: فَأُوصِي بالنِّصْفِ وأَتْرُكُ النِّصْفَ؟ قالَ: لا قُلتُ: فَأُوصِي بالثُّلُثِ وأَتْرُكُ لها الثُّلُثَيْنِ؟ قالَ: الثُّلُثُ، والثُّلُثُ كَثِيرٌ

“Suatu hari di Mekkah, saya sedang sakit parah. Lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjengukku. Aku berkata: ‘Wahai Nabi Allah, aku memiliki banyak harta namun aku hanya memiliki satu orang putri. Bolehkah aku mewasiatkan 2/3 hartaku dan 1/3 untuk waris?’. Nabi menjawab: ‘tidak boleh’. Sa’ad berkata, ‘Bolehkah aku mewasiatkan 1/2 hartaku dan 1/2 sisanya untuk waris?’. Nabi menjawab: ‘tidak boleh’. Sa’ad berkata, ‘Bolehkah aku mewasiatkan 1/3 hartaku dan 2/3 sisanya untuk waris?’. Nabi menjawab, ‘Boleh, dan wasiat sebanyak 1/3 itu sudah cukup banyak’” (HR. Bukhari no. 5659).

Namun boleh memberikan wasiat harta lebih dari 1/3 total harta jika diizinkan oleh seluruh ahli waris atau jika tidak ada ahli waris. Dijelaskan dalam kitab Al Fiqhul Muyassar fi Dhau’il Kitab was Sunnah (hal. 273): “Wasiat tidak sah jika melebihi 1/3 total harta, bagi mayit yang memiliki ahli waris. Berdasarkan hadis Sa’ad bin Abi Waqqash di atas. Kecuali, jika semua ahli waris mengizinkan hal itu. Adapun jika mayit tidak memiliki ahli waris, maka boleh mewasiatkan seluruh hartanya.”

Keempat, ahli waris tidak boleh menerima wasiat

Harta wasiat tidak boleh ditujukan kepada ahli waris. Karena ahli waris sudah mendapatkan hak berupa harta waris. Dari Abu Umamah Al Bahili Radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

إنَّ اللَّهَ قد أعطى كلَّ ذي حقٍ حقَّهُ ، فلا وصيَّةَ لوارِثٍ

“Sesungguhnya Allah telah memberikan hak setiap orang yang berhak mendapatkannya. Maka tidak boleh ada harta wasiat bagi ahli waris” (HR. Abu Daud no. 2853, At Tirmidzi no. 2203, disahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Maka harta wasiat itu ditujukan untuk segala bentuk tabarru‘ (perbuatan baik) kepada selain ahli waris. Seperti wakaf masjid, donasi panti asuhan, membantu fakir miskin dan perbuatan baik lainnya.

Memang benar, terdapat firman Allah ta’ala yang membolehkan wasiat harta untuk orang tua dan karib kerabat. Allah Ta’ala berfirman,

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ

“Diwajibkan atas kalian, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa” (QS. Al Baqarah: 180).

Namun ayat ini mansukh oleh ayat-ayat waris, sebagaimana telah dijelaskan pada artikel sebelumnya. Disebutkan dalam Al Aunul Ma’bud (8/52),

قَالَ الْخَطَّابِيُّ : هَذَا إِشَارَةٌ إِلَى آيَةِ الْمَوَارِيثِ ، وَكَانَتِ الْوَصِيَّةُ قَبْلَ نُزُولِ الْآيَةِ وَاجِبَةً لِلْأَقْرَبِينَ ، وَهُوَ قَوْلُهُ تَعَالَى : (كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إن ترك خيرا الوصية للوالدين والأقربين)،  ثُمَّ نُسِخَتْ بِآيَةِ الْمِيرَاثِ .وَإِنَّمَا تَبْطُلُ الْوَصِيَّةُ لِلْوَارِثِ فِي قَوْلِ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَجْلِ حُقُوقِ سَائِرِ الْوَرَثَةِ

“Al Khathabi mengatakan: ayat ini mengisyaratkan kepada ayat waris. Dahulu wasiat itu wajib diberikan kepada para karib kerabat, sebelum turunnya ayat waris. Berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya): ‘Diwajibkan atas kalian, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya.’ Namun kemudian ayat ini di-nasakh oleh ayat waris. Dan wasiat untuk para ahli waris itu batal menurut pendapat jumhur ulama, dalam rangka menjaga hak seluruh ahli waris.”

Demikian juga disyariatkannya warisan bagi kerabat yang menjadi ahli waris, telah mansukh oleh hadis dari Abu Umamah di atas. Namun hadis Abu Umamah ini juga menunjukkan bahwa karib kerabat yang bukan ahli waris, boleh menerima wasiat. Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsamin Rahimahullah menjelaskan,

الحديث ليس فيه نسخ، بل فيه التخصيص؛ لأن الآية فيها الأمر بالوصية للأقربين، وهذا يعم الوارث وغير الوارث، ثم رفع الحكم عن الوارث فقط

“Hadis ini tidak terdapat nasakh (penghapusan terhadap surat Al Baqarah ayat 180). Namun yang ada adalah takhsis (pengkhususan). Karena ayat tersebut memerintahkan untuk berwasiat kepada para karib kerabat, ini sifatnya umum mencakup karib kerabat yang punya jatah waris dan yang tidak punya jatah waris. Sedangkan yang dihapus hukumnya hanya karib kerabat yang punya jatah waris” (Liqa Baabil Maftuh, rekaman no. 46).

Kelima, wasiat ditunaikan sebelum pembagian warisan dan setelah melunasi hutang

Sebagaimana hal ini secara jelas ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala, ketika Allah menjelaskan tentang ketentuan waris,

مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ

“(warisan dibagikan) setelah menunaikan wasiat yang diwasiatkan oleh mayit atau setelah melunasi hutang (mayit)” (QS. An Nisa: 11).

Demikian juga berdasarkan perkataan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu,

أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ قَضى بالدَّينِ قبلَ الوصيَّة

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam biasa menunaikan hutang sebelum wasiat” (HR. At Tirmidzi no.2122, di-hasan-kan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Dijelaskan dalam kitab Al Fiqhul Muyassar fi Dhau’il Kitab was Sunnah (hal. 273): “Hutang dan kewajiban-kewajiban syar’i lainnya seperti zakat, haji dan kafarat (yang tertunda) lebih didahulukan daripada menunaikan wasiat.”

Mengganti atau mengurungkan wasiat

Orang yang sudah membuat wasiat, boleh saja menggantinya atau mengurungkannya sebelum ia meninggal. Karena wasiat adalah muamalah yang hukumnya mubah, maka boleh dilakukan, boleh tidak dilakukan, dan boleh diurungkan. Sebagaimana juga dikatakan oleh Umar bin Khathab Radhiallahu’anhu,

يغير الرجل ما شاء فى وصيته

“Seseorang boleh mengubah wasiatnya semau dia” (HR. Al Baihaqi [6/281], disahihkan Al Albani dalam Irwaul Ghalil [6/99]).

Adapun mengganti wasiat setelah pembuatnya meninggal, karena memandang ada maslahat yang lebih besar, ini diperselisihkan oleh para ulama. Semisal seorang yang meninggal berwasiat untuk mewakafkan sebagian hartanya kepada masjid di dekat rumahnya. Namun setelah ia meninggal, para keluarga mayit memandang agar hartanya diwakafkan kepada masjid yang lain, yang lebih banyak jamaahnya dan lebih makmur, agar ia mendapat pahala lebih banyak.

Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah menjelaskan,

“Mengubah wasiat kepada yang lebih utama, ini diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama berpendapat tidak diperbolehkan. Berdasarkan keumuman ayat: ‘Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya’ (QS. Al Baqarah: 181). Dan dalam ayat ini tidak dikecualikan keadaan apapun, kecuali orang yang melanggarnya dan mendapat dosa. Sehingga mengubah wasiat tetap haram hukumnya.

Sebagian ulama mengatakan, boleh mengubah wasiat kepada yang lebih utama. Karena tujuan dari wasiat adalah ibadah kepada Allah dan memberi manfaat kepada mayit. Maka semua yang lebih mendekatkan kepada Allah dan lebih bermanfaat bagi mayit, itu lebih utama. Dan orang yang berwasiat itu manusia biasa sehingga bisa terluput dari suatu yang lebih utama. Dan terkadang yang ia pandang lebih utama ketika masih hidup, berbeda dengan apa yang utama ketika ia sudah meninggal. Dan juga Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membolehkan untuk mengubah nadzar kepada yang lebih utama disamping kewajiban untuk menunaikannya.

Yang saya pandang lebih tepat dalam masalah ini, jika wasiat itu disebutkan secara mu’ayyyan (spesifik), maka tidak boleh mengubahnya. Misalnya jika disebutkan: ‘wasiat harta ini adalah untuk si Zaid saja’ atau ‘saya wakafkan harta ini untuk Said’, maka ini tidak boleh diubah. Karena ada hak orang lain yang spesifik disebutkan di sana.

Namun jika wasiatnya tidak spesifik, seperti jika dikatakan: ‘wasiat harta ini untuk masjid’, atau ‘wasiat harta ini untuk orang miskin’, maka tidak mengapa memberikan harta wasiat tersebut kepada yang paling utama” (Tafsirul Qur’an, 4/256).

Demikian penjelasan ringkas seputar fikih wasiat, semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. Nas’alullah at taufiq was sadaad.

[Selesai]

***

Penulis: Yulian Purnama, S.Kom

Artikel: Muslim.or.id

Ringkasan Fikih Wasiat (Bag. 1)

Wasiat atau al-washiyyah (الوصية) adalah perintah dari seseorang untuk melakukan suatu bentuk tasharruf (muamalah) atau suatu bentuk tabarru’ (perbuatan baik) dengan hartanya setelah dia wafat nanti (Lihat Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, 1: 10).

Maka, wasiat di sini bisa berupa dua bentuk:

(1) Memerintahkan untuk melakukan suatu bentuk tasharruf (muamalah). Seperti seseorang yang mengatakan, “Jika saya meninggal nanti, tolong kuburkan saya di sebelah makam istri saya”, atau “Jika saya meninggal nanti tolong lunasi hutang-hutang saya”, dan semisalnya. Sebagian ulama menyebut ini dengan istilah al-ii-sha’ (الإيصاء).

(2) Melakukan suatu bentuk tabarru’ (perbuatan baik) dengan harta. Seperti seseorang mengatakan, “Jika saya meninggal nanti, maka tanah milik saya di tempat A, saya wakafkan untuk masjid”, atau “Jika saya meninggal nanti, maka uang saya sebesar 50 juta tolong diberikan kepada panti asuhan B”, dan semisalnya.

Anjuran untuk membuat wasiat

Dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunnah menunjukkan dianjurkannya membuat wasiat, terutama ketika sakit atau menjelang wafat. Allah Ta’ala berfirman,

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ

“Diwajibkan atas kalian, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf. (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 180).

Dalam hadits, dari Abdullah bin Umar Radhiallahu’ahu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ما حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ، له شيءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ فِيهِ، يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ، إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ

“Tidak layak bagi seorang Muslim melewati dua malamnya padahal dia memiliki sesuatu hal untuk diwasiatkan, kecuali wasiatnya sudah tertulis di sisinya” (HR. Bukhari no.2738 dan Muslim no.1627).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini menunjukkan bahwa disyariatkan untuk bersegera dan tidak menunda-nunda menulis wasiat. Ketika memang ada perkara yang perlu untuk diwasiatkan” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 19: 405-406).

Zahir surat Al-Baqarah ayat 180 di atas mewajibkan untuk berwasiat. Namun yang rajih, membuat wasiat hukumnya sunnah, tidak diwajibkan. Karena mayoritas para shahabat Nabi tidak meninggalkan wasiat ketika mereka wafat. Adapun surat Al-Baqarah ayat 180, ayat ini telah mansukh (dihapus hukumnya) dengan turunnya surat An-Nisa ayat 7 (yaitu ayat tentang warisan). Hal ini sebagaimana disebutkan oleh ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Ayat ini (Al-Baqarah ayat 180) telah mansukh oleh ayat waris” (Lihat Al-Fiqhul Islamiy karya Wahbah Az Zuhaili, 10: 7443).

Dan wasiat seseorang ketika itu berupa kebaikan, akan mengalirkan pahala baginya setelah dia meninggal. Ini termasuk dalam keumuman hadis dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Ketika seorang insan mati, terputuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya” (HR. Muslim no. 1631).

Kewajiban menunaikan wasiat

Pada asalnya, wasiat dari seseorang yang sudah meninggal itu wajib ditunaikan oleh keluarganya. Selama wasiat tersebut memenuhi ketentuan-ketentuan syar’i. Allah Ta’ala berfirman,

فَمَن بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah dia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 181).

Para ulama Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ mengatakan, “Wajib bagi wali (keluarga) dari mayit untuk menunaikan wasiat dari mayit, selama sesuai dengan syariat. Jika tidak ditunaikan, atau ditunaikan dengan cara yang tidak benar, maka yang berdosa adalah para walinya (keluarganya) tersebut” (Fatawa Al-Lajnah, 16: 369-370).

Ketentuan-ketentuan dalam wasiat

Ada beberapa ketentuan yang terkait dengan perkara yang diwasiatkan, sehingga wasiat menjadi wajib ditunaikan jika terpenuhi ketentuan-ketentuannya. Di antaranya:

Pertama, Isi wasiat tersebut berupa kebaikan, bukan maksiat atau perkara yang batil

Karena tidak boleh taat kepada siapa pun jika dia memerintahkan untuk maksiat, baik ketika dia masih hidup ataupun ketika dia sudah meninggal. Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ’anhu, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

“Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang makruf” (HR Bukhari no. 7257 dan Muslim no. 1840).

Oleh karena itu, para ulama melarang menunaikan wasiat yang berisi maksiat. Dalam matan Mukhtashar Al-Khalil juga disebutkan,

وبطلت بردته وإيصاء بمعصية

“Wasiat itu batal jika orangnya murtad, dan wasiat juga batal jika isinya berupa maksiat.”

Demikian juga wasiat yang isinya berupa perkara-perkara yang tidak bermanfaat, menyia-nyiakan harta, menjatuhkan wibawa, atau menimbulkan kemudaratan bagi keluarga yang ditinggalkan. Maka wasiat seperti tidak wajib ditunaikan. Ibnu Rusyd Rahimahullah menyatakan,

لا يلزم أن يُنفَّذ من الوصايا إلا ما فيه قربة وبر

“Tidak wajib menunaikan wasiat kecuali jika isinya berupa qurbah (ibadah) dan kebaikan” (Al-Bayan wat Tahshil, 2: 287).

Seperti jika mayit berwasiat untuk dimakamkan di tempat yang sangat jauh, maka ini menimbulkan kemudaratan bagi keluarga yang ditinggalkan. Syekh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah mengatakan,

وإذا كانت المقبرة بعيدة من بلد إلى بلد فلا وجه لهذه الوصية ولا حاجة إلى تنفيذها بل يدفن في مقبرة بلده

“Jika tempat pemakaman yang diwasiatkan itu sangat jauh dari tempatnya, maka tidak wajib dan tidak ada kebutuhan untuk menunaikan wasiat ini. Hendaknya dia dimakamkan di negeri tempat dia berada” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi).

Kedua, Wasiat berupa muamalah yang masih dalam ruang lingkup hak si mayit

Wasiat berupa al-ii-sha’ hanya terbatas pada muamalah yang masih dalam cakupan hak si mayit. Wasiat yang di luar cakupan hak si mayit, tidaklah sah dan tidak wajib ditunaikan. Dalam matan Zadul Mustaqni, Al-.Allamah Al-Hijawi Rahimahullah menyatakan,

ولا تصح وصية إلا في تصرفٍ معلوم يملكه الموصي ، كقضاء دينه ، وتفرقة ثلثه ، والنظر لصغاره ، ولا تصح بما لا يملكه الموصي

“Wasiat tidaklah sah kecuali pada muamalah yang diketahui merupakan hak dari al-mushi (pemberi wasiat; mayit). Seperti wasiat untuk melunasi hutangnya, memisahkan 1/3 hartanya, meminta untuk merawat anak-anaknya. Wasiat tidak sah dalam perkara yang tidak dimilikinya.”

Seperti seorang yang berwasiat kepada tetangganya untuk menjual rumah si tetangga tersebut. Karena rumah si tetangga di luar hak dari si mayit. Sehingga wasiat ini tidak sah dan tidak wajib ditunaikan.

Demikian juga, seorang suami atau istri yang berwasiat kepada pasangannya untuk tidak menikah lagi. Ini wasiat yang tidak sah dan tidak wajib ditunaikan. Karena pernikahan suami atau istri (setelah pasangannya meninggal) ini di luar haknya. Dan juga ini merupakan wasiat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena  Al-Quran dan As-Sunnah memerintahkan orang yang bersendirian untuk menikah.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi, jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-Baqarah: 240).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsamin Rahimahullah menjelaskan ayat ini,

“Seorang istri dihalalkan baginya untuk keluar dari rumah suaminya, walaupun suaminya mewasiatkan untuk menetap di sana. Boleh untuk tidak menunaikan wasiatnya. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “… akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu”. Karena ini adalah perkara yang terkait kemaslahatan sang istri dan sang suami (yang wafat) tidak mendapat kemaslahatan dari perkara ini. Turunan dari masalah ini, jika seorang suami berwasiat kepada istrinya untuk tidak menikah lagi, maka ini tidak wajib ditunaikan. Karena jika wasiat untuk tinggal di rumah saja tidak wajib untuk ditunaikan, maka masalah menikah ini min bab al aula (lebih layak untuk tidak ditunaikan)” (Tafsir Surat Al-Baqarah, pada tafsir ayat 240).

Selain itu, wasiat disyariatkan agar mayit bisa mendapatkan tambahan kebaikan dan mengurangi dosa-dosanya. Maka tidak ada maknanya jika mayit mewasiatkan sesuatu yang di luar haknya yang tidak memberikan dia tambahan pahala atau pengurangan dosa.

[Bersambung]

Penulis: Yulian Purnama, S.Kom

Artikel: Muslim.or.id

Metode Al-Qur’an dalam Menyampaikan Sesuatu Yang Besar (Bag 2)

Melanjutkan kajian yang kemarin kita bahas, bahwa setiap akan menyampaikan sesuatu yang besar dan akan mendatangkan “kontroversi” maka Al-Qur’an selalu memulainya dengan pendahuluan-pendahuluan.

Contoh kedua yang akan kita kutip adalah kisah kelahiran Nabi Isa as putra Maryam dari Surat Ali Imran. Tentunya kelahiran tanpa ayah akan menjadi kontroversi besar, namun beginilah cara Al-Qur’an menyampaikan pendahuluan-pendahuluannya.

Pertama: Allah Swt ingin menampakkan kepada tentang sebuah kejadian yang luar biasa. Yaitu dipenuhinya mihrab Maryam dengan makanan dan buah-buahan yang bukan di musimnya. Hingga Nabi Zakariya benar-benar heran dan takjub.

كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيۡهَا زَكَرِيَّا ٱلۡمِحۡرَابَ وَجَدَ عِندَهَا رِزۡقٗاۖ قَالَ يَٰمَرۡيَمُ أَنَّىٰ لَكِ هَٰذَاۖ قَالَتۡ هُوَ مِنۡ عِندِ ٱللَّهِۖ إِنَّ ٱللَّهَ يَرۡزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيۡرِ حِسَابٍ

“Setiap kali Zakaria masuk menemuinya di mihrab (kamar khusus ibadah), dia dapati makanan di sisinya. Dia berkata, “Wahai Maryam! Dari mana ini engkau peroleh?” Dia (Maryam) menjawab, “Itu dari Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.’ (QS.Ali ‘Imran:37)

Kedua: Ketika Nabi Zakariya as melihat makanan di mihrab Maryam dan itu adalah sebuah hal yang luar biasa, maka ia pun menghadap kepada Allah dan memohon agar diberikan keturunan walaupun umurnya sudah sangat tua.

هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُۥۖ قَالَ رَبِّ هَبۡ لِي مِن لَّدُنكَ ذُرِّيَّةٗ طَيِّبَةًۖ إِنَّكَ سَمِيعُ ٱلدُّعَآءِ

Di sanalah Zakaria berdoa kepada Tuhannya. Dia berkata, “Ya Tuhanku, berilah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.” (QS.Ali ‘Imran:38)

Disinilah Allah Swt ingin menampakkan kekuasaan-Nya bagaimana seorang Zakariya yang tua renta dan istrinya yang mandul bisa diberi keturunan oleh Allah Swt.

فَنَادَتۡهُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ وَهُوَ قَآئِمٞ يُصَلِّي فِي ٱلۡمِحۡرَابِ أَنَّ ٱللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحۡيَىٰ مُصَدِّقَۢا بِكَلِمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَسَيِّدٗا وَحَصُورٗا وَنَبِيّٗا مِّنَ ٱلصَّٰلِحِينَ – قَالَ رَبِّ أَنَّىٰ يَكُونُ لِي غُلَٰمٞ وَقَدۡ بَلَغَنِيَ ٱلۡكِبَرُ وَٱمۡرَأَتِي عَاقِرٞۖ قَالَ كَذَٰلِكَ ٱللَّهُ يَفۡعَلُ مَا يَشَآءُ

Kemudian para malaikat memanggilnya, ketika dia berdiri melaksanakan shalat di mihrab, “Allah menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran) Yahya, yang membenarkan sebuah kalimat (firman) dari Allah, panutan, berkemampuan menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang nabi di antara orang-orang shalih.”

Dia (Zakaria) berkata, “Ya Tuhanku, bagaimana aku bisa mendapat anak sedang aku sudah sangat tua dan istriku pun mandul?” Dia (Allah) berfirman, “Demikianlah, Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ali ‘Imran:39-40)

Setelah berbagai muqoddimah dan pendahuluan ini. Dari keajaiban makanan di mihrab Maryam, kemudian Nabi Zakariya as mendapatkan anak di usia renta dan istri yang tadinya mandul, maka kemudian Allah ingin menampakkan Kuasa-Nya yang lebih agung.

Yaitu kelahiran Isa as tanpa seorang ayah. Dan tentunya ini adalah hal yang sangat luar biasa dan tidak mampu dijangkau oleh akal.

إِذۡ قَالَتِ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ يَٰمَرۡيَمُ إِنَّ ٱللَّهَ يُبَشِّرُكِ بِكَلِمَةٖ مِّنۡهُ ٱسۡمُهُ ٱلۡمَسِيحُ عِيسَى ٱبۡنُ مَرۡيَمَ وَجِيهٗا فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِ وَمِنَ ٱلۡمُقَرَّبِينَ – وَيُكَلِّمُ ٱلنَّاسَ فِي ٱلۡمَهۡدِ وَكَهۡلٗا وَمِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ – قَالَتۡ رَبِّ أَنَّىٰ يَكُونُ لِي وَلَدٞ وَلَمۡ يَمۡسَسۡنِي بَشَرٞۖ قَالَ كَذَٰلِكِ ٱللَّهُ يَخۡلُقُ مَا يَشَآءُۚ إِذَا قَضَىٰٓ أَمۡرٗا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ

(Ingatlah), ketika para malaikat berkata, “Wahai Maryam! Sesungguhnya Allah menyampaikan kabar gembira kepadamu tentang sebuah kalimat (fir-man) dari-Nya (yaitu seorang putra), namanya Al-Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat, dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), dan dia berbicara dengan manusia (sewaktu) dalam buaian dan ketika sudah dewasa, dan dia termasuk di antara orang-orang shalih.” Dia (Maryam) berkata, “Ya Tuhanku, bagaimana mungkin aku akan mempunyai anak, padahal tidak ada seorang laki-laki pun yang menyentuhku?” Dia (Allah) berfirman, “Demikianlah Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki. Apabila Dia hendak menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu. (QS.Ali ‘Imran:45-47)

Maka ayat ini sangat sesuai karena ayat ini menggunakan kata خَلَقَ (menciptakan)

قَالَ كَذَٰلِكِ ٱللَّهُ يَخۡلُقُ مَا يَشَآءُۚ إِذَا قَضَىٰٓ أَمۡرٗا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ

“Demikianlah Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki. Apabila Dia hendak menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu. (QS.Ali ‘Imran:47)

Sementara dalam kisah penciptaan Nabi Yahya as, Al-Qur’an menggunakan kata يَفعَل

قَالَ كَذَٰلِكَ ٱللَّهُ يَفۡعَلُ مَا يَشَآءُ

Dia (Allah) berfirman, “Demikianlah, Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS.Ali ‘Imran:40)

Dan mungkin perbedaan pemilihan kata ini juga bisa dipengaruhi oleh perbedaan penciptaan keduanya.

Yahya as diciptakan dengan cara yang alami seperti biasa sementara Isa as diciptakan dengan cara yang tidak biasa. Inilah wujud nyata dari firman-Nya :

إِنَّمَآ أَمۡرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيۡـًٔا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ

Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu. (QS.Ya-Sin:82)

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Metode Al-Qur’an dalam Menyampaikan Sesuatu Yang Besar

Kita melihat kebiasaan Al-Qur’an dalam menyampaikan urusan-urusan besar selalu melalui muqoddimah dan persiapan secara bertahap. Tujuannya adalah agar jiwa manusia bisa menerima dan mau menjalankannya. Hal ini juga terkait dengan alasan kenapa Allah disebut (Ar-Rab) yang diambil dari kata Tarbiyah (yakni mendidik). Artinya, Al-Qur’an selalu berusaha membangun dan mengembangkan potensi manusia secara bertahap menuju kesempurnaan.

Contoh dari metode ini adalah :

(1). Kisah Perubahan Kiblat

Perubahan kiblat menjadi perkara yang kontroversial di zaman itu. Tidak mudah bagi kaum muslimin menerima perubahan kiblat secara langsung. Namun lihatlah metode Al-Qur’an dalam menjelaskannya dengan berbagai mukoddimah terlebih dahulu.

Pertama : Al-Qur’an menyebutkan tentang penghapusan ayat :

مَا نَنسَخۡ مِنۡ ءَايَةٍ أَوۡ نُنسِهَا

“Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan.”

Kedua : Pasti akan diganti oleh Allah dengan yang lebih baik.

نَأۡتِ بِخَيۡرٖ مِّنۡهَآ أَوۡ مِثۡلِهَآۗ

“Pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.” (QS.Al-Baqarah:106)

Ketiga : Bahwa Allah Maha Kuasa dan Maha Mengetahui atas segala sesuatu.

أَلَمۡ تَعۡلَمۡ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ

“Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu?” (QS.Al-Baqarah:106)

Maka dengan Kuasa dan Ilmu-Nya, Allah Swt lebih mengetahui bahwa pilihan yang kedua pasti lebih baik dari yang pertama.

Keempat : Peringatan agar jangan menjadi seperti umat Musa as yang selalu memberikan protes kepada Nabi Musa as. Kaum muslimin diperintahkan untuk menerima segala keputusan Rasulullah Saw dengan patuh dan lapang dada.

أَمۡ تُرِيدُونَ أَن تَسۡـَٔلُواْ رَسُولَكُمۡ كَمَا سُئِلَ مُوسَىٰ مِن قَبۡلُۗ

“Ataukah kamu hendak meminta kepada Rasulmu (Muhammad) seperti halnya Musa (pernah) diminta (Bani Israil) dahulu?” (QS.Al-Baqarah:108)

Kelima: Peringatan kepada kaum muslimin agar tidak mendengarkan orang-orang Yahudi dan tidak menuruti syubhat-syubhat mereka. Karena mereka ingin mengembalikan kaum muslimin kepada kekafiran setelah mereka melihat kebenaran secara nyata.

وَدَّ كَثِيرٞ مِّنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ لَوۡ يَرُدُّونَكُم مِّنۢ بَعۡدِ إِيمَٰنِكُمۡ كُفَّارًا حَسَدٗا مِّنۡ عِندِ أَنفُسِهِم مِّنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ ٱلۡحَقُّۖ

“Banyak di antara Ahli Kitab menginginkan sekiranya mereka dapat mengembalikan kamu setelah kamu beriman, menjadi kafir kembali, karena rasa dengki dalam diri mereka, setelah kebenaran jelas bagi mereka.” (QS.Al-Baqarah:109)

Keenam: Memberi kabar bahwa masuk surga tidaklah didapat dengan mengikuti Yahudi atau Nasrani. Namun surga akan didapat dengan menyerahkan diri mutlak kepada Allah dengan cara yang benar dan dibarengi dengan amal dan niat hanya untuk Allah Swt.

وَقَالُواْ لَن يَدۡخُلَ ٱلۡجَنَّةَ إِلَّا مَن كَانَ هُودًا أَوۡ نَصَٰرَىٰۗ تِلۡكَ أَمَانِيُّهُمۡۗ قُلۡ هَاتُواْ بُرۡهَٰنَكُمۡ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ – بَلَىٰۚ مَنۡ أَسۡلَمَ وَجۡهَهُۥ لِلَّهِ وَهُوَ مُحۡسِنٞ فَلَهُۥٓ أَجۡرُهُۥ عِندَ رَبِّهِۦ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, “Tidak akan masuk surga kecuali orang Yahudi atau Nasrani.” Itu (hanya) angan-angan mereka. Katakanlah, “Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu orang yang benar.” Tidak! Barangsiapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. (QS.Al-Baqarah:111-112)

Ketujuh: Al-Qur’an mengabarkan tentang keluasan Rahmat-Nya. Maka jangan menganggap kiblat pertama tidak akan sampai ke Allah atau kiblat kedua tidak akan sampai, karena kemanapun kamu menghadap disitu engkau menghadap kepada Allah.

وَلِلَّهِ ٱلۡمَشۡرِقُ وَٱلۡمَغۡرِبُۚ فَأَيۡنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ

“Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.” (Qs.Al-Baqarah:115)

Kedelapan: Al-Qur’an menjelaskan tentang kebesaran dan keagungan Baitul Haram dan kemuliaan pengikutnya.

۞وَإِذِ ٱبۡتَلَىٰٓ إِبۡرَٰهِـۧمَ رَبُّهُۥ بِكَلِمَٰتٖ فَأَتَمَّهُنَّۖ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامٗاۖ قَالَ وَمِن ذُرِّيَّتِيۖ قَالَ لَا يَنَالُ عَهۡدِي ٱلظَّٰلِمِينَ – وَإِذۡ جَعَلۡنَا ٱلۡبَيۡتَ مَثَابَةٗ لِّلنَّاسِ وَأَمۡنٗا وَٱتَّخِذُواْ مِن مَّقَامِ إِبۡرَٰهِـۧمَ مُصَلّٗىۖ وَعَهِدۡنَآ إِلَىٰٓ إِبۡرَٰهِـۧمَ وَإِسۡمَٰعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيۡتِيَ لِلطَّآئِفِينَ وَٱلۡعَٰكِفِينَ وَٱلرُّكَّعِ ٱلسُّجُودِ

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “Dan (juga) dari anak cucuku?” Allah berfirman, “(Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zhalim.” Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah (Ka’bah) tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia. Dan jadikanlah maqam Ibrahim itu tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, orang yang iktikaf, orang yang rukuk dan orang yang sujud!” (QS.Al-Baqarah:124-125)

Kesembilan: Kemudian Al-Qur’an menyebutkan keutamaan umat ini bahwa umat ini adalah umat yang moderat, yang adil dan yang terbaik. Dan Nabinya adalah sebaik-baik Nabi, Kitabnya adalah sebaik-baik.kitab dan agamanya juga sebaik-baik agama. Bahkan kiblatnya pun adalah sebaik-baik kiblat.

Setelah seluruh mukaddimah ini, baru kemudian datanglah perintah untuk perpindahan kiblat menuju masjidil Haram.

قَدۡ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجۡهِكَ فِي ٱلسَّمَآءِۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبۡلَةٗ تَرۡضَىٰهَاۚ فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِۚ وَحَيۡثُ مَا كُنتُمۡ فَوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ شَطۡرَهُۥۗ وَإِنَّ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ لَيَعۡلَمُونَ أَنَّهُ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّهِمۡۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا يَعۡمَلُونَ

Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Kitab (Taurat dan Injil) tahu, bahwa (pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan. (QS.Al-Baqarah:144)

Inilah metode Al-Qur’an saat akan menyampailan sesuatu yang besar, yaitu dengan mukoddimah dan pendahuluan yang tepat. Nantikan bagian kedua esok hari, Insya Allah !

Semoga bermanfaat.

KHAZANAHALQURAN.COM

Ketentuan Malam Pertama Bagi Pengantin Baru Menurut Sunnah Rasulullah

Menjadi pengantin baru adalah dambaan bagi setiap insan. Pada saat itu, akan muncul rasa bahagia yang tidak terkira. Perasaan bahagia itu akan tidak lengkap rasanya jika tidak dilengkapi dengan ‘ritual’ malam pertama.

Setelah mengadakan pesta pernikahan, pengantin baru tentu sangat menantikan malam pertama, terlebih saat malam pertama mereka akan tidur ditemani oleh pasangan. Malam pertama merupakan malam yang istimewa, mendebarkan, sekaligus yang paling ditunggu-tunggu karena pada saat itu pasangan suami istri telah sah untuk melakukan aktivitas yang selama ini dilarang oleh agama, yakni bercumbu hingga melakukan kontak seksual lainnya.

Dalam islam, penyaluran hasrat biologis baik pada malam pertama hingga selanjutnya merupakan ibadah yang mengandung pahala. Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan dari Abu Dzar ra yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ أَبِى ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالُوا لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّى وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ. قَالَ « أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ « أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ

Artinya: “Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Sesungguhnya sebagian dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya lebih banyak mendapat pahala, mereka mengerjakan shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka bershodaqoh dengan kelebihan harta mereka”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kamu sesuatu untuk bershodaqaoh? Sesungguhnya tiap-tiap tasbih adalah shodaqoh, tiap-tiap tahmid adalah shodaqoh, tiap-tiap tahlil adalah shodaqoh, menyuruh kepada kebaikan adalah shodaqoh, mencegah kemungkaran adalah shodaqoh dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah shodaqoh“. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa. Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala”.  (HR. Muslim)

Bagi sebagian pasangan, malam pertama menjadi waktu yang tidak terlupakan sehingga wajib untuk mempersiapkan segala sesuatunya agar pasangan sama-sama merasakan kebahagiaan. Terdapat beberapa ketentuan yang berkaitan dengan adab saat akan melakukan peraduan cinta (berjima’) menurut sunnah Rasulullah yakni sebagai berikut :

Mandi atau membersihkan diri

Dalam Kitab Qurratul ‘Uyun tentang malam pertama yang merupakan karya dari Syaikh Muhammad al-Tahami menjelaskan bahwa pasangan suami istri hendaknya membersihkan diri sebelum melaksanakan malam pertama. Hal tersebut sebaiknya dilakukan supaya kondisi fisik menjadi lebih fresh, bersih, dan menghilangkan rasa lelah setelah seharian berdiri di pelaminan menyalami para tamu undangan.

Berhias dan memakai wewangian

Setelah mandi, khusus untuk para wanita dianjurkan untuk berhias dan memakai wewangian agar suami semakin tertarik dan merasa senang kepada sang istri. Jika suami senang kepada istri dalam melayaninya, maka akan menjadi pahala dan amal ibadah bagi sang istri.

Melakukan pemanasan

Pemanasan dalam berjima’ kedudukannya sangatlah penting, yakni dengan melakukan cumbuan dan ciuman untuk membangkitkan syahwat pasangan. Rasulullah menganjurkan hal ini, “Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli istrinya seperti binatang. Hendaklah ia terlebih dahulu memberikan pendahuluan, yakni ciuman dan cumbu rayu,” (HR. Tirmidzi)

Menurut berbagai penelitian cumbuan dalam jima’ dapat melegakan perasaan, membuat bahagia serta membangkitkan hasrat pasangan.

Membaca doa

Pasangan suami istri dianjurkan membaca doa sebelum melakukan hubungan suami istri agar ketika sedang berjima’ terhindar dari adanya gangguan setan. Terlebih doa dilantunkan supaya calon keturunan yang dihasilkan juga dijauhkan dari gangguan setan yang terkutuk. Adapun doanya sebagai berikut:

بِسْمِ اللهِ اَللّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

Artinya: “Dengan menyebut nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezeki yang Engkau anugerahkan kepada kami.”

Membaca doa ketika suami mengeluarkan air mani

Ketika suami mengeluarkan air mani, hendaklah berdoa agar air mani yang dikeluarkan bisa memberikan keturunan yang baik. Adapun doa ketika mengeluarkan air mani yaitu:

اَللّهُـــمَّ اجْعَــلْ نُطْفَتَــنَا ذُرّ ِيَّةً طَيِّــبَةً

Artinya: “Ya Allah jadikanlah nutfah kami ini menjadi keturunan yang baik (saleh).”

Jika istri haid saat malam pertama, maka hanya diperbolehkan bermesraan

Saat malam pertama, bisa jadi sang istri mengalami datang bulan. Jika hal itu terjadi, maka istri harus menyampaikannya kepada suami dengan harapan suami mampu menahan diri. Tetapi hal itu bukan berarti suami ‘tidak berkutik’ untuk melakukan kontak seksual dengan istrinya.

Suami dibolehkan mencumbu istrinya, asalkan tidak sampai penetrasi atau memasukkan kemaluannya, apalagi sampai menyetubuhi istri di duburnya hal itu merupakan haram hukumnya. Rasulullah melarang hal tersebut, “Benar-benar terlaknat orang yang menyetubuhi istrinya di duburnya.” (HR. Ahmad)

Doa Setelah Selesai Berhubungan

Setelah selesai melakukan hubungan badan, suami istri diharuskan berdoa dengan mengucapkan hamdalah. Doa ini bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah yang telah memberikan kenikmatan ketika melakukan hubungan intim suami istri. Adapun doanya yaitu:

اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ خَلَقَ مِنَ المْـَــاءِ بَشَـــرًا

Artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan air mani ini menjadi manusia (keturunan).”

Mandi junub setelah berhubungan suami istri

Setelah berhubungan suami istri, umat muslim diwajibkan untuk melakukan mandi besar/junub agar dapat melaksanakan ibadah wajib kembali seperti sholat fardu.

Crusita Maharani S

BINCANG MUSLIMAH

BINCANG MUSLIMAH

Matinya Tokoh Kesesatan, Bagaimana Sikap Orang Beriman?

Bismillahirrahmanirrahim ….

Bahagia karena berita kematian tokoh kesesatan

Selama masa pandemi ini, satu persatu para ulama dan dai ahlussunah berguguran, bahkan dalam rentang waktu yang berdekatan. Kaum muslimin bersedih karena kabar-kabar duka itu. Namun bersamaan dengan itu, Allah Ta’ala memberi pelipur lara atas kesedihan yang mereka alami. Yaitu dengan kabar meninggalnya musuh-musuh Islam, musuh-musuh Sunnah, terutama jika orang tersebut adalah tokoh kesesatan yang sangat berpengaruh.

Bahagia karena meninggalnya musuh-musuh Islam dan penyebar kesesatan, adalah tindakan yang disyariatkan. Karena meninggalnya mereka, adalah nikmat Allah ‘Azza wa Jalla atas para hamba-Nya. Kita diperintahkan untuk bahagia sebagai ekspresi syukur atas nikmat yang Allah Ta’ala berikan.

Di dalam hadis dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

مَرُّوا بِجَنَازَةٍ فَأَثْنَوْا عَلَيْهَا خَيْرًا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( وَجَبَتْ ) ثُمَّ مَرُّوا بِأُخْرَى فَأَثْنَوْا عَلَيْهَا شَرًّا فَقَالَ ( وَجَبَتْ )

“Suatu hari pada sahabat melewati jenazah lalu mereka memujinya.

Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pasti baginya.”

Kemudian mereka melewati jenazah yang lain, lalu mereka menyebutnya dengan keburukan. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pasti baginya.”

مَا وَجَبَتْ ؟

“Apa gerangan maksud pasti baginya?” Tanya ‘Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

هَذَا أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ خَيْرًا فَوَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ وَهَذَا أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ شَرًّا فَوَجَبَتْ لَهُ النَّارُ أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ

Jenazah pertama tadi kalian sanjung dengan kebaikan. Maka pasti baginya surga. Sedang jenazah kedua ini kalian sebut dengan keburukan. Maka pasti baginya neraka. Karena kalian adalah saksi-saksi Allah di muka bumi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Diterangkan di dalam hadis shahih yang lain, tentang keteladanan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat orang yang menebar kerusakan di muka bumi meninggal, dengan mengucapkan,

يستريح منه العباد والبلاد والشجر والدواب

Orang-orang beriman, negeri, pepohonan, serta binatang-binatang lega dengan kematiannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bukankah tidak boleh mencela mayit?

Pertanyaan ini telah dijawab oleh Badruddin Al-‘Aini rahimahullah, di dalam kitab Umdatul Qari,

فإن قيل : كيف يجوز ذكر شر الموتى مع ورود الحديث الصحيح عن زيد بن أرقم في النهي عن سب الموتى وذكرهم إلا بخير ؟ وأجيب : بأن النهي عن سب الأموات غير المنافق والكافر والمجاهر بالفسق أو بالبدعة ، فإن هؤلاء لا يحرُم ذكرُهم بالشر للحذر من طريقهم ومن الاقتداء بهم

“Jika ada yang menayangkan, “Apa boleh menyebut-nyebut keburukan mayit, padahal ada hadits shahih dari sahabat Zaid bin Arqom radhiyallahu ‘anhu yang menerangkan larangan mencela mayit dan perintah menyebutkan kebaikan-kebaikannya?”

Saya jawab,

Larangan mencela mayit yang dijelaskan oleh hadits tersebut, berlaku kepada selain munafik, kafir, orang yang terang-terang melakukan tindakan fasik atau bid’ah (kesesatan). Mayit-mayit yang seperti itu tidak haram menyebut mereka dengan buruk, agar masyarakat berhati-hati dari ajarannya dan tidak menjadikannya sebagai teladan.” (‘Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari, 8: 282, Darul Kutub Ilmiyah 1421 H)

Contoh sikap para salafusshalih

Salamah bin Syabib berkata, “Aku pernah duduk di dekat ‘Abdurrazaq As-Shan’ani, lalu tibalah kabar kematian Abdul Majid (tokoh sesat di zamannya). Lantas ‘Abdurrazaq mengatakan,

الحمد لله الذي أراح أُمة محمد من عبد المجيد

“Segala puji bagi Allah yang telah melegakan Umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kematian Abdul Majid.” (Siyar A’lam An-Nubala’, 9: 435, Mu-assasah Ar-Risalah 1402 H)

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah pernah ditanya, “Berdoskah seorang merasa bahagia atas meninggalnya pengikut Ibnu Abu Dawud (tokoh sesat di zaman itu)?”

ومن لا يفرح بهذا؟!

“Orang beriman mana coba yang tidak bahagia?!” Jawab Imam Ahmad. (As-Sunnah, karya Al-Khalal, 5: 121, dikutip dari dorar.net)

Saat tiba kabar kematian Wahb Al-Qurasyi (tokoh kesesatan), kepada Abdurrahman bin Mahdi, beliau rahimahullah berkata,

الحمد لله الذي أراح المسلمين منه

“Segala puji bagi Allah yang telah mengistirahatkan kaum muslimin dari gangguannya.” (Tarikh Madinah Dimasq 63: 422, Darul Fikr 1415 H)

Di dalam Bidayah wan Nihayah(12: 338) Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang kematian pemuka Syi’ah Rafidhah di zaman beliau yang bernama Hasan bin Shafi At-Turki,

أراح الله المسلمين منه في هذه السنة في ذي الحجة منها، ودفن بداره، ثم نقل إلى مقابر قريش فلله الحمد والمنة، وحين مات فرح أهل السنة بموته فرحاً شديداً، وأظهروا الشكر لله، فلا تجد أحداً منهم إلا يحمد الله

“Allah telah melegakan kaum muslimin dari kesesatannya di tahun ini, di bulan Dzulhijjah. Dia dikubur di rumahnya, lalu dipindah ke pemakaman Quraisy. Segala puji bagi Allah. Di saat kematiannya, ahlus sunnah beriang gembira. Mereka menampakkan syukur kepada Allah. Tak ada satu pun ahlus sunah, kecuali memuji Allah atas kematiannya.”

Semoga Allah membalas para penyebar kesesatan dan perusak agama, dengan balasan yang setimpal.

Wallahul muwaffiq.

Hamalatul Qur’an Jogjakarta, 4 Rajab 1442 H

Penulis: Ahmad Anshori, Lc.

Artikel: Muslim.or.id

Mengenakan Kostum Ketat Ketika Bersepeda

Bagaimana hukum memakai kostum ketat ketika bersepeda, hingga menampakkan tonjolan kemaluannya. Mereka beralasan bahwa itu dalam rangka mengurangi gesekan angin saat bersepeda.

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Pada asalnya bersepeda dan semua bentuk menggunakan kendaraan lainnya termasuk perkara mubah. Allah menyebutkan dalam al-Quran beberapa kenikmatan bagi hamba-Nya, di antaranya adalah kendaraan.

Allah berfirman,

وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً وَيَخْلُقُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Kuda, hewan bighal, dan keledai, Allah ciptakan untuk kalian tunggangi dan menjadi penyejuk pandangan. Dan Dia menciptakan apapun yang tidak kalian ketahui. (QS. an-Nahl: 8).

Dari sini kita perlu menyadari bahwa kendaraan itu bagian dari nikmat Allah sehingga jangan sampai kita gunakan untuk kegiatan yang melanggar aturan Allah.

Potensi Maksiat Pesepeda

Setiap nikmat bisa menjadi potensi maksiat. Karena harta adalah salah satu sumber fitnah.

Allah berfirman,

وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ

Ketahuilah bahwa harta kalian dan anak kalian adalah ujian bagi kalian. (QS. al-Anfal: 28)

Di antara bentuk fitnah harta adalah menggunakan harta itu sebagai sebab untuk melakukan pelanggaran. Seperti pakaian ketat saat berkendara atau pakaian yang transparan.

Imam an-Nawawi mengatakan,

قال أصحابنا: يجب الستر بما يحول بين الناظر ولون البشرة، فلا يكفي ثوب رقيق يشاهد من ورائه سواد البشرة أو بياضها

Para ulama madzhab kami (syafiiyah) mengatakan: wajib menutupi warna kulit dengan pandangan orang. Tidak cukup dengan pakaian yang tipis yang terlihat warna kulitnya. (al-Majmu’, 3/170)

Dalam Ensklopedi Fiqh yang diterbitkan ad-Durar as-Saniyah dinyatakan,

لا ينبغي أن يلبسَ المسلمُ الملابس الضيقةَ التي تبيِّن أعضاءَ الجسمِ، وتبرزُ العورةَ، مثل بعض البنطلونات وملابِس الرياضةِ والسباحة. فلا شك أنَّ ذلك يتنافي مع المروءةِ والحياء، بالإضافةِ إلى ما يترتَّب على لبسِها مِن فتنةٍ

Tidak selayaknya seorang muslim menggunakan pakaian ketat yang membentuk lekuk tubuh dan menonjolkan aurat. seperti celana atau pakaian olah raga atau celana renang. Jelas pakaian ini menghilangkan muru’ah (wibawa) dan rasa malu, disamping itu dengan memakai pakaian ini akan memicu fitnah.

وقد أفتت اللجنةُ الدائمةُ بعدمِ جوازِ لُبسِ الضيِّق منها الذي يحدِّد العورة؛ لأنَّه حينئذٍ في حكمِ كشفِها، وكشفُها لا يجوزُ. يُنظر: ((فتاوى اللجنة الدائمة)) (3/430) (24/40).

Lajnah Daimah juga telah memfatwakan tidak bolehnya menggunakan pakaian ketat yang itu bisa membuat aurat menonjol. Karena dalam kasus ini dihukumi sama seperti membuka aurat. Dan membuka aurat, jelas tidak boleh. (Simak Fatwa Lajnah Daimah, 3/430)

Alasan Menggunakan Kostum Ketat

Ada beberapa alasan yang dijadikan pembelaan untuk menggunakan kostum ketat, di antaranya adalah:

[1] Kegiatan olahraga ada kelonggaran.

[2] Untuk mengurangi gesekan angin.

Saya kira, alasan yang sama juga disampaikan orang kafir untuk melakukan tindakan asusila. Sehingga menurut mereka, wanita boleh tidak berbusana ketika di pantai, kolam renang, atau tempat berair lainnya dengan alasan keselamatan.

Setan membisikkan kalimat indah untuk menipu manusia agar bertahan dalam kemaksiatan.

Allah berfirman,

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا

Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan dari jenis manusia dan jenis jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah untuk menipu (manusia). (QS. al-An’am: 112).

Alasan mengurangi gesekan angin bisa jadi termasuk bisikan setan untuk mempengaruhi manusia agar tetap bertahan dalam perbuatan memalukan, menggunakan pakaian ketat sampai menampakkan tonjolan kemaluannya.

Demikian.

Allahu  a’lam.

Dijawab oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

KONSULTASI SYARIAH