Apakah Sikat Gigi Bisa Menggantikan Siwak?

Sunah Bersiwak

Siwak atau bersiwak memiliki makna membersihkan mulut dan gigi dengan siwak. Kata ‘siwak’ seringkali dimaksudkan untuk alatnya, yaitu dahan pohon yang digunakan untuk membersihkan mulut.

Siwak merupakan sebab dari bersihnya mulut dan akan mendatangkan keridaan Allah Ta’ala sebagaimana yang terdapat di hadis Aisyah bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

السواك مطهرة للفم ، مرضاة للرب

“Siwak itu membersihkan mulut dan mendatangkan keridaan Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari, Ahmad, dan Nasa’i)

Hukum bersiwak dan membersihkan mulut adalah sunah muakkadah (sunah yang ditekankan). Hampir saja nabi Muhammad mewajibkannya untuk kita. Nabi bersabda,

لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة

“Kalau saja tidak memberatkan umatku, niscaya sudah aku perintahkan mereka untuk bersiwak (membersihkan mulut) setiap kali mereka hendak melaksanakan salat.” (HR. Muslim)

Imam Nawawi bahkan  menukilkan kesepakatan ulama akan disunahkannya bersiwak, yang mana hal ini menunjukkan agungnya perkara ini. Beberapa ulama bahkan ada yang mewajibkannya. Di antaranya adalah Imam Ishak bin Rahuwaih.

Bersiwak (membersihkan mulut) disunahkan untuk dilakukan di setiap keadaan, baik itu di siang hari maupun di malam hari, karena keumuman hadis Aisyah yang sudah disebutkan. Akan tetapi, ada beberapa keadaan di mana bersiwak lebih ditekankan untuk dilakukan, di antaranya:

  1. Ketika berwudu dan hendak salat.
  2. Saat akan masuk rumah untuk menemui keluarga kita dan berkumpul dengan mereka. Hal ini berdasarkan hadis Aisyah, beliau pernah ditanya, “Apa yang dilakukan Rasulullah saat hendak masuk ke dalam rumah?” Aisyah menjawab,

كان إذا دخل بيته بدأ بالسواك

“Beliau ketika hendak masuk ke dalam rumah, memulai dengan bersiwak (membersihkan mulut)” (HR. Muslim)

  1. Ketika bangun dari tidur baik itu siang hari maupun malam hari. Hal ini berdasarkan hadis,

كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا قام من الليل يشوص فاه بالسواك

“Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam jika terbangun dari tidur di malam hari, maka yang beliau lakukan adalah mencuci dan memijat mulutnya dengan siwak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

  1. Saat bau mulut berubah, baik itu karena memakan sesuatu yang memiliki bau tidak enak, atau karena lama menahan rasa lapar, ataupun haus atau karena faktor lain.
  2. Ketika masuk masjid, karena ini merupakan salah satu bentuk kesempurnaan di dalam menghias diri, yang mana Allah perintahkan setiap kali hendak masuk masjid. Allah Ta’ala berfirman,

يا بني آدم خذوا زينتكم عند كل مسجد

“Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid.” (QS. Al-A’raf: 31)

  1. Ketika membaca Al-Qur’an dan saat mendatangi majelis ilmu, karena hadirnya para malaikat bersama kita.

Apakah Penggunaan Sikat Gigi dan Odol Bisa Menggantikan Kedudukan Siwak?

Lalu, apakah penggunaan sikat gigi dan odol yang lebih dikenal dan lebih sering digunakan saat ini bisa menggantikan kedudukan siwak?

Syekh Shalih Al-Munajjid menjelaskan,

Hadis-hadis yang menunjukkan keutamaan siwak serta anjuran untuk menggunakannya, maka itu mencakup semua jenis alat yang bisa digunakan untuk membersihkan gigi, jika tujuannya telah tercapai dan memang diniatkan sebagai bentuk mengikuti sunah nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, baik itu menggunakan dahan pohon arak, ataupun dahan pohon zaitun, ataupun dahan kurma, ataupun selainnya.

Termasuk di dalamnya menggunakan ‘gosok gigi’ karena tujuan membersihkan dan memijat gigi  tercapai dengannya, bahkan menggosok gigi dengan gosok gigi dan pasta gigi memudahkan kita di dalam menjangkau area gigi dalam serta memiliki kandungan zat yang akan menyucikan dan membersihkan gigi.

Di antara dalil bahwa menggosok gigi dengan sikat gigi masuk ke dalam keutamaan siwak ada beberapa hal:

  1. Kalimat “السواك” “as-siwak” secara bahasa digunakan untuk perbuatan memijat gigi, tanpa melihat alat apa yang digunakan, namun karena dahulu kala yang lebih sering digunakan untuk membersihkan gigi adalah ranting pohon arak maka penyebutan siwak akhirnya lebih dikenal untuk penggunaan ranting pohon arak tersebut.
  2. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dahulu kala tidak hanya bersiwak dengan ranting pohon arak, di dalam hadis yang menceritakan tentang detik-detik menjelang kematiannya disebutkan bahwa Rasulullah bersiwak dengan ranting pohon kurma.

مَرَّ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ وَفِي يَدِهِ جَرِيدَةٌ رَطْبَةٌ ، فَنَظَرَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَظَنَنْتُ أَنَّ لَهُ بِهَا حَاجَةً ، فَأَخَذْتُهَا ، فَمَضَغْتُ رَأْسَهَا ، وَنَفَضْتُهَا ، فَدَفَعْتُهَا إِلَيْهِ ، فَاسْتَنَّ بِهَا كَأَحْسَنِ مَا كَانَ مُسْتَنًّا ، ثُمَّ نَاوَلَنِيهَا ، فَسَقَطَتْ يَدُهُ ، أَوْ : سَقَطَتْ مِنْ يَدِهِ ، فَجَمَعَ اللَّهُ بَيْنَ رِيقِي وَرِيقِهِ فِي آخِرِ يَوْمٍ مِنَ الدُّنْيَا، وَأَوَّلِ يَوْمٍ مِنَ الآخِرَةِ

Abdurrahman bin Abu Bakr radhiyallahua ‘anhuma masuk sambil membawa siwak yang terbuat dari ranting kurma yang masih basah dan sedang menggunakannya.  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  melihat apa yang dilakukannya saya menyangka beliau membutuhkan siwak tersebut. 

Maka aku mengambilnya, mengunyah ujungnya dan mengibas-ngibaskannya, kemudian aku pun menyerahkannya kepada beliau. Kemudian beliau menggosok gigi menggunakan ranting tersebut, dengan sebaik-baik cara bersiwak yang pernah beliau lakukan. 

Setelah itu beliau memberikannya kepadaku, namun tangannya terjatuh atau ranting kayu siwak dari pohon kurma tersebut jatuh dari tangannya.

Maka, Allah mengumpulkan antara air liurku dengan air liur beliau pada hari-hari terakhir beliau di dunia dan pada hari-hari pertama di akhirat kelak.” (HR. Al-Bukhari no. 4451)

  1. Saat memerintahkan para sahabatnya bersiwak, nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tidak membatasi hanya dengan menggunakan ranting kayu tertentu. Bahkan, bangsa Arab dahulu kala menggosok gigi dengan berbagai macam ranting.
  2. Para ahli fikih tidak pernah membatasi bersiwak dengan ranting kayu tertentu dalam membahas fikih tentang siwak di kitab-kitab mereka. Sebagai contoh Syekh ‘Utsaimin menyebutkan di dalam Syarh Riyadhus Shalihiin,

ويحصل الفضل بعود الأراك، أو بغيره من كل عود يشابهه

“Keutamaan bersiwak bisa didapatkan dengan menggunakan ranting kayu Al-Arok (kaya siwak) atau dengan selainnya dari setiap ranting yang semisalnya.”

  1. Sejatinya bersiwak adalah ibadah yang terkait dengan alasan dan tujuan, yaitu bersihnya mulut. Sehingga, bisa terlaksana dengan setiap alat yang mubah/ diperbolehkan dan cocok untuk mencapai tujuan tersebut. Syekh ‘Utsaimin pernah ditanya terkait hal ini, lalu beliau menjawab,

“Ya benar, menggunakan sikat dan pasta gigi bisa mewakili kayu siwak, bahkan lebih mampu membersihkan dan mengeluarkan kotoran gigi, maka jika seseorang gosok gigi dengan sikat gigi (itu berarti) sudah terlaksana sunah (bersiwak) dengannya, karena yang dijadikan patokan bukanlah  alat untuk bersiwaknya. Namun, yang dijadikan patokan adalah perbuatan dan hasilnya. Sedangkan sikat dan pasta gigi bisa menghasilkan hasil yang lebih maksimal dibandingkan dengan kayu siwak saja (di dalam kebersihan dan keharuman gigi).”

Dari penjabaran di atas bisa kita ketahui bahwa penggunaan sikat gigi dan odol tentu saja bisa menggantikan kedudukan bersiwak menggunakan ranting pohon, serta akan diganjar dengan pahala jika kita niatkan sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dan menghidupkan sunah Nabi-Nya.

Yang Harus Diperhatikan di dalam Perkara Bersiwak (Membersihkan Gigi)

Pertama, Bersiwak dengan kayu siwak memiliki keistimewaan tersendiri, yaitu mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Karena bersiwak dengannya adalah yang paling banyak digunakan dahulu kala oleh nabi dan sahabatnya, ditambah lagi mudah dibawa dan dipindah-pindah di segala tempat dan kondisi. Dan hal itu telah menjadi kebiasaan tanpa ada yang mengingkarinya serta tidaklah hal itu terhitung ‘nyeleneh’.

Lain halnya dengan sikat gigi yang sulit jika digunakan pada setiap saat, karena sikat gigi tersebut membutuhkan tempat tersendiri.

Kedua, Saat menggunakan sikat gigi konvensional, apakah kita juga dianjurkan untuk menggosok gigi di setiap keadaan yang disunahkan untuk bersiwak dengan menggunakan kayu siwak?

Syekh ‘Utsaimin menjelaskan, “Apakah bisa kita katakan bahwa penggunaan sikat dan pasta gigi itu sebaiknya ketika setiap kali disunahkan penggunaan kayu siwak atau justru hal ini tergolong melampaui batas dan berlebih-lebihan (karena) barangkali berdampak  pada mulut, baik berupa bau, luka, atau semisalnya? Maka hal ini perlu pembahasan (lebih lanjut).”

Dan bisa jadi menggunakan gosok gigi dan odol di setiap keadaan akan menjatuhkan diri kita ke dalam perbuatan Israf (pemborosan), yang mana hal tersebut dilarang oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda,

وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ

“Allah murka jika kalian sibuk dengan desas-desus, banyak mengemukakan pertanyaan yang tidak berguna, serta membuang-buang harta.” (HR. Muslim).

Wallahu A’lam Bishowaab.

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/72367-apakah-sikat-gigi-bisa-menggantikan-siwak.html

Nabi Muhammad Didampingi Malaikat Ini saat Isra Miraj, Siapa Dia?

Isra Miraj merupakan salah satu peristiwa penting bagi umat muslim yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Tidak sendirian, saat peristiwa Isra Miraj Nabi, Muhammad SAW didampingi oleh malaikat yang menemaninya dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha. Siapakah dia?

Menurut catatan hadits-hadits Rasulullah SAW, diketahui malaikat yang mendampingi beliau saat Isra Miraj adalah malaikat Jibril. Berikut keterangan yang diungkap dalam Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum karya Furqon Syarief Hidayatullah.

“Menurut sunnah nabi, perjalanan malam itu (Isra Miraj) berlangsung sangat cepat, ditemani Malaikat Jibril dengan kendaraan buraq (barqun) artinya kilat,” tulis keterangan buku terbitan IPB Press tersebut.


Perjalanan Isra Miraj tersebut sebetulnya menjelaskan dua kategori perjalanan yang dilakukan Rasulullah SAW. Kata Isra menjelaskan perjalanan yang menembus ruang sehingga Rasulullah bisa menempuh jarak Masjidil Haram di Makkah dan Masjidil Aqsa di Palestina dalam waktu singkat.

Di sisi lain, perjalanan Miraj adalah perjalanan dari Masjidil Aqsa menuju Sidratul Muntaha, tempat diterimanya perintah salat. Perjalanan inilah saat Rasulullah SAW didampingi oleh Malaikat Jibril untuk menghadap Allah SWT.

Bersama Malaikat Jibril, Rasulullah SAW melakukan perjalanan ke langit dengan menunggangi buraq. Buraq tersebut berdasarkan keterangan hadits adalah sejenis hewan berwarna putih yang memiliki sayap di kedua pahanya. Ukuran tubuhnya lebih besar daripada keledai dan lebih kecil dari bighal atau kuda.

Perjalanan Rasulullah SAW menghadap Allah SWT tersebut harus melalui langit yang terdiri dari tujuh lapis. Di tiap lapisan langit inilah, Malaikat Jibril memperkenalkan Rasulullah SAW pada para nabi yang ada di sana.

Di langit pertama, beliau bertemu dengan Nabi Adam AS. Kemudian, di langit kedua bertemu dengan Nabi Isa AS dan pada langit keenam dikenalkan dengan Nabi Musa AS. Hingga terakhir di langit ketujuh, Rasulullah SAW dan Malaikat Jibril bertemu dengan Nabi Ibrahim AS.

Setelah menghadap Allah SWT dan menerima perintah salat 50 waktu, Rasulullah SAW kemudian turun kembali dan sampai ke langit keenam bertemu dengan Nabi Musa AS. Pada momen inilah Nabi Musa menyarankan keringanan jumlah salat kepada beliau.

Hingga sampai saat ini, pensyariatan salat yang berlaku bagi umat muslim adalah salat 5 waktu dalam sehari. Kisah Isra Miraj https://www.detik.com/tag/isra-miraj ini termaktub dalam hadits yang berbunyi sebagai berikut,

هِيَ خَمْسٌ، وَهِيَ خَمْسُونَ، لاَ يُبَدَّلُ القَوْلُ لَدَيَّ”. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى، فَقَالَ: رَاجِعْ رَبَّكَ. فَقُلْتُ: اسْتَحْيَيْتُ مِنْ رَبِّي

Artinya: “Lima waktu itu setara dengan lima puluh waktu. Tak akan lagi berubah keputusanKu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku kembali bertemu dengan Musa. Ia menyarankan, ‘Kembalilah menemui Rabbmu’. Kujawab, ‘Aku malu pada Rabbku’.” (HR Bukhari).

Malaikat Jibril sebagai penghubung dalam membuka pintu langit

Kisah perjalanan Isra Miraj Nabi Muhammad SAW yang didampingi oleh Malaikat Jibril terbukti dalam hadits yang dikisahkan oleh Hamad ibn Salamah dari Tsabit. Anas RA kemudian menarasikan hadits berikut yang dinukil dari buku Isra Miraj karya Ibnu Hajar Al Asqalani dan Jalaluddin As Suyuti.

“Dibawakan kepadaku Buraq , sejenis hewan berwarna putih, tubuhnya lebih besar daripada keledai dan lebih kecil daripada bagal, yang langkah kakinya sejauh matanya memandang. Aku pun mengendarainya sampai tiba di Baitul Maqdis. Buraq ini kutambatkan dengan tali yang digunakan oleh para nabi (untuk menambatkan hewan tunggakan mereka).

Kemudian, aku masuk Masjidil Aqsa dan kudirikan sholat dua rakaat di sana. Setelah aku keluar, Malaikat Jibril A.S membawakan ke hadapanku segelas arak dan segelas susu. Aku lantas memilih susu, Jibril pun berkata, ‘Engaku telah memilih fitrah.’

Selanjutnya, kami dinaikkan ke langit terdekat (pertama). Jibril lalu meminta agar pintunya dibukakan. Dia pun ditanya oleh penjaga pintunya, ‘Siapa kamu?’

Jibril menjawab, ‘Aku Jibril.’
Jibril ditanya lagi, ‘Siapa yang bersamamu?’
Dia menjawab, “Muhammad.’
Penjaga pintu langit itu kembali bertanya, ‘Apakah dia diutus (untuk naik menghadap Allah)?’
Jibril menjawab ‘Dia memang diutus (untuk naik menghadap Allah).’

Maka, pintunya dibukakan untuk kami dan aku bertemu dengan Nabi Adam AS. Dia pun menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku.”

Hal serupa juga terjadi di tiap-tiap lapisan langit setelahnya. Dalam artian, Malaikat Jibril bertugas untuk membantu Nabi Muhammad SAW dalam membukakan pintu tiap lapisan langit saat perjalanan Isra Miraj https://www.detik.com/tag/isra-miraj menghadap Allah SWT.

Wallahu ‘alam.

Baca artikel detikedu, “Nabi Muhammad Didampingi Malaikat Ini saat Isra Miraj, Siapa Dia?” selengkapnya https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5945152/nabi-muhammad-didampingi-malaikat-ini-saat-isra-miraj-siapa-dia.

Bagaimana Status Pernikahan Istri yang Mualaf?

Status istri yang mualaf dijelaskan oleh ulama.

Seorang wanita yang sudah menikah memutuskan untuk memeluk Islam. Kendati demikian suaminya tetap sebagai non Muslim. Lalu bagaimana status pernikahannya?

Wakil ketua umum Persatuan Islam (Persis) KH. Jeje Zainuddin menjelaskan bahwa status pernikahan seorang istri yang mualaf dengan suaminya yang tetap sebagai non muslim secara syariat terputus. Hal ini berlandaskan Alquran. Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. ( surat Al Mumtahanah ayat ke 10).

“Jika seorang wanita telah menjadi muslimah, sedang suaminya tetap pada agama sebelumnya maka mereka secara hukum syariat telah terputus ikatan perkawinannya dan menjadi haram berhubungan suami istri hingga suaminya ikut menjadi muslim,” kata ustaz Jeje kepada Republika pada Ahad (13/2).

Lebih lanjut ia mengatakan jika kemudian suaminya memeluk Islam dan mantan istrinya belum menikah dengan yang lain maka keduanya dapat dipersatukan kembali.

Dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa Imam Malik, Abu Hanifah dan Syafi’i berkata bila istri masuk Islam sebelum suaminya maka jika  suami masuk Islam pada masa ‘iddahnya sang istri maka ia berhak atas istrinya. Bila suami masuk Islam sedangkan istrinya seorang ahli kitab maka pernikahannya tetap.

Pendapat ulama yang demikian berdasarkan pada sebuah hadits yang meriwayatkan bahwa istri Sofwan bin Umayah yakni Atikah binti Al Walid bin Al Mughirah telah masuk Islam sebelum Sofwan, baru kemudian Sofwan menyusul masuk Islam. Maka Rasulullah menetapkan pernikahan keduanya, tidak memutuskannya. Para ulama berkata bahwa jarak antara masuk Islamnya sang istri dan masuk Islamnya Sofwan sekitar satu bulanan.

Ibnu Syihab mengatakan bahwa tidak ada riwayat yang datang kepada kami bahwa seorang istri yang hijrah kepada Rasulullah sementara suaminya tetap kafir dan tinggal di negeri kufur kecuali hijrahnya itu telah memisahkan sang suami dan istrinya, kecuali bila sang suami kemudian datang menyusul hijrah sebelum habis masa ‘iddah istrinya

Adapun apabila suami masuk Islam sebelum islamnya sang istri maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Imam Malik berkata, bila suami masuk Islam sebelum istrinya maka terputus pernikahannya apabila sang suami telah menawarkan masuk Islam pada sang istri namun ia menolaknya. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat, sama saja apakah suami masuk Islam sebelum istri atau istri masuk Islam sebelum suami, bila pihak yang terakhir masuk Islam dalam masa ‘iddah maka pernikahannya tetap (tidak putus).

Sementara di dalam kitab Al-Muhadzdzab Imam As-Syairazi menuliskan Apabila salah satu pasangan suami istri penyembah berhala atau majusi masuk Islam atau seorang istri masuk Islam sedangkan suaminya seorang yahudi atau nasrani, maka apabila masuk Islamnya itu sebelum terjadinya persetubuhan maka saat itu putuslah pernikahannya. Namun bila masuk Islamnya setelah terjadi persetubuhan maka putusnya hubungan pernikahannya digantungkan pada masa selesainya idah. Bila pasangan yang lain (yang belum masuk Islam) masuk Islam sebelum selesainya masa ‘iddah maka keduanya tetap dalam pernikahan. Namun bila sampai dengan selesainya masa ‘iddah tidak juga masuk Islam maka (pernikahannya) diputuskan.

KHAZANAH REPUB:IKA

Imam Masjid Al Aqsa: Agresi Israel di Sheikh Jarrah Ilegal dan tak Manusiawi

Imam Masjid Al Aqsa dan Ketua Komisi Tinggi Islam di Yerusalem menyebut agresi Israel di Sheikh Jarrah, Senin (14/2/2022) merupakan kejahatan perang terhadap warga Yerusalem.

Sheikh memastikan warga Palestina di Yerusalem akan terus mempertahankan tempat-tempat suci, properti dan hak-haknya terhadap segala bentuk agresi Israel.  “Kita tidak boleh menyerah pada keserakahan pendudukan Israel dan agresinya, dan keputusannya tidak boleh dianggap sah.

” Sheikh Sabri menempatkan tanggung jawab penuh atas segala yang terjadi di Sheikh Jarrah pada otoritas pendudukan Israel.  “Pemerintah Israel mendukung pemukim ekstremis dan serangan serta terorisme mereka terhadap penduduk Palestina yang tidak bersenjata dan damai,” katanya. 

Sheikh pun memuji ketangguhan penduduk Sheikh Jarrah yang menolak untuk menyerah pada kebijakan Israel dan terorisme pemukim. 

Sebelumnya, Israel  pmenggerebek tiga rumah di dekat rumah Fatemeh Salem, yang coba diambil alih secara ilegal oleh para pemukim, dan menyita kamera CCTV.

Sementara Wakil Kepala Kota Yerusalem yang dikuasai Israel, Aryeh King, juga melakukan kunjungan provokatif ke Sheikh Jarrah bersama dengan anggota parlemen ekstremis Itamar Ben-Gvir. 

IHRAM

Khutbah Jumat: Empat Dosa Besar yang Sering Diremehkan

Khutbah Pertama

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ.

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى مَحَمَّدِ نِالْمُجْتَبٰى، وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ التُّقٰى وَالْوَفٰى. أَمَّا بَعْدُ.

فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ! أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى. فَقَالَ اللهُ تَعَالٰى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Ma’asyiral muslimin, jamaah masjid yang dimuliakan oleh Allah.

Mengawali khutbah kali ini, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan para jamaah sekalian agar senantiasa meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa larangan Allah Ta’ala itu ada beberapa macam, di antaranya adalah perbuatan dosa.

Dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah menunjukkan bahwa dosa yang kita lakukan terbagi menjadi dua, dosa besar (al-kaba’ir) dan dosa kecil (ash-shagha’ir). Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا

“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa besar yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga)” (QS. An-Nisa: 31).

Allah Ta’ala juga berfirman,

الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلَّا اللَّمَمَ إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ

“(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu maha luas ampunan-Nya” (QS. An-Najm: 32).

Begitupun dalil-dalil di dalam As-Sunnah pun menunjukkan adanya pembagian dosa besar dan dosa kecil. Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

الصَّلاةُ الخمسُ والجمعةُ إلى الجمعةِ كفَّارةٌ لما بينَهنَّ ما لم تُغشَ الْكبائرُ

“Salat lima waktu dan salat Jumat ke salat Jumat selanjutnya, menghapuskan dosa-dosa di antara keduanya, selama tidak melakukan dosa besar” (HR. Muslim no. 233).

Di antara kaidah untuk membedakan dosa besar dan dosa kecil adalah:

Pertama, dosa besar adalah yang disebutkan sebagai dosa besar oleh Allah dan Rasul-Nya. Al-Qurtubi rahimahullah mengatakan,

كُلّ ذَنْب أُطْلِقَ عَلَيْهِ بِنَصِّ كِتَاب أَوْ سُنَّة أَوْ إِجْمَاع أَنَّهُ كَبِيرَة أَوْ عَظِيم

“Dosa besar adalah dosa yang dimutlakkan oleh nash Al-Qur`an dan As-Sunnah atau ijma’ sebagai dosa besar” (Fathul Baari, 15: 709).

Kedua, dosa besar adalah setiap dosa yang diancam dengan neraka, atau mendapatkan murka, laknat, atau adzab, Sebagaimana perkataan Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhuma ketika menafsirkan surat An-Nisa’ ayat 31, beliau berkata,

الكبيرة كل ذنب ختمه الله بنار، أو غضب، أو لعنة، أو عذاب

“Dosa besar adalah yang Allah tutup dengan ancaman neraka, atau kemurkaan, atau laknat atau adzab” (Tafsir Ibnu Katsir, 2: 282).

Ketiga, dosa besar adalah yang terdapat hukuman khusus, tidak sekedar dilarang atau diharamkan. Semisal disebutkan dalam dalil “barangsiapa yang melakukan ini, maka ia bukan mukmin”, atau “bukan bagian dari kami”.

Syekh Muhammad bin Ibrahim memberikan penjelasan yang ringkas mengenai dosa besar, yaitu:

ما توعد عليه بغضب، أو لعنة، أو رتب عليه عقاب في الدنيا، أو عذاب في الآخرة

“Dosa besar adalah dosa yang diancam dengan kemurkaan Allah, atau laknat, atau digandengkan dengan suatu hukuman di dunia, atau dengan suatu adzab di akhirat” (Fatawa war Rasail, 2: 54).

Ma’asyiral muslimin, jamaah masjid yang dimuliakan Allah.

Setelah mengetahui ancaman serta akibat yang akan kita peroleh jika melakukan dosa besar, tentu saja muslim yang berakal dan beriman akan berusaha menjauhkan dirinya dari terjatuh ke dalamnya. Sayangnya ada beberapa amalan yang sering kali masih dilakukan oleh seorang mukmin dan ternyata tanpa ia ketahui, hal tersebut merupakan salah satu dosa besar yang tidak akan Allah Ta’ala ampuni kecuali dengan bertaubat kepada-Nya. Di antaranya adalah:

Pertama, menyekutukan Allah Ta’ala di dalam beribadah. Baik itu dengan meyakini bahwa ada yang bisa memberikan manfaat ataupun menghindarkan diri kita dari keburukan selain Allah, atau dengan keyakinan yang semisalnya. Padahal Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (QS. An-Nisa’: 48).

Kedua, bermuamalah dengan riba. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkan riba (peminjam), pencatat riba (sekretaris), dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama (dalam melakukan yang haram)” (HR. Muslim no. 1598).

Ada kaedah umum dalam memahami riba yang disebutkan oleh para ulama.

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً, فَهُوَ رِبًا

“Setiap utang piutang yang ditarik manfaat di dalamnya, maka itu adalah riba.”

Ketiga, durhaka kepada orang tua. An-Nawawi rahimahullah dalam Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim berkata, “Uququl walidain atau durhaka kepada orang tua adalah segala bentuk menyakiti orang tua.” Para ulama juga mengatakan bahwa taat kepada orang tua itu wajib dalam segala hal selama bukan dalam maksiat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan bersabda,

مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ لِصَاحِبِهِ الْعُقُوْبَةَ مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ مِنَ الْبَغِى وَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ

“Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan balasannya bagi para pelakunya (di dunia ini) –berikut dosa yang disimpan untuknya (di akhirat)– daripada perbuatan melampaui batas (kezaliman) dan memutus silaturahmi (dengan orang tua dan kerabat)” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).

Keempat, meninggalkan salat. Dari Buraidah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

العَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

“Perjanjian yang mengikat antara kita dan mereka adalah salat, maka siapa saja yang meninggalkan salat, sungguh ia telah kafir” (HR. Tirmidzi dan An-Nasa’i).

Seorang tabi’in bernama ‘Abdullah bin Syaqiq Rahimahullah berkata,

كَانَ أصْحَابُ محَمَّدٍ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لاَ يَرَوْنَ شَيْئاً مِنَ الأعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ

“Para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memandang kufur karena meninggalkan amal, kecuali salat.” (HR. Tirmidzi).

Semoga Allah Ta’ala melindungi diri kita dari terjerumus ke dalam perbuatan dosa besar, baik yang kita sadari maupun tidak kita sadari, serta menjadikan diri kita salah satu hamba-Nya yang selalu takut akan pedihnya azab Allah Ta’ala.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khutbah Kedua

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّاإِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ.

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْم، فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ. اَللّٰهُمَّ اِدْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ،

رَبّنَا لَا تُؤَاخِذْ نَا إِن نَّسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا، رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا، رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ، وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَا نَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدٰى، والتُّقَى، والعَفَافَ، والغِنَى.

اَللّٰهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا، وَأَجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْآخِرَةِ. رَبَّنَا ءَاتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ.

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ، وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوااللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.

Sumber: https://muslim.or.id/72350-khutbah-jumat-empat-dosa-besar-yang-sering-diremehkan.html

Ragu Akan Kesucian Air, Masih Bisakah Digunakan Untuk Bersuci?

Bersuci merupakan salah satu pekerjaan vital yang harus dilakukan oleh setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan. Alat utama dalam melakukan bersuci adalah air. Dalam prakteknya, tidak semua air bisa digunakan untuk bersuci, yakni hanya tertuju pada air yang memiliki status suci mensucikan. Namun, bagaimana dengan air yang diragukan kesuciannya? Masih bisakah digunakan untuk bersuci?

Dalam literatur fikih syafi’i terdapat beberapa penjelasan mengenai seseorang yang ragu akan kesucian air. Menurut Imam Mawardi apabila seseorang ragu akan ukuran air apakah sampai dua kulah (270 liter) atau tidak hendaknya mengambil dugaan bahwa air tersebut kurang dari dua kulah. Sehingga apabila air tersebut kejatuhan benda najis maka dihukumi najis.  Hal ini, sebagaimana dalam kitab al-Hawi fi fikhi al-Syafi’i, juz 1, halaman 343,

فَلَوْ وَقَعَتْ نَجَاسَةٌ فِي مَاءٍ شُكَّ فِي قَدْرِهِ هَلْ هُوَ قُلَّتَانِ أَوْ أَقَلُّ : فَهُوَ عَلَى الْقِلَّةِ مَا لَمْ يَعْلَمْ كَثْرَتَهُ وَيَكُونُ نَجِسًا

Artinya : “seandainya benda najis terjatuh pada air yang diragukan apakah sampai dua kulah atau tidak maka air tersebut statusnya sedikit dan menjadi air yang najis”

Berdasarkan penjelasan diatas apabila seseorang ragu mengenai sampainya air pada dua qulah, maka dia harus meyakini air tersebut kurang dari dua kulah. Namun, apabila seseorang yakin akan kesucian air lalu muncul keraguan apakah ada najis yang masuk, maka dia tetap pada keyakinannya yaitu dihukumi suci menyucikan. 

Sebaliknya, apabila seseorang meyakini bahwa air itu telah dijatuhi najis, lalu muncul keraguan apakah air tersebut sudah disucikan atau tidak, maka tetap dihukumi najis. Kalau tidak meyakini apa-apa, maka air tersebut dihukumi suci berdasarkan hukum asal air adalah suci. Sebagaimana dalam kitab al- Majmu Syarhul-Muhaddab, juz 1, halaman 167,

إذا تيقن طهارة الماء وشك في نجاسته توضأ به لان الاصل بقاؤه على الطهارة وان تيقن نجاسته وشك في طهارته لم يتوضأ به لان الاصل بقاؤه علي النجاسة وان لم يتيقن طهارته ولا نجاسته توضأ به لان الاصل طهارته

Artinya :”Apabila seseorang yakin akan kesucian air kemudian ragu dalam kenajisannya maka dia boleh berwudhu dengan air itu. Karena pada asalnya air tetap pada kesuciannya. Namun, apabila dia meyakini akan najisnya air lalu muncul keraguan apakah sudah disucikan atau tidak, maka dia tidak boleh berwudhu dengan air itu. Kalau dia tidak meyakini najis ataupun suci maka dia boleh berwudhu dengan air itu karena pada asalnya air dihukumi suci.”

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa apabila seseorang ragu akan ukuran air apakah sampai dua qulah atau tidak, maka dia harus mengambil dugaan bahwa air tersebut kurang dari dua qulah, sehingga apabila air tersebut kejatuhan benda najis maka dihukumi najis.

Namun, apabila seseorang yakin akan kesucian air lalu muncul dugaan kebalikannya maka dia harus berpegangan pada keyakinannya, yakni sucinya air. Kalau dia tidak meyakini apa-apa, maka air tersebut dihukumi suci berdasarkan hukum asal air adalah suci.

Demikian penjelasan mengenai hukum air yang diragukan kesuciaannya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Flexing Ramai Dipergunjingkan Nitizen, Begini Penjelasannya Menurut Islam

Flexing, istilah yang sedang marak netizen perbincangkan, pasalnya media sosial membuat fenomena ini menjadi lebih populer. Lantas, sebenarnya apa itu flexing? Bagaimana melihat flexing menurut Islam?

Flexing seperti yang dikatakan Prof Rhenald Kasali adalah istilah yang diperuntukan kepada orang yang suka mengekspos kekayaannya di media sosial. Flexing identik disandingkan dengan crazy rich, orang super kaya, meskipun banyak pula para crazy rich yang tidak memamerkan hartanya.  

Memamerkan harta kekayaan dulunya dianggap tabu, tidak diperbolehkan, bahkan tidak layak dipertontonkan, namun berbeda dengan sekarang, nampaknya banyak orang yang mengaku crazy rich justru kerap kali memamerkan harta yang dimilikinya ke khalayak umum agar mendapat pengakuan. 

Orang yang benar-benar kaya tidak karena mendadak dan pura-pura kaya, tentu saja jarang sekali memamerkan hartanya, bahkan tidak pernah terlintas di benak mereka untuk pamer, Misalkan saya Michael Hartono pemilik Grup Djarum dan saham mayoritas Bank Central Asia (BCA), kita tidak pernah melihatnya flexing harta dan kekayaannya. 

Menurut Prof Rhenald Kasali, bahwa flexing sudah terjadi dalam lama, hanya baru marak sekarang, dimana pada waktu dulu, flexing tidak untuk memamerkan kekayaannya tetapi kedermawanannya. Yaitu dengan memamerkan bahwa dia orang yang dermawan, tetapi sumbangannya di tonjol-tonjolkan. (simak kanal YouTube Deddy Corbuzer dengan judul SOK KAYA TAPI NIPU TRADINGBOHONG SEMUA

Penjelasan terkait Flexing menurut Islam, lebih jauh simak penjelasan ulama fikih dan tafsir terkait persoalan yang tengah hangat ini. Berikut adalah penjelasannya.

Dalil Mengenai Flexing

Flexing sama halnya memamerkan sumbangan, harta, kekayaan kepada orang lain. Agaknya ayat berikut berkaitan dengan perilaku flexing;

إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ 

Artinya: Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. QS Al-Baqarah [2] ayat 271.

Wahbah Zuhaili dalam kitab Tafsir al-Munir jilid 2, halaman 96-98, berpendapat bahwa Allah Maha tahu apakah infak, sedekah itu dilakukan dengan ketaatan atau kemaksiatan. Sehingga memberikan dua pilihan baik ditampakkan atau dirahasiakan. Hal ini sesuai dengan hadits orang yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi hingga tangan kirinya tidak tau apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya. 

Menampakan sedekah agar orang lain meneladani itu baik. Namun menyembunyikan tanpa memberitahu siapapun itu lebih baik untuk menghindari munculnya riya’ dan sum’ah atau gemar menunjukan amal yang dilakukan agar mendapat sanjungan atua pujian. 

Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar jilid 1 halaman 660-001, juga berpendapat bahwa ayat ini menjelaskan kalau memberikan sedekah, bantuan, sokongan, harta benda, dengan cara terang-terangan adalah perbuatan yang bagus. Tetapi pada taraf lebih tinggi, kalau bisa memberi sedekah kepada fakir, miskin, itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi. 

Profesor Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah jilid 1 halaman 583-584, mengemukakan bahwa kita jangan menduga bahwa yang diterima oleh Allah yang dirahasiakan. Sebab keikhlasan itu sangat rahasia bagi manusia, dan hanya Allah yang tau kadarnya. 

Menyumbang secara terang-terangan pun bisa melebihi keikhlasan menyumbang secara sembunyi-sembunyi. Sedang sedekah secara sembunyi-sembunyi ditakutkan karena lahirnya riya’ dan pamrih, serta lebih menjaga air muka kaum fakir yang menerimanya. 

Dengan bersedekah dari harta yang halal dan sesuai dengan anjuran-anjuran agama, akan dihapuskan dosanya oleh Allah. Yaitu dosa-dosa kecil bukan dosa-dosa besar apalagi dosa yang ada kaitannya dengan manusia. Ini perlu digaris bawahi agar tidak bersedekah dengan harta yang haram dan sebagian dengan yang halal agar dapat menghapus dosa. 

Menampakkan dan menyembunyikan sedekah juga dijelaskan dalam hadis H.R Abu Daud 1333, Nasai 2561, Musnad Ahmad 17368, 17444

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ الْجُهَنِيِّ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” الْجَاهِرُ بِالْقُرْآنِ كَالْجَاهِرِ بِالصَّدَقَةِ، وَالْمُسِرُّ بِالْقُرْآنِ كَالْمُسِرِّ بِالصَّدَقَةِ 

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir Al Juhani dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang yang mengeraskan bacaan Al Qur’an bagaikan orang yang menampakkan sedekah, dan orang yang memelankan bacaan Al Qur’an ibarat orang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi.” 

Dalam Sunan Tirmidzi menjelaskan maksud hadis ini lebih jauh:

لِأَنَّ صَدَقَةَ السِّرِّ أَفْضَلُ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ صَدَقَةِ الْعَلَانِيَةِ، وَإِنَّمَا مَعْنَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ لِكَيْ يَأْمَنَ الرَّجُلُ مِنَ الْعُجْبِ ؛ لِأَنَّ الَّذِي يُسِرُّ الْعَمَلَ لَا يُخَافُ عَلَيْهِ الْعُجْبُ مَا يُخَافُ عَلَيْهِ مِنْ عَلَانِيَتِهِ.

Artinya: “Hadist ini asan tapi gharib. Arti dari hadits ini adalah bahwa orang yang secara sir(sembunyi-sembunyi) membaca Al-Qur’an lebih baik daripada orang yang mengeraskan bacaan al-Qur’an. Karena bersedekah secara sembunyi-sembunyi lebih baik bagi orang yang berilmu daripada bersedekah secara terang-terangan, tetapi yang dimaksud adalah bagi orang yang berilmu agar terhindar dari sifat ujub(sombong). 

Karena yang yang menyembunyikan amal dari perbuatan baiknya tidak takut akan sifat ujub sebagaimana yang ditakutkan dari orang-orang yang menampakan amalnya. “(H.R Tirmidzi, Nomor 2919)

Bahayanya Flexing menurut Imam Nawawi Al-Bantani

Terkait penjelasan flexing menurut Islam, Imam Nawawi menuliskan dalam kitabnya Naaiul ‘Ibād. Sebagaimana diriwayatkan dari Abdurrahman bin Shakhr dan Abu Hurairah ra. Mereka berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:

ثَلَاثٌ مُنْجِيَاتٌ وَ ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ وَ ثَلَاثٌ دَرَجَاتٌ وَ ثَلَاثٌ كَفَارَةٌ أَمَّا المنْجِيَاتُ فَخَشْيَةُ اللهِ تَعَالى فِي السِّر ِوَالعَلَانِيَةِ وَالقَصْدُ فِي الفَقْرِ وَالغِنَى وَالعَدْلُ فِي الرِّضَا وَالغَضَبِ وأَمَّ المهلِكَاتُ فَشُحٌّ شَدِيْدٌ وَهَوَى مُتَبَّعٌ وَإِعْجَابُ المرْءِ بِنَفْسِهِ وَأَمَّا الدَّرَجَاتُ فَإِفْشَاءُ السَّلَامِ وَإِطْعَامُ الطَّعَامِ وَالصَّلَاةُ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ وَأَمَّا كَفَارَةُ فَإِسْبَاغُ الوُضُوءِ فِي السَّبَرَاتِ وَنَقْلُ الأَقْدَامِ إِلىَ الجَمَاعَةِ وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ

Artinya: Tiga perkara yang dapat menyebabkan selamat, tiga perkara yang dapat menyebabkan kerusakan, tiga perkara yang dapat mengangkat derajat, dan tiga perkara yang dapat menebus dosa. Adapun tiga perkara yang menentukan keselamatan adalah: takut kepada Allah (taqwa), baik dalam keadaan sepi maupun ramai, penuh kesederhanaan, baik ketika dalam keadaan fakir maupun berkecukupan, dan bersikap adil baik pada waktu senang maupun saat marah.

Dan tiga perkara yang dapat menyebabkan rusak adalah: bakhil(pelit) yang berlebihan, mengikuti hawa nafsu, membanggakan diri sendiri. Adapun tiga perkara yang dapat mengangkat derajat adalah:

menguluk salam, memberi makanan, mengerjakan sholat malam saat orang lain terlelap. Dan tiga perkara sebagai penebus dosa adalah menyempurnakan wudhu ketika cuaca sangat dingin berangkat mengerjakan sholat berjamaah. (Terjemah Nashaihul ‘Ibad hlm 51)

Berkaitan dengan flexing yang mencoba memamerkan harta dan membanggakan diri, berhati-hatilah karena itu dapat menyebabkan kerusakan. Pamer harta dapat menjadi incaran orang jahat, dan menumbuhkan riya’, sombong, maupun sum’ah. 

Demikian sajian singkat mengenai flexing menurut Islam. Meskipun singkat semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. (

BINCANG SYARIAH

Khalid Basalamah yang Kurang Muthala’ah

Surplus tukang pidato devisit ahli fikih. Kalimat ini menggambarkan kondisi keberagamaan muslim di Indonesia akhir-akhir ini. Suatu fenomena dimana dunia dakwah dijejali oleh orang-orang yang hanya pandai beretorika di podium dakwah, mimbar khutbah dan arena pengajian, namun minim penguasaan ilmu agama.

Fenomena ini terus berlangsung di negeri ini yang mayoritasnya muslim. Teranyar adalah pernyataan Khalid Basalamah yang mengatakan wayang bertentangan dengan ajaran Islam. Sekalipun tidak menyebut “wayang haram”, namun dari pernyataannya di video yang beredar jelas mengarah pada pengharaman wayang. Bahkan, seorang dalang yang ingin bertaubat menurutnya harus memusnahkan koleksi wayangnya karena tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Jelas sekali, disamping menunjukkan ketidakpiawaiannya dalam ilmu fikih, ia terjebak pada apa yang disebut oleh  Syaikh Muhammad Fadil bin Asyur sebagai jebakan “Menangkap kulit melupakan isi”. Dalam bahasa yang sederhana, Basalamah adalah tipikal dai yang hanya piawai dalam olah kata dan retorika, namun kering ilmu agama. Fenomena ini sebenarnya telah diwasiatkan oleh Nabi.

Pesan Nabi, “Sungguh, saat ini kalian hidup di masa yang banyak fuqaha (ahli fikih), sedikit khuthaba (tukang pidato/penceramah/orator), banyak yang dermawan sedikit peminta-minta, pada masa ini amal lebih baik dari ilmu. Setelah kalian nanti, akan ada satu masa yang sangat langka ahli fikih, sementara tukang pidato/mubaligh/dai sangat banyak, sedikit yang dermawan banyak peminta-minta, pada saat itu ilmu lebih baik dari amal”. (HR. Thabrani).

“Ilmu lebih baik dari amal” dalam kalimat terakhir hadis ini sebagai alarm peringatan sangat minimnya ahli fikih. Sebagaimana dimaklumi, ibadah atau amal yang tidak dilandasi ilmu/fikih adalah sia-sia. Juga peringatan kepada para dai/mubaligh untuk mempersiapkan diri dengan ilmu agama secara maksimal supaya apa yang didakwahkan benar-benar ajaran Islam yang semestinya. Bukan dakwah asbun yang justru akan menyesatkan.

Imam Syihabuddin al Qarafi, salah satu pembesar ulama madhab Maliki dalam karyanya al Furuq mengatakan, “Jika tradisi telah terbarui, ambillah. Jika tidak, biarkanlah. Kamu tidak boleh bersikap kaku pada sumber-sumber tertulis dalam buku-bukumu sepanjang hidupmu. Jika ada seseorang datang kepadamu meminta fatwa, kamu jangan memberi fatwa berdasarkan tradisi negerimu. Bertanyalah kepadanya tentang tradisinya, dan berikan fatwa sesuai tradisinya, bukan tradisimu dan bukan pula menurut yang ada di buku-bukumu. Ini adalah cara yang benar dan jelas”.

Suatu cara berpikir metodologis yang begitu sempurna. Artinya, dalam menghukumi sesuatu tidak cukup hanya melihat kulitnya tapi perlu memperhatikan isinya. Al Qarafi sejatinya mengingatkan ketika memutuskan suatu hukum harus mengedepankan isi bukan kulit. Dalam istilah ushul fikih harus memperhatikan maqashidus Syaria’ah sebagai muara dari segala hukum. Mendahulukan pertimbangan kemaslahatan manusia.

Tentang hukum kesenian, seperti wayang, selama tidak menyalahi dan tidak bertentangan denga nilai-nilai ajaran Islam, apalagi bisa menjadi wasilah (media) dakwah Islam, tentu sangat sejalan dengan kehendak agama Islam itu sendiri. Ada empat kriteria yang ditetapkan oleh fuqaha supaya seni dikatakan Islami atau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Yakni, tidak terdapat unsur yang menyebabkan kesyirikan, kemaksiatan, menimbulkan fitnah, dan harus mengandung unsur amar ma’ruf nahi mungkar.

Meskipun Khalid Basalamah telah meminta maaf atas kekeliruannya, namun apa yang terlanjur disampaikan merupakan fenomena akhir zaman yang telah dijelaskan oleh hadis Nabi. Karenanya, umat Islam harus selektif dalam memilih pengajian, ceramah, halaqah atau apapun sebutannya supaya tidak terjebak pada dai atau mubaligh yang asbun, asal bunyi, tanpa seperangkat pengetahuan agama yang memadai.

ISLAM KAFFAH

Islam dan Wayang: Belajar dari Rasulullah dalam Menghargai Tradisi

Apakah Rasulullah dalam berdakwah menghapus tradisi yang pernah ada di masyarakat Arab? Ternyata tidak, banyak sekali tradisi, budaya dan adat yang dimasukkan nilai Islami oleh Rasulullah. Jadilah kebiasaan lama tersebut bernuansakan Islam dan diperingati sebagai bagian dari khazanah Islam.

Begitu pula dengan cara pendekatan penyebar Islam di Indonesia. Mereka tidak merusak tradisi, adat, dan budaya yang ada yang tidak bertentangan dengan nilai Islam. Justru, tradisi yang ada ditransformasi dalam bentuk dan nuansa yang Islami. Batik, wayang, slametan, dan budaya lainnya diberikan makna islami sehingga ia tetap menjadi bagian dari nafas masyarakat.

Kaitan dengan wayang, rasanya tidak arif ketika ada seorang dai yang menyarankan memusnahkan wayang. Memang tidak menghukumi haram, tetapi menyarankan memusnahkan lebih parah tingkatannya dari pada haram. Rasanya itu sangat menyinggung perasaan masyarakat.

Karena itulah, dakwah dengan pendekatan budaya dengan menjadikan tradisi sebagai tonggak kokoh nilai Islam bukan hal baru. Rasulullah pun melakukan itu Ketika berhadapan dengan tradisi dan budaya masyarakat Arab.

Dakwah dalam konteks inilah sebenarnya harus juga dipahami oleh para dai saat ini. Bukan membuang tradisi sejauh tidak bertentangan dengan syariat, tetapi mengisi tradisi dengan makna yang islami. Jadi proses mengislamkan bukan sebagai sekedar proses islamisasi, tetapi internalisasi nilai Islam dalam tradisi.

3 Pendekatan Rasulullah dalam Menghargai Tradisi

Jika dilihat sebenarnya cara dakwah Nabi yang berhadapan dengan tradisi ada tiga pola. Pertama, pendekatan tahmil, artinya Islam datang dengan menerima dan menyempurnakan tradisi yang sudah ada di masyarakat jahiliyah. Corak seperti ini misalnya terlihat dalam penghormatan Islam terhadap bulan-bulan yang diharamkan pertumpahan darah yang sudah ada di zaman Arab pra Islam.

Tradisi menghormati bulan-bulan tertentu sudah ada sebelum ajaran Islam. Apakah Islam kemudian memberangus keyakinan itu? Tidak! Islam memberikan nilai Islami dengan menghormati bulan yang suci dengan berbagai ibadah. Memperbanyak amalan dan puasa seperti bulan Rajab dan Sya’ban.

Kedua, pendekatan taghyir, artinya Islam menerima tetapi merekonstruksi tradisi dengan nilai yang Islami. Dalam prakteknya, tradisi Arab pra Islam masih dilanjutkan tetapi diisi dengan nilai baru. Contoh ini misalnya dilihat dari proses haji yang tetap melaksanakan thawaf dan sai tetapi rubah maknanya bukan menyembah Latta dan Uzaa, tetapi ditujukan untuk mengangungkan Allah.

Corak seperti ini pula yang dilakukan semisal Walisongo ketika mempertahankan slametan dan pementasan wayang. Ada nilai islami yang dimasukkan dalam budaya dan tradisi. Tradisi tidak hilang, tetapi nilai islam pun tidak menjadi pudar.

Ketiga, pendekatan tahrim, artinya Islam menghapus tradisi dan kebiasaan yang ada yang jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Namun, perlu diingat bahwa dalam proses penghapusan inilah Rasulullah sangat hati-hati agar tidak menimbulkan resistensi yang kuat. Misalnya pengharaman khamar yang dilakukan secara bertahap. Islam juga ingin menghapus perbudakan yang dilakukan secara bertahap dengan cara menjadikan membebaskan budak sebagai bagian dari sangsi ibadah.

Jika kita lihat pendekatan dakwah Rasulullah yang berhadapan dengan tradisi masyarakat pra Islam, memiliki kesamaan dengan cara dakwah Walisongo di nusantara. Dakwah kearifan lokal itulah yang diteladani para Wali dalam menyebarakan Islam di nusantara. Walisongo banyak menggunakan pendekatan taghyir dalam berdakwah, tetapi juga tegas menggunakan tahrim dengan model dakwah yang santun dan ramah.

Wal hasil, wayang sebagai warisan budaya nasional ini sebenarnya merupakan warisan budaya nusantara dan internalisasi Islam oleh para Walisongo yang harus terus dilestarikan. Wayang bukan hanya sebagai kebanggaan, tetapi media dakwah nilai-nilai Islam yang santun dan ramah.

Terakhir, saya ingin mengutip sebuah hadist :

ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن

Artinya: “sesuatu yang dinilai baik oleh orang orang Islam, maka tentu baik pula dalam penilaian Allah”. (Mustadrak al-Hakim, 2/843).

Artinya, tradisi yang ada dan dipandang baik oleh umat Islam dan tidak menggangu akidah adalah kebaikan pula dalam pandangan agama. Semoga kita lebih arif dalam menyikapi tradisi dan agama.

ISLAM KAFFAH

Habib Husein Ja’far; Wayang Bisa Halal atau Haram

Belakangan “wayang” tengah ramai diperbincangkan nitizen. Pasalnya, salah seorang pendakwah agama yang menyebut wayang hukumnya haram. Lebih jauh lagi, penceramah tersebut mengatakan wayang harus dimusnahkan dari Indonesia.

Imbasnya,  kontroversi  “wayang itu haram” menyebar di linimasa media sosial. Menimbulkan gejolak di tengah masyarakat. Pro dan kontra pun terkait persoalan tersebut tak terelakkan. Bahkan, perkumpulan pedalangan ingin melaporkan pada pihak yang berwajib.

Menanggapi ramainya  pembahasan terkait wayang , Habib Husein Ja’far Al Hadar menjelaskan bahwa pembicaraan terkait wayang bisa halal dan bisa haram. Wayang itu halal seperti yang ditulis oleh KH. Agus Sunyoto, sebagaimana para Wali  Songo yang menjadikan wayang sebagai tembang dan pesantren. “Wayang itu sebagai media dakwah. Itu media yang sangat efektif,” jelas Habib Husein Ja’far, dalam Instagram Husein_Hadar.

Pada sisi lain, wayang bisa juga dikatakan haram. Terlebih jika manusia, dijadikan wayang oleh egonya. Pasalnya, banyak manusia yang dikontrol oleh nafsu dan birahinya.  “Wayang bisa haram, kalau kita jadi wayang dari ego kita. Jadilah Wayang dari akal dan hati mu,” tambah Habib Husein Ja’far.

Tak bisa dipungkiri,  wayang merupakan  budaya asli Nusantara. UNESCO, sejak 2003, menetapkan wayang Indonesia sebagai karya budaya dunia.  Lebih jauh, dalam wayang terdapat nilai efektif yang mengajarkan moral dan budi pekerti bagi peradaban bangsa.

Pada era terdahulu, para Walisongo menjadikan wayang sebagai media dakwah untuk mengenalkan ajaran Islam. Wayang juga dijadikan oleh para Wali dari tanah Jawa tersebut sebagai ajaran Islam.

BINCANG SYARIAH