Kalau Sudah Meremehkan Shalat, Bagaimana dengan Lainya?

Menegakkan shalat adalah menegakkan tiang agama, meremehkan shalat artinya meremehkan urusan agama

LUQMAN, sosok yang menarik untuk ditelusuri. Nasihatnya kepada anaknya diabadikan oleh Allah dalam Al-Quran.

وَإِذْ قَالَ لُقْمَٰنُ لِٱبْنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُۥ يَٰبُنَىَّ لَا تُشْرِكْ بِٱللَّهِ ۖ إِنَّ ٱلشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Artinya: Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS: Luqman: 13).

Ayat ini dimulai dengan sentakan “ingatlah tatkala”, menandakan bahwa apa yang disampaikan berikutnya teramat penting.  Apa saja intisari pesan Luqman? Berikut ini uraiannya:

Larangan Musyrik

Larangan mempersekutukan Allah SWT dengan yang lain adalah modal awal nasihat Luqman. Ini memang teramat penting untuk ditanamkan pertama-tama ke dalam jiwa seorang anak.

Dengan begitu maka jiwa dan pikirannya bersih, tidak ternodai oleh kepercayaan dan pemikiran yang miring. Kalau sejak awal jiwa anak dipenuhi keyakinan yang lepas dari Allah, sang anak akan tumbuh dalam keadaan tidak normal.

Artinya tidak dapat menelurkan pemikiran-pemikiran yang akurat, karena tidak bersumber dari pemikiran yang berhulu dari pusat eksistensi; yang memberi hidup dan menggerakkan seluruh makhluk. Pikirannya terkontaminasi oleh pemikiran-pemikiran liar yang bersumber dari makhluk-makhluk Allah yang liar pula.

Kalaupun orang tersebut dianggap jenius, itu termasuk kejeniusan liar. Tapi betapapun sederhana kehidupan seseorang, jika buah pemikirannya bersumber dari Allah, niscaya akan mendatangkan kemaslahatan untuk kemanusiaan dan bagi dirinya sendiri. Dan yang paling penting adalah semakin memperdekat jaraknya dengan Allah SWT.

Nama lengkapnya Luqman bin Anga’ bin Sadun dan anak yang dinasihatinya itu bernama Taran. Dia berasal dari orang biasa dari Habasyah (Ethiopia). Dalam sebuah kitab tafsir diceritakan, dia berkulit legam, berbibir tebal, dan bermuka buruk.

Dia bahkan pernah menjadi seorang budak. Tapi kenapa kata- katanya sangat diperhatikan oleh Allah?

Sesungguhnya yang jelek hanya sosi fisiknya, yang rendah hanya statuss nya alnya. Hati yang bertahta dalam diri air sangat bening, lebih bening daripada telaga.

Dari hati yang bening itulah yang mengalir untaian-untaian kalimat yang teramat penting untuk dasar-dasar pembentukan karakter dan perwatakan. Allah membuka tabir kehidupan sehingga Luqman mendapatkan ilmu hikmah.

Sebenarnya, dia hanya menasihati anaknya, bukan kepada orang lain. Tapi ternyata Allah mengabadikan nasihatnya itu, agar diketahui oleh banyak orang.

Nasihat selanjutnya adalah agar benas benar membersihkan kemusyrikan itu walaupan sebesar zarrah. Artinya, bila ada terbetik dalam hati yang membuat kita lupa menyadari kekuasaan Allah, maka harus segera dihilangkan. Meminta rezeki dan kesehatan selain kepada Allah sehingga lupa berdoa kepada-Nya, itu juga harus segera di singkirkan dari pikiran.

Mendirikan Shalat

يٰبُنَىَّ اَقِمِ الصَّلٰوةَ وَاۡمُرۡ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَانۡهَ عَنِ الۡمُنۡكَرِ وَاصۡبِرۡ عَلٰى مَاۤ اَصَابَكَ‌ؕ اِنَّ ذٰلِكَ مِنۡ عَزۡمِ الۡاُمُوۡرِ‌ۚ

“Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.” (QS: Luqman:17).

Menegakkan shalat adalah menegakkan tiang agama. Perannya begitu urgen. Imam Ahmad menjelaskan bahwa Umar Ibnu Khattab Radhiyallahu hu (RA) pernah mengirim surat kepada gubernur-gubernurnya sebagai berikut: “Wahai sekalian wali negeri, sesungguhnya tugas yang saya anggap paling penting yang harus kamu kerjakan dengan seksama adalah shalat.

Barangsiapa yang memelihara shalat maka dia telah memelihara agamanya. Orang yang menyia-nyiakan dan meremehkan shalat, maka di luar shalat pasti dia lebih menyia-nyiakannya.

Tidak ada bagian apa-apa dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat. Demikianlah gambaran pentingnya shalat baik dalam kehidupan individu, lebih- lebih dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Shalat, di samping mengerjakan sendiri, juga perlu mengajak dan menyuruh orang lain mengerjakannya.

Kepada Taran, Luqman menasihati agar mencegah orang melakukan kemungkaran dan tidak menutup mata terhadap segala bentuk kemunkaran. Tidak hanya asyik dengan keyakinan dan shalatnya, atau dengan kata lain tidak ada kepedulian terhadap masyarakat.

Sabar

Luqman mengingatkan agar anaknya memiliki kesabaran. Tidak ada urusan yang dapat berhasil tanpa kesabaran.

Itulah tiga hal pokok yang dikemukakan oleh Lugman. Jika kita cermati, terasa sekali bahwa di sinilah letak keberhasilan dan kegagalan proses pendidikan.

Keyakinan yang teguh kepada Allah SWT dan tidak mempersekutukan dengan apapun, akan menelurkan sosok manusia yang andal dan paripurna. Manusia seperti ini akan hidup dengan langkah dan pandangan yang  pasti.

Contohnya adalah manusia-manusia yang menjadi murid Rasulullah ﷺ. Dengan modal keyakinan yang penuh kepada Allah, mereka meninggalkan kemusyrikan.

Mereka sungguh-sungguh menghadapi peperangan yang nyata-nyata di sana kematian menghadang. Mereka bukannya takut, bahkan berlomba-lomba menuju kematian itu.

Bagi mereka, kematian yang disebabkan karena membela agama Allah bukan sesuatu yang mengakhiri kehidupan, tapi merupakan awal dari kehidupan yang sebenarnya.

Di tengah gemerincing pedang dan lesatan-lesatan anak panah, mereka melihat taman surga yang lengkap dengan bidadarinya. Apalagi kalau sekadar mendapat tugas yang di luar peperangan.

Semuanya akan berjalan lancar dan penuh kehati-hatian. Karena bukan sesame manusia yang ditakuti, tapi pemilik dunia dan akhirat itulah yang ditakuti.

Keyakinan itu kemudian dipelihara lewat shalat yang baik. Umar Ibnu Khaththab telah mewanti-wanti para gubernurnya untuk menyadari pentingnya shalat. Bukan setoran kepada khalifah yang dingatkan, sektor keamanan, dan semacamnya. Tapi soal shalat.

Jika shalat telah dilaksanakan dengan baik oleh seluruh anggota masyarakat, terutama pembesar-pembesar negara, maka urusan yang lain pasti beres. Sebaliknya, kalau orang sudah meremehkan shalat , maka yang lain-lain pasti akan lebih disepelekan.

Kesabaran, sebagaimana disampaikan oleh Luqgman, adalah urusan yang sangat penting. Sabar adalah kunci kesuksesan. Lihatlah perjalanan hidup para penegak kebenaran.

Nabi Muhammad ﷺ sendiri pernah naik ke bukit ingin membuang diri, saking beratnya beban yang dipikul dan saking besarnya tantangan yang dihadapi. Namun akhirnya beliau lulus dari ujian yang terasa tak mampu dipikul itu.

Inilah yang harus ditanamkan secara sungguh-sungguh ke dalam jiwa setiap anak-anak. Inilah yang kelak dapat memancarkan cahaya keimanan ke seluruh penjuru.

Manakala anak hanya diantar untuk menguasai ilmu yang sifatnya kognitif, tanpa disentuh dengan penajaman spiritual, mereka akan kesulitan menghadapi kehidupan dunia yang kian lama kian rumit dan semrawut ini. Kita berharap anak-anak yang kita bina akan menjadi manusia-manusia yang siap hidup, dalam arti tidak ada permasalahan dunia yang tidak dapat dipecahkan.

Kita ingin anak-anak kita siap mati secara terhormat. Dengah begitu, dunia ini baginya hanyalah tempat transit yang perlu dimanfaatkan dengan baik. Jujur saja, kita rindu lahirnya generasi yang demikian itu.*/Manshur Salbu

HIDAYATULLAH

Menjadi Muslim yang Kaffah setelah Ramadan

Ramadan telah berlalu dengan berbagai latihan yang telah sukses dijalankan oleh umat Islam. Pertanyaannya sudah kita memanfaatkan bulan Ramadan dengan maksimal? Ramadan sebenarnya ibadah yang menggerakkan seluruh anggota badan hingga hati dan nafsu. Ramadan adalah riyadah menjadi muslim yang kaffah.

Setelah menjalani bulan latihan Ramadan diharapkan umat Islam memiliki pribadi muslim yang kaffah. Pribadi muslim yang tidak hanya menampilkan keshalehan simbolik, formalitas dan tampilan semata, tetapi pribadi yang menyelami makna keimanan, keislaman dan keihsanan yang total.

Ibadah puasa berpotensi disemarakkan hanya dengan tampilan semata. Karena diselenggarakan secara serentak dan selama sebulan penuh, muncul pribadi muslim dadakan. Tampil islami hanya sebulan dan seolah menjadi pribadi yang shaleh sebatas satu bulan saja. Kenapa itu terjadi?

Bulan Ramadan sejatinya bulan latihan yang ingin mencetak pribadi muslim yang kaffah. Secara karakter merupakan satu-satunya ibadah yang terbebas dari riya’. Ibadah lain bisa jadi termotivasi karena ada puja-puji dan mimpi duniawi, tetapi puasa merupakan ibadah rahasia yang hanya Allah dan hambaNya yang mengetahui. Ibadah yang tidak perlu ditampakkan tetapi butuh keikhlasan.

Ibadah puasa mengajarkan manusia bahwa melakukan ibadah tidak penting untuk dilihat dan dipuji orang lain, karena sesungguhnya ibadahmu adalah untuk Tuhanmu. Namun, dampak dari ibadah ini memunculkan kesalehan sosial yang luar biasa. Ibadah puasa mampu menjaga seluruh anggota badan mulai dari lisan, mata, mulut, anggota badan lain hingga hati. Inilah corak muslim yang kaffah yang seluruh anggota badan dan hatinya dijaga dari keburukan.

Karena itulah, Nabi Nabi Bersabda : “Puasa adalah benteng, jika seseorang dari kalian berpuasa, maka janganlah berkata keji dan bersikap bodoh. (HR Bukhari). Puasa akan menjadi benteng untuk mencetak pribadi yang kaffah. Jika berpuasa berarti tidak bisa berkata bohong, mencela, dan memaki, apalagi melakukan tindakan kekerasan.

Pribadi muslim yang kaffah tidak hanya mementingkan pada aspek formal saja, tetapi subtansi dari ajaran agama. Orang yang benar-benar berpuasa tidak hanya menilai apakah puasa yang telah dijalani sudah sah secara hukum syar’I, tetapu juga harus selalu dievaluasi penuh harap apakah puasa yang sudah dijalani seharian akan diterima oleh Allah. Karena itulah, bukan sekedar ingin sah memenuhi syarat dan rukun saja, tetapi ingin amal dan ibadah diterima oleh Allah.

Muslim yang kaffah adalah pribadi muslim yang tidak hanya mementingkan aspek tampilan dalam beragama, tetapi aspek tujuan dari syariah itu sendiri. Tidak hanya melihat puasa semata menahan lapar dan minum, tetapi tujuan untuk mencetak pribadi yang berpuasa seluruh anggota badan hingga hati. Itulah pribadi yang bertakwa sesuai tujuan dari ibadah puasa.

Jika ibadahmu hanya ingin dilihat dan dipuji orang bukan tipe pribadi yang kaffah. Jika cara ibadahmu justru tidak menjadi benteng dirimu untuk berbuat keburukan, itu juga bukan jati diri pribadi yang kaffah. Jika ibadahmu hanya untuk terlihat shaleh tampilan, tetapi buruk secara perilaku, itu juga bukan karakter muslim yang kaffah.

Pelajaran dari Ramadan bagi muslim yang kaffah adalah bahwa beribadah dan beragama harus dijalankan secara ikhlas dan total. Beribadah tidak sekedar tampilan semata, tetapi ingin meraih ridha Allah. Pada akhirnya beragama ingin memperbaiki akhlak bukan sekedar menjalani rutinitas ritual semata. Beragama adalah menjadi pribadi yang baik untuk diri sendiri dan kepada orang lain. Itulah muslim yang kaffah hasil didikan bulan suci Ramadan.

ISLAM KAFFAH

Hukum Berhubungan Seks Sebelum Bersuci dari Haid

Salah satu hal yang diharamkan ketika haid adalah bersetubuh. Lalu, bagaimana hukum berhubungan seks sebelum bersuci dari haid? Padahal sudah tidak keluar darahnya?

Syekh Muhammad Asy-Syirbini Al-Khathib dalam kitab Al-Iqna’ fi Hilli Al-Fadz Ibn Syuja’ menjelaskan sebagaimana berikut.

(و) السابع ( الوطء ) ولو بعد انقطاعه وقبل الغسل لقوله تعالى { ولا تقربوهن حتى يطهرن }

Bagian ketujuh (dari hal yang diharamkan saat haid) adalah bersetubuh. Meskipun darah sudah terhenti dan belum mandi suci karena firman Allah swt. “Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci (Q.S. Al-Baqarah: 222).

Imam Al-Mawardi di dalam kitab Al-Hawi fi Fiqh As-Syafii menjelaskan bahwa keharaman bersetubuh berlaku sampai telah bersuci dari haid adalah pendapat imam As-Syafii, imam Malik, dan mayoritas ulama fiqh.

Sementara itu, menurut imam Abu Hanifah boleh bersetubuh sebelum bersuci dari haid jika haidnya sudah mencapai batas maksimal haid. Namun, jika belum pada batas maksimal haid dan sudah bersih darahnya, maka ia harus tetap mandi bersuci dahulu sebelum bersetubuh.

Bersetubuh saat istri haid meskipun darah sudah terhenti namun belum bersuci tersebut diharamkan jika memang disengaja dan tahu bahwa itu haram. Jika suami/istri itu tidak mengetahui bahwa hal itu diharamkan, lupa, atau dipaksa, maka hal itu tidak dihukumi haram.

Kasus tersebut sesuai dengan hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh imam Ibnu Majah dan imam Al-Baihaqi dari sahabat Ibnu Abbas r.a. sebagaimana berikut.

إن الله تجاوز عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه

“Sesungguhnya Allah mengampuni perbuatan umatku disebabkan ketidaksengajaan, lupa, atau dipaksa.”

Adapun bagi orang yang terlanjur bersetubuh dengan istrinya yang belum bersuci dari haid meskipun darah telah terhenti, ulama Syafiiyah menyunnahkan untuk shadaqah setengah dinar.

Sementara jika ia terlajur bersetubuh dengan istrinya saat darah haid masih keluar deras, maka ia disunahkan untuk shadaqah satu dinar. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi saw. riwayat imam At-Tirmidzi dari sahabat Ibnu Abbas r.a.

إِذَا كَانَ دَمًا أَحْمَرَ فَدِينَارٌوَإِذَا كَانَ دَمًا أَصْفَرَ فَنِصْفُ دِينَارٍ

“Jika darah itu merah, maka (shadaqah) satu dinar, dan jika darah itu kuning maka setengah dinar.”

Keterangan tersebut merupakan penjelasan dari Syekh Wahbah Az-Zuhaili di dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh. Beliau juga menjelaskan bahwa satu dinar adalah setara dengan 4.25 gram emas.

Demikianlah penjelasan hukum berhubungan badan sebelum bersuci dari haid. Menurut jumhur ulama fiqh meskipun darah telah terhenti, maka tetap diharamkan bersetubuh/berhubungan badan sebelum bersuci/mandi besar.

Jika sudah terlanjur bersetubuh sebelum bersuci, maka ulama menyunnahkan untuk shadaqah setengah dinar. Tentunya juga dengan meminta ampunan kepada Allah swt. karena telah melanggar aturan yang ada.

Demikian hukum berhubungan seks sebelum bersuci dari haid. Semoga bermanfaat. Wa Allahu a’lam bis shawab.

BINCANG SYARIAH

Mengenal Ilmu Hadis dan Peletak Pertama Fondasinya

Hadis merupakan referensi otoritatif hukum islam setelah Alquran.

Abu Bakar Muhammad bin Syihad az-Zuhri (51-124 H) adalah peletak pertama kaidah dasar ilmu hadis. Ia adalah orang pertama yang mengumpulkan hadis Rasulullah SAW atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Azis.

Hadis sebagai referensi otoritatif hukum Islam setelah Alquran memegang peranan penting dalam perkembangan Islam. Dari hadis lahirlah berbagai ilmu, termasuk ulumul hadis. Ilmu tentang hadis ini banyak dibahas para ulama dalam berbagai kitab ulumul hadis. Baik yang membahas hadis secara umum maupun pada aspek tertentu, seperti perawi dan matan.

Dalam Ensiklopedi Islam disebutkan penulisan kitab ulumul hadis dimulai sejak awal abad ke-2 Hijriyah. Saat itu para ulama sudah mengklasifikasi hadis dalam beberapa derajat, seperti shahih, hasan, daif, maupun palsu.

Kondisi sosial politik saat itu membuat hadis palsu bertebaran. Sebabnya, para pangusaha sengaja mengeluarkan hadis palsu untuk mengukuhkan kekuasaannya. Maka diperlukan sebuah ilmu khusus untuk meneliti bagaimana derajat sebuah hadis.

Ilmu tentang hadis yang pertama kali muncul adalah al-jarh wa at-ta’dil (ilmu yang membahas dan meneliti secara khusus keadaan para perawi hadis). Abu Bakar Muhammad bin Syihad az-Zuhri (51-124 H) adalah peletak pertama kaidah dasar ilmu hadis. Ia adalah orang pertama yang mengumpulkan hadis Rasulullah SAW atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Azis.

Saat itu penulisan hadis belum dipisahkan dalam kitab hadis tersendiri, namun terintegrasi dengan pembahasan tema lain. Misal, kitab Imam Syafi’i berjudul Risalah yang membahas tentang hadis sekaligus ushul fikih.

Baru pada abad ke-3 dan 4, ulumul hadis mencapai masa keemasannya. Penulisan hadis secara mendiri sudah dilakukan dengan intensif. Pada masa ini ulama-ulama hadis, seperti Imam Muslim, Imam Bukhari, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban banyak menghasilkan karya.

Pada akhir abad ke-3, Imam Abu Bakar Ahmad bin Harun bin Rauj al-Bardiji menyusun berbagai kitab mengenai ilmu hadis. Di antaranya Ma’rifah al-Muttasil min al-Hadis wa al-Mursal wa al-Maqtu, wa Bayan at-Turuq as-Sahihah, dan Ma’rifah Usul al-Hadis.

Penyusulan ilmu hadis secara lengkap dilakukan sejak pertengahan abad ke-4 sampai awal abad ke-7. Pada masa ini mulai muncul kitab-kitab yang meringkas serta memberi komentar dan penjelasan terhadap kitab-kitab hadis yang lebih dulu muncul. Di antara kitab hadis yang muncul pada masa ini adalah Al-Muhaddis al-Fasil bain ar-Rawi wa al-Wa’i karya ar-Ramahurmuzi.

Masa penyempurnaan ilmu hadis terjadi pada abad 7 hingga 10 H. Kitab-kitab yang muncul pada masa ini adalah al-Irsyad karya Imam Nawawi dan Tadrib ar-Rawi Syarh Taqrib an-Nawawi karya as-Suyuti. Masa kemunduran ilmu hadis terjadi pada abad 10 hingga 14 H. Tidak banyak karya ulama hadis yang lahir pada masa ini.

Masa abad ke-14 hingga saat ini disebut sebagai kebangkitan kembali ilmu hadis. Para ulama kontemporer juga menerbitkan kitab ulumul hadis, seperti al-Manhaj al-Hadis fi Ulum al-Hadis karya Syekh Muhammad as-Simahi dan Qawa’id at-Tahdis karya Syekh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi.

sumber : Dilaog Jumat Republika

Hukum Memanggil “Haji” Terhadap Orang yang Belum Berhaji

Panggilan “haji” atau “hajah” dalam arti ibadah haji seringkali disematkan kepada orang yang sudah melaksanakan ibadah haji. Tetapi, panggilan penghormatan ini juga seringkali diberikan kepada orang yang belum berhaji. Lantas, bagaimana hukum memanggil “haji” terhadap orang yang belum berhaji?

Dalam Islam, terdapat anjuran untuk saling menghargai dengan cara memanggil nama yang disenangi. Perbuatan ini juga merupakan salah satu dari beberapa adab berteman yang baik.

Sebagaimana dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali, halaman 444 berikut,

آداب الإخوان: الاستبشار بهم عند اللقاء، والابتداء بالسلام، والمؤانسة والتوسعة عند الجلوس، والتشييع عند القيام، والإنصات عند الكلام، وتكره المجادلة في المقال، وحسن القول للحكايات، وترك الجواب عند انقضاء الخطاب، والنداء بأحب الأسماء

Artinya : “Adab berteman, yakni: Menunjukkan rasa gembira ketika bertemu, mendahului ber uluk salam, bersikap ramah dan lapang dada ketika duduk bersama, turut melepas saat teman berdiri, memperhatikan saat teman berbicara dan tidak mendebat ketika sedang berbicara, menceritakan hal-hal yang baik, tidak memotong pembicaraan dan memanggil dengan nama yang disenangi.”

Hukum Memanggil Haji Bagi yang Belum Haji

Namun demikian, panggilan penghormatan “haji” atau “hajah” dalam arti ibadah haji terhadap orang yang jelas-jelas belum melaksanakan ibadah haji diharamkan karena itu merupakan panggilan dusta.

Tetapi kalau “haji” atau “hajah” diartikan secara harfiah, yaitu orang yang menuju sebuah tujuan, hal itu tidak diharamkan karena bukan sebuah kedustaan. ‘Sebagaimana dalam kitab Hasiyah jamal, juz 2, halaman 372 berikut,

وقع السؤال مما يقع كثيرا فى مخاطبة الناس بعضهم مع بعض من قولهم لمن لم يحج يا حاج فلان تعظيم…ا له هل هو حرام ام لا والجواب عنه ان الظاهر الحرمة لانه كذب الى ان قال نعم ان اراد بيا حاج فلان المعنى اللغوى وقصد به معنى صحيحا كان اراد بيا حاج يا قاصد التوجه الى كذا كالجماعة او غيرها فلا حرمة اهـ ع ش .

Artinya : “Ada yang bertanya mengenai pemanggilan terhadap orang yang tidak berhaji “wahai haji/hajah fulan..!” sedangkan tujuan memanggil haji/hajjah kerena memuliakan kepadanya.

Apakah panggilan itu haram atau tidak? Jawaban dari pertanyaan tersebut, bahwa secara dzohir panggilan itu adalah haram karena dia telah berbohong, jika tujuan dari perkataan tersebut adalah panggilan membenarkan. Namun apabila seseorang memanggilnya secara bahasa saja karena berhadapan dengan jamaah misalnya atau dengan orang lain maka tiada apa-apa (tidak haram).”

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa panggilan penghormatan “haji” terhadap orang yang jelas-jelas belum melaksanakan ibadah haji diharamkan karena itu merupakan panggilan dusta.

Tetapi kalau “haji” diartikan secara harfiah, yaitu orang yang menuju sebuah tujuan, hal itu tidak diharamkan karena bukan sebuah kedustaan.

Demikian penjelasan mengenai hukum memanggil “haji” terhadap orang yang belum berhaji. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Yuk Catat Syarat-Syarat Haji

Pertama kalinya setelah dua tahun pandemi Covid-19, ibadah haji akan digelar untuk jamaah internasional. Kerajaan Arab Saudi sudah mengumumkan kuota jamaah dari setiap negara, termasuk Indonesia 100.051 jamaah yang terdiri dari 92.825 haji reguler dan 7.226 haji khusus.

Ibadah haji dilaksanakan pada bulan Syawal, Dzulqa’dah, dan sembilan hari di bulan Dzulhijjah sampai terbit fajar Hari Raya Kurban. Apabila ada yang melaksanakan ihram dengan niatan haji selain pada periode tersebut, maka ibadahnya menjadi umroh. Sebab, sepanjang tahun merupakan waktu pelaksanaan umroh.

Sama seperti ibadah lain, haji juga memiliki syarat haji. Imam Al-Ghazali mengatakan dalam buku Rahasia Haji dan Umroh terbitan Turos, syarat haji ada dua, yaitu Islam dan dilaksanakan sesuai waktunya.

Adapun syarat-syarat terhitungnya haji sebagai haji Islam (haji fardu) ada lima. Yakni, Islam, merdeka, balig, berakal, dan dilaksanakan sesuai waktunya. Ketika anak kecil atau hamba sahaya melaksanakan ihram lalu anak kecil itu menginjak balig dan hamba sahaya dimerdekakan ketika berada di Arafah atau Muzdalifah lalu kembali ke Arafah sebelum terbtit fajar, maka haji mereka termasuk haji fardu. Karena haji adalah wukuf di Arafah.

Sementara itu, syarat terhitungnya haji sebagai haji sunah dari orang yang berstatus merdeka dan balig adalah setelah bebas tanggungannya dari haji fardu. Yang didahulukan adalah haji fardu, haji qadha’ bagi orang yang merusak ibadah hajinya saat wukuf, haji nadzar, haji badal, dan haji sunah.

Sedangkan syarat yang mewajibkan haji ada lima, yaitu balig, Islam, berakal, merdeka, dan mampu. Apabila seseorang sudah melaksanakanh haji fardu, dia juga wajib melaksanakan umroh fardu.

Mampu dalam syarat ini terbagi menjadi dua. Pertama, mampu secara langsung, seperti sehat jasmani rohani dan mampu menyelenggarakan perjalanan (perjalanan yang aman dan lancar). Lalu mampu karena hartanya cukup dengan membawa perbekalan dan meninggalkan nafkah untuk mereka selama masa ibadahnya serta melunasi semua utangnya.

Syarat kedua, yaitu kemampuan orang lumpuh dengan hartanya yang cukup. Yakni, dengan membiayai orang untuk melaksanakan haji dengan mengatasnamakan dirinya setelah orang itu selesai menunaikan haji Islamnya. Dia cukup membiayai keberangkatannya. Siapa saja yang sudah mampu, maka wajib melaksanakan ibadah haji.

IHRAM

Motivasi untuk Memberikan Sedekah ke Pondok Tahfizhul Qur’an

Fatwa Syekh Muhammad Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah Ta’ala

Pertanyaan:

Adakah sepatah dua patah kata dari anda mengenai motivasi untuk menyalurkan sedekah ke pondok-pondok Tahfizh Al-Qur’an Al-Karim?

Jawaban:

Telah diketahui bersama bahwa membaca Al-Qur’an termasuk keutamaan, berupa pahala yang agung, dan termasuk menjaga syariat Allah ‘Azza Wa Jalla, dan menjadi penghubung antara hamba kepada Rabbnya. Karena ketika seseorang membaca kitab-Nya, ia membaca kalam-Nya, yang disifati dengan sifat-sifat yang agung, terpuji, dan mulia. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ ءاتَيْنَـٰكَ سَبْعاً مِّنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْءَانَ الْعَظِيمَ

Dan sungguh Kami telah datangkan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al-Qur’an yang agung.” (QS. Al-Hijr ayat 87)

Allah Ta’ala berfirman,

بَلْ هُوَ قُرْءَانٌ مَّجِيدٌ 

فِى لَوْحٍ مَّحْفُوظٍ

Bahkan yang (didustakan mereka) itu ialah Al-Qur’an yang mulia. (Yang tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.” (QS. Al-Buruj: 21-22)

Allah Ta’ala berfirman,

فَلاَ أُقْسِمُ بِمَوَٰقِعِ النُّجُومِ 

وَإِنَّهُ لَقَسَمٌ لَّوْ تَعْلَمُونَ عَظِيمٌ 

إِنَّهُ لَقُرْءَانٌ كَرِيمٌ 

فِى كِتَـٰبٍ مَّكْنُونٍ 

لاَّ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ 

تَنزِيلٌ مِّن رَّبِّ الْعَـٰلَمِينَ

(75) Maka Aku bersumpah dengan masa turunnya bagian-bagian Al-Qur’an.

(76) Sesungguhnya itu adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahui.

(77) Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia.

(78) Dalam kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh).

(79) Tidak menyentuhnya, kecuali orang-orang yang disucikan.

(80) Diturunkan dari Rabbul ‘Aalamiin.” (QS. Al-Waqi’ah: 75-80)

Oleh karena itu, Allah bersumpah dengan Al Qur’an sebagaimana firman-Nya,

قۤ وَالْقُرْءَانِ الْمَجِيدِ

Qaf. Demi Al-Qur’an yang sangat mulia.” (QS. Qaf: 1)

Allah Ta’ala juga memuji orang yang bangun untuk membaca Al-Qur’an dan menjelaskan bahwa bagi mereka pahala pada firman-Nya,

إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَـٰبَ اللَّهِ وَأَقَامُواْ الصَّلَوٰةَ وَأَنفَقُواْ مِمَّا رَزَقْنَـٰهُمْ سِرّاً وَعَلاَنِيَةً يَرْجُونَ تِجَـٰرَةً لَّن تَبُورَ 

لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُم مِّن فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ

Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan salat dan menginfaqkan sebagian dari yang Kami anugerahkan kepada mereka secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tiada merugi.

Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambahkan dari karunia-Nya kepada mereka. Sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahamensyukuri.” (QS. Fathir: 29-30)

Allah Ta’ala juga berfirman,

الَّذِينَ آتَيْنَـٰهُمُ الْكِتَـٰبَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاَوَتِهِ أُوْلَـٰئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَمن يَكْفُرْ بِهِ فَأُوْلَـٰئِكَ هُمُ الْخَـٰسِرُونَ

Orang-orang yang telah Kami beri kitab kepada mereka, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. Al-Baqarah: 121)

Terdapat hadis sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

خيركم من تعلم القرآن وعلمه

Sebaik-baik dari kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Al-Bukhari)

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

ما اجتمع قوم في بيت من بيوت الله يتلون كتاب الله ويتدارسونه بينهم، إلا نزلت عليهم السكينة، وغشيتهم الرحمة، وحفتهم الملائكة، وذكرهم الله فيمن عنده

Tidaklah suatu kaum berkumpul di suatu rumah dari rumah-rumah Allah, mereka membaca kitabullah, dan saling belajar di antara mereka, kecuali turun atas mereka sakinah (ketenangan), rahmat meliputi mereka, malaikat akan menaunginya, dan mereka akan disebut di sisi Allah.” (HR. Muslim)

Di zaman kita telah banyak pondok-pondok Tahfizh Al-Qur’an di seluruh penjuru negeri. Pusat dari pondok-pondok ini adalah rumah-rumah Allah ‘Azza Wa Jalla, yaitu masjid-masjid. Dan alhamdulillah banyak para pemuda, laki-laki dan perempuan, bergabung dengannya. Saya bahagia karenanya.

Saya serukan kepada saudara-saudara saya kaum muslimin, untuk bersemangat dalam menolong pondok-pondok ini, demi mendapatkan pahala semisal orang yang membaca kitab Allah ‘Azza Wa Jalla. Karena, orang yang menolong akan mendapat kebaikan yang ditolong. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من دعا إلى هدى كان له من الأجر مثل أجور من اتبعه إلى يوم القيامة لا ينقص ذلك من أجورهم شيئاً

Barangsiapa yang mengajak kepada hidayah (kebaikan), maka baginya pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya, sampai hari kiamat. Hal itu tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun.” (HR. Muslim).

Dan terdapat hadis yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda,

من جهز غازياً في سبيل الله فقد غزا، ومن خلف غازياً في أهله بخير فقد غزا

Barangsiapa yang menyiapkan bekal mujahid di jalan Allah, maka sungguh ia telah berjihad. Barangsiapa yang menjaga keluarga yang ditinggalkan mujahid dalam kebaikan, maka sungguh ia telah berjihad.” (HR. Muslim).

***

Penerjemah: Muhammad Fadhli, S.T.

Sumber: https://muslim.or.id/75299-fatwa-ulama-motivasi-untuk-memberikan-sedekah-ke-pondok-tahfizhul-quran.html

Keistimewaan Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Keistimewaan Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam (Bag. 1)

Keistimewaan ketiga, Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki syafaat ‘uzhma pada hari kiamat

Berkaitan dengan firman Allah Ta’ala,

عَسَى أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَاماً مَّحْمُوداً

Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra’: 79)

Sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Al-maqam al-mahmud adalah maqam syafaat.” (Tafsir Ath-Thabari, 17: 527)

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Al-maqam al-mahmud adalah maqam syafaat pada hari kiamat.” (Tafsir Ath-Thabari, 17: 527)

Dalam sebuah hadis yang sangat panjang dalam Shahih Bukhari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Aku pemimpin manusia pada hari kiamat, tahukah kalian mengapa? Allah akan mengumpulkan semua manusia, dari yang pertama hingga yang akhir dalam satu tanah lapang. Seorang penyeru akan menyeru mereka, pandangan menembus mereka, matahari mendekat, duka dan kesusahan manusia sampai pada batas yang tidak mampu mereka pikul. Orang-orang saling berkata satu sama lain, “Apakah kalian tidak melihat yang telah menimpa kalian? Apakah kalian tidak melihat siapa yang bisa memberi kalian syafaat kepada Rabb kalian?”

Orang-orang saling berkata satu sama lain, “Hendaklah kalian menemui Adam.” Mereka menemui Adam lalu berkata, “Engkau adalah bapak seluruh manusia, Allah menciptakanmu dengan tangan-Nya, meniupkan ruh-Nya padamu, dan memerintahkan para malaikat, lalu mereka sujud padamu. Berilah kami syafaat kepada Rabbmu. Apa Engkau tidak melihat kondisi kami? Apakah Engkau tidak melihat yang menimpa kami?” Adam berkata kepada mereka, “Rabbku saat ini benar-benar marah. Dia tidak pernah marah seperti itu sebelumnya dan tidak akan pernah seperti itu sesudahnya. Dulu Dia melarangku mendekati pohon, akan tetapi aku durhaka. Oh diriku, oh diriku, oh diriku. Pergilah kepada selainku. Pergilah ke Nuh.”

Mereka mendatangi Nuh lalu berkata, “Hai Nuh, Engkau adalah rasul pertama untuk penduduk bumi. Allah menyebutmu hamba yang sangat bersyukur, berilah kami syafaat kepada Rabb-mu. Apakah Engkau tidak melihat kondisi kami? Apakah Engkau tidak melihat yang menimpa kami?” Nuh berkata kepada mereka, “Rabbku saat ini benar-benar marah. Dia tidak pernah marah seperti itu sebelumnya dan tidak akan pernah seperti itu sesudahnya. Dulu aku pernah berdoa keburukan untuk kaumku. Oh diriku, oh diriku, oh diriku. Pergilah kepada selainku, pergilah ke Ibrahim.”

Mereka mendatangi Ibrahim lalu berkata, “Wahai Ibrahim, Engkau nabi Allah dan kekasih-Nya dari penduduk bumi, berilah kami syafaat kepada Rabbmu. Apakah Engkau tidak melihat kondisi kami? Apakah Engkau tidak melihat yang menimpa kami?” Ibrahim berkata kepada mereka, “Rabbku saat ini benar-benar marah. Dia tidak pernah marah seperti itu sebelumnya dan tidak akan pernah seperti itu sesudahnya. Dulu aku pernah bedusta tiga kali -Abu Hayyan menyebut ketiga-tiganya dalam hadis ini- Oh diriku, diriku, diriku, pergilah kepada selainku, pergilah ke Musa.”

Mereka menemui Musa, lalu berkata, “Wahai Musa, Engkau utusan Allah, Allah melebihkanmu dengan risalah dan kalam-Nya atas seluruh manusia. Berilah kami syafaat kepada Rabbmu. Apakah Engkau tidak melihat kondisi kami? Apakah Engkau tidak melihat yang menimpa kami? Musa berkata kepada mereka, “Rabbku saat ini benar-benar marah. Dia tidak pernah marah seperti itu sebelumnya dan tidak akan pernah seperti itu sesudahnya. Dulu aku pernah membunuh jiwa padahal aku tidak diperintahkan untuk membunuhnya. Oh diriku, diriku, diriku, pergilah kepada selainku, pergilah ke Isa.”

Baca Juga: Mengajarkan Sejarah Islam kepada Anak Sejak Usia Dini

Mereka mendatangi Isa lalu berkata, “Wahai ‘Isa, Engkau adalah utusan Allah, kalimat-Nya yang disampaikan ke Maryam, ruh dari-Nya, engkau berbicara pada manusia saat masih berada dalam buaian. Berilah kami syafaat kepada Rabbmu. Apakah Engkau tidak melihat kondisi kami? Apakah Engkau tidak melihat yang menimpa kami?” Isa berkata kepada mereka, “Rabbku saat ini benar-benar marah, Ia tidak pernah marah seperti itu sebelumnya dan tidak akan pernah seperti itu sesudahnya, namun ia tidak menyebut dosanya. Oh diriku, diriku, diriku, pergilah ke selainku, pergilah ke Muhammad.”

Mereka mendatangi Muhammad lalu berkata, “Wahai Muhammad, Engkau adalah utusan Allah, penutup para nabi, dosamu yang telah lalu dan yang kemudian telah diampuni. Berilah kami syafaat kepada Rabbmu. Apakah Engkau tidak melihat kondisi kami?”

Lalu aku pergi hingga sampai di bawah ‘Arsy, aku tersungkur bersujud kepada Rabbku, lalu Allah memulai dengan pujian dan sanjungan untukku yang belum pernah disampaikan kepada seorang pun sebelumku. Kemudian dikatakan, “Hai Muhammad, angkatlah kepalamu. Mintalah, pasti Engkau diberi. Berilah syafaat, nicaya Engkau diizinkan untuk memberi syafaat.”

Maka aku mengangkat kepalaku, aku berkata, “Wahai Rabb, umatku, wahai Rabb, umatku, wahai Rabb, umatku.” Ia berkata, “Hai Muhammad, masukkan orang yang tidak dihisab dari umatmu melalui pintu-pintu surga sebelah kanan dan mereka adalah sekutu semua manusia selain pintu-pintu itu.” Setelah itu beliau bersabda, “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, jarak antara dua daun pintu-pintu surga seperti jarak antara Makkah dan Himyar atau seperti jarak antara Makkah dan Bashrah.” (HR. Bukhari no. 4712)

Baca Juga: Sejarah Penamaan “Muhammad” Untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam

Keistimewaan keempat, Allah Ta’ala mengambil perjanjian atas seluruh rasul, agar mereka beriman dan membantu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau diutus

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذْ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّيْنَ لَمَا آتَيْتُكُم مِّن كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءكُمْ رَسُولٌ مُّصَدِّقٌ لِّمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنصُرُنَّهُ قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَى ذَلِكُمْ إِصْرِي قَالُواْ أَقْرَرْنَا قَالَ فَاشْهَدُواْ وَأَنَاْ مَعَكُم مِّنَ الشَّاهِدِينَ

Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, ‘Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.’ Allah berfirman, ‘Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?’ Mereka menjawab, ‘Kami mengakui.’ Allah berfirman, ‘Kalau begitu, saksikanlah (hai para nabi), dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu.’” (QS. Ali Imran: 81)

As-Sudi rahimahullah berkata, “Tidaklah Allah Ta’ala mengutus Nabi sejak jaman Nuh ‘alaihis salaam, kecuali Allah mengambil perjanjian agar beriman kepada Muhammad dan menolongnya ketika Muhammad diutus dan mereka masih hidup dan agar kaumnya juga beriman dan menolongnya ketika Muhammad diutus dan mereka masih hidup.” (Tafsir Ath-Thabari, 6: 556)

Keistimewaan kelima, dihalalkannya ghanimah (harta rampasan perang), ditolong dengan dimasukkannya rasa takut ke dalam hati musuh beliau sejak sebulan perjalanan, dan bumi dijadikan sebagai tempat sujud dan suci

Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الأَنْبِيَاءِ قَبْلِي: نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ، وَجُعِلَتْ لِي الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا، وَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ فَلْيُصَلِّ، وَأُحِلَّتْ لِي الغَنَائِمُ، وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً، وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ كَافَّةً، وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ

Aku diberikan lima perkara yang tidak diberikan kepada seorangpun dari nabi-nabi sebelumku: (1) aku ditolong melawan musuhku dengan ketakutan mereka sepanjang sebulan perjalanan; (2) bumi dijadikan untukku sebagai tempat sujud dan suci; maka di mana saja seorang laki-laki dari umatku mendapati waktu salat, hendaklah ia salat; (3) dihalalkan harta rampasan untukku; (4) para nabi sebelumku diutus khusus untuk kaumnya, sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia; dan (5) aku diberikan (hak) syafaat.” (HR. Bukhari no. 438)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Zahir hadis ini menunjukkan bahwa masing-masing dari lima perkara yang disebutkan tersebut tidaklah diberikan kepada nabi sebelumnya, dan memang demikian.” (Fathul Baari, 1: 436)

Keistimewaan keenam, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki jawami’ al-kalim

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فُضِّلْتُ عَلَى الْأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ: أُعْطِيتُ جَوَامِعَ الْكَلِمِ

Aku diberi keutamaan atas para nabi dengan enam perkara, pertama, aku diberi jawami’ al-kalim, … “ (HR. Muslim no. 523)

Ibnu Syihab Az-Zuhri rahimahullah mengatakan,

وَبَلَغَنِي أَنَّ جَوَامِعَ الكَلِمِ: أَنَّ اللَّهَ يَجْمَعُ الأُمُورَ الكَثِيرَةَ، الَّتِي كَانَتْ تُكْتَبُ فِي الكُتُبِ قَبْلَهُ، فِي الأَمْرِ الوَاحِدِ، وَالأَمْرَيْنِ، أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ

Telah sampai kepadaku bahwa jawami’ al-kalim adalah Allah Ta’ala mengumpulkan banyak perkara yang tertulis di kitab-kitab sebelumnya dalam satu atau dua perkara saja, atau semisal itu.” (Shahih Al-Bukhari, 9: 36)

Dengan kata lain, jawami’ al-kalim adalah kalimat yang ringkas, namun memiliki kandungan makna yang banyak (luas).

Keistimewaan ketujuh, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki telaga Al-Kautsar

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu Al-Kautsar.” (QS. Al-Kautsar: 1)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala memberikan keistimewaan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berupa Al-Kautsar yang airnya menyuplai telaga beliau (yang ada di Mahsyar, pent.). Tidaklah dinukil bahwa selain beliau juga memiliki yang semisal telaga ini.” (Fathul Baari, 11: 467)

Berkaitan dengan telaga Al-Kautsar ini, silakan dibaca penjelasan lebih detail di tulisan kami sebelumnya di sini.

Keistimewaan ketujuh, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah penutup para nabi

Allah Ta’ala berfirman,

مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيماً

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab: 40)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

فهذه الآية نص في أنه لا نبي بعده، وإذا كان لا نبي بعده فلا رسول [بعده] بطريق الأولى والأحرى؛ لأن مقام الرسالة أخص من مقام النبوة، فإن كل رسول نبي، ولا ينعكس. وبذلك وردت الأحاديث المتواترة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم من حديث جماعة من الصحابة.

Ayat ini merupakan dasar hukum yang tegas yang menyatakan bahwa tidak ada lagi nabi setelah beliau. Dan apabila tidak ada Nabi sesudahnya, maka itu artinya lebih-lebih lagi tidak ada rasul [setelahnya]. Sebab kedudukan kerasulan itu lebih istimewa daripada kedudukan kenabian. Karena setiap rasul itu pasti nabi, dan tidak sebaliknya. Banyak hadis mutawatir dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melalui penuturan sejumlah sahabat yang telah menegaskan hal itu.” (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 6: 428)

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/75347-keistimewaan-rasulullah-muhammad-bag-2.html

Harta Belum Dibagi Ahli Waris, Apa Status Hukumnya?

Ustaz Ahmad Sarwat dalam buku Haramnya Menunda Pembagian Waris menjelaskan, ada proses dari sejak si pemilik meninggal dunia hingga akhirnya harta itu jadi milik para ahli waris. Masa ini disebut dengan transisi di mana harta itu menjadi status quo yang tidak jelas siapa pemiliknya secara sah. 

Sebab pemilik aslinya sudah wafat, namun siapa pemilik berikutnya masih belum ditentukan. Secara hukum, masa transisi ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut atau ditunda-tunda prosesnya. Sebab dalam keadaan seperti itu harta peninggalan almarhum merupakan amanah, utang, berstatus seperti harta amanah. 

Alquran menegaskan bahwa orang-orang beriman cirinya adalah bersikap menjaga amanah. Yakni menyampaikan titipan milik orang yang berhak dan haram mengangkanginya dalam bentuk apapun. Sehingga harta almarhun itulah titipan yang harus diserahkan kepada ahli waris. 

Dalam Alquran Surah Al-Mukminun ayat 8, Allah berfirman, “Walladzinahum li-amanaatihim wa ahdihim raa’un,”. Yang artinya, “Dan orang-orang yang memelihara amanah (yang dipikulnya) dan janjinya,”. 

Sedangkan dalam perkara proses pembagian waris, menunda-nunda pembagian waris sama saja berkhianat, dan khianat adalah ciri orang munafik. Sebab harta tersebut bukanlah hak si pengatur proses, melainkan hak bagi para ahli waris. 

Apabila seseorang meninggal dunia dan hartanya itu berada di tangan orang lain yang bukan ahli warisnya, maka status hartanya itu adalah utang selama ada izin dari pemilik sahnya. Sedangkan utang harus segera dikembalikan. Jika tidak dikembalikan dan sengaja ditunda pembayaran utang itu, maka terdapat ancaman dari Nabi Muhammad Saw, “Mathulul ghaniyyu zhalum,”. Yang artinya, “Menunda-nunda membayar utang itu kezhaliman,”. 

IHRAM

Manasik Haji: Makna Miqat dan Ihram

Makna miqat dan ihram dijelaskan dalam manasik haji.

Perjalanan ibadah haji ke Tanah Suci bukan perjalanan yang biasa. Hal itu disampaikan Usadz Imam Khoiri saat menyampaikan tausiyah subuh kepada peserta bimbingan teknis (Bimtek) PPIH Arab Saudi, di Masjid Al-Mabrur Asrama Haji Pondok Gede, Sabtu (21/5/2022).

Ustadz Imam mengatakan, para pelaku perjalanan, baik jamaah maupun petugas penyelenggara ibadah haji (PPIH) akan dipertemukan dengan tempat-tempat terbaik. Waktu dan tempat terbaik ini hanya ada di Tanah Suci Makkah dan Madinah.

“Perjalanan haji kita semua ini akan dipertemukan dengan tempat-tempat terbaik, dengan waktu-waktu terbaik. Dan itu tidak bisa dan tidak ada kecuali di sana,” kata Usadz Imam Khoiri.

Ustadz Imam Khoiri menjelaskan, proses ibadah haji itu memiliki beberapa lapisan yang harus dilalui oleh para pelaku perjalanannya. Lapis pertama perjalanan haji ini adalah miqot atau batas waktu dan tempat melaksanakan ibadah di Tanah Suci.

Karena ketika orang yang sudah sampai di miqat maka harus melepas simbol-simbol keduniaan. Miqat jamaah gelombang kedua rute Indonesia Madinah miqatnya di Bir Ali, gelombang ke dua rute Indonesia Makkah, miqat nya di embarkasih atau di pesawat ketika mendekati Ya Lamlam dan Jeddah. 

“Ketika miqat itu harus melepaskan simbol-simbol dunia. Yang laki-laki maka dilarang memakai penutup kepala, karena penutup kepala menimbulkan orang strata sosial,” katanya.

Ustadz Imam menerangkan, awal kembagaan seseorang berawal dari penutup kepala. Baik itu penutup kepala seperti kopiah, serban udeng-udeng, dan penutup kepala lainnya yang memiliki simbol-simbol tertentu. Orang berihrom juga dilarang memakai pakaian berjahit.

“Karena kenapa? pakaian berjahit itu adalah mode, mode itu orang akan bicara kelas tentang sebuah merek. Misal pejabat-pejabat punya mode-mode tertentu baju yang harus dikenakan,” katanya.

Maka dari itu ketika orang sudah berihram maka semua itu dilepaskan. Orang yang berihram tidak boleh memakai sepatu menutupi mata kaki, tidak boleh memakai minyak wangi, tidak boleh bersisir rambut.

“Minyak wangi soal keren, betapapun banyak duitnya tidak boleh memakai alas menutupi mata kaki, tidal boleh bersisir karena setiap rambut yang jatuh memiliki hukum membayar dam. Tidak perlu lagi bicara soal tampil seluruh simbol dunianya ditinggalkan,” katanya.

Titik miqat adalah batas waktu terluar yang pelaku perjalanannya harus dalam keadaan ihram. Jika sudah masuk miqat tanpa berihram, lalu dia berihramnya sudah di Makkah maka dia ada beberapa ketentuan kalau tidak bisa kembali ke miqat awal maka dia harus bayar dam. 

“Dia meninggalkan seluruh simbol-simbol duniawi, tidak ada perbedaan antara pejabat dan rakyat, semua pakaian ihram semua memakai sendal jepit,” katanya.

IHRAM