Viral Makmum Ruku’ Dua Kali karena Mendahului Gerakan Imam, Batalkah?

Di media sosial sempat viral seseorang shalat ruku’ dua kali dalam satu rakaat. Adalah Fikri Bareno, yang salah gerakan shalatnya, korlap demonstrasi sebagai aksi protes terhadap pernyataan Menag Yaqut Cholil Qoumas yang diduga menyamakan suara adzan dengan gonggongan anjing. Ia adalah Wakil Ketua Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.

Hal itu terjadi saat Persaudaraan Alumni (PA) 212 menggelar demonstrasi di halaman Kantor Kemenag RI pada Jumat (4/3/2002). Tiba waktu Ashar mereka shalat berjamaah. Fikri Bareno yang ditunjuk sebagai korlap shalat di atas mobil sebagai makmum. Entah apa sebabnya, Fikri melakukan kesalahan dengan mendahului gerakan imam sehinga ia harus ruku’ dua kali dalam satu rakaat.

Ada satu yang menarik untuk dibahas dari sisi kajian hukum Islam (fikih) terkait kejadian tersebut. Apakah tidak sengaja melakukan dua kali ruku’ dalam satu rakaat membatalkan shalat? Karena, dari pernyataan Fikri sendiri hal itu dilakukan tanpa disengaja sehingga ia membatalkan shalat.

Dalam kitab-kitab fikih klasik madhab Syafi’i, apabila makmum dengan sengaja mendahului gerakan imam dengan dua rukun fi’li (rukun shalat berupa gerakan fisik), dan ia tahu keharaman hal tersebut, maka shalatnya batal.

Namun apabila hal itu dilakukan tanpa unsur kesengajaan, shalatnya tidak batal. Tetapi, dua gerakan mendahului imam tersebut tidak diperhitungkan sebagai bagian dari shalat. Artinya, ia harus mengulangi lagi gerakan tersebut bersama dengan imam. Oleh karenanya, jika ia tidak mengulangi gerakan tersebut bersama imam karena lupa atau karena ketidak tahuannya, maka ia wajib menambah satu rakaat setelah imam mengakhiri shalat dengan salam. Apabila tidak demikian, maka ia harus mengulangi shalatnya dari awal.

Sedangkan ruku’ pertama yang dilakukan oleh Fikri karena tidak disengaja sama dengan ketika makmum melakukan hal tersebut karena lupa. Ini juga tidak membatalkan shalat.

Keterangan seperti ini mudah dibaca dan mudah ditemukan dalam kitab-kitab dasar fikih Imam Syafi’i, seperti kitab al Bajuri, Nihatuz Zain, Fathul Mu’in, I’anatut Thalibin dan lain-lain. Baca dalam bab shalat berjamaah.

Dengan demikian, seharusnya Fikri Bareno tidak perlu membatalkan shalatnya, tinggal menunggu imam dan seterusnya shalat seperti biasa. Sebab, seperti pengakuannya sendiri, apa yang ia lakukan tanpa ada unsur kesengajaan. Sayang, ia kadung membatalkan shalat sehingga ia wajib mengulangi shalatnya dari awal.

ISLAM KAFFAH

Nikah Beda Agama, Upaya Pelegalan Perzinahan?

Diakui atau tidak, latar belakang tuntutan agar nikah beda agama disahkan sesungguhnya hanya menuruti nafsu “cinta buta”,  mengabaikan urusan halal-haram

Oleh: Een Stiawati

BULAN PEBRUARI 2020 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima gugatan uji materi alias judicial review yang dilayangkan seorang pria bernama E. Ramos Petege asal Kampung Gabaikunu, Mapia Tengah, Papua terhadap Undang undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.

Gugatan tersebut, dilayangkan Ramos lantaran dirinya yang merasa dirugikan dengan UU tersebut usai gagal menikah dengan kekasihnya yang beragama Islam. Menurutnya, ada pasal dalam UU Perkawinan yang bertentangan prinsip kemerdekaan dan kebebasan beragama yang dijamin Pasal 29 Ayat (1) dan (2) UUD 1945.

Kasus ini mengingatkan kita tahun 2014, ketika mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia Anbar Jayadi bersama 4 orang temannya  yakni  Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, dan Lutfi Saputra menggugat Undang-undang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi.

Menurut dia, Pasal 2 ayat 1 UU No. 1/1974 yang berisi “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu” telah menyebabkan ketidakpastian hukum bagi yang akan melakukan pernikahan beda agama di Indonesia (Kompas.com, 4/9).

“Kita kan tidak tahu akan bertemu dengan siapa ke depannya; akan suka sama siapa; akan kawin dengan siapa. Makanya, ketika melakukan perkawinan, negara harus menjamin hak-hak kita agar punya status hukum yang jelas,” kata Anbar di Gedung MK, Kamis (4/9/2014),  dia berpendapat biarkan masyarakat  yang memutuskan berdasarkan  hati nurani dan keyakinannya sendiri untuk mengikuti atau tidak mengikuti  ajaran agama dan  kepercayaan yang dianutnya, menurutnya pula karena setiap agama memiliki hokum yang berbeda  maka ia menilai ada ketidakpastian hukum bagi  mereka yang ingin  melangsungkan pernikahan beda agama.

Atas pengajuan uji materi ini terjadi pro dan kontra,  banyak pihak yang tidak setuju, tetapi masih saja ada yang mendukung mereka walaupun jumlahnya sedikit. Pakar Hukum Islam Universitas Indonesia (UI), Neng Djubaedah menyayangkan sikap kelima mahasiswanya yang menjadi penggugat Pasal 2 ayat 1, UU No 1 1974 tentang perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK).

Ia mengaku tidak habis pikir, bagaimana bisa murid-muridnya mempermasalahkan Undang-Undang yang selama ini terbukti mengatur harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara.“Dari materi Hukum Perdata Islam yang pernah kami sampaikan, kami tidak pernah mengajarkan hal seperti itu. Di dalam konstitusi kita-pun, tidak boleh. Mereka berpendapat, bebas menjalankan agama dan bebas tidak menjalankan agama. Tapi tidak seperti itu,”   dengan nada prihatin (hidayatullah.com ).

Demikian halnya dengan Imam Besar  Masjid Istiqlal kala itu, dimana beliau berharap agar Mahkamah Konstitusi  menolak atas gugatan tersebut, begitu juga  Menteri Agama  Lukman Hakim Saifudin berpendapat bahwa pernikahan beda agama sangat sulit direalisasikan, ketika nikah beda agama dilegalkan maka masalah lain akan muncul yang lebih sulit, misalnya agama apa yang akan dia pakai ketika menikah? Dan banyak lagi kecaman yang datang dari berbagai kalangan.

Di tengah banyaknya pihak yang kontra  justru peneliti Human Right Watch (HRW), Andreas Harsono, menyatakan sangat mendukung upaya itu. Ia menyebutkan, salah satu prinsip dasar dalam perkawinan adalah kerelaan dari kedua orang yang terlibat dalam pernikahan. Hal ini sudah ditegaskan dalam International Covenant on Civil and Political Rights.

Ketua Moderate Muslim Society, yang juga politisi PDI-P, Zuhairi Misrawi, mengatakan bahwa orang-orang yang melakukan pernikahan beda agama seharusnya mendapat pengakuan dari negara. Komnas HAM kala itu, juga mendukung upaya uji materi itu untuk melegalkan pernikahan beda agama (Kompas.com, 5/9).

Komisioner  Komnas HAM  Siti Noor Laila saat dihubungi Kompas.com (4/9/2014) menilai setiap warga Negara  Indonesia berhak  untuk menikah baik dengan sesama maupun beda agama.

Diakui atau tidak, latar belakang tuntutan mereka agar nikah beda agama disahkan sesungguhnya hanya menuruti nafsu “cinta buta”. Cinta, yang merupakan manifestasi dari naluri seksual, sebenarnya lahir karena adanya stimulus (pemicu) berupa lawan jenis dan pandangan seseorang terhadap lawan jenisnya.

Dengan alasan nanti tidak tahu akan suka dengan siapa, dan bisa saja menyukai orang beda agama, sementara cinta mereka anggap sebagai bagian dari HAM dan tidak boleh dikekang, mereka pun menuntut agar menikahi siapa saja dibolehkan. Itu artinya, cinta atau naluri seksual itu dianggap harus dipenuhi. Jadilah manusia dikendalikan oleh naluri seksualnya, bukan sebaliknya; manusia yang mengendalikan naluri seksual itu.

Pola pikir seperti itu tidak mempunyai standar halal-haram. Rasa cinta itu mereka biarkan tanpa kendali.  Akibatnya, mereka tidak lagi bisa membedakan: kepada dan dengan siapa mereka bercinta?

Mereka tidak menggunakan standar berpikir yang benar sebagai muslim, mereka pun menabrak rambu-rambu yang dilarang.  Bahkan bagi mereka, jika perlu rambu-rambu yang melarang itu harus dihilangkan.

Pola pikir demikian tentu tidak selayaknya dimiliki oleh seorang muslim yang seharusnya menjadikan halal-haram sebagai standar. Gugatan  legalisasi perkawinan beda agama bukanlah  hal baru karena kelompok  sekular dan  liberal  termasuk KOMNAS HAM  terus berupaya menyuarakan kebebasan, ini menjadi isyarat yang jelas bahwa orang-orang liberal terus menyasar Islam dan syariahnya.

Nikah Beda Agama Pintu Pemurtadan?

Jika pernikahan beda agama ini dilegalkan MK, maka dengan alasan HAM dan sebagainya akan banyak lagi pihak yang menuntut agar ragam pernikahan yang dilarang Islam itu dilegalkan. Pernikahan sedarah, pernikahan sejenis dan praktik perzinaan lain akan minta dilegalkan. Jika nikah beda agama itu disahkan maka akibatnya dua hal:

Pertama, pengesahan ini akan menjadi pintu untuk meruntuhkan banyak ketentuan Islam, terutama yang berkaitan dengan akibat dari pernikahan seperti hukum waris, perwalian, nafkah, hubungan pria-wanita di dalam pernikahan dan sebagainya.

Kedua, pengesahan ini juga akan membuka pintu lebar dan legal bagi upaya permurtadan. Selama ini, meski nikah beda agama tidak dilegalkan, motif cinta dan pernikahan seperti itu banyak digunakan untuk pemurtadan. Apalagi jika nanti dilegalkan, upaya pemurtadan itu justru akan makin gencar dan meluas karena telah dilegalkan oleh negara.

Jika kita mau mencermati, sesungguhnya  upaya gugat menggugat aturan agama bahkan yang sudah jelas dalilnya  akan terus berlangsung  selama sistem demokrasi  diterapkan di negeri ini. Sistem demokrasi memberi peluang untuk seseorang  berpendapat sekehendak hatinya karena demokrasi menganut prinsip kebebasan  beragama, kebebasan kepemilikan, kebebasan perpendapat dan kebebasan bertingkah laku.

Maka wajar seseorang mengeluarkan pendapatnya walaupun bertentangan dengan Islam. Sistem Islam sangatlah berbeda dengan demokrasi, dimana perkataan dan perbuatan seorang muslim  wajib terikat dengan hukum syara’, dia tidak bebas  melakukan semaunya begitu juga terkait dengan hukum pernikahan beda agama bahwa kaum muslim maupun muslimah  haram menikah dengan kaum musyrik, Allah SWT berfirman:

﴿وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ … ﴾

“Janganlah kalian menikahi para wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak wanita Mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Jangan pula kalian menikahkan kaum musyrik (dengan para wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya…” (QS: al-Baqarah [2]: 221).

Dengan demikian, perkawinan wanita mukmin dengan pria kafir adalah haram secara mutlak. Perkawinan pria mukmin dengan wanita musyrik (selain Yahudi dan Nasrani) juga haram.

Adapun perkawinan pria mukmin dengan wanita ahlul kitab adalah halal/boleh, namun dibatasi hanya dengan wanita ahlul kitab yang muhshanât yaitu ‘afîfât (yang senantiasa menjaga kesucian dan kehormatannya).

Di tengah dunia yang didominasi oleh kebebasan berperilaku, perempuan mengumbar aurat, pergaulan bebas merajalela, perbuatan mendekati zina bahkan zina terjadi di mana-mana, rasanya sulit memenuhi sifat afîfât itu. Apalagi harus disadari bahwa meski dibolehkan, perkawinan pria muslim dengan wanita ahlul kitab yang muhshanat tetap bisa mendatangkan banyak persoalan di kemudian hari.

Khalifah Umar bin Khathab ra. menghendaki agar itu tidak dijadikan pilihan pertama, melainkan terakhir; artinya tetap mendahulukan untuk menikahi wanita mukmin. Ibn Jarir meriwayatkan bahwa Hudzaifah pernah menikahi seorang wanita ahlul kitab. Lalu Umar menulis surat kepada dia, “Ceraikan dia!”. Hudzaifah lalu membalas surat itu, “Apakah engkau menganggap itu haram sehingga aku harus menceraikan dia?” Umar berkata, “Aku tidak menganggap itu haram. Namun, aku takut kalian menjauhi wanita mukmin.”

Demikian jelaslah sudah bahwa upaya pelegalan nikah beda agama merupakan pelegalan perzinahan karena sesungguhnya pernikahan beda agama adalah haram hukumnya dan ini adalah buah demokrasi yang menjadikan kebebasan sebagai pijakannya. Oleh karena itu kinilah saatnya untuk kita berupaya berpijak kepada Hukum Allah SWT, sebagai pengganti sistem demokrasi yang rusak.*

Penulis peminat masalah agama.  Een_stiawati@yahoo.com

HIDAYATULLAH

Agar Memperoleh Ampunan Allah setiap Hari

Begitu banyak cara yang dapat dilakukan untuk memohon ampun Allah SWT. Begitu banyak kesempatan pengampunan yang Allah siapkan bagi hambahnya-Nya setiap hari.

Dari setiap kita berwudlu, berjalan ke masjid, sholat, berdoa, dan berdzikir. Berikut kesempatan memohon ampun kepada Allah SWT seperti dilansir aboutislam, Selasa (8/3/2022):

Wudhu: Membersihkan Jiwa Jiwa 

Abdullah As-Sunabihi mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda :

“Ketika seorang hamba yang beriman berwudhu dan berkumur, maka keluarlah dosa-dosanya dari mulutnya.

Ketika dia menghirup air ke dalam hidungnya dan meniupnya, dosa-dosanya keluar dari hidungnya. 

Ketika dia membasuh wajahnya, dosa-dosanya keluar dari wajahnya, bahkan dari bawah bulu matanya.

Ketika dia membasuh tangannya, dosa-dosanya keluar dari tangannya, bahkan dari bawah kukunya.

Ketika dia mengusap kepalanya, dosa-dosanya keluar dari kepalanya, bahkan dari telinganya. 

Ketika membasuh kakinya, dosa-dosanya keluar dari kakinya, bahkan dari bawah kuku kakinya.

Kemudian berjalannya ke Masjid dan Shalatnya akan mendapatkan pahala tambahan baginya.” (An-Nasa’i dan disahkan oleh Al-Albani)

Berjalan ke Masjid: Langkah-Langkah Memaafkan

Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: 

“Apabila salah seorang dari kalian berwudhu dan mengerjakannya dengan baik, kemudian dia datang ke masjid tidak lain untuk tujuan shalat, dia tidak mengambil satu langkah pun melainkan Allah mengangkatnya satu derajat dengan itu, dan menghapus salah satu dosanya, sampai dia memasuki masjid. 

Ketika dia masuk masjid dia dalam keadaan sholat selama dia menunggu sholat.’ (Ibn Majah dan disahkan oleh Al-Albani)

Sholat: Dijamin Bersuci

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi bersabda:

“Apakah menurutmu jika ada sungai di dekat pintu salah satu dari kalian, dan dia mandi di dalamnya lima kali setiap hari, apakah akan ada bekas kotoran yang tertinggal padanya?”

Mereka berkata: “Tidak ada jejak kotoran yang tersisa pada dirinya.”

Nabi SAW mengatakan: “Itu adalah perumpamaan dari shalat lima waktu. Melalui mereka, Allah menghapus dosa.” Al-Bukhari dan Muslim)

Setelah Sholat Dzikir : Kesempatan Tanpa Akhir

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi bersabda:

“Dia yang mengulangi setelah setiap doa:

Subhan Allah (Allah bebas dari ketidaksempurnaan) tiga puluh tiga kali, Al-hamdu lillah (segala puji bagi Allah) tiga puluh tiga kali, Allahu Akbar (Allah Maha Besar) tiga puluh tiga kali; dan melengkapi seratus dengan La ilaha illallahu, wahdahu la sharika lahu, lahul-mulku wa lahul-hamdu, wa Huwa `ala kulli shai’in qadir

(Tidak ada Tuhan yang benar selain Allah. Dia adalah satu dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dialah yang berkuasa dan Dialah segala puji, dan Dialah Yang Mahakuasa)

Maka akan diampuni segala dosanya walaupun sebesar buih di permukaan laut. (Muslim)

Pintu Terbuka untuk Pengampunan

Zaid bin Khalid al-Juhani RA mengatakan bahwa Rasulullah berkata: 

“Barang siapa yang berwudhu dengan baik, kemudian shalat dua rakaat yang selama itu (ia sangat memperhatikan) ia tidak lupa (sesuatu di dalamnya), akan diampuni semua dosanya yang telah lalu. (Abu Dawud dan diklasifikasikan sebagai Hasan oleh Al-Albani”

Untuk mendapatkan pahala-pahala tersebut, yang perlu dilakukan adalah fokus pada setiap yang dilakukan, maka amalan ibadah akan mengikutinya.

IHRAM

Hadis-hadis Keutamaan Berbakti kepada Orang Tua

Berbakti kepada orang tua adalah suatu keniscayaan yang harus dilakukan oleh setiap anak. Di dalam kitab Lubbabul Hadis bab ketiga puluh, imam As-Suyuthi (w. 911) menuliskan sepuluh hadis tentang fadhilah atau keutamaan berbakti kepada orang tua yang perlu kita perhatikan sebagaimana berikut.

Hadis Pertama:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {رِضَا الرَّبِّ فِيْ رِضَا الْوَالِدِ، وَسَخَطُ اللهِ فِيْ سَخَطِ الْوَالِدِ}

Nabi saw. bersabda, “Ridha Tuhan itu di dalam ridhanya orang tua, dan ketidak ridhaan Allah itu di dalam ketidak ridhaan orang tua.” Hadis ini diriwayatkan oleh imam Al-Hakim dan imam At-Tirmidzi dari sahabat Abdullah bin Amr r.a. Hanya saja dengan menggunakan redaksi wa sakhatur rabb.

Hadis Kedua:

وَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: {بُرُّوا آبَاءَكُمْ تَبُرَّكُمْ أَبْنَاؤُكُمْ وَعِفّوا تَعِفَّ نِسَاؤُكُمْ}.

Nabi saw. bersabda, “Berbuat baiklah kepada orang tua-orang tua kalian maka anak-anak kalian akan berbuat baik kepada kalian, dan jagalah diri kalian (dari zina), maka istri-istri kalian akan terjaga (dari zina).” Hadis ini diriwayatkan oleh imam Ath-Thabarani dari sahabat Ibnu Umar r.a.

Hadis Ketiga:

وَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: {مَنْ أَصْبَحَ وَلَهُ أبَوَانِ رَاضِيَانِ عَنْهُ أَوْ أَحَدُهُمَا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الجَنَّةِ وَمَنْ أمْسَى وَلَهُ أَبَوَانِ سَاخِطَانِ عَلَيْهِ أَوْأحَدُهُمَا فُتِحَتْ لَهُ أبْوَابُ جَهَنَّمَ}.

Nabi saw. bersabda, “Siapa yang dipagi hari kedua orang tuanya atau salah satunya ridha padanya maka pintu-pintu surga telah dibuka untuknya dan siapa yang di sore harinya kedua orang tuanya atau salah satunya marah (benci) padanya, maka pintu-pintu neraka jahannam telah dibuka untuknya.” Berdasarkan penelusuran kami, kami belum menemukan periwayat hadis ini. Begitu pula dengan imam An-Nawawi Al-Bantani ketika mensyarah hadis ini tidak menjelaskan periwayatnya.

Hadis Keempat:

وَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: {إِذَا كُنْتَ فِى الصَّلَاةِ فَدَعَاكَ أبُوْكَ فَأَجِبْهُ وَإِنْ دَعَتْكَ أُمُّكَ فَأَجِبْهَا}.

Nabi saw. bersabda, “Jika kalian di dalam shalat (sunnah), lalu orang tua mu memanggilmu maka jawablah (panggilannya), dan jika ibumu memanggilmu maka jawablah.” Berdasarkan penelusuran kami, kami belum menemukan periwayat hadis ini. Begitu pula dengan imam An-Nawawi Al-Bantani ketika mensyarah hadis ini tidak menjelaskan periwayatnya.

Hadis Kelima:

وَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: {مَنْ آذَى وَالِدَيْهِ أَوْ آذَى أَحَدَهُما يَدْخُلُ النَّارَ}.

Nabi saw. bersabda, “Siapa yang menyakiti kedua orang tuanya atau salah satunya maka ia akan masuk neraka.” Berdasarkan penelusuran kami, kami belum menemukan periwayat hadis ini. Begitu pula dengan imam An-Nawawi Al-Bantani ketika mensyarah hadis ini tidak menjelaskan periwayatnya.

Hadis Keenam:

وَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ حِكَايَةٌ عَنِ الله تَعَالى: {قُلْ لِلْبَارِّ لِوَالِدَيْهِ اعْمَلْ مَا شِئْتَ فَإِنَّ اللهَ يَغْفِرُ لَكَ}.

Nabi saw. bersabda cerita dari Allah ta’ala (hadis qudsi), “Katakalanlah kepada orang yang berbuat baik kepada orang tuanya, lakukanlah apa yang kamu mau, karena sungguh Allah mengampunimu.” Berdasarkan penelusuran kami, kami belum menemukan periwayat hadis ini. Begitu pula dengan imam An-Nawawi Al-Bantani ketika mensyarah hadis ini tidak menjelaskan periwayatnya.

Hadis Ketujuh:

وَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: {بِرُّ الْوَالِدَيْنِ كَفَّارَةٌ لِلْكَبَائِرِ}.

Nabi saw. bersabda, “Berbuat baik kepada orang tua itu dapat melebur dosa-dosa besar.” Berdasarkan penelusuran kami, kami belum menemukan periwayat hadis ini. Begitu pula dengan imam An-Nawawi Al-Bantani ketika mensyarah hadis ini tidak menjelaskan periwayatnya.

Hadis Kedelapan:

وَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: {مَنْ وَضَعَ طَعَامًا طَيِّبًا فِيْ بَيْتِهِ وَأَكَلَهُ دُوْنَ وَالِدَيْهِ حِرَمَهُ اللهُ تَعَالَى لَذِيْذَ طَعَامِ الْجَنَّةِ}.

Nabi saw. bersabda, “Siapa yang meletakkan makanan baik di rumahnya dan ia memakannya tanpa kedua orang tuanya maka Allah telah mengharamkan lezatnya makanan surga untuknya.” Berdasarkan penelusuran kami, kami belum menemukan periwayat hadis ini. Begitu pula dengan imam An-Nawawi Al-Bantani ketika mensyarah hadis ini tidak menjelaskan periwayatnya.

Hadis Kesembilan:

وَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: {مَنْ بَاتَ شَبْعَانًا رَيَّانًا وَأحَدُ وَالِدَيْهِ جَوْعَانٌ أوْ عَطْشَانٌ حَشَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ جِوْعَاناً وَعَطْشَانًا وَلَمْ يَسْتَحِ اللهُ تَعَالَى مِنْ عَذَابِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ}.

Nabi saw. bersabda, “Siapa yang bermalam dalam keadaan kenyang dan tidak kehausan sedangkan salah satu kedua orang tuanya dalam keadaan lapar atau haus maka Allah akan mengumpulkannya di hari Kiamat dalam keadaan lapar dan haus dan Allah taala tidak malu akan mengadzabnya di hari Kiamat.” Berdasarkan penelusuran kami, kami belum menemukan periwayat hadis ini. Begitu pula dengan imam An-Nawawi Al-Bantani ketika mensyarah hadis ini tidak menjelaskan periwayatnya.

Hadis Kesepuluh:

وَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: {مَنْ رَفَعَ يَدَهُ لِيَضْرِبَ أَحَدَ وَالِدَيْهِ غُلَّتْ يَدُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى عُنُقِهِ مَشْلُوْلَةً قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَإِنْ ضَرَبَهُمَا قَالَ: تُقْطَعُ يَدُهُ قَبْلَ أنْ يَجُوْزَ عَلَى الصِّرَاطِ وَتَضْرِبُهُ الْمَلَائِكَةُ}.

Nabi saw. bersabda, “Siapa yang mengangkat tangannya untuk menampar salah satu kedua orang tuanya maka tangannya akan digantung ke lehernya di hari Kiamat dengan kesakitan, mereka berkata, Wahai Rasulullah jika ia memukul keduanya? Nabi saw. bersabda, “Tangannya dipotong sebelum ia melewati shirat (jembatan), sedangkan malaikat menamparnya.” Berdasarkan penelusuran kami, kami belum menemukan periwayat hadis ini. Begitu pula dengan imam An-Nawawi Al-Bantani ketika mensyarah hadis ini tidak menjelaskan periwayatnya.

Demikianlah sepuluh hadis yang telah dijelaskan oleh imam As-Suyuthi tentang keutamaan berbakti kepada orang tua di dalam kitabnya yang berjudul Lubbabul Hadits. Di mana di dalam kitab tersebut, beliau menjelaskan empat puluh bab dan setiap bab beliau menuliskan sepuluh hadis dengan tidak menyantumkan sanad untuk meringkas dan mempermudah orang yang mempelajarinya.

Meskipun begitu, di dalam pendahuluan kitab tersebut, imam As-Suyuthi menerangkan bahwa hadis nabi, atsar, maupun riwayat yang beliau sampaikan adalah dengan sanad yang shahih (meskipun menurut imam An-Nawawi di dalam kitab Tanqihul Qaul Al-Hatsits ketika mensyarah kitab ini mengatakan ada hadis dhaif di dalamnya, hanya saja masih bisa dijadikan pegangan untuk fadhailul a’mal dan tidak perlu diabaikan sebagaimana kesepakatan ulama). Wa Allahu A’lam bis Shawab.

BINCANG SYARIAH

Bolehkah Akikah untuk Anak Perempuan Lebih dari Satu Kambing?

Dalam laman media sosial redaksi ada nitizen yang bertanya, bolehkah akikah untuk anak perempuan lebih dari satu kambing? Berikut penjelasan masalah tersebut. 

 Dalam Islam, setiap kali pasangan suami-istri dikarunia seorang anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka disunnahkan untuk melaksanakan akikah dengan menyembelih hewan kambing sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah.

Untuk anak perempuan disunnahkan menyembelih seekor kambing, sementara anak laki-laki dianjurkan menyembelih dua ekor kambing. Namun bagaimana jika mengakikahi anak perempuan lebih dari satu kambing, misalnya 11 kambing, apakah boleh?

Pada dasarnya, seseorang hanya dianjurkan untuk mengakikahi anak perempuannya hanya dengan satu ekor kambing dan anak laki-lakinya dengan dua ekor kambing. Jika seseorang sudah mengakikahi anak perempuannya dengan satu ekor kambing, dan dua ekor kambing untuk anak laki-lakinya, maka dia sudah dianggap melaksanakan sunnah akikah.

Ini berdasarkan hadis riwayat Imam Al-Tirmidzi dari Sayidah Aisyah, dia berkata;

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَهُمْ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ

Sesungguhnya Nabi Saw memerintahkan mereka, untuk anak laki-laki dengan dua ekor kambing dan anak perempuan dengan satu ekor kambing.

Meski yang dianjurkan untuk anak perempuan adalah satu kambing, namun jika seseorang mengakikahi anak perempuannya lebih dari satu kambing, misalnya mengakikahi anak perempuannya dengan 11 kambing, maka hukumnya boleh. Namun yang dinilai sebagai akikah adalah yang satu ekor kambing saja. Sementara sisanya dinilai sebagai sembelihan biasa dan sedekah sunnah biasa, bukan sebagai akikah.

Begitu juga dengan anak laki-laki, yang dianjurkan adalah dua ekor kambing saja. Namun jika seseorang mengakikahi anak laki-lakinya lebih dari dua ekor kambing, misalnya mengakikahi anak laki-lakinya dengan 12 kambing, maka hukumnya boleh. Namun yang dinilai sebagai akikah adalah yang dua ekor kambing saja. Sementara sisanya dinilai sebagai sembelihan biasa dan sedekah sunnah biasa, bukan sebagai akikah.

Ini sama dengan seseorang yang melakukan kurban lebih dari seekor kambing. Menurut para ulama, jika seseorang berkurban lebih dari satu ekor kambing, misalnya dia berkurban dengan dua ekor kambing, maka hukumnya boleh namun yang dinilai sebagai kurban adalah yang satu ekor kambing saja. Sementara sisanya dinilai sebagai sembelihan biasa dan sedekah sunnah biasa, bukan sebagai kurban.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Hasyiatul Baijuri berikut;

ولو ضحى واحد ببدنة أو بقرة بدل شاة فالزائد على السبع تطوع يصرفه مصرف التطوع إن شاء

Jika seseorang berkurban seekor unta atau sapi sebagai penganti kambing, maka selebihnya yang sepertujuh adalah sedekah sunnah biasa yang ia boleh distribusikan dagingnya kepada orang-orang yang berhak menerima sedekah sunnah jika ia berkenan.

BINCANG SYARIAH

Fatwa Qardhawi: Alasan Poligami Rasulullah SAW (1)

Yusuf Qardhawi menjelaskan mengapa nabi Nabi Muhammad poligami

Sering menjadi pertanyaan di tengah-tengah masyarakat, mengapa Rasulullah SAW beristeri sampai sembilan orang? Sementara kaum Muslim diharamkan kawin lebih dari empat orang. 

Seperti kita ketahui bahwa kaum orientalis sering menyerang Islam dengan masalah poligami Rasul ini.

Syekh Yusuf Qardhawi dalam kumpulan fatwanya menguraikan bahwa pada masa pra Islam, belum ada ketentuan mengenai jumlah wanita yang boleh dikawin. Belum ada batas, patokan, ikatan, dan syarat. Jadi, seorang laki-laki boleh saja kawin dengan sekehendak hatinya.

Hal ini memang berlaku pada bangsa-bangsa terdahulu, sehingga diriwayatkan dalam Perjanjian Lama bahwa Daud mempunyai 100 orang istri dan Sulaiman mempunyai 700 orang istri serta tiga 300 orang gundik.

Ketika Islam datang, dibatalkanlah perkawinan yang lebih dari empat orang. Apabila ada orang yang masuk Islam sedang dia mempunyai istri lebih dari empat orang, maka Nabi SAW menyuruhnya untuk menceraikan istri-istri mereka hingga yang tersisa hanya empat orang saja.

Jadi, jumlah istri maksimal empat orang, tidak boleh lebih. Dan syarat yang harus dipenuhi dalam poligami ini ialah bersikap adil terhadap istri-istrinya. Kalau tidak dapat berlaku adil, cukuplah seorang istri saja.

Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, “… kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja.” (QS. An-Nisa’: 3).

Demikianlah aturan yang dibawa oleh Islam. Namun, Allah Azza wa Jalla mengkhususkan untuk Nabi SAW dengan sesuatu yang tidak diberikan kepada kaum mukmin lainnya, yaitu beliau diperbolehkan melanjutkan hubungan perkawinan dengan istri-istri yang telah beliau kawini dan tidak mewajibkan beliau menceraikan mereka, tidak boleh menukar mereka, tidak boleh menambah, dan tidak mengganti seorang pun dengan orang lain.

Sebagaimana Firman Allah SWT, “Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan istri-istri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu, kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki….” (QS. Al Ahzab: 52).

Rahasia semua itu ialah bahwa istri-istri Nabi SAW mempunyai kedudukan khusus dan istimewa yang oleh Alquran dikatakan sebagai “ibu-ibu kaum Mukmin” secara keseluruhan.

Allah berfirman, “Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri, dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka…” (QS. Al-Ahzab: 6).

KHAZANAH REPUBLIKA

Mengapa Allah SWT Membenci 3 Perkara Ini?

Terdapat sejumlah perkara yang disukai oleh Allah SWT. Dan, ada pula hal-hal yang dibenci-Nya.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلَاثًا فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةِ الْمَالِ

Dari Abu Hurairah RA, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah meridhai kalian dalam tiga perkara dan benci kepada kalian dalam tiga perkara. Allah meridhai kalian jika kalian (pertama) beribadah kepada-Nya (kedua) tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. (Ketiga) jika kalian berpegang teguh kepada agama-Nya dan tidak berpecah belah. Dan Dia benci atas kalian tiga perkara yaitu kabar burung, banyak tanyak, dan menghambur-hamburkan harta.” (HR Bukhari Muslim ). 

Perkara yang pertama, masih dalam redaksi hadis yang sama, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah membenci bila kalian qiila wa qaala, banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta.” (HR Muslim dan Ahmad). 

Qiila wa qaala dalam sabda Nabi SAW itu secara harfiah ialah katanya-katanya. Maksudnya, informasi yang belum jelas sumber dan atau kebenarannya. 

Suatu berita hendaknya diperjelas sebelum disebarluaskan. Bila tidak demikian, ia hanya menjadi kabar angin atau desas- desus. Dan, seperti disampaikan hadis tersebut, Allah SWT membenci sikap yang percaya pada informasi yang tidak tentu sumbernya. Dalam Alquran surat An Nur ayat 11, Allah berfirman: 

وَالَّذِي تَوَلَّىٰ كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ “Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.”

Kedua, adalah banyak tanya yang tidak berfaedah. Bila ada yang tidak atau belum dimengerti, maka seseorang dianjurkan bertanya. Namun, apabila pertanyaan yang sama diajukan berulang kali, itu dapat menjurus pada kesia- siaan atau bahkan konflik.

Contohnya, para Bani Israil yang banyak tanya tentang perkara sapi betina. Kisah ini diabadikan dalam Alquran surat Al Baqarah. 

Waktu itu, Nabi Musa AS sudah menyampaikan kepada mereka tentang perintah Allah SWT, yakni hendaknya seekor lembu betina disembelih. 

Dengan begitu, Allah SWT akan menunjukkan kepada orang-orang ini kebenaran perihal kasus terbunuhnya seorang dari mereka.

Bukannya langsung melaksanakan apa-apa yang diperintahkan, Bani Israil ini justru banyak tanya tentang sifat sapi yang hendak disembelih itu. 

Pada akhirnya, jawaban yang mereka peroleh justru kian mempersulit diri sendiri. Padahal, sebelumnya Allah menghendaki kemudahan bagi mereka, tetapi mereka sendiri yang memperumit keadaan. 

Hal ketiga yang dibenci Allah Ta’ala ialah menyia-nyiakan harta. Idho’atul maali dapat di maknai sebagai membelanjakan harta yang dimiliki secara boros serta tidak pada jalan yang di ridhai-Nya. 

Baca juga: 3 Tanda yang Membuat Mualaf Eva Yakin Bersyahadat

Apalagi, bila harta itu diperoleh dengan cara-cara yang haram atau syubhat. Dalam surat Al Araf ayat 31, Dia berfirman sebagai berikut: 

 يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”

Sikap boros juga disamakan dengan perilaku setan. Ini ditegaskan dalam Alquran surat Al Isra ayat 27:

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا “Sesungguh nya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” Semoga kita semua terhindar dari ketiga sifat yang dibenci Allah Azza wa Jalla ini.    

sumber : Harian Republika

KHAZANAH REPUBLIKA

Kemenag Sesuaikan Kebijakan Umroh Respons Pencabutan Pembatasan Arab Saudi

Pemerintah Arab Saudi melakukan pelonggaran sejumlah aturan yang berkaitan dengan protokol kesehatan (prokes).

Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Hilman Latief berharap Kementerian Kesehatan dan Badan Nasional Pencegahan Bencana (BNPB) bisa mengambil langkah penyelarasan. 

“Terkait keputusan Arab Saudi mencabut sebagian besar dari kebijakan protokolnya, maka akan ada konsekuensi juga terhadap kebijakan penyelenggaraan umroh di Indonesia. Saya optimis akan segara ada penyelarasan kebijakan. Apalagi, Indonesia saat ini juga sudah mulai melakukan penyesuaian kebijakan masa karantina,” ucap Hilman dalam keterangan yang didapat Republika.co.id, Senin (7/3/2022). 

Salah satu aturan yang dicabut Arab Saudi adalah keharusan tes PCR dan karantina untuk setiap kedatangan. Hilman Latief menilai kebijakan Arab Saudi yang baru ini akan berdampak pada penyelenggaraan umroh. 

Selanjutnya, dia menyebut Kementerian Agama (Kemenag) akan berbicara dengan berbagai pihak terkait kebijakan resiprokral (reciprocal policy), antara Pemerintah Arab Saudi dan Indonesia untuk urusan haji dan umroh ini.

“Kebijakan One Gate Policy atau satu pintu pemberangkatan jamaah umroh dari asrama haji juga akan disesuaikan,” ucap dia.

Kemenag disampaikan akan segera berkoordinasi dengan BNPB dan Kemenkes. Sebab, kedua lembaga ini memiliki wewenang dalam teknis pengaturan kebijakan terkait pencegahan penyebaran Covid-19.

Hilman menambahkan, koordinasi tersebut diperlukan mengingat ada sejumlah ketentuan yang memang harus dikompromikan.

Terkait dicabutnya ketentuan atau syarat karantina dan cek PCR saat masuk ke Arab Saudi, misalnya. Dia menilai hal tersebut harus direspon secara mutual. 

“Jadi, jangan sampai di sananya tidak perlu karantina di kita masih dipaksa karantina. Atau jangan sampai di sana tidak dibutuhkan PCR, di kita harus PCR untuk berangkatnya, dan lain-lain,” lanjutnya. 

Dia juga menegaskan, posisi Kemenag adalah mempersiapkan penyelenggaraan kebijakan terkait pencegahan Covid-19. Salah satunya, jika nantinya Indonesia juga harus mencabut kebijakan One Gate Policy, sebagaimana yang selama ini sudah berjalan.  

IHRAM

Agar Aku Sukses Menuntut Ilmu (Bag. 13): Hafalkan, Diskusikan, dan Bertanyalah

Baca pembahasan sebelumnya Agar Aku Sukses Menuntut Ilmu (Bag. 12): Carilah Teman yang Mendukungmu Belajar Agama


Bismillah

Ada tiga hal yang jika diupayakan seorang penuntut ilmu, maka ilmu akan bersemai di dalam jiwanya:

Pertama, menghafal.

Kedua, berdiskusi dengan rekan belajar/kajian.

Ketiga, bertanya kepada ahli ilmu

Syekh Sholih Al-‘Ushoimi hafizhahullah menerangkan di dalam kitab Khulashoh karyanya,

إذ تلقيه عن الشيخ لا ينفع بلا حفظ له ومذاكرة به وسؤال عنه، فهؤلاء تحقق في قلب طالب العلم تعظيمه، بكمال الالتفات إليه والاشتغال به، فالحفظ خلوة بالنفس، والمذاكرة جلوس إلى القرين والسؤال إقبال على العالم

Belajar kepada seorang guru (syekh, ustaz, dll) tidak bermanfaat tanpa menghafal, berdiskusi, dan bertanya kepada guru. Tiga hal itu akan mewujudkan pengagungan ilmu di dalam dada sesuai kadar totalitas mempelajarinya. Menghafal adalah khalwat seorang penuntut ilmu dengan dirinya sendiri. Berdiskusi adalah duduk bersama rekan-rekannya. Bertanya adalah menghadap kepada ulama.

Dengan mengupayakan tiga hal di atas, seorang penuntut ilmu menjadi seimbang waktu belajarnya. Ada saat-saat dia harus menyendiri dengan dirinya, itulah saat menghafal. Ada saat-saat ia harus bersosialisasi dengan teman-temannya, itulah saat ia berdiskusi. Ada saat-saat ia harus welcome, konsentrasi kepada gurunya, yaitu saat bertanya kepada guru.

Ketiga poin di atas kita perjelas lagi dengan catatan di bawah ini:

Menghafal

Orang-orang yang sukses dalam menuntut ilmu, yakni para ulama seperti Imam Syafi’i, Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar rahimahumullah, dan yang lainnya, perjuangan belajar mereka tidak lepas dari upaya menghafalkan ilmu. Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menyampaikan testimoni dari kegiatan menghafal beliau di masa-masa belajar,

حفظنا قليلا وقرأنا كثيرا، فانتفعنا بما حفظنا أكثر من انتفاعنا بما قرأنا

Kami menghafal sedikit dan banyak membaca. Ternyata manfaat yang kami dapat dari hafalan lebih banyak daripada yang didapat dari membaca.”

Karena ilmu yang didapat dari menghafal, akan lebih kokoh tersimpan di dalam jiwa daripada yang didapat dari membaca. Meski kedua metode ini sangat bermanfaat. Ada ilmu yang memang harus dihafal. Ada yang cukup dengan membaca. Namun, jangan pernah menganggap sepele metode menghafal dalam belajar, kemudian mencukupkan dengan pemahaman. Manfaat menghafal bagi penuntut ilmu telah dirasakan sendiri oleh orang-orang yang telah sukses belajar.

Berdiskusi

Sering terjadi pada diri pelajar, pemahaman-pemahaman yang rinci atau detail itu bisa didapat setelah berdiskusi dengan rekan sesama pelajar. Dan pemahaman yang remang-remang menjadi terang benderang setelah berdiskusi. Tentu saja diskusi yang didasari niat yang baik, dari hati yang bersih dari egois, untuk belajar, untuk mengasah ketajaman ilmu kita, bukan untuk menang-menangan atau saling menjatuhkan. Tetapi, diskusi untuk belajar mendengar dari orang lain, menerima masukan, dan legowo mendapatkan koreksi jika ternyata pemahaman kita terbukti salah. Jika niat yang baik ini menjadi dasar diskusi, maka keberkahan diskusi akan kita dapatkan. Sebagaimana dinyatakan oleh para ulama,

وبالمذاكرة تدوم حياة العلم في النفس

Dengan berdiskusi, kehidupan ilmu di dalam jiwa akan langgeng.

Al-Quran sebagai ilmu yang telah Allah mudahkan. Itu saja masih perlu muraja’ah agar hafalan Al-Qur’an terjaga dengan baik. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ

Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar: 17)

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنما مثل صاحب القرآن كمثل صاحب الإبل المعلقة

Sesungguhnya permisalan penghafal Al-Qur’an itu seperti pemilik unta yang untanya terikat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam permisalkan hafalan Al-Qur’an itu seperti unta yang terikat, karena unta adalah binatang yang jika terlepas, susah ditangkap. Hafalan Al-Qur’an memiliki karakter yang sama. Jika telah lepas dengan tidak di-muraja’ah, maka menghafalnya kembali susah. Ini benar-benar kenyataan, silahkan anda bisa bertanya kepada para penghafal Al-Qur’an.

Jika demikian bentuk arahan Nabi kita shallallahu ’alaihi wasallam kepada Al-Qur’an, ilmu yang telah ditegaskan Allah Ta’ala sebagai ilmu yang Allah mudahkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengikatnya baik-baik. Maka bagaimana gerangan dengan ilmu syar’i selain Al-Qur’an?!

Ibnu Abdil Bar rahimahullah mengatakan,

وإذا كان القرآن الميسر للذكر كلإبل المعلقة من تعاهدها أمسكها فكيف بسائر العلوم؟!

Jika Al-Qur’an yang dimudahkan untuk diingat seperti unta yang terikat. Jika diikat, maka tuannya bisa menguasainya. Maka, bagaimana lagi dengan ilmu yang lain?!” (At-Tamhid)

Poin yang menjadi titik temu antara muraja’ah Al-Qur’an dengan motivasi untuk mempersering diskusi adalah bahwa metode menjaga hafalan Al-Qur’an yang terbaik adalah dengan menyimakkan hafalan kepada yang lain. Sebagaimana petunjuk Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, beliau sering menyimakkan hafalan Al-Qur’annya kepada malaikat Jibril ‘alaihissalam. Maka demikianlah, cara menjaga ilmu yang paling mujarab. Paling baik adalah dengan ‘menyimakkan’ ilmu itu kepada orang lain, yaitu dengan cara diskusi bersama rekan-rekan sesama penuntut ilmu.

Bertanya

Kata Syekh Sholih Al-‘Ushoimi hafizhahullah,

وبالسؤال عن العلم تفتتح خزائنه

Dengan bertanya, akan terbukalah perbendaharaan ilmu.” (Mukhtashor Ta’dzhiimil ‘Ilmi)

Bahkan para ulama salaf menilai bahwa baiknya pertanyaan adalah setengahnya ilmu.

Salah satu bukti nyata belajar dengan model bertanya itu sangat bermanfaat adalah tanya jawab murid-murid Imam Ahmad rahimahullah kepada beliau yang kemudian diriwayatkan dan dikumpulkan menjadi buku. Sungguh manfaatnya sangat terasa.

Betapa sering ilmu yang samar menjadi terang benderang setelah bertanya. Atau faedah -faedah tersembunyi yang tidak tertulis di kitab atau tidak tersebut di kajian bisa kita dapatkan dari bertanya. Inilah tiga hal yang bisa merawat ilmu:

Menghafal, itu ibarat menamam.

Berdiskusi, itu ibarat menyirami dan memupuk.

Lalu, bertanya itu ibarat mengembangbiakkan atau menambah ilmu.

Demikian

Waffaqanallah waiyyakum.

***

Penulis: Ahmad Anshori, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/72716-agar-aku-sukses-menuntut-ilmu-bag-13-hafalkan-diskusikan-dan-bertanyalah.html

Viral Cara Shalat PA 212: Ini Larangan dan Ancaman Bagi Orang-orang yang Mempermainkan Shalat

Beberapa hari yang lalu media sosial sempat ramai dengan membahas salah satu praktik shalat dengan bentuk yang kurang tepat dengan gerakan shalat itu sendiri, yang dilakukan oleh salah satu kelompok yang  yang ada di Indonesia. Lantas bagaimana dalam perspektif Islam menanggapi praktik shalat d seperti itu? Dan juga ancaman terhadap orang yang mempermainkan shalat? Mari simak penjelasan di bawah ini.

Shalat lima waktu menjadi salah satu ibadah yang sangat agung nan mulia. Ia tidak hanya sebatas kewajiban yang menjadi rutinitas sehari-hari, lebih dari itu juga menjadi salah satu momentum untuk menjalin interaksi dengan Allah SWT melalui jalan spiritual.

Ibadah shalat memiliki perbedaan yang jauh dengan ibadah lainnya, bahkan untuk menghormati keagungan dan kemuliaan shalat, Allah memanggil Nabi Muhammad untuk melakukan Isra dan Mi’raj hanya untuk memberikan kewajiban ibadah yang satu ini.

Oleh karenanya, shalat yang memiliki nilai sakralitas di dalamnya, sudah seharusnya dilakukan dengan cara yang sakral, misalnya dengan memperhatikan berbagai rukun dan syarat-syaratnya. Dan tentu, ibadah ini seharusnya dilakukan di tempat yang mulia, dikerjakan dengan cara yang sempurna, dan dilaksanakan dengan cara yang terhormat.

Mempermainkan shalat dengan cara mengerjakan tanpa aturan sangat dilarang dalam ajaran Islam, bahkan Allah SWT mengancam dengan neraka Wail, sebagaimana yang tertulis dalam surah Al-Ma’un, Allah berfirman:

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ

Artinya, “Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya.” (QS. Al-Ma’un [107]: 5-6).

Imam Abul Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir ad-Dimisyqi (wafat 774 H) dalam kitab tafsirnya menjelaskan, bahwa yang dimaksud lafal “sahun” pada ayat di atas adalah orang-orang yang tidak memperhatikan waktu shalat, tidak memperhatikan syarat-syarat dan rukunnya, dan tidak pula menjaga nilai-nilai sakral yang ada di dalamnya.

Maka, orang-orang yang melakukan shalat dengan cara-cara di atas, masuk dalam katagori (kategori) ayat ini, sehingga akan mendapatkan ancaman berat dari Allah berupa neraka Wail. (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anil Adzim, [Dar ath-Thayyibah: 1999], juz VIII, halaman 493).

Senada dengan pendapat Imam Ibnu Katsir di atas, Imam Abu Ja’far ath-Thabari dalam kitab tafsirnya, yang dikenal dengan sebutan Tafsir ath-Thabari juga tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas. Menurutnya, yang dimaksud “sahun” pada ayat di atas adalah orang-orang yang tidak membedakan antara sedang shalat maupun tidak.

لَا يُبَالِي صَلَّى أَمْ لَمْ يُصَلِّ

Artinya, “(Yang dimaksud ayat di atas), adalah dia tidak memperhatikan apakah sedang shalat ataupun tidak.” (Imam ath-Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wili Al-Qur’an, [Muassasah ar-Risalah, tahqiqi: Muhammad Ahmad Saykir, cetakan pertama: 2000], juz XXIV, halaman 632).

Dengan kata lain, orang yang sedang shalat tidak menjaga kemuliaan dan keagungan shalat, sehingga tidak memperhatikan antara sedang shalat dan tidaknya. Bahkan ia lupa bahwa dirinya sedang menjalin interaksi dengan Allah yang tidak bisa didapatkan dalam ibadah-ibadah yang lain.

Dalam diskursus kajian ilmu fiqih, shalat yang dilakukan tanpa memperhatikan syarat dan rukunnya, masuk dalam kategori orang-orang yang mempermainkan ibadah. Orang-orang yang beribadah dengan bentuk seperti ini dalam perspektif fiqih sangat dilarang, dan memiliki hukum haram, sehingga orang yang melakukan tidak akan mendapatkan pahala, namun berujung pada dosa.

Dari beberapa tulisan di atas, seharusnya ibadah shalat dilakukan di tempat yang baik, dalam keadaan yang sopan dan sempurna. Selain untuk melakukan kewajiban paling agung nan mulia, juga untuk menjaga kesopanan dalam menghadap kepada Allah SWT. Sebab, mempermainkan shalat sama halnya dengan mempermaikan Dzat Yang meberikan kewajiban itu sendiri.

Semoga dengan mengetahui hukum di atas, bisa menumbuhkan kesadaran dalam beribadah dan semakin memperhatikan nilai-nilai sakralitas dalam melakukannya.

BINCANG SYARIAH