Waktu yang Ideal Berhubungan Badan Suami-Istri

Kita pernah membahas salah satu pendapat ulama mengenai waktu yang disunahkan untuk berhubungan intim, yaitu di hari Jumat sebelum salat Jumat.

Selain itu, ada waktu berhubungan badan suami-istri yang biasa dilakukan dan menjadi kebiasaan para ulama dan orang salih. Yaitu di tiga “waktu aurat”, di mana anak-anak yang sudah tamyiz harus meminta izin terlebih dahulu jika ingin masuk kamar kedua orang tuanya.

Tiga waktu aurat tersebut adalah:

Pertama, sebelum subuh.

Kedua, ketika siang hari, waktu istirahat dan menanggalkan pakaian.

Ketiga, setelah salat isya.

Sebagaimana ayat berikut,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ مِنْ قَبْلِ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَحِيينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلَاةِ الْعِشَاءِ ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلَا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari), yaitu: (1) sebelum salat subuh; (2) ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di waktu zuhur; dan (3) sesudah salat isya. (Itulah) tiga waktu aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu.” (QS. An-Nur: 58)

As-Sudi rahimahullah menjelaskan bahwa para sahabat biasa mendatangi istri mereka di tiga waktu ini. Beliau rahimahullah berkata,

 كان أناس من الصحابة ، رضي الله عنهم ، يحبون أن يواقعوا نساءهم في هذه الساعات ليغتسلوا ثم يخرجوا إلى الصلاة ، فأمرهم الله أن يأمروا المملوكين والغلمان ألا يدخلوا عليهم في تلك الساعات إلا بإذن

“Para sahabat radhiyallahu ‘anhum biasa mendatangi istri mereka pada waktu ini (waktu aurat). Mereka mandi, lalu menuju salat. Allah perintahkan para budak dan anak-anak agar tidak masuk ke kamar pada waktu tersebut, kecuali dengan izin.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir)

Demikian juga salah satu waktu berhubungan badan suami-istri yang pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu di waktu sepertiga akhir malam setelah salat tahajud.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu berkata,

كَانَ يَنَامُ أَوَّلَ اللَّيْلِ ثُمَّ يَقُومُ، فَإِذَا كَانَ مِنَ السَّحَرِ أَوْتَرَ، ثُمَّ أَتَى فِرَاشَهُ، فَإِذَا كَانَ لَهُ حَاجَةٌ أَلَمَّ بِأَهْلِهِ، فَإِذَا سَمِعَ الْأَذَانَ وَثَبَ، فَإِنْ كَانَ جُنُبًا أَفَاضَ عَلَيْهِ مِنَ الْمَاءِ، وَإِلَّا تَوَضَّأَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidur di awal malam, kemudian bangun tahajud. Jika sudah memasuki waktu sahur, beliau salat witir. Kemudian kembali ke tempat tidur. Jika beliau ada keinginan, beliau mendatangi istrinya. Apabila beliau mendengar azan, beliau langsung bangun. Jika dalam kondisi junub, beliau mandi besar. Jika tidak junub, beliau hanya berwudu kemudian keluar menuju salat jemaah.” (HR. an-Nasai)

Demikian, semoga tulisan singkat ini bermanfaat.

***

Penulis: Raehanul Bahraen

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/76477-waktu-yang-ideal-berhubungan-badan-suami-istri.html

Suhu di Tanah Suci Bisa Mencapai 42-44 Derajat Celcius selama Musim Haji

Pusat Meteorologi Nasional (NCM) Arab Saudi telah merilis laporan bahwa suhu maksimum di Tanah Suci selama musim haji tahun ini diperkirakan mencapai antara 42-44 derajat Celcius pada siang hari. NCM mengatakan beberapa daerah di sana juga bisa melihat angin yang relatif kencang pada siang hari, demikian dikutip laman Saudiscoop.com.

Selain itu, tingkat debu juga dapat meningkat, dengan kecepatan hingga 35 kilometer per jam (km/jam), terutama di area terbuka dan jalan raya. Selain itu, ada kemungkinan badai petir terbentuk di dataran tinggi provinsi selatan Makkah selama periode muslim haji kali ini, yang dapat mempengaruhi wilayah Tanah Suci dengan angin berdebu, kata NCM.

Formasi awan ini dapat terjadi selama 9-13 Dzulhijah. Dan suhu diperkirakan mempengaruhi tempat-tempat suci dengan aktivitas angin berdebu. NCM melaporkan bahwa Tanah Suci juga dapat menyaksikan aktivitas angin permukaan pada siang hari.

Buletin Al-Mashaer, yang diterbitkan Kementerian Haji pada tahun 1429 H dengan judul Klasifikasi tahun haji dari 1201 H hingga 1500 H, menyatakan bahwa muslim haji tahun ini akan menjadi musim haji kedua terpanas bagi para peziarah.

NCM juga melaporkan kemungkinan hujan dan awan petir terbentuk di ketinggian wilayah Makkah selatan. Dalam perkembangan lain, Direktur Direktorat Jenderal Keamanan Publik, Letjen Muhammad Al-Bassami menegaskan melarang slogan-slogan politik di Tanah Suci selama musim haji.

“Kemendagri tidak akan membiarkan hal ini terjadi, apapun yang mempengaruhi aspek keselamatan dan keamanan jemaah,” katanya dalam konferensi pers kemarin, usai meninjau persiapan tim keamanan haji untuk musim haji kali ini.

Ketika ditanya tentang peran wanita dalam operasi keamanan haji, Jenderal Al-Bassami mengatakan: “Tahap klasifikasi antara pria dan wanita sekarang sudah berakhir karena integrasi lengkap telah terjadi”.

Ia mengungkapkan kebanggaannya atas peran yang dimainkan perempuan di sektor keamanan. Jenderal Al-Bassami menyatakan kesiapan seluruh sektor keamanan dan militer untuk memberikan pelayanan terbaik selama musim haji.

“Semua rencana disiapkan untuk ziarah yang aman dan bebas repot,” katanya.

Pada konferensi pers yang sama, Komandan Pasukan Haji Jawazat (otoritas paspor), Mayor Jenderal Saleh Al-Murabba, mengumumkan selesainya fase kedatangan jemaah dari luar Arab Saudi melalui bandara, pelabuhan, dan pintu masuk darat.*

HIDAYATULLAH

Mengapa Daerah Tertentu Banyak Orang Saleh?

Mengapa daerah tertentu banyak orang saleh? Sedangkan yang di daerah lain, minim. Apa alasan mengapa daerah tertentu banyak menghasilkan orang saleh dan bertakwa. Sebaliknya, di lain daerah, justru banyak ahli maksiat?

 Sebagai seorang Muslim, tentunya kita harus berusaha untuk meningkatkan kualitas iman dan takwa kita. Meski tidak bisa secara langsung, kita seyogyanya untuk melakukannya secara gradual dan bertahap.

Dari yang dulunya menghindari makanan haram, maka sekarang diusahakan untuk menghindari makanan yang syubhat. Mengapa demikian? Sebab ini sangat berimbas pada ketakwaan seseorang. 

Mengapa Daerah Tertentu Banyak Orang Saleh?

Mungkin dalam benak kita terlintas suatu pertanyaan, mengapa hanya daerah tertentu saja yang menghasilkan sumber daya saleh dan bertakwa? Syaikhul Islam, Ibnu Hajar al-Haitami pernah melakukan riset mengenai fenomena ini. Beliau tuliskan dalam kompilasi fatwa fikihnya, ia mengatakan:

وَمِنْ الْمُشَاهَدَةِ أَنَّ بَعْضَ النَّوَاحِي يَكْثُرُ فِيهَا الصَّالِحُونَ وَالْمُتَّقُونَ، وَبَعْضَهَا يَقِلُّونَ فِيهِ، وَلَقَدْ اسْتَقْرَيْنَا سَبَبَ ذَلِكَ فَلَمْ نَجِدْهُ غَيْرَ أَكْلِ الْحَلَالِ أَوْ قِلَّةِ تَعَاطِي الشُّبُهَاتِ، فَكُلُّ نَاحِيَةٍ كَثُرَ الْحِلُّ فِي قُوتِ أَهْلِهَا كَثُرَ الصَّالِحُونَ فِيهَا وَعَكْسُهُ بِعَكْسِهِ

Realitas disebagian daerah banyak terdapat orang yang shaleh dan disebagian daerah yang lain sedikit. Dan setelah kami teliti ternyata penyebabnya adalah pada mengkonsumsi makanan halal atau menjauhi yang syubhat.

Oleh karena itu tiap daerah yang kebanyakan penduduknya mengkonsumsi makanan halal maka banyaklah orang saleh di daerah tersebut, begitu juga sebaliknya. (Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-fatawa al-Fikhiyyah al-Kubra  Juz III hal. 372)

Hipotesis Ibnu Hajar ini, patut kita renungkan. Apalagi kita sudah berada di akhir zaman, yang agaknya sudah kabur, antara yang halal dan haram. Seyogyanya kita harus tetap senantiasa berhati-hati, terlebih Rasulullah SAW bersabda:

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ 

“Akan datang suatu masa pada umat manusia, mereka tidak lagi peduli dengan cara untuk mendapatkan harta, apakah melalui cara yang halal ataukah dengan cara yang haram.” (HR Al-Bukhari no. 2083).

Ada banyak sekali ancaman atau dampak buruk yang didapat dari makanan yang haram, di antaranya adalah sabda Rasulullah saw berikut;

a. Pengaruh makanan yang halal

يَاعَلِيُّ، مَنْ اَكَلَ الْحَلاَلَ صَفَادِيْنُهُ، وَرَقَّ قَلْبُهُ، وَلَمْ يَكُنْ لِدَعْوَتِهِ حِجَابٌ

“Hai Ali, barangsiapa memakan (makanan) yang halal maka agamanya menjadi bersih, hatinya lembut, dan tidak ada penghalang bagi doanya.”

b. Pengaruh Makanan Syubhat dan Haram

يَاعَلِيُّ، مَنْ اَكَلَ الشُّبُهَاتِ اِشْتَبَهَ عَلَيْهِ دِيْنُهُ وَاَظْلَمَ قَلْبُهُ. وَمَنْ اَكَلَ الْحَرَامَ مَاتَ قَلْبُهُ وَخَفَّ دِيْنُهُ وَضَعُفَ يَقِيْنُهُ وَحَجَبَ اللهُ دَعْوَتَهُ وَقَلَّتْ عِبَادَتُهُ

  “Hai Ali, barangsiapa memakan (makanan) yang syubhat, maka akan syubhat baginya agamanya, dan hatinya pun menjadi gelap. Dan barangsiapa yang memakan (makanan) yang haram, maka hatinya akan mati, agamanya ringan, keyakinannya lemah, Allah menghalangi doanya, dan sedikit ibadahnya.”

c. Tanda-tanda jika Allah memurkai seorang hamba

يَاعَلِيُّ، اِذَا غَضَبَ اللهُ عَلَى اَحَدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالاً حَرَامًا، فَاِذَا اشْتَدَّتْ غَضَبُهُ عَلَيْهِ وَكَّلَ بِهِ شَيْطَانًا يُبَارِكُ لَهُ وَيَصْحَبُهُ وَيَشْغَلُهُ بِالدُّنْيَا عَنِ الدِّيْنِ وَيُسَهِّلُ لَهُ اُمُوْرَ دُنْيَاهُ وَيَقُوْلُ اللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ

“Hai Ali, jika Allah sudah murka kepada seseorang, maka Allah akan memberinya rezeki yang haram. Dan jika kemurkaan Allah itu kian bertambah, maka Allah akan mempersilakan setan untuk membantunya (dalam urusan) kekayaan, membantunya (memperoleh harta), dan membuatnya lebih sibuk dalam urusan dunia daripada agama, hingga setan berkata, ‘Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang’.”

d. Setan selalu menyertai orang yang bergumul dengan yang haram

يَاعَلِيُّ، مَاسَافَرَ اَحَدٌ طَالِبَا الْحَرَامَ مَاشِيًا اِلاَّ كَانَ الشَّيْطَانُ قَرِيْنَهُ، وَلاَ رَاكِبًا اِلاَّ رَدِيْفَهُ، وَلاَ جَمَعَ اَحَدٌ مَالاً حَرَامًا اِلاَّ اَكَلَهُ الشَّيْطَانُ، وَلاَ نَسِيَ اسْمَ اللهِ تَعَالَى عِنْدَ الْجِمَاعِ اِلاَّ شَارَكَهُ فِيْ وَلَدِهِ، وَذَلِكَ قَوْلُهُ تَعَالَى: وَشَارِكْهُمْ فِي الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلاَدِ وَعِدْهُمْ 

“Hai Ali, tidaklah seseorang yang pergi mencari sesuatu yang haram melainkan setan akan menemaninya, tidak pula seseorang (yang pergi mencari sesuatu yang haram) dengan menaiki kendaraan melainkan setan akan membuntutinya. 

Tidaklah seseorang yang mengumpul-ngumpulkan harta yang haram melainkan setan nanti akan (ikut) memakan hartanya itu, dan tidaklah seseorang yang lupa mengingat nama Allah ketika berhubungan dengan istrinya melainkan setan akan bergabung dengannya dalam memperoleh keturunan. 

Demikianlah maksud firman Allah, “… Dan bersekutulah dengan mereka pada harta dan anak-anak serta beri janjilah mereka.””

e. Allah tak menerima sedekah dari harta haram

يَاعَلِيُّ، لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِلاَوُضُوْءٍ، وَلاَ صَدَقَةً مِنَ الْحَرَامِ

“Hai Ali, Allah tidak akan menerima shalat seseorang tanpa berwudhu dan tidak pula menerima sedekah dari harta yang haram.”

f. Anugerah kebaikan untuk orang yang selalu makan yang halal

يَاعَلِيُّ، لاَيَزَالُ الْمُؤْمِنُ فِيْ زِيَادَةٍ فِيْ دِيْنِهِ مَالَمْ يَأْكُلِ الْحَرَامَ. وَمَنْ فَارَقَ الْعُلَمَاءَ مَاتَ قَلْبُهُ وَعَمَى عَنْ طَاعَةِ اللهِ

“Hai Ali, seorang mukmin senantiasa akan bertambah agamanya selama ia tidak makan sesuatu yang haram. Dan barangsiapa yang menjauh dari para ulama, maka (lambat laun) hatinya akan mati dan matanya akan buta dari ketaatan kepada Allah.”

g. Celaan bagi orang yang tidak mengamalkan hukum al-Qur’an

يَاعَلِيُّ، مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَلَمْ يُحِلَّ حَلاَلَهُ وَلَمْ يُحَرِّمْ حَرَامَهُ كَانَ مِنَ الَّذِيْنَ نَبَذُوْا كِتَابَ اللهِ وَرَاءَ ظُهُوْرِهِمْ

“Hai Ali, barangsiapa membaca al-Qur’an, namun tidak menghalalkan apa yang dihalalkannya dan tidak mengharamkan apa yang diharamkannya, maka ia termasuk golongan orang yang membuang kitab Allah ke belakang punggung mereka.” (Imam Abdul Wahhab Sya’rani, Wasiyyat al-Mushtafa bab halal dan haram).

Bahaya Pengaruh Makanan Haram 

Demikian pengaruh dari makanan haram, kami pernah mendengar salah penjelasan guru bahwa disunnahkan bagi orang yang mengetahui bahwa dia habis makanan yang tidak jelas status kehalalannya, dianjurkan baginya untuk berpuasa. 

Agar supaya makanannya tidak menjadi daging di tubuhnya, sebab ketika menjadi daging, niscaya akan berdampak buruk. Yakni ia akan mudah melakukan perkara haram dan sebagainya. 

اَللَّهُمَّ اكْفِنِيْ بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَ أَغْنِنِيْ بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

“Ya Allah, cukupkanlah aku dengan barang yang halal hingga aku tidak butuh kepada yang haram dan cukupkanlah aku dengan keutamaan-Mu hingga aku tidak butuh kepada selain-Mu”. (HR. Turmudzi)

Demikian alasan mengapa hanya daerah tertentu banyak orang saleh? Sedangkan yang di daerah lain, minim. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Tata Cara Pelaksanaan Wukuf di Arafah

Berikut tata cara pelaksanaan wukuf di Arafah. Pasalnya, melaksanakan wukuf di Arafah menjadi salah satu dari bagian rukun ibadah haji yang harus dilakukan oleh setiap muslim yang pergi berhaji. 

Pelaksanaan wukuf sendiri menjadi sentral utama dalam rangkaian pelaksanaan ibadah haji, karena menjadi satu-satunya rukun haji yang “muaqqat”, memiliki waktu khusus dan sekaligus pembeda antara haji dan umrah. Oleh karenanya, barangsiapa yang menemukan wukuf maka ia telah menemukan haji.

Sebagaimana Abi Ishak al-Syirazi menjelaskan dalam kitabnya al-Muhadzab Juz II hal 774 berikut:

ثم يروح إلى عرفة ويقف, والوقوف ركن من أركن الحج, لما روى عبد الرحمن الديلي أن رسول الله صم قال: “الحج عرفات, فمن أدرك عرفة قبل أن يطلع الفجر فقد أدرك الحج”

Kemudian ia pergi menuju daerah Arafah dan melaksanakan wukuf. Wukuf sendiri merupakan salah satu rukun dari rukun-rukun ibadah haji. Karena hadits riwayat Abdurrahman ad-Dily bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Haji adalah Arafah, barangsiapa menemukan Arafah sebelum fajar (tanggal 10 Dzulhijjah) maka ia telah menemukan haji”.

Tata Cara Pelaksanaan Wukuf di Arafah

Lalu bagaimanakah tata cara pelaksanaan wukuf di Arafah?

Dalam pelaksanaan wukuf atau berdiam diri di Arafah sendiri, seorang muslim yang melaksanakan ibadah haji disyaratkan untuk hadir (meski sejenak) di daerah Arafah setelah tergelincirnya matahari pada tanggal 09 Dzulhijjah. 

Dengan syarat ia adalah orang yang tergolong ahli dalam pelaksanaan ibadah, dan tidak termasuk orang yang sedang tidak sadarkan diri (berakal) karena epilepsi (ayan), mabuk atau lainnya. Batas pelaksanaan wukuf sendiri ialah terbitnya fajar hari raya Idul Adha pada tanggal 10 Dzulhijjah.  

Hal tersebut sebagaimana Muhammad bin Qasim al-Ghazi dalam kitabnya “Fath al-Qarib” hal 145 berkata demikian:

    والثاتي الوقوف بعرفة والمراد: حضور المحرم بالحج لحظة بعد زوال الشمس يوم عرفة وهو اليوم التاسع من ذي الحجة, بشرط كون الواقف أهلا للعبادة لا مغمى عليه ويستمر وقت الوقوف إلى فجر يوم النحر, وهو العاشر من ذي الحجة.

Yang kedua (dari rukun haji) ialah wukuf di Arafah. Yang dimaksud di sini ialah hadirnya seorang yang melaksanakan ihram haji meski sejenak setelah tergelincirnya matahari pada hari Arafah.

Yaitu hari tanggal 09 Dzulhijjah dengan syarat wakif tersebut (orang yang melaksanakan wukuf) ialah orang yang ahli ibadah tidak dalam keadaan kehilangan kesadaran. Waktu wukuf tersebut berlangsung sampai pada terbitnya fajar hari raya yaitu pada tanggal 10 Dzulhijjah”.

Dalam praktiknya, ulama berbeda pendapat terkait perintah pelaksanaan wukuf tersebut. Ulama Syafi’iyah berpendapat sejatinya pelaksanaan wukuf hanya mensyaratkan untuk hadir di daerah Arafah pada waktu yang ditentukan.

Meski ia tidak sadar bahwa daerah tersebut ialah Arafah. Hal tersebut sebagaimana juga dijelaskan oleh Imam Al-Bajuri dalam kitabnya “Hasyiah al-Bajuri” Juz II hal 493 berikut:

قوله: (والمراد: حضور المحرم…) إلخ, أي: وجوده هناك ولو مارا في طلب أبق أو هاربا أو نحو ذلك وإن لم يعرف كونها عرفة, وليس المراد خصوص الوقوف المعروف, بل مطلق الحضور

Ucapan Mushannif (yang dimaksud ialah hadirnya seorang yang ihram): ialah adanya ia di tempat tersebut (Arafah) meski hanya lewat untuk mencari hamba sahayanya yang kabur atau dalam keadaan lari atau sejenisnya dan meski ia tidak tahu bahwa daerah tersebut ialah Arafah.

Karena yang dimaksud di sini bukanlah kekhususan ibadah wukuf yang maklum diketahui, akan tetapi kemutlakan hadir”. (Baca: Doa Nabi Khidir Ketika Wukuf di Arafah).

Dalam artian pelaksanaan wukuf dalam madzhab Syafii hanya disyaratkan untuk hadir di daerah Arafah pada waktu yang ditentukan dalam keadaan ahli dalam beribadah (berakal), tidak dalam keadaan tidak sadarkan diri.

Namun, meski demikian dalam pelaksanaan wukuf disunnahkan untuk melakukan kesunnahan-kesunnahan serta membaca doa-doa yang dianjurkan di baca di dalamnya.

Demikian, tata cara pelaksanaan wukuf di Arafah dalam madzhab Syafii. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Tips Mengatasi Luka dan Kelelahan Otot untuk Jamaah Haji

Muslim dari seluruh dunia pergi ke Makkah setiap tahun untuk melakukan haji, salah satu dari Rukun Islam. Setiap Muslim dewasa berbadan sehat yang mampu secara finansial membayar perjalanan harus melakukan haji setidaknya sekali seumur hidup.

Ratusan ribu jamaah sedang mempersiapkan perjalanan haji seumur hidup. Untuk menghindari penyakit dan infeksi selama haji, jamaah haji harus mematuhi berbagai tips dan pedoman kesehatan. Di bawah ini adalah beberapa tips yang diberikan oleh Kementerian Kesehatan di Arab Saudi untuk jamaah haji sebelum memulai perjalanannya.

Kebersihan diri

1. Saat batuk atau bersin, gunakan tisu untuk menutup mulut dan hidung atau gunakan lengan jika tidak menemukan tisu.

2. Pastikan untuk memakai masker dan tidak bersentuhan dengan siapa pun yang menunjukkan gejala pernapasan.

3. Kenakan pakaian bersih untuk menghindari pengelupasan kulit.

Luka karena panas dan infeksi

Sunstroke atau sengatan panas adalah keadaan darurat medis yang harus ditangani sesegera mungkin dengan cara:

1. Melepas pakaian luar dan mendinginkan tubuh dengan air, terutama area kepala dan leher.

2. Paparan sumber udara, seperti AC atau kipas angin.

3. Memberikan cairan pasien dan pergi ke fasilitas kesehatan terdekat

4. Pindahkan pasien ke tempat yang dingin. Meminta layanan darurat

Stres Otot

Stres otot terjadi sebagai akibat dari kebugaran fisik yang buruk, kelelahan yang berlebihan dan gerakan kekerasan. Metode untuk mengobati kelelahan otot:

1. Kompres area yang terkena untuk menghilangkan rasa sakit

2. Menggunakan kursi roda jika Anda menderita kelelahan otot dan minum obat penghilang rasa sakit

3. Dinginkan area yang terkena untuk menghilangkan rasa sakit

IHRAM

Hukum Haji Menggunakan Uang Haram

Bagaimana hukum haji menggunakan uang haram? Pasalnya tak tertutup kemungkinan ada orang yang pergi haji dari hasil uang haram. Misalnya, pergi haji ddari hasil korupsi, merampas, dan mencuri hak orang lain.

Haji adalah ibadah yang paling memerlukan kesiapan fisik dan materi. Ibadah yang merupakan rukun Islam kelima ini memiliki syarat wajib berupa istitha’ah di samping harus beragama Islam, berakal, baligh dan merdeka. Lantas bagaimana hukum haji menggunakan uang haram.

Istitha’ah berarti mampu dalam melaksanakan ibadah haji. Konteks ‘mampu’ disini meliputi kemampuan mental, jasmani (badaniyyah), keamanan (amniyyah), dan materi (maliyah).

Tak bisa dipungkiri, aspek materi (maliyah) adalah aspek krusial bagi calon jamaah haji terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Terbukti dari maraknya masyarakat yang berusaha bergabung pada agen travel haji dan sebagainya untuk memudahkan mereka dalam hal pembiayaan dan pemenuhan sarana keberangkatan haji.

Kemudian muncul persoalan di kalangan masyarakat perihal biaya atau uang yang digunakan untuk melaksanakan ibadah haji. Bagaimana hukum melaksanakan ibadah haji menggunakan uang haram? Apakah sah atau tidak?

Definisi harta atau uang haram itu sendiri adalah setiap harta yang didapatkan dari jalan yang dilarang oleh syariat. Di zaman kemajuan teknologi ini, banyak kalangan anak muda biasa hingga pengusaha yang berlomba-lomba mengumpulkan harta untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan anak keturunannya, bahkan demi mengikuti tren dan update zaman terkini.

Tak sedikit pula mereka yang menghiraukan baik atau tidaknya cara mereka mendapatkan harta tersebut. Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW:

ليأتين على الناس زمان، لا يبالي المرء بما أخذ المال، أمن حلاال أم من حرام

“Akan datang suatu masa, orang-orang tidak peduli dari mana harta dihasilkannya, apakah dari jalan yang halal atau dari jalan yang haram”.(HR. Bukhori)

Melalui sabda Rasul tersebut kita bisa simpulkan bahwa pada hakikatnya yang haram di sini bukanlah uangnya, melainkan cara atau jalan untuk mendapatkan uang tersebut.

Istilah uang haram ini adalah  majazi atau kiasan saja karena sejatinya uang hanyalah benda, tidak bisa dikenai hukum kecuali benda-benda yang telah ditentukan hukumnya oleh syari’at atau yang telah disebutkan dalam al-Quran dan hadis.

Dalam kitab Radd al-Mukhtar, Ibnu Abidin menyebutkan, sebagaimana yang ada di kitab ushul fiqh lainnya bahwa uang yang diperoleh dengan cara haram adalah haram lighairihi, yakni karena faktor eksternal bukan karena faktor internal dari uang itu sendiri, berbeda dengan benda seperti bangkai dan lain-lain.

Mengenai pembahasan berhaji menggunakan uang haram, terdapat hadis yang diriwayatkan oleh Thabrani dan Abu Hurairah, bahwa rasulullah SAW pernah bersabda:

عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا خرج الرجل حاجا بنفقة طيبة ووضع رجله في الغرر فنادى لبيك اللهم لبيك ناداه مناد من السماء لبيك وسعديك زادك حلال وراحلتك حلال وحجك مبرور غير مأزور وإذا خرج بالنفقة الخبيثة فوضع رجله في الغرر فنادى لبيك ناداه مناد من السماء لا لبيك ولا سعديك زادك حرام ونفقتك حرام وحجك مأزور غير مأجور.

Artinya: “Jika seseorang pergi berhaji dengan nafkah yang baik lalu ia menginjakkan kakinya di tanah suci seraya mengucapkan: “Labbaik Allahumma Labbaik”, maka dijawab dari langit (oleh Allah):

“Aku menerima hajimu dan menganugerahkan kebahagiaan bagimu karena bekal yang engkau gunakan untuk berhaji adalah halal, perjalananmu juga halal dan hajimu mabrur tidak tercela.  

Dan jika seseorang pergi berhaji dengan nafkah yang najis lalu ia menginjakkan kakinya di tanah suci seraya mengucapkan: “Labbaik Allahumma Labbaik”, maka dijawab dari langit:

“Aku tidak menerima hajimu dan tidak menganugerahkan kebahagiaan bagimu karena bekal yang engkau gunakan untuk berhaji adalah haram, biaya yang engkau belanjakan juga haram dan hajimu pun menjadi tercela lagi tidak berpahala”. (HR. Thabrani).

Hukum Haji Menggunakan Uang Haram Menurut Ulama

Kemudian perihal sah atau tidaknya ibadah haji seseorang yang menggunakan uang haram, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama’ fiqih. Mereka terbagi menjadi 2 kelompok:

Pertama, Imam Hanbali dan pengikutnya (Hanabilah) berpendapat bahwa berhaji menggunakan uang haram adalah tidak sah (batal). Ia tidak mendapatkan pahala, berdosa, dan kewajiban melaksanakan ibadah hajinya belum dikatakan gugur.

Kedua, Pendapat Imam Syafi’i, Imam Malik bin Anas, dan Imam Abu Hanifah serta jumhur ulama bahwa berhaji menggunakan uang haram adalah tetap sah tetapi haram. Imam Abu Hanifah menyebutnya makruh tahrim. Kewajiban ia berhaji telah gugur, namun orang tersebut mendapatkan dosa.

Kesimpulan Hukum Haji Menggunakan Uang Haram

Di sini ibadah hajinya masih dikatakan sah karena dia telah melaksanakan semua rukun dan syarat haji, namun hajinya tidak berpahala atau bahkan tidak diterima.

Kewajibannya gugur berdasarkan sahnya perbuatan yang telah memenuhi rukun dan syarat, sedangkan diterimanya suatu perbuatan didasarkan pada hal-hal seperti uang yang halal, keikhlasan hati, dan lain-lain.

Maka dari itu, hendaknya kita harus lebih berhati-hati terhadap cara serta asal usul harta yang kita peroleh. Demikian penggunaan uang haram juga sangat berdampak buruk bagi diri dan sekitar, bisa menjadi penyebab ketidakberkahan, doa tidak dikabulkan dan menggunakannya berarti kita sama saja dengan mayoritas orang yahudi yang punya ciri khas tersebut.

Apalagi jika penggunaannya dalam urusan pelaksanaan ibadah yang haruslah dijaga kesakralannya dari segi apapun, begitupun dengan pelaksanaan ibadah haji maupun ibadah lain.

Pasalnya, ibadah adalah tindakan penyataan bakti kita kepada Allah swt, yang tidak layak untuk dicampuri sedikitpun oleh sesuatu yang najis ataupun haram yang bisa mengurangi nilai dan kualitas dari ibadah tersebut.

Demikian hukum haji menggunakan uang haram. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Kefakiran Yang Paling Besar

Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata:

ولا تحسبن الفقر من فقد الغنى، ولكن فقد الدين من أعظم الفقر

“Janganlah sekali-sekali engkau menganggap bahwa fakir itu dengan hilangnya kekayaan akan tetapi hilangnya agama adalah bentuk kefakiran yang paling besar.” (Kitab Majmu’u ar-Rasa`il, I/65)

Faktor agama merupakan standar hidup yang harus diupayakan setiap mukmin. Status seseorang itu miskin (harta), namun dia menjadi unggul karena keshalihannya di sisi Allah Ta’ala. Demikian pula, ketika seseorang dianugerahi kekayaan atau harta yang melimpah maupun kedudukan, namun tak memiliki adab, tidak mau belajar agama, enggan beramal shalih, dan mengutamakan dunia dibandingkan kehidupan akhirat, maka merekalah orang yang fakir.

Makhluk cerdas tak tergoyahkan imannya ketika mayoritas manusia berlomba-lomba membangun kehidupan dunia. Mukmin bertakwa justru lebih fokus menghibahkan untuk membangun kehidupan akhiratnya.

Yahya Bin Mu’adz berkata: “Dunia hanya jembatan menuju akhirat, lewati saja dan jangan memperindahnya, tidak masuk akal membangun istana di atas jembatan.” (Al-Hilyah, 3/260)

Seorang mukmin yang beriman dan bertakwa akan mulia di sisi Allah Ta’ala meskipun kehidupan ekonominya serba kekurangan. Kesabarannya dalam menghadapi keterbatasan makanan, tempat tinggal, pakaian, dan berbagai fasilitas penunjang hidup tidak menggoyahkannya untuk tetap komitmen pada syariat Islam. Kemiskinan dihadapinya dengan penuh tawakal dan sabar karena inilah yang telah dipilihkan Allah Ta’ala yang terbaik untuk dunia dan akhiratnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنْ الصَّبْرِ ….

” … dan tidak ada pemberian yang lebih baik dan lebih luas bagi seseorang daripada kesabaran.” (HR. Al-Bukhari (no.1469) dan Muslim (no. 1053) dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu)

Selama seorang mukmin masih kokoh memegang agama, menjaga sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya ia akan bahagia meskipun orang-orang menilai mereka orang yang menderita dan serba kekurangan. Kenikmatan yang tiada tandingnya telah mereka nikmati ketika hidup mereka diniatkan sebagai ibadah, hari-harinya dipenuhi dengan giat menuntut ilmu agama, hak-hak mereka mulia karena meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka senantiasa beramal shalih.

Inilah sejatinya kekayaan hati dan nikmat iman yang jarang diraih oleh para pemburu dunia yang lebih mengutamakan kenikmatan sesaat dan memandang remeh orang yang mencintai kehidupan akhirat.

Di zaman fitnah ini seorang mukmin harus selalu memperkokoh iman, giat belajar agama, dan senantiasa berdoa kepada Allah Ta’ala agar tetap memegang agama dan menjadikannya sebagai petunjuk agar hidupnya tidak tersesat. Agama merupakan harta termulia, termahal, dan tiada bandingannya yang harus selalu dijaga dan dibela sampai mati.

Banyak kisah-kisah mengagumkan orang-orang yang ikhlas meninggalkan dunia demi mencari kebahagiaan hakiki dalam Islam. Mereka rela menderita untuk mempertahankan agamanya dengan pengorbanan yang sedemikian besar. Semua ini karena keyakinannya yang tinggi bahwa agama adalah kekayaan terbesar dan harus dijaga dan dipertahankan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يُوشِكَ أَنْ يَكُونَ خَيْرَ مَالِ الرَّجُلِ غَنَمٌ يَتْبَعُ بِهَا شَعَفَ الْجِبَالِ وَمَوَاقِعَ الْقَطْرِ يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنْ الْفِتَنِ

Hampir-hampir sebaik-baik harta orang muslim ialah kambing yang digembalakannya di gunung dan di lembah karena ia lari mengasingkan diri demi menyelamatkan agamanya dari fitnah.” (HR. Al Bukhari no. 19, dari Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu)

Alangkah beruntungnya para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak terjebak dalam fitnah harta sehingga mereka berhijrah menuju Madinah untuk menyelamatkan agamanya. Dan sangat cerdasnya para sahabat Anshor yang demi ukhuwah iman, mereka membantu para Muhajirin agar tetap kokoh agamanya dengan berbagai bantuan meskipun mereka juga sangat membutuhkannya. Sedikit maupun banyaknya kekayaan bagi seorang mukmin tetap mulia ketika semua itu tidak melalaikannya dalam ibadah. Bahkan, kekayaan yang mampu mengokohkan dalam ketaatan dan amal shalih, inilah harta yang berkah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلرَّجُلِ الصَّالِحِ

Nikmat harta yang baik adalah yang dimiliki laki-laki yang shalih.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya, Juz 4 no. 197 dan 202, di-shahih-kan al-Albani dalam Ghayatul Maram, no. 454).

Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/14452-kefakiran-yang-paling-besar.html

Pembagian Daging Kurban Menurut Imam Syafii

Selain memperhatikan syarat dan juga waktu penyembelihan, Islam juga menjelaskan tentang tata cara pembagian daging kurban yang tepat sesuai syariat.

Imam Syafii dalam kitab Fikih Manhaji menjelaskan, apabila hewan kurban yang disembelih itu merupakan sembelihan wajib (berupa nazar sembelihan tertentu), maka orang yang berkurban beserta orang yang wajib ia nafkahi tidak diperbolehkan untuk mencicipinya. Apabila salah seorang dari mereka ada yang mencicipinya, ia wajib membayar denda atau nilai yang sama dengan yang ia makan. 

Sementara itu, jika hewan tersebut merupakan sembelihan sunnah, orang yang berkurban boleh mencicipinya sedikit agar dapat merasakan keberkahannya. Adapun sisanya harus disedekahkan. Ia bahkan boleh makan sepertiga, menyedekahkan sepertiga, dan sepertiga sisanya untuk orang-orang yang papa. Sepertiga yang ia sedekahkan dapat ia berikan kepada para sahabat dan tetangganya walaupun kaya. 

Namun, daging yang diberikan kepada yang kaya itu hanya untuk dimakan dan tidak boleh dijual. Sebaliknya, daging yang diberikan kepada orang miskin merupakan hak milik sehingga boleh dikonsumsi atau diapakan saja. 

Dasarnya adalah firman Allah dalam Alquran Surah Al-Hajj ayat 36, “Dan unta-unta itu Kami jadikan untukmu bagian dari syiar agama Allah, kamu banyak memperoleh kebaikan kepadanya. Maka sebutlah nama Allah dalam keadaan berdiri. Kemudian apabila telah rebah (mati), maka makanlah sebagiannya dan berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya dan orang yang meminta,”. 

Di samping itu, orang yang berkurban dibolehkan untuk menyumbangkan kulit hewan atau menggunakannya sendiri. Akan tetapi tidak boleh baginya menjual atau memberikan kulit kurban pada penyembelih sebagai upah karena itu merupakan pengurangan kurban yang merusaknya.

Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Baihaqi bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Orang yang menjual kulit hewan kurbannya tidak ada kurban baginya,”. 

IHRAM

AMPUH Pastikan Haji Furodah dan Mujamalah tak Bisa Diatur UU Indonesia

Afiliasi penyelenggara umroh haji Indonesia (Ampuh) memastikan negara lain tidak bisa ikut mengatur terkait kuota haji. Pemerintah Arab Saudi yang memiliki kewenangan mengatur kuota haji termasuk haji non kuota seperti mujamalah dan furoda.

“Haji non kuota yaitu haji furoda dan haji mujamalah adalah wewenang sepenuhnya dari Pemerintah Saudi,” kata Sekjen Ampuh Tri Winarto, seperti dilaporkan Republika, Senin (4/7).

Pemerintah Indonesia tidak bisa mengatur haji non kuota seperti mujamalah dan furodah, proses penggunaannya seperti haji kuota. Haji furodah dan mujamalah tidak bisa ditentukan kapan bisa di gunakan seperti halnya haji kota, karena itu kewenangan Arab Saudi.

“Indonesia tidak bisa ikut campur apa lagi mengatur kuota haji yang bukan haknya dari masing-masing negara,” katanya.

Jadi kata dia, sulit haji furodah dan mujamalah diatur di dalam peraturan perundang-undangan agar mekanismenya penggunaan haji non kuota ini seperti haji kuota. Di mana haji kuota ini jelas kapan terbit visanya sementara haji mujamalah dan furodah terbit visanya tidak bisa ditentukan.

“Rasanya sulit untuk mengatur memasukkan apa yang bukan menjadi haknya negara. Karena itu sepenuhnya adalah haknya pemerintah Saudi,” katanya.

Tri memastikan, kuota seluruh dunia bagi umat Islam sudah diatur dan dialokasikan pemerintah Saudi berdasarkan jumlah umat Islam. Demikian halnya kuota haji yang diterima Indonesia menjadi wewenang negara yang mengatur melalui sistem antrian yang ada. 

Sebelumnya Ketua Umum Sarikat Penyelenggara Umrah Haji Indonesia (Sapuhi) Syam Resfiadi menyarankan aturan haji Mujamalah dan Furoda yang ada dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Penyelenggara Ibadah Haji dan Umroh diperbaiki. Saran ini setelah banyak persoalan yang terjadi dalam penyelenggaraan haji mujamalah dan furoda yang visanya keluar di waktu yang sudah mendekati prosesi Armuzna.

“Kasus mujamalah dan furodah itu muncul menjelang prosesi haji, orang kesulitan mencari visa. Dan tidak jelas sumbernya dan kalaupun ketemu harganya jauh lebih mahal dari waktu-waktu sebelumnya,” kata kata Syam Resfiadi seperti dilaporkan Republika, Sabtu (21).

Untuk itu kata Syam persoalan haji mujamalah dan furodah ini perlu diatur di dalam UU Haji dan Umroh Nomor 8 tahun 2019. Sehingga, masyarakat yang ingin menggunakan haji mujamalah dan furodah ini mendapatkan kepastian.

“Saya sudah memberikan saran positif, bahwa UU Haji dan Umroh Nomor 8 tahun 2019 harus diperbaiki dengan menambah pasal tentang visa haji mujamalah diambil dari quota nasional namun berbayar dengan harga yang stabil,” ujarnya. 

Jadi kata, Syam Pemerintah dan DPR di Komisi VIII bisa menetapkan kuota untuk haji mujamalah ditentukan harganya untuk dibeli oleh pihak swasta. Uang hasil dari kuota haji mujamalah itu bisa dipergunakan untuk kegiatan keagamaan dan sosial yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

“Kuota mujamalah ini bisa berbayar sejumlah angka tertentu untuk diberikan ke kegiatan Agama atau Sosial dan dilakukan oleh BPKH sebagai penerima setoran,” ujarnya.

Atau bisa juga visa kuota haji mujamalah ini berbayar ke Kerajaan Saudi Arabia (KSA) sebagai tambahan kuota mujamalah atau furodah tersebut. Jadi yang selama ini KSA mendapat uang dari menjual visa Furodah atau Mujamalah jadi nyaman dan aman. 

Syam mengatakan, jika Pemerintah dan DPR menyetujui kuota haji mujamalah menjadi komersial atau bayar jika swasta ingin menggunakannya, maka perubahan peraturan perundang-undangan itu tinggal disosialisasikan kepada Pemerintah Arab Saudi.

“Jika disetujui perbaikan UU Nomor 8 tersebut dilanjutkan dengan memberi informasi melalui jalur diplomasi bahwa ada perubahan UU Nomor 8 tersebut tentang jumlah presentasi haji khusus yang 8 persen dari kuota nasional lalu sekian persen dari kuota nasional untuk furodah,” katanya.

Sehingga, bagi mereka yang tidak ingin antri bisa dapat jaminan kuota haji dengan syarat yang sama namun membayar lebih mahal ke BPKH untuk dimaksimalkan manfaatnya juga untuk kegiatan Agama dan Sosial di Indonesia.

Ali Yusuf

IHRAM