Ulama Jomblo dan ‘Godaan Wanita’

Kebanyakan ulama selalu haus ilmu, dan selalu menjadi tumpuan penduduk dan masyarakat mendapatkan hikmah hidup, tidak sedikit mereka menganggap pernikahan dan wanita sebagai belenggu

DISEBUTKAN dalam Tadzkiratul Huffaz karya Ad-Dzahabi, 3:820 dalam biografi Al-Imam Al-Fakih Al-Hafizh Al-Kabir Ar-Rahal Ibn Ziyad An-Naisaburi sebagaimana berikut, Al-Hafizh Al-Mujawwid Al-Allamah Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Ziyad bin Wasil An-Naisaburi, ahli fikih bermazhab Syafi’i, pengarang banyak kitab, lahir 238 H dan wafat 324 H.

Al-Hakim berkata, “Ibn Ziyad adalah seorang imam besar bermazhab Syafi’i di Irak pada zamannya. Termasuk ulama yang paling banyak memiliki hafalan tentang permasalahan- permasalahan fikih dan perbedaan-perbedaan para sahabat.”

Ad-Daruquthni berkata, “Aku tidak menjumpai (ahfaz) orang yang lebih banyak hafalan hadisnya ketimbang Ibn Ziyad. Dia mengetahui tambahan-tambahan redaksi dalam kitab-kitab matan.

Ketika dia duduk untuk menyampaikan hadis, para hadirin berkata, “Sampaikanlah satu hadis’. Dia berkata, ‘Kalian saja yang bertanya. Kemudian para hadirin menanyakan hadis- hadis dan dia menjawab serta mendektekannya.”

Yusuf AI-Qawas berkata, aku mendengar Abu Bakar An-Naisaburi berkata, “Kalian tahu orang yang bangun selama 40 tahun tidak tidur malam, setiap hari hanya makan lima biji (kacang), menjalankan shalat Ghadat (Fajar-Duha) dengan sesuci wudhu Isya di akhir waktu? Kemudian An-Naisaburi berkata, “Akulah orang itu. Itu semua sebelum aku mengenal Ummu Abdurrahman. Kenapa aku mengatakan tentang orang yang menikahiku?” Kemudian dia berkata, “Tiada maksud lain kecuali kebaikan saja”.

Tidak bisa dipungkiri oleh kita bahwa “suatu hubungan”, bila mendalam, pasti akan memalingkan dari kesibukan mencari dan meraih ilmu. “Hubungan suami, istri, anak, dan semacamnya adalah kesibukan yang mendominasi -kalau tidak boleh kita katakan sebagai pemutus keilmuan pada banyak orang.

Sampai-sampai AI-Imam Bisyr Al-Hafi mengatakan dalam ungkapan masyhur yang maknanya, “Ilmu telah hilang di paha para wanita, sebagaimana dalam Kitab Al-Masnū’ fi Ma’rifati Hadīts Al-Maudü karya Al-Allamah Ali Al-Qari, halaman 120.

Ada yang meriwayatkan ungkapan tersebut dengan redaksi; “Ilmu telah terputus di antara paha para wanita.” Ini menunjukkan bahwa banyak ulama yang diberhentikan oleh ikatan pernikahan Kemudian yang berjalan adalah kesenangan, tanggung jawab, serta kesibukan mengurus anak-anak dan semacamnya. Hal itu memalingkan mereka dari mengikuti ilmu. lImu mereka lantas bersembunyi dan mengabur.

Tidak diragukan bahwa pernikahan adalah pengekang yang membebani dalam persoalan tanggung jawab materiil dan non- materiil, dan dengan tikungan-tikungan yang menyebabkan berpaling dari ilmu, baik dalam waktu tertentu atau bahkan selamanya. Sebagaimana hal tersebut sudah maklum di kalangan ahli ilmu yang menikah dan tetap mengikuti ilmu, juga (maklum) di kalangan pasangan suami-istri yang terpalingkan dari ilmu dan dijauhkan dari ilmu.

Nukilan yang luar biasa tentang belenggu pernikahan ialah apa yang diceritakan oleh Al-Imam Taqiyuddin As-Subki dalam karyanya, Tartību Tsiqātil ‘Ijli mengenai biografi salah seorang  Imam Besar Hadis, Ma’mar bin Rasyid Al-Basri yang berkelana dari satu negara ke negara lain untuk menyebarkan hadis nabi, hingga ada hadis yang bukan darinya dinisbatkan padanya.

Ketika Ma’mar tiba di Yaman, penduduk setempat merasa senang jika dia tetap bersama mereka, agar masyarakat bisa mendapatkan ilmu dan keutamaannya. Kemudian penduduk setempat mencarikan belenggu yang dapat menghentikan Ma’mar agar mereka tidak ditinggalkan.

Belenggu itu adalah menikahkan Ma’mar dengan perempuan dari kalangan mereka. Wanita inilah yang menjadi belenggu dan penahan dari perjalanan selanjutnya untuk pulang ke negara asalnya. Ma’mar meneruskan hidup bersama mereka hingga akhir hayat.

Al-Ijli menuturkan mengenai biografi Ma’mar; “Ma ‘mar bin Rasyid, dijuluki Abu Urwah, dari Basrah yang menetap di San’a Yaman. Dia menikah di sana. Ma’mar adalah ulama yang tsiqah dan saleh. Dia sosok yang cerdas. Muridnya adalah Ibnul Mubarak dan Sufyan At-Tsauri yang pergi belajar kepadanya di San’a.”

Ketika Ma’mar masuk ke San’a, penduduk setempat enggan untuk ia keluar meninggalkan mereka. Salah seorang lelaki berkata kepada mereka, “Kekanglah dia, nikahkan dia.”

Kemudian Ma’mar bermukim bersama mereka hingga meninggal tahun 153. Semoga Allah SWT merahmatinya.

Ungkapan manis yang ditujukan untuk pernikahan sebagai belenggu dan tanggunghawab yang membebani dari untaian sebagian orang-orang bijak:

Sesungguhya serigala-serigala telah menangkapmya dan mereka membantah akan menyiksanya

Seorang syaikh berkata, “Nikahkan dia dan biarkan dia dalam azabnya”.

Tidak diragukan lagi bahwa permikahan yang terkait dengannya, yang berkembang darinya, dan yang diakibatkan olehnya- adalah belenggu. la memiliki banyak tanggung jawab dan mengambil banyak sisi kehidupan seseorang, baik materiil maupun non-materiil.

Proses keilmuan juga banyak terputus oleh pernikahan, dan bahkan memutuskan dari ilmu itu sendiri. Sebagaimana yang telah disaksikan oleh para ulama yang cerdas. Oleh karenanya, sebagian dari mereka memilih hidup jomblo.*/Abdul Fattah Abul Ghaddah, Para Ulama Jomblo: Kisah Cendekiawan Muslim yang Memilih Membujang, terjemah (Al-‘Ulama’ Al-“Uzzab Allahdzina Atsaru Al-‘Ilma ‘Ala Az-Zawaj)

HIDAYATULLAH

Masalah-Masalah yang Berkaitan dengan Pubertas

Pubertas atau akil balig (Arab: بلوغ, bulugh) adalah proses perubahan fisik dan akal seseorang saat berubah menjadi tubuh dewasa (masa beranjak dewasa) yang mampu melakukan reproduksi seksual.

Dalam syariat Islam, pubertas adalah sampainya usia seseorang pada tahap pembebanan hukum-hukum syariat. Baik itu dengan munculnya salah satu tanda atau sampainya seseorang pada usia tertentu.

Saat seseorang sudah mencapai pubertas, di waktu itulah ia mulai terikat dengan banyak hukum syariat, mulai dibebani kewajiban dan sudah diharuskan untuk bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Karena seseorang yang sudah puber, maka ia telah memiliki insiatif dan memiliki kemampuan untuk bergerak dan berkehendak. Sebagaimana sabda nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ : عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

“Diangkat pena (tidak dikenakan dosa) atas tiga kelompok: (1) orang tidur hingga bangun, (2) anak kecil hingga mimpi basah, dan (3) orang gila hingga berakal.” (HR. Abu Dawud no. 4402, Tirmidzi no. 1423 dan Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra no. 7346)

Tanda-tanda pubertas

Pubernya seseorang memiliki beberapa tanda-tanda. Tidak disyaratkan terwujudnya semua tanda-tanda itu agar seseorang dikatakan telah mencapai pubertas. Hanya dengan munculnya satu tanda saja dari seorang anak (baik laki-laki maupun perempuan), maka anak tersebut telah menjadi mukallaf (telah dibebani kewajiban syariat) dan harus mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya.

Syekh Ibnu ‘Utsaimin dalam kitabnya As-Syarhu Al-Mumti’ mengatakan,

ويحصل البلوغ بواحد من أمور ثلاثة بالنسبة للذكور وهي:١. تمام خمس عشرة سنة. ٢. إنبات العانة. ٣. إنزال المني بشهوة يقظة أو مناما.

فإذا وجد واحد من هذه الأمور الثلاثة صار الإنسان بالغا. والمرأة تزيد على ذلك بأمر رابع وهو الحيض، فإذا حاضت ولو لعشر سنوات فهي بالغة

“Pubertas terwujud dengan adanya salah satu dari 3 hal. Bagi anak laki-laki, yaitu: (1) genap 15 tahun, (2) tumbuhnya bulu kemaluan, dan (3) keluarnya mani dengan rasa nikmat, baik itu dalam kondisi sadar maupun ketika bermimpi. Jika seseorang mendapati salah satu dari ketiga hal tersebut, maka ia telah dikatakan puber (balig). Adapun perempuan (selain ketiga hal tersebut) terdapat satu tambahan, yaitu haid. Jikalau seorang wanita mengalami haid, walaupun umurnya baru 10 tahun, maka ia telah dikatakan puber.”

Rincian tanda-tanda puber:

Pertama: Tumbuhnya rambut kemaluan

Baik pada laki-laki maupun perempuan, rambut yang menandakan puber adalah rambut kemaluan. Adapun jenggot, kumis, ataupun yang selainnya, maka itu bukanlah pertanda pubertas.

Tidak semua rambut yang tumbuh di sekitar kemaluan merupakan tanda pubertas. Patokannya adalah rambut tersebut haruslah tebal dan kasar. Untuk mencukurnya perlu menggunakan pisau cukur ataupun yang semisalnya. Sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ibnu Qudamah rahimahullah,

وأما الإنبات فهو أن ينبت الشعر الخشن حول ذكر الرجل، أو فرج المرأة، الذي استحق أخذه بالموسى، وأما الزغب الضعيف، فلا اعتبار به، فإنه يثبت في حق الصغير

“Maksud tumbuhnya rambut kemaluan adalah tumbuhnya rambut kasar di sekitar kemaluan laki-laki atau perempuan, yang tidak bisa dicukur, kecuali dengan pisau cukur. Adapun rambut halus yang tipis, maka tidak termasuk dari tanda-tanda pubertas, karena rambut tipis tersebut seringkali sudah tumbuh walaupun anak tersebut masih kecil.” (Al-Mughni: 9/392)

Kedua: Keluarnya air mani

Jika seseorang mengeluarkan air mani, baik itu dengan mimpi basah atau karena syahwat walaupun tanpa disertai mimpi basah, maka ia telah terkena kewajiban syariat dan menjadi seorang mukallaf. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَاِذَا بَلَغَ الْاَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوْا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْۗ 

“Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur dewasa, maka hendaklah mereka (juga) meminta izin, seperti orang-orang yang lebih dewasa meminta izin.” (QS. An-Nur: 59)

Syekh Binbaz rahimahullah dalam salah satu fatwanya menjelaskan,

“Di ayat ini menggunakan kata-kata “balaghal hulum” yang artinya: ‘mengeluarkan air mani di dalam tidur atau ketika sedang memikirkan sesuatu, dan ketika seseorang mengalaminya, maka ia telah dikatakan dewasa’.”

Ketiga: Genap 15 tahun

Berdasarkan hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma di dalam Shahihain,

عُرِضتُ على رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يَومَ أُحُدٍ وأنا ابنُ أربَعَ عَشْرةَ، فلم يُجِزْني، ولم يَرَني بَلَغتُ، ثُمَّ عُرِضتُ عليه يَومَ الخَندَقِ وأنا ابنُ خَمسَ عَشْرةَ فأجازَني.

“Pada perang Uhud, aku menawarkan diriku kepada Rasulullah agar diikutsertakan dalam peperangan, hanya saja ketika itu umurku baru 14 tahun. Maka, Rasulullah pun tidak mengizinkanku. Beliau menganggap diriku belum dewasa. Barulah kemudian aku tawarkan diriku kembali pada peperangan Khandaq, sedang umurku telah mencapai 15 tahun, maka beliau pun mengizinkanku.” (HR. Bukhari no. 2664 dan Muslim no. 1868)

Makna yang dimaksud dengan 15 tahun adalah telah menyempurnakan tahun keempat belasnya dan mulai memasuki tahun kelima belasnya. Patokan yang dipakai pun adalah kalender Hijriyyah dan bukan Masehi. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Sholeh Munajjid rahimahullah dalam websitenya.

Hadis ini menunjukkan, bahwa seseorang jika telah mencapai umur 15 tahun, maka ia terhitung telah terbebani kewajiban.

Ketiga tanda di atas, adalah tanda-tanda pubertas yang berlaku bagi laki-laki dan perempuan secara umum. Adapun untuk perempuan secara khusus maka ditambah dengan 2 hal:

Keempat: Haid

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لا تُقبَلُ صَلاةُ حائِضٍ إلَّا بخِمارٍ

“Tidaklah diterima salatnya wanita yang telah mengalami haid (telah puber), kecuali dengan memakai jilbab.” (HR. Abu Dawud no. 641, Tirmidzi no. 377 dan Ibnu Majah no. 655)

Kelima: Hamil

Para ulama bersepakat tentang hal ini. Karena kehamilan merupakan tanda keluarnya air mani. Sesungguhnya Allah Ta’ala menetapkan fitrah bahwa seorang anak terlahir dan diciptakan dari percampuran air laki-laki dan perempuan.

Beberapa hukum terkait pubertas yang sering dilalaikan

Pertama: Dibebani kewajiban syariat dan berdosa jika meninggalkannya

Seperti salat, puasa dan haji. Hal ini berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sudah disebutkan sebelumnya,

“Diangkat pena (tidak dikenakan dosa) atas tiga kelompok: (1) orang tidur hingga bangun, (2) anak kecil hingga mimpi basah, dan (3) orang gila hingga berakal.” (HR. Abu Dawud no. 4402, Tirmidzi no. 1423 dan Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra no. 7346)

Sehingga, jika seseorang yang belum mencapai puber meninggalkan kewajiban, maka ia tidak berdosa karenanya. Adapun mereka yang telah mencapai puber, maka ia akan berdosa jika meninggalkan kewajiban tersebut.

Kedua: Tidak bersentuhan, bersalaman dan memandang lawan jenis yang bukan mahramnya

Seorang anak yang telah mencapai umur 15 tahun, atau yang telah muncul tanda-tanda pubertas padanya walaupun belum mencapai umur 15 tahun, maka ia sudah tidak boleh lagi bersentuhan dan bersalaman dengan lawan jenisnya.

Sayangnya hal ini masih sering diremehkan oleh sebagian kaum muslimin. Bersalaman dengan saudara sepupu lawan jenis, ngobrol berdua dengan mereka dan lain sebagainya. Padahal Allah jelas-jelas menghalalkan untuk menikahi saudara sepupu, yang menjelaskan bahwa sepupu bukanlah mahram dari seseorang. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ اللَّاتِي آتَيْتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَالاتِكَ

“Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu, dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu.” (QS. Al-Ahzab: 50)

Begitu pula, saudara ipar, maka mereka pun bukan maram bagi seseorang. Bahkan Nabi mengingatkan ketika ada seorang sahabat yang bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana hukum kakak ipar?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الْحَمْوُ الْمَوْتُ

“Saudara ipar adalah kematian.” (HR. Bukhari no. 5232 dan Muslim no. 2171)

Maksud hadis di atas adalah interaksi dengan kakak ipar bisa menjadi sebab timbulnya maksiat dan kehancuran. Karena seringkali seseorang meremehkan dan bermudah-mudahan untuk bebas bergaul dengan iparnya, tanpa ada pengingkaran dari orang lain.

Ketiga: Jika ia adalah anak yatim, maka ia telah diperbolehkan untuk mengelola hartanya sendiri dengan syarat ia bisa mengelola hartanya dengan baik (Ar-Rusyd)

Oleh karena itu, bagi setiap wali yang memiliki tanggung jawab terhadap seorang anak yatim, maka tidak diperbolehkan untuk mencegah dan menahan harta anak tersebut, jika ia memang telah mencapai puber dan sudah baik di dalam mengelola harta. Allah Ta’ala berfirman,

فَاِنْ اٰنَسْتُمْ مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوْٓا اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ

“Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya.” (QS. An-Nisa’: 6)

Keempat: Dalam hukum Islam seseorang yang telah mencapai puber, maka ia harus menanggung hukuman dan qisas atas tindakan kriminalitas ataupun perbuatan yang telah ia lakukan

Misalnya, jika ada seseorang yang sudah mimpi basah atau mengalami tanda-tanda puber lainnya kemudian ia mencuri, berzina atau membunuh, maka ia wajib dihukum dan di-qisas dengan hukuman yang telah ditetapkan oleh syariat, jika negara yang ia tinggali berhukum dengan hukum Islam.

Adapun anak yang belum puber, jika ia membunuh atau melakukan tindak kriminal lainnya maka ia tidak di-qisas, dan ini merupakan kesepakatan ulama. Sebagaimana yang disampaikan Imam Malik rahimahullah dalam kitabnya Al-Muwattha’,

الأمر المجمع عليه عندنا: أن لا قود بين الصبيان، وأن قتلهم خطأ ما لم تجب الحدود، ويبلغوا الحلم، وإن قتل الصبي لا يكون إلا خطأ. ومعنى القود: القصاص. 

“Di antara perkara yang sudah kami sepakati adalah tidak ada qisas bagi anak kecil (yang belum mencapai puber), pembunuhan yang ia lakukan dianggap pembunuhan kesalahan selama ia belum terbebani kewajiban menanggung hukuman atau ia ia belum puber. Sesungguhnya pembunuhan yang dilakukan anak kecil tidaklah dianggap, kecuali pembunuhan kesalahan.”

Lalu, apa konsekuensi hukum dari pembunuhan yang dilakukan oleh anak yang belum puber? Kewajiban yang harus ditunaikan adalah membayar sejumlah harta (diyat) kepada korban atau wali korban tersebut dan bukan dengan qisas. Adapun jika dipenjara ataupun dihukum dengan hukuman lainnya, maka kemaslahatannya dikembalikan dan diputuskan oleh penguasa.

Wallahu a’lam bisshowaab.

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

*******

Sumber:

As-Syarhu Al-Mumti’ karya Syekh Ibnu Utsaimin

Al-Mughni karya Imam Ibnu Qudamah

Fatawa Syekh Binbaz

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/78225-masalah-masalah-yang-berkaitan-dengan-pubertas.html

Cinta Dunia, Bahaya dan Cara Menyikapinya

Penyakit cinta dunia (hubbud-dunya) adalah penyakit berbahaya, maka janganlah jadi hamba dunia

PENYAKIT Cinta dunia (hubbud-dunya) adalah penyakit masyarakat yang secara fakta ada dan sudah ditegas sendiri dalam Al-Quran. Berapa banyak kasus di sekitar kita, bahkan yang terbaru seorang jenderal bintang dua membunuh anak buah sendiri hingga merekayasa fakta, tujuanya tidak lain menyelamatkan kecintaanya pada dunia dan isinya.

Benang merah yang bisa diambil pelajaran kasus terbaru ini adalah; bahaya cinta dunia itu merusak dirinya sendiri dan orang lain. Dengan perilakunya ini menyebabkan hak-hak orang terampas oleh manusia serakah, pengidap penyakit cinta dunia.

Rasulullah ﷺ telah lama mengingatkan masalah ini;

حب الدنيا رأس كل خطيئة

“Cinta dunia adalah biang keladi dari semua kesalahan.” (HR. Baihaqi).

Bahkan Sayyidina Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu pernah berujar dalam khotbahnya, “Dunia ini ibarat ladang tempat makan orang baik dan orang jahat.”

Jika melihat berbagai ayat Al Qur’an serta hadis Nabi, mayoritas “orang tidak baik” lah yang mendominasi kehidupan di dunia ini. Karena hampir tidak ada yang tidak “menoleh’ kepada dunia kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah.

Imam Ghozali menyebutkan di dalam Ihya’ Ulumuddin bahwa ayat-ayat Al Qur’an yang menjelaskan tentang keburukan dunia sangat banyak sekali. Dan kebanyakan ayat-ayat Al Qur’an memuat mengenai keburukan (fitnah) dunia dan anjuran untuk memalingkan makhluk dari dunia serta mengajak kepada akhirat.

Zaid bin Arqom pernah bersama Sayyidina Abubakar Asshidiq Radiyallahu Anhu, saat itu beliau meminta minuman lalu diberikan kepadanya air dan madu. Maka ketika beliau telah kenyang dari minuman itu beliau menangis hingga sahabat-sahabatnya juga ikut menangis.

Lalu para sahabatnya itu diam dari tangisnya dan tidak demikian dengan Abubakar, beliau menangis lagi dan para sahabatnya menyangka bahwa Abubakar ada masalah yang mereka tidak mampu membantunya. Lalu Abubakar mengusap kedua matanya dan para sahabatnya bertanya, “Wahai Khalifah penerus Rasulullah ﷺ, apa yang membuat engkau menangis?”, Abubakar menjawab, “Aku pernah  bersama Rasulullah ﷺ dan aku melihat beliau menolak sesuatu dari dirinya padahal aku tidak melihat seorangpun bersamanya. Maka aku bertanya kepada beliau apa yang engkau tolak tadi? Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda,

هذه الدنيا مثلت لي فقلت لها إليك عني ثم رجعت فقالت إنك افلت مني لم يفلت مني من بعدك

“Inilah dunia menampakkan diri kepadaku dan aku berkata kepadanya pergilah dariku kemudian dia kembali dan berkata sesungguhnya engkau (Rasulullah ﷺ) bisa lepas dariku namun tidak akan ada yang bisa lepas dariku sepeninggalmu.” (HR. Bazzar, Hakim, Baihaqi).

Lihat bagaimana angkuhnya dunia yang memproklamirkan diri di depan Rasulullah ﷺ bahwa tidak ada yang bisa lepas dari cengkeramannya (dunia) sepeninggal Nabi Muhammad ﷺ kelak. Hujjatul Islam Imam Al Ghazali menukil sebuah hadis di dalam kitab Ihya’ Ulumiddin dalam bab fitnah (kejelekan) dunia yang berbunyi,

حديث موسى بن يسار “ان الله جل ثناؤه لم يخلق خلقا ابغض اليه من الدنيا وانه منذ خلقها لم ينظر

اليها” اخرجه ابن ابي الدنيا من هذا الوجه بلاغا وللبيهقي في الشعب من طريقه وهو مرسل

“Sesungguhnya Allah tidak menciptakan makhluk yang lebih dibenci daripada dunia. Dan sesungguhnya Allah tidak pernah melihat kepada dunia sejak Dia menciptakannya.” (HR. Ibnu Abi Dunya dan Baihaqi).

Lantas setelah melihat berbagai celaan kepada dunia yang banyak tersebar di Al-Quran dan Hadis Nabi tersebut, apakah itu artinya kita dilarang untuk ‘menikmati’ dunia? Tentu bukan demikian maksudnya.

Syeikh Abdul Wahhab As Sya’roni di dalam kitabnya mengatakan hendaknya kita meniru akhlak para Salaf Saleh dalam menyikapi dunia. Disebutkan oleh Imam Sya’roni bagaimana Salaf Saleh menyikapi dunia;

النظر إلى الدنيا بعين الاعتبار لا بعين المحبة لها وشهواتها، كما قد درج عليه جمهور السلف الصالح رضي الله عنهم

“Melihat kepada dunia dengan pandangan pertimbangan (untuk diambil pelajaran) bukan dengan pandangan cinta dan berkeinginan kepada dunia. Seperti yang dilakukan oleh mayoritas Salaf Soleh Radiyallahu Anhum” (Syekh Abdul Wahhab As Sya’roni, Kitab Tanbihul Mughtarin hal. 65, cet. Darul Kutub Islamiyyah Jakarta).

Hatim Al-A’shom pernah ditanya seseorang perihal kriteria manusia yang bisa menjadi Ahlul I’tibar,

وقيل لحاتم الأصم : متى يكون أحدنا من أهل الاعتبار فى الدنيا ؟

فقال : إذا رأى كل شيء فى الدنيا عاقبته إلى الخراب وصاحبه يذهب إلى التراب.

Ditanyakan kepada Hatim Al A’shom, “Kapan kita dianggap termasuk daripada orang yang bisa mengambil pelajaran di dunia? Hatim menjawab, “Tatkala sudah bisa melihat setiap sesuatu di dunia ini akibatnya adalah kehancuran dan pemilik (harta) dunia akan mati menjadi tanah.”

Maknanya adalah semua yang berkaitan dengan dunia akan musnah belaka, ini sesuai dengan firman Allah di dalam Al-Quran,

كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُۥ ۚ لَهُ ٱلْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nya-lah segala penentuan, dan hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS: Al Qashash : 88)

Walhasil orang beriman telah diingatkan berkali-kali di dalam Al Qur’an bahwa  dunia adalah kesenangan yang menipu (QS. Al Hadid : 20). Maka mewaspadai tipuannya adalah sebuah keniscayaan.

Imam Ghazali di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin menukil wasiat dari Ruhullah Nabi Isa Alaihis Salam yang berbunyi,

وقال عيسى عليه السلام : لا تتخذوا الدنيا ربا فتتخذكم عبيدا

“Jangan kalian menjadikan dunia sebagai Tuhan, maka dunia akan menjadikan kalian sebagai hamba.”

Barangsiapa yang menjadi hamba dunia maka dunia akan menghancurkannya sehancur-hancurnya baik secara cepat atau lambat. Dan itu yang kini sedang terjadi di belahan dunia manapun di akhir zaman ini.

Lihat bagaimana para koruptor dan penguasa zalim. Kehancuran hidup mereka pasti akan datang, dan jika masih bisa lepas di dunia, ingat pengadilan akhirat sudah menanti.

Sebagai penutup, penulis ingin mengutip wasiat dari Nabi Isa ibnu Maryam Alaihis Salam yang bisa menjadi pegangan bagi orang beriman dalam menyikapi dunia. Beliau berkata,

وقال عيسى عليه السلام : لا يستقيم حب الدنيا والآخرة في مؤمن كما لا يستقيم الماء والنار في إناء واحد.

“Tidak (mungkin) tegak (akur) cinta dunia dan akhirat pada diri seorang mukmin seperti tidak akan bisa akur  air dan api di dalam satu wadah.” Wallahu A’lam Bis Showab.*/ Muhammad Syafii Kudo, murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan

HIDAYATULLAH

Hukum Pengobatan Dukun Menggunakan Trik Sulap

Berikut hukum menggunakan pengobatan dukun menggunakan trik sulap. Beberapa waktu terakhir, konten-konten bertemakan sulap sebagai trik pengobatan alternatif meramaikan jagat dunia maya.

Fenomena seorang dukun yang menggunakan trik sulap yang kerap mendokumentasikan aksinya melalui kanal Youtube, kemudian dibongkar oleh Marsel Radival alias Pesulap Merah.

Menanggapi itu, Mencuat pertanyaan tentang hukum Islam, bagaimana hukum seorang dukun yang menggunakan trik sulap pada pengobat alternatif? Lalu bagaimana hukum seorang yang percaya dukun sebagai penyembuh penyakitnya? Mari sama-sama kita bahas.

Hukum Pengobatan Dukun Menggunakan Trik Sulap

Menggunakan trik sulap pada pengobatan alternatif dengan tujuan mengecoh pasien agar percaya kehebatan merupakan suatu penipuan yang jelas tidak dibenarkan menurut agama. Bagaimanapun yang namanya penipuan haram hukumnya, apalagi sampai merugikan banyak orang.

Mengenai sulap, menurut Syekh Asy-Syirbini dalam kitabnya Hasyiyah al-Allamah Asy-Syirbini ala al-Ghurar al-Bahiyah, juz 5, hal. 17-18:

قَوْلُهُ وَالشَّعْبَذَةُ هِيَ اِظْهَارُ اَلْاُمُوْرِ اَلْعَجِيْبَةِ بِوَاسِطَةِ تَرْتِيْبِ اَلَاتِ وَخِفَّةِ الْيَدِ وَالْاِسْتِعَانَةِ بِخَوَاصِ الْاَدَوِيَةِ وَالْاَحْجَارِ وَفِيْ التَّحْرِيْمِ اِنْ لَمْ يَتَرَتَّبْ عَلَيْهَا مَفْسَدَةِ خِلَافِ

Redaksi sulap: yaitu menunjukkan hal-hal yang menakjubkan dengan perantara alat yang sudah terancang, kecepatan tangan, bantuan alat pengobatan dan bebatuan. Mengenai hukum haramnya, jika tidak menimbulkan dampak negatif, maka ulama berbeda pendapat. 

Dari pernyataan diatas tendensi hukum sulap pun masih diperdebatkan para ulama. Padahal sulap yang dimaksud diatas hanya sebagai tontonan dan hiburan. Apalagi yang sudah jelas, trik sulap digunakan untuk pengobatan oleh para dukun sebagai alat pengkelabuhan agar dirinya dinilai orang yang ahli karamah, jelas haram hukumnya.

Tidak hanya itu, trik sulap yang menampakkan suatu hal yang menakjubkan yang diluar nalar bisa dihukumi seperti halnya sihir. Imam Mawardi menegaskan dalam Al-Hawi al-Kabir:

لِاَنَّ الشَّعْبَذَةَ فِيْ خَرْقِ الْعَادَةِ كَا السِّحْرِ

Sesungguhnya trik sulap pada hal-hal di luar batas kebiasaan manusia sama dengan sihir.

Dengan begitu, kita harus pandai menilai istilah “orang pintar” di Negeri ini, sebab banyak kejadian pesulap yang sepi dari pekerjaanya, beralih profesi menjadi dukun. Maka tidak heran Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menegaskan:

وَالْخَبَرُ الصَّحِيْحُ اَنَّ كَسْبَ الْكَاهِنِ خَبِيْثّ وَاَنَّ بَذْلَ الْمَالِ فِيْ ُمقَابَلَةِ ذَالِكَ سَفَهٌ

Hadis sahih mengatakan bahwa profesi dukun itu keji, dan mengeluarkan upah untuk membayar praktik perdukunan adalah sebuah kebodohan. 

Allah Swt. menurunkan penyakit kepada makhluknya dan Allah juga yang menyembuhkan. Manusia hanya bisa ikhtiar dengan cara berobat. Alih-alih pergi ke dokter yang jelas pendidikanya, malah justru pergi ke dukun yang dianggap sakti dan bisa menyembuhkan penyakit dengan cara mistis.

Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ Syrahul Muhadzab menukil sebuah hadis:

اِنَّ اللهَ تعالى اَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فتداووا ولاتداوو باالحرام

Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obatnya dan menjadikan tiap-tiap penyakit ada obatnya. Maka berobatlah kalian, dan jangan kalian berobat dengan haram (H.R. Abu Dawud dari Abu Darda).

Selanjutnya bagaimana hukum mempercayai dukun sebagai penyembuh penyakit? Dalam kasus ini al-Qadhi Iyadh menegaskan, “semua jenis dukun yang bertentangan syariat, kita haram mempercayainya”.

Hukum tersebut disandarkan kepada hadis Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

مَنْ اَتَى عِرَافًا اَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا اُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ

Barang siapa yang mendatangi araaf atau kahin (dukun) dan membenarkan apa yang ia katakan, maka sesungguhnya ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan Muhammad (H.R. Ahmad).

Asrifin An-Nakhrawie dalam bukunya Sihir & Klenik perdukunan mengatakan bahwa sebagian ulama mengartikan kafir dalam konteks tersebut adalah mengingkari ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw; jadi tidak termasuk kufur hakiki (keluar Islam).

Begitu juga, hal yang diharamkan dan bisa mendekati kufur adalah ketika seorang, mempercayai bahwa, semisal dukun, kiai, dokter dan obat sebagai penyembuh penyakitnya. Hal tersebut bertentangan dalam pandangan hakekat, sebab tanpa melibatkan Allah didalamnya.

Secara hakekat penyembuh utama adalah Allah Swt. Seorang dokter, kiai, dukun atau obat-obatan sebagai perantara kesembuhan, bukan yang menyembuhkan. (Baca: Hukum Mendatangi Dukun dan Perbedaanya dengan Kiai)

Hal tersebut pernah ditegaskan oleh K.H Yusuf Chudlori dalam tausiahnya, bahwa semisal mempercayai makhluk lain atau obat yang digunakan sebagai satu-satunya yang menjadikan sembuh dari penyakit, adalah suatu perbuatan mungkar yang tidak diperbolehkan dalam agama.

“Itu jelas bertentangan dengan syariat. Karena menafikan Allah yang memberikan kesembuhan” tutur Pengasuh Pon. Pes Api Tegalrejo Magelang dalam Channel Youtubenya (20/08/22).

Dengan begitu hukum mempercayai dukun sebagai penyembuh penyakit adalah perbuatan munkar yang dekat dengan kekufuran. Untuk itu marilah kita pandai mengambil sikap dalam pengobatan, berobatlah dengan cara yang benar, yang sesuai ilmu medis yang sudah di tetapkan olehm  ahlinya. Wallahuaalam

BINCANG SYARIAH

Penyebab Seseorang Flexing di Media Sosial dalam Kacamata Psikologi

Berikut ini penjelasan penyebab seseorang flexing di media sosial dalam kacamata Psikologi. Perkembangan media sosial terus melaju dengan pesat. Namun sayangnya, tidak sedikit orang yang memanfaatkan sebagai media flexing. Tahukah apa yang dimaksud flexing?

Istilah flexing sering berseliweran di media sosial belakangan ini. flexing merupakan sebuah kata populer atau slang word dalam bahasa Inggris artinya gemar pamer. Ungkapan ini disematkan pada perbuatan untuk memamerkan sesuatu atau kepada seseorang yang sangat berlebihan menunjukkan pencapaian seseorang atau sesuatu yang ia miliki.

Dalam ilmu ekonomi, kata lain dari flexing adalah Conspicuous Consumption (konsumsi mencolok), maksudnya menghabiskan uang untuk membeli barang atau jasa sebagai salah satu upaya untuk menunjukkan status atau kekuatan ekonomi seseorang.

Sebagaimana diketahui, salah satu fungsi media sosial adalah wadah seseorang menyimpan foto dan video. Tetapi dewasa ini, justru beralih fungsi menjadi tempat ajang pembuktian diri seperti kekayaan, prestasi, pencapaian, dan sebagainya.

Pada hakikatnya, pamer kekayaan bukanlah sesuatu yang buruk, apabila tidak sampai merugikan orang lain, atau berdampak merubah kepribadian orang lain menjadi tidak baik, maka yang demikianlah yang menjadi permasalahan bahkan bisa dianggap sebagai gangguan psikologis.

Seorang pakar psikologi bernama Alfred Adler dalam teorinya “Individual Psychology”, disebutkan bahwa salah satu penyebab manusia termotivasi menjadi pribadi yang sukses yakni akibat pengaruh sosial. Kemudian Adler menambahkan, semua orang mempunyai keinginan dasar untuk menjadi salah satu bagian dalam suatu kelompok.

Sebab apabila individu belum merasakan demikian, maka ia sedang berada pada perasaan inferior. Karena dalam diri manusia memiliki kecenderungan untuk membuktikan perjalanan menuju kesuksesan.

Dilansir dari Klikdokter, penyebab seseorang melakukan flexing dilihat dari kacamata psikologi antara lain:

Pertama, keyakinan akan membuat orang lain terkesan atas pencapaian yang diperoleh. Flexing bisa disebut menjadi salah satu bagian dari aktivitas membual atau bragging. Australian Institute of Professional Counselor berpendapat, membual adalah tindakan menyombongkan sesuatu dengan cara berlebihan.

Hal tersebut dilatarbelakangi bahwa pelaku pembual meyakini orang lain akan terkesan dengan apa yang ia miliki, baik harta maupun pencapaian lainnya, sehingga ia akan mendapat efek puas dan senang. Ternyata, kesenangan yang ia peroleh serupa dengan stimulus efek dopamin, yakni zat kimia  di dalam tubuh yang dapat meningkatkan suasana hati.

Kedua, suatu kebutuhan eksistensi. Menurut seorang Magister psikologi,  Ikhsan Bella Persada, seseorang yang kerap melakukan flexing ternyata mempunyai kebutuhan besar akan eksistensi dirinya yang baru akan terpenuhi saat mendapat pengakuan atas apa yang ia miliki.

Ketiga, Kurangnya rasa empati. Salah satu peneliti dari City University London Inggris, Irena Scopelliti menuturkan; individu yang gemar melakukan flexing tidak menyadari kalau tidak sedikit orang yang kurang nyaman maupun terganggu dengan perbuatan mereka.

Selain itu, Scopelliti mengatakan pembual biasanya sulit berempati karena ia tidak bisa menempatkan diri pada posisi orang lain.

Pembual juga meyakini dengan perbuatan menyombongkan diri akan membuat orang lain terkesan pada dirinya. Melainkan orang lain cenderung tidak menyukai individu yang terlalu berlebihan mengumbar apa yang ia miliki.

Keempat. Sebagai upaya menutupi perasaan rendah diri. akibat perasaan tidak aman dan rendah diri, ternyata menyebabkan individu melakukan flexing atau memamerkan diri untuk memperoleh validasi orang lain.

Alasan tersebut senada dengan ungkapan Profesor emerita, Dr. Susan Whitbourne dari Psychological and Brain Science, University of Massachusetts, di Amerika, yakni salah satu penyebab flexing adalah perasaan tidak aman dan rendah diri yang dialami individu.

Demikianlah penyebab flexing atau pamer kekayaan maupun pencapaian menurut kacamata para pakar psikologi. Sebagai pengingat, akibat seseorang kerap melakukan flexing makan akan berdampak pada dirinya seperti sulit mendapatkan teman dan terlalu memaksa keadaan di luar batas kemampuannya.

Demikian penjelasan terkait penyebab seseorang flexing di media sosial dalam kacamata Psikologi. Semoga bermanfaat. (Baca:Flexing Ala Sultan, Begini Penjelasan Quraish Sihab tentang Tahaddus Bin Ni’mah )

Tulisan ini telah terbit di Bincangmuslimah.com

Calon Jamaah Haji Harus Istithaah Sejak di Daerah

Jamaah haji yang berangkat tahun depan harus dipastikan istithaah kesehatannya sempurna sejak di Tanah Air. Untuk itu penting jamaah haji diperiksa kesehatan sejak dini di daerah mulai di tingkat Provinsi, Kabupaten, Kota dan Kecamatan.

“Pertama yang harus diantisipasi dulu di setiap provinsi, kabupaten dan kecamatan itu melakukan pemeriksaan dini. Mulai sekarang sudah dideteksi pihak dinkes di provinsi masing-masing di seluruh Indonesia,” kata Petugas Haji Daerah (PHD) Aceh, Jamaluddin Affan, saat berbincang dengan Republika belum lama ini.

Petugas kesehatan haji daerah di tingkat kabupaten kota sampai kecamatan harus melakukan pemeriksaan sejak dini. Pemeriksaan terhadap jamaah haji harus betul-betul mendetail, diperiksa secara menyeluruh. “Lakukan general check up,” katanya.

Setelah melakukan deteksi dini, pihak kesehatan daerah, selanjutnya mengumpulkan data-data tentang riwayat penyakit bawaan dari calon jamaah haji itu sendiri, baik riwayat dari pribadi ataupun dari keturunan. Pihak kesehatan daerah harus bertanya tentang penyakit bawaan dan jamaah haji itu betul-betul terbuka menyampaikan riwayat penyakitnya.

“Kemudian juga harus disinergikan dengan pihak Kementerian Agama, karena yang paling menyentuh daripada jamaah calon jamaah haji itu sendiri yaitu Kementerian Agama yaitu lewat KUA,” katanya.

Jamaluddin mengatakan, dalam mengawal kesehatan jamaah haji harus ada pendampingan supaya jamaah itu betul-betul terbuka dan menyampaikan apa adanya terkait apa yang mereka keluhkan terhadap penyakitnya. Menurutnya, harus ada tokoh masyarakat yang dihormati atau yang disegani oleh calon jamaah agar mau terbuka menyampaikan kondisi kesehatannya.

Menurutnya, pemantauan kesehatan jamaah sejak dini hal ini pernah diusulkan di daerah Aceh. Bagaimana sistem kesehatan haji ini dimulai sejak daerah melalui dinkes dan kantor kesehatan pelabuhan (KKP) demi mencegah atau meminimalisir supaya jamaah itu tidak terpapar sakit bawaan yang ada di Indonesia sampai di Tanah Suci.

“Itu yang harus dilakukan saya pikir. Kemudian setelah ada pemeriksaan awal harus ada rutinitas dilakukan pemeriksaan kepada seluruh calon jamaah haji agar mereka itu bisa berubah secara kontinuitas kalau ada penyakit,” katanya.

Pemeriksaan sejak dini di daerah ini penting untuk mendeteksi beberapa penyakit berat seperti TBC, ataupun sakit bawaan seperti Paru, Jantung ataupun penyakit lain yang mengganggu kelancaran jamaah beribadah di Tanah Suci.

“Pihak lembaga terkait seperti Dinkes atau rumah sakit ataupun lembaga-lembaga lain harus merekomendasi supaya mereka itu betul-betul berobat,” katanya.

IHRAM

Kekuatan Ikhlas dan Potret Ulama Salaf dalam Keikhlasan

Kekuatan ikhlas

Allah berfirman,

وَمَاۤ أُمِرُوۤا۟ إِلَّا لِیَعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخۡلِصِینَ لَهُ ٱلدِّینَ حُنَفَاۤءَ وَیُقِیمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَیُؤۡتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَ ٰ⁠لِكَ دِینُ ٱلۡقَیِّمَةِ

Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan amal (ketaatan) kepada-Nya dalam menjalani agama yang lurus, mendirikan salat, menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Allah juga berfirman,

إِنَّاۤ أَنزَلۡنَاۤ إِلَیۡكَ ٱلۡكِتَـٰبَ بِٱلۡحَقِّ فَٱعۡبُدِ ٱللَّهَ مُخۡلِصࣰا لَّهُ ٱلدِّینَ

Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Al-Kitab dengan benar. Maka, sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar: 2)

Allah pun berfirman memerintahkan kepada Nabi-Nya,

قُلۡ إِنِّیۤ أُمِرۡتُ أَنۡ أَعۡبُدَ ٱللَّهَ مُخۡلِصࣰا لَّهُ ٱلدِّینَ

Katakanlah, ‘Sesungguhnya Aku diperintahkan untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama kepada-Nya semata.’” (QS. Az-Zumar: 11)

Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَِى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung pada niat. Maka, barangsiapa yang berhijrah dalam rangka memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya benar-benar akan mendapatkan balasan berhijrah menuju Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena menginginkan dunia atau wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu hanya akan memperoleh apa yang dia niatkan saja.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang pertama kali akan diadili pada hari kiamat kelak adalah seorang yang berperang untuk mencari mati syahid di jalan Allah. Kemudian dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang telah diberikan kepadanya (di dunia) , maka dia pun mengakuinya. Allah bertanya, ‘Apa yang sudah kamu kerjakan dengan nikmat-nikmat itu?’ Dia menjawab, ‘Aku telah berperang di jalan-Mu hingga aku mati syahid.’ Allah menjawab, ‘Kamu dusta! Sebenarnya kamu berperang karena ingin mendapatkan pujian sebagai seorang yang pemberani, dan hal itu telah kamu dapatkan. Lantas Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup dan dia pun dilemparkan ke dalam neraka.

Berikutnya, seorang lelaki yang telah diberikan kelapangan rezeki dan dikaruniai beragam harta benda. Dia juga dihadirkan, dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang telah diberikan kepadanya. Dia pun mengakuinya. Allah pun bertanya kepadanya, ‘Apa yang sudah kamu kerjakan dengannya?’ Dia menjawab, ‘Tidak ada satu jalan pun yang harus kusedekahkan hartaku, kecuali telah aku infakkan harta itu di jalan-Mu, ikhlas karena-Mu.’ Maka, Allah menjawab, ‘Kamu dusta! Sebenarnya kamu lakukan hal itu agar kamu dijuluki sebagai orang yang dermawan. Dan pujian itu telah kamu dapatkan.’ Lantas Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup dan dia pun dilemparkan ke dalam neraka.

Berikutnya, seorang lelaki yang mempelajari ilmu (agama) dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur’an. Dia pun dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang telah diberikan kepadanya. Dia pun mengakui itu semua. Allah bertanya, ‘Apa yang sudah kamu perbuat dengan itu semua?’ Maka dia menjawab, ‘Aku menuntut ilmu, mengajarkannya, dan membaca Al-Qur’an di jalan-Mu.’ Allah menjawab, ‘Kamu dusta! Sesungguhnya kamu menuntut ilmu agar disebut sebagai orang alim, kamu membaca Al-Qur’an agar disebut sebagai qari’.’ Lantas Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup dan dia pun dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim)

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu mengatakan, “Ada tiga buah tanda orang yang suka riya’ (beramal tidak ikhlas): [1] apabila sendirian, maka dia menjadi pemalas, [2] dan hanya bersemangat apabila berada bersama orang-orang, [3] dia akan meningkatkan amalnya jika dipuji dan akan mengurangi amalnya jika dicela orang karena melakukannya.” (Al-Kabaa’ir, hal. 156)

Dzun Nun Al-Mishri mengatakan, “Tidaklah aku melihat ada sesuatu yang lebih dapat membangkitkan keikhlasan daripada khalwah (menyendiri).” (Risalah Qusyairiyah, 1: 50. Asy-Syamilah)

Syaikh As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya mengikhlaskan amal karena Allah merupakan pondasi agama, ruh tauhid, dan ibadah. Hakikat ikhlas itu adalah hamba beribadah hanya bermaksud untuk mendapatkan pahala melihat wajah-Nya, menginginkan balasan, dan keutamaan dari-Nya.” (Al-Qaul As-Sadid, hal. 107).

Ulama salaf dan keikhlasan

Seorang ulama yang mulia dan sangat wara’ (berhati-hati) Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, ”Tidaklah aku menyembuhkan sesuatu yang lebih sulit daripada niatku.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 19)

Yusuf bin Al Husain Ar-Razi rahimahullah mengatakan, ”Sesuatu yang paling sulit di dunia ini adalah ikhlas. Betapa sering aku berusaha mengenyahkan riya’ dari dalam hatiku, namun sepertinya ia kembali muncul dengan warna yang lain.” (Jami’ul ‘Ulum, hal. 25).

Ad-Daruquthni rahimahullah mengatakan, ”Pada awalnya kami menuntut ilmu bukan semata-mata karena Allah. Akan tetapi, ternyata ilmu itu enggan sehingga dia menyeret kami untuk ikhlas dalam belajar karena Allah.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, dinukil dari Ma’alim, hal. 20)

Asy-Syathibi rahimahullah mengatakan, ”Penyakit hati yang paling terakhir menghinggapi hati orang-orang saleh adalah suka mendapat kekuasaan dan gemar menonjolkan diri.” (Al-I’tisham, dinukil dari Ma’alim, hal. 20)

Di dalam biografi Ayyub As-Sikhtiyani disebutkan oleh Syu’bah bahwa Ayyub mengatakan, ”Aku sering disebut orang, namun aku tidak senang disebut-sebut.” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim, hal. 22)

Pada suatu ketika, sampailah berita kepada Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah bahwa orang-orang mendoakan kebaikan untuknya, maka beliau berkata, ”Semoga saja, ini bukanlah bentuk istidraj (yang membuatku lupa diri).” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim, hal. 22)

Begitu pula ketika ada salah seorang muridnya yang mengabarkan pujian orang-orang kepada beliau, Imam Ahmad mengatakan kepada si murid, ”Wahai Abu Bakar! Apabila seseorang telah mengenali hakikat dirinya sendiri, maka ucapan orang tidak akan berguna baginya.” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim, hal. 22)

Diriwayatkan dari Mutharrif bin Abdullah rahimahullah bahwa dia mengatakan, ”Baiknya hati adalah dengan baiknya amalan. Sedangkan baiknya amalan adalah dengan baiknya niat.” (Jami’ul ‘Ulum, hal. 17)

Dari Ibnul Mubarak rahimahullah, dia mengatakan, ”Betapa banyak amal yang kecil menjadi besar gara-gara niat. Dan betapa banyak amal yang besar menjadi kecil gara-gara niat.” (Jami’ul ‘Ulum, hal. 17).

Sahl bin Abdullah rahimahullah mengatakan, ”Tidak ada sesuatu yang lebih berat bagi jiwa daripada keikhlasan, karena di dalamnya hawa nafsu tidak ambil bagian sama sekali.” (Jami’ul ‘Ulum, hal. 25)

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/78151-kekuatan-ikhlas-dan-potret-ulama-salaf-dalam-keikhlasan.html

Apakah Aku Benar-Benar Bahagia?

Sebagian manusia menyangka bahwa kebahagiaan letaknya pada harta dan kekayaan. Sebagian mereka juga menyangka bahwa kebahagiaan terletak pada kedudukan dan pangkat. Seluruh manusia pasti ingin meraih kebahagiaan. Sayangnya, banyak yang akhirnya merugi karena meyakini sebuah kebahagiaan bukan pada hakikat aslinya. Sehingga kehidupan dan kesibukan dunianya mempengaruhi agamanya, serta hawa nafsunya memalingkannya dari kehidupan akhiratnya. Dan pada akhirnya, tidak ada yang ia dapatkan dan ia peroleh, kecuali kesedihan dan penyesalan. Sebuah ironi dari kebahagiaan semu yang mereka yakini.

Kebahagiaan yang dicari seluruh manusia ini, sesungguhnya tak dapat diraih, kecuali dengan ketakwaan kepada Allah Ta’ala, dengan menaati-Nya serta menaati Rasul-Nya, dengan menjauhkan diri dari kemaksiatan dan kejelekan. Allah Ta’ala berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًاۙ * يُّصْلِحْ لَكُمْ اَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْۗ وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia menang dengan kemenangan yang agung.” (QS. Al-Ahzab: 70-71)

Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,

الإيمان بالله ورسوله هو جماع السعادة وأصلها

“Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan sumber dan asal muasal kebahagiaan.” (Fatawa Syekhul Islam, 30: 193)

Kehidupan dunia dan seluruh kenikmatan yang ada di dalamnya tidaklah mendatangkan kebahagiaan, kecuali jika disertai dengan ketakwaan. Dan ketakwaan kita kepada Allah hanya akan terwujud bila kita beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta diiringi dengan ketaatan dan ketundukan penuh di dalam menjalankan perintah dan meninggalkan larangan syariat.

Jalan kebahagiaan

Tidak ada cara lain untuk berbahagia, kecuali dengan menaati Allah Ta’ala. Siapa yang memperbanyak amal saleh dan menghindarkan diri dari dosa, maka hidupnya akan dipenuhi dengan kebahagiaan dan akan semakin dekat dengan Rabb-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab Tafsir-nya mengatakan, “Kehidupan yang baik tercakup di dalamnya segala macam jenis ketentraman dan kenyamanan dengan segala macam rupa dan bentuknya.”

Kebahagiaan ini semakin membanggakan jikalau seorang hamba benar-benar mengesakan Allah Ta’ala, menggantungkan hatinya hanya kepada-Nya serta memasrahkan seluruh urusannya kepada-Nya. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

التوحيد يفتح للعبد باب الخير والسرور واللذة ، والفرح والابتهاج

“Tauhid (mengesakan Allah) akan membukakan kebaikan, kebahagiaan, kenikmatan, keceriaan, dan sorak gembira bagi seorang hamba.” (Zaadul Ma’ad, 4: 202)

Sejatinya kebahagiaan ini akan benar-benar melekat pada diri seorang hamba jika ia berbuat baik kepada sesama makhluk dan konsisten di dalam menjalankan ketaatan. Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

“Kebahagiaan dalam berinteraksi dengan manusia adalah dengan berbuat baik kepada mereka karena Allah. Sehingga engkau mengharapkan ganjaran dari Allah di dalam perbuatan baikmu kepada mereka, bukan mengharapkan (rida) mereka di dalam ketaatanmu ini kepada Allah. Engkau takut kepada Allah jika tidak bisa berbuat baik kepada mereka, bukan engkau takut berbuat kebaikan kepada Allah karena mereka. Engkau mengayomi mereka dengan baik karena mengharap balasan Allah Ta’ala, bukan demi balasan dan pujian mereka. Engkau tidak menzalimi mereka karena rasa takutmu kepada Allah dan bukan karena ketakutanmu terhadap mereka.” (Fatawa Syekhul Islam, 1: 51)

Siapa yang bisa merasakan manisnya keimanan, maka tentu ia juga akan merasakan manisnya kebahagiaan. Ia akan hidup dengan dada yang lapang, hati yang tenang, dan tubuh yang tenteram. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

وسمعت شيخ الإسلام ابن تيمية يقول: إن في الدنيا جنة من لم يدخلها لا يدخل جنة الآخرة، وقال لي مرة ما يصنع أعدائي بي إن جنتي وبستاني في صدري إن رحلت فهي معي لا تفارقني

“Aku pernah mendengar Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, ‘Sesungguhnya di dunia ini ada surga yang jika seseorang tidak memasukinya, maka ia tidak akan masuk ke dalam surga akhirat.’ Beliau suatu ketika juga mengatakan, ‘Apa yang bisa diperbuat oleh musuh-musuhku?! Sesungguhnya surgaku dan tamanku ada di dalam dadaku. Jika aku pergi, maka surga itu akan tetap bersamaku, tak akan pernah berpisah denganku”. (Al-Waabil As-Shayyib, hal. 20)

Mereka yang terhalang dari kebahagiaan

Kerugian dan penderitaan bagi siapapun yang mengikuti hawa nafsunya. Dengan terjatuhnya seseorang ke dalam jurang kemaksiatan dan kejelekan yang secara sekilas terkesan membahagiakan di dunia ini, namun faktanya penuh dengan perkara haram dan melalaikan, pastilah akan mendatangkan kemudaratan. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَهٗ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اَعْمٰى

“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 124)

Syekhul Islam rahimahullah mengatakan, “Keburukan di muka bumi yang menimpa khusus seorang hamba, sebabnya adalah menyelisihi Rasulullah atau kebodohan terhadap risalah yang dibawanya. Adapun kebahagiaan seorang hamba di dunia dan di akhirat, maka itu karena mengikuti risalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Fatawa Syekhul Islam, 19: 93)

Jalan keluar terakhir dari kesengsaraan menuju kebahagiaan adalah dengan bertobat dan kembali kepada Allah Ta’ala. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

ويغلق باب الشرور بالتوبة والإستغفار

“Pintu-pintu keburukan ditutup dengan tobat dan istigfar (memohon ampunan kepada Allah).” (Zaadul Ma’ad, 4: 203)

Ketuklah pintu tobat dan tutuplah pintu kemaksiatan, agar engkau bisa merasakan manisnya kebahagiaan hakiki. Sesungguhnya sehatnya hati ini ada di dalam meninggalkan dosa-dosa, karena dosa bagi hati itu laksana racun. Jika tidak menghancurkannya, setidaknya akan melemahkannya. Barangsiapa yang beralih dari rendahnya kemaksiatan menuju mulianya ketaatan, maka akan Allah sukseskan dirinya walaupun tidak harus dengan harta, Allah akan berikan pada dirinya kehangatan, walaupun tanpa adanya seorang sahabat.

Apakah aku sudah bahagia?

Sesungguhnya indikator kebahagiaan hakiki seseorang terletak pada tiga hal. Jika ketiga hal tersebut terkumpul pada dirinya, maka insyaAllah dia termasuk orang-orang yang berbahagia. Ketiga hal tersebut adalah:

Pertama: Bersyukur atas segala kenikmatan.

Kedua: Bersabar atas segala macam cobaan.

Ketiga: Senantiasa beristigfar, meminta ampun setiap kali melakukan kemaksiatan.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

إذا أُنعم عليه شكر، وإذا ابتُلِيَ صبر، وإذا أذنب استغفر. فإن هذه الأمور الثلاثة هي عنوان سعادة العبد، وعلامة فلاحه في دُنياه وأُخراه، ولا ينفكُّ عبدٌ عنها أبدًا.

“Jika diberi kenikmatan, ia bersyukur. Jika diberi ujian, ia bersabar. Dan jika berbuat dosa, ia beristighfar. Maka, sesungguhnya ketiga hal ini merupakan tanda kebahagiaan seorang hamba, dan tanda kesuksesannya di kehidupan dunia dan akhirat. Kesemuanya itu (nikmat, ujian, dan dosa) tak akan pernah terlepas pada diri seorang hamba.” (Al-Waabil As-Sayyib, hal. 6)

Ibnul Qayyim rahimahullah juga mengatakan,

“Tanda kebahagiaan seorang hamba adalah adalah meletakkan kebaikan-kebaikan yang telah ia lakukan di punggung belakangnya (melupakan dan tidak mengungkit-ungkitnya) serta meletakkan keburukan-keburukan yang telah ia lakukan di depan matanya (senantiasa mengingat dan memohon ampunan atas keburukan tersebut), dan tanda kerugian serta kesedihan adalah menjadikan kebaikan-kebaikan di depan matanya (senantiasa mengungkitnya) serta menjadikan keburukan-keburukan di belakang punggungnya (melupakan dan tidak bertobat darinya)”. (Miftahu Daari As-Sa’adah, 2: 310)

Orang yang berbahagia adalah orang yang senantiasa bertakwa kepada Penciptanya, senantiasa berlemah lembut dan berbuat baik kepada manusia lainnya, dan mensyukuri semua kenikmatan dengan memanfaatkannya di dalam ketaatan. Orang yang berbahagia adalah mereka yang menghadapi ujian dengan penuh kesabaran dan pengharapan pahala dari Allah Ta’ala, lapang dada, serta merasa yakin bahwa Allah akan menyucikan dirinya dan meninggikan derajatnya karena ujian yang ia hadapi tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ يَٰعِبَادِ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمْ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا۟ فِى هَٰذِهِ ٱلدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗ وَأَرْضُ ٱللَّهِ وَٰسِعَةٌ ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.’” (QS. Az-Zumar: 10)

Wallahu a’lam bisshowaab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/78149-apakah-aku-benar-benar-bahagia.html

Agar Bahagia dan Tak Buang-Buang Waktu

Kebahagiaan dengan mudah kita peroleh, baik dunia maupun akhirat, jika kita dapat mengelola waktu dengan baik. Waktu dan umur harus diperhatikan jika ingin menjalani hidup yang bahagia.

Manusia tak bahagia jika waktu dibuang-buang begitu saja. Menunggu-nunggu saja hingga sampai pula kepada hari berikutnya. Bertahun-tahun begitu-begitu terus, tak ada perkembangan. Dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Abdullah bin Ummar RA, Rasulullah SAW pernah memegang pundak Abdullah bin Ummar RA.

Kemudian beliau bersabda, “Jalani hidup di dunia seakan-akan kamu orang asing atau orang yang sedang dalam perjalanan. Apabila kamu berada pada waktu sore, janganlah kamu menunggu-nunggu waktu pagi, dan apabila kamu berada pada waktu pagi, janganlah kamu menunggu-nunggu waktu sore. Manfaatkanlah hidupmu di dunia untuk hidupmu sesuadah mati.” (HR Imam Al-Bukhary).

Beberapa hal yang harus kita perhatikan berkaitan dengan hadis di atas. Waktu harus dimanfaatkan dengan baik oleh manusia karena umur tak mungkin dapat dikembalikan lagi. Sama dengan waktu, kita bertemu waktu yang sama, tetapi bukan waktu yang kemarin lagi.

Untuk mencapai hal itu ada beberapa yang harus dilakukan. Pertama, berbuat sedikit, tapi berkelanjutan. Daripada berbuat hari ini, tapi besoknya tak lagi berbuat kebaikan. Akhirnya, apa yang ia lakukan berhenti di tempat.

Untuk memulainya kembali butuh energi yang cukup karena ia telah menghabiskan waktu dan tenaganya untuk melakukan hal yang pertama. Konsisten dan berkelanjutan itu harus kita berlakukan pada saat menangkap rezeki dari Allah SWT dan berdoa kepada-Nya.

Sedikit demi sedikit terus kita usahakan pekerjaan kita sampai selesai. Berdoa kepada Allah SWT juga seperti itu, jangan terus beribadah di masjid, berzikir, tapi lupa pada dinamika hidup yang harus diselesaikan. Rezeki di dunia harus kita tangkap. Pergi berjalan sebanyak-banyaknya dan mengarungi seluk beluk bumi Tuhan.

Kedua, harus ada target. Setiap hari harus ada pencapain meski sedikit. Pencapaian ini yang kadang tidak terprogram sehingga kerap kali kita tidak sukses karena tidak membuat target dalam hidup.

Ketiga, bekerja keras dan rajin berdoa. Kita tidak bisa hanya bekerja tanpa berdoa. Keempat, perbanyak mencoba. Mencoba adalah hal yang harus dilakukan. Manusia yang tak mau mencoba dalam memanfaatkan waktu dan hidupnya maka sampai kapan pun ia tak akan pernah merasakan kebahagiaan. Mencoba itu termasuk guru terbaik.

Kita dapat belajar dari pengalaman yang kita coba. Itu guru yang sangat baik. Jika tak pernah mulai dan mencoba maka sampai kapan pun waktu itu akan terbuang begitu saja.

Kelima, jangan banyak mengenang kesalahan masa lalu. Jadikan pelajaran dan teruslah melihat ke depan. Sambil memperbaiki apa yang tidak sukses tadi. Keenam, jangan terlalu buang waktu untuk hal yang tidak penting sebab hanya menghabiskan waktu dan lupa dengan target yang harus dicapai.

Ketujuh, untuk memperkuat semua itu, berdoa dan bangun malam harus dilakukan. Hal ini untuk memperkuat keyakinan akan target dan usaha yang telah dilakukan. Seseorang yang sering bangun malam kemudian shalat dan berdoa maka secara langsung ia telah melampaui orang-orang yang tidur.

Orang yang rajin shalat malam akan dapat petunjuk yang lebih dibandingkan dengan yang tidur. Artinya, ia telah diberikan jalan yang tanpa hambatan oleh Allah SWT karena waktu ia meminta, sedikit orang yang bangun. Akhirnya, apa pun permintaannya akan dikabulkan oleh Allah SWT. 

IHRAM

Mengapa Nabi Musa Sering Disebut Dalam Alquran?

Kisah Nabi Musa bisa dijadikan pedoman hidup bagi Muslim.

Alquran adalah sumber pedoman bagi seluruh umat manusia tentang bagaimana menjalani kehidupan yang sempurna dan dituntun oleh Tuhan. Salah satu cara menyampaikan panduan ini adalah dengan memberikan contoh orang-orang nyata yang hidup di masa lalu dan merinci kisah hidup mereka yang dapat kita perhatikan dan rencanakan untuk masa depan.

Karena itulah kita akan selalu membaca dalam Alquran petunjuk setelah setiap cerita, bahwa kita harus mengambil nasihat dan mengambil pelajaran. Allah SWT berfirman yang artinya:

“Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. Alquran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yusuf:111)

Dalam setiap kisah yang disebutkan dalam Alquran, ada banyak pelajaran. Beberapa di antaranya dapat kita temukan sekarang dan beberapa di antaranya belum kita temukan. Semakin kita hidup, semakin banyak yang bisa kita temukan.

Setiap kali kita membaca sebuah cerita, kita dapat melihat sesuatu yang baru terngiang di benak kita seolah-olah baru pertama kali kita membacanya. Ini, tanpa diragukan lagi, adalah sesuatu yang sangat istimewa tentang Alquran karena merupakan kitab Ilahi.

Cerita dan pelajaran

Dari semua kisah bangsa dan nabi sebelumnya, kisah Nabi Musa dan Bani Israel memiliki sejumlah pengalaman. Pengalaman yang sangat kaya ini dapat bermanfaat bagi orang-orang, yakni di tingkat kepemimpinan, di tingkat individu, dan di tingkat komunitas.

Kisah Nabi Musa tidak hanya berhubungan dengan dia sebagai pribadi, namun itu berkaitan dengan seluruh bangsa yang diselamatkan Tuhan dari tirani dan kehinaan. Kisah tersebut menceritakan banyak kejadian tentang bagaimana mereka diselamatkan, bagaimana seorang individu seperti Nabi Musa dapat melawan seorang tiran besar seperti Firaun, dan bagaimana rezim seperti itu mencoba menodai citra Nabi Musa, yang secara simbolis merupakan satu-satunya suara keberatan di negara itu.

Kisah ini juga menceritakan kepada kita bagaimana Musa memenangkan para penyihir ke sisinya ketika mereka menyadari kebenaran, bagaimana Musa memimpin Bani Israel melalui laut ke tempat tinggal yang aman, bagaimana Firaun dan pengawalnya mencoba menodai citra komunitas kecil yang beriman. dan memalsukan kebohongan terhadap mereka, dan bagaimana Allah menjaga Bani Israil di gurun tandus dan mempermalukan musuh mereka dengan tenggelam di laut.

Keluar dari Mesir

Kisah ini juga menceritakan tentang pembangkangan Bani Israel di kemudian hari, dengan menyebutkan ketidaksyukuran mereka ketika mereka meminta Musa untuk makanan Mesir. Mereka menolak memasuki Tanah Suci dan berperang di samping Nabi mereka. Dan mereka meminta Musa menjadikan mereka berhala untuk disembah, dan mereka menyembah anak sapi setelah dia pergi untuk menerima wahyu dari Tuhannya.

Ini juga menceritakan kisah sapi, dimana Bani Israel diperintahkan menyembelih dan menyerang korban pembunuhan dengan ekornya untuk menemukan pembunuhnya, dan bagaimana mereka berdebat dengan Musa tentang warna dan kualitasnya sampai keadaan menjadi sulit bagi mereka.

Persamaan antara Nabi Musa dan Nabi Muhammad

Kesamaan antara Nabi Musa dan Nabi Muhammad adalah alasan penting lain yang mengharuskan fokus seperti itu pada kisah Musa. Dari semua nabi sebelumnya, tidak ada nabi selain Musa dan Muhammad yang memimpin umatnya dan memenuhi perannya sebagai nabi dan pemimpin negara yang mengatur masyarakat dan memimpin masyarakat.

Mereka berhasil di tingkat duniawi dan surgawi. Ini tidak berarti bahwa nabi-nabi lain tidak memimpin umat mereka dalam kehidupan ini. Sebaliknya, kita berbicara secara khusus tentang mendirikan negara dan membebaskan rakyat dari tirani.

Dalam kehidupan Nabi Musa, Firaun mewakili tirani sedangkan dalam kehidupan Nabi Muhammad, para pemimpin suku Quraisy mewakili tirani dengan penganiayaan mereka terhadap budak dan orang lemah.

Baik Nabi Musa maupun Muhammad memimpin umat mereka menuju pembebasan dan berhasil mendirikan pemerintahan. Dalam kesamaan tersebut, terdapat banyak pelajaran, yang kesemuanya hanya dapat dirasakan dengan merinci kisah Musa dalam Alquran.

Kisah Sapi

Selain itu, pengalaman hidup Nabi Musa dengan umatnya begitu kaya sehingga kita dapat memberi manfaat bagi orang-orang di berbagai tingkatan. Hal Ini mengajarkan masyarakat serta individu untuk menghindari argumen dan perselisihan yang tidak berarti. Bayangkan jika Bani Israil mematuhi perintah Allah dan menyembelih seekor sapi sejak awal tanpa menanyakan lebih lanjut spesifikasinya. Akan jauh lebih mudah bagi mereka karena sapi mana pun akan cocok.

Pelajaran dalam kisah Musa tidak dapat dihitung, tetapi satu hal yang tersisa: tidak ada yang berulang. Sebaliknya, mereka semua bekerja untuk membentuk gambaran yang sempurna dan lengkap yang hanya dapat dilihat dengan membaca Alquran secara keseluruhan.

KHAZANAH REPUBLIKA