Anda sakit kepala? Pusing sudah lama? atau sakit kepala akut? Tahukah Anda bahwa surah Al-Hasyr memiliki khasiat obat pusing atau sakit kepala. Berikut ini khasiat akhir surah Al-Hasyr, yang merupakan obat pusing atau sakit kepala.
Sakit kepala atau pusing (As-Shuda’) termasuk penyakit ringan yang hampir pernah dialami semua orang. Dalam beberapa riwayat disebutkan Nabi Muhammad saw. pernah memberikan resep obat berupa ayat-ayat Alquran untuk mengatasinya. Ayat ini cukup familier di telinga kita. Tahukah anda ayat yang mana? Silakan baca tulisan singkat ini dan temukan jawabannya.
Mukjizat medis Al-Qur’an
Allah Swt. telah menyatakan bahwa kalam-Nya, yaitu Alquran bisa menjadi syifa (obat) bagi manusia. Salah satunya tertuang dalam ayat berikut:
“Kami turunkan dari Alquran sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman; dan Alquran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (Q.S. Alisra’ [17]: 82).
Ayat ini menegaskan sisi kemukjizatan Alquran di bidang pengobatan (medical). Lalu bagaimana cara mengobati pusing kepala dengannya? Dalam Tafsir Al-Dur al-Mantsur (v. 8/h. 121), saat Imam As-Suyuthi mengulas akhir dari surah Alhasyr, beliau mengutip beberapa riwayat mengenai keutamaannya, antara lain sebagai berikut:
Diriwayatkan oleh Ad-Dailami dari Ibnu Mas’ud dan Ali secara marfu’ bahwa ayat Lau Anzalna Hadzal Qur’ana ‘Alaa Jabalin… sampai akhir surah (Q.S. Alhasyr [59]: 21-24) itu merupakan obat sakit kepala.
Nabi memberikan resep, ketika kita merasa pusing, bacakan saja empat ayat terakhir dari Q.S. Alhasyr ayat 21-24 di bawah ini:
Lalu Imam As-Suyuthi juga mengutip riwayat Al-Khatib Al-Baghdadi. Beliau berkata dalam kitab Tarikh-nya, yang intinya para ulama dalam hadis panjang tersebut menceritakan, bahwa ketika mereka mengaji Alquran kepada guru-guru mereka dan sampai pada ayat Lau Anzalna Hadzal Qur’ana ‘Alaa Jabalin… dst, guru mereka memerintahkan untuk meletakkan tangannya di atas kepala mereka. Kemudian gurunya tersebut berkata:
ضَعْ يَدَكَ عَلَى رَأْسِكَ
“Letakkanlah tanganmu di atas kepalamu”. Lalu sang guru tersebut menceritakan bahwa mereka ketika mengaji sampai ayat ini kepada gurunya diperintahkan hal yang serupa. Demikian seterusnya sampai Ibnu Mas’ud ketika dia membaca sampai ayat tersebut di depan Nabi Muhammad saw., Nabi berkata:
“Letakkanlah tanganmu di atas kepalamu. Karena Jibril ketika menurunkan ayat ini kepadaku dia berkata kepadaku: Letakkanlah tanganmu di atas kepalamu. Karena ayat tersebut adalah obat dari setiap penyakit, kecuali as-sa’mu, dan as-sa’mu itu adalah kematian.”
Dalam kajian ilmu hadis, riwayat Al-Baghdadi di atas disebut hadis musalsal, yaitu sebuah hadis yang para perawinya ketika meriwayatkan secara berurutan menetapi suatu sifat atau keadaan tertentu, baik berupa ucapan, perbuatan, atau selainnya.
Syekh Yasin Al-Fadani dalam Al-Ujalah fi Al-Ahadits Al-Musalsalah(h. 94-95) juga meriwayatkan hadis serupa. Beliau memberinya judul dengan al-musalsal bi wadh’i al-yad ‘alar ra’si ‘inda khotmi suratil hasyr (hadis musalsal dengan meletakkan tangan di atas kepala ketika membaca akhir surah Alhasyr).
Bahkan kalau melihat dari dua riwayat di atas, akhir dari surah Alhasyr ini tidak hanya bisa mengobati pusing kepala saja, tapi penyakit lainnya pun bisa, kecuali kematian. Oleh karena itu, jangan ambil pusing saat kepala pusing.
Amalkan saja petunjuk dari Nabi ini dengan kaifiyah (tata cara) yang telah diajarkannya, yaitu dengan membaca Q.S. Alhasyr ayat ke 21-24 sambil meletakkan tangan di atas kepala.
Demikian penjelasan terkait khasiat akhir surah Al-Hasyr, yang merupakan obat pusing atau sakit Kepala Wallahu a’lam.
Pusat Kesehatan Haji telah membuat project planning atau persiapan kesehatan haji tahun 1443H/2022M. Rencana ini dibuat setelah Arab Saudi pada 9 April lalu resmi mengumumkan siap menyelenggarakan ibadah haji tahun ini dengan 1 juta kuota.
“Bayangkan betapa hectic nya kita. Tidak mudah menyiapkan persiapan kesehatan haji dalam waktu yang sangat singkat ini,” Kata Kepala Pusat Kesehatan Haji Budi Sylvana pada Republika setelah penutupan pembekalan PPIH Arab Saudi gelombang pertama belum lama ini.
Budi bersyukur meski sangat singkat, Pusat Kesehatan Haji telah berhasil melakukan persiapan. Dengan sudah dilakukan persiapan sebelumnya, Pusat Kesehatan Haji tahu apa yang harus dilakukan ketika ada kepastian penyelenggaraan ibadah haji dari Arab Saudi.
“Alhamdulillah meski waktu persiapan sangat singkat kita sudah memetakan apa yang akan kita lakukan di sana,” ujarnya.
Berdasarkan Flyer Project Planning Operasional Kesehatan Haji 2022 yang sudah diterbitkan di media sosial Pusat Kesehatan Haji. Project pertama dimulai pada 25-26 April dengan agenda Integrasi renops ke dalam materi pelatihan integrasi, pada 26- 27 April membuat SK Lab PCR jamaah haji reguler dan Juknis PCR, tanggal 27 dilakukan training technical meeting dengan Lakespra.
Setelah itu, pada tanggal 29 April sampai tanggal 9 Mei dibuat logistik preparedness dan konsolidasi internal, tanggal 10-13 Mei dilakukan training PPIH kesehatan angkatan I, tanggal 13-15 Mei training PPIH kesehatan angkatan II, tanggal 13-14 Mei dilakukan pencatatan dan pelaporan obat perbekes.
Pada tanggal 16-22 Mei training integrasi PPIH, tanggal 16-17 Mei dilakukan vaksinasi meningitis PPIH, tanggal 23-25 Mei training PPIH Kesehatan Angkatan lll, tanggal 16-30 Mei training integrasi kloter (TKH) dan pengurusan dokumen penugasan, tanggal 26 Mei pemberangkatan tim advanced, tanggal 30 Mei pemberangkatan PPIH Madinah, Tim Mobile Bandara dan Tim Promosi Kesehatan.
Dihubungi terpisah, anggota panitia penyelenggara ibadah haji Arab Saudi dari Pusat Kesehatan Haji Dian Septika Sari mengatakan, tim advance yang berangkat pada tanggal 26 mei ini di antaranya Kepala Pusat Kesehatan Haji Budi Sylvana didampingi para koordinator tim.
“Di tim advance ini ada Pak Kapus Budi Sylvana dan para Koordinator tim. Setelah itu tanggal 30 Mei tim PPIH Madinah, Tim Mobile Bandara dan Tim Promosi Kesehatan diberangkatkan dan menyusul pada 8 Juni tim PPIH Makkah berangkat,” katanya.
Dian Septika mengatakan ada tujuh tim dalam penyelenggaraan haji tahun ini yang telah dibentuk Budi Sylvana. Di antaranya:
1. Tim Surveilans.
Tim ini bertugas menyediakan hasil analisis terhadap data pelayanan kesehatan dan memberikan informasi tentang hasil pelayanan kesehatan jemaah haji baik tingkat kloter, sektor, daerah kerja dan Arab Saudi.
2. Emergency Medical Team (EMT).
Tim ini bertugas memperkuat penyelenggaraan pelayanan kesehatan dengan deteksi dini kegawatdaruratan, emergency response, evakuasi dan rujukan jamaah, dan pencatatan pelaporan.
3. Tim Promosi Kesehatan (Promkes).
Tim ini bertugas memberikan pelayanan dalam bentuk promosi kesehatan(Health Promotion), Perlindungan khusus (Spesific Protection), Diagnosa dini dan Pengobatan yang cepat dan tepat (Early diagnostic & Prompt treatment).
4. Tim Mobile Bandara (TMB).
Tim ini bertugas melakukan inspeksi, intervensi dan rekomendasi kesehatan lingkungan di Daker Makkah, Madinah dan Bandara.
5. Tim Sanitasi dan Food Security.
Tim ini bertugas menjamin ketersediaan logistik dari tingkat kloter, sektor, Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) dan Daerah Kerja (Daker) Jeddah, Makkah dan Madinah.
6. Tim logistik dan bekal kesehatan.
Tim ini bertugas menyediakan pelayanan deteksi dini kegawatdaruratan, tatalaksana kegawatdaruratan, mempercepat proses rujukan dan evakuasi terhadap jemaah yang mengalami gangguan kesehatan di bandara serta melaksanakan promotive preventif pada Jemaah Haji yang baru tiba di Arab Saudi pada fase pra armuzna dan yang akan meninggalkan Arab Saudi pada fase pasca Armuzna , pada fase Armuzna TMB memberikan pelayanan emergensi, rujukan dan evakuasi di pos kesehatan Arafah.
7.Tim Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI).
Tim ini bertugas memberikan pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif secara terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan yang didukung oleh manajerial, medical service dan medical support.
Dian mengatakan, PPIH Madinah itu terdiri dari tim KKHI Madinah, tim EMT Madinah,Tim Sanitasi dan Food and Security Madinah, Tim Surveilans Madinah dan Tim logistik dan Bekal Keesehatan Madinah. Sementara PPIH Makkah itu terdiri dari Tim KKHI Makkah, Tim EMT Makkah,Tim Sanitasi dan Food and Security Makkah, Tim Surveilans Makkah dan Tim logistik dan Bekal Kesehatan Makkah.
“Berapa jumlah personil masing-masing tim di Makkah dan Madinah masih menunggu SK,” katanya.
Sesuai draft rencana operasional (Renops) penyelenggaraan kesehatan haji tahun 2022 yang diterbitkan Pusat Kesehatan Haji, masing-masing tim memiliki rencan oprasional di lapangan. Semisal rencana operasional surveilans di lapangan.
Konsep operasional kerja tim surveilans adalah memperkuat penyelenggaraan pelayanan kesehatan haji dengan menyediakan hasil analisis terhadap data pelayanan kesehatan dan memberikan informasi tentang hasil pelayanan kesehatan jamaah haji. Pemberian informask ini dilakukan baik tingkat kloter, sektor, daerah kerja dan Arab Saudi secara menyeluruh.
Kegiatan Surveilans dilakukan melalui proses pengumpulan data, pengolahan data dan penyebaran informasi terkait upaya promotif, preventif, pelayanan kuratif rehabilitatif, upaya emergency, penyelenggaraan sanitasi, pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan, dan penanggulangan penyakit menular.
Jejaring kerja dalam bentuk koordinasi dan teknis pelaporan kegiatan dengan Tenaga Kesehatan Haji (TKH) kloter, Emergency Medical Team (EMT), Tim Promosi Kesehatan, Tim Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI), Tim Mobile Bandara, Tim Sanitasi dan Food Security, serta PPIH Arab Saudi dari Kementerian Agama.
Hasil pengolahan data dan analisis surveilans didokumentasikan dalam bentuk narasi, tabel, grafik, dan/atau gambar. Selanjutnya digunakan sebagai laporan untuk dijadikan bahan pertimbangan tindak lanjut dalam penyelenggaraan kesehatan haji.
Agar rencana operasional dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka dilaksanakan tahapan kegiatan sebagai berikut.
1. Tahap perencanaan.
a. Membuat rencana operasional surveilans berdasarkan hasil evaluasi penyelenggaraan kesehatan haji tahun sebelumnya.
b. Menjelaskan kepada petugas tentang rencana kerja operasional (RKO) yang telah dipersiapkan sejak di Indonesia pada saat pelatihan Kompetensi dan pembekalan Integrasi.
2. Tahap persiapan:
a. Gelar rencana operasional kegiatan surveilans sesuai dengan kebijakan pimpinan.
b. Menyiapkan alat pengolah data, sistem pencatatan dan pelaporan elektronik melalui Siskohatkes, jaringan internet, media komunikasi, mesin cetak, alat tulis dan formulir pencatatan dan pelaporan manual sesuai kebutuhan serta pembagian personil per daerah kerja sesuai penugasan.
c. Mempelajari data dukung regulasi dan kondisi terkini penyakit yang sedang berjangkit, faktor internal dan eksternal Arab saudi yang akan mempengaruhi angka kesakitan dan kematian.
d. Membuat peta lokasi pemukiman jemaah dan peta kegiatan.
3. Tahap Pelaksanaan.
a. Melakukan pengamatan terus menerus terhadap masalah kesehatan Jemaah Haji; b. Melakukan pengumpulan data secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan data Kesehatan dari sistem komputerisasi haji terpadu bidang kesehatan (siskohatkes), pengolahan, analisa, interpretasi data, dan rekomendasi.
c. Melakukan diseminasi informasi data.
d. Melakukan verifikasi rumor masalah kesehatan.
e. Membuat laporan kejadian khusus, seperti peningkatan kasus masalah kesehatan.
f. Membuat laporan harian penyelenggaraan kesehatan haji, yang setidaknya meliputi jumlah jemaah haji sakit, jenis penyakit, jumlah jemaah wafat dan penyebab wafat.
4. Tahap pengakhiran.
a. Evaluasi penyelenggaraan surveilans.
b. Menyusun laporan pelaksanaan kegiatan surveilans
Tujuan dan sasaran operasional:
a. Menurunkan angka kesakitan (morbiditas) Jemaah haji pada penyelenggaraan kesehatan haji tahun 2022 M/1443 H.
b. Menurunkan angka kematian (mortalitas) Jemaah haji pada penyelenggaraan kesehatan haji tahun 2022 M/1443 H.
Tidak ada perbuatan baik yang diajarkan Islam, kecuali memiliki banyak keutamaan baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. Silaturahmi merupakan salah satu perbuatan baik yang paling nampak dan paling penting, karena kebaikannya ditujukan langsung kepada kerabat kita sendiri dan bukan orang lain. Di dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan,
“Sedekah terhadap orang miskin adalah sedekah, sedangkan terhadap keluarga sendiri mendapatkan dua pahala: sedekah dan silaturahmi.” (HR Tirmidzi no. 658, Nasa’i no. 2582, dan Ibnu Majah 1844)
Pentingnya menyambung silaturahmi terbukti dari bagaimana Allah Ta’ala memberikan ganjaran bagi pelakunya di dunia dan di akhirat serta memberikan hukuman bagi mereka yang memutus silaturahmi, baik di dunia maupun di akhirat.
Keutamaan silaturahmi di dunia
Pertama: Memotivasi diri kita untuk lebih mencintai, menyayangi, dan mendahulukan kerabat dekat.
Kedua: Memperkuat hubungan kekeluargaan antar kerabat. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Belajarlah dari nasab kalian yang dapat membantu untuk silaturahmi karena silaturahmi itu dapat membawa kecintaan dalam keluarga, memperbanyak harta, serta dapat memperpanjang umur.” (HR. Ahmad no. 8855 dan Tirmidzi no. 1979).
Ketiga: Meluaskan rezeki dan memanjangkan umur. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya ia menyambung silaturahminya (dengan kerabat).” (HR. Bukhari no. 5985 dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 7571)
Bertambahnya umur di dalam hadis tersebut adalah perpanjangan yang hakiki. Namun, ini berdasarkan ketetapan dan pengetahuan Allah Ta’ala Yang Mahakuasa atas segala sesuatu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah di dalam kitab Majmu’ Fatawa mengatakan,
والأجل أجلان ” أجل مطلق ” يعلمه الله ” وأجل مقيد ” وبهذا يتبين معنى قوله صلى الله عليه وسلم ((مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ)) فإن الله أمر الملك أن يكتب له أجلا، وقال :”إن وصل رحمه زدته كذا وكذا ” والملك لا يعلم أيزداد أم لا ؛ لكن الله يعلم ما يستقر عليه الأمر فإذا جاء ذلك لا يتقدم ولا يتأخر”.
“Ajal ada dua jenis: (1) ajal mutlak, yaitu ajal yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala dan (2) ajal muqayyad (terikat). Dengan klasifikasi ini, maka jelaslah makna hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya ia menyambung silaturrahmi.’ Sesungguhnya Allah memerintahkan malaikat untuk menulis ajal seseorang. Dia mengatakan, ‘Jika orang ini menyambung silaturahminya, maka tambahlah usianya begini dan begini,’ Dan malaikat tidak mengetahui apakah usia orang tersebut akan bertambah atau tidak. Yang mengetahui perkara tersebut secara pasti hanyalah Allah semata. Dan jika ajal orang tersebut benar-benar telah datang, maka tidak akan dimajukan dan ditunda lagi.”
Keempat: Allah Ta’ala akan menyambung silaturahmi dengan mereka yang menyambung silaturahmi kepada kerabatnya.
إن الله تعالى خلق الخلق حتى إذا فرغ منهم قامت الرحم فقالت: هذا مقام العائذ بك من القطعية. قال: نعم. أما ترضين أن أصل من وصلك، وأقطع من قطعك؟ قالت: بلى، قال: فذلك لك.
“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk. Dan jika telah usai darinya, rahim berdiri lalu berkata, ‘Ini adalah tempat berlindung dari pemutusan silaturahmi.’ Maka Allah berfirman, ‘Ya, bukankah kamu merasa senang aku akan menyambung hubungan dengan orang yang menyambungmu, dan akan memutus orang yang memutuskan denganmu?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ Allah Ta’ala berfirman, ‘Demikian itu hakmu.’” (HR. Muslim no. 2554)
Keutamaan silaturahmi di akhirat
Pertama: Silaturahmi merupakan sebab masuk surga. Abu Ayub Al-Ansari radhiyallahu ‘anhu menceritakan,
أنَّ رَجُلًا قالَ للنبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: أخْبِرْنِي بعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الجَنَّةَ، قالَ: ما له ما له. وقالَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: أرَبٌ ما له، تَعْبُدُ اللَّهَ ولَا تُشْرِكُ به شيئًا، وتُقِيمُ الصَّلَاةَ، وتُؤْتي الزَّكَاةَ، وتَصِلُ الرَّحِمَ.
“Seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkanku ke surga.” Orang-orang pun berkata, “Ada apa dengan orang ini, ada apa dengan orang ini.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Biarkanlah urusan orang ini.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan sabdanya, “Kamu beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya, menegakkan salat, dan membayar zakat, serta menjalin tali silaturahmi.” (HR. Bukhari no. 1396)
Di hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
“Wahai sekalian manusia, tebarkanlah salam, berilah makan, sambunglah silaturahmi, dan kerjakanlah salat pada waktu malam ketika manusia sedang tidur. Niscaya, kalian akan dimasukkan ke dalam surga dengan keselamatan.” (Lihat Shahihul Jaami’ no. 7865 karya Al-Albani)
Dari kedua hadis ini jelaslah bahwa silaturahmi merupakan salah satu sebab masuk ke dalam surga dan inilah keinginan serta harapan seluruh kaum muslimin. Cukuplah hal ini sebagai keutamaan yang diharapkan dari menyambung tali silaturahmi.
Kedua: Silaturahmi merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah serta merupakan usaha untuk mendapatkan keridaan Allah Ta’ala, karena Allahlah yang memerintahkan kita untuk melakukannya.
Ketiga: Silaturahmi akan menambah pahala dan kebaikan bagi pelakunya setelah ia meninggal dunia. Mengapa? Karena kerabat dan orang-orang kesayangannya akan selalu mendoakannya setiap kali disebutkan nama orang tersebut dan bagaimana kebaikan serta silaturahmi yang telah ia lakukan sebelum kematiannya.
Hukuman bagi yang memutus silaturahmi di dunia
Pertama: Hukuman memutus silaturahmi yang Allah segerakan di dunia.
“Tidak ada satu dosa yang lebih pantas untuk disegerakan hukuman bagi pelakunya di dunia bersamaan dengan hukuman yang Allah siapkan baginya di akhirat daripada baghyu (kezaliman dan berbuat buruk kepada orang lain) dan memutuskan tali kerabat.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 29; Tirmidzi no. 2511; Abu Dawud no. 4902)
Kedua: Amalan orang yang memutus silaturahmi tertolak
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إن أعمال بني آدم تعرض كل خميس ليلة الجمعة فلا يقبل عمل قاطع رحم
‘Sesungguhnya amal ibadah manusia diperlihatkan setiap hari Kamis malam Jumat. Maka tidak diterima amal ibadah orang yang memutuskan hubungan silaturahmi.’” (HR. Bukhari di dalam Adabul Mufrad no. 61 dan Ahmad di dalam Musnad-nya no. 10277)
Cukuplah hadis ini sebagai pengingat agar diri kita terhindar dari memutus hubungan silaturahmi terhadap kerabat dekat yang telah Allah Ta’ala perintahkan.
Ketiga: Memutus tali silaturahmi menjauhkan pelakunya dari keberkahan rezeki dan panjangnya umur.
Imam At-Thibii rahimahullah mengatakan,
إن الله يبقي أثر واصل الرحم طويلا ؛ فلا يضمحل سريعا كما يضمحل أثر قاطع الرحم
“Allah akan mempertahankan efek menjalin silaturahmi dalam jangka waktu yang lama, dan itu tidak akan cepat menghilang sebagaimana hilangnya efek memutus silaturahmi.” (Fathul Baari karya Ibnu Hajar, 10: 416)
Efek dari memutus silaturahmi adalah dengan dijauhkannya si pelaku dari keberkahan rezeki dan panjangnya umur.
Hukuman memutus silaturahmi di akhirat
Pertama: Memutus tali silaturahmi merupakan sebab pelakunya terlarang dari masuk surga.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ. قال سفيان: قَاطِعَ رَحِمٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang memutus silaturahmi.” (HR. Bukhari no. 5984 dan Muslim no. 2556)
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Hadis ini memiliki 2 makna:
Yang pertama, hadis ini dimaksudkan untuk mereka yang menghalalkan memutus silaturahmi tanpa sebab dan tanpa ada faktor dan ia mengetahui akan keharamannya (keharaman memutus silaturahmi tanpa sebab). Maka orang tersebut dihukumi kafir dan akan kekal di neraka.
Yang kedua, mereka yang memutus silaturahmi tidak akan dimasukkan terlebih dahulu ke dalam surga bersama orang-orang yang masuk surga pertama kali. Akan tetapi, Allah hukum terlebih dahulu sampai batas waktu yang Allah inginkan.”
Kedua: Pemutus tali silaturahmi akan diazab di hari kiamat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Tidak ada satu dosa yang lebih pantas untuk disegerakan hukuman bagi pelakunya di dunia bersamaan dengan hukuman yang Allah siapkan baginya di akhirat daripada baghyu (kezaliman dan berbuat buruk kepada orang lain) dan memutuskan kerabat.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 29; Tirmidzi no. 2511; Abu Dawud no. 4902)
Hadis ini dengan jelas menunjukkan bahwa pemutus tali silaturahmi akan diazab di akhirat di samping ia akan mendapatkan hukuman yang disegerakan di dunia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki beberapa keistimewaan yang tidak dimiliki oleh para Nabi dan Rasul sebelumnya, yaitu:
Keistimewaan pertama, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Nabi yang paling agung dan memiliki kedudukan paling tinggi di sisi Allah Ta’ala
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah melebihkan atau mengistimewakan sebagian Rasul-Nya di atas sebagian Rasul yang lain. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat.” (QS. Al-Baqarah: 253)
“Dan sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian (yang lain).” (QS. Al-Isra’: 55)
Allah Ta’ala telah menjadikan Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Nabi dan Rasul yang paling agung. Dalam hadis tentang syafaat, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
أَنَا سَيِّدُ النَّاسِ يَوْمَ القِيَامَةِ
“Aku adalah pemimpin seluruh manusia pada hari kiamat.” (HR. Bukhari no. 4712 dan Muslim no. 194)
Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah penutup para Nabi, imam (pemimpin) bagi orang-orang yang bertakwa, dan pemimpin para Rasul.” (Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 38)
Al-Ajuri rahimahullah berkata, “Ketahuilah, semoga Allah merahmati kami dan kalian, sesungguhnya Allah Ta’ala telah memuliakan Nabi-Nya Muhammad dengan kemuliaan yang tertinggi, menyifati beliau dengan sifat yang paling baik, menggambarkan beliau dengan karakter yang paling indah, dan mendudukkannya pada kedudukan yang tertinggi.” (Asy-Syari’ah, 3: 1386)
Ibnu Abil ‘Iz Al-Hanafi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu mengabarkan kepada kita bahwa beliau adalah pemimpin anak keturunan Adam hanyalah karena kita tidak mungkin mengetahui hal itu, kecuali melalui berita yang disampaikan oleh beliau sendiri. Hal ini karena tidak ada lagi Nabi sepeninggal beliau yang akan mengabarkan kepada kita agungnya kedudukan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam di sisi Allah. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan kepada kita tentang keutamaan para Nabi sebelum beliau, shallallahu ‘alaihim ajma’in.” (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 164)
Keistiwaan kedua, Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam diutus kepada seluruh umat manusia dan bangsa jin sekaligus
Sesungguhnya risalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu bersifat umum, ini termasuk salah satu keistimewaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Risalah yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam itu memiliki dua keumuman:
Pertama, umum ditinjau dari kepada siapa risalah tersebut ditujukan. Risalah beliau mencakup seluruh manusia dan jin, tidak ada satu pun pengecualian.
Kedua,umum ditinjau dari kandungan risalah yang dibawa, karena mencakup semua yang dibutuhkan oleh umatnya, baik dari sisi pokok (ushul) maupun cabang (furu’) dalam agama.
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’: 28)
Qatadah rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala mengutus Muhammad kepada bangsa Arab dan bangsa non-Arab. Yang paling mulia di antara mereka adalah yang paling taat kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Tafsir Ath-Thabari, 20: 405)
Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala mengatakan, ‘Tidaklah Kami mengutusmu wahai Muhammad hanya kepada orang-orang musyrik dari kaummu saja. Akan tetapi, Kami mengutusmu kepada umat manusia seluruhnya, baik bangsa Arab ataupun bangsa non-Arab, sebagai pembawa berita bagi siapa saja yang taat kepadamu, dan sebagai pemberi peringatan bagi siapa saja yang mendustakanmu. Akan tetapi, kebanyakan manusia tiada mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala mengutusmu kepada seluruh umat manusia.’” (Tafsir Ath-Thabari, 20: 405)
“Katakanlah, ‘Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua.’” (QS. Al-A’raf: 158)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Seruan ini ditujukan kepada bangsa Arab maupun non-Arab, ‘Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua’, maksudnya seluruh manusia. Ini merupakan kemuliaan dan keagungan beliau shallallahu ‘laihi wasallam, bahwa beliau adalah penutup para Nabi, dan sesungguhnya beliau diutus kepada seluruh umat manusia.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3: 489)
Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah berkata menegaskan keistimewaan ini, “Dan beliau diutus kepada seluruh jin dan manusia dengan membawa kebenaran dan petunjuk, (dan dengan membawa) cahaya dan penerang.” (Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 39)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam itu diutus kepada ‘ats-tsaqolain’ (dua golongan, yaitu jin dan manusia, pent.) berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.” (Majmu’ Al-Fataawa, 11: 303)
Adapun para Nabi yang lain, risalah mereka hanya khusus ditujukan kepada kaumnya saja. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya dia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (QS. Ibrahim: 4)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah sunnatullah yang berlaku bagi makhluk-Nya, bahwa sesungguhnya Allah tidaklah mengutus seorang Nabi kepada suatu kaum, kecuali dengan bahasa mereka. Maka setiap Nabi hanya khusus menyampaikan risalahnya kepada umatnya saja, tidak kepada selain mereka. Sedangkan Muhammad bin Abdillah memiliki keistimewaan bahwa risalahnya mencakup seluruh umat manusia.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4: 477)
Di antara dalil yang menguatkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang dari umat ini, baik Yahudi dan Nasrani, mendengar tentangku, kemudian dia meninggal dan tidak beriman dengan agama yang aku diutus dengannya, kecuali dia pasti termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim no. 153)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga diutus kepada golongan jin. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al-Qur’an, maka ketika mereka menghadiri pembacaannya, mereka berkata, ‘Diamlah kamu (untuk mendengarkannya).’ Ketika pembacaan telah selesai, mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.”
“Mereka berkata, “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.”
“Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih.”
“Dan orang yang tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah, maka dia tidak akan melepaskan diri dari azab Allah di muka bumi dan tidak ada baginya pelindung selain Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Ahqaf: 29-32)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kaum muslimin bersepakat bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam diutus kepada jin dan manusia. Sesungguhnya wajib atas bangsa jin untuk taat kepada beliau, sebagaimana umat manusia juga wajib taat kepada beliau.” (Thariqul Hijratain, hal. 417)
Ketika menjelaskan surah Al-Ahqaf ayat 31, Syekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata, “Pemahaman langsung (baca: manthuq) dari ayat ini adalah bahwa siapa saja yang menerima seruan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan beriman kepadanya dan beriman kepada ajaran kebenaran yang beliau bawa, maka Allah akan mengampuni dosanya dan melepaskannya dari azab yang pedih. Adapun pemahaman kebalikan (baca: mafhum mukhalafah) dari ayat ini bahwa siapa saja dari bangsa jin yang tidak menerima seruan beliau, tidak beriman kepadanya, maka Allah tidak mengampuninya dan tidak melepaskannya dari azab yang pedih, bahkan Allah akan menazabnya dan memasukkannya ke dalam neraka. Pemahaman ini dijelaskan dengan gamblang di ayat yang lain,
“Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan, sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.” (QS. Huud: 119)
“Akan tetapi, telah tetaplah perkataan dari-Ku, ‘Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama.’” (QS. As-Sajdah: 13) (Adhwaul Bayaan, 7: 226)
Allah SWT membuka pintu tobat untuk Muslimah yang pernah umbar aurat
Sebagian Muslimah mungkin pernah mengumbar auratnya lalu dipajang di media sosial sebelum masa-masa dia berhijrah, misalnya. Bagaimana dengan sudah terlanjurnya foto-foto yang terlanjur terpajang tersebut?
Ketua Umum Al Washliyah, KH Masyhuril Khamis, menjelaskan setiap manusia masih selalu diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri sebelum ajal menjemput. Dan pertobatan nasuha akan menghapus seluruh dosa kita yang telah lalu.
“Bahkan dalam sebuah hadits dikatakan bahwa seseorang yang mau bertobat kepada Allah SWT, pasti akan diterima dan Allah SWT tidak peduli sebesar apapun dosa-dosa kita,”ujar dia kepada Republika.co.id, Senin (16/5/2022).
Anas bin Malik menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman:
”Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau menyeru dan mengharap pada-Ku, maka pasti Aku ampuni dosa-dosamu tanpa Aku pedulikan. Wahai anak Adam, seandainya dosamu membumbung tinggi hingga ke langit, tentu akan Aku ampuni, tanpa Aku pedulikan. Wahai anak Adam, seandainya seandainya engkau mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi dalam keadaan tidak berbuat syirik sedikit pun pada-Ku, tentu Aku akan mendatangi-Mu dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (HR Tirmidzi no 3540)
Ulama mengatakan syarat tobat ada tiga, Pertama, berhenti dari maksiat tersebut. Kedua, menyesali kesalahan tersebut. Ketiga, berkomitmen tidak akan mengulanginya.
Jika ketiga syarat ini terpenuhi, maka tobatnya sah disebut tobat nasuha. namun jika salah satu dari tiga syarat tidak terpenuhi, maka pertobatan itu tidak akan menghapus dosa-dosa yang lalu.
Selanjutnya, dosa yang dia lakukan ada hubungannya dengan orang lain, maka ada satu tambahan, yaitu memperbaiki masalah yang timbul karena dosa kita.
Jika dosanya mengambil harta, maka kembalikan, jika dosanya adalah menghibah, maka memohon maaf, jika dosanya adalah menyebarkan foto yang terbuka auratnya, maka hapuslah dan perbaiki semampunya. Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imran ayat 89:
“Kecuali orang-orang yang bertobat setelah itu, dan melakukan perbaikan, maka sungguh, Allah Mahapengampun, Mahapenyayang.”
“Namun jika syarat nomor empat ini tidak bisa dilakukan secara sempurna, karena keterbatasan kemampuan setelah berusaha semampu kita, maka Insya Allah, Allah SWT telah melihat usaha kita dan semoga diterima pertobatan kita. Sebagaimana Allah SWT memerintahkan kita untuk bertakwa semampu kita,” jelas dia.
Pertobatan serta perbaikan atas kesalahan yang telah lalu memang menjadi syarat diterimanya tobat. namun semua itu dibebankan kepada kita hanya sebatas kemampuan kita saja. Di luar itu maka Allah SWT tidak akan menghisab kita di luar kemampuan.
Jadi kesimpulannya semua perbuatan kita masa lalu yang kita sadari kurang baik tentunya kita bertaubat, termasuk mengunggah foto-foto tanpa hijab, karenanya diupayakan untuk menghapusnya sedaya mampunya.
“Kesungguhan untuk bertobat menjadi catatan baik mendapatkan ampunan Nya. Insya Allah pintu tobat tetap di buka sebelum ajal tiba, namun perlu diingat, ajal kita tdk menunggu tobat kita,” ujar dia.
Penyelenggaraan ibadah haji 2022 diyakini Kemenag sukses.
Kementerian Agama yakin penyelenggaraan ibadah haji Tahun 2022 sukses dan berjalan lancar sesuai rencana. Hal itu disampaikan Plt Direktur Bina Umroh Haji Khusus
Kemenag RI Mujib Roni, saat menjadi pembicara diskusi publik ‘Menuju Sukses Haji Tahun 2022’ yang digelar Afiliasi Mandiri Penyelenggara Umroh Haji (Ampuh), Sabtu (14/5/2022).
“Penyelenggaraan ibadah haji tahun 2022 ini yakin akan sukses,” kata Mujib.
Mujib mengatakan kesuksesan itu dapat dicapai jika semua pihak yang berkepentingan dengan umrah haji baik pemerintah maupun swasta dapat bekerjasama. Karena kesuksesan penyelenggaraan ibadah haji setiap tahunnya menjadi tanggung jawab bersama.
“Tetapi catatannya adalah satu yang utama adalah kita harus bersinergi,” ujarnya.
Mujib menegaskan, sekuat apapun kemampuan pemerintah mengkoordinasi penyelenggaraan ibadah haji ini tidak akan berarti. Jika tidak ada kerjasama dari pihak swasta dalam hal ini penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK) sebagai penyelenggara haji khusus.
“Artinya sekuat dan sebesar apapun fower yang dimiliki negara, seperti dikata Pak Dirjen PHU, kalau kemudian tidak mendapatkan support dan kerja sama yang baik dengan para PIHK dengan asosiasi menurut saya ini adalah sebuah kemustahilan,” katanya.
Mujib menegaskan, keterbatasan waktu persiapan penyelenggaraan ibadah haji harus disikapi dengan percaya diri. Jangan sampai singkatnya waktu persiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun ini mengurangi rasa optimisme sukseskan penyelenggaraan ibadah haji.
“Maka kemudian keterbatasan-keterbatasan yang ada harus kita sikapi secara optimis,” katanya.
Menurutnya, saat ini tidak ada pilihan lain selain optimis bahwa penyelenggaraan ibadah haji harus disukseskan. Untuk itu pihak swasta dalam hal ini PIHK membantu kerja pemerintah mempersiapkan persiapan penyelenggaraan ibadah haji.
“Kita harus optimis, kita harus bersinergi, kita harus berangkat dan duduk bersama untuk bisa menyelenggarakan haji khusus ini dengan sebaik – baiknya,” katanya.
Mujab mengatakan semua tahu bahwa persiapan penyelenggaraan haji tahun ini sangat singkat. Sehingga membuat banyak kekurangan dalam beberapa hal.
“Meskipun kita punya berbagai keterbatasan, perusahaan juga keterbatasan SDM nya waktunya dan seterusnya,” katanya.
Menurutnya, selain swasta yang memiliki banyak keterbatasan, pemerintah juga sama dibatasi dengan waktu dan sumber daya manusia (SDM) untuk mempersiapkan penyelenggaraan haji tahun ini
“Di sisi yang lain kami juga punya keterbatasan, keterbatasan anggaran juga terbatas SDM, kemudian waktu juga sangat terbatas,” katanya.
Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan RI memiliki tujuh tim yang tergabung dalam panitia penyelenggara ibadah haji (PPIH) Bidang Kesehatan Arab Saudi yang tengah mengikuti pelatihan di Lakespra dr Saryanto. Anggota PPIH Arab Saudi dari Pusat Kesehatan Haji Dian Septika Sari mengatakan, tujuh tim ini dibentuk Kepala Pusat Kesehatan Haji Budi Sylvana untuk menjaga kesehatan jamaah haji.
Ada tujuh tim kesehatan yang telah dibentuk Pak Kapuskes Haji Budi Sylvana yang akan melayani jamaah,” kata Dian saat dihubungi Republika, Sabtu (14/5).
Dian merinci di antara tujuh tim PPIH Bidang Kesehatan Arab Saudi itu di antaranya:
1. Tim Surveilans.
2. Emergency Medical Team (EMT).
3. Tim Promosi Kesehatan (Promkes).
4. Tim Mobile Bandara (TMB).
5. Tim Sanitasi dan _Food Security_ .
6. Tim logistik dan perbekalan kesehatan.
7.Tim Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI).
Dian mengatakan, secara khusus tujuh tim yang tergabung dalam PPIH (Panitia Penyelenggara Ibadah Haji) bidang kesehatan Arab Saudi ini bertugas untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian pada jamaah haji selama periode penyelenggaraan kesehatan haji tahun ini. Sesuai data Pusat Kesehatan Haji selama 10 tahun terakhir angka kematian jamaah haji Indonesia selalu tinggi.
“Untuk itu kami di PPIH Bidang Kesehatan Arab Saudi diberikan amanah oleh negara melalui Kapuskes Haji Bapak Budi Sylvana untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian pada jamaah haji,” ujarnya.
Dian menuturkan, saat operasional haji tahun 2019 kematian jamaah haji terus meningkat. Berdasarkan analisa kematian pada jamaah haji mulai hari ke-25 hingga hari ke-60 perharinya kematian ini mencapai 10-39 orang.
“Inilah yang kita sebut sebagai periode kritis (critical periode),” katanya.
Dian mengatakan ada 298 petugas kesehatan haji yang tergabung dalam peserta nominatif PPIH bidang kesehatan Arab Saudi. Saat ini peserta nominatif PPIH bidang kesehatan Arab Saudi tengah mengikuti pembekalan calon petugas PPIH Bidang Kesehatan Arab Saudi dalam rangka menumbuhkan jiwa korsa selama tiga hari.
“Petugas kesehatan tersebut merupakan dokter, perawat, apoteker dan profesi lainnya di bidang kesehatan,” katanya.
Dian mengatakan, angkatan pertama telah selesai mengikuti pembekalan yang dimulai sejak tanggal 10-12 Mei. Sementara angkatan kedua pembekalannya dimulai tanggal 13-15 Mei dan angkatan ketiga latihannya dimulai tanggal 22-23 Mei.
Fatwa Syekh Prof. Dr. Ashim Al Qaryuti hafizhahullah
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, kepada-Nya aku memohon pertolongan, selawat dan salam kepada Rasulullah. Amma ba’du,
Aku ditanya,
Bagaimana seorang istri bisa meraih keridaan suaminya, agar suaminya memperhatikannya dan juga keluarganya?
Aku katakan,
Sudah semestinya bagi seorang laki-laki ataupun perempuan, sebagai suami atau istri, untuk bertakwa kepada Allah dan memperhatikan kewajiban-kewajibannya yang telah Allah Ta’ala tentukan. Seorang laki-laki harus memperhatikan hak dan kewajibannya. Seorang perempuan juga harus memperhatikan hak dan kewajibannya. Dan masing-masing juga memperhatikan hak dan kewajiban pasangannya masing-masing.
Terkait dengan pertanyaan yang disebutkan, secara ringkas jawabannya adalah sebagai berikut:
Pertama, hendaklah seorang istri berusaha untuk memperhatikan keridaan suaminya dari berbagai sisi kehidupan rumah tangga. Agar suami rida dengan penampilannya, rida dengan pakaiannya, rida dengan makanannya, rida dengan urusan rumah, dan rida dengan apa yang diberikan suami. Intinya, bagaimana caranya agar ketika suami melihat urusannya dan urusan rumahnya, maka dia merasa senang. Dengan begitu, suami akan rida. Jangan sampai mata suami melihat sesuatu yang tidak diridainya di rumahnya. Termasuk juga dalam urusan ranjang, hendaknya sang istri membuat suaminya rida sehingga jangan sampai pandangan mata suami melihat hal-hal yang haram di luar sana dengan izin Allah Ta’ala.
Kedua,hendaknya seorang istri memahami status suami bahwa dialah laki-laki pemimpin rumah tangga. Jangan sampai istri mengambil keputusan yang harusnya diambil oleh suami. Istri boleh saja memberikan saran dan pendapat, namun keputusan tetaplah di tangan suami dengan mempertimbangkan yang paling tepat. Istri mesti melaksanakan apa yang menjadi keputusan suami selama dia mampu melaksanakannya dan selama keputusan itu bukanlah sesuatu yang mengandung unsur kemaksiatan kepada Allah.
Jadilah istri yang taat kepada putusan suami dan janganlah menentangnya sehingga menjadikan suami seakan-akan berhadapan dengan lelaki. Jangan mengusik urusan kepemimpinan suami dalam rumah tangga. Jika seorang istri mengusik urusan kepemimpinan suami, maka hal itu akan mengurangi kasih sayang suami terhadapnya dan menjadikan suami enggan memperhatikan istrinya.
Ketiga, tumbuhkan rasa percaya dalam urusan yang dipercayakan kepada istri, baik dalam urusan rumah, urusan uang, urusan anak-anak, dan urusan lainnya. Jadilah orang yang amanah dalam urusan yang diberikan kepadanya. Jagalah amanah tersebut sebaik-baiknya seakan-akan Anda sedang diawasi oleh suami Anda, bahkan lebih dari itu. Jika hal ini dilakukan istri, maka seorang suami akan semakin bertambah sayang, cinta, dan perhatian sehingga tumbuhlah kasih sayang di antara keduanya.
Kemudian jika semua ini telah berusaha untuk ditempuh, namun sang suami tidak juga berubah hendaknya ia membuka diskusi dengan suami dengan cara yang baik. Apa yang diinginkan? Mengapa ia bersikap demikian? Dan lain sebagainya.
Tentang anak-anak, maka sang istri tetaplah harus mendidik mereka, memperhatikan mereka, dan juga mengajarkan mereka untuk tetap mencintai dan berbuat baik kepada ayahnya. Ajarkan anak-anak untuk tetap hormat pada ayahnya walaupun ada sikap sang ayah yang kurang baik pada mereka atau ada sikap yang keliru. Jangan membuat mereka terlibat dalam perselisihan yang terjadi antara ia dengan suaminya. Bahkan walaupun terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan antara suami dan istri, jangan jadikan anak-anak sebagai korban dengan menjadikannya menyimpan rasa benci kepada ayahnya.
Yang kami maksudkan tentunya bukanlah anak-anak yang sudah dewasa dan bisa bersikap, namun hal ini khusus jika anak-anak masih kecil. Berusahalah untuk mendidik mereka agar tetap mereka tetap berbakti, berbuat baik, taat, dan memperhatikan ayahnya.
Ini beberapa hal yang bisa kami jawab dari pertanyaan saudari yang mulia. Aku memohon kepada Allah Ta’ala agar Dia menjadikan kita semua bisa berbuat ketaatan pada-Nya, agar Dia menjadikan kebahagiaan pada kaum muslimin, pada keluarga mereka, bersama suami, istri, anak-anak, ayah, dan ibu mereka. Wallahu a’lam.
Sebagaimana kita ketahui, terdapat hadits yang melarang kita mengkhususkan puasa sunah di hari Jumat. Bagaimana jika seseorang puasa sunah di bulan Syawal, akan tetapi bertepatan di hari Jumat?
Jawabannya, dia tetap bisa berpuasa pada hari Jumat dengan menggandengkannya dengan hari sebelum dan sesudahnya, semisalnya hari Kamis-Jumat atau hari Jumat-Sabtu. Meskipun ada pendapat yang menyatakan tidak mengapa puasa Syawal pada hari Jumat saja dengan tujuan dan maksud tidak mengkhususkan hari Jumat tersebut, tetapi karena memang waktu yang luang hanya hari Jumat saja. Namun untuk lebih hati-hati, lebih baik menggandengkan puasa tersebut.
Hadits yang melarang puasa sunah dikhususkan di hari Jumat adalah sebagai berikut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Janganlah kalian mengkhususkan malam Jumat dengan salat malam tertentu yang tidak dilakukan pada malam-malam lainnya. Janganlah pula mengkhususkan hari Jumat dengan puasa tertentu yang tidak dilakukan pada hari-hari lainnya, kecuali jika ada puasa yang dilakukan karena sebab ketika itu.” (HR. Muslim)
Hikmah larangan ini adalah karena hari Jumat adalah hari raya pekanan kaum muslimin dan hari agar kita lebih bersemangat dalam beribadah. An-Nawawi rahimahullah menjelaskan,
قال العلماء : والحكمة في النهى عنه : أن يوم الجمعة يوم دعاء وذكر وعبادة ، من الغسل والتبكير إلى الصلاة وانتظارها واستماع الخطبة وإكثار الذكر بعدها….. وغير ذلك من العبادات في يومها ، فاستحب الفطر فيه ، فيكون أعون له على هذه الوظائف وأدائها بنشاط وانشراح لها
“Ulama menjelaskan hikmah larangan tersebut adalah bahwa pada hari Jumat merupakan hari berdoa, dzikir, dan ibadah, mandi, takbir, salat, menunggu waktu salat, mendengarkan khutbah, dan memperbanyak dzikir setelahnya … Dan ibadah lainnya pada hari tersebut. Lebih disukai agar tidak berpuasa pada hari itu agar lebih fokus melaksanakan ibadah-ibadah ini dengan semangat.” (Lihat Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan bahwa hukumnya makruh. Beliau rahimahullah berkata,
إن السنة مضت بكراهة إفراد رجب بالصوم، وكراهة إفراد يوم الجمعة
“Petunjuk sunah yang terdahulu yaitu makruhnya mengkhususkan puasa Rajab dan mengkhususkan puasa hari Jumat.” (Fatawa al-Kubra, 6: 160)
an-Nawawi rahimahullah memberikan solusi dengan menggandengkan puasa Jumat dengan hari sebelum dan sesudahnya. Beliau rahimahullah berkata,
“Para ulama Syafi’iyah berkata bahwa dimakruhkan mengkhusukan puasa pada hari Jumat saja. Namun hendaknya disambung dengan puasa pada hari sebelum atau sesudahnya. Apabila hari Jumat bertepatan dengan puasa nazar, semisal hari dia mendapatkan kesembuhan atau pas hari kedatangan si fulan, maka puasa pada hari Jumat itu tidaklah makruh.” (Al-Majmu’, 6: 479)
Hal ini sebagaimana hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لا يَصُومَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ
“Janganlah salah seorang di antara kalian berpuasa pada hari Jumat, kecuali jika dia berpuasa pula pada hari sebelum atau sesudahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ada pendapat bolehnya puasa hari Jumat saja, jika tidak ada niat mengkhususkan dan hanya pada hari Jumat itu saja dia memiliki keluangan waktu. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
فالحاصل أنه إذا أفرد يوم الجمعة بصوم لا لقصد الجمعة، ولكن لأنه اليوم الذي يحصل فيه الفراغ، فالظاهر إن شاء الله أنه لا يكره، وأنه لا بأس بذلك.
“Kesimpulannya, jika dia mengkhususkan puasa pada hari Jumat, bukan dengan maksud hari Jumatnya saja, tetapi karena memang hari Jumat itu ia luang dan sempat, maka secara dzahir hukumnya tidaklah makruh dan tidak mengapa.” (Syarhul Mumti’, 6: 477)
Pada pembahasan sebelumnya, telah kita ketahui siapa saja kerabat yang wajib untuk disambung silaturahminya dan siapa saja yang disunahkan untuk kita sambung. Hanya saja, jika ternyata kerabat tersebut merupakan seorang yang fasik ataupun kafir, apakah kita tetap wajib menyambung silaturahmi dengan mereka?
Apa batasan sehingga seorang kerabat dikatakan fasik?
Secara bahasa fasik berasal dari kata Al-Fisqu (الفسق) yang memiliki arti keluarnya sesuatu dari sesuatu dengan tujuan kerusakan.
Secara istilah, fasik adalah mereka yang keluar dari ketaatan kepada Allah Ta’ala, baik itu karena melakukan sebuah dosa besar ataupun karena terus menerus melakukan dosa kecil.
Sehingga apabila seorang kerabat melakukan sebuah dosa besar atau terus-menerus berbuat dosa kecil, maka ia dianggap sebagai orang fasik. Menyambung silaturahmi dengannya tergantung keadaan kefasikannya, karena terkadang seseorang itu menampakkan kefasikannya dan terkadang menyembunyikannya.
Menyambung silaturahmi dengan kerabat fasik
Menyambung silaturahmi dengan kerabat fasik ada dua tingkatan:
Tingkat pertama: Jika orang tersebut menampakkan kefasikannya, maka tidak boleh berbaik hati dengannya, (boleh) memutus silaturahmi dengannya dan memboikotnya. Hal ini merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah Ta’ala yang paling mulia. Kecuali jika dalam menyambung silaturahmi dan berbaik hati kepada mereka, dapat mencegah sebuah kemungkaran ataupun mendapatkan kemanfaatan. Contohnya adalah menghindarkan diri dari keburukan orang tersebut, maka disunahkan untuk menyambung silaturahmi dengan mereka. Akan tetapi, harus ditakar menyesuaikan kebutuhan. Allah Ta’ala berfirman,
اِلَّآ اَنْ تَتَّقُوْا مِنْهُمْ تُقٰىةً
“Kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka.” (QS. Al-Imran: 28).
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah menceritakan,
أنَّهُ اسْتَأْذَنَ علَى النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ رَجُلٌ فَقالَ: ائْذَنُوا له، فَبِئْسَ ابنُ العَشِيرَةِ – أوْ بئْسَ أخُو العَشِيرَةِ – فَلَمَّا دَخَلَ ألَانَ له الكَلَامَ، فَقُلتُ له: يا رَسولَ اللَّهِ، قُلْتَ ما قُلْتَ، ثُمَّ ألَنْتَ له في القَوْلِ؟ فَقالَ: أيْ عَائِشَةُ، إنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْزِلَةً عِنْدَ اللَّهِ مَن تَرَكَهُ – أوْ ودَعَهُ النَّاسُ – اتِّقَاءَ فُحْشِهِ
“Seorang laki-laki meminta izin kepada Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam. Beliau lalu bersabda, “Izinkanlah dia masuk, ia adalah sejelek-jelek anak dari kabilahnya, atau sejelek-jelek orang dari kabilahnya.” Ketika orang itu masuk, beliau berbicara kepadanya dengan suara yang lembut, lalu aku bertanya, “Wahai Rasulullah, Anda berkata seperti ini dan ini, namun setelah itu Anda berbicara dengannya dengan suara yang lembut.” Maka beliau bersabda, “Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya seburuk-buruk kedudukan manusia di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang ditinggalkan oleh manusia karena takut akan kejahatannya.” (HR. Bukhari no. 1631)
Orang ini adalah pembuat kerusakan dan kejahatan. Karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan gibah kepada orang itu mengenai apa yang layak baginya. Beliau bersabda, “Sejelek-jelek orang dari kabilahnya.” Ini demi mengingatkan manusia dari keburukannya sehingga mereka tidak terperdaya olehnya.
Adapun sikap ramah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada lelaki tersebut merupakan bagian dari sikap akrab. Para ulama sendiri menetapkan bahwa akrab dan ramah dalam bergaul adalah sesuatu yang dituntut ketika berinteraksi dengan orang lain. Ini berbeda dengan sikap cari muka. Tindakan mencari muka merupakan tindakan tercela, karena dapat menyebabkan seseorang meninggalkan kewajiban atau melakukan hal yang dilarang.
Tingkat kedua: Orang yang menyembunyikan kefasikan dan ke-bid’ah-annya, maka ia diperlakukan sebagaimana seorang muslim pada umumnya, sehingga wajib menyambung silaturahmi dengannya dan menasihatinya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
“Bukanlah orang yang menyambung silaturahmi (dengan sempurna) adalah (karena) membalas (kebaikan keluarga/kerabatnya). Akan tetapi, orang yang menyambung silaturahmi adalah orang yang jika diputuskan hubungan silaturahmi dengannya, maka dia (justru) menyambungnya.” (HR. Bukhari no. 5645)
As-Subki rahimahullah berkata (menjelaskan hadis ini), “Hadis ini menunjukkan kewajiban menyambung silaturahmi dengan kerabat fasik kita. Karena mereka yang memutuskan silaturahmi termasuk telah melakukakan kefasikan, sedangkan di hadis ini kita diperintahkan untuk menyambung silaturahmi dengan mereka.”
Harus dipahami, memutus silaturahmi dengan kerabat yang melakukan perbuatan dosa besar, maupun mereka yang terus-menerus melakukan perbuatan dosa kecil, jika sikap kita tersebut bisa membuatnya menjauh dari perbuatan dosa serta membuatnya tersadar sehingga kembali melakukan ketaatan, maka itu tidaklah haram dan diperbolehkan.
Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya, “Jika ada seseorang, memiliki saudara yang tinggal di tanah hasil ghasab (menggunakannya tanpa seizin pemiliknya), apakah tetap diperintahkan untuk mengunjungi dan bersilaturahmi dengannya?”
Imam Ahmad rahimahullah menjawab, “Iya, dianjurkan untuk mengunjunginya dan membujuknya agar pindah dari tanah tersebut, bisa jadi mereka akan sadar dan menerima nasihat. Namun jika ternyata tidak, maka jangan pernah bermalam dan tinggal bersamanya. Akan tetapi, jangan sampai memutus kunjungan ke tempat mereka.”
Salah seorang hakim dan fakih, Maimun bin Mihran rahimahullah pernah berkata,
“Ada 3 hal yang harus ditunaikan baik itu untuk muslim yang taat maupun yang fajir (pendosa): (1) silaturahmi harus disambung, baik itu untuk muslim yang taat maupun pendosa; (2) kepercayaan dan amanah harus ditunaikan baik itu untuk muslim yang taat maupun pendosa; (3) janji juga harus dipenuhi baik untuk muslim yang taat maupun yang pendosa.” (Al-Adab As-Syar’iyyah, 1: 479).
Banyak sekali dalil-dalil (yang akan kita sebutkan sebagiannya nanti) menunjukkan bahwa silaturahmi kepada kerabat yang masih musyrik dan kafir yang tidak memusuhi kita hukumnya adalah wajib. Jika untuk mereka yang kafir saja dihukumi wajib, tentu saja kepada mereka yang fasik, namun masih beragama Islam lebih utama.
Kesimpulannya, menyambung silaturahmi kepada kerabat yang fasik ataupun memutus silaturahmi dengannya bertumpu pada kemaslahatan. Jika di dalam silaturahmi dan mengunjunginya dapat memperbaiki agama orang tersebut, maka disunahkan untuk terus mengunjunginya. Adapun jika di dalam memutus silaturahmi dengannya memberikan kemaslahatan yang lebih baik, maka itu lebih utama untuk dilakukan.
Menyambung silaturahmi dengan kerabat kafir
Orang kafir, di antara mereka ada yang memerangi dan mengganggu kaum muslimin dan adapula yang yang tidak mengganggu. Tentu saja keduanya memiliki hukum yang berbeda. Oleh karena itu, Allah Ta’ala pun membeda-bedakan azab mereka di neraka jahanam. Allah menjadikan neraka bertingkat-tingkat sebagaimana surga juga bertingkat tingkat. Allah masukkan Abu Lahab ke dalam tingkatan paling bawah dan paling dasar dari neraka karena besarnya kebencian dan permusuhannya kepada keponakannya sendiri, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan Abu Thalib, maka ia berada di neraka yang paling dangkal apinya (permukaan), namun membuat otaknya mendidih karena kecintaan beliau kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan pembelaan beliau terhadapnya.
Kerabat kafir yang memusuhi dan mengganggu, maka tidak diperkenankan untuk menyambung silaturahmi dengan mereka, kecuali sebatas menghindarkan diri dari keburukannya. Hal inilah yang sudah dicontohkan para nabi terdahulu. Banyak sekali dari mereka yang berlepas diri serta menjauhkan diri dari kerabat yang kafir dan pendosa. Sungguh inilah bentuk kejujuran iman kita. Allah Ta’ala berfirman,
“Engkau (Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapaknya, anaknya, saudaranya, atau keluarganya. Mereka itulah orang-orang yang dalam hatinya telah ditanamkan Allah keimanan dan Allah telah menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya.” (QS. Al-Mujadalah: 22)
‘Asiyah istri Fir’aun berlepas diri dari suaminya yang kafir seraya berdoa kepada Allah Ta’ala,
“Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir‘aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.” (QS. At-Tahrim: 11)
Adapun kerabat kafir yang tidak memusuhi dan mengganggu kita, maka Islam tidak pernah melarang dari menyambung silaturahmi serta berbuat baik kepada mereka jika memang di dalamnya terdapat sebuah maslahat yang jelas. Misalnya, dengan menyambung silaturahmi akan menjadikan mereka menerima dan masuk ke dalam Islam. Bahkan, Allah Ta’ala telah memerintahkan secara khusus perihal berbuat baik dan berlaku adil terhadap mereka,
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)
Asma’ binti Abi Bakr radhiyallahu ‘anha pernah menceritakan,
قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وهي مُشْرِكَةٌ في عَهْدِ رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَاسْتَفْتَيْتُ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، قُلتُ: وهي رَاغِبَةٌ، أفَأَصِلُ أُمِّي؟ قالَ: نَعَمْ صِلِي أُمَّكِ
“Ibuku menemuiku dan saat itu dia masih musyrik pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu aku meminta pendapat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku katakan, ‘Ibuku sangat ingin (aku berbuat baik padanya), apakah aku harus menjalin hubungan dengan ibuku?’ Beliau menjawab, ‘Ya, sambunglah silaturahmi dengan ibumu.’” (HR. Bukhari no. 2620 dan Muslim no. 1003)
Cara terbaik menyambung silaturahmi dengan kerabat kafir yang tidak memusuhi kita adalah dengan mengerahkan tenaga untuk memperingatkan dan menasihati mereka, mengajak mereka ke dalam agama Islam yang mulia ini. Karena hal ini pula yang senantiasa dilakukan Rasulullah kepada pamannya Abu Thalib, bahkan sampai di detik-detik akhir menjelang kematiannya. Nabi tidak pernah menyerah akan hal tersebut sampai Allah menurunkan ayat,
“Sungguh, Engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang Engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Qasas: 56)
Cara yang lain adalah dengan memperbanyak doa hidayah untuk mereka. Doa yang kita lakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam panutan kita telah mencontohkan hal ini. Beliau berdoa untuk kaumnya,
اللَّهمَّ اهدِ قومي فإنَّهم لا يعلمون
“Ya Allah, berilah hidayah untuk kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman, 2: 622).