5 Alasan Babi Haram Dikonsumsi Ini Bantah Wanita Berjilbab Pembuat Totorial yang Viral

Babi merupakan salah satu hewan yang haram dimakan Muslim

Dalam video yang diunggah di akun TikTok @gondrong040681 dan diunggah ulang di berbagai platform media sosial menunjukkan, seorang wanita diduga berusia 40-an tahun memakai kerudung bunga-bunga dan kacamata hitam membuat tutorial memakan babi.  

Tidak diketahui ingin membuat konten lucu atau sengaja menghina Islam, wanita tersebut membeberkan cara makan babi dengan halal menurut Islam.

Wanita itu mengaku dirinya adalah seorang muslimah yang bernama Dewi Bulan. “Kita mulai bagaimana praktek makan babi tetap halal dan ada etikannya. Baca Bismillahirohmanirohim terlebih dahulu,” kata wanita tersebut dengan percaya dirinya dalam video yang diunggah di akun TikTok  @gondrong040681, dikutip Republika di Jakarta pada Selasa (22/8/2023).

Unggahan tersebut tentu mencederai ajaran Islam. Islam melarang konsumsi babi dan segala turunannya. Mengapa babi haram dimakan?

Mengenai alasan di balik larangan babi, Presiden Islamic Research Foundation Mumbai, Zakir Naik, menjelaskan beberapa alasan ilmiah dan nash syari sebagai berikut:

Pertama, konsumsi daging babi menyebabkan berbagai penyakit. Non-Muslim dan ateis lainnya akan setuju hanya jika diyakinkan melalui akal, logika, dan sains. Makan daging babi dapat menyebabkan tidak kurang dari tujuh puluh jenis penyakit yang berbeda. 

Seseorang bisa terkena berbagai macam cacing, seperti cacing gelang, cacing kremi, cacing tambang, dan lain sebagainya. Salah satu yang paling berbahaya adalah Taenia Solium, yang dalam istilah awam disebut cacing pita.   

Mereka akan bertahan di usus dan sangat panjang. Ovumnya, yaitu telur, memasuki aliran darah dan dapat mencapai hampir semua organ tubuh.

Jika masuk ke otak, cacing ini bisa menyebabkan kehilangan memori. Jika masuk ke jantung, bisa menyebabkan serangan jantung. 

Dan jika masuk ke mata, bisa menyebabkan kebutaan. Jika memasuki hati, dapat menyebabkan kerusakan hati. Dapat merusak hampir semua organ tubuh. 

Cacing lain yang berbahaya adalah Taenia Trichuriasis. Kesalahpahaman umum tentang daging babi adalah jika dimasak dengan baik, telur ini akan mati. 

Dalam sebuah proyek penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, ditemukan bahwa dari 24 orang yang menderita Taenia tichurasis, 22 orang telah memasak daging babi dengan sangat baik. Ini menunjukkan bahwa sel telur yang ada dalam daging babi tidak mati di bawah suhu memasak normal. 

Baca juga: Astagfirullah Tonton Wanita Berhijab Ini Buat Konten Cara Halal Makan Babi

Kedua,  kandungan lemak yang lebih banyak. Daging babi memiliki kandungan untuk massa otot sangat sedikit dibandingkan kandungan lemak yang berlebih. Lemak ini akan disimpan di pembuluh dan dapat menyebabkan hipertensi dan serangan jantung. 

Ketiga, babi adalah salah satu hewan paling kotor di bumi. Dia hidup dan berkembang biak di atas kotoran. Di desa-desa mereka tidak memiliki toilet modern dan penduduk desa buang air besar di udara terbuka. Sangat sering kotoran dibersihkan oleh babi. 

Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa di negara maju seperti Australia, babi dibiakkan dalam kondisi yang sangat bersih dan higienis. Bahkan dalam kondisi higienis seperti ini, babi-babi itu dipelihara bersama dalam kandang.  

Tidak peduli seberapa keras Anda mencoba untuk menjaga mereka tetap bersih, mereka pada dasarnya kotor. Mereka makan dan menikmati kotoran mereka sendiri dan juga kotoran kawanan mereka.

Keempat, yang tentu mendasar adalah keharaman babi diabadikan secara jelas dalam Alquran. 

Allah ﷻ mengharamkan Babi untuk dikonsumsi. Poin-poin berikut menjelaskan berbagai aspek larangan babi. 

Alquran melarang konsumsi daging babi di tidak kurang dari empat ayat  yang berbeda. Larangan babi disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 173, Al Maidah ayat 3, Al Anam ayat  145, dan An Nahl ayat 115. Sebagai contoh dalam surat Al Maidah ayat 3 disebutkan:  

ISLAMDIGEST

Merdeka dari Jeratan Hutang

Berhutang terus menerus bisa jadi ibarat “candu” dan orang yang berhutang tentu saja hidupnya tidak merdeka

Oleh: Muhammad Iqbal, Ph.D

Dalam beberapa bulan terakhir, situasi semakin mengkhawatirkan karena semakin sering muncul kasus kekerasan dan bunuh diri yang berhubungan dengan hutang, terutama pinjaman online. Tebing hutang ini seringkali menghantui masyarakat, mendorong mereka melakukan tindakan putus asa akibat ancaman dan tekanan yang diberikan oleh perusahaan pinjaman online.

Kasus ini semakin memburuk dengan adanya tindakan kriminal, penipuan, perjudian, dan bahkan tindak kekerasan hingga pembunuhan demi memenuhi kewajiban membayar hutang. Selain dampak individual, fenomena ini juga merusak struktur keluarga dan kehidupan sosial.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2023, profesion masyarakat yang paling terdampak pinjaman online adalah guru (42%), disusul oleh korban PHK (21%), ibu rumah tangga (18%), karyawan (9%), pedagang (4%), pelajar (3%), tukang pangkas rambut (2%), dan pengemudi ojek online (1%).

Secara teori, disiplin ilmu psikologi dan ekonomi telah mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorong perilaku berhutang, yang dikenal dengan istilah “the pain of paying”. Orang merasa bahagia saat membeli barang atau jasa yang diinginkan, tetapi kenyataannya, proses membayar hutang dapat menjadi beban yang sulit diatasi.

Namun, hadirnya pinjaman online mengurangi rasa sakit dari proses membayar hutang ini dan memberikan perasaan kemudahan. Kepuasan dari pembelian yang dilakukan meningkat ketika “pain of paying” berkurang (Shin et al., 2020).

Namun, pertanyaan yang muncul adalah mengapa seseorang senang berhutang? Menurut Yosephine (2021), alasan di balik perilaku ini terkait dengan dua hal: produktif dan konsumtif. Jika hutang digunakan secara produktif, artinya uang yang dipinjamkan digunakan untuk investasi yang berpotensi naik nilainya, seperti bisnis. Di sisi lain, perilaku berhutang konsumtif terjadi ketika hutang digunakan untuk membeli barang konsumsi yang nilai ekonominya cenderung menurun seiring berjalannya waktu.

Perlu dicatat bahwa riset terbaru oleh Sari (2020) menunjukkan bahwa faktor budaya adalah yang menentukan seberapa banyak seseorang suka berhutang, terutama dalam bentuk pinjaman online. Ini menunjukkan bahwa pinjaman online bukan lagi sekadar pilihan, tetapi telah menjadi bagian dari budaya yang menular dari satu individu ke individu lainnya.

Ini juga berlaku untuk kasus guru yang terjerat hutang. Fenomena ini sangat mengkhawatirkan, terutama mengingat profesi guru yang begitu mulia dan penuh pengorbanan. Gaji yang rendah mungkin menjadi penyebab utamanya. Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa gaji guru honorer (Non-PNS) berkisar antara 50.000 hingga 350.000 rupiah per bulan, tergantung pada sekolah masing-masing. Meskipun ada harapan dari status Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), tetap saja gaji ini masih belum mencukupi.

Keadaan ini berdampak tidak hanya pada keuangan personal, tetapi juga pada kualitas pengajaran. Ketika seorang guru merasa terjebak dalam lingkaran hutang dan tuntutan pinjol, hal ini pasti berpengaruh pada kondisi psikologisnya dan pada akhirnya dapat memengaruhi kualitas mengajarnya.

Survey Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan oleh OJK pada tahun 2022 menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan antara tingkat inklusi (lebih dari 80%) dan tingkat literasi keuangan (kurang dari 50%). Meskipun banyak yang sudah memiliki akses ke produk keuangan, tetapi pemahaman tentang keuangan yang sehat masih jauh dari optimal.

Fenomena Gaya Hidup juga memainkan peran. Tidak semua orang berhutang karena kebutuhan, banyak juga yang melakukannya sebagai bagian dari gaya hidup yang berorientasi pada konsumsi dan keinginan. Pertumbuhan e-commerce dan model pembayaran “beli sekarang bayar nanti” juga menjadi faktor penarik dalam meningkatnya kebiasaan berhutang.

Hal ini juga diperparah oleh eksistensi media sosial dan fenomena “pamer kekayaan”. Semua ini dapat berdampak signifikan terhadap individu dengan tingkat literasi keuangan yang rendah, mendorong mereka terjebak dalam perangkap pinjaman online, baik yang sah maupun ilegal.

Dalam rangka mengatasi dampak negatif ini, peran pemerintah, lembaga keuangan, organisasi masyarakat, tokoh agama, dan lembaga pendidikan sangatlah penting. Upaya edukasi keuangan harus diarahkan terutama kepada masyarakat dengan tingkat literasi keuangan yang masih rendah. Memberikan pemahaman tentang manfaat, risiko, dan strategi pengelolaan keuangan yang sehat akan membantu individu membuat keputusan yang lebih bijak dalam hal berhutang.

Adapun dari perspektif agama, penting untuk diingat bahwa berhutang yang tidak terkendali juga dapat berujung pada tindakan riba yang dilarang dalam agama. Selain itu, hidup dalam tekanan hutang juga dapat mengurangi kualitas hidup dan kebebasan individu. Oleh karena itu, perlu diingat kata bijak dari tokoh masyarakat yang menyarankan untuk hidup sederhana dan tidak memaksakan diri demi gengsi.

Di Hari Kemerdekaan ini, mari bersama-sama berkomitmen untuk merdeka dari jeratan gaya hidup konsumtif dan perilaku berhutang yang tidak terkendali. Kebebasan yang sesungguhnya adalah ketika kita mampu mengelola keuangan dengan cerdas dan bijak.

Merdeka !

Psikolog, Assoc Profesor di Universitas Paramadina, ww.muhammadiqbalphd.com

sumber: HIDAYATULLAH

Musthalah Hadits, Produk Islam Paling Valid Menerima Berita

Melalui musthalah hadits, terbuktilah bahwa kaum Muslimin memiliki metodologi yang sangat valid dalam menerima sebuah berita atau informasi.

Hidayatullah.com | Salah satu harta ilmu peninggalan Islam yang dinamis dan terus berkembang adalah ilmu musthalah hadits. Saat ini, kajian tentang ilmu ini menjadi semakin intensif dan luas.

Meskipun istilah musthalah hadits muncul pada abad ke-4 Hijriyah, konsep dasarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah ﷺ. Dalam Surat al-Hujurat ayat 6, Allah memerintahkan umat Islam untuk menguji dan menyelidiki berita dari orang-orang munafik.

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan cermat agar kalian tidak menimpakan suatu bencana kepada sekelompok orang karena kebodohanmu, lalu kalian menyesali perbuatanmu itu.” (QS: Al-Hujurat: 6).

Rasulullah ﷺ juga menjelaskan bahwa Allah akan mencerahkan wajah seseorang yang mendengar Hadis dan menyampaikan berita tersebut sebagaimana yang didengar, dan mungkin saja orang yang menerima berita tersebut memiliki pemahaman yang lebih baik daripada yang mendengar langsung. (HR: Ibnu Majah).

Dalam upaya untuk mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya, para sahabat telah mengembangkan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan menyampaikan dan menerima berita, terutama ketika mereka meragukan kejujuran pengirim berita.

Di pendahuluan kitab Shahih Muslim, diberitahukan oleh Ibnu Sirin bahwa awalnya para sahabat tidak menanyakan tentang isnad (rantai periwayatan), tetapi setelah terjadi fitnah, seperti pembunuhan Khalifah Utsman, mereka mulai menanyakan siapa yang meriwayatkan hadits.

Namun, perkembangan ilmu musthalah hadits mulai pesat pada awal abad ke-3 Hijriyah. Meskipun demikian, perkembangannya masih berkaitan dengan upaya mengenali periwayatan hadits yang dapat diterima dan yang harus ditolak.

Muhammad Ibnu Shihab Al Juhri (wafat tahun 124 H), salah satu tabi’in junior yang mendengarkan banyak hadits dari sahabat dan tabi’in senior, adalah salah satu ulama pertama yang mengumpulkan ilmu riwayat ini. Pada masa itu, Khalifah Umar ibn Abdul Aziz memerintahkan Abu Bakr ibn Muhammad ibn Abi Bakr ibn Hazm (wafat tahun 117 H), gubernur Madinah, untuk menghimpun Hadits Rasulullah ﷺ agar bisa dipelajari oleh umat Islam.

Gubernur tersebut menugaskan Al-Zuhri untuk menghimpun dan mencatat Hadits Rasulullah ﷺ. Setelah itu, banyak ulama lain yang melanjutkan usaha serupa, seperti Ibnu Juraij (wafat tahun 150 H), Ibnu Ishaq (wafat tahun 151 H), Imam Malik (wafat tahun 179 H), Sufyan at Tsury (wafat tahun 116 H), Imam al Auza’I (wafat tahun 156 H), dan lainnya.

Pada masa ini, para ulama mulai menulis riwayat yang mereka hafal, baik dari Rasulullah ﷺ maupun para sahabat. Namun, belum ada metodologi yang konsisten untuk memisahkan antara ucapan Rasulullah ﷺ dan para sahabat.

Pada generasi selanjutnya, dimulailah proses pemisahan antara Hadits Rasulullah ﷺ dan fatwa-fatwa sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Ulama- ulama perintis dalam fase ini termasuk Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, dan lainnya.

Sebelumnya, Imam Syafi’i telah memberikan dasar atau kriteria mengenai kelayakan periwayatan seorang perawi. Hal ini terdapat dalam karyanya “al-Umm” dan “al-Risalah”.

Ulama- ulama setelahnya kemudian mengadopsi metode dalam menerima dan menolak perawi. Setelah memiliki metodologi yang kokoh dalam menentukan kelayakan periwayatan hadits, berbagai kitab hadits bermunculan dalam bentuk musnad (berdasarkan perawi) dan berdasarkan urutan dalam ilmu fiqih.

Kitab hadits musnad tidak mengikuti urutan tertentu dan berisi masalah-masalah yang disajikan secara berurutan. Fokus utama pada perawi, seperti Asiyah, Abdullah bin Umar, Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas, dan lainnya.

Salah satu contoh yang terkenal adalah musnad Imam Syafi’i, musnad Imam Ahmad, dan lain-lain.

Selanjutnya, setelah berbagai kitab hadits ditulis oleh ulama, baik dalam bentuk musnad atau lainnya, generasi berikutnya berlomba-lomba menghafal Hadits dengan sanad (rantai perawinya) dan mengkaji kesahihannya.

Kitab-kitab terkenal dalam fase ini termasuk mu’jam Imam at Thabrani, Sunan Abi Daud, Sahih Abi Awanah, dan Sahih Ibnu Khuzaimah. Ini terjadi pada abad ke-4 Hijriyah.

Kemudian, pada abad ke-5 Hijriyah, para ulama banyak menulis kitab-kitab hadits tematik dan merangkum kitab-kitab hadits yang sebelumnya telah disusun oleh ulama, seperti Sunan al Kubra al Baihaqi, Muntaqal Akhbar al Harani, dan Nailul Authar as Syaukani.

Ilmu musthalah hadits ini juga mencakup hadits dirayah, yang membahas cara transmisi lisan berita. Meskipun pembahasan ini telah dimulai sejak abad kedua Hijriyah, tetapi baru dalam beberapa abad berikutnya disusun menjadi kitab khusus dan menjadi disiplin ilmu sendiri.

Dengan lahirnya ilmu musthalah hadits ini, terbukti bahwa umat Muslim memiliki metodologi yang sangat valid dalam menerima berita atau informasi. Metodologi ini merupakan kekayaan unik dari Islam. */Bahrul Ulum, dari majalah Suara Hidayatullah”

HIDAYATULLAH

Tafsir QS. Al-Qashash [28] Ayat 77: Memahami 4 Aspek Kehidupan Hedonisme dalam Al-Qur’an yang Penting Bagi Generasi Milenial

Makna Ayat:

Di balik surat Al-Qashash ayat 77, tersimpan makna yang dalam dan relevan. Dalam ayat ini, Allah memberikan nasihat kepada umat Muslim yang diberkahi dengan harta oleh-Nya agar mereka patuh dan tunduk kepada perintah-Nya. Hal ini bertujuan untuk mengumpulkan pahala besar baik di dunia maupun akhirat. Namun, Allah juga tidak melarang umat-Nya untuk menikmati harta mereka dengan cara yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Meskipun memiliki kewajiban terhadap Allah, manusia juga memiliki tanggung jawab terhadap diri sendiri, keluarga, dan orang-orang terdekat.

Surat ini juga menyoroti pentingnya berbuat baik, sebagaimana Allah selalu berbuat baik kepada umat-Nya. Oleh karena itu, diingatkan untuk tidak melakukan tindakan buruk di bumi, karena Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.

Ayat ini berbunyi:

“Carilah kebahagiaan di akhirat dengan harta yang telah Allah berikan kepadamu, dan jangan lupakan bagianmu dari dunia. Berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Janganlah merusak bumi, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang merusak.” (QS. Al-Qashash [28]: 77)

Sejarah asal-usul ayat ini berkisar pada masa ketika kaum Muslimin hidup dalam keadaan lemah karena penindasan yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam di Mekkah. Ayat ini merupakan surat Makkiyah yang memberikan semangat kepada umat Muslim yang menghadapi kesulitan. Selain itu, ayat ini mengandung pelajaran dari kisah Nabi Musa dan Qarun dalam menghadapi godaan harta.

Dalam konteks zaman yang serba cepat dan hedonisme, terdapat pengaruh besar terhadap generasi milenial. Hedonisme, yaitu pencarian kepuasan instan sebagai tujuan utama hidup, seringkali menarik bagi kaum muda. Meskipun hedonisme menekankan kebahagiaan sementara, Islam mengajarkan keseimbangan dan moderasi dalam hidup. Sebagai generasi milenial, penting untuk memahami perspektif hedonisme yang tercantum dalam Al-Qur’an.

Berikut adalah empat aspek penting yang perlu dipahami oleh generasi milenial tentang hedonisme dalam konteks Al-Qashash ayat 77:

  1. Keseimbangan dan Moderasi: Hedonisme yang berlebihan bisa membawa dampak negatif. Islam mengajarkan keseimbangan antara dunia dan akhirat, dan penting untuk menikmati kebahagiaan dunia dalam batasan-batasan yang diperbolehkan oleh agama.
  2. Kebahagiaan Spiritual: Al-Qur’an mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati berasal dari hubungan yang kuat dengan Allah. Hedonisme hanya memberikan kepuasan sementara, sedangkan Islam mengajarkan bahwa kebahagiaan abadi berasal dari hubungan spiritual yang dalam dengan Sang Pencipta.
  3. Harta dan Kepuasan: Pengejaran harta dan kesenangan dunia tidak selalu membawa kebahagiaan. Islam mengingatkan bahwa harta hanya bersifat sementara dan tidak akan membawa kepuasan yang abadi. Kebahagiaan sejati datang dari kepuasan batin dan spiritual.
  4. Konsekuensi dan Pilihan Bijak: Setiap tindakan memiliki konsekuensi, baik di dunia maupun di akhirat. Islam mengajarkan bahwa tindakan hedonis yang berlebihan dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Generasi milenial perlu membuat pilihan bijak yang sejalan dengan nilai-nilai agama.

Dalam dunia yang didominasi oleh pencarian kesenangan instan, penting bagi generasi milenial untuk memahami bahwa kebahagiaan sejati lebih dari sekadar kesenangan sesaat. Islam mengajarkan nilai-nilai moral, keseimbangan, dan kepuasan spiritual yang mampu membimbing kaum muda menuju kehidupan yang bermakna dan penuh tujuan. Dengan memahami ajaran-ajaran ini, generasi milenial dapat mengatasi godaan hedonisme dan menemukan kebahagiaan yang lebih mendalam dan abadi. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita semua.

ISLAMKAFFAH

MUI Bentuk Tim Pembinaan di Ponpes Al Zaytun untuk Menguatkan Pemahaman Keagamaan sesuai dengan Prinsip Islam Wasathiyah

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menginisiasi langkah signifikan dengan membentuk tim pembinaan keagamaan di Pondok Pesantren Al Zaytun, yang terletak di Indramayu, Jawa Barat. Tim ini dipimpin oleh dua Wakil Sekretaris Jenderal MUI yang berpengalaman. KH Abdul Manan Ghani ditunjuk sebagai ketua tim sementara, sementara KH Arif Fahrudin mengemban peran sebagai sekretaris tim.

KH Arif Fahrudin, yang menjabat sebagai Sekretaris Tim Pembinaan di Ponpes Al Zaytun, menjelaskan bahwa salah satu fokus utama dari tim ini adalah memperkuat dan membina pemahaman keagamaan yang selaras dengan konsep Islam wasathiyah.

“Dalam artian, kami mengedepankan keselarasan antara pemahaman keislaman dan semangat kebangsaan. Pembinaan ini merupakan kelanjutan penting setelah upaya penegakan hukum,” ujar Kiai Arif Fahrudin yang dikutip dari MUIDigital pada Selasa (22/8/2023).

Kiai Arif menekankan bahwa proses hukum terhadap Al Zaytun adalah kewenangan negara, yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.

“Peran MUI khususnya adalah untuk memperkuat pemahaman Islam moderat yang menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta,” tambahnya.

Sebagai Wasekjen MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, Kiai Arif menjelaskan bahwa tim ini akan bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk instansi yang telah melakukan pembinaan di Ponpes Al Zaytun seperti Kementerian Agama.

Pembinaan ini, kata Kiai Arif, akan merambah dimensi keagamaan bagi para santri, wali santri, pengajar, serta semua pihak terkait di Pondok Pesantren Al Zaytun.

Kiai Arif menegaskan bahwa pembentukan tim ini adalah bukti nyata bahwa MUI selalu bersinergi dengan pemerintah dan berperan sebagai pelayan umat. Ia menilai Pondok Pesantren Al Zaytun sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki tanggung jawab untuk senantiasa berada pada jalur yang benar dan positif, memberikan manfaat serta pencerahan bagi bangsa dan masyarakat.

“Proses pembinaan di Al Zaytun ini akan terus dilakukan melalui sinergi dan koordinasi dengan berbagai pihak, untuk menjaga agar pondok pesantren dan seluruh komunitasnya tetap menjalankan misi Islami yang membawa manfaat dan kemajuan bagi Indonesia,” tandasnya.

sumber: ISLAMKAFFAH

Nikah Siri dalam Islam: Pandangan Pakar Perbandingan Mazhab Fikih

Nikah siri, sebuah bentuk pernikahan yang sah menurut ajaran Islam, namun tidak memiliki catatan resmi di bawah hukum negara. Walaupun di mata agama pernikahan semacam ini diakui, bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap praktik nikah siri?

Pakar perbandingan mazhab fikih, Huzaemah T. Yanggo, dalam karyanya yang berjudul “Problematika Fikih Kontemporer,” mengungkapkan bahwa di Indonesia, yang menjalankan kompilasi Hukum Islam, ada suatu tuntutan yang jelas untuk mencatat pernikahan guna menjaga ketertiban dan mencegah terjadinya sengketa tanpa solusi.

Dengan dasar ini, Majelis Ulama Indonesia mendorong agar pernikahan dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Prinsip serupa berlaku di negara-negara mayoritas Muslim seperti Mesir, Pakistan, Tunisia, dan lainnya. Pencatatan ini memiliki tujuan utama dalam melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak, mencegah potensi pelecehan, serta memastikan hak-hak mereka tetap terjamin.

Menurut Huzaemah, pencatatan pernikahan juga berperan dalam memperkuat kesaksian dan memberikan publikasi resmi terhadap ikatan pernikahan, yang dianjurkan oleh ajaran Islam. Ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad Saw yang berbunyi:

اعلنوا هذا النكاح واجعلوه في المساجد واضربوا عليه الدفوف

“Umumkanlah perkawinan ini, lakukanlah akad nikah di masjid, dan pukullah rebana.” (HR. al-Tirmizi)

Pentingnya pengumuman pernikahan adalah untuk menjadikan banyak orang sebagai saksi sah ikatan pernikahan, sehingga isu negatif bisa dicegah. Rasulullah Saw menginstruksikan umatnya untuk merayakan dan mengundang banyak orang dalam pernikahan. Hal ini juga tercermin dalam hadis berikut:

اولم ولو بشاۃ

“Adakanlah pesta pernikahan, bahkan dengan menyembelih seekor kambing.” (HR. al-Bukhari & Muslim)

Pada masa Rasulullah, tindakan ini sudah cukup untuk mengakui ikatan pernikahan dalam konteks waris, nasab, dan sejenisnya. Namun, dalam realitas zaman sekarang, praktik nikah siri justru bisa membuka pintu untuk masalah, terutama bagi istri dan anak-anak. Oleh karena itu, pencatatan resmi pernikahan di Kantor Urusan Agama menjadi sangat penting, terutama untuk mencatat hak nafkah, hak waris, nasab, dan lainnya.

Dalam era saat ini, persaksian pernikahan harus melibatkan penghulu dari Kantor Urusan Agama (KUA) untuk mencatatnya. Meskipun praktik nikah di bawah tangan mungkin terlihat serupa dengan pernikahan yang dicatat, sebenarnya hal tersebut tidak sejalan dengan standar yang ditetapkan oleh ajaran agama dan hukum negara.

Mengingat risiko masalah yang mungkin muncul dari praktik pernikahan di bawah tangan, penting bagi pernikahan ini untuk dicatat oleh pejabat berwenang yang ditunjuk oleh Pemerintah, yaitu Kantor Urusan Agama. Dengan demikian, pernikahan tidak hanya diakui oleh agama, tetapi juga oleh hukum negara, memberikan perlindungan lebih untuk pasangan suami-istri dan anak-anak, serta mencegah masalah di masa depan.

BINCANG MUSLIMAH

Hukum Menolak Tamu dalam Islam

Bagaimana hukum menolak tamu dalam Islam? Manusia selain makhluk yang berpikir logis serta rasional juga merupakan makhluk yang beretika dan bermoral, hal inilah yang membedakannya dengan makhluk yang lain.

Etika Bertamu dalam Islam

Etika menurut sementara para pakar adalah studi tentang tingkah laku manusia, tidak hanya dinilai dari aspek benar atau salahnya, melainkan juga dinilai dari aspek manfaat atau kebaikan dari keseluruhan tingkah laku manusia.

tanpa etika dan moral, mungkin kita dapat berkata bahwa manusia akan lebih kejam dari pada binatang, karena pengetahuan memang harus diimbangi dengan etika atau pun moral.

Atas alasan inilah seorang filsuf kenamaan berkebangsaan Prusia, Immanuel Kant (1724-1802) mengatakan: Setinggi-tinggi bintang di langit masih tinggi moralitas di dada manusia. Perkataan ini merupakan kata mutiara beliau yang ditulis di batu nisan pemakamannya.

Ajaran Islam juga selaras mengenai urgensinya moral ini, bahkan moral merupakan refleksi dari ajaran Islam itu sendiri. Bisa kita lihat hal ini pada beberapa hadis, salah satunya sebagai berikut:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ . رواه البيهقى

Artinya: Dari Abu Hurairah r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak. (HR. Al-Baihaqi)

Hadis di atas ini bisa dibuktikan kebenarannya, karena pada ajaran Islam ada beraneka etika, mulai etika terhadap allah Swt, etika terhadap sesama manusia, sampai etika terhadap lingkungan. Ajaran islam sifatnya menyeluruh (Syumuliy) terhadap segala realitas.

Demi menjungjung tinggi etika ini, masyarakat pedesaan mempunyai tradisi silaturrahmi, meski hanya berkeluh kesah tentang peristiwa yang dialaminya. Mereka tak lupa untuk selalu senantiasa mempererat persaudaraan, kondisi bahagia dan sedih mereka merasakannya bersama.

Namun perlu diperhatikan, meski etika sangat dijunjung tinggi dalam ajaran islam tetap saja mempunyai batas-batas yang tidak boleh dilewati secara serampangan, sebab masing-masing kita mempunyai etika.

Faktanya, sering kali seorang tamu datang tanpa memperhatikan kondisi tuan rumah, meski sedang sibuk tetap saja tak diperhatikan dan melanjutkan untuk bertamu. Bahkan seorang tamu kadang menginap selama satu minggu, seolah tak ada rasa sungkan.

Tentu hal ini tidaklah baik mengingat tuan rumah belum tentu mempunyai kecukupan makanan untuk dijadikan sebagai hidangan, tuan rumah juga ingin menikmati waktunya bersama keluarga.

Oleh karena itu, Islam melarang seseorang untuk bertamu lebih dari tiga hari, karena konteks tersebut bisa menyebabkan ketidaknyamanan pada tuan rumah. Kecuali sudah mendapat izin dari tuan rumah atau ada indikasi yang enak, maka silahkan saja menginap selama satu minggu. Larangan ini bisa dijumpai dalam hadis nabi riwayat Abu Hurairah sebagai berikut:

حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ، أَخْبَرَنَا خَالِدٌ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ إِسْحَاقَ الْمَدِينِيِّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، جَائِزَتُهُ ثَلَاثٌ، فَمَا بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ، وَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَثْوِيَ عِنْدَهُ حَتَّى يُخْرِجَهُ.

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Wahb bin baqiyyah, memberi informasi pada kami Khalid, dari ‘Abdur Rahman bin Ishaq al-Madini, dari Sa’id bin Abi Sa’id, dari Abu Hurairah berkata: Berkata Rasulullah Saw: “Barang siapa beriman kepada allah dan hari akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya, menjamunya selama tiga hari. Menjamu setelah tiga hari dihukumi sebagai sedekah, tidak halal bagi tamu tinggal (bermalam) hingga (tuan rumah) mengeluarkannya.”

Ada lagi tidak jauh beda dengan hadis ini, yaitu hadis sebagai berikut:

عن أبى موسى الاشعريّ رضي الله عمه قال: قال رسول الله صلّى الله عليه و سلم: الاستئذانُ ثلاثٌ، فان أذن لك و الاّ فارجع

Artinya: Dari Abu Musa Al-Asy’ary radhiallahu’anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Minta izin masuk rumah itu tiga kali, jika diizinkan untuk kamu (masuklah) dan jika tidak maka pulanglah!” (Hadits shahih. HR. Bukhari, no. 5891 dan Muslim, no. 2153).

Secara umum, kedua kedua hadis ini menegaskan dua hal: pertama, kewajiban untuk memuliakan tamu bagi tuan rumah. Kedua, kebolehan untuk mengusir seorang tamu tatkala melebihi waktu tiga hari ataupun menolaknya karena ada kesibukan dan faktor lain-lain.

Selanjutnya ada kisah menarik yang menceritakan tentang tamu rasulullah yang membuat beliau jengkel lantaran terlalu lama bertamu. Kisah berikut direkam dalam al-Qur’an Surah Al-Ahzab, ayat 53. Berikut ini jelasnya:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَدْخُلُوْا بُيُوْتَ النَّبِيِّ اِلَّآ اَنْ يُّؤْذَنَ لَكُمْ اِلٰى طَعَامٍ غَيْرَ نٰظِرِيْنَ اِنٰىهُ وَلٰكِنْ اِذَا دُعِيْتُمْ فَادْخُلُوْا فَاِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوْا وَلَا مُسْتَأْنِسِيْنَ لِحَدِيْثٍۗ اِنَّ ذٰلِكُمْ كَانَ يُؤْذِى النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيٖ مِنْكُمْ ۖوَاللّٰهُ لَا يَسْتَحْيٖ مِنَ الْحَقِّۗ وَاِذَا سَاَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْـَٔلُوْهُنَّ مِنْ وَّرَاۤءِ حِجَابٍۗ ذٰلِكُمْ اَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّۗ وَمَا كَانَ لَكُمْ اَنْ تُؤْذُوْا رَسُوْلَ اللّٰهِ وَلَآ اَنْ تَنْكِحُوْٓا اَزْوَاجَهٗ مِنْۢ بَعْدِهٖٓ اَبَدًاۗ اِنَّ ذٰلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللّٰهِ عَظِيْمًا

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali jika kamu diizinkan untuk makan tanpa menunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu dipanggil maka masuklah dan apabila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa memperpanjang percakapan. 

Sesungguhnya yang demikian itu adalah mengganggu Nabi sehingga dia (Nabi) malu kepadamu (untuk menyuruhmu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. 

(Cara) yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak boleh (pula) menikahi istri-istrinya selama-lamanya setelah (Nabi wafat). Sungguh, yang demikian itu sangat besar (dosanya) di sisi Allah.

Sebab diturunkannya ayat ini sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah dalam Tafsir Ibnu Katsir dari Anas bin Malik adalah berkenaan dengan peristiwa pernikahan Rasulullah dengan Zainab binti jahsy, beliau mengundang sahabatnya makan-makan. Setelah selesai makan, mereka pun duduk berbincang-bincang, sehingga rasulullah siap akan berdiri, akan tetapi mereka tidak juga berdiri.

Rasulullah berdiri diikuti oleh sebagian yang lain, sementara tiga orang di antara mereka masih duduk bercakap-cakap. Lalu nabi berkehendak untuk masuk (kamar) sedangkan orang-orang itu masih tetap duduk, lalu mereka pun berdiri dan pergi.

Maka aku (Anas) mengabarkan kepada Nabi bahwa mereka telah pergi, lantas datanglah Nabi sampai beliau masuk kembali. Aku (Anas) pun masuk, dan Rasulullah memasang hijab antara aku (Anas) dan beliau.

Hukum Menolak Tamu dalam Islam

Sejauh keterangan tadi, hukumnya adalah diperbolehkan bagi tuan rumah untuk mengusir sang tamu ataupun menolaknya untuk berkunjung. Namun perlu dijadikan sebagai catatan, bahwa kebolehan ini jangan dijadikan alasan bagi tuan rumah untuk mengusir sang tamu secara kasar, tetap harus mengindahkan etika, sebagaimana ditunjukkan oleh Rasulullah yang begitu pemalu untuk mengusirnya secara langsung dan tegas.

Konkritnya, untuk mengindahkan etika ini ada beragam cara, bisa dengan memberikan alasan bahwa dirinya sedang tidak enak badan, lagi mau bepergian, bisa juga dengan menyindirnya dengan sedikit humor, dan lain sebagainya.

Sekian penjelasan hukum menolak tamu dalam Islam. Semoga bermanfaat. Wallahua’lam.

BINCANG SYARIAH

Hukum Menjawab Salam Saat Buang Air Kecil, Wajibkah?

Bagaimana hukum menjawab salam saat buang air kecil, wajibkah? Di dalam salam terkandung doa untuk sang penerima salam. Dan dari salam, pengucapnya mendapat limpahan pahala. Itu mengapa agama menganjurkan penganutnya untuk memasyarakatkan salam.

Namun demikian, terkadang orang lain mengucapkan salam kepada kita ketika kita sedang buang air kecil. Alih-alih menjawab salam yang pada dasarnya wajib, kita justru dilema karena sedang berada di tempat yang dirasa tidak layak untuk menjawab salam.

Lantas, bagaimana hukum menjawab salam saat sedang buang air kecil? Apakah kita masih diwajibkan menjawab salam yang diucapkan kepada kita saat sedang berada dalam keadaan demikian?

Menerima ucapan salam saat sedang buang air kecil sesungguhnya juga pernah dialami kanjeng nabi. Lebih dari satu hadis dengan berbagai redaksi dan perawi merekam pengalaman sang rasul tersebut. Misalnya hadis riwayat al-Tirmidzi berikut;

عَنْ ابْنِ عُمَرَ، «‌أَنَّ ‌رَجُلًا ‌سَلَّمَ ‌عَلَى ‌النَّبِيِّ ‌صَلَّى ‌اللَّهُ ‌عَلَيْهِ ‌وَسَلَّمَ ‌وَهُوَ ‌يَبُولُ ‌فَلَمْ ‌يَرُدَّ ‌عَلَيْهِ»، هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Dari Ibnu Umar; “Bahwasanya ada seorang pemuda mengucapkan salam kepada Nabi Muhammad Saw. yang sedang buang air kecil, (namun) beliau tidak menjawab salam pemuda tersebut.” Hadis hasan-shohih.

Begitu jelas nan tegas diterangkan dalam hadis barusan bahwa kanjeng nabi tidak merespon salam yang ditujukan kepadanya. Itu menandakan bahwa menjawab salam saat buang air kecil tidak diwajibkan. Bahkan dikatakan dalam kitab-kitab fiqh, makruh hukumnya menjawab salam ketika buang air kecil.

Sebagai sampel, dalam kitab Fiqhul Ibadah ‘ala al-Mazhab al-Syafi’i juz I halaman 69, tepatnya pada pembahasan hal-hal yang dimakruhkan saat buang air, dijelaskan;

ولو سُلِّم عليه كره له رد السلام، لحديث ابن عمر رضي الله عنهما: “‌أَنَّ ‌رَجُلًا ‌سَلَّمَ ‌عَلَى ‌النَّبِيِّ ‌صَلَّى ‌اللَّهُ ‌عَلَيْهِ ‌وَسَلَّمَ ‌وَهُوَ ‌يَبُولُ ‌فَلَمْ ‌يَرُدَّ ‌عَلَيْهِ”

Apabila seseorang yang sedang buang air kecil menerima ucapan salam, maka ia dimakruhkan menjawab salam yang diucapkankan kepadanya. Ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. (di atas).

Sampai disini bisa dibilang, menjawab salam saat buang air kecil bukan hanya tidak di wajibkan melainkan juga dimakruhkan. Yang itu artinya, tidak menjawab salam pada kondisi demikian, justru bisa mendapatkan pahala. Jadi, kita tidak perlu merasa dilema lagi bila menerima ucapan salam saat buang air kecil.

Akan tetapi, kita dianjurkan menjawab salam tersebut begitu usai buang air kecil sebagaimana yang sudah dicontohkan kanjeng nabi. Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Abu Juhaim al-Anshari diceritakan;

أَنَّ رَجُلاً مَرَّ بِالنَّبِىِّ – صَلّى الله عليه وسلم – وَهُوَ يَبُوْلُ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ حَتّى تَيَمَّمَ ثُمَّ رَدَّ عَلَيْهِ

“Sesungguhnya seorang pemuda bertemu dengan Nabi Muhammad Saw. yang sedang buang air lalu ia mengucapkan salam pada nabi namun nabi tidak meresponnya dan baru menjawab salam tersebut begitu sudah bertayammum.” (HR. Baihaqi).

Demikianlah penjelasan terkait hukum menjawab salam saat buang air kecil. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-shawab.

BINCANG SYARIAH

Berhubungan Badan, Tapi Tidak Keluar Mani, Apakah Wajib Mandi?

Dalam melakukan berhubungan suami-istri, terkadang ditemukan pasangan yang tidak mengeluarkan mani pada saat berhubungan. Lalu, bagaimana hukum mandi wajib bagi pasangan yang tidak mengeluarkan mani saat berhubungan?

Berikut ini adalah penjelasan mengenai hukum mandi ketika pasutri berhubungan badan namun tidak keluar mani.

Berhubungan badan antara suami dan istri adalah suatu hal yang menjadi kelaziman setelah adanya pernikahan. Nah, apakah keduanya harus tetap melakukan mandi wajib setelah bersetubuh badan padahal tidak terjadi orgasme atau keluar mani. Hal ini banyak ditanyakan oleh para pasangan suami dan istri karena yang umum mereka ketahui itu adalah yang menyebabkan mandi besar adalah keluar mani atau orgasme. Maka dari itu, mari simak penjelasan berikut ini.

Berhubungan Badan Tapi Tidak Keluar Mani, Apakah Wajib Mandi ?

Di dalam literatur kitab fikih banyak sekali keterangan yang menyinggung terkait apakah wajib untuk mandi ketika berhubungan badan tanpa keluar mani. Salah satunya adalah keterangan di dalam kitab I’anatut Thalibin karya Syekh Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi;

واعلم أن خروج المني موجب للغسل، سواء كان بدخول حشفة أم لا، ودخول الحشفة موجب له، ‌سواء ‌حصل ‌مني ‌أم ‌لا.

Artinya; “Ketahuilah bahwa keluar mani itu mewajibkan mandi besar, baik karena sebab masuknya kemaluan atau tidak. Dan Adapun masuknya kemaluan juga mewajibkan mandi, baik keluar mani atau tidak.”

Keterangan di atas didasarkan kepada sebuah hadist dari Sayyidah Aisyah Ra.

إِذَا مَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ.

Artinya; “Jika dua kemaluan saling bersentuhan maka sungguh menjadi wajib apa mandi.” (HR. Malik).

Keterangan serupa juga dapat dijumpai di dalam kitab Kasyifatus Syaja Syarh Safinatun Najah karya ulama Nusantara yaitu Syaikh Nawawi Al-Bantani.

واعلم أن خروج المني موجب للغسل سواء كان بدخول حشفة أم لا ودخول الحشفة موجب له سواء حصل مني أم لا فبينهما عموم وخصوص من وجه ولا يجب الغسل بالاحتلام إلا أن أنزل.

Artinya; “Ketahuilah bahwa keluar mani itu mewajibkan mandi besar, baik karena sebab masuknya kemaluan atau tidak. Dan Adapun masuknya kemaluan juga mewajibkan mandi, baik keluar mani atau tidak. Dengan kata lain, di antara keduanya ada umum khusus dari satu sisi. Dan tidak wajib mandi karena sebab mimpi (jimak) kecuali sampai keluar mani.”

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pasutri yang melakukan hubungan badan tetap wajib mandi meskipun tidak keluar mani saat berhubungan badan, karena jima memang menjadi alasan tersendiri untuk mewajibkan mandi. (Baca: Tata Cara Mandi Besar)

Demikian penjelasan mengenai berhubungan badan tapi tidak keluar mani, apakah wajib mandi ?. Semoga bermanfaat, Wallahu a`lam.

BINCANG SYARIAH

Di Istiqlal Habib Umar bin Hafidz Bimbing Pria Non Muslim Masuk Islam

Di Istiqlal Habib Umar bin Hafidz bimbing pria Non Muslim masuk Islam. Peristiwa itu terjadi sebelum sholat subuh, Selasa (22/08) tadi. Ketika hendak melangsungkan jamaah di Masjid Istiqlal, ada seseorang non muslim mengenakan batik hitam mantab masuk Islam. Ketika muallaf, ia dibimbing langsung oleh Habib Umar bin Hafidz ulama besar dari Yaman. 

Masyallah, pria tersebut kemudian diberi nama oleh Habib Umar, Abu Bakar As Siddiq. Menurut Abu Bakar dirinya sangat beruntung bisa masuk Islam langsung dibimbing Habib, karena ia juga merupakan salah satu pengagum keilmuan dan akhlak Habib Umar yang sangat luar biasa. 

Kronologi Awal Abu Bakar Memilih Mualaf

Awal mulanya pria  tersebut sudah berniat sedari lama menghadiri acara majelis taklim yang dipimpin oleh Habib Umar di Jakarta. Ketika sudah di lokasi mengikuti acara, seketika dirinya merasa tersentuh dengan ceramah Habib Umar tentang kuasa Allah SWT beserta kedamaian dan keindahan Islam. Maka usai acara selesai pun, dirinya langsung menemui Habib Umar dan memintanya untuk membimbingnya masuk Islam. 

Maka sudah melihat dari keseriusan pria tersebut, Habib Umar dengan senang hati menerima permintaannya. Habib Umar juga langsung mengajarkan Si Abu Bakar terkait dua kalimat syahadat, kemudian tata cara berwudhu dan sholat, serta dasar-dasar Islam lainnya. Barulah setelahnya  Abu Bakar mengucap dua kalimat syahadat dan resmi menjadi seorang muslim, alhamdulillah.

Abu Bakar Menilai Islam Penuh Kasih Sayang

Dalam keterangannya di sejumlah media, Abu bakar mengaku sangat bahagia telah memeluk Islam. Dirinya bahkan mempercayai bahwa Islam adalah agama yang penuh dengan kedamaian dan kasih sayang. Baik dari ajarannya yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an maupun pesan-pesan yang disampaikan para ulamanya. Ia juga berterima kasih kepada Habib Umar yang telah membimbingnya masuk Islam.

Dari kisah singkat mualaf tersebut, tentunya menjadi bukti bahwa Islam adalah agama yang universal dan terbuka bagi siapa saja. Islam tidak mengenal ras, suku, atau agama. Siapa pun yang ingin memeluk Islam, akan diterima dengan tangan terbuka. Semoga informasi ini dapat menginspirasi kita semua untuk lebih mencintai agama kita, mengenal, mempelajari, dan mendalami Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin.

Semoga kabar tentang di Istiqlal Habib Umar bin Hafidz Bimbing pria non muslim masuk Islam memberikan manfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH