Luas Tanah Haram di Makkah tak Pernah Berubah, Begitu dengan Kemuliannya

Pebimbing ibadah haji Ustadz Imam Khoiri mengatakan, luas tanah haram Arab Saudi tidak pernah berubah dari dulu sampai sekarang. Meski saat ini tanah haram sudah banyak gedung-gedung mewah seperti halnya kota metropolitan.

“Tanah haram itu terbatas dan dari dulu batasnya seperti itu, meskipun Makkah sekarang sudah berubah menjadi metropolitan dengan gedung yang sangat banyak, hotel yang megah-megah tapi tanah haram tetep arah utara sekitar 7 km selatan 13 km, ke timur 25 km ke barat 25 km,” kata Usadz Imam Khoiri saat menyampaikan tausiyah subuh kepada peserta bimbingan teknis (Bimtek) PPIH Arab Saudi, di Masjid Al-Mabrur Asrama Haji Pondok Gede, Sabtu (21/5/2022).

Ustadz Imam Khoiri menyampaikan sampai hari ini, batas tanah haram itu masih di batasi dengan tiang-tang pancang semacam patok-patok, mengelilingi tanah haram. Patok-patok itu dibuat untuk membatasi tanah haram dan bukan tanah haram. 

“Itu yang dulu ditetapkan sama nabi sampai sekarang,” katanya.

Ustadz Khoiri mengatakan, dengan adanya patok atau pembatas, bisa memudahkan menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang. Misal dilarang membunuh, merusak tanaman dan perusakan-perusakan lainnya.

“Di tanah haram itulah kemudian berlaku ke tentuan dilarang orang disitu untuk membunuh binatang dilarang di situ untuk merusak,” katanya.

Ustadz Imam Khoiri mengatakan, di tanah haram ada Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Dua tempat ini merupakan tempat yang mulia dan dimuliakan. 

“Itu adalah tempat-tempat mulia yang menjadi tujuan rombongan yang akan kita layani,” katanya.

Untuk itu para petugas harus memberikan pelayanan yang terbaik kepada para jamaah. Karena jamaah haji bukan orang biasa, karena pada saat itu posisinya dia sebagai tamu Allah SWT.

“Maka berapa jamaah haji ini satu rombongan tidak biasa, itu rombongan yang luar biasa. Maka masya Allah para pelayannya kita semua juga orang orang yang luar biasa,” katanya.

IHRAM

Hukum Mengumumkan Berita Kematian Seseorang (An-Na’yu)

Hadis-hadis yang berkaitan dengan an-na’yu

An-na’yu adalah mengumumkan atau menyebarluaskan berita kematian seseorang. Berkaitan dengan masalah an-na’yu, kita jumpai beberapa hadis yang tampaknya saling bertentangan. Sebagian hadis menunjukkan bahwa hal itu terlarang, dan sebagian yang lain membolehkan.

Hadis yang melarang adalah hadis dari sahabat Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

إِذَا مِتُّ فَلَا تُؤْذِنُوا بِي، إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ نَعْيًا، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى عَنِ النَّعْيِ

Jika aku mati, janganlah kalian mengumumkan kematianku, karena aku takut hal itu termasuk dalam an-na’yu. Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dari an-na’yu.

Hadis di atas diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 986 dan Ahmad no. 23455. At-Tirmidzi mengatakan, “Ini hadis hasan.” Dinilai hasan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (3: 117) dan juga Syekh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi.

Hadis di atas memiliki penguat dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

إِيَّاكُمْ وَالنَّعْيَ، فَإِنَّ النَّعْيَ مِنْ عَمَلِ الجَاهِلِيَّةِ

Janganlah kalian mengumumkan kematian seseorang, karena hal itu termasuk perbuatan jahiliyah.

Hadis di atas diriwayatkan oleh Tirmidzi (no. 984) secara marfu’ (disandarkan sebagai perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam). Dinilai dha’if oleh Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Al-Bukhari, dan Ad-Daruquthni. (Lihat Tahdzib At-Tahdzib, 10: 353)

Namun, terdapat pula hadis yang menunjukkan bolehnya an-na’yu, yaitu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengumumkan berita kematian Raja An-Najasyi. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengumumkan kematian An-Najasyi pada hari kematiannya. Beliau pun keluar menuju tempat salat, lalu membariskan saf, kemudian takbir empat kali.” (HR. Bukhari no. 1245 dan Muslim no. 951)

Demikian pula hadis tentang para sahabat yang memakamkan jenazah di malam hari. Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رَجُلٍ بَعْدَ مَا دُفِنَ بِلَيْلَةٍ قَامَ هُوَ وَأَصْحَابُهُ وَكَانَ سَأَلَ عَنْهُ فَقَالَ مَنْ هَذَا فَقَالُوا فُلَانٌ دُفِنَ الْبَارِحَةَ فَصَلَّوْا عَلَيْهِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengerjakan salat jenazah untuk seorang laki-laki yang telah dikebumikan pada malam hari. Beliau mengerjakannya bersama dengan para sahabatnya. Saat itu beliau bertanya tentang jenazah tersebut, ‘Siapakah orang ini?’ Mereka menjawab, ‘Si fulan, yang telah dimakamkan kemarin.’ Maka mereka menyalatkannya.” (HR. Bukhari no. 1340)

Dalam riwayat Muslim, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

أَفَلَا كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي

Mengapa kalian tidak memberitahukan kepadaku?” (HR. Muslim no. 956)

Dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyesalkan tindakan para sahabat yang tidak memberitahukan berita meninggalnya sahabat tersebut kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.

Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata ketika menjelaskan hadis tersebut, “Dalam hadis ini terdapat dalil disyariatkannya mengumumkan kematian si mayit.” (Tashiilul Ilmaam, 3: 42)

At-Tirmidzi rahimahullah mengatakan,

وَقَدْ كَرِهَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ النَّعْيَ، وَالنَّعْيُ عِنْدَهُمْ: أَنْ يُنَادَى فِي النَّاسِ أَنَّ فُلَانًا مَاتَ لِيَشْهَدُوا جَنَازَتَهُ، وقَالَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ: لَا بَأْسَ أَنْ يُعْلِمَ أَهْلَ قَرَابَتِهِ وَإِخْوَانَهُ  وَرُوِيَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ أَنَّهُ قَالَ: لَا بَأْسَ بِأَنْ يُعْلِمَ الرَّجُلُ قَرَابَتَهُ

Sebagian ulama menilai makruh an-na’yu. An-na’yu menurut mereka adalah mengumumkan dengan suara keras di tengah-tengah manusia bahwa si fulan meninggal dunia agar mereka menghadiri jenazahnya (yaitu agar mengurusi, menyalatkan, atau mendoakannya, pent.). Sebagian ulama mengatakan, ‘Tidak masalah mengumumkan (kematian) kerabat dan saudaranya.’ Dan diriwayatkan dari Ibrahim, bahwa beliau mengatakan, ‘Tidak masalah seseorang mengumumkan (kematian) kerabatnya.’” (Sunan At-Tirmidzi, 3: 303)

Karena hadis-hadis tersebut tampaknya bertentangan, maka perlu dikompromikan agar selaras dengan merinci hukum an-na’yu sebagai berikut.

Mengumumkan berita kematian yang dilarang

An-na’yu yang dilarang adalah mengumumkan berita kematian sebagaimana ciri khas jaman jahiliyah, berupa berteriak-teriak di pintu rumah, di pasar, atau dari tempat yang tinggi. Demikian pula, an-na’yu menjadi terlarang jika hal itu dilakukan sebagai sarana untuk melakukan hal-hal yang diharamkan, misalnya menampakkan kesedihan dan duka cita secara berlebihan, dan sejenis itu. (Lihat Minhatul ‘Allam, 4: 291)

Mengumumkan berita kematian yang diperbolehkan

Mengumumkan berita kematian seseorang diperbolehkan jika hal itu untuk memenuhi hak-hak si mayit. Misalnya, mengumumkan kematian seseorang dan juga mengumumkan waktu dan tempat pelaksanaan salat jenazah untuk si mayit, mendoakannya, dan juga agar kaum muslimin bisa menghadiri pemakamannya. Tentu saja, itu semua akan mendatangkan pahala bagi kaum muslimin. Juga hal itu akan bermanfaat untuk si mayit, misalnya agar wasiatnya tertunaikan, hutang-hutangnya dilunasi, dan semacamnya.

Hukum an-na’yu bisa menjadi wajib jika hal itu merupakan sarana untuk menunaikan kewajiban terhadap si mayit, misalnya memandikan si mayit, mengkafani, dan menyalatkannya. (Lihat Minhatul ‘Allam, 4: 292-293)

Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan,

“An-na’yu itu ada tiga jenis:

Pertama, mengabarkan kepada kerabat dan keluarga si mayit agar menghadiri pengurusan jenazah dan menyalatinya. Ini hukukmnya mustahab (dianjurkan). Di antara contohnya adalah an-na’yu yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Raja Najasyi agar (kaum muslimin) bisa menyalatinya.

Kedua, an-na’yu yang dimaksudkan untuk berbangga diri atau menyombongkan diri dengan banyaknya orang yang hadir. Ini adalah an-na’yu yang hukumnya makruh. Karena tidak memiliki maksud (tujuan) yang benar, akan tetapi hanya bertujuan menyombongkan diri.

Ketiga, an-na’yu yang merupakan ciri khas jahiliyah. Yaitu meratapi kepergian si mayit dan meninggikan suara (bersuara keras) untuk menyebut-nyebut kelebihan si mayit, menghitung-hitung kebaikannya, dan menyesali kepergiannya (semua itu dilakukan secara berlebihan, pent.). Ini adalah an-na’yu yang haram.” (Tashiilul Ilmaam, 3: 42-43)

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan,

النَّعْي لَيْسَ مَمْنُوعًا كُلّه , وَإِنَّمَا نُهِيَ عَمَّا كَانَ أَهْل الْجَاهِلِيَّة يَصْنَعُونَهُ فَكَانُوا يُرْسِلُونَ مَنْ يُعْلِن بِخَبَرِ مَوْت الْمَيِّت عَلَى أَبْوَاب الدُّور وَالأَسْوَاق

An-na’yu tidak terlarang semuanya. Yang terlarang adalah jika serupa dengan yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. Mereka mengutus orang untuk mengumumkan dengan suara keras tentang kematian seseorang ke rumah-rumah, gang-gang, dan pasar-pasar.” (Fathul Bari, 3: 117)

Demikian penjelasan singkat ini, semoga bermanfaat.

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/75181-hukum-mengumumkan-berita-kematian-seseorang-an-nayu.html

Tata Cara Shalat Orang Yang Sakit

Agama Islam penuh dengan kemudahan. Semua yang diperintahkan dalam Islam disesuaikan dengan kemampuan hamba. Allah Ta’ala berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah semaksimal kemampuanmu” (QS. At Taghabun: 16).

Termasuk dalam ibadah shalat, ibadah yang paling agung dalam Islam. Terdapat banyak kemudahan dan keringanan di dalamnya. Dalam kesempatan kali ini akan dibahas mengenai kemudahan dan keringanan shalat bagi orang sakit.

Orang Yang Sakit Tetap Wajib Shalat

Shalat diwajibkan kepada semua Muslim yang baligh dan berakal. Merekalah mukallaf, orang yang terkena beban syariat. Yang dibolehkan untuk meninggalkan shalat adalah orang yang bukan mukallaf, yaitu anak yang belum baligh dan orang yang tidak berakal. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

رُفعَ القلمُ عن ثلاثةٍ : عن النائمِ حتى يستيقظَ ، وعن الصبيِّ حتى يحتلمَ ، وعن المجنونِ حتى يعقِلَ

Pena (catatan amal) diangkat dari tiga jenis orang: orang yang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia baligh, dan orang gila hingga ia berakal” (HR. An Nasa-i no. 7307, Abu Daud no. 4403, Ibnu Hibban no. 143, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 3513).

Demikian juga yang dibolehkan untuk meninggalkan shalat adalah wanita haid dan nifas. Ibunda ‘Aisyah radhiallahu’anha pernah ditanya,

أَتَجْزِى إِحْدَانَا صَلاَتَهَا إِذَا طَهُرَتْ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ كُنَّا نَحِيضُ مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلاَ يَأْمُرُنَا بِهِ

Apakah kami perlu mengganti shalat kami ketika sudah suci?” ‘Aisyah menjawab, “Apakah engkau seorang wanita Haruriyah (Khawarij)? Dahulu kami mengalami haid di masa Nabi shallallahu‘alaihi wasallam, namun beliau tidak memerintahkan kami untuk menggantinya” (HR. Al Bukhari no. 321).

Ummu Salamah radhiallahu’anha juga mengatakan:

كانت النفساء تجلس على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم أربعين يوما

Dahulu wanita yang sedang nifas di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam duduk (tidak shalat) selama 40 hari” (HR. Ibnu Majah no. 530, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).

Maka kita lihat ternyata orang sakit tidak dikecualikan. Sehingga tidak ada udzur untuk meninggalkan shalat selama ia baligh, berakal, tidak haid, dan tidak nifas.

Keringanan-Keringanan Bagi Orang Yang Sakit

1. Dibolehkan untuk tidak shalat berjamaah di masjid

Shalat berjama’ah wajib bagi lelaki. Namun dibolehkan bagi lelaki untuk tidak menghadiri shalat jama’ah di masjid lalu ia shalat di rumahnya jika ada masyaqqah (kesulitan) seperti sakit, hujan, adanya angin, udara sangat dingin atau semacamnya.

Dari Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhuma:

كَانَ يَأْمُرُ مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ ، ثُمَّ يَقُولُ عَلَى إِثْرِهِ ‏‏: ” أَلَا صَلُّوا فِي ‏‏الرِّحَالِ ‏” فِي اللَّيْلَةِ الْبَارِدَةِ أَوْ الْمَطِيرَةِ فِي السَّفَرِ

Dahulu Nabi memerintahkan muadzin beradzan lalu di akhirnya ditambahkan lafadz /shalluu fii rihaalikum/ (shalatlah di rumah-rumah kalian) ketika malam sangat dingin atau hujan dalam safar” (HR. Bukhari no. 616, Muslim no. 699).

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, ia berkata:

خرجنا مع رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ في سفرٍ . فمُطِرْنا . فقال ” ليُصلِّ من شاء منكم في رَحْلِه “

Kami pernah safar bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, lalu turunlah hujan. Beliau besabda: ‘bagi kalian yang ingin shalat di rumah dipersilakan‘” (HR. Muslim no. 698).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:

صلوا في بيوتكم إذا كان فيه مشقة على الناس من جهة المطر أو الزلق في الأسواق

“Shalatlah di rumah-rumah kalian, maksudnya jika ada masyaqqah (kesulitan) yang dirasakan orang-orang, semisal karena hujan, atau jalan yang licin.”[1]

Dan kondisi sakit terkadang  menimbulkan masyaqqah untuk pergi ke masjid. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pun ketika beliau sakit parah, beliau tidak shalat di masjid, padahal beliau yang biasa mengimami orang-orang. Beliau memerintahkan Abu Bakar untuk menggantikan posisi beliau sebagai imam. ‘Aisyah radhiallahu’anha berkata:

أن رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قال في مرَضِه : ( مُروا أبا بكرٍ يصلِّي بالناسِ )

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika sakit beliau bersabda: perintahkan Abu Bakar untuk shalat (mengimami) orang-orang” (HR. Bukhari no. 7303).

Ibnu Abbas radhiallahu’anhu mengatakan:

لقد رَأيتُنا وما يتخلَّفُ عن الصَّلاةِ إلا منافقٌ قد عُلِمَ نفاقُهُ أو مريضٌ

Aku melihat bahwa kami (para sahabat) memandang orang yang tidak shalat berjama’ah sebagai orang munafik, atau sedang sakit” (HR. Muslim no. 654).

Dalil-dalil ini menunjukkan bolehnya orang yang sakit untuk tidak menghadiri shalat jama’ah.

2. Dibolehkan menjamak shalat

Menjamak shalat dibolehkan secara umum ketika ada masyaqqah (kesulitan). Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu beliau mengatakan:

جمع رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بين الظهرِ والعصرِ ، والمغربِ والعشاءِ بالمدينةِ من غيرِ خوفٍ ولا مطرٍ

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjamak shalat Zhuhur dan shalat Ashar, dan menjamak shalat Maghrib dan Isya, di Madinah padahal tidak sedang dalam ketakutan dan tidak hujan” (HR. Muslim no. 705).

Para ulama mengatakan alasan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjamak karena ada masyaqqah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

والقصر سببه السفر خاصة ، لا يجوز في غير السفر. وأما الجمع فسببه الحاجة والعذر

Dibolehkannya men-qashar shalat hanya ketika safar secara khusus, tidak boleh dilakukan pada selain safar. Adapun menjamak shalat, dibolehkan ketika ada kebutuhan dan udzur” (Majmu’ Al Fatawa, 22/293).

Maka, orang yang sakit jika sakitnya membuat ia kesulitan untuk shalat pada waktunya masing-masing, dibolehkan baginya untuk menjamak shalat.

3. Dibolehkan shalat sambil duduk jika tidak mampu berdiri

4. Dibolehkan shalat sambil berbaring jika tidak mampu duduk

Jika orang yang sakit masih sanggup berdiri tanpa kesulitan, maka waijb baginya untuk berdiri. Karena berdiri adalah rukun shalat. Shalat menjadi tidak sah jika ditinggalkan. Dalil bahwa berdiri adalah rukun shalat adalah hadits yang dikenal sebagai hadits al musi’ shalatuhu, yaitu tentang seorang shahabat yang belum paham cara shalat, hingga setelah ia shalat Nabi bersabda kepadanya:

ارجِعْ فَصَلِّ فإنك لم تُصلِّ

Ulangi lagi, karena engkau belum shalat

Menunjukkan shalat yang ia lakukan tidak sah sehingga tidak teranggap sudah menunaikan shalat. Kemudian Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengajarkan shalat yang benar kepadanya dengan bersabda:

إذا قُمتَ إلى الصَّلاةِ فأسْبِغ الوُضُوءَ، ثم اسْتقبل القِبْلةَ فكبِّر…

Jika engkau berdiri untuk shalat, ambilah wudhu lalu menghadap kiblat dan bertakbirlah…” (HR. Bukhari 757, Muslim 397).

Namun jika orang yang sakit kesulitan untuk berdiri dibolehkan baginya untuk shalat sambil duduk, dan jika kesulitan untuk duduk maka sambil berbaring. Dari Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

كانتْ بي بَواسيرُ ، فسأَلتُ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم عنِ الصلاةِ ، فقال : صَلِّ قائمًا ، فإن لم تستَطِع فقاعدًا ، فإن لم تستَطِعْ فعلى جَنبٍ

Aku pernah menderita penyakit bawasir. Maka ku bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengenai bagaimana aku shalat. Beliau bersabda: shalatlah sambil berdiri, jika tidak mampu maka shalatlah sambil duduk, jika tidak mampu maka shalatlah dengan berbaring menyamping” (HR. Al Bukhari, no. 1117).

Dalam riwayat lain disebutkan tambahan:

فإن لم تستطع فمستلقياً

Jika tidak mampu maka berbaring telentang

Tambahan riwayat ini dinisbatkan para ulama kepada An-Nasa`i namun tidak terdapat dalam Sunan An-Nasa`i. Namun para ulama mengamalkan tambahan ini, yaitu ketika orang sakit tidak mampu berbaring menyamping maka boleh berbaring terlentang.

5. Dibolehkan shalat semampunya jika kemampuan terbatas

Jika orang yang sakit sangat terbatas kemampuannya, seperti orang sakit yang hanya bisa berbaring tanpa bisa menggerakkan anggota tubuhnya, namun masih berisyarat dengan kepala, maka ia shalat dengan sekedar gerakan kepala.

Dari Jabir radhiallahu’anhu beliau berkata:

عاد صلى اللهُ عليهِ وسلَّمَ مريضًا فرآه يصلي على وسادةٍ ، فأخذها فرمى بها ، فأخذ عودًا ليصلي عليه ، فأخذه فرمى به ، وقال : صلِّ على الأرضِ إن استطعت ، وإلا فأوم إيماءً ، واجعل سجودَك أخفضَ من ركوعِك

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam suatu kala menjenguk orang yang sedang sakit. Ternyata Rasulullah melihat ia sedang shalat di atas bantal. Kemudian Nabi mengambil bantal tersebut dan menjauhkannya. Ternyata orang tersebut lalu mengambil kayu dan shalat di atas kayu tersebut. Kemudian Nabi mengambil kayu tersebut dan menjauhkannya. Lalu Nabi bersabda: shalatlah di atas tanah jika kamu mampu, jika tidak mampu maka shalatlah dengan imaa` (isyarat kepala). Jadikan kepalamu ketika posisi sujud lebih rendah dari rukukmu“ (HR. Al Baihaqi dalam Al Kubra 2/306, dishahihkan Al Albani dalam Shifatu Shalatin Nabi, 78).

Makna al-imaa` dalam Lisanul Arab disebutkan:

الإيماءُ: الإشارة بالأَعْضاء كالرأْس واليد والعين والحاجب

Al-Imaa` artinya berisyarat dengan anggota tubuh seperti kepala, tangan, mata, dan alis.”

Syaikh Muhammad bin Shalih Al- ‘Utsaimin mengatakan:

فإن كان لا يستطيع الإيماء برأسه في الركوع والسجود أشار في السجود بعينه، فيغمض قليلاً للركوع، ويغمض تغميضاً للسجود

“Jika orang yang sakit tidak sanggup berisyarat dengan kepala untuk rukuk dan sujud maka ia berisyarat dengan matanya. Ia mengedipkan matanya sedikit ketika rukuk dan mengedipkan lebih banyak ketika sujud.” [2]

6. Dibolehkan tidak menghadap kiblat jika tidak mampu dan tidak ada yang membantu

Menghadap kiblat adalah syarat shalat. Orang yang sakit hendaknya berusaha tetap menghadap kiblat sebisa mungkin. Atau ia meminta bantuan orang yang ada disekitarnya untuk menghadapkan ia ke kiblat. Jika semua ini tidak memungkinkan, maka ada kelonggaran baginya untuk tidak menghadap kiblat. Syaikh Shalih Al-Fauzan menyatakan:

والمريض إذا كان على السرير فإنه يجب أن يتجه إلى القبلة إما بنفسه إذا كان يستطيع أو بأن يوجهه أحد إلى القبلة، فإذا لم يستطع استقبال القبلة وليس عنده من يعينه على التوجه إلى القبلة، يخشى من خروج وقت الصلاة فإنه يصلي على حسب حاله

“Orang yang sakit jika ia berada di atas tempat tidur, maka ia tetap wajib menghadap kiblat. Baik menghadap sendiri jika ia mampu atau pun dihadapkan oleh orang lain. Jika ia tidak mampu menghadap kiblat, dan tidak ada orang yang membantunya untuk menghadap kiblat, dan ia khawatir waktu shalat akan habis, maka hendaknya ia shalat sebagaimana sesuai keadaannya”[3]

Tata Cara Shalat Bagi Orang Sakit

Orang yang sakit tentunya memiliki keadaan yang beragam dan bervariasi, sehingga tidak memungkinkan kami merinci tata cara shalat untuk semua keadaan yang mungkin terjadi pada orang sakit. Namun prinsip dasar dalam memahami tata cara orang sakit adalah hendaknya orang sakit berusaha sebisa mungkin menepati tata cara shalat dalam keadaan sempurna, jika tidak mungkin maka mendekati sempurna. Allah Ta’ala berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah semaksimal kemampuanmu” (QS. At Taghabun: 16).

Nabi Shallallahu’alahi Wasallam bersabda:

سدِّدوا وقارِبوا

Berbuat luruslah, (atau jika tidak mampu maka) mendekati lurus” (HR. Bukhari no. 6467).

Kaidah fikih yang disepakati ulama:

ما لا يدرك كله لا يترك كله

“Sesuatu yang tidak bisa digapai semuanya, maka tidak ditinggalkan semuanya”

Berikut ini tata cara shalat bagi orang yang kami ringkaskan dari penjelasan Syaikh Sa’ad bin Turki Al-Khatslan[4] dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin [5]:

1. Tata cara shalat orang yang tidak mampu berdiri

Orang yang tidak mampu berdiri, maka shalatnya sambil duduk. Dengan ketentuan sebagai berikut:

  • Yang paling utama adalah dengan cara duduk bersila. Namun jika tidak memungkinkan, maka dengan cara duduk apapun yang mudah untuk dilakukan.
  • Duduk menghadap ke kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak mengapa.
  • Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan berdiri. Yaitu tangan di angkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri.
  • Cara rukuknya dengan membungkukkan badan sedikit, ini merupakan bentuk imaa` sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua telapak tangan di lutut.
  • Cara sujudnya sama sebagaimana sujud biasa jika memungkinkan. Jika tidak memungkinkan maka, dengan membungkukkan badannya lebih banyak dari ketika rukuk.
  • Cara tasyahud dengan meletakkan tangan di lutut dan melakukan tasyahud seperti biasa.

2. Tata cara shalat orang yang tidak mampu duduk

Orang yang tidak mampu berdiri dan tidak mampu duduk, maka shalatnya sambil berbaring. Shalat sambil berbaring ada dua macam:

a. ‘ala janbin (berbaring menyamping)

Ini yang lebih utama jika memungkinkan. Tata caranya:

  • Berbaring menyamping ke kanan dan ke arah kiblat jika memungkinkan. Jika tidak bisa menyamping ke kanan maka menyamping ke kiri namun tetap ke arah kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak mengapa.
  • Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan berdiri. Yaitu tangan di angkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri.
  • Cara rukuknya dengan menundukkan kepala sedikit, ini merupakan bentuk imaa` sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
  • Cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak dari ketika rukuk. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
  • Cara tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut namun jari telunjuk tetap berisyarat ke arah kiblat.

b. mustalqiyan (telentang)

Jika tidak mampu berbaring ‘ala janbin, maka mustalqiyan. Tata caranya:

  • Berbaring telentang dengan kaki menghadap kiblat. Yang utama, kepala diangkat sedikit dengan ganjalan seperti bantal atau semisalnya sehingga wajah menghadap kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak mengapa.
  • Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan berdiri. Yaitu tangan diangkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri.
  • Cara rukuknya dengan menundukkan kepala sedikit, ini merupakan bentuk imaa` sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
  • Cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak dari ketika rukuk. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
  • Cara tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut namun jari telunjuk tetap berisyarat ke arah kiblat.

3. Tata cara shalat orang yang tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya (lumpuh total)

Jika tidak mampu menggerakan anggota tubuhnya namun bisa menggerakkan mata, maka shalatnya dengan gerakan mata. Karena ini masih termasuk makna al-imaa`. Ia kedipkan matanya sedikit ketika takbir dan rukuk, dan ia kedipkan banyak untuk sujud. Disertai dengan gerakan lisan ketika membaca bacaan-bacaan shalat. Jika lisan tidak mampu digerakkan, maka bacaan-bacaan shalat pun dibaca dalam hati.

Jika tidak mampu menggerakan anggota tubuhnya sama sekali namun masih sadar, maka shalatnya dengan hatinya. Yaitu ia membayangkan dalam hatinya gerakan-gerakan shalat yang ia kerjakan disertai dengan gerakan lisan ketika membaca bacaan-bacaan shalat. Jika lisan tidak mampu digerakkan, maka bacaan-bacaan shalat pun dibaca dalam hati.

Demikian, semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan ‘afiyah dan salamah kepada pembaca sekalian, dan semoga Allah senantiasa menolong kita untuk tetap dapat beribadah dalam kondisi sakit. Wallahu waliyyu dzalika wal qadiru ‘alaihi.

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/37763-tata-cara-shalat-orang-yang-sakit.html

Inilah Tutorial Shalat Bagi Orang yang Sakit

Shalat merupakan ibadah paling sakral dalam Islam untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Shalat wajib bagi setiap muslim, kendati pun dalam keadaan sakit. Nah berikut tutorial shalat bagi orang sakit. 

Di dalamnya terdapat beberapa ketentuan yang sistematis dan simbol yang sangat agamis, serta wujud permohonan seorang hamba kepada Tuhannya. Oleh karena itu, shalat memiliki beberapa kewajiban yang harus dipenuhi sebelum melakukannya.

Kewajiban itu sebagai suatu bukti kelayakan seorang hamba ketika hendak mendekatkan diri kepada Tuhannya. Tidak sembarang pakai, juga tidak sembarang gerakan dan ucapan.

Semuanya harus dilakukan dengan penuh hati-hati disertai kesadaran diri bahwa ia sedang berusaha untuk bisa dekat dengan-Nya. Tentu, semua yang dipakai tidak hanya sebatas suci, namun harus layak dan pantas ketika digunakan untuk menghadap kepada-Nya.

Di antara kewajiban yang harus dipenuhi sebelum melakukan shalat adalah harus suci dari hadas kecil dan besar, menutup aurat, dilakukan di tempat yang suci dan menghadap kiblat. Setelah semua itu terpenuhi, ia diperbolehkan melakukan shalat.

Namun, shalat yang dilakukan tidak sekadar gerakan biasa dan bacaan biasa pula, ia harus melakukan gerakan-gerakan yang sesuai dengan ketentuan shalat, dan membaca beberapa bacaan yang sudah menjadi ketentuannya.

Tutorial Shalat Orang Sakit

Lantas, bagaimana praktik shalat bagi orang-orang yang sedang sakit? Apakah harus melakukan semua itu? Atau ada opsi lain baginya?

Sahabat Bincang Syariah yang dirahmati Allah, dalam ajaran Islam tidak ada istilah paksaan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak bisa dilakukan oleh pemeluknya.

Islam merupakan ajaran yang santun, tidak memberatkan, tidak pula memaksa. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, yaitu:

لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلا وُسْعَهَا

Artinya, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (kemampuannya).” (QS. Al-Baqarah [2]: 286)

Islam mewajibkan shalat bagi semua pemeluknya, baik laki-laki, maupun perempuan. Namun, Islam tidak membebani mereka dengan melakukan semua syarat dan rukunnya ketika tidak mampu untuk menyempurnakan semua itu, seperti orang sakit.

Dalam Islam, mereka tetap memiliki kewajiban shalat, namun tidak dituntut untuk menyempurnakan semua rukuannya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:

صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ وإلا فَأَوْمِئْ

Artinya, “Shalatlah kamu dengan cara berdiri. Jika tidak mampu, maka dengan cara duduk. Jika tidak mampu, maka dengan cara berbaring. Jika tidak mampu, maka tidur terlentang.” (HR. Abu Hurairah).

Hadits ini merupakan salah satu pedoman bagi orang-orang sakit yang tidak bisa memenuhi semua syarat dan rukunnya.

Misalnya, di antara syarat shalat adalah harus berdiri, maka mereka yang tidak mampu tidak usah risau, karena juga boleh melakukan dengan cara duduk, bahkan bisa juga melakukan sambil berbaring jika sakitnya benar-benar parah.

Tata Cara Shalat Duduk

Sahabat Bincang Syariah, duduk dalam shalat merupakan pengganti dari salah satu rukun shalat, yaitu berdiri. Dalam hal ini, para ulama tidak memberikan ketentuan perihal posisi duduk tersebut, sehingga seseorang boleh duduk dengan cara iftirasy (duduk sebagaimana tasyahhud awwal), bisa juga duduk di atas kursi, namun yang utama adalah duduk iftirasy.

Nah, sahabat Bincang Syariah, orang yang shalat dengan cara duduk di atas kursi, tetapi masih mampu rukuk dan sujud sebagaimana mestinya, maka wajib melakukan rukuk dan sujud. Sebab, bagi orang yang mampu rukuk dan sujud, tidak cukup hanya sebatas isyarat membungkuk dengan tetap duduk di kursi.

Bahkan jika duduk di lantai dengan posisi apapun, ia malah mampu melakukan rukuk dan sujud dengan sempurna. Tetapi jika duduk di kursi tidak dapat turun dari kursi untuk sujud di lantai, maka ia wajib duduk di lantai dan tidak diperbolehkan duduk di kursi.

Kewajiban duduk di lantai berlaku bagi orang yang dapat melakukan sujud dengan sempurna, dengan alasan tidak mampu bangun untuk berdiri agar dapat duduk di kursi. Sebab baginya, duduk di kursi justru meninggalkan rukun asli (sujud dengan sempurna).

Dengan demikian, orang yang terakhir ini disebut meninggalkan rukun asli (sujud dengan sempurna) demi mendapatkan posisi rukun pengganti (duduk di kursi), padahal antara duduk di kursi dan di lantai tidak berbeda, sebab keduanya sama-sama rukun pengganti berdiri.

فَإِذَا كَانَ يَقْدِرُ عَلَى الْقِيَامِ إلَى قَدْرِ الْفَاتِحَةِ ثُمَّ يَعْجِزُ قَدْرَ السُّورَةِ قَامَ إلَى تَمَامِ الْفَاتِحَةِ ثُمَّ قَعَدَ حَالَ قِرَاءَةِ السُّورَةِ ثُمَّ قَامَ لِلرُّكُوعِ وَهَكَذَا 

Artinya, “Kemudian, jika seseorang mampu berdiri sampai kadar bacaan Al-Fatihah, kemudian lemah (tidak mampu) dalam kadar bacaan surat, maka ia wajib berdiri sampai bacaan Al-Fatihah-nya sempurna.

Kemudian duduk ketika membaca surat, kemudian berdiri lagi untuk melakukan rukuk dan seterusnya,”(Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, [Mesir, Maktabah Tijariyyah Kubro: 1357 H/1983 M], juz II, halaman 21).

Kesimpulannya, orang sakit yang tidak bisa shalat dengan cara berdiri, maka boleh baginya untuk melakukan shalat duduk, baik di lantai atau di atas kursi.

Syarat dan rukunnya sebagaimana shalat pada umumnya, yaitu diawali dengan takbiratul ihram dan niat, kemudian membaca surat Al-Fatihah, dilanjut dengan membaca surat pendek.

Setelah itu rukuk. Praktiknya, jika bisa rukuk dengan sempurna, maka harus dilakukan dengan sempurna. Jika tidak, maka sudah cukup baginya dengan sekadar menundukkan kepala. Setelah itu berdiri semula dan diteruskan dengan sujud.

Sedangkan praktik sujud bagi orang yang sakit, jika bisa melakukan sujud dengan sempurna, maka harus dilakukan dengan sempurna. Jika tidak, maka cukup baginya untuk menundukkan kepala, namun harus lebih rendah dari rukuk yang dilakukan sebelumnya.

Ketika Tidak Mampu Duduk

Lantas, bagaimana jika seseorang yang hendak melaksanakan shalat tidak mampu untuk berdiri dan duduk?

Sahabat Bincang Syariah tidak perlu risau nih ya, karena dalam Islam sudah ada cara dan solusinya masing-masing. (Baca juga: Pengertian Shalat untuk Menghormati Waktu)

Sesuai dengan hadis riwayat Bukhari sebelumnya, jika seseorang tidak mampu untuk berdiri dan duduk, maka diperbolehkan untuk tidur sambal tidur menyamping (yang utama menyamping pada sisi kanan). Dan jika tidak mampu melakukan shalat dengan cara tidur menyamping, maka diperbolehkan untuk tidur terlentang.

Tata Cara Shalat Tidur Menyamping

Adapun tata cara shalat dengan tidur menyamping sebagai berikut:

  1. Berbaring menyamping ke kanan dan ke arah kiblat jika memungkinkan. Jika tidak bisa menyamping ke kanan maka boleh menyamping ke kiri, namun tetap ke arah kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak mengapa.
  2. Bertakbir dan bersedekap sama seperti saat mengerjakan shalat pada umumnya.
  3. Sedangkan untuk rukuknya, cukup dengan menundukkan kepala sedikit, dan kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
  4. Untuk cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak daripada ketika rukuk. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
  5. Cara tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut namun jari telunjuk tetap berisyarat ke arah kiblat.
Tata Cara Shalat Tidur Terlentang
  1. Berbaring telentang dengan kaki menghadap kiblat. Yang utama, kepala diangkat sedikit dengan ganjalan seperti bantal atau semisalnya, sehingga wajah menghadap kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak mengapa.
  2. Bertakbir dan bersedekap sama seperti saat mengerjakan shalat pada umumnya.
  3. Untuk rukuknya, cukup dengan menundukkan kepala sedikit, dan kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
  4. Sedangkan untuk cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak daripada ketika rukuk. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
  5. Cara tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut namun jari telunjuk tetap berisyarat ke arah kiblat.

Sahabat Bincang Syariah rahimakumullah, demikian tata cara atau tutorial shalat orang sakit. Semoga bermanfaat dan bisa melakukan ibadah dengan sempurna.

BINCANG SYARIAH

Doa Nabi Ibrahim untuk Cepat Pergi Haji

Alquran surat Al-Baqarah ayat 128 mengabadikan doa Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Ismail. Doa ini bagus dipanjatkan bagi setiap orang yang beriman yang ingin cepat dipanggil Allah sebagai tamunya (bisa berangkat haji).

رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا ۖ إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Rabbana waj’alna muslimaini laka wamin dzurriyyatina ummatan muslimatan laka wa arina manasikana watub ‘alaina innaka antat-tauwwabur rahim”

Artinya. “Wahai Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang taat kepada-Mu, begitu pula anak keturunan kami. Jadikanlah mereka ummat Islam, ajarkanlah cara-cara beribadah haji kepada kami, ampunilah dosa-dosa kami. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang kepada semua makhluq-Mu.”

Ustaz Rafiq Jauhary Lc mengatakan, doa itu juga baik digunakan umat Islam yang ingin segera berangkat ke baitullah. Karena dalam doa itu ada kalimat “ajarkanlah cara-cara beribadah haji kepada kami”

“Doa ini juga boleh dibacakan untuk para jamaah dan calon jamaah haji,” katanya melalui tausiyah darinya, Kamis (15/4).

Ustaz Rafiq yang juga pemilik travel haji dan umrah Taqwa Tours mengatakan ada banyak hikmah yang dapat dipetik dari doa Nabi Ibrahim bersama dengan putranya, Nabi Ismail. Setidaknya ada tiga permohonan penting yang disampaikan dalam doa beliau berdua. Pertama, memohon agar menjadikan mereka dan anak turunnya tetap istiqamah dalam keislaman. Inilah doa yang selalu dipanjatkan oleh hampir setiap Nabi.

“Karena di antara amanah terberat bagi seorang kepala keluarga adalah menjaga anggota keluarganya agar tidak terjerumus dalam siksa neraka; tentu caranya dengan mengamalkan Islam secara kaffah,” katanya.

Kedua, memohon kepada Allah agar diberi ilmu dalam menjalankan ibadah. Ilmu menjadi hal yang penting karena tanpanya perjuangan untuk menjalankan ibadah seberat apapun sangat beresiko membuatnya tertolak, sia-sia. Ketiga taubat. Sangat mungkin seorang yang telah berilmu pun memiliki peluang berbuat kesalahan.

Ustaz Rafiq mengatakan, Nabi Ibrahim mengajak putranya dan mengajarkan bagaimana beribadah dan berdoa. Nabi Ibrahim juga menjelaskan apa visi besar yang diusung dalam keluarga.

“Hal ini sangat penting mengingat visi haruslah disampaikan dalam keluarga dan diperjuangkan bersama,” katanya.

IHRAM dari BPKH

Simak! Inilah 6 Rukun Haji yang Perlu Kamu Tahu

Haji merupakan ibadah yang paling dinanti dan diinginkan untuk dilaksanakan oleh setiap muslim di dunia, termasuk umat muslim Indonesia. Karena selain membutuhkan biaya yang besar serta syarat-syarat yang seabrek, dengan melaksanakan ibadah haji seorang muslim dikatakan telah menyempurnakan rukun Islamnya. 

Dalam ibadah Haji sendiri, seperti halnya ibadah lainnya, tentu memiliki syarat, rukun serta kewajiban yang harus dipenuhi agar ibadah haji seorang muslim dianggap sah. 

Sebagai catatan, dalam haji, terdapat rukun dan wajib haji, di mana keduanya merupakan hal yang berbeda. Dan implikasi ketika sengaja atau tidaknya seseorang meninggalkannya pun berbeda.

Seseorang yang meninggalkan salah satu rukun haji, maka ia tidak diperkenankan untuk tahallul dan selesai dari rangkaian ibadah haji sehingga ia melakukannya dan tidak bisa diganti dengan membayar dam.

Dalam artian, jika seseorang meninggalkannya hajinya batal dan wajib untuk mengqadha nya, beda halnya dengan wajib haji yang dapat diganti dengan membayar dam. 

Lantas apa sajakah rukun-rukun haji tersebut?.

Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazi dalam kitabnya “Fath al-Qarib” hal 145 cet: Dar Ibnu Hazm, menyebutkan ada empat hal yang sekiranya masuk ke dalam rukun haji dengan jika menjadikan “halq aw at-Taqsir” (mencukur atau menggunting rambut) ke dalam bagian wajib haji serta tartib ke dalam syarat haji, bukan bagian rukun haji. 

Namun dalam qaul muktamad keduanya termasuk ke dalam bagian rukun haji sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam al-Bajuri dalam kitabnya “Hasyiyah al-Bajuri” hal 490 cet: Dar al-Minhaj.

6 Macam Rukun Haji

Pertama, Ihram disertai dengan niat masuk dalam rangkaian ibadah haji. Dalam ihram seorang muslim dianjurkan untuk melaksanakannya ketika benar-benar “tawajjuh”, dalam haji dan menentukan niat ihramnya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam al-Bajuri dalam kitabnya “Hasyiyah al-Bajuri” hal 491 berikut:

والأفضل: أن يحرم إذا توجه لطريقه, وأن يعين في إحرامه الذي يحرم به من حج أو عمرة أو كليهما, فإن أطلق بأن قال: نويت الاحرام ولم يعين: فإن كان في أشهر الحج صرفه لما شاء من النسكين, أو كليهما إن لم يفت وقت الحج, فإن فات صرفه للعمرة, وإن كان في غير أشهره انعفد عمرة على الاصح, لان الوقت لا يقبل غير العمرة, فلا يصرفه إلى الحج

Yang utama: seorang yang akan melaksanakan haji hendaknya berihram ketika akan tawajjuh, menghadap jalan haji, hendaknya ia juga menentukan dalam ihramnya apakah ia ihram haji, umrah atau keduanya. Ketika ia memutlakkan dalam niat dengan mengucapkan:

“saya niat ihram” dan tidak menentukan ihramnya, jika masih dalam bulan haji maka ia boleh memalingkannya terhadap ibadah yang ia kehendaki dari keduanya, atau (hendak melaksanakan) keduanya jika waktu haji belum terlewat. 

Jika telah terlewat maka ia palingkan terhadap umrah. Dan jika niat tersebut dilakukan pada selain bulan haji maka otomatis menjadi niat umrah menurut qaul yang paling shahih, karena waktu tersebut yang tidak menerima selain umrah, dan tidak bisa ia dipalingkan terhadap haji kecuali dalam bulannya”.

Kedua, Wuquf di Arafah. Sebagaimana yang maklum diketahui dari khabar “al-Hajj Arafah”, haji itu Arafah. Wuquf di Arafah menjadi bagian dari rukun haji.

Disyaratkan dalam wuquf di Arafah untuk hadirnya seorang yang sedang melaksanakan ihram haji (meski sebentar) setelah matahari tergelincir pada hari Arafah, tanggal 09 Dzulhijjah. Waktu wukuf tersebut sampai pada fajar hari raya Idul Adha, 10 Dzulhijjah.

Ketiga, Tawaf mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh putaran. Dengan ketentuan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Bajuri.

Tawaf yang dilakukan sebanyak tujuh kali,  menjadikan Ka’bah di sisi kirinya, memulai dari dan sejajar dengan Hajar Aswad, masih dalam ruang lingkup masjidil haram, niat tawaf, tidak memalingkan tawaf untuk yang lain, menutup auarat dan suci dari hadas kecil, besar dan najis.

Keempat, Sa’i antara Safa dan Marwa’ . Dengan ketentuan, dilaksanakan sebanyak tujuh kali, memulainya dari Safa dan mengakhirinya pada Marwa (pergi-pulang dihitung dua kali) dan dilaksanakan setelah tawaf rukun atau qudum dengan syaratnya yang harus terpenuhi.

Kelima, mencukur atau menggunting rambut. Sebagaimana yang telah disebutkan dengan mengacu pada qaul muktamad dengan menjadikannya sebagai bagian dari rukun haji.

Yang paling utama bagi laki-laki dalam hal ini ialah mencukur habis rambutnya dengan mesin potong rambut. Sedangkan bagi perempuan untuk mengguntingnya saja (taqsir). Dengan ketentuan paling sedikit menghilangkan tiga rambut dari kepala.

Keenam, tertib di antara rukun-rukun haji

Demikian penjelasan terkait macam-macam rukun haji. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Bagaimana Jika Meninggal Saat Antre Daftar Tunggu Haji?

Seperti telah diketahui bahwa bagi masyarakat Indonesia yang memiliki dana untuk berhaji tidak lantas bisa langsung melaksanakan ibadah haji ke tanah suci.  Ada masa tunggu haji atau waktu tunggu haji yang harus dipenuhi pendaftar calon jemaah haji untuk bisa berangkat haji dengan jalur reguler.  Lantas, bagaimana jika meninggal saat antre daftar tunggu haji?

Dalam literatur kitab fikih, mampu adalah syarat mutlak diwajibkannya haji. Sehingga bagi umat Muslim yang telah memiliki finansial yang cukup, sehat fisiknya dan adanya jaminan keamanan dalam perjalanan, maka ia telah wajib untuk menunaikan ibadah haji ke baitullah. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 97 berikut,

 وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ 

Artinya, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam,” 

Seseorang yang telah mampu disunnahkan untuk segera menunaikan ibadah haji. Tetapi boleh baginya untuk menundanya, hanya saja ia harus sudah punya niat yang kuat dan rencana untuk menunaikannya di waktu mendatang. Sebagaimana dalam kitab Alfiqh Almanhaji Ala Madzhab Al Imam Al Syafii berikut,

مذهب الشافعي رحمه الله تعالى أن الحج والعمرة لا يجبان على الفور، بل ، بل يصح تأخيرهما لأن العمر كله زمان لأدائهما، لكن بشرط العزم على الفعل في المستقبل، وهذا لا ينافي أنه يُسن أداؤهما عقب الوجوب فوراً مبادرة إلى براءة ذمته، ومسارعة في طاعة ربه،

Artinya : “Menurut pendapat imam Syafii rahimahullahu ta’aala bahwa haji dan umrah tidak wajib dilaksanakan dengan segera, bahkan sah menundanya, karena seluruh umur itu adalah waktu untuk melaksanakan haji dan umrah.

Tetapi (boleh menundanya) dengan syarat adanya tekad yang kuat untuk melaksanakannya di masa yang akan datang. 

Hal ini tidak menafikan bahwa disunnahkan melaksanakan haji dan umrah dengan segera setelah adanya kewajiban (mampu secara materi, fisik dan keamanan), karena agar ia segera terbebas dari tanggungannya dan bersegera dalam melaksanakan keataan kepada Tuhannya.”

Meninggal dalam Masa Daftar Tunggu Haji

Namun demikian, orang yang sedang mengalami masa antrean daftar tunggu lalu wafat sebelum haji tidak dihukumi berdosa karena terbilang belum istitha’ah atau mampu pergi haji. Sebagaimana keterangan Syekh Abdul Wahhab As-Sya’rani dalam kitab Al-Mizanul Kubra, juz 2, halaman 29 berikut,

 وَاتَّفَقُوْا عَلَى مَنْ لَزِمَهُ الْحَجُّ فَلَمْ يَحُجَّ وَمَاتَ قَبْلَ التَّمَكُّنِ مِنْ أَدَائِهِ سَقَطَ عَنْهُ الْفَرْضُ 

Artinya, “Para ulama sepakat bahwa orang yang sudah berkewajiban haji, lalu belum melakukannya dan mati sebelum berkemungkinan melakukannya, maka kewajiban haji itu gugur darinya,” 

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa orang yang sedang mengalami masa antrean daftar tunggu lalu wafat sebelum haji tidak dihukumi berdosa karena terbilang belum istitha’ah atau mampu pergi haji.

Demikian penjelasan mengenai bagaimana jika meninggal saat antre daftar tunggu haji. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Jamaah Haji Indonesia Diimbau Antisipasi Cuaca Panas di Tanah Suci

Pada puncak pelaksanaan haji diperkirakan suhu panas mencapai 49 derajat Celcius.

Kepala Sub-direktorat Bina Petugas Haji Kementerian Agama, Suvianto, mengimbau jamaah haji Indonesia mengantisipasi efek cuaca panas di Tanah Suci pada masa pelaksanaan ibadah haji tahun 1443 Hijriah/2022 Masehi. Dia mengatakan, pada puncak pelaksanaan ibadah haji suhu udara di Tanah Suci diprakirakan mencapai 48 sampai 49 derajat Celsius, karenanya jamaah haji perlu menjaga kondisi tubuh dengan mengatur aktivitas dan memperhatikan konsumsi air minum.

“Perlu diketahui juga puncak ibadah bulan Juli, musim panas, jangan terlalu banyak aktivitas, karena ada puncak ibadah. Jangan banyak aktivitas di luar, banyak air minum,” katanya di Jakarta, Sabtu (21/5/2022).

Selain mengatur aktivitas, ia mengatakan, anggota jamaah haji disarankan menerapkan pola hidup sehat agar tubuh tetap bugar sebelum puncak ibadah haji, wukuf di Arafah. Kementerian Kesehatan mencatat angka kematian jamaah haji Indonesia dalam 10 tahun terakhir tercatat dua orang per mil atau per seribu dan kelelahan termasuk salah satu faktor yang menyebabkan kematian anggota jamaah haji.

Karena itu, anggota jamaah haji diimbau memperhatikan kondisi tubuh selama menunaikan ibadah di Tanah Suci agar tidak sampai kelelahan dan jatuh sakit. Pemerintah Indonesia mendapat kuota memberangkatkan 100.051 orang ke Tanah Suci di Arab Saudi pada musim haji 2022.

Kuota jamaah haji 2022 mencakup 92.825 orang anggota jamaah haji reguler, 7.226 orang anggota jamaah haji khusus, dan 1.901 orang petugas. Jamaah haji dalam kelompok terbang pertama menurut jadwal diberangkatkan ke Kota Madinah di Arab Saudi pada 4 Juni 2022.sumber : Antara

khazanah republika

Tips Menjaga Kesehatan Saat Cuaca Ekstrem Bagi Jamaah Haji Ketika Berada di Arab Saudi

Cuaca pada operasional haji tahun ini akan terjadi panas ekstrem. Untuk itu masing-masing jamaah harus mengetahui bagaimana cara menjaga kesehatan.

 Anggota tim promosi kesehatan (promkes) PPIH Arab Saudi, Dian Septika Sari menyampaikan, sedikitnya ada delapan hal penting yang harus dilakukan jamaah haji menghadapi cuaca panas. Di antaranya:

Pertama, menjaga asupan makanan dan minuman yang cukup. Minum minimal 2 liter perhari. Menurutnya, terkadang sebagian jamaah terlalu fokus beribadah sehingga melupakan asupan makan dan minum. 

“Padahal tubuh memerlukan energi dari makanan dan cairan yang cukup,” kata Dian saat menyampaikan tips menjaga kesehatan dari cuaca panas, Rabu (18/5/2022)

Kedua, sedapat mungkin hindari paparan sinar matahari ke tubuh secara langsung. Misalnya dengan menggunakan payung atau penutup kepala, serta berusaha untuk tawaf di area dalam masjidil haram yang terlindung dari sinar matahari langsung. 

“Hal ini dapat dilakukan jika benar-benar tidak kuat panas saat tawaf di areal terbuka di sekitar Ka’bah,” katanya.

Ketiga, pada saat melaksanakan Ibadah wukuf di arafah pun sebaiknya tetap tinggal dalam tenda. Jangan berdiam diri di tanah lapang luar tenda tanpa ada keperluan yang mendesak. 

“Begitu pula pada saat perjalanan untuk melempar jumrah. Sebaiknya menggunakan payung untuk terhindar dari paparan sinar matahari langsung,” katanya.

Keempat, pilihlah waktu beribadah di mana suhu yang dirasakan tidak terlalu panas. Misalnya lakukanlah tawaf dan melempar jumrah pada pagi atau sore hari di saat suhu udara yang dirasakan lebih dingin daripada siang hari.

Kelima, sediakan selalu bekal air minum saat sedang beribadah, jangan menunggu sampai HAUS. Sebagian jamaah haji kurang memperhatikan asupan air minumnya. Bisa jadi karena malas untuk ke kamar kecil dan malas untuk berwudhu kembali. 

“Perlu diperhatikan bahwa kondisi dehidrasi (kekurangan cairan tubuh) adalah kondisi yang sangat berbahaya terutama di saat cuaca panas yang ekstrem,” katanya.

Enam, sediakan sprayer atau botol penyemprot air. Jika suhu yang dirasakan sudah sedemikian menyengat, maka kita bisa menyemprotkan air ke bagian tubuh kita terutama bagian kepala, leher, dan bahu untuk menurunkan suhu tubuh kita. 

“Penyemprotan dapat dilakukan sesering mungkin terutama saat bagian tubuh yang basah sudah mengering kembali,” katanya.

Ketujuh, melakukan perlindungan kulit dari kekeringan dan iritasi yang diakibatkan oleh paparan sinar matahari dengan krim pelembab dan perlindungan dari sinar UV. Dan kedelapan jika mengalami tanda dan gejala dehidrasi, segera hubungi petugas kesehatan terdekat.

IHRAM

Arab Saudi akan Terima 1 Juta Jamaah Haji Pada tahun 2022

Jamaah haji harus menunjukan tes negatif melalui PCR sebelum berangkat.

Satu juta peziarah akan diizinkan untuk melakukan haji pada tahun 2022, menurut otoritas Saudi.

Seperti dilansir Saudigazette, Jumlah yang menghadiri acara tahunan itu sangat berkurang dalam dua tahun sebelumnya untuk memerangi pandemi virus corona.

Syarat lainnya, peziarah haji harus berusia di bawah 65 tahun. Selain itu harus memiliki vaksinasi COVID-19 yang disetujui oleh kementerian kesehatan Kerajaan.

Semua peziarah harus menunjukkan tes PCR negatif yang diambil dalam waktu 72 jam dari waktu keberangkatan.

Keputusan tersebut berupaya untuk memungkinkan jumlah jamaah haji terbesar untuk mengambil bagian dalam haji, sambil menjaga keuntungan kesehatan yang dicapai oleh Kerajaan dalam menghadapi pandemi Covid-19, kata kementerian itu.

Peningkatan akan sesuai dengan kuota yang dialokasikan ke negara-negara, dengan mempertimbangkan rekomendasi kesehatan.

Tahun lalu, 58.745 peziarah melakukan haji, menurut data resmi. Sebelum pandemi, jumlah jamaah haji kerap melebihi 2 juta orang.

Seperti diketahui, adapun hingga saat ini, jamaah haji Indonesia belum diketahui secara pasti berapa kuota haji untuk tahun ini. Pemerintah Indonesia sendiri bersama pemerintah Saudi pun telah melakukan pembicaraan terkait hal ini

IHRAM