Nikmat Dunia Pasti Akan Sirna

Saudaraku, semua kenikmatan di dunia ini pasti akan sirna. Sedangkan yang ada di sisi Allah, itulah yang akan kekal. Namun sayangnya, betapa banyak yang terlena dengan dunianya yang nanti akan sirna, lalu lebih mementingkan kehidupan kekal yang ada di akhirat.

Allah Ta’ala berfirman,

مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ

Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (QS. An Nahl: 96).

Segala sesuatu yang kita miliki pasti akan sirna, baik diri kita sendiri, keluarga dekat kita, dan harta kita. Ibnu Katsir berkata, “Apa yang ada di sisi kalian akan berakhir pada waktu tertentu yang telah ditetapkan.”

Lalu apa yang akan kekal? Ibnu Katsir melanjutkan tafsiran ayat di atas, “Pahala di sisi Allah untuk kalian di surga yang akan kekal, tidak terputus, tidak akan lenyap, dan tidak akan hilang.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4: 710).

Dalam Tafsir Al Jalalain disebutkan bahwa semua yang ada di dunia ini pasti akan sirna dan yang di sisi Allah itulah yang kekal.

Demikianlah, manusia tahu bahwa di sisi Allah yang kekal abadi. Namun mereka malah mengganti sesuatu yang kekal dengan sesuatu yang pasti akan sirna.

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam kitab tafsirnya (hal. 448), “Seharusnya manusia itu mendahulukan sesuatu yang pasti kekal, bukan sesuatu yang akan binasa.  Karena segala sesuatu di sisi kalian -wahai manusia- akan sirna walaupun banyak jumlahnya. Adapun yang di sisi Allah (yaitu kenikmatan di akhirat) akan tetap terus ada, tidak akan sirna dan hilang.” Apa yang dimaksudkan oleh Syaikh As Sa’di sepadan dengan firman Allah,

بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (16) وَالْآَخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى (17)

Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al A’laa: 16-17).

Wahai saudaraku … Malik bin Dinar berkata,

لو كانت الدنيا من ذهب يفنى ، والآخرة من خزف يبقى لكان الواجب أن يؤثر خزف يبقى على ذهب يفنى ، فكيف والآخرة من ذهب يبقى ، والدنيا من خزف يفنى؟

“Seandainya dunia adalah emas yang akan fana, dan akhirat adalah tembikar yang kekal abadi, maka tentu saja seseorang wajib memilih sesuatu yang kekal abadi (yaitu tembikar) daripada emas yang nanti akan fana. Padahal sebenarnya akhirat adalah emas yang kekal abadi dan dunia adalah tembikar nantinya fana.” (Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, 7: 473, Mawqi’ At Tafasir)

Juga kata Syaikh As Sa’di, ayat yang kita kaji mengandung pelajaran penting tentang zuhud di dunia karena kita diperintahkan untuk memikirkan akhirat kita yang kekal dibanding dunia yang akan sirna, dunia hanyalah sebagai sarana untuk menggapai kebahagiaan akhirat. Zuhud yang dimaksud adalah meninggalkan setiap yang dapat mendatangkan bahaya bagi hamba dan meninggalkan setiap yang membuat lalai dari kewajiban dan hak Allah.

Semoga kita termasuk hamba yang menjadi akhirat sebagai tujuan mulia kita.

Sumber https://rumaysho.com/3336-nikmat-dunia-pasti-akan-sirna.html

Jangan-Jangan Kita Terjangkit Penyakit Cinta Dunia, Ini Tandanya

Apa saja tanda cinta dunia?

Coba kita awali dengan merenungkan ayat berikut ini.

Allah Ta’ala berfirman,

بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (16) وَالْآَخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى (17)

Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al A’laa: 16-17)

Malik bin Dinar berkata:

لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا مِنْ ذَهَبٍ يَفْنَى ، وَالآخِرَةُ مِنْ خَزَفٍ يَبْقَى لَكَانَ الوَاجِبُ أَنْ يُؤْثِرَ خَزَفٍ يَبْقَى عَلَى ذَهَبٍ يَفْنَى ، فَكَيْفَ وَالآخِرَةُ مِنْ ذَهَبٍٍِ يَبْقَى ، وَالدُّنْيَا مِنْ خَزَفٍ يَفْنَى؟

“Seandainya dunia adalah emas yang akan fana, dan akhirat adalah tembikar yang kekal abadi, maka tentu saja seseorang wajib memilih sesuatu yang kekal abadi (yaitu tembikar) daripada emas yang nanti akan fana. Padahal sejatinya akhirat adalah emas yang kekal abadi dan dunia adalah tembikar yang nantinya fana.” (Lihat Fathul Qodir, Imam Asy-Syaukani, 5:567-568)

Jangan-jangan kita memang sedang terjangkit cinta dunia. Ini di antara tanda-tandanya.

  1. Mengorbankan agama dan lebih memilih kekafiran

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِى كَافِرًا أَوْ يُمْسِى مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا

Bersegeralah melakukan amalan shalih sebelum datang fitnah (musibah) seperti potongan malam yang gelap. Yaitu seseorang pada waktu pagi dalam keadaan beriman dan di sore hari dalam keadaan kafir. Ada pula yang sore hari dalam keadaan beriman dan di pagi hari dalam keadaan kafir. Ia menjual agamanya karena sedikit dari keuntungan dunia.” (HR. Muslim no. 118)

2. Hati jadi lalai dari mengingat akhirat sehingga kurang dalam beramal saleh

Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحَبَّ دُنْيَاهُ أَضَرَّ بِآخِرَتِهِ وَمَنْ أَحَبَّ آخِرَتَهُ أَضَرَّ بِدُنْيَاهُ فَآثِرُوا مَا يَبْقَى عَلَى مَا يَفْنَى

Siapa yang begitu gila dengan dunianya, maka itu akan memudaratkan akhiratnya. Siapa yang begitu cinta akhiratnya, maka itu akan mengurangi kecintaannya pada dunia. Dahulukanlah negeri yang akan kekal abadi (akhirat) dari negeri yang akan fana (dunia).” (HR. Ahmad, 4:412. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan lighairihi.)

Dalam surat Adz-Dzariyat juga disebutkan,

قُتِلَ الْخَرَّاصُونَ (10) الَّذِينَ هُمْ فِي غَمْرَةٍ سَاهُونَ (11)

Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta, (yaitu) orang-orang yang terbenam dalam kebodohan yang lalai.” (QS. Adz-Dzariyat: 10-11)

Yang dimaksud “alladzina hum fii ghomroh” adalah mereka buta dan jahil akan perkara akhirat. “Saahun” berarti lalai. As-sahwu itu berarti lalai dari sesuatu dan hati tidak memperhatikannya. Sebagaimana hal ini ditafsirkan dalam Zaad Al-Masir karya Ibnul Jauzi.

3. Kurang mendapatkan kelezatan ketika berdzikir

Di dalam Majmu’ah Al-Fatawa (9:312), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan perkataaan ulama Syam yaitu Sulaiman Al-Khawwash, “Dzikir bagi hati kedudukannya seperti makanan untuk badan. Ketika badan sakit, tentu seseorang sulit merasakan lezatnya makanan. Demikian pula untuk hati tidak bisa merasakan nikmatnya dzikir ketika seseorang terlalu cinta dunia.”

Baca juga: Khutbah Jumat, Tanda Cinta Dunia

Tanda cinta dunia lainnya adalah:

  • gila harta,
  • gila jabatan,
  • gila kehormatan,
  • gila ketenaran;
  • hidup mewah dengan pakaian, makanan dan minuman;
  • waktunya sibuk mengejar dunia;
  • ia mengejar dunia lewat amalan akhirat.

Yang dimaksud mengejar dunia lewat amalan akhirat, contohnya amalan “shalawatin saja” untuk dapat iphone hingga dapat mobil mahal.

Darush Sholihin, sore 14 Dzulhijjah 1442 H

Muhammad Abduh Tuasikal 

Sumber https://rumaysho.com/28949-jangan-jangan-kita-terjangkit-penyakit-cinta-dunia-ini-tandanya.html

Bung Tomo Wafat di Arafah

Pada zaman revolusi, ada tiga putra Indonesia di depan nama mereka dipanggil Bung. Mereka itu Ir Sukarno dan Drs Moh Hatta, Proklamator Kemerdekaan Negara Republik Indonesia.

Akrab rakyat memanggil mereka Bung Karno dan Bung Hatta. Sedangkan terakhir Bung Tomo, nama lengkapnya Sutomo. Putra Surabaya ini, umur 25 tahun, menjadi pendorong, pembangkit, penyemangat, dan penggerak perjuangan.

Namanya berhubungan erat dengan pertempuran heroik di Surabaya 10 November 1945. Karena itu, 10 November di Indonesia diabadikan sebagai Hari Pahlawan.

Bung Tomo, 12 Oktober 1945, membentuk Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI). Pembentukan BPRI mendapat restu petinggi militer Jawa Timur, Moestopo, namanya.

Menurutnya, pemuda itu mempunyai bakat dalam agitasi dan propaganda. Karena itu, ia memberi pemancar radio kepadanya. Meski pemancar bekas, tapi masih sangat layak untuk digunakan. Apalagi bila sebelumnya lebih dulu direparasi oleh ahlinya. Berikutnya, Bung Tomo membentuk Radio Pemberontakan.

Ketika Radio Pemberontakan siarannya mulai mengudara, daya pancarnya masih sebatas kota Surabaya. Namun, setelah pemancar radio itu diperbaiki oleh ahlinya, daya jangkaunya menjadi bertambah meluas.

Sepekan setelah itu, RRI Surabaya, Malang, Solo, dan Yogyakarta merelay orasi Bung Tomo. Pidato Bung Tomo tiap sore jam 17.30 merupakan momen penting yang ditunggu. Pendengarnya pun terus bertambah.

Bung Tomo dalam pidato atau orasinya senantiasa memulai dan mengakhirinya dengan membaca takbir. Allahu Akbar! Ia seorang orator dan agitator yang piawai.

Dalam orasinya, ia senantiasa memberi dan meningkatkan semangat juang. Ia terus membakar semangat rakyat yang sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan.

Agar semangat revolusi rakyat tidak melemah atau mengendor. Jangan berucap menyerah kalah. Teruslah gelorakan semangat perlawanan rakyat menghadapi penjajah.

Pada 20 Mei 1950, Bung Tomo banting stir beralih ke politik. Ia mendirikan Partai Rakyat Indonesia.

Di zaman Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, ia duduk dalam Kabinet menjadi Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran dan Menteri Sosial adinterim. Kabinet yang hanya berumur tujuh bulan (Agustus 1955 – Maret 1956) berhasil menyelenggarakan Pemilu pertama di Indonesia secara langsung, bebas, adil, dan rahasia.

Setelah Pemilu, ia terpilih menjadi anggota DPR dan Konstituante. Ia berkarakter kritis, baik di zaman Presiden Sukarno maupun Presiden Suharto. Di zaman Orde Baru, ia dijebloskan dalam tahanan di Nirbaya, Jakarta selama setahun.

Bung Tomo bersama istrinya, Sulistina asli Malang, dan dua putrinya pada 1981, menunaikan ibadah haji. Dari Tanah Air berangkat ke Tanah Suci September 1981.

Pada 3 Oktober 1981, ulang tahun kelahirannya ke-61, Bung Tomo sakit tak sadarkan diri. Terus dibawa ke Rumah Sakit Kerajaan Arab Saudi. Menurut pemeriksaan dokter, ia terkena komplikasi hidrasi dan stroke. Dua hari, ia tak sadarkan diri. Hari ketiga, ia siuman.

Dua hari berikutnya adalah hari wukuf di Arafah yang mesti ditunaikan bagi siapa pun yang berhaji dan tidak bisa diwakilkan. Maka ia pun pada 9 Dzulhijjah melakukan wukuf di Arafah. Meski berangkatnya ke Arafah, karena sakit, ditandu.

Selagi wukuf di Arafah itulah, Allah memanggilnya pulang ke rahmatullah. Jenazahnya dimakamkan di Tanah Suci. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Atas ikhtiar keluarga almarhum, diwakili Bambang Sulistomo (putra kedua), pemindahan kerangka jenazah Bung Tomo dari Tanah Suci ke Tanah Air terselesaikan sudah. Fatwa MUI dan bantuan diplomasi dari Dep Luar Negeri memudahkan urusan pemindahan.

Keberangkatan Bambang Sulistomo bersama dua dokter ahli forensik dari Jakarta ke Mekkah berhasil. Para petugas yang menguburkan waktu itu pun bisa ditemukan.

Dalam mengidentifikasi jenazah Bung Tomo tidak mengalami kesulitan dan ditemukan. Dengan pesawat Hercules TNI, jenazahnya diterbangkan ke Tanah Air. Keluarga sepakat, jenazahnya dimakamkan di Ngagel Rejo, Jl Bung Tomo, Surabaya. Akhirnya, meski terlambat, Pemerintah menetapkan Bung Tomo (Sutomo), pada tahun 2008, sebagai pahlawan nasional.

Oleh: M Muchlas Abror

Sumber: Majalah SM Edisi 21 Tahun 2018

Link artikel asli

IHRAM

Jamaah Ungkap Pengalaman Saat Berhaji di Masa Pandemi

 Jamaah haji tahun ini merasa berkesan dengan pelaksanaan ibadah mereka di Tanah Suci. Banyak yang mengatakan haji kali ini mengubah hidup mereka dengan kenangan yang tidak akan pernah mereka lupakan.

Salah seorang peziarah asal Yordania, Dina, berbagi perjalanan pribadinya selama berhaji. “Kami tidak berdandan dengan pakaian dan perhiasan yang mewah, kami berdandan dengan gembira,” kata Dina, dilansir dari The National, Jumat (23/7).

“Kenangan yang saya buat di sini sangat berharga. Saya menghabiskan hari-hari berhaji dengan orang-orang asing dan menciptakan ikatan yang mendalam dengan mereka. Sungguh saya tidak bisa menjelaskannya. Tetapi saling peduli melalui setiap langkah mungkin menjadi salah satu alasannya,” tambahnya.

Dina, bersama orang lain yang baru dikenalnya, saling membawa beban satu sama lain dalam perjalanan panjang antar lokasi, dan mendorong kursi roda untuk orang-orang dalam kelompok kami. Juga mengoleskan salep yang menenangkan untuk meringankan rasa sakit mereka dan menyembuhkan lecet di kaki mereka karena berjalan di panas.

“Kami telah melakukan semuanya. Rasanya sangat menyenangkan berada di sana untuk satu sama lain terlepas dari dari mana mereka berasal. Ini adalah pelajaran berharga dan tersembunyi yang diajarkan Haji kepada kita,” ujarnya.

Asma, seorang peziarah Saudi, juga berbagi pengalamannya di haji tahun ini. “Hari ini adalah hari pertama kami bersantai. Setelah kami melepas ihram kami, membersihkan diri dan berpakaian untuk tawaf, kami pergi ke Masjidil Haram dan melakukan shalat zuhur dan tawaf ifadah,” ucapnya.

Asma bertemu teman-teman dari kamp lain dalam perjalanan ke sana dan di halaman Masjidil Haram. Mereka bertukar salam Idul Adha dan makan bersama sebelum shalat Ashar di Masjidil Haram dan kembali ke kamp. “Ada perasaan yang indah saat bisa melakukan itu dengan orang-orang yang baru saja Anda temui,” katanya.

IHRAM

Ya Allah, Hamba Ingin Kembali ke Masa Lalu

Waktu atau masa adalah seluruh rangkaian saat ketika proses, perbuatan, atau keadaan berlangsung. Dalam hal ini, skala waktu merupakan lama berlangsungnya suatu kejadian. Selama berlangsungnya suatu proses, perbuatan atau keadaan hidup dalam diri seorang manusia, banyak yang tidak menyadari bahwa waktu begitu cepat berlalu. Pada zaman ini, tidak jarang banyak manusia yang melalaikan waktu dan bersikap masa bodoh terhadap waktu. Mereka menyia-nyiakan waktu yang telah Allah Ta’ala takdirkan pada dirinya. Seolah hidup ini hanya untuk kesenangan dan hura-hura belaka.

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata,

إضاعة الوقت أشد من الموت ، لأن إضاعة الوقت تقطعك عن الله والدار الآخرة ،والموت يقطعك عن الدنيا وأهلها

“Menyia-nyiakan waktu lebih berbahaya daripada kematian, karena menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu dari Allah dan negeri akhirat, sedangkan kematian hanya memutuskan dirimu dari dunia dan penduduknya” (Al-Fawaid, hal 44).

Apabila waktu secara terus-menerus disia-siakan oleh seorang manusia, maka untuk apa ia hidup di dunia? Waktunya tidak berguna bagi dirinya ataupun bagi orang lain. Bukankah sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain? Bukankah tujuan Allah Ta’ala menciptakan manusia untuk beribadah kepadanya? Lalu apa prinsip hidup di dunia bagi orang yang menyia-nyiakan waktu? Sebenarnya tujuan hidup mereka hidup di dunia untuk apa?

Apakah Manusia Dapat Kembali ke Masa Lalu?

Belakangan ini, banyak sekali manusia terutama seorang muslim usia remaja hingga lanjut usia yang merasa menyesal terhadap perbuatan yang telah mereka lakukan selama hidup di dunia. Mereka merasa takut dan risau akan azab Allah Ta’ala kepada manusia yang ingkar terhadap aturan-Nya, sehingga mereka bersikeras memohon kepada Allah Ta’ala untuk dapat kembali ke masa lalu agar dapat memperbaiki sejarah hidupnya. Ya Allah, hamba ingin kembali ke masa lalu. Namun, Apakah manusia dapat kembali ke masa lalu? Allah Ta’ala berfirman,

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)

“[1] Demi masa. [2] Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. [3] Kecuali orang- orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. (QS. Al-‘Ashr: 1-3)

Dijelaskan dalam surat Al-‘Ashr bahwa manusia akan menyesal karena waktu. Maksudnya adalah manusia akan menyesal dengan apa yang telah terjadi dan tidak dijelaskan bahwa manusia bisa mengulang waktu. Ayat ke-3 hanya menjelaskan siapa saja yang tidak menyesal. Maka dari itu, manusia tidak bisa kembali ke masa lalu untuk mengubah sejarah hidup yang telah dilaluinya.

Penyesalan yang Tiada Guna

Waktu yang telah dilalui memang tidak dapat terulang lagi. Dalam hati dan jiwa seorang muslim pasti selalu ada saja sesuatu yang terlintas dalam pikiran akan dosa dan maksiat yang pernah dilakukan dalam sejarah hidupnya. Rasanya setiap hari yang dilalui, bayangan akan maksiat masa lalu selalu terbayang dan hal ini apabila dipikirkan secara berlarut-larut dapat menjatuhkan iman dalam diri seorang muslim. Na’udzubillahi min dzalik. Namun, apakah dengan memikirkan maksiat masa lalu secara berlarut-larut akan dapat merubah sejarah hidup yang telah diukirnya? Jawabannya adalah tidak. Penyesalan yang tiada gunalah yang hanya tertinggal dalam bekas jejak sejarah selama hidup di dunia.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْ تَرَىٰ إِذِ الْمُجْرِمُونَ نَاكِسُو رُءُوسِهِمْ عِندَ رَبِّهِمْ رَبَّنَا أَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَارْجِعْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا إِنَّا مُوقِنُونَ

“Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Rabbnya, (mereka berkata), ‘Wahai Rabb kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami ke dunia. Kami akan mengerjakan amal shaleh. Sesungguhnya kami adalah orang-orang yakin’.” ( QS. As-Sajdah : 12).

Tidaklah berguna suatu penyesalan bagi diri seorang manusia. Penyesalan tersebut tidak dapat membuat kita kembali ke masa lalu untuk memperbaiki segala dosa dan maksiat yang telah diperbuat selama hidup di dunia dan tidak dapat pula menyelamatkan diri dari azab Allah Ta’ala. Oleh karena itu , betapa pentingnya waktu bagi umat Islam. Manfaatkan waktu untuk hal-hal yang positif dan senantiasa selalu melibatkan Allah Ta’ala dalam setiap langkah hidup kita di dunia.

Dampak Buruk Bagi Orang-orang yang Menyia-nyiakan Waktu

Menyia-nyiakan waktu adalah suatu hal yang buruk karena dengan hal itu akan ada banyak waktu yang terbuang percuma tanpa mendatangkan pahala dan manfaat. Sebagai seorang muslim, sudah sepantasnya kita menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya karena dengan memaksimalkan waktu untuk hal yang positif, maka insyaallah rida Allah Ta’ala akan diraih dan tujuan hidup seorang muslim untuk meraih surga Allah Ta’ala akan tercapai. Namun, untuk mencapai itu semua tidaklah mudah, banyak manusia yang terperangkap dalam lubang kemaksiatan. Menyia-nyiakan waktu adalah suatu hal yang buruk dan banyak mendatangkan dampak negatif. Salah satu dampak yang paling terasa adalah kehilangan kesempatan.

Ja’far bin Sulaiman berkata bahwa dia mendengar Rabi’ah menasehati Sufyan Ats-Tsauri tentang hukum membuang waktu dalam Islam. Rabi’ah mengatakan, “Sesungguhnya engkau bagaikan hari yang dapat dihitung. Jika satu hari berlalu, maka sebagian darimu juga akan pergi. Bahkan hampir sebagian harimu berlalu, namun engkau merasa seluruh yang ada padamu ikut pergi. Oleh karena itu, beramallah.” (Shifatush Shofwah, 1/405).

Dalam tiap detik kehidupan yang dilalui oleh manusia, pasti terdapat suatu kesempatan baik yang menanti. Kesempatan tersebut akan datang kala kita memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin. Bagi orang yang menyia-nyiakan waktu maka kesempatan tersebut akan hilang karena pada dasarnya kesempatan akan muncul ketika terdapat aksi yang sedang kita lakukan. Jika kesempatan itu adalah kesempatan emas yang dapat mengubah kehidupan seorang muslim menjadi lebih baik maka merugilah orang yang selalu menyia-nyiakan waktu. Mereka akan tertinggal sangat jauh dari pada orang-orang yang produktif dan hidup mereka tidak akan ada perubahan ke arah lebih baik. Na’udzubillahi min dzalik.

Urgensi Waktu Dalam Islam

Hal yang sangat berharga bagi seorang manusia terutama seorang muslim adalah waktu. Waktu menjadi sangat penting karena dengan waktu kepribadian manusia dapat berubah. Perubahan tersebut dapat ke arah lebih baik ataupun ke arah lebih buruk, tetapi banyak manusia yang terperangkap dalam lubang kemaksiatan dalam menjalani hari-harinya. Salah satu faktor yang dapat memicu hal itu terjadi adalah tidak bisanya dalam memanfaatkan waktu, sehingga tak jarang banyak orang yang meminta kepada Allah Ta’ala untuk memutar balikkan waktu ke masa lalu.

Abu Bakar ash-Shiddîq radhiyallahu ‘anhu berkata,

أن لله حقا بالليل لا يقبله بالنهار ، وحقا بالنهار لا يقبله بالليل

“Sesungguhnya Allah memiliki hak pada waktu malam, Dia tidak akan menerimanya di waktu siang. Dan Allah juga memiliki hak pada waktu siang, Dia tidak akan menerimanya di waktu malam” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, no. 37056).

Senantiasa sebagai seorang muslim sejati dapat memanfaatkan waktu agar penyesalan tidak menghampiri kita dan tidak akan pernah keluar kalimat dari dalam mulut kita yang mengatakan bahwa Ya Allah, hamba ingin kembali ke masa lalu.

***

Penulis: Rifaldo

Sumber: https://muslim.or.id/67537-ya-allah-hamba-ingin-kembali-ke-masa-lalu.html

Ragu Sudah Diakikahi Atau Belum oleh Orangtua, Apakah Perlu Akikah?

Terdapat sebagian orang yang memiliki keraguan apakah dirinya sudah diakikahi atau belum oleh kedua orangtuanya. Ini terjadi biasanya karena dia ditinggal wafat oleh kedua orangtuanya di waktu masih kecil sehingga dia tidak mendapatkan informasi dari kedua orangtuanya apakah dirinya sudah diakikahi atau belum. Dalam keadaan ragu sudah diakikahi atau belum oleh orangtua, apakah dia perlu untuk melakukan akikah? (Baca: Hukum Mengakikahi Anak Angkat)

Jika seseorang ragu apakah dirinya sudah diakikahi atau belum oleh kedua orangtunya, baik karena dirinya ditinggal wafat oleh kedua orangtuanya di waktu masih kecil, atau karena sebab lainnya, maka dia tidak perlu melakukan akikah. 

Ini karena keraguan dirinya menyebabkan dia dinilai sudah diakikahi oleh orangtuanya karena akikah memang dianjurkan untuk kedua orangtua di waktu anak masih kecil. Sehingga jika dia ragu ketika sudah dewasa apakah sudah diakikahi atau tidak, maka yang dimenangkan adalah dia dinilai sudah diakikahi dan dia tidak perlu melakukan akikah lagi.

Ini berbeda jika dirinya sudah yakin bahwa orangtuanya belum mengakikahi dirinya. Dalam keadaan demikian, maka dia dianjurkan untuk mengakikahi dirinya.

Ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Abdurrahman Al-Nashir Al-Sa’di dalam kitab Al-Fatawa Al-Sa’diyah berikut;

سؤال: هل يجزئ بعض البدنة عن العقيقة واذا شك هل عق عنه ابوه فهل يلزمه ان يعق؟

جواب: اما العقيقة فلا يجزئ ثلث البدنة ولا سبعها ولا يجزئ عنها الا بدنة كاملة مع ان الشاة افضل من البدنة الكاملة واذا شك الانسان هل عق عنه والده ام لا؟ فليس عليه عقيقة العقيقة على الاب وايضا هو شاك هل عق عنه ام لا

Pertanyaan: Apakah sebagian untuk cukup untuk dijadikan akikah, dan jika seseorang ragu apakah bapaknya sudah mengakikahi dirinya atau belum, apakah dia perlu melakukan akikah?

Jawaban: Adapun akikah tidak cukup dengan sepertiga unta dan juga sepertujuhnya. Akikah harus dengan satu unta utuh, selain itu satu kambing tetap lebih utama dibanding satu unta yang utuh. Dan jika seseorang ragu apakah orangtuanya mengakikahi dirinya atau belum? Maka dia tidak perlu melakukan akikah karena akikah adalah tanggung jawab bapaknya, juga dia dalam keadaan ragu apakah dirinya sudah diakikahi atau belum.

BINCANG SYARIAH

Jomlo Bagian dari Zuhud, Tapi Menikah juga Ibadah

Bagi sebagian orang menyandang status jomlo (membujang) lalu tidak kunjung menikah, hal itu adalah sebuah momok. Karena orang yang jomlo acapkali menjadi objek perundungan dari lingkungan sekitarnya. Entah dari lingkungan pertemanan ataupun lingkungan keluarga.

Sebagian ulama seperti Syekh Zainuddin al-Malibari dalam kitabnya yang berjudul Hidayat al-Adzkiya ila Thariq al-Auliya mengulas tentang jomlo (‘azuban) dan memasukkannya dalam kategori zuhud. Ia menulis dalam kitabnya satu bait syair:

واترك من الأزواج من ما ساعدت # في طاعة واختر عزوبا فاضلا

Tinggalkanlah pasangan yang tidak dapat menolongmu dalam ketaatan. Pilihlah jalan kejomloan, itu lebih utama. (Dibandingkan pasangan yang melalaikan dari taat kepada Allah swt).

Dalam syarah kitab yang ditulis Syekh Abu Bakar ad-Dimyathi dengan judul Kifayatul Atqiya dijelaskan bahwa sebagai seorang murid (orang yang sedang menuju Allah Swt) harus bersikap zuhud dari  segala sesuatu yang dapat membuat lupa dari Allah Swt (kullu ma yusyghiluka ‘an Allah yajib an tazhada fih).

Perlu diingat bahwa anjuran memilih jomlo (membujang) dibandingkan dengan menikah di sini mesti diposisikan dari sudut pandang tasawuf. Bagi salik sifat zuhud merupakan bagian dari cara untuk menuju Allah Swt. Oleh karenanya, segala sesuatu yang dapat menjauhkan dari-Nya, termasuk jika memiliki pasangan, menjadi suatu keharusan.

Namun demikian, Syekh Abu Bakar melanjutkan penjelasannya ditinjau dari sisi fikih. Mengutip pendapat Imam mazhab, seperti mazhab Hanafi, yang menjadikan pernikahan sebagai bagian dari ibadah, maka menikah lebih utama dibandingkan menjomlo.

Begitu pun dengan Salik yang menikah, meski misalkan pasangannya menjadi ujian baginya, asalkan tidak menjadikannya lupa kepada Allah Swt, maka hal itu lebih utama.

Bagi kita yang memilih jomlo karena khawatir akan mengganggu fokus dalam meraih cita-cita dan ibadah, maka hal itu sudah sesuai dengan tuntunan sikap sufi yakni zuhud. Namun demikian, bagi sebagian orang yang sudah tidak kuat untuk menikah, maka hendaknya segera menikah. Wallahu A’lam.

BINCANG SYARIAH

Hukum Menulis Sebagian Ayat Al-Quran di Nisan Kuburan

Umumnya, nisan kuburan hanya ditulisi nama orang yang dikubur. Namun terdapat sebagian nisan kuburan yang tidak hanya ditulisi nama orang yang dikubur, tetapi juga ditulisi sebagian ayat Al-Quran, seperti ayat ‘Inna lillaahi wa innaa ilaihi roji’un’, dan ayat-ayat lainnya. Bagaimana hukum menulis sebagian ayat Al-Quran di nisan kuburan, apakah boleh?

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hukum menulis ayat-ayat Al-Quran tertentu di nisan kuburan. Setidaknya, ada dua pendapat ulama dalam masalah ini.

Pertama, menurut ulama Malikiyah, menulis ayat-ayat Al-Quran tertentu di batu nisan kuburan adalah haram. Sementara jika yang ditulis adalah nama jenazah, tanggal lahir dan tanggal wafatnya, maka hukumnya adalah makruh.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah berikut;

المالكية قالوا: الكتابة على القبر إن كانت قرآنا حرمت، وإن كانت لبيان اسمه، أو تاريخ موته، فهي مكروهة

Ulama Malikiyah berkata; Menulis di atas kuburan, jika tulisan tersebut adalah Al-Quran, maka hukumnya haram. Namun jika tulisan tersebut adalah untuk menjelaskan nama dan tanggal wafat jenazah, maka dimakruhkan.

Kedua, menurut ulama Syafiiyah, menulis ayat-ayat Al-Quran di batu nisan kuburan, jika bukan kuburan orang alim atau orang shalih, maka hukumnya adalah makruh. Namun jika kuburan orang alim atau shalih, maka tidak masalah menulis ayat-ayat Al-Quran, nama, tanggal lahir dan tanggal wafat pada batu nisannya. Ini bertujuan untuk membedakan antara kuburan orang alim dan orang shalih dengan kuburan orang-orang pada umumnya.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah berikut;

الشافعية قالوا: الكتابة على القبر مكروهة، سواء كانت قرآنا أو غيره، إلا إذا كان قبر عالم أو صالح، فيندب كتابة اسمه، وما يميزه ليعرف

Ulama Syafiiyah berkata; Menulis di atas kuburan hukumnya makruh, baik tulisan tersebut berupa al-Quran atau lainnya. Kecuali kuburan orang alim atau orang shalih, maka sunah menulis namanya dan sesuatu yang bisa membedakannya agar bisa diketahui.

Dengan demikian, melalui penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa menurut ulama Malikiyah, menulis ayat-ayat Al-Quran di batu nisan kuburan hukumnya adalah haram. Sementara menurut ulama Syafiiyah, jika kuburan orang alim atau shalih, maka boleh menulis ayat Al-Quran di batu nisannya, dan adapun kuburan selain orang alim dan shalih tidak boleh.

BINCANG SYARIAH

Kisah Mualaf Wang Sun Hwa, Berawal dari ‘Puasa’ Ramadhan

Puasa Ramadhan yang diikuti secara coba-coba menjadi jalan hidayah untuk mualaf ini.

Selama empat tahun Rahmat menempuh pendidikan di Kota Nabi. Banyak ilmu dan keberkahan di sana.

Rahmat Hidayat merupakan seorang mualaf yang kini aktif di dunia dakwah. Lelaki berusia 29 tahun itu mengaku bersyukur, Allah SWT telah memberikan hidayah kepadanya untuk menjadi Muslim. Menurutnya, iman dan Islam merupakan anugerah terbesar yang pernah dirasakannya.

Pria keturunan Tionghoa ini lahir dengan nama Wang Sun Hwa, di Medan, Sumatra Utara. Sejak 2004 lalu, dia memeluk Islam. Adapun nama Rahmat Hidayat yang kini disandangnya merupakan pemberian dari ibu angkatnya. Perempuan itulah yang menjadi jalan petunjuk Allah sampai kepadanya.

Sebelum memeluk Islam, Rahmat tidaklah begitu tertarik pada hal-hal yang meningkatkan kesadaran spiritual. Ia menduga, kecenderungan itu bertolak belakang dengan pola pendidikan yang diterimanya sejak dini. Seisi rumah tidak pernah absen dalam melaksanakan ibadah tiap akhir pekan. Bahkan, ada tempat ibadah di kediamannya.

Rahmat agak berbeda dari kakak-kakaknya. Anak bungsu dari lima bersaudara itu tidak terlalu mementingkan ibadah. Sesekali, ia memang mengikuti orang tuanya ke tempat ibadah. Namun, ritual tersebut dianggapnya rutinitas belaka.  

“Kakak-kakak saya itu termasuk orang yang aktif (beribadah). Ya tidak tahu mengapa saya agak berbeda. Mungkin inilah awal mulanya hidayah sampai kepada saya,” tuturnya dalam video yang diunggah di platform YouTube, seperti dilihat Republika, beberapa waktu lalu.

Walaupun usianya masih anak-anak, Rahmat sering mengajukan pertanyaan yang sesungguhnya filosofis. Ia saat itu pun kerap heran dengan kepercayaan yang dipeluk kedua orang tua dan saudara-saudaranya. Ia seolah-olah menemukan alasan untuk tidak taat beribadah karena memang sudah ragu menyembah apa yang mereka sembah.

Meskipun jarang terlihat beribadah, Rahmat jarang mendapatkan teguran. Keluarganya seakan-akan tidak terlalu memedulikannya. Keadaan itu terus bertahan hingga ia berumur remaja.

Tidak seperti sebelumnya, Rahmat muda mulai membuka wawasannya. Sebab, saat masih berusia anak-anak dirinya tinggal di lingkungan “monoton”. Dalam arti, tetangga dan kawan-kawannya tidak berbeda agama dengan keluarganya.

Kini, ia sudah memiliki cukup banyak teman dari kalangan Muslim. Sepanjang pergaulannya dengan mereka, Rahmat mulai mengetahui dan mengenal beberapa ajaran Islam. Lama kelamaan, ia pun tertarik mempelajari agama yang mengajarkan bahwa Tuhan hanyalah satu, yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala, itu.

Waktu silih berganti. Tibalah bulan suci Ramadhan. Rahmat muda memperhatikan, kawan-kawannya yang Muslim mengamalkan puasa. Mereka tidak makan dan minum sejak pagi hingga azan maghrib berkumandang. Selain itu, teman-temannya itu tampak semakin rajin beribadah di masjid.

Waktu itu, Rahmat sangat tertarik untuk mengetahui seluk-beluk puasa Ramadhan. Tiap ada kesempatan, dia pun bertanya kepada seorang atau dua temannya. Ia kerap heran, mengapa Islam mengharuskan umatnya untuk menahan lapar dan dahaga seharian, selama sebulan penuh pula.

Puasa memang bukan perkara asing untuk Rahmat saat itu. Di agamanya (yang lama), sudah ada ketentuan untuk berpuasa. Namun, ajaran itu tidak diharuskan untuk pemeluk agama tersebut. Sifatnya semata-mata anjuran, bukan kewajiban.

“Saya pernah tanya ke kawan-kawan (yang Muslim), mengapa kok kalian itu setiap hari berpuasa gitu setiap bulan Ramadhan, tiap tahun pula,” ujarnya.

Keterarikan Rahmat terhadap Islam ternyata belum ditanggapi serius oleh teman-temannya saat itu. Mereka hanya menjawab sekenanya saja, seperti “kewajiban orang Islam memang berpuasa saat Ramadhan” atau sekadar “ya memang begitu”.

Untuk menunjukkan kesungguhannya, Rahmat akhirnya memilih untuk ikut berpuasa. Ia pun mengungkapkan niatnya itu kepada kawan-kawannya yang Muslim. Akan tetapi, maksud tersebut justru menjadi semacam bahan candaan mereka.

“Bagaimana bisa orang non-Muslim ikut-ikutan puasa?” ucap Rahmat meniru perkataan teman-temannya saat itu.

Akhirnya, seorang sahabatnya memberikan saran. Sebaiknya, Rahmat bertanya kepada orang yang lebih tua. Rahmat pun meminta teman dekatnya itu memberi tahu kepada ibunya. Di kemudian hari ketika akhirnya ia menjadi mualaf, sang ibu tersebut menjadi ibu angkatnya.

Ya, walaupun belum resmi menjadi Muslim, Rahmat saat itu sudah belajar berpuasa. Satu bulan penuh ia menjalankan ibadah Islam tersebut. “Boleh saya berpuasa, saya ‘diizinkan’ ikut puasa, sahur, dan buka puasa. Iftharnya disajikan ibu sahabat saya itu, yang akhirnya jadi ibu angkat saya. Tapi ya waktu itu sifatnya hanya ikut-ikutan saja,” tutur dia.

Itulah pengalaman pertamanya berpuasa Ramadhan. Memasuki tahun berikutnya, ia justru ingin kembali berpuasa. Ibu sahabatnya itu membaca keinginan Rahmat itu sebagai tanda bahwa memang dirinya ingin mendalami Islam.

Maka, Rahmat pun diperkenalkan dengan dasar-dasar ajaran Islam. Namun, jelas Rahmat, ibu angkatnya tidak pernah memaksa atau sengaja mempengaruhinya agar memeluk Islam. Sepenuhnya diserahkan kepada keputusannya sendiri. Apabila benar-benar bertekad kuat untuk mengkaji Islam, maka lebih baik bila menjadi Muslim.

Mulai saat itu, ia berkali-kali ke masjid. Hal itu dilakukannya terutama menjelang kumandang azan. Baginya, suara panggilan shalat itu membuat hatinya tenang.

Rahmat pun memeluk Islam. Waktu itu, usianya cukup belia, 13 tahun. Momennya mengucapkan dua kalimat syahadat terjadi beberapa hari sesudah lulus SMP. Prosesi itu dilangsungkan di Masjid Muhammadiyah, Jalan Pasundan, Medan.

Setelah bersyahadat, ibu angkatnya pun pernah berjanji, akan membantu Rahmat untuk mencari pesantren sehingga dia mendapatkan bimbingan dengan baik. Bagaimanapun, yang masih dipikirkannya adalah pertentangan dari orang tua.

Sesuai janji, ibu angkatnya pun mencarikan sebuah pesantren untuknya. Ternyata, lembaga itu memiliki syarat, tiap santri mesti lancar membaca Alquran dalam dua bulan. Hal itu sempat membuat Rahmat meragukan kemampuannya.

“Tapi, alhamdulillah, saya bisa membaca Alquran. Waktu itu, ibu angkat saya juga ikut membimbing,” kenangnya.

Pertentangan dari keluarga pun mampu dia hadapi. Baginya, iman dan Islam adalah perkara yang utama. Terusir dari rumah dan putus sekolah adalah risiko, tetapi tidak menjadi alasan untuk berpaling dari agama tauhid.  

Saat itu keluarganya mengetahui tentang keislaman Rahmat. Tanpa pikir panjang mereka mendatangi ibu angkat Rahmat.

Kedua orang tuanya saat itu berpikir bahwa keislaman Rahmat adalah hasil hasutan ibu angkatnya. Setelah dijelaskan duduk perkaranya, keduanya tetap bergeming. Maka, komunikasi antara orang tua dan anak itu sempat terputus.

Sampai Tanah Suci

Begitu lulus dari SMP, Rahmat melanjutkan pendidikan di pondok pesantren yang didirikan seorang mualaf Tionghoa di Deli Serdang. Syukurlah, waktu dua bulan cukup baginya untuk mengasah kemampuan tadarus Alquran. Ia merasa sangat berterima kasih dengan para ustaz setempat dan juga ibu angkatnya.

Setelah lulus pondok pesantren, Rahmat berniat untuk melanjutkan pendidikan. Namun, dia sempat ragu karena tidak memiliki biaya kuliah. Dia pun tak ingin membebani ibu angkatnya yang sudah cukup banyak membantunya.

Rahmat kemudian menemui kakak perempuannya yang pertama-tama menawarkannya ongkos kuliah. Tawaran itu bagaikan oasis di tengah padang sahara. Sayangnya, sang kakak menyimpan pamrih. Rahmat memang ditawari beasiswa, tetapi dengan syarat, dia harus kembali ke agama lama. Dengan tegas, Rahmat menolak hal itu.

Rahmat kemudian mencoba untuk mengikuti audisi dai muda di salah satu stasiun televisi swasta. Setelah lolos audisi untuk wilayah Medan, dia pun lolos hingga ke Jakarta. Namun, perjalanannya dalam proses tersebut hanya sampai pada delapan besar. Ia pun kembali ke daerah asal.

Karena tak juga menemukan kesempatan beasiswa, Rahmat dan seorang temannya mencoba peruntungan. Mereka merantau ke Jakarta. Pada 2014, berbekal kemampuan yang ada ia mendaftar beasiswa S-1 ke Madinah, Arab Saudi.

Setahun lebih dirinya menunggu, ternyata doanya dikabulkan Allah SWT. Rahmat dinyatakan lolos seleksi. Ia pun berangkat ke Tanah Suci bersama 90 peserta lainnya.

Ia saat itu merasa, kemampuannya tidaklah setara dengan rekan-rekannya yang hafiz 30 juz Alquran. Bagaimanapun, Rahmat tetap optimistis karena pada faktanya ia pun ikut terpilih. Selama empat tahun Rahmat menempuh pendidikan di Kota Nabi.

Banyak ilmu dan keberkahan di sana. Setiap tahun, Rahmat bisa menjalan ibadah umrah dan haji tanpa biaya. Ia juga berhasil menyelesaikan pendidikannya tepat waktu.

Begitu lulus dari kampusnya, ia kembali ke Tanah Air. Selama dirinya menempuh studi di luar negeri, ternyata hati kedua orang tuanya mulai luluh. Bahkan, mereka merasa bangga dengan prestasi yang dicapai Rahmat. Itu tentu saja membuatnya bahagia.

Sayangnya, orang tuanya wafat dalam keadaan tak kunjung mendapatkan hidayah dari Allah. Meski demikian, Rahmat tetap bersyukur karena silaturahim terjalin kembali. Bahkan, ada seorang kakaknya yang kemudian tergerak hati untuk memeluk Islam.

Setelah lulus kuliah 2019 lalu, Rahmat menetap di Jakarta dan telah menikah. Kini Rahmat menghabiskan waktunya untuk berdakwah di jalan Allah.

OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI

KHAZANAH REPUBLIKA

Bahaya Tidak Mencatat Utang

Catatan dan persaksian ini penting agar seseorang bisa menjaga hartanya yang telah dia pinjamkan kepada ornag lain. Banyak kejadian saat ini menunjukkan bahwa orang yang berutang menggunakan berbagai cara untuk mengingkari utangnya. Tentu ini adalah perbuatan zalim. Pencatatan dan persaksian ini akan membuat orang yang berutang tidak bisa mengelak. Catatan ini juga sangat dibutuhkan untuk mengetahui jumlah utang sehingga tidak terjadi perselisihan di kemudian hari.

Ayat terpanjang dalam Al-Qur’an menyebutkan,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 282)

Syaikh As-Sa’di rahimahullah mengatakan dalam kitab tafsirnya, “Ayat ini menerangkan perintah untuk mencatat setiap transaksi utang piutang, baik dianggap hukumnya wajib ataukah sunnah, karena mencatat ini amatlah penting. Tanpa adanya pencatatan biasa akan terjadi kekeliruan, kealpaan, cekcok, dan berbantah-bantahan. Ini semua dampak jelek karena tidak adanya pencatatan.” (Tafsri As-Sa’di, hlm. 110)

Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata pula tentang ayat di atas mengenai masalah persaksian, “Hendaklah ada persaksian dalam akad, walaupun hal ini disunnahkan (dianjurkan). Tujuan persaksian adalah untuk menjaga hak orang lain. Ini sangat bermanfaat bagi kita yang menjalankan transaksi (sebagai mukallaf).” (Tafsri As-Sa’di, hlm. 111)

Ada dua pendapat tentang masalah hukum pencatatan utang. Ulama salaf ada yang mewajibkan pencatatan seperti Ibnu ‘Abbas dan Ath-Thabari. Namun, kebanyakan ulama menganggap hukumnya istihbab (sunnah). Yang berpendapat sunnah adalah Asy-Sya’bi, Al-Hasan Al-Bashri, Malik, dan ulama lainnya. Alasan sunnahnya karena harta yang digunakan untuk dipinjamkan adalah milik yang punya. Ia punya hak menggugurkan utang itu, sebagaimana ia berhak untuk tidak mencatatnya. Namun, tentu mencatat utang dan mendatangkan saksi untuk perihal utang itu lebih menjaga hak, mencegah keraguan dan kelupaan. Lihat At-Tafsir wa Al-Bayan li Ahkam Al-Qur’an karya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Marzuq Ath-Tharifi, 1:560.

Kesimpulan: Jangan lupa untuk mencatat utang dan hadirkan saksi. Itu lebih mencegah terjadinya cekcok dan perselisihan di masa akan datang, apalagi utang itu besar. Silakan praktikkan surah Al-Baqarah ayat 282 dan rasakan bagaimana manfaat bila kita mengikuti syariat.

Coba Anda renungkan rusaknya zaman ini karena tak sedikit yang sengaja melupakan utang.

Semoga Allah memberi taufik dan hidayah kepada penulis dan semua yang membaca tulisan ini. Moga kita dapat kemudahan untuk mengatasi masalah utang.

Darush Sholihin, sore 13 Dzulhijjah 1442 H

Muhammad Abduh Tuasikal 

Sumber https://rumaysho.com/28934-bahaya-tidak-mencatat-utang.html