Imam Syafii dan Kakek Misterius

Imam Syafii terkesan dengan penampilan kakek berwibawa yang misterius itu.

Dalam sejarah peradaban Islam, Imam Syafii merupakan salah seorang tokoh yang berpengaruh besar. Pemilik nama lengkap Muhammad bin Idris bin ‘Abbas bin ‘Usman bin Syaafi’ itu mendirikan salah satu mazhab fikih ahlussunnah waljama’ah. Fatwa dan pemikirannya diikuti banyak kaum Muslimin di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Sejak kecil, ia tumbuh dalam lingkungan yang mengutamakan ilmu-ilmu agama. Perjalanannya dalam menuntut ilmu dimulai dari belajar membaca, menulis, dan menghafal Alquran. Alhasil, saat usianya masih tujuh tahun, Imam Syafi’i telah menyelesaikan hafalan 30 juz dengan lancar.

Setelah menjadi hafiz, lelaki kelahiran Gaza, Palestina, tersebut meneruskan rihlah keilmuannya dengan menghafal berbagai macam syair Arab dan kitab Al-Muwattha’ karangan Imam Malik. Ketika menetap di Makkah, ia berguru kepada Sufian bin ‘Uyainah, salah seorang ahli hadis terkemuka dari generasi tabiit tabiin. Imam Syafi’i memuji keduanya, “Kalau bukan karena Imam Malik dan Sufian bin ‘Uyainah, maka akan hilanglah ilmu di Hijaz.”

Salah seorang habib atau keturunan Nabi Muhammad SAW itu dikenal luas sebagai ulama besar. Ia mengajar di sejumlah daerah, utamanya Irak dan Mesir. Dengan reputasi yang sedemikian besar, bagaimanapun, dirinya tidak jatuh pada keangkuhan.

Malahan, pakar fikih tersebut tetap belum merasa puas akan ilmu-ilmu yang telah diperolehnya. Dalam suatu riwayat disebutkan, Imam Syafii masih merasa sebagai orang yang paling bodoh. “Bila aku mendapatkan satu ilmu baru, maka hal itu menunjukkan betapa bodohnya diriku,” katanya. Sebuah ungkapan rendah hati sang imam!

Kisah berikut ini juga menggambarkan kerendah-hatiannya. Pada suatu hari, yakni antara zuhur dan ashar, Imam Syafii bersandar pada sebuah pohon yang rindang. Waktu itu dimanfaatkannya untuk istirahat, menenangkan pikiran sejenak setelah menyelami kitab-kitab di perpustakaan.

Tiba-tiba, seorang kakek berjalan menghampirinya. Kakek tersebut tampak memakai jubah yang cukup tebal, imamah, dan sarung yang menutupi kedua kakinya. Kelihatannya, semua yang dikenakan orang tua ini berbahan dasar bulu domba (shuf). Adapun tangan kanannya memegang sebuah tongkat.

Imam Syafii terkesan dengan penampilan kakek itu. Menurutnya, kewibawaan begitu terpancar dari sosok misterius tersebut. Kakek ini mengucapkan salam. Sang imam bangkit dari duduknya, berdiri sembari merapikan pakaian, dan menjawab salamnya. Lelaki tua itu mengisyaratkan ingin duduk di sebelah Imam Syafii. Yang diminta pun mempersilakannya.

“Sungguh, aku ingin mengajukan pertanyaan untukmu,” kata sang kakek.

“Silakan,” jawab Imam Syafii.

“Apa dasar dari agama Allah?” tanya kakek itu.

“Alquran.”

“Lalu, apa lagi?”

“Sunnah Rasulullah SAW.”

“Kemudian?”

“Ijma (konsensus) para ulama,” terang Imam Syafii.

“Apa dalil-dalil yang bisa Anda ajukan sehingga mengatakan ijma para ulama?” desak kakek tersebut.

“Alquran,” jawab Imam Syafii.

“Kalau begitu, ayat yang mana di Alquran?” cecarnya lagi.

Imam Syafii tidak langsung menjawab. Untuk beberapa lama, dia merenung dan berpikir sejenak. Melihat itu, sang kakek bangkit lalu berkata kepadanya, “Kuberikan kepadamu waktu tiga hari tiga malam. Jika menemukan ayat dari Alquran sebagai dalil untuk itu, maka kamu benar. Jika tidak, maka segeralah bertobat!”

Imam Syafii terkejut. Sebelum ia menanggapi, kakek tersebut sudah beranjak pergi. Sejak saat itu, sang imam berupaya untuk menemukan dalil yang dimaksud. Ia pun selalu memohon petunjuk kepada Allah agar diberikan ilham tentang ayat Alquran yang bisa menjelaskan perihal ijma.

Tiap hari, begitu memasuki waktu antara Zhuhur dan Ashar, Imam Syafii menyambangi pohon tempatnya bertemu dengan sang kakek misterius. Barulah pada hari ketiga, keduanya kembali berjumpa.

Tampak jelas rasa lelah pada fisik Imam Syafii. Kantung matanya menjadi tebal. Kedua telapak tangan dan kakinya kelihatan bengkak. Itu menandakan, sang imam memang sangat bersungguh-sungguh dalam menemukan apa yang dicari.

“Silakan, berikan jawabanmu,” kata sang kakek setelah mengucapkan salam.

“Baiklah,” jawab Imam Syafii, “adapun dalil yang dimaksud ialah surah an-Nisa ayat 115.”

Terjemahan ayat itu, “Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu, dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.”

“Jawabanmu tepat,” timpal kakek tersebut sembari tersenyum kepada Imam Syafii.

Sejurus kemudian, pria tua misterius itu pun pergi. Menurut riwayat dari Tajuddin as-Subki, kakek ini adalah Nabi Khidir.

Kisah tersebut memuat pesan moral tentang keteladanan yang ditunjukkan Imam Syafii. Tidak perlu diragukan lagi, sang imam memiliki taraf keilmuan yang tinggi. Pengetahuannya akan syariat pun luas, di atas rata-rata Muslimin. Tentangnya, Imam Hambali pernah berkata, “Imam Syafii laksana matahari bagi dunia dan kesembuhan bagi tubuh. Setelahnya, tidak ada orang yang menandingi kebesarannya.”

Namun, keluasan ilmu tidak menjadikannya sombong. Sikap rendah hatilah yang membuatnya tidak gengsi untuk tidak menjawab seketika pertanyaan dari sang kakek. Ketika “diberi” waktu tiga hari untuk menemukan jawaban, masa itu dimanfaatkannya dengan sungguh-sungguh. Sampai-sampai, kaki dan tangannya bengkak karena kerja keras mencari dalil yang tepat.

OLEH HASANUL RIZQA

REPUBLIKA ID

Musim Kematian

Kemarin lusa, sambil hujan-hujan saya berkendara dari utara ke selatan. Sepanjang jalan, saya berpapasan dengan tiga ambulan. Semua membunyikan sirine meminta jalan.

Saya membaui aura kegentingan di kota ini. Rumah-rumah sakit hampir penuh. Penguasa kota sudah memikirkan untuk menutup kota untuk mencegah penyebaran penyakit.

Hari ini saya membuka media sosial hanya untuk mendapati ucapan berita duka cita. Banyak orang meninggal. Sebagian saya kenal. Sebagian tidak.

Tidak ada satupun menyebut mereka meninggal karena penyakit yang sekarang menjadi pandemi ini. Semua orang tidak ingin bicara tentang penyakit itu. Bahkan enggan menyebut namanya. Termasuk saya.

Penyakit ini membawa malapetaka tidak saja untuk mereka yang terinfeksi. Juga untuk mereka yang bugar. Jika satu kematian diumumkan karena penyakit ini, orang-orang yang berkontak dengan yang terinfeksi harus diisolasi.

Ada satu rumah harus diasingkan. Bisa juga satu kampung harus diisolasi.

Semikian beratnya, orang menghindar untuk menyebutnya. Jika ada pertanyaan, si A meninggal karena apa? Oh, dia meninggal karena jantung. Karena stroke. Karena darah tinggi. Orang tidak mau menyebut penyakit itu. Karena petaka berenteng yang harus mereka pikul.

Pagi ini, saya membaca berita bahwa penyakit ini tidak saja mematikan orang biasa. Ia juga membunuh tenaga kesehatan dan para dokter. Menurut sebuah data, 945 tenaga kesehatan telah meinggal karena penyakit ini. Hingga saat ini ada kurang lebih 350 dokter dan tenaga kesehatan terinfeksi sekalipun telah divaksinasi.

Akhir-akhir ini kasus infeksi meningkat tajam. Tidak terlalu sulit mencari datanya.

Namun, tidak sedikit pula yang tidak percaya. Satu penelitian tahun lalu di Jakarta akhir tahun lalu memperlihatkan bahwa satu dari lima responden percaya bahwa penyakit ini adalah “konspirasi yang diciptakan para elit global.”

Pandemi ini membutuhkan rasa percaya (trust) khususnya rasa percaya pada otoritas. Tidak saja kepercayaan kepada otoritas politik yang membuat kebijakan publik tetapi pada otoritas keahlian. Harus ada pengakuan bahwa ada orang yang memang terspesialisasi dan ahli tentang penyakit ini.

Epidemi ini tidak hanya pertarungan melawan virus. Dia juga adalah pertarungan melawan virus disinformasi. Pertarungan merebut otoritas dan upaya legitimasi atau delegitimasi terhadapnya.

Selama pandemi ini kita juga menyaksikan keriuhan pertarungan informasi/disinformasi ini di media sosial. Grup-grup WA, FB, Twitter, penuh dengan perang informasi.

Orang-orang awam berteori dan menuduh kiri kanan. Yang tak kalah menakjubkannya, bahkan orang-orang yang seharusnya kompeten ikut bertarung dalam pembentukan persepsi ini. Bahkan seorang mantan menteri kesehatan, yang juga terpidana korupsi, menjadikan isu pandemik ini sebagai caranya “berjuang” untuk kaum lemah. Barangkali itu cara termudah untuk seorang terpidana korupsi untuk mendapatkan kembali kepercayaan publik.

Semakin kontroversial sebuah informasi, semakin menarik ia perhatian, dan semakin populerlah para ‘messenger’ atau pembawa pesannya . Sebagian bahkan memonetisasi popularitasnya itu.

Namun ini ada akibatnya. Kebencian kepada tenaga-tenaga kesehatan semakin memuncak. Seorang dokter di Jawa Timur mengatakan bahwa anak buahnya dilempari kotoran manusia karena mendiagnosa bahwa pasiennya menderita penyakit ini.

Pertarungan persepsi ini melahirkan anarki. Tidak ada kepemimpinan. Tidak ada kebenaran. Semua orang mencoba mengeruhkan air dan memancing didalamnya.

Melihat semua itu, saya bertanya, lalu kita harus bagaimana? Untuk saya persoalannya sederhana namun rumit. Saya kira, cara terbaik untuk menghadapi pandemi ini adalah dengan kepercayaan terutama kepada sains.

Orang tentu akan bertanya, sains yang mana? Karena kaum yang tidak percaya juga punya sain dan isaintis. Mereka juga mahir mengutip teori ini dan itu.

Dalam hal ini, saya percaya pada sains arus utama (mainstream). Saya percaya pada kesepakatan para ahli, pada apa yang ditemukan dan disetujui oleh banyak ahli.

Biasanya mereka yang tidak percaya akan penyakit ini akan menganggap ketundukan pada hal-hal yang mainstream itu adalah tanda kepengecutan. Tanda kelemahan. Pokoknya sama sekali tidak heroik.

Anti-mainstream adalah perlawanan. Ketidakpercayaan pada ahli dan kekuasaan adalah kebodohan. Anarki adalah puncak kebebasan.

Sekalipun hal-hal itu menarik untuk saya, dan sepanjang hidup saya berusaha untuk tidak menjadi mainstream, saya juga tunduk pada keadaan sekeliling saya.

Terlalu banyak tangisan dan duka. Terlalu banyak kesakitan dan kegagalan. Tidak ada kepemimpinan — bahkan ironisnya mereka yang seharusnya memimpin juga menyebarkan berita-berita bohong dan memanipulasi informasi.

Pandemi ini bisa diakhiri kepercayaan bahwa penyakit ini ada dan saling bekerjasama untuk mengatasinya. Penyakit ini hanya bisa diakhiri hanya dengan aksi-aksi kolektif (collective actions). Sekalipun penyakit ini menuntut pemisahan sosial (social distancing), penyelesaiannya membutuhkan kerjasama sosial secara kolektif.

Pandemi ini tidak akan berakhir jika ada orang-orang yang terus menerut mengeruhkan air dan memancing didalamnya. Mereka yang menyemburkan kegagahan atas nama rakyat miskin tetapi ternyata memancing keuntungan daripadanya.

Pada akhirnya, yang paling diperlukan adalah kerendahan hati untuk mengakui bahwa pandemi ini ada dan perlu diatasi bersama. Dengan rendah hati. Anti-hero banget, bukan?

ISLAMI

Kiat-Kiat agar Doa Dikabulkan (Bag. 4)

Baca pembahasan sebelumnya Kiat-Kiat agar Doa Dikabulkan (Bag. 3).

Kiat ketiga: berdoa dengan hati khusyuk disertai merasa lemah dan butuh di hadapan Rabbnya, serta menghinakan diri dan merendahkan diri kepada-Nya

Perkara yang disebutkan Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah ini sangat penting dalam masalah doa ataupun ibadah-ibadah yang lainnya. Di antara bentuk realisasi penghambaan hendaknya seorang hamba merendahkan dan menghinakan diri di hadapan pencipta-Nya, terlebih lagi di saat berdoa dan meminta. Hal ini seperti yang Allah sebutkan dalam Al Qur’an,

اٌدْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعاً وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (QS. Al-A’raf: 55).

Imam At Thabari menjelaskan dalam kitab tafsirnya bahwa yang dimaksud (تَضَرُّعاً) adalah menghinakan diri dan merendahkan diri dengan menaati-Nya, sedangkan  (خُفْيَةً) maksudnya adalah dengan khusyuknya hati mereka.

Maka hendaknya kondisi orang yang berdoa adalah menghadirkan khusyuk dan merasa butuh ketika meminta kepada Rabbnya. Menyampaikan doa hendaknya juga dengan suara yang pelan dan penuh adab. Oleh karena itu, tatkala Nabi mendengar sebagian sahabat mengeraskan suara mereka ketika berzikir dan berdoa, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan mereka dengan bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا علَى أَنْفُسِكُمْ، إنَّكُمْ ليسَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا، إنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا، وَهٌوَ مَعَكُمْ

“Wahai sekalian manusia! Rendahkanlah suara  kalian, karena sesungguhnya kalian tidak berdoa kepada Zat yang tuli dan tidak ada! Sesungguhnya kalian berdoa kepada Zat yang Maha Mendengar serta dekat dengan kalian dan Dia bersama kalian” (HR. Bukhari).

Al Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah berkata, “Ini menunjukkan dibencinya meninggikan suara ketika berzikir dan berdoa. Demikianlah perkataan mayoritas perkataan ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in.”

Imam Nawawi memberi judul bab tatkala menyebutkan hadis ini dengan judul: “Disunahkan merendahkan suara ketika berzikir kecuali dalam kondisi terdapat dalil syar’i yang menyebutkan untuk mengeraskan bacaan zikir atau doa.”

Kiat keempat: menghadap kiblat ketika berdoa

Menghadap kiblat termasuk merupakan adab penting ketika berdoa yang menunjukkan pengagungan orang yang berdoa dan sekaligus menunjukkan perhatian penting terhadap doanya.

Oleh karena itu, terdapat hadis yang sahih dari Nabi dalam berbagai kesempatan beliau menghadap kiblat ketika berdoa. Seperti misalnya saat perang badar ketika beliau melihat banyaknya jumlah kaum musyrikin dibanding jumlah kaum muslimin, maka Nabi menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangan beliau untuk berdoa. Hal ini karena ketika orang yang berdoa menghadap kiblat merupakan sebab yang diharapkan bisa terkabulnya doa yang dia minta. Ini bukanlah merupakan syarat ketika berdoa, namun ini merupakan adab yang baik dan terpuji saat berdoa.

Kiat kelima: dalam keadaan suci saat berdoa

Bersuci merupakan salah satu adab ketika berdoa. Tidak diragukan lagi bahwa ketika orang yang berdoa dalam keadaan suci maka kondisinya lebih utama dan mulia untuk menyampaikan doanya kepada Allah, karena kondisi saat berwudu jelas lebih sempurna daripada kondisi hadats.

Dari Al Muhajir bin Qunfudz Radhiyallahu‘anhu bahwasanya beliau pernah mengucapkan salam kepada Nabi di saat beliau sedang berwudu. Beliau tidak menjawab salam saat itu. Setelah menyelesaikan wudu, barulah beliau menjawab ucapan salam tadi. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنه لم يمنعني أن أرد عليك إلا أني كرهت أن أذكر الله إلا على طهارة

“Sesunghunya tidaklah menghalangiku untuk menjawab ucapan salam darimu meliankan karena aku tidak suka menyebut nama Allah kecuali dalam keadaan suci” (HR. Abu Dawud, sahih).

Insyaallah bersambung dengan penjelasan kiat-kiat lainnya  agar doa dikabulkan. Semoga bermanfaat.

Sumber: Ad Duaa alladzii Laa Yurod karya  syekh Prof. Dr. ‘Aburrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al Badr Hafidzahullah yang diunduh dari: https://www.al-badr.net/ebook/192.

Penyusun: Adika Mianoki

Sumber: https://muslim.or.id/67054-kiat-kiat-agar-doa-dikabulkan-bag-4.html

Bersatu Mencegah Kemungkaran

Perintah menyuruh berbuat baik dan mencegah kemungkaran adalah wajib bagi tiap-tiap orang yang beriman. (QS. 3: 104): “Adakanlah tiap-tiap kamu ummat yang mengajak kebaikan menyuruh mengerjakan yang benar dan melarang membuat yang salah. Mereka itulah oranga-orang yang beuntung.

Ayat ini dapat dilaksanakan jika dakwah Islam disiarkan secara teratur luas, selaras dengan tempat, masa keadaan untuk membawa ummat manusia ke jalan kebaikan. Menyuruh mengerjakan yang benar dan melarang melakukan yang salah.

Penyiaran (dakwah) ini bukan saja ditujukan kepada umat Islam, melainkan juga untuk yang belum memeluk Islam dan buat segenap bangsa-bangsa di dunia. Umat Islam Indonesia seharusnya tidak hanya pandai menerima kedatangan penyiar-penyiar agama dari negara lain saja. Tetapi adalah suatu keharusan pula untuk mengirimkan para juru dakwah ke negara lain.

Kemungkaran yang semakin mengikat kita saat ini, sehingga kita tidak mampu lagi menyuruh berbuat kebaikan adalah karena rusaknya aqidah kita. Kembali kita telusuri kenapa aqidah ummat Islam jadi merosot. Bahkan di antara kita aqidahnya betul-betul tak bisa dinilai.

Seperti yang telah dikatakan di atas, bahwa kelompok di luar Islam tidak akan senang kepada kita ummat Islam sebelum kita mengikuti cara mereka ( QS. 2:120). Mereka sangat menginginkan kita terpecah belah. Kemudian mereka mencoba merusak aqidah ummat Islam dengan bacaan-bacaan, tontonan dan ide-ide yang membuat ummat Islam semakin tidak berdaya.

Dan untuk memberbaiki hal ini tentulah tergantung usaha kita dengan mencoba tetap berusaha agar cara yang kita ambil tidak menimbulkan permusuhan dengan mereka. Tapi andainya mereka menginginkan kekerasan ataupun bahkan perang kita tidak mungkin tetap mengajukan cara lunak.

Nampaknya umat Islam diseluruh pelosok dunia, khususnya umat Islam di Indonesia sebagai jumlah terbanyak harus cepat-cepat menyadari bahwa hal pertama yang harus dilakukan agar ummat Islam kuat adalah melaksanakan perintah “bilma’ruf wa yanhauna anil munkar“.

Seandainya “bil ma’ruf wayanhauna ‘anilmunkar” mampu dilaksanakan tiap-tiap umat Islam, maka secara mendunia akan tercipta Islam yang kuat. Tapi, apakah umat Islam di Indonesia mampu mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah, atau bahkan menolak bekerja sama dengan pemimpin yang tidak benar? Masih jadi pertanyaan.

Masih menjadi keperihatinan bagi banyak orang. Mengapa dikalangan umat Islam rasa cinta terhadap ajaran agamanya sangat tipis? Aneka produk (barang), seni musik, atau apa saja yang merupakan buah karya ummat Islam akan terasa asing bagi umat Islam sendiri. Bahkan mereka merasa gengsi dan rendah diri memakai apa saja yang mermerek Islam. Betapa memperihatinkannya.

Di sudut kota, baik kota besar maupun kota kecil terpampang poster porno di depan bioskop, tanpa kita mampu mencegahnya sama sekali. Padahal ini jelas-jelas iklan motivasi berlomba dalam kemaksiatan. Dan hal ini merupakan kemungkaran yang belum dicegah ummat Islam di Indonesia sampai zaman reformasi saat ini.

Mungkin untuk menegakkan kebenaran kita sudah bayak berkorban. Tapi apakah menegakkan kebenaran tanpa mencegah kemungkaran dapat membuat ummat di negari ini merasa damai?

Konteks teoritisnya menyatakan mesti harus saling seiring dan sejalan. Harus diikuti yang satu dengan yang lainnya. “Bilma’ruf wayanha Tanil munkar” merupakan perintah Allah yang harus dikerjakan sekaligus.

Keadilan dan kebenaran yang ditegakkan tanpa mencegah atau bahkan menghancurkan kemungkaran akan tetap membawa kita ke alam kesesatan. Karena kerusakan moral timbul karena rusaknya moral yang dilandasi oleh agama yang tipis.

Seandainya negara ini tetap dipimpin oleh orang yang tidak mengerti Allah dan agama dan tetap berkiblat pada Yahudi, maka sia-sialah reformasi yang diperjuangkan selama ini.

Mungkin karena kita terus dipaksa berpikir politik oleh para pengamat politik atau orang-orang yang merasa bahwa permasalahan negeri ini bisa diselesaikan dengan politik, membuat kita lupa ada hal utama yang jauh lebih penting bagi bangsa. Moral yang bejad, telah menciptakan banyak kemungkaran di mana-mana.

Kebenaranpun ditertawakan dan diinjak-injak. Akibatnya, negara ini terluka dan teramat sulit diobati.

Adalah yang terpenting saat ini, bagaimana kita bisa menciptakan Islam yang kuat dalam diri kita masing-masing. Sehingga pandangan kita terhadap politik, ekonomi, sosial budaya dan pendidikan sesuai dengan kerangka dan bingkai pandangan Allah swt juga (al-Qur’an dan Sunnah).

Semoga para pemimpin cepat menyadari sehingga rakyat jadi puas dan kebenaran dapat ditegakkan dengan mencegah sekuat mungkin arus kemungkaran.*/Hudiya Nadrah

HIDAYATULLAH

Yohanes Wahyu Kusnaryo Kembali pada Jalan yang Lurus

Sebelum mualaf, Yohanes sempat mengalami mimpi buruk yang menggelisahkan.

Hidayah merupakan karunia Allah SWT untuk siapapun yang dikehendaki-Nya. Dan, cahaya petunjuk Ilahi mungkin saja datang tidak hanya sekali. Dalam menjalani kehidupan di dunia fana ini, seorang insan memang memerlukan tuntunan menuju jalan yang lurus (shirat al-mustaqim).

Yohanes Wahyu Kusnaryo merasakan karunia tersebut. Kepada Republika, ia mengaku bersyukur karena Allah Ta’ala menghendakinya agar kembali kepada kebenaran. Sebab, dirinya sebelum itu selalu menganggap remeh perkara keimanan dan ketakwaan.

Wahyu, demikian sapaan akrabnya, bukanlah Muslim sejak lahir. Lelaki kelahiran Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tersebut dibesarkan dengan latar belakang Katolik. Barulah setelah beranjak dewasa, dua kalimat syahadat diucapkannya. Itu pun dipandangnya sebagai proses belaka untuk dapat menikah dengan seorang Muslimah.

Pernikahan itu berlangsung dengan didahului dinamika. Sebelum tanggal akad nikah ditentukan, Wahyu telah berdiskusi dengan perempuan yang akhirnya menjadi istrinya itu. Perbedaan keyakinan memang sempat menjadi persoalan dalam hubungan keduanya. Maka menjelang akad nikah, Wahyu meyakinkan wanita pujaan hatinya itu bahwa dirinya akan mengalah.

Karena istri tidak mau ikut agama saya, jadi saya yang menjadi Muslim. Hingga saat itu, saya merasa Islam saya sekadar KTP.

“Karena istri tidak mau ikut agama saya, jadi saya yang menjadi Muslim. Hingga saat itu, saya merasa Islam saya sekadar KTP (identitas) saja,” ujar pria yang kini berusia 34 tahun tersebut.

Ikrarnya untuk menjadi seorang Muslim diucapkan di Masjid Condro Kiranan pada 26 Juni 2011. Wahyu mengakui, saat itu keislamannya masih pada taraf permukaan. Dalam arti, dia belum sungguh-sungguh memahami apa hakikat dan konsekuensi dari iman dan Islam yang dipilihnya.

Apalagi, kenang Wahyu, pada waktu itu geliat keislaman agaknya belum seperti sekarang. Tidak begitu banyak lembaga atau takmir masjid yang memiliki fokus untuk penguatan iman kalangan mualaf. Ia sendiri tidak berminat kala itu untuk mencari ustaz atau guru yang dapat membimbingnya.

Maka, Wahyu menjalani rutinitas nyaris seperti dahulu masih non-Muslim. Memang, ia mengetahui adanya kewajiban, semisal shalat lima waktu, puasa Ramadhan, atau berzakat. Akan tetapi, semua ibadah wajib itu ditinggalkannya. Kalau ada yang dilaksanakan, itu pun seingatnya saja.

Malahan, kira-kira dua bulan sejak menikah, Wahyu terjerumus dalam dunia malam. Ia cenderung mudah tertarik pada lingkungan jahiliah, yakni gemar memuaskan hawa nafsu semata. Gaya hidupnya sangat jauh dari prinsip-prinsip Islami. Shalat ditinggalkannya. Minuman keras tak ragu ditenggaknya.

Puncaknya, Wahyu kemudian menjadi seorang pecandu narkoba. Pergaulan yang tidak baik mempengaruhinya sehingga gemar mengonsumsi barang haram tersebut. Kalau sedang sakau, ia sering tergeletak tak berdaya di dalam rumahnya. Keadaan itu membuat orang-orang di sekitarnya merasa miris.

Pada suatu siang, Wahyu merasakan pusing yang teramat sangat sesudah memakai narkoba. Ia pun tertidur. Dalam tidurnya, ia bermimpi sedang berada dalam satu ruangan yang terbakar.

“Biasanya jika bermimpi, tidak akan terasa apa pun di badan kita. Tetapi ini aneh, saat di ruangan yang terbakar, saya terasa panas dan sakit sekali, dari ujung kaki hingga kepala. Seketika saya terbangun dan mengucapkan istighfar,” tutur dia.

Wahyu mengenang, istighfar adalah lafal yang saat itu seumur-umur jarang diucapkannya. Maka, spontanitasnya dalam beristighfar membuatnya tertegun. Setelah mencuci muka, dirinya kembali duduk dalam kesunyian.

Yang tergambar dalam benaknya hanyalah kematian. Sebagai orang beriman, dia pun meyakini adanya kehidupan sesudah mati, serta surga dan neraka. Bayangan tentang ruangan yang terbakar dalam mimpinya barusan otomatis mengantarkan imajinasinya ke perkara siksa neraka. Ketakutan menghantuinya.

Bagaimanapun, dalam kondisi demikian pikiran dan jiwanya kembali tenang. Sebab, suara azan terdengar dari arah masjid di dekat rumah. Lafaz Allah yang diucapkan sang muazin membuatnya tersadar.

Maka, berulang kali Wahyu menggumamkan istighfar. Sesudah itu, lisannya mengucapkan asma Allah berulang kali. Ibadah zikir ini baru kali itu dilakukannya dengan kesungguhan hati.

Sejak saat itu, Wahyu berkomitmen untuk meninggalkan segala maksiat yang telah dilakukannya termasuk obat-obatan terlarang. Wahyu mulai belajar shalat, rajin ke masjid ketika azan sudah berkumandang.

Wahyu kembali ke titik nol. Dia mempelajari shalat dari teman di shaf depan. Dimulai dengan menghafal gerakan-gerakan dan bacaan shalat.

Wahyu bersyukur, proses hijrahnya ini dipermudah oleh Allah SWT. Di masjid, dia bertemu banyak orang-orang baik.

Hingga satu hari dipertemukan dengan mualaf center Yogyakarta dan diajak untuk ikut menjadi relawan. Dia ikut membantu menangani mualaf yang butuh bantuan sepertu konflik dengan keluarga non-Muslim hingga konflik proses pemakaman mualaf.

Setelah satu tahun hijrah, Allah memberikan rezeki. Wahyu mendapat hadiah umrah dari hamba Allah yang dermawan. Akhir 2018, dia berangkat ke Jakarta karena travel umrahnya berada di kota tersebut.

Dia pun bertemu dengan komunitas garasi hijrah yang memiliki program hapus tato. Karena mereka tahu, Wahyu memiliki tato dan akan berangkat umrah maka mereka memberikan layanan hapus tato secara cuma-cuma.

Takdir Allah berkata lain. Ternyata, perusahaan biro perjalanan umrah yang akan melayaninya bermasalah. Alhasil, ia pun batal berangkat umrah. Karena tak ada pilihan lain, dia lantas kembali ke Yogyakarta.

Komunitas Garasi Hijrah mendengar kabar tersebut. Para sahabatnya di sana kembali mencarikan donatur agar Wahyu bisa berangkat ke Tanah Suci. Upaya ini kemudian mewujud kenyataan.

Allah merestuinya untuk menjadi tamu-Nya di Baitullah. Dua bulan sejak kegagalannya pergi ke Tanah Suci, yakni pada Februari 2019, Wahyu akhirnya berangkat umrah.

Hingga saat itu, dia tidak 100 persen gembira. Ia dihantui “mitos” bahwa Tanah Suci menjadi tempat pembalasan dosa-dosa yang dilakukan seorang Muslim.

“Sempat ketakutan mendengar cerita sebelumnya bahwa di Tanah Suci kita merasakan balasan dari perbuatan. Karena, saat kita berbuat dosa, maka sesampainya di Tanah Suci akan dibalas. Apalagi saya waktu itu merasa banyak melakukan dosa,” kenangnya.

Wahyu bersyukur, ketakutan dan kegelisahannya itu ternyata tidak terjadi. Bahkan, Allah menunjukkan kuasa-Nya. Mualaf tersebut mendapatkan rizki yang tak terduga sejak sebelum keberangkatan.

Ketika di Bandar Udara Soekarno-Hatta, ada seorang hamba Allah yang tidak dikenal memberinya uang dengan mata uang riyal yang jumlahnya sangat banyak. Ketika Wahyu belanjakan di Saudi pun tidak habis dan sampai di Indonesia sisa uang tersebut masih sangat banyak.

Hanya saja, ada beberapa orang Arab yang marah kepada saya karena tato yang belum hilang seluruhnya. Dia menghina Wahyu dan mengharamkan tindakan Wahyu dengan mentato tubuhnya.

Wahyu hanya tersenyum menanggapi hinaan itu, tapi dia tak berhenti menghinanya. Baru setelah pembimbing umrah yang mengerti bahasa Arab menjelaskan bahwa dia baru saja hijrah, orang tersebut meminta maaf dan berdoa untuknya.

Umrah kali itu diniatkan Wahyu untuk memanjatkan doa segala keinginanya. Salah satunya adalah agar keluarganya bisa mengikuti jejaknya untuk mualaf dan hijrah.

Karena ibunya telah meninggal dunia satu tahun setelah Wahyu bersyahadat, kini harapannya ada pada sang ayah. Wahyu berharap ayahnya dapat membuka hatinya untuk Islam.

Sepulang umrah, Wahyu memutuskan untuk pindah rumah dari Kota Yogyakarta ke Bantul. Ayahnya pun mengikutinya karena Wahyu merupakan anak tunggal.

Ayahnya perlahan tertarik dengan Islam karena melihat perubahan perilaku Wahyu yang semakin baik. Dahulu menjadi anak nakal kini berubah menjadi anak yang saleh.

Ayahnya kemudian membuka hati dan mengucapkan syahadat tepat 8 Januari 2020. Belum genap dua bulan menjadi Muslim, Allah memanggilnya Maret 2020.

“Mungkin bapak tertarik Islam karena melihat perilaku saya yang menjadi lebih baik,” jelas dia.

Tak hanya ayahnya, temannya yang mendengar Wahyu kini telah berubah mulai tertarik dan bertanya-tanya. Awalnya teman ini masih berdebat dan membela agama sebelumnya.

Bahkan dia yang juga menjadi teman nakal selama 15 tahun mengajak Wahyu kembali ke dunia hitam ternyata tak berhasil. Malah terlihat Wahyu semakin khusyuk beribadah. Tak lama temannya ini meminta untuk dibimbing bersyahadat.

Sembari berdakwah, Wahyu juga masih perlahan belajar mengaji. Dia bertemu dengan hamba Allah keturunan Arab dan mengetahui dia mualaf. “Saat itu saya ditunjuk menjadi imam. Karena khawatir, saya kemudian bercerita jika saya mualaf dan tidak lancar membaca Alquran,” jelas dia.

Sejak saat itu, pengusaha keturunan Arab tersebut mengajaknya untuk belajar mengaji di rumah. Sebelum lockdown, dia mengundang ustaz dan membiayai ustaz tersebut untuk mengajarkan Wahyu mengaji.

Wahyu mengaji empat kali dalam sepekan. Namun karena pandemi Covid-19, mengaji tatap muka pun dihentikan. Saat ini Wahyu sudah bisa membaca Alquran meskipun belum terlalu lancar.

OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI

REPUBLIKA.id

Cara Rasulullah Memperlakukan Non Muslim Ketika Terjadi Perang

Hubungan muslim dan non muslim era Rasulullh merupakan hubungan damai. Bukan hubungan permusuhan dan peperangan. Dalam pelbagai hal Rasulullah melarang menyakiti non muslim. Nabi juga melarang merusak rumah ibadah non muslim. Nabi berkesimpulan, barang siapa berdamai, maka ia tidak boleh diserang atau diperangi, baik itu dari kalangan ahli kitab ataupun kaum pagan (musyrik)

Ada pun peperangan yang terjadi antara Islam dan non muslim bukan karena agama. Tidak pula sebab perbedaan doktrin teologis. Ibnu Taymiyah dalam Risalah Qital, menyebutkan alasan utama perang yang terjadi pada masa Nabi, karena adanya serangan dan permusuhan dari orang-orang non muslim. Atau sebab pengkhianatan perjanjian.

Ishom Talimah dalam buku Manhaj Fikih Yusuf al Qardhawi menulis kisah klasik yang apik. Suatu saat Rasulullah pernah melintasi suatu daerah perang. Saat itu Nabi melihat seorang perempuan yang terbunuh. Menengok pemandangan itu nabi lantas berujar,” Tidak seharusnya wanita ini diperangi dan dibunuh,”. Penjelasan Rasulullah itu mengambarkan bahwa kaum wanita non muslim tak boleh diperangi dan dibunuh.

Pada sisi lain, Nabi juga tidak pernah memaksakan non muslim dan kaum musyrik, untuk memeluk agama Islam. Dalam perang Badar, Rasulullah pernah menawan sekelompok orang musyrik yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mereka ini jadi tawanan perang kaum muslimin. Meski begitu, Nabi tak memaksakan mereka untuk memeluk agama Islam.

Contoh nyata Nabi praktikkan ketika menawan seorang penganut pagan, Tsumamah bin Utsal. Ia kepala golongan musyrik suku Bani Hanifah. Ia penguasa besar yang berasal dari al-Yamamah. Dosanya terhadap Islam sangat besar. Tsumamah adalah orang yang dengan bengis membunuh beberapa orang sahabat Nabi. Ia juga beberapa kali berkonspirasi ingin membunuh Nabi Muhammad.

Suatu saat Tsumamah hendak melaksanakan perjalanan religi, mengunjungi Mekah. Ia ingin menyembah pelbagai berhala  yang ada di Kabah. Sial dalam perjalanan ia ditangkap para sahabat yang sedang patroli. Ia disangka ingin menyusup ke daerah Kaum Muslimin.

Awalnya mereka tak mengenal Tsumamah. Ia dibawa masuk ke Madinah. Ia lantas diikat di sana. Tsumamah jadi tawanan Kaum muslimin. Nabi yang ingin melaksanakan shalat ke masjid, memperhatikan di antara para tawanan. Ia terkejut ada Tsumamah, “Apakah kalian tak mengenal siapa tawanan ini,” tanya Nabi pada para sahabat. “Tidak wahai Rasulullah,” balas para sahabat.

Kemudian nabi menjelaskan bahwa tawanan itu adalah Tsumamah bin bin Utsal penguasa dari Yamamah. Nabi menyuruh para sahabat memperlakukannnya dengan baik. Meskipun dosa Tsumamah sudah terlampau banyak bagi Islam, Nabi tetap memerintahkan untuk berbuat kebaikan pada Tsumamah; tak boleh disakiti. Tak boleh pula dipaksa untuk memeluk Islam. Tidak dibenarkan pula untuk dibunuh.

Sementara itu terkait orang Krsiten, Ishom Talimah mengatakan Rasulullah tak pernah sekalipun memerangi orang Kristen. Nabi terlebih dahulu mengirim utusan sebagai diplomat untuk menjalin kerjasama dan perjanjian denga mereka. Dalam perjanjian Hudaibiyah misalnya, Nabi terlebih dahulu mengutus para sahabat agar menghindari peran.

Rasulullah juga mengutus utusan pada Kaisar Romawi dan Kisra Persia. Nabi juga mengutus diplomat pada Muqaiqis dan Najasyi. Pun melakukan hal yang sama pada raja Arab di Timur dan di negeri Syam. Sayangnya, ada sekelompok orang Kristen di daerah Syam yang terlebih dahulu membunuh orang Islam. Targetnya adalah orang-orang yang baru masuk Islam.

Mendapat info itu, baru Rasulullah mengutus pasukan perang di bawah Komando Zaid bin Haritsah , kemudian Ja’far bin Abi Thalib, dan juga Abdullah bin Rawahah. Perang ini pertama kali terjadi antara Islam dan Kristen Mu’tah di wilayah Syam. Ketiga orang komando perang Islam gugur dalam perang ini. Kemudian komandan perang dilanjutkan oleh Khalid  bin Walid.

Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah mengatakan pada dasarnya hubungan Islam dan Kristen adalah hubungan damai. Tak ada permusuhan. Hal itu bisa terlihat dalam surat Nabi kepada Raja Cyprus, yang beragama Kristen. Nabi menulis surat;

“Kami adalah kaum yang cinta kebaikan bagi setipa orang. dan kami senang jika Allah menghimpun kebaikan dunia dan akhirat untuk kalian, dan sebaik-baik ibadah seorang hamba kepada Allah adalah memberi nasihat pada makhluknya,”

Begitulah Nabi dalam memperlakukan non muslim dalam pergaulan sehari-hari, dalam perang, dan ketika mereka jadi tawanan. Tidak ada rasa benci. Tidak ada rasa permusuhan. Bagi Nabi mereka adalah sahabat. Dan tak jarang, Nabi mengajak non muslim bekerjasama dalam hubungan sosial, politik, dan ekonomi.

BINCANG SYARIAH

Tiga Kunci Sukses Belajar Fikih

Belajar fikih itu memiliki beberapa sisi yang masing-masingnya memiliki tuntunannya sendiri.

Pertama

Dari sisi niat, maka kita diwajibkan untuk mengikhlaskan amalan ibadah kita hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak diragukan lagi, belajar fikih adalah ibadah, sehingga wajib bagi kita untuk senantiasa meluruskan dan memurnikan niat ketika belajar.

Kedua

Dari sisi cara belajar, maka tidak wajib bagi kita untuk belajar fikih dengan mazhab. Apalagi jika kita adalah orang awam, yang bisa jadi fokus utama kita hanyalah bagaimana cara beribadah kepada Allah Ta’ala sesuai dengan tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa ingin berdalam-dalam di ilmu fikih. Maka belajar fikih kepada ahli ilmu itu sudah mencukupi, tanpa harus bermazhab. Akan tetapi, dia harus ingat bahwa dia adalah orang awam, sementara ilmu fikih itu adalah samudra yang sangat luas. Tidak boleh baginya untuk mengatakan bahwa kebenaran itu terletak pada pendapat gurunya seluruhnya.

Adapun jika kita adalah penuntut ilmu yang ingin menguasai ilmu fikih bi-idznillah, maka sangat direkomendasikan untuk belajar fikih dengan mazhab. Karena literatur fikih di mazhab itu sudah lengkap, dari kitab ulama’ kontemporer yang biasanya untuk pemula, hingga kitab ulama’ terdahulu yang biasanya tidak akan bisa dipahami dengan baik kecuali oleh orang yang telah mendapatkan training yang bagus dalam ilmu fikih. Kalau belajar fikihnya tidak terstruktur, maka pasti akan babak belur ketika membaca kitab-kitab mutaqaddimin.

Akan tetapi, seorang penuntut ilmu yang bermazhab itu tidak boleh fanatik dengan mazhabnya. Tidak boleh baginya untuk mengatakan bahwa kebenaran itu terletak pada pendapat mazhabnya seluruhnya. Jadikan diskusi ilmiah memang sebagai diskusi ilmiah, bukan untuk menjatuhkan mazhab lain atau merasa mazhabnya dijatuhkan.

Ketiga

Dari sisi guru, maka wajib bagi kita untuk berguru pada seorang yang mutqin ilmunya dan lurus akidahnya. Misalnya, jika kita belajar mazhab Syafi’iy, maka belajarlah dari ulama’ mazhab Syafi’iy yang akidahnya lurus. Jika kita belajar mazhab Hanbaliy, maka belajarlah dari ulama’ mazhab Hanbaliy yang akidahnya lurus. Demikian pula untuk mazhab-mazhab yang lain.

Perlu diperhatikan bahwa dalam masalah akidah, maka seorang Hanafiy, Malikiy, Syafi’iy, ataupun Hanbaliy, semuanya seharusnya berada di atas aqidah yang sama, yaitu aqidah ahlussunnah sesuai dengan pemahaman salaf yakni generasi terdahulu.

Itu mengapa tidak tepat jika seorang pelajar itu menjadi zuhud yakni menjauh dari kitab-kitab akidah shahihah yang ditulis oleh para ulama’ yang bermazhab lain dari mazhabnya. Misalnya, walaupun kita bermazhab Syafi’iy, maka jangan zuhud (merasa tidak butuh) dari kitab-kitab Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Muhammad ibn ‘Abdil Wahhab rahimahumullah, dan lain-lain, walaupun mereka bermazhab Hanbaliy. Demikian pula, walaupun kita bermazhab Hanbaliy, maka jangan zuhud dari kitab-kitab al-Muzaniy, al-Lalika’iy, al-‘Imraniy rahimahumullah, dan lain-lain, walaupun mereka bermazhab Syafi’iy. Dan demikian juga para ulama’ lainnya di mazhab-mazhab lainnya, rahimahumullahu ajma’in.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kita kefaqihan dalam agama-Nya ini dan memudahkan kita untuk mengamalkan ilmu yang telah kita pelajari. Aamiin Yaa Rabb.

***

Penulis: Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

Sumber: https://muslim.or.id/67051-tiga-kunci-sukses-belajar-fikih.html

Stunning atau Pemingsanan Hewan Sebelum Disembelih, Halahkah Dagingnya?

Sebentar lagi kita akan memasuki bulan Dzulhijjah, pada bulan ini seluruh umat muslim akan merayakan hari raya Idul Adha atau dikenal juga dengan hari raya kurban. Saat berkurban, bolehkah kita melakukan pemingsanan hewan sebelum disembelih? Halalkah daging hewan yang disembelih dengan cara pemingsanan terlebih dahulu?

Proses kurban dapat dipermudah dengan cara memingsankan atau melumpuhkan hewan yang hendak disembelih atau biasa disebut dengan stunning. Agama Islam sebenarnya telah menentukan rukun-rukun dan syarat-syarat dalam proses penyembelihan hewan. Berikut ini adalah uraiannya:

Rukun penyembelihan ada empat:

Pertama, pemyembelih. Syarat bagi orang yang menyebelih haruslah beragama Islam atau Ahli Kitab hakiki sebagaimana yang disebutkan oleh ulama-ulama al-Syafi‘iyyah. Orang Majusi (penyembah api), penyembah berhala, orang murtad, dan sebagainya, daging semebelihan mereka tidak halal sebagaimana pendapat Imam al-Nawawi dalam Al-Majmu’ (juz 9, halaman 84)

Kedua, binatang yang disembelih. Syarat hewan yang disembelih ialah berupa binatang darat yang halal dimakan dan diduga masih memiliki hayah mustaqirrah, yakni tetapnya nyawa pada hewan, yang mana jika dibiarkan ia akan sadar dan tetap hidup. kecuali binatang yang sakit sebagaimana Syekh Abu Bakar Muhammad Syatho ad-Dimyathi menyebutkannya dalam I’anah Al-Thalibin (juz 2, halaman 346)

Ketiga, alat untuk menyembelih. Alat untuk menyembelih ialah benda apapun yang tajam, selain kuku, gigi dan semua jenis tulang. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَا أَنْهَرَ الدَّمَّ وذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ فَكُلْ، لَيْسَ السِّنَّ وَالظُّفُرَ، وَسَأُخْبِرُكُمْ عَنْهُ، أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفُرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ (رواه البخارى)

“Apapun yang dapat mengalirkan darah serta disebutkan nama Allah padanya (saat menyembelih), maka makanlah, kecuali gigi dan kuku, dan aku akan kabarkan kepadamu hal itu, (karena) gigi adalah tulang dan kuku adalah pisau orang Habsyah.” (HR. Bukhari)

Keempat, proses penyembelihan. Dalam prosesnya, penyembelih harus memotong seluruh saluran pernafasan dan saluran pencernaan. Kemudian disertai dengan niat menyembelih dan juga binatang  yang disembelih harus mati semata-mata disebabkan oleh penyembelihan, sebagaimana menurut Imam al-Nawawi dalam Al-Majmu (juz 9, halaman 99-100).

Melihat pemaparan di atas, melumpuhkan atau memingsankan hewan sebelum proses penyembelihan, dengan cara dibius dan sebagainya adalah diperbolehkan dan dagingnya halal. Bahkan bisa jadi cara ini dianjurkan, sebab lebih meringankan kepada hewan itu sendiri. Rasullah SAW bersabda:

إن الله كتب الإحسان على كل شيءٍ، فإذا قتلتم فأحسنوا القِتْلة، وإذا ذبحتم فأحسنوا الذِّبْحة، ولْيُحِدَّ أحدُكم شفرته، ولْيُرِحْ ذبيحته))؛ رواه مسلم.

Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik  dalam segala hal. Jika kalian membunuh (dalam qishah) maka lakuakanlah dengan baik, dan jika kalian menyembelih maka lakukanlah dengan baik, dan hendaklah salah seorang dari kalian menajamkan parangnya dan permudahlah dalam penyembelihan. (Sahih Muslim, Juz 6, Halaman 72)

Syekh Wahbah al Zuhaili dalam kitabnya al Fiqhu al Islam wa Adillatuhu menyebutkan bahwa tidak ada larangan untuk memperlemah gerakan hewan yang hendak disembelih senyampang tidak ada usur penyiksaan dan dagingnya halal untuk dikonsumsi. (Ibnu Musthafa Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, Juz 4, Halaman 800).

Selanjutnya, MUI (Majelis Ulama Indonesia) juga menyebutkan, stunning atau pemingsanan diperbolehkan dengan beberapa ketentuan:

Pertama, stunning hanya menyebabkan hewan pingsan atau lemah sementara  dan tidak menyebabkan kematian.

Kedua, penyembelihan pada hewan yang dipingsankan tetap menggunakan prinsip memotong khulqum (tenggorokan), mari’  (kerongkongan).

ketiga, pemingsanan bertujuan untuk mempermudah penyembelihan, bukan bertujuan menyiksa– dengan segera melakukan penyembelihan. (Fatwa Majlis Ulama Indonesia Nomor 12 Tahun 2009).

Wallahu A’lam.

BINCANG SYARIAH