Amal Kita Masih Sedikit

Berbuatlah ikhlas untuk amal yang sedikit.

Abul Qosim Al-Qusyairi mengatakan, “Ikhlas adalah menjadikan niat hanya untuk Allah dalam melakukan amalan ketaatan. Jadi, amalan ketaatan tersebut dilakukan dalam rangka mendekatkan diri pada Allah. Sehingga yang dilakukan bukanlah ingin mendapatkan perlakuan baik dan pujian dari makhluk atau yang dilakukan bukanlah di luar mendekatkan diri pada Allah.”

Maimun bin Mihran rahimahullah (seorang tabiin) berkata:

‏إِنَّ أَعْمَالَكُمْ قَلِيلَةٌ

‏فَأَخْلِصُوا هَذَا الْقَلِيلَ …

Sungguh amal kalian itu amatlah sedikit.

Berbuat ikhlaslah untuk yang sedikit ini.

(Abu Nuaim dalam Al-Hilyah, 4:29)

Pelajaran yang bisa dipetik dari perkataan Maimun bin Mihran:

1. Kita jangan merasa telah beramal banyak.
2. Selalulah merasa kurang dalam beramal, jangan pernah puas dengan yang sedikit.
3. Ibadah itu harus ikhlas, cari ridha Allah.
4. Amalan yang kecil saja harus ikhlas, apalagi amalan yang besar.

Semoga semua amal kita diterima oleh Allah dan selalu ikhlas meraih rida-Nya.

Catatan 29 Syawal 1442 H @ Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul DIY

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Sumber https://rumaysho.com/28566-amal-kita-masih-sedikit.html

Islam Secara Tegas Menentang Tindak Penindasan dan Perilaku Diskriminatif

Latar belakang terjadinya perlakuan diskriminatif terhadap kelompok maupun individu dalam masyarakat memang bermacam-macam, mulai dari latar belakang status sosial, kepercayaan, suku, ras, kondisi perekonomian, dan lain sebagainya. Berdasar latar belakang tersebut pula, sangat dimungkinkan terjadinya tindak penindasan, oleh yang kuat terhadap yang lemah. Sehingga menjadikan semakin jauhnya prinsip keadilan bagi seluruh insan, juga semakin tidak berimbangnya kesejahteraan bagi setiap lapisan.

Perlu digarisbawahi bahwasanya hilangnya keadilan dan kesejahteraan sendiri sejatinya bertentangan dengan spirit yang dibawa oleh Islam. Karenya datangnya Islam memang tidak semata membawa pesan untuk mengimani Allah, tetapi juga membawa ajaran yang berguna untuk memperbaiki nasib seluruh penghuni bumi. Terlebih lagi, dijalankannya ajaran Islam bukanlah sebuah kemaslahatan bagi Allah, melainkan kemaslahatan bagi yang menjalankannya dan makhluk yang ada di sekitarnya.

Ketika menelusuri catatan sejarah pada awal masa perjuangan Islam, akan ditemukan sekian bukti yang menunjukkan bahwa Islam secara tegas melawan tindak penindasan, diskriminasi, dan yang sejenisnya. Bahkan berbagai perlawanan yang diupayakan Nabi Muhammad dan para sahabat pun bukan untuk membabat kekufuran dan kemusyrikan semata, tetapi lebih sebagai upaya penolakan terhadap ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi saat itu.

Bukan hanya ditunjukkan dengan sikap Nabi Muhammad semata, nabi-nabi yang lain juga bertindak demikian. Misalnya ialah: Penentangan Nabi Hud atas pembangunan bangunan tinggi-tinggi untuk bermain, serta benteng-benteng yang menjadi sekat kepada masyarakat lainnya; perjuangan Nabi Syu’aib menentang para saaudagar untuk keadilan ekonomi, dan lain-lain. Karena pelaku penindasan, diskriminasi, dan yang lain sebagainya itu ialah orang-orang musyrik, maka seakan-akan perlawanan yang dilakukan adalah gerakan perlawanan ideologi terhadap orang musyrik.

Kelompok orang yang tertindas dan yang terdiskriminasi jika ditelusuri dalam Al-Qur’an, maka akan dijumpai redaksi yang mengarah pada kondisi tersebut, yakni kalimah al-mustadh’afin yang memiliki arti orang-orang yang dilemahkan atau tertindas. Pernyataan ini tercermin dari firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an surah An-Nisa’ [4] ayat 75.

وَمَا لَكُمۡ لَا تُقَـٰتِلُونَ فِی سَبِیلِ ٱللَّهِ وَٱلۡمُسۡتَضۡعَفِینَ مِنَ ٱلرِّجَالِ وَٱلنِّسَاۤءِ وَٱلۡوِلۡدَ ٰ⁠نِ ٱلَّذِینَ یَقُولُونَ رَبَّنَاۤ أَخۡرِجۡنَا مِنۡ هَـٰذِهِ ٱلۡقَرۡیَةِ ٱلظَّالِمِ أَهۡلُهَا وَٱجۡعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ وَلِیࣰّا وَٱجۡعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ نَصِیرًا

Dan mengapa kalian tidak mau berjuang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang bedoa, “Wahai Tuhan kami, keluarkanlah kami dari kota ini yang penduduknya berbuat zalim. Berilah kami perlindungan dari sisi-Mu dan jadikanlah bagi kami seorang penolong dari sisi-Mu.” [Q.S. An-Nisa’ (4): 75]

Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan penduduk Makkah yang telah jenuh tinggal di tempat tersebut akibat perilaku diskriminatif dan penindasan yang mereka alami. Lebih lanjut, dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib, Syekh Fakhruddin ar-Razi juga menegaskan bahwa maksud al-mustadh’afin dalam ayat tersebut ialah kaum muslim yang menetap di Makkah dan menerima penindasan yang amat pedih dari kaum musyrik, sedang mereka tak mampu berpindah dari kota tersebut. Penafsiran ini didasarkan pada perkataan Ibnu ‘Abbas, sebagaimana dikutip oleh Imam al-Bukhari, “Aku dan ibuku merupakan bagian orang-orang yang lemah dari golongan perempuan dan anak-anak.”

Namun bila kemudian ditarik dalam konteks sosial masa kini, sejatinya perintah untuk membela orang-orang yang dilemahkan atau yang tertindas (al-mustadh’afin) tidak terbatasi hanya untuk membela dan melindungi orang berdasar kesamaan kepercayaan maupun suku. Oleh karenanya, sangat mungkin apabila diambil pelajaran dari ayat tersebut untuk membela dan melindungi setiap orang yang dilemahkan, tentindas, maupun terdiskriminasi, meski berbeda dalam hal kepercayaan, suku, ras dan lain sebagainya. Dengan kata lain, pembelaan Islam bukan berlatar pada siapa yang tertindas, akan tetapi perlawanan terhadap tindak penindasan itu sendiri.

Selain contoh di atas, contoh lain yang juga terdokumentasikan dalam Al-Qur’an ialah dalam surah Thaha [20] ayat 24 & 43, tentang seruan Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Harun untuk mendatangi Fir’aun: seorang penguasa tiran yang telah melampaui batas (ath-thaghut). Menurut Imam Ibnu Katsir, sikap melampaui batas yang dilakukan oleh Fir’aun bukan saja karena aspek ketauhidan, yakni telah menuhankan dirinya sendiri, tetapi juga karena aspek sosial, yakni telah berlaku sewenang-wenang dengan melemahkan, menindas, dan menyiksa Bani Israil.

ٱذۡهَبَاۤ إِلَىٰ فِرۡعَوۡنَ إِنَّهُۥ طَغَىٰ (42)  فَقُولَا لَهُۥ قَوۡلࣰا لَّیِّنࣰا لَّعَلَّهُۥ یَتَذَكَّرُ أَوۡ یَخۡشَىٰ (43)

Pergilah kalian berdua pada Fir’aun, karena sesungguhnya ia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kalian berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar dan takut. [Q.S. Thaha (20): 43-44]

Meski telah mendapat seruan dari Allah untuk menghadapi dan menentang perilaku sewenang-wenang Fir’aun, bukan berarti menjadi legalitas bagi Nabi Musa dan Nabi Harun bersikap buruk ketika berhadapan dengan Fir’aun. Justru Allah tetap memerintahkan kepada keduanya untuk berlaku baik yang dicontohkan dengan perkataan yang lembut untuk menghadapi orang yang telah menyekutukan-Nya dan berlaku sewenang-wenang kepada makhluk-Nya.

Setelah memahami uraian di atas, terdapat setidaknya dua poin yang perlu dilingkari. Pertama, sesungguhnya Islam benar-benar menentang tindak penindasan, penganiayaan, dan sikap diskriminatif. Tidak terbatas yang dilemahkan atau yang ditindas itu berasal dari orang dengan latar belakang kepercayaan yang sama maupun tidak. Kedua, perlawanan terhadap segala bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan bukan berarti mengharuskan untuk berlaku kasar terhadap pelakunya. Karena tujuan yang baik tetap harus dilakukan dengan cara yang baik dan selaras dengan norma-norma dalam Islam. Wallahu a’lam bish shawab.

BINCANG SYARIAH

Fikih Ringkas Seputar Profesi Broker atau Makelar

Definisi brokerage

Brokerage adalah melakukan mediasi antara penjual dan pembeli untuk melangsungkan akad jual-beli. Dalam bahasa Arab kegiatan ini disebut as-Samsarah (السَّمْسَرَة) dan merupakan perkara yang telah umum diketahui dan dipraktikkan manusia sejak dulu.

Konsekuensi dari akad brokerage adalah broker bertindak memberikan pengarahan dan melakukan mediasi bagi kedua belah pihak yang akan melangsungkan akad. Adapun melaksanakan transaksi yang diperantarai, semisal broker diserahkan tanggung jawab oleh penjual atau pembeli untuk melaksanakan akad, maka hal ini tidak termasuk aktivitas seorang broker. Namun, jika ia dipercaya oleh salah satu pihak untuk melangsungkan akad, maka tindakannya sah. Sehingga dalam kondisi tersebut, broker menyatukan dua peran, yaitu sebagai broker dan wakil.

Dalam bahasa Arab, broker disebut السمسار” atau “الدَّلَّال” karena ia berperan memandu pembeli untuk menemukan barang dan memandu penjual dalam menentukan harga (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah 10/151).

Hukum brokerage

Kegiatan brokerage diperbolehkan. Demikian juga dengan mengambil komisi atas kegiatan tersebut. Ulama menegaskan akan hal ini:

– Imam Malik Rahimahullah tidak melarang komisi broker ketika ditanya akan hal itu (al-Mudawwanah 3/466).

– Dalam kitab Shahih-nya, imam al-Bukhari Rahimahullah menyatakan,

ولم ير ابن سيرين، وعطاء، وإبراهيم، والحسن بأجر السمسار بأسًا، وقال ابن عباس: “لا بأس أن يقول: بع هذا الثوب، فما زاد على كذا وكذا، فهو لك”، وقال ابن سيرين: “إذا قال: بعه بكذا، فما كان من ربح فهو لك، أو بيني وبينك، فلا بأس به”، وقال النبي صلى الله عليه وسلم: (المسلمون عند شروطهم)

“Ibnu Sirin, Atha, Ibrahim, al-Hasan tidak mempermasalahkan komisi broker. Ibnu Abbas menyatakan, ‘Tidak mengapa jika seorang mengucapkan pada orang lain, ‘Juallah baju ini. Apa yang melebihi dari harga sekian, maka itu untukmu.’ Ibnu Sirin mengatakan, ‘Tidak mengapa apabila seorang mengatakan, ‘Juallah barang ini dengan harga sekian. Keuntungan yang melebihi harga tersebut adalah untukmu atau kita rundingkan dahulu.’  Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Kaum muslimin terikat pada persyaratan yang ditetapkan bersama’” (Shahih al-Bukhari 3/92).

– Ibnu Qudamah menyatakan,

ويجوز أن يستأجر سمسارًا، يشتري له ثيابا، ورخص فيه ابن سيرين، وعطاء، والنخعي…

“Seorang boleh mengupah broker untuk membelikan baju. Ibnu Sirin, Atha, dan an-Nakhai memberikan toleransi terhadap hal tersebut” (al-Mughni 8/42).

– Dalam Fatwa al-Lajnah ad-Daimah dinyatakan,

يجوز للدلال “السمسار” أخذ أجرة بنسبة معلومة من الثمن الذي تستقر عليه السلعة مقابل الدلالة عليها، ويستحصلها من البائع أو المشتري، حسب الاتفاق، من غير إجحاف ولا ضرر

“Broker (as-Simsar) boleh memperoleh persentase tertentu dari harga penjualan sebagai kompensasi atas jasanya dalam menginformasikan komoditi yang menjadi objek transaksi. Komisi itu bisa diperoleh dari penjual atau pembeli sesuai kesepakatan yang tidak menimbulkan kerugian dan pelanggaran” (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 13/131).

– Syaikh Abdurrahman al-Athram Hafizhahullah mengatakan,

الوساطة التجارية جائزةٌ مطلقًا، سواء قُدرت بالزمن، أو بالعمل، في اليسير والكثير … وهو أحد القولين عند الحنفية، والمشهور عند المالكية، والظاهر من مذهب الشافعية، وهو مذهب الحنابلة

Brokerage boleh secara mutlak; baik dibatasi dengan suatu waktu atau suatu aktivitas, dan untuk barang yang sedikit maupun banyak… Hal ini merupakan salah satu pendapat Hanafiyah, pendapat Malikiyah yang masyhur, pendapat Syafiiyah yang terpilih dan merupakan pendapat Hanabilah” (al-Wasathah at-tijariyah fi al-Mu’amalat al-Maliyah hal. 71).

Syarat-Syarat brokerage

Syarat agar diperbolehkan, kegiatan brokerage harus dilakukan pada hal yang bersifat mubah (halal). Dengan demikian, brokerage tidak diperbolehkan dalam transaksi jual-beli minuman keras, jual-beli babi, jual-beli alat musik, transaksi ribawi, atau perkara-perkara yang haram ditransaksikan dan digunakan.

Apabila broker/makelar menjadi mediator dalam penjualan dan/atau pembelian sesuatu yang diharamkan, maka komisi/upah yang diperoleh pun haram karena berstatus sebagai kompensasi atas upayanya membantu kemungkaran. Allah Ta’ala berfirman,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. al-Maidah: 2).

Akad brokerage (as-samsarah) merupakan akad syar’i yang wajib dipenuhi oleh salah satu pihak dengan menyerahkan komisi mengikat yang menjadi tanggungannya kepada pihak yang lain (broker). Kewajiban yang mengikat ini tidak termasuk sedekah ataupun hibah, tapi merupakan kewajiban yang mengikat orang yang menjanjikan komisi atas upaya mediasi yang dilakukan (https://islamqa.info/ar/answers/178393هل-يستحق- السمسار-عمولته-وما-يترتب-على-من-جحدها-عليه).

Etika broker

Sepatutnya broker adalah seorang yang ahli dalam perkara yang menjadi obyek mediasi sehingga tidak merugikan salah satu pihak dengan mengklaim bahwa dirinya adalah seorang yang ahli, padahal tidak demikian.

Demikian juga, selayaknya ia adalah seorang yang jujur dan terpercaya. Tidak berpihak pada salah satu pihak dengan mengorbankan/merugikan pihak yang lain, tapi menjelaskan kelebihan dan kekurangan obyek mediasi; tidak mengelabui pembeli dan penjual (https://islamqa.info/ar/answers/45726/حكم-السمسرة).

Komisi broker

Berikut ini sejumlah hal yang terkait dengan komisi broker.

– Komisi yang diperoleh oleh broker adalah komisi yang diperoleh dari akad ju’alah. Namun, dalam beberapa bentuk dan kondisi, komisi broker bisa berupa upah yang diperoleh dari akad ijarah. Dalam hal komisi berasal dari akad ijarah, maka komisi tersebut harus spesifik, sehingga jika tidak ditentukan secara jelas (terdapat ketidakjelasan (jahalah)), maka transaksi yang dilakukan menjadi tidak sah (https://islamqa.info/ar/answers/174809/سمسار-ياخذ-عمولة-من-الجهتين-وبعض-احكام-الوسيط-التجاري).

– Broker boleh menerima komisi dari penjual atau pembeli, atau dari keduanya, sesuai kesepakatan dan aturan yang berlaku di masyarakat. Demikian yang menjadi pendapat Malikiyah (Hasyiyah ad-Dasuqi 3/129).

Dalam Fatawa al-Lajnah ad-Daimah dinyatakan,

إذا حصل اتفاق بين الدَّلال والبائع والمشتري على أن يأخذ من المشتري، أو من البائع، أو منهما معاً، سعياً معلوماً، جاز ذلك، ولا تحديد للسعي بنسبة معينة، بل ما حصل عليه الاتفاق والتراضي ممن يدفع السعي جاز. لكن ينبغي أن يكون في حدود ما جرت به العادة بين الناس، مما يحصل به نفع الدلال، في مقابل ما بذله من وساطة وجهد لإتمام البيع بين البائع والمشتري، ولا يكون فيه ضرر على البائع أو المشتري بزيادته فوق المعتاد

“Jika tercapai kesepakatan antara broker, penjual, dan pembeli bahwa broker menerima komisi dari pembeli atau penjual, atau dari keduanya, dengan besaran upah tertentu, maka hal itu diperbolehkan. Tak ada batasan untuk besaran upah dengan persentase tertentu. Berapa pun besarannya diperbolehkan, selama disepakati dan  disetujui oleh pihak yang menyerahkan upah. Akan tetapi, diharapkan upah tersebut tetap berada dalam batasan yang berlaku di masyarakat, dengan besaran yang memberikan manfaat kepada broker sebagai kompensasi atas mediasi dan upaya yang telah dikerahkannya untuk menyukseskan transaksi antara penjual dan pembeli. Besaran upah bagi broker juga diharapkan tidak memberatkan penjual atau pembeli karena adanya tambahan yang melebihi kebiasaan” (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 13/129).

– Apabila tidak ada kesepakatan dan tak ada aturan yang berlaku di masyarakat, maka komisi bagi broker ditanggung oleh penjual menurut Malikiyah (Hasyiyah ad-Dasuqi 3/129).

Namun, pendapat yang terpilih komisi broker ditanggung oleh orang yang memerintahkannya untuk bertindak sebagai mediator/perantara.

Dr. Abdurrahman ibn Shalih al-Athram Hafizhahullah mengatakan,

فإذا لم يكن شرط ولا عرف، فالظاهر أن يقال: إن الأجرة على من وسّطه منهما، فلو وسَّطه البائع في البيع كانت الأجرة عليه، ولو وسطه المشتري لزمته الأجرة، فإن وسطاه كانت بينهما

“Jika tidak ada kesepakatan atau aturan yang berlaku di masyarakat, pendapat yang lebih tepat, komisi makelar menjadi tanggungan orang yang memerintahkannya untuk bertindak sebagai mediator. Jika penjual yang memerintahkannya untuk bertindak sebagai mediator, maka komisi menjadi tanggungan penjual. Jika pembeli yang memerintahkannya, maka pembayaran komisi mengikatnya. Demikian juga, jika keduanya, penjual dan pembeli, menjadikannya sebagai mediator mereka, maka komisi berasal dari keduanya.” (al-Wasathah at-Tijariyah, hal. 382).

– Komisi broker/makelar bisa berupa sejumlah uang tertentu atau persentase tertentu .(https://islamqa.info/ar/answers/174809/سمسار-ياخذ-عمولة-من-الجهتين-وبعض-احكام-الوسيط-التجاري).

Dalam Fatawa al-Lajnah ad-Daimah dinyatakan,

يجوز للدلال “السمسار” أخذ أجرة بنسبة معلومة من الثمن الذي تستقر عليه السلعة مقابل الدلالة عليها، ويستحصلها من البائع أو المشتري، حسب الاتفاق، من غير إجحاف ولا ضرر

“Broker (as-Simsar) boleh memperoleh persentase tertentu dari harga penjualan sebagai kompensasi atas jasanya dalam menginformasikan komoditi yang menjadi objek transaksi” [Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 13/131].

– Apabila aktivitas mediasi ditentukan dalam waktu tertentu, maka broker/makelar berhak memperoleh komisi dengan semata-mata melakukan aktvititas mediasi yang diminta dalam waktu tersebut meski kesepakatan tidak tercapai (https://islamqa.info/ar/answers/174809/سمسار-ياخذ-عمولة-من-الجهتين-وبعض-احكام-الوسيط-التجاري).

– Apabila penjual berkata kepada broker, “Juallah barang ini dengan harga sekian, jika memperoleh lebih, maka kelebihan itu untukmu”, maka broker diperkenankan mengambil kelebihan tersebut, baik diketahui ataupun tidak diketahui oleh pembeli (https://islamqa.info/ar/answers/121386/اذا-قال-للسمسار-بع-هذا-بكذا-وما-زاد-فهو-لك).

Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan,

إذا قال: بع هذا الثوب بعشرة، فما زاد عليها فهو لك صح، واستحق الزيادة، وقال الشافعي-رحمه الله-: لا يصح.ويدل على صحة هذا: أن ابن عباس -رضي الله عنه- كان لا يرى بذلك بأسًا، ولأنه يتصرف في ماله بإذنه، فصح شرط الربح له، كالمضارب والعامل في المساقاة

“Apabila pemilik barang berkata, ‘Juallah baju ini dengan harga 10 dirham. Jika laku lebih, maka kelebihannya untukmu’, maka transasksinya sah dan broker berhak mengambil kelebihan itu. Namun, asy-Syafi’i Rahimahullah menyatakan transaksi yang demikian itu tidak sah. Dalil yang menyatakan transaksi tersebut sah adalah pendapat Ibnu Abbas Radhiallahu‘anhu yang tidak mempermasalahkan hal tersebut. Selain itu, broker melakukan transaksi dengan harta orang tersebut dengan izinnya, sehingga kesepakatan pembagian keuntungan untuk broker pun sah seperti mudharib (pemilik modal) dan amil (pengelola modal) dalam akad al-musaqah” (al-Mughni 5/86).

– Komisi broker bisa berupa harta atau sesuatu yang bisa ditafsirkan sebagai harta seperti poin kredit atau manfaat (https://islamqa.info/ar/answers/237242/حكم-الهدية-المالية-التي-تتبع-بطاقة-بايونير-وحكم-جواىز-الشركات-لمن-يجلب-لها-عملاء).

Hal yang boleh dilakukan broker

– Jika broker bekerja untuk salah satu pihak yang bertransaksi dengan imbalan tertentu, maka ia tidak wajib memberitahukannya kepada pihak yang lain meski imbalan tersebut dibebankan ke dalam harga transaksi selama besarannya tidak mencolok (ziyadah fahisyah) yang menyebabkan kerugian.

Sebagai contoh, seorang berkata kepada temannya, ‘Juallah barang ini dengan harga Rp1.000.000,- dan komisimu sebesar Rp100.000,- dari harga tersebut.’  Jika ternyata barang itu di pasaran hanya seharga Rp900.000,-, broker tidak wajib memberitahukan besaran komisinya kepada pembeli selama ia menyetujui harga barang tersebut, serta tidak terdapat kecurangan dan penipuan.

– Sejumlah ahli fikih menegaskan bahwa upah broker berasal dari biaya yang dibebankan pada harga dalam transaksi murabahah yang berdasarkan pada amanah untuk menginformasikan harga transaksi. Tentu lebih layak hal itu diterapkan dalam hal upah broker yang dibebankan pada harga transaksi dalam transaksi jual-beli yang masih terjadi tawar-menawar harga, dimana tidak ada kewajiban untuk menginformasikan harga yang sebenarnya.

Al-Kasani Rahimahullah menerangkan jual-beli murabahah,

لَا بَأْسَ بِأَنْ يَلْحَقَ بِرَأْسِ الْمَالِ أُجْرَةُ الْقَصَّارِ وَالصَّبَّاغِ وَالْغَسَّالِ وَالْفَتَّالِ وَالْخَيَّاطِ وَالسِّمْسَارِ وَسَائِقِ الْغَنَمِ، وَالْكِرَاءُ، وَنَفَقَةُ الرَّقِيقِ مِنْ طَعَامِهِمْ وَكِسْوَتِهِمْ وَمَا لَا بُدَّ لَهُمْ مِنْهُ بِالْمَعْرُوفِ، وَعَلَفُ الدَّوَابِّ، وَيُبَاعُ مُرَابَحَةً وَتَوْلِيَةً عَلَى الْكُلِّ اعْتِبَارًا لِلْعُرْفِ؛ لِأَنَّ الْعَادَةَ فِيمَا بَيْنَ التُّجَّارِ أَنَّهُمْ يُلْحِقُونَ هَذِهِ الْمُؤَنَ بِرَأْسِ الْمَالِ وَيَعُدُّونَهَا مِنْهُ

“Tidak apa-apa jika upah orang yang memutihkan, orang yang mewarnai, orang yang mencuci,  orang yang membuat tali, orang yang menjahit, orang yang menjadi perantara, orang yang menggembalakan kambing, harga sewa, ongkos yang dihabiskan untuk makan, pakaian, dan item lain yang diperlukan budak pekerja secara wajar, dan pakan hewan disertakan dalam modal suatu barang dan barang itu lalu dijual secara murabahah atau tauliyah dengan menyertakan semua upah di atas dengan mempertimbangkan aturan yang berlaku di masyarakat; karena kebiasaan yang dipraktikkan para pedagang adalah mereka menyertakan seluruh item tersebut ke dalam modal dan menganggapnya sebagai bagian dari modal” (Badai’ ash-Shanai’ 5/223).

– Boleh melakukan kegiatan brokerage untuk perusahaan asuransi tertentu jika suatu negara mewajibkan setiap warga negaranya memiliki asuransi. Namun, jika asuransi bersifat opsional alias tidak diwajibkan, maka tidak boleh melakukan kegiatan brokerage untuk perusahaan asuransi (https://islamqa.info/ar/answers/286248/حكم-العمل-وسيطا-بين-الناس-وشركة-التامين-للتربح-من-ذلك-وتخفيف-الاقساط-عليهم).

Hal yang haram dilakukan broker

– Jika broker bekerja kepada salah satu pihak yang bertransaksi, ia tidak boleh berkonspirasi dengan pihak lain untuk menambah atau mengurangi harga transaksi, karena hal itu termasuk penipuan dan pengkhianatan. Terlebih lagi jika broker diberikan tanggung jawab untuk melaksanakan transaksi (kontrak). Ia adalah wakil dalam kondisi tersebut. Wakil adalah orang yang diberikan kepecayaan, sehingga setiap keuntungan yang dihasilkan diberikan kepada orang yang menjadikannya sebagai wakil (https://islamqa.info/ar/answers/183100/مساىل-في-احكام-السمسار-والوسيط-التجاري).

Dalam Mathalib Uli an-Nuha dinyatakan,

وهبة بائعٍ لوكيلٍ اشترى منه، كنقصٍ من الثمن، فتُلحق بالعقد؛ لأنها لموكله

“Status hibah (pemberian) dari penjual yang diberikan kepada wakil yang membeli barang darinya seperti pengurangan harga, sehingga nilai hibah tersebut disertakan pada akad karena diperuntukkan bagi orang yang menjadikannya wakil.” (Mathalib Uli an-Nuha 3/132)

– Jika kewenangan broker terbatas pada kegiatan memandu penjual atau pembeli, tanpa diberi kewenangan untuk melaksanakan transaksi (akad); serta tidak ada harga spesifik yang ditetapkan bagi broker, tapi ia diminta untuk mencari harga yang terbaik –baik harga penjualan atau harga pembelian-, maka konspirasi yang dilakukannya bersama dengan selain pihak yang mempekerjakannya merupakan kecurangan dan pengkhianatan (https://islamqa.info/ar/answers/183100/مساىل-في-احكام-السمسار-والوسيط-التجاري).

– Setiap orang tidak boleh melakukan intervensi dalam pengadaan pemerintah (tender publik) agar ditetapkan bagi individu tertentu, baik ia bekerja di institusi yang mengusulkan pengadaan tersebut atau tidak. Hal ini termasuk kecurangan dan pengkhianatan. Harta yang diperoleh dari kegiatan tersebut adalah harta yang haram.

Jika pihak yang bertindak sebagai perantara memiliki kewenangan langsung dalam hal membentuk kesepakatan (semisal pejabat pengadaan atau yang semisal), maka hal ini lebih buruk dan lebih besar dosanya. Harta yang diperoleh merupakan suap (risywah) dan hadiah yang haram, baik kesepakatan dilaksanakan melalui tender atau penunjukan langsung. Oleh karena itu, ia tidak boleh dijadikan sebagai rekanan karena akan menghantarkan pada hal yang haram (https://islamqa.info/ar/answers/143143/الوساطة-في-المناقصات-والتعاميد).

– Setiap orang yang telah diinstruksikan untuk melakukan pekerjaan intinya, maka ia tidak berhak memperoleh komisi dari pihak lain atas pekerjaan tersebut. Apabila ia menerimanya, maka komisi itu merupakan hadiah yang haram bagi pegawai (https://islamqa.info/ar/answers/133975/كلف-من-قبل-عمله-شراء-منزل-فهل-له-حق-في-السعي-السمسرة).

– Jika perantara tidak mengadakan kesepakatan bersama pembeli atau penjual untuk menerima komisi; atau perantara berstatus sebagai pegawai perusahaan yang melakukan negosiasi, maka dia tidak boleh menerima komisi atas upaya mediasi yang dilakukannya, karena dalam kondisi ini ia menjadi wakil bagi pembeli sekaligus wakil bagi perusahaan tersebut (https://islamqa.info/ar/answers/183100/مساىل-في-احكام-السمسار-والوسيط-التجاري).

Apakah perantara berhak memperoleh komisi jika transaksi dibatalkan?

Dalam hal ini terdapat perincian:

– Jika pembatalan transaksi karena kesepakatan kedua belah pihak (penjual dan pembeli) secara sukarela, misalnya melalui iqalah, maka komisi bagi broker/perantara tidak gugur karena upah bagi broker sudah berstatus permanen dengan berakhirnya pekerjaan.

– Jika pembatalan transaksi dikarenakan adanya sebab kuat, seperti terdapat cacat pada barang atau ternyata barang merupakan hak milik orang lain, maka terdapat dua pendapat ahli fikih terkait kelayakan perantara memperoleh komisi.

Pendapat pertama: broker tidak berhak memperoleh upah. Hal ini merupakan pendapat Malikiyah dan Hanabilah. Alasannya karena transaksi jual-beli menjadi rusak, sehingga pekerjaan yang menjadi dasar bagi hak perantara untuk memperoleh komisi tidak terlaksana dengan sempurna.

Pendapat kedua: broker berhak memperoleh upah, kecuali jika ternyata transaksi (akad) tersebut pada dasarnya tidak dapat dilaksanakan, semisal barang tersebut merupakan objek wakaf atau yang semisal. Hal ini merupakan pendapat Hanafiyah. Alasannya karena upah merupakan kompensasi atas pekerjaan yang telah dilakukan broker dan dalam hal ini ia telah menuntaskan pekerjaannya sehingga berhak memperoleh upah.

Pendapat yang tepat dalam hal ini adalah pendapat pertama, karena upah bagi aktvitas brokerage merupakan kompensasi atas tercapainya transaksi jual-beli. Dalam hal ini, transaksi tersebut telah dibatalkan karena sebab yang ada sebelum terjadi transaksi (akad), sehingga transaksi jual-beli pun tak dapat terlaksana [Ahkam al-Wasathah at-Tijariyah hal. 395].

Syaikh as-Sa’di menyampaikan kaidah berharga dalam kasus ini. Beliau menuturkan,

القاعدة الثالثة والخمسون: إذا تبين فساد العقد، بطل ما بني عليه، وإن فسخ فسخا اختياريا، لم تبطل العقود الطارئة قبل الفسخ، وهذا ضابط وفرق لطيف

“Kaidah Ke-Limapuluh Tiga: Apabila suatu akad diketahui rusak, maka batallah dampak yang menjadi konsekuensi akad tersebut. Namun, jika akad tersebut dibatalkan secara sukarela, maka akad-akad yang terjadi sebelum pembatalan tersebut tidak ikut batal. Hal ini merupakan norma dan prinsip turunan yang detil” (al-Qawa’id wa al-Ushul al-Jami’ah hal. 105).

Dalam Mathalib Uli an-Nuha dinyatakan,

ومن أخذ شيئا بسبب عقد بيع ونحوه، كدلال وكيال ووزان، فقال ابن عقيل -رحمه الله- في النظريات: إن فسخ بيع بنحو إقالة، مما يقف على تراض من المتعاقدين، كشرط الخيار لهما، ثم يفسخان البيع: لم يرد المأخوذ؛ للزوم البيع.

وإلا يقف الفسخ على تراضيهما، كفسخ لعيب، يرد المأخوذ بسبب العقد؛ لأن البيع وقع مترددا بين اللزوم وعدمه

“Terkait orang yang menerima komisi dari akad jual-beli dan semisalnya seperti yang diterima oleh perantara, pengukur, dan penimbang, maka dalam an-Nazhariyat, Ibnu Aqil rahimahullah menyatakan, ‘Apabila jual-beli dibatalkan karena iqalah yang berpijak pada kerelaan dari kedua belah pihak yang bertransaksi, seperti memanfaatkan syarat khiyar yang menjadi hak mereka, kemudian mereka membatalkan jual-beli itu, maka komisi yang telah diterima tidak perlu dikembalikan karena jual-beli itu telah terlaksana. Akan tetapi, jika pembatalan tersebut tidak berpijak pada kerelaan kedua belah pihak semisal pembatalan diajukan karena diketahui terdapat cacat pada barang, maka komisi yang telah diterima dengan sebab akad tersebut harus dikembalikan, karena jual-beli tersebut tidak diketahui pasti apakah telah terlaksana atau tidak” (Mathalib Uli an-Nuha 5/215).

Jika komoditas yang diperjual-belikan diketahui memiliki cacat atau milik pihak lain; maka tanggung jawab dibebankan kepada siapa?

Ulama berselisih pendapat dalam hal ini. Sebagian ulama menyatakan tanggung jawab dibebankan pada penjual, bukan pada broker. Sebagian ulama yang lain menyatakan hal tersebut menjadi tanggung jawab broker. Sementara ulama yang lain menyatakan tanggung jawab menjadi beban broker jika ia mengetahui cacat tersebut.

Pendapat terpilih dalam hal ini adalah broker sama sekali tidak bertanggung-jawab kecuali terdapat kesepakatan dan aturan yang berlaku di masyarakat bahwa jika terdapat aib pada barang maka hal itu menjadi tanggung jawab perantara, seperti Pemerintah mempersyaratkan kepada broker untuk memastikan kepemilikan barang, ketiadaan cacat; atau broker tahu cacat tersebut dan kondisi riil barang, namun mereka menyesatkan pembeli” (Ahkam al-Wasathah at-Tijariyah hal. 279-282).

Dalam al-Mudawwanah disebutkan,

قيل لمالك -رحمه الله-: أفرأيت ما يستأجر الناس من النخاسين الذين يبيعون لهم الرقيق، ويجعلون لهم الجُعل على ما يبيعون من ذلك، والذين يبيعون المواريث، ومثل هؤلاء الذين يبيعون للناس، يجعل لهم في ذلك الجعل… فيوجد من ذلك شيء مسروق أو خرق أو عيب؟

قال: ليس على واحد من هؤلاء ضمان، وإنما هم أجراء، أجَّروا أنفسهم وأبدانهم، وإنما وقعت العهدة على أرباب السلع فليتبعوهم، فإن وجدوا أربابها، وإلا لم يكن على هؤلاء الذين وصفت لك تِباعة فيما باعوا

“Imam Malik rahimahullah pernah ditanya, ‘Bagaimana pendapat anda perihal pedagang budak yang disewa orang untuk menjualkan budak-budak. Kemudian mereka diberi upah atas hasil penjualan tersebut. Demikian pula dengan orang yang menjualkan warisan, dimana mereka semisal dengan sebelumnya yang membantu penjualan barang milik orang lain, mereka memperoleh upah atas pekerjaan tersebut…namun ternyata belakangan diketahui bahwa dari barang yang dijual itu terdapat hasil curian, kerusakan, atau cacat?’

Beliau menjawab, ‘Tidak satu pun dari mereka berkewajiban mengganti. Mereka hanyalah orang yang diberi upah. Orang mengupah aktivitas fisik mereka. Tanggung jawab menjadi kewajiban pemilik barang, maka hendaknya pembeli menuntut ganti rugi kepada mereka jika mereka mampu menemukannya. Jika tidak mampu ditemukan, perantara yang mendeskripsikan barang kepada anda tidak menanggung akibat terhadap barang yang mereka jual.” (al-Mudawwanah 3/370).

Alhamdulillah. Demikian yang dapat disampaikan. Semoga bermanfaat.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Sumber: https://muslim.or.id/66697-fikih-ringkas-seputar-profesi-broker-atau-makelar.html

Mengerikan, Inilah Hari Ditampakkannya Amalan

Allah Subhanahu wa Taala berfirman:


“Dan diletakkanlah Kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: Aduhai celakalah kami, Kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya. Dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhan-mu tidak menganiaya seorang pun.” (QS Al-Kahfi: 49)

Allah taala mengabarkan tentang hari ditampakkan amalan-amalan, “Dan diletakkanlah Kitab,” yaitu catatan kebaikan dan keburukan. Allah memberikan setiap orang catatannya masing-masing. Orang yang beriman mengambil Kitab tersebut dengan tangan kanannya, sedangkan orang kafir mengambilnya dengan tangan kiri.

“Lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah” pada waktu itu, “ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya” yaitu di dalam kitab tersebut yang berisi keburukan-keburukan mereka. “Dan mereka berkata, Aduhai celakalah kami,” Mereka menyesal dan merasa sedih, sehingga mereka mengatakan, bahwa mereka dalam kecelakan dan kebinasaan. “Kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar,” dari dosa-dosa kami “melainkan ia mencatat semuanya.”

Kemudian Allah taala berkata di akhir penunjukan catatan-catatan tersebut, “Dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis),” baik berupa kebaikan maupun keburukan, telah ditetapkan di dalam kitab mereka dan telah diperhitungkan dan mereka telah diberikan balasan atas apa yang telah mereka lakukan. “Dan Tuhan-mu tidak menganiaya seorang pun,” dengan menambah keburukan mereka dengan keburukan yang lain, atau kebaikan mereka dengan kebaikan yang lain.

Dengan demikian, penghuni surga masuk ke dalam surga dan penghuni neraka masuk ke dalam neraka.1

Beriman kepada hari akhir adalah suatu keharusan bagi setiap muslim. Seorang muslim mengimani semua yang dikabarkan oleh Allah subhanahu wa taala di dalam Alquran dan semua yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam di dalam hadis-hadisnya.

Termasuk yang dikabarkan oleh Allah dan Rasulnya adalah yaumul-hisab (hari dimana amalan-amalan ditampakkan dan diperhitungkan oleh Allah) akan terjadi. Pada hari itu seluruh amalan kebaikan dan keburukan manusia akan diperlihatkan kepadanya dan dia tidak akan mengingkari hal tersebut.

Di antara hal yang harus diimani pada hari tersebut adalah keberadaan suatu kitab yang mencatat seluruh amalan, baik yang baik maupun yang buruk. Tidak ada yang terluput di dalam kitab tersebut, semuanya telah tercatat. Ayat yang sedang kita bahas ini berbicara tentang kitab tersebut.

Firman Allah taala: “Dan diletakkanlah Kitab”

Para ulama berselisih pendapat dalam mengartikan Kitab pada ayat ini. Pendapat-pendapat yang mereka sebutkan adalah sebagai berikut:

– Kitab tersebut adalah kitab yang berisi catatan-catatan amalan kebaikan dan keburukan manusia dan akan diberikan catatan tersebut kepada manusia dan diterima dengan tangan kanan atau tangan kiri.

– Kitab tersebut adalah kitab yang diletakkan di hadapan Allah taala.

– Kata Kitab tersebut hanyalah kiasan yang berarti al-hisab yaitu hari perhitungan amalan para hamba. 2

Pendapat yang benar adalah pendapat pertama, karena Allah subhanahu wa taala menyebutkan setelah potongan ayat ini:

“Lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya.”

Ini menunjukkan bahwa Kitab tersebut adalah kitab yang bisa dilihat oleh orang-orang yang bersalah pada hari tersebut. Penulisan Kitab dalam bentuk mufrad (menunjukkan sebuah kitab) pada ayat ini, tidak berarti bahwa kitab tersebut hanya satu saja. Ini hanya menunjukkan jenis kitab. Adapun kitab-kitab catatan amal sangatlah banyak. Setiap orang akan mendapatkan satu kitab catatan amalnya.

Allah subhanahu wa taala berfirman:

“Dan tiap-tiap manusia itu Telah kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. dan kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah Kitab yang dijumpainya terbuka” (QS Al-Isra: 13).

Firman Allah taala:

“Lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya.”

Perkataan kamu pada ayat tersebut bukanlah ditujukan kepada orang tertentu dan yang diajak bicara pada ayat ini bukanlah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada hari itu berada pada kedudukan yang tinggi dari tempat tersebut.3 Allah mengabarkan pada ayat ini bahwa mereka sangat ketakukan setelah melihat catatan keburukan yang pernah mereka lakukan, karena mereka mengetahui bahwa setelah menerima catatan amal tersebut mereka akan mendapatkan kesusahan yang lebih parah dan azab yang pedih dari Allah subhanahu wa taala. Oleh karena itu, mereka mengatakan:

Firman Allah taala:

“Dan mereka berkata, “Aduhai celakalah kami.”

Perkataan Aduhai celakalah kami, menunjukkan bahwa mereka benar-benar menyadari kesalahan yang telah mereka kerjakan karena telah menyia-nyiakan umur yang telah mereka jalani selama mereka hidup di dunia. Tidak ada yang bisa mereka lakukan kecuali mengumumkan kebinasaan yang akan mereka dapatkan setelah menerima kitab tersebut.

Kemudian mereka mengatakan:

“Kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya.”

Mereka keheranan dengan detailnya pencatatan dosa yang mereka lakukan. Allah mencatat seluruh dosa mereka dalam kitab tersebut, baik yang besar maupun yang kecil sekalipun. Ibnu Abbas radhiallahu anhuma mengatakan, “Ash-Shaghiirah (yang kecil) artinya tersenyum, sedangkan Al-Kabiirah (yang besar) artinya tertawa dengan suara keras.” Said bin Jubair rahimahullah mengatakan, “Ash-Shaghiirah (yang kecil) artinya dosa kecil, memegang dan mencium, sedangkan Al-Kabiirah (yang besar) artinya perbuatan zina.” 4


Ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “Kitab ini tidak menyisakan yang kecil dari dosa-dosa dan amalan-amalan kami, begitu pula yang besar darinya kecuali kitab ini mencatatnya.”5

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Jauhilah oleh kalian dosa-dosa kecil (yang diremehkan)! Sesungguhnya perumpamaan dosa-dosa kecil itu seperti suatu kaum yang turun di dalam wadi (sungai kering). Kemudian orang yang ini membawa satu kayu dan yang itu membawa satu kayu, sehingga mereka bisa memasak roti-roti mereka. Sesungguhnya dosa-dosa kecil jika dikerjakan terus-menerus oleh pelakunya maka dia akan membinasakannya.”6

Firman Allah taala:

“Dan mereka dapati apa yang telah kerjakan ada (tertulis).”

Ada dua pendapat dalam mengartikan kata () pada ayat ini. Di antara ulama ada yang mengartikan bahwa “mereka mendapatkan perhitungan atas apa yang mereka kerjakan benar-benar ada di hadapan mereka,” dan ada juga yang mengatakan bahwa “mereka mendapatkan balasan atas apa-apa yang mereka kerjakan benar-benar ada di hadapan mereka.” Allahu alam arti yang pertama lebih tepat, karena ayat ini berbicara tentang hari perhitungan (yaumul-hisaab).7

Ada beberapa ayat yang bermakna mirip dengan ayat ini, di antaranya adalah firman Allah taala:

“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (di mukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya. Dia ingin kalau kiranya antara dia dengan hari itu ada masa yang lama. Dan Allah memperingatkan kalian terhadap siksa-Nya. Dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya” (QS Ali Imran: 30).

Begitu pula firman-Nya:

“Pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya” (QS Al-Qiyaamah: 13).

Dan juga firman-Nya:

“Pada hari dinampakkan segala rahasia” (QS Ath-Thaariq: 9).

Firman Allah taala:

“Dan Tuhan-mu tidak menganiaya seorang pun.”

Allah subhanahu wa taala mengharamkan kezaliman pada diri-Nya dan pada makhluk-Nya. Allah tidak akan berbuat zalim kepada siapa pun. Allah subhanahu wa taala mengatakan di dalam hadits qudsi:

“Wahai hamba-hambaku! Sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman pada diriku dan Aku jadikan kezaliman haram di antara kalian.”8

Begitu pula dalam hal pencatatan amal, Allah tidak akan menghukum seseorang kecuali sesuai dengan kesalahan yang telah dia lakukan. Allah juga tidak akan mengurangi pahala orang yang taat kepada-Nya.9

Allah subhanahu wa taala juga berfirman:

“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, Maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. dan jika (amalan itu) Hanya seberat biji sawi pun pasti kami mendatangkan (pahala)nya. dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan” (QS Al-Anbiya: 47).

Begitu pula firman-Nya:

“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar” (QS An-Nisa: 40).

Ini merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beramal shalih. Allah tidak akan mengurangi pahala-pahala mereka, justru Allah akan melipatkangandakannya. Di antara bentuk keadilan Allah subhanahu wa taala, Allah akan mengadili hewan yang berbuat zalim karena telah menzalimi hewan lain, padahal kita ketahui bahwa hewan bukanlah makhluk yang dibebankan beban syariat.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya hewan-hewan yang tidak bertanduk akan diberikan hak qishaash (membalas) kepada hewan-hewan yang bertanduk di hari kiamat.”10 [Ustaz Sa’id Yai Ardiansyah, Lc.,M.A]

INILAH MOZAIK

Birrul Walidain

Birrul walidain merupakan ketaatan terhadap perintah Allah SWT, bukan sekadar memenuhi norma kehidupan secara umum.

Katakanlah: “Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apapun, berbuat baiklah kepada ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin.” (QS al-An’am [6]: 151).

“Dan Tuhan-mu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah kepada selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapak .” (QS al-Isra’ (17) : 23).

Dua ayat di atas menempatkan perintah berbakti kepada orang tua (birrul walidain) setelah larangan untuk mempersekutukan Allah SWT. Hal ini menunjukkan bahwa berbakti kepada orang tua termasuk amal utama dan harus mendapat perhatian dengan baik. Berbakti kepada orang tua merupakan ketaatan terhadap perintah Allah SWT dan bukan sekadar memenuhi norma kehidupan secara umum.

“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada ibu bapak, ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan…” (QS al-Ahqaf  [46]: 15).

Di samping perintah-Nya untuk berbuat baik kepada orang tua, yang diterangkan pada ayat di atas, Allah juga mengingatkan kita terhadap jasa dan pengorbanan orang tua, terutama ibu. Hal yang sama juga diterangkan pada ayat lain dengan tambahan untuk bersyukur kepada Allah dan kepada orang tua, serta tidak mengikuti mereka, jika mereka memaksa untuk mempersekutukan Allah dengan sesuatu. (QS Luqman [31]: 14-15).

Sikap dan perbuatan yang menunjukkan bakti kepada orang tua  adalah bersikap merendah dengan penuh sayang kepada orang tua dan selalu mendoakan mereka, tidak berkata ‘ah’ yaitu ucapan pendek yang menunjukkan kejengkelan, dan tidak membentak mereka. (QS al-Isra’ (17): 23 – 24).

Ada orang yang mendatangi Rasulullah SAW dan meminta izin untuk berjihad, kemudian beliau bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Orang itu menjawab, “Ya, masih hidup.” Rasulullah SAW berkata, “Berjihadlah dengan berbakti kepada keduanya”. (HR Muslim).

Rasulullah SAW juga bersabda, “Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.” (HR Bukhari).

Pada intinya, birrul walidain meliputi beberapa sikap dan perbuatan kepada orang tua. Pertama, berbuat baik kepada mereka. Kedua, memenuhi hak-hak mereka. Ketiga, taat kepada mereka. Keempat, melakukan perbuatan yang diridhai mereka dan tidak melakukan perbutan yang menyakiti mereka.

Jika orang tua telah tiada, kewajiban anak untuk berbakti kepada orang tua harus terus dilakukan. Selalu mendoakan mereka dan menjaga silturahim dengan para kerabat maupun teman mereka. (HR Ibnu Majah, Abu Daud dan Ibnu Hibban).

Ketika ibunya wafat, Sa’ad bin Ubadah  mendatangi Rasulullah SAW untuk bertanya. “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah wafat, apakah jika aku bersedekah untuknya bermanfaat baginya?”

Rasul menjawab: “Ya.” Sa’ad berkata: “Saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya.” (HR Muslim).

Kisah pada hadis ini menerangkan bahwa anak bisa bersedekah untuk orang tua tua yang telah tiada, sehingga orang tua mendapat pahala dari amal tersebut.

Wallahu a’lam.

OLEH SIGIT INDRIJONO

KHAZANAH REPUBLIKA

Harmonisasi Hukum Fikih Shalat Dhuha

SAAT mendengar isu kajian fikih yang bersangkutan mengenai amalan shalat Dhuha, dalam pikiran terlintas bahwasannya hukum terkait itu tidak hanya satu dari pendapat ulama. Seorang muslim tidak diwajibkan mendirikan shalat Dhuha setiap hari atau seorang muslim dianjurkan shalat Dhuha setiap hari, begitulah adanya.

Shalat Dhuha merupakan salah satu dari sejumlah amalan sunnah yang dicontohkan Rasulullah ﷺ. Artinya amalan sunnah tidak wajib hukumnya untuk dikerjakan, tetapi memiliki nilai pahala yang pasti diberikan oleh Allah ta’ala. Selain itu, shalat Dhuha memiliki hikmah dan manfaat yang luar biasa bermanfaat. Salah satunya adalah pengganti dari sedekah.

Diriwayatkan oleh Bukhari;

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَدَعُ الْعَمَلَ وَهُوَ يُحِبُّ أَنْ يَعْمَلَ بِهِ خَشْيَةَ أَنْ يَعْمَلَ بِهِ النَّاسُ فَيُفْرَضَ عَلَيْهِمْ وَمَا سَبَّحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُبْحَةَ الضُّحَى قَطُّ وَإِنِّي لَأُسَبِّحُهَا

“Telah menceritakan kepada kami [‘Abdullah bin Yusuf] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Malik] dari [Ibnu Syihab] dari [‘Urwah] dari [‘Aisyah radliallahu ‘anha] berkata; “Tidaklah Rasulullah ﷺ meninggalkan suatu amal padahal Beliau mencintai amal tersebut melainkan karena Beliau khawatir nanti orang-orang akan ikut mengamalkannya sehingga diwajibkan buat mereka. Dan tidaklah Beliau melaksanakan shalat Dhuha sekalipun kecuali pasti aku ikut melaksanakannya.” (Shahih Bukhari).

Sementara ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga pernah berkata, bahwa “Nabi ﷺ tidak melakukannya melainkan baru tiba dari perjalanan.”

Maksud dari hadits di atas tersebut ialah ‘Aisyah tidak pernah melihat, padahal belum tentu jika ‘Aisyah tidak melihat, Nabi ﷺ tidak melakukannya. Sebabnya ialah Nabi ﷺ jarang bersama ‘Aisyah pada waktu Dhuha karena mungkin sedang dalam perjalanan, atau berada di tempat tapi beliau di masjid atau tempat lain.

Apabila Nabi berada bersama istri-istri beliau, maka beliau berada di tempat ‘Aisyah hanyalah pada hari kesembilan, sehingga benarlah jika ‘Aisyah mengatakan, “saya tidak pernah melihat”. Atau, perkataan ‘Aisyah: “Nabi tidak melakukannya,” itu artinya tidak melakukannya terus-menerus.

Adapun cara mengharmonisasikan dua hadits di atas yang terlihat bertentangan, yaitu yang satu menafikkan dan yang satunya menetapkan. Dengan menafikkan sifat rajinnya Nabi ﷺ, bukan shalat beliau.

Sementara terdapat pendapat Ibnu Umar yang menganggap bid’ah shalat Dhuha, maksud beliau adalah karena shalat Dhuha di masjid dalam rangka pamer. Alasan kedua dikarenakan dilakukan terus menerus sedangkan Nabi tidak melakukannya terus menerus, sehingga dikhawatirkan jika dianggap fardhu. Namun ini adalah untuk Nabi ﷺ.

Adapun untuk umat Islam, disunnahkan untuk terus-menerus melakukannya sebagaimana dalam hadits-hadits berikut:

1. Hadits riwayat Abu Hurairah:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : أَوْصَانِي خَلِيلِي – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ أيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَرَكْعَتَي الضُّحَى ، وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَرْقُدَ . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
وَالإيتَارُ قَبْلَ النَّوْمِ إنَّمَا يُسْتَحَبُّ لِمَنْ لاَ يَثِقُ بِالاسْتِيقَاظِ آخِرَ اللَّيْلِ فَإنْ وَثِقَ ، فَآخِرُ اللَّيْلِ أفْضَلُ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kekasihku—Rasulullah ﷺ—mewasiatkan kepadaku untuk puasa tiga hari setiap bulan, mengerjakan shalat Dhuha dua rakaat, dan melakukan shalat witir sebelum tidur.” (HR. Bukhari, no. 1178 dan Muslim, no. 721)

2. Hadits riwayat Abu ad-Dardak:

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ رضي الله عنه قَالَ :أَوْصَانِي حَبِيبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ لَنْ أَدَعَهُنَّ مَا عِشْتُ : بِصِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَصَلَاةِ الضُّحَى ، وَبِأَنْ لَا أَنَامَ حَتَّى أُوتِرَ

“Dari Abu ad-Dardak (diriwayatkan bahwa) ia berkata: “Kekasihku (Rasulullah) ﷺ mewasiatiku tiga perkara yang tidak akan aku tinggalkan selama aku masih hidup: Puasa tiga hari setiap bulan, shalat Dhuha, dan aku tidak tidur sehingga shalat witir dahulu.” (HR: Muslim).

3. Hadits riwayat Abu Dzar:

عَنْ أَبِـيْ ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوْا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا رَسُوْلَ اللّٰـهِ ! ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُوْرِ بِاْلأُجُوْرِ ؛ يُصَلُّوْنَ كَمَـا نُصَلِّـيْ ، وَيَصُوْمُوْنَ كَمَـا نَصُوْمُ ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ بِفُضُوْلِ أَمْوَالِـهِمْ. قَالَ : «أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللّٰـهُ لَكُمْ مَا تَصَدَّقُوْنَ ؟ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةً ، وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةً ، وَكُلِّ تَـحْمِيْدَةٍ صَدَقَةً ، وَكُلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةً ، وَأَمْرٌ بِالْـمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ ، وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ ، وَفِـيْ بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ». قَالُوْا : يَا رَسُوْلَ اللّٰـهِ ! أَيَأْتِـيْ أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ ؟ قَالَ : «أَرَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِـي حَرَامٍ، أَكَانَ عَلَيْهِ فِيْهَا وِزْرٌ ؟ فَكَذٰلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِـي الْـحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرًا»

Dari Abu Dzar Radhiyallahu anhu bahwa beberapa orang dari Sahabat berkata kepada Nabi ﷺ: “Wahai Rasulullah! Orang-orang kaya telah pergi dengan membawa banyak pahala. Mereka shalat seperti kami shalat, mereka puasa seperti kami puasa, dan mereka dapat bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” Beliau ﷺ bersabda : “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian sesuatu yang dapat kalian sedekahkan? Sesungguhnya pada setiap tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, menyuruh kepada yang ma’ruf adalah sedekah, mencegah dari yang mungkar adalah sedekah, dan salah seorang dari kalian bercampur (berjima’) dengan istrinya adalah sedekah.” Mereka bertanya : “Wahai Rasulullah! Apakah jika salah seorang dari kami mendatangi syahwatnya (bersetubuh dengan istrinya) maka ia mendapat pahala di dalamnya?” Beliau menjawab : “Apa pendapat kalian seandainya ia melampiaskan syahwatnya pada yang haram, bukankah ia mendapatkan dosa? Maka demikian pula jika ia melampiaskan syahwatnya pada yang halal, maka ia memperoleh pahala.” (HR: Muslim).

Berdasarkan hadits-hadits di atas, kita disunnahkan untuk melakukan shalat Dhuha semampu kita tanpa melalaikan kewajiban-kewajiban. Wallahu a’lam bish shawab.*/Asmaul Afifah Irfindari, aktivis Himpunan Mahasiswa Islam.

HIDAYATULLAH

5 Kabar Gembira Bagi Mereka yang Berjuang Sholat Subuh

Allah SWT memberikan anugerah bagi mereka yang melaksanakan Sholat Subuh.

Menunaikan Sholat Subuh memiliki keutamaan tersendiri. Rasulullah SAW pun menyampaikan kabar gembira bagi mereka yang melaksanakan sholat tersebut. Setidaknya, ada lima kabar gembira itu.

Pertama 

بَشِّر الْمَشّائين في الظُّلَم إلى المساجد بِالنّور التام يوم القيامة “Sampaikan kabar gembira kepada orang-orang berjalan dalam kegelapan menuju masjid-masjid yang terang-benderang pada Hari Kebangkitan.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah)

Hadits tersebut menunjukkan bahwa ketika manusia berjalan dalam kegelapan dunia, Allah SWT memberi kompensasi kepada mereka dengan cahaya sempurna. Ini akan terjadi pada Hari Kiamat kelak. 

Kedua 

مَن صلّى الصّبْح فهو في ذِمّة الله، فلا يَطلبنّكم الله مِن ذِمّته بِشيء فيُدْرِكه فَيَكبّه في نار جهنم “Siapa yang melaksanakan Sholat Subuh, maka dia berada dalam lindungan Allah SWT. Maka jangan sampai Allah menuntut kalian dengan suatu hal karena lindungan-Nya. Karena siapa yang dituntut karena lindungan-Nya, Allah pasti akan menemukannya dan melemparnya ke Neraka jahannam.” (HR Muslim) 

Ketiga 

رَكْعَتَا الفَجر خير مِن الدنيا وما فيها “Dua rakaat fajar itu lebih baik dari dunia dan seisinya.” (HR Muslim)

Jika sholat fajar dua rakaat (sholat sunnah qobliyah Subuh) itu lebih baik, lantas bagaimana dengan Sholat Subuh? Mana yang lebih besar pahalanya? Dalam hadits Qudsi riwayat Bukhari, disebutkan: 

وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ “Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih aku cintai, daripada yang telah Aku wajibkan…”

Keempat 

الملائكة يتعاقبون؛ ملائكة بالليل وملائكة بالنهار، ويجتمعون في صلاة الفجر والعصر ثم يَعرُج إليه الذين بَاتُوا فيكم، فيسألهم – وهو أعلم – فيقول: كيف تَرَكْتُم عبادي؟ فيقولون: تَرَكْنَاهم يُصَلّون، وأتَينَاهُم يُصَلّون

“Allah memiliki para malaikat yang bergantian di antara kalian, malaikat pada malam hari dan malaikat pada siang hari, mereka berkumpul ketika sholat fajar dan Sholat Ashar.

Lantas malaikat yang bermalam naik dan Allah menanyai mereka –sekalipun Dia paling tahu terhadap mereka–bagaimana kalian tinggalkan hamba-hamba-Ku? Mereka (malaikat) menjawab, “Kami tinggalkan mereka dalam keadaan sholat, dan kami datangi mereka juga dalam keadaan sholat.” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah RA)

Karena itu, ketika seorang Muslim senantiasa melaksanakan Sholat Subuh, maka di saat itulah para malaikat hadir berkumpul.

Kelima 

Melaksanakan Sholat Subuh akan membuat seseorang terhindar dari kemalasan dan kejahatan. Hal ini diketahui sebagaimana hadits Bukhari dan Muslim. Rasulullah SAW mengatakan, iblis membuat tiga simpul ikatan di belakang kepala salah satu dari kalian ketika tidur, dan menggoda agar terus tertidur lelap.

فإن استيقظ فَذَكَر الله انْحَلّت عُقْدة، فإن تَوضّأ انْحَلّت عُقْدة، فإن صَلّى انْحَلّت عُقْدة؛ فأصبح نشيطا طيب النفس، وإلاّ أصبح خَبِيث النّفْس كَسْلان

“…Jika dia bangun dan mengingat Allah, ikatan tersebut dilepaskan, dan jika dia berwudhu, ikatannya dilepaskan, dan jika dia sholat, ikatannya dilepaskan. Kemudian dia menjadi energik dan baik hati. Jika tidak demikian, maka ia akan menjadi jahat dan malas.”

Sumber: alukah  

KHAZANAH REPUBLIKA

Keputusan Haji Saudi Diharap Akhiri Spekulasi Negatif

Pemerintah Kerajaan Arab Saudi mengumumkan kabar terbaru mengenai musim haji 2021. Para jamaah yang bisa berhaji tahun ini hanya warga Saudi dan ekspatriat yang tinggal di Saudi.

Menanggapinya, Direktur Utama PT. Andromeda Atria Wisata, Zainal Abidin, merespons positif pengumuman yang dikeluarkan oleh Kerajaan Saudi. Menurutnya, pengumuman tersebut sekaligus menepis isu-isu negatif berkaitan pelaksanaan haji 2021 yang mengemuka dalam beberapa waktu terakhir.

“Akhirnya ini keputusannya. Semoga ini mengakhiri spekulasi yang selama ini lebih kepada hoaks yang mewarnai asumsi-asumsi negatif,” kata Zainal kepada Republika, Ahad (13/6).

Zainal berharap para calon jamaah haji dan masyarakat umum mengetahui dan menerima keputusan Saudi. “Syukurlah sekarang semua terjawab sudah,” lanjut Zainal.

Selain itu, Zainal menaruh harap agar pandemi Covid-19 dapat segera teratasi. Dengan demikian pelaksanaan haji tak lagi terkendala seperti saat ini.

“Semoga Covid 19 segera berlalu atau paling tidak semua pihak mampu  membangun harmoni di tengah Covid-19,” ujar Zainal.

Sebelumnya, Pemerintah Arab Saudi memutuskan untuk tidak membuka calon jamaah haji dari luar Arab Saudi. Mereka hanya membuka untuk calon jamaah haji dari dalam negeri sebanyak 60 ribu orang.

IHRAM

Arab Saudi Larang Jamaah Haji dari Luar Negeri

Arab Saudi hanya akan menerima 60 ribu warga dan penduduk untuk menunaikan ibadah haji tahun ini sekaligus menutup pintu bagi jamaah dari luar negeri.

“Hanya 60 ribu orang dari semua negara yang tinggal di Arab Saudi diizinkan melakukan ibadah haji karena pandemi virus corona,” ujar Kementerian Haji dan Umrah Saudi dalam pernyataan tertulis.

Saudi menambahkan mereka yang tidak memiliki penyakit kronis, berusia antara 18 dan 65 tahun dan telah divaksinasi, akan diizinkan untuk melaksanakan haji. Pada 9 Mei, Saudi telah mengumumkan haji tahun ini akan diadakan di tengah langkah-langkah protokol kesehatan untuk mencegah Covid-19.

Haji adalah salah satu dari lima rukun Islam di mana seorang Muslim diharuskan melakukannya setidaknya sekali seumur hidup jika mereka mampu. Sebanyak 15,61 juta dosis vaksin telah diberikan di Arab Saudi, menurut Our World in Data.

Sedangkan Covid-19 di Saudi mencapai 463.703 kasus, termasuk 7.537 kematian. Sejak pertama kali muncul di China pada Desember 2019, virus korona baru telah menyebar ke setidaknya 192 negara dan wilayah.

AS, India, dan Brasil saat ini adalah negara-negara yang paling terpukul di dunia. Pandemi telah menewaskan lebih dari 3,78 juta orang di seluruh dunia, dengan lebih dari 175,32 juta kasus, menurut angka yang dikumpulkan oleh Universitas Johns Hopkins AS.

IHRAM

Suami Sering Makan Enak di Luar Rumah, Istri Makan Seadanya?

Salah satu kebiasaan suami yang harus segera diubah adalah sering makan di luar dengan makanan dan minuman yang enak, sedangkan istri dan anak-anaknya makan di rumah dengan makanan biasa dan seadanya. Misalnya, suami terlalu sering keluar rumah bersama teman-temannya, lalu makan di restoran atau kafe ditambah kopi yang mahal, sedangkan anak istri di rumah makan ala kadarnya. Atau contoh lainnya, suami terlalu sering keluar bersama teman-temannya dalam berbagai acara tanpa mengajak anak istrinya, tentunya dalam berbagai acara itu ada makan-makan enak.

Memang benar, suami tugasnya mencari nafkah di luar rumah. Akan tetapi, hendaknya suami tetap memperhatikan anak dan istri di rumah. Islam memerintahkan agar suami memberikan makan kepada keluarganya apa yang ia makan, sehingga makanannya sama bagusnya dengan apa yang ia makan. Apabila suami makan enak dan bergizi, tentu ia harus memberi makan pada anak-istri dengan makanan yang sama. Apabila makan di luar rumah dengan menu istimewa, bisa dibungkus dan dibawa pulang untuk keluarga di rumah, jika memang memungkinkan.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ

“Hendaknya dia memberi  makanan bagi istrinya sebagaimana yang dia makan, memberi pakaian baginya sebagaimana (pakaian) yang dipakai, tidak memukul wajahnya, tidak mendokan keburukan baginya (mencelanya), dan tidak memboikotnya, kecuali di dalam rumah (saja)” [HR. Abu Dawud, sahih].

Imam Malik rahimahullah menjelaskan tentang suami yang buruk, makan enak di luar dan meninggalkan (menelantarkan) keluarganya. Beliau rahimahullah berkata,

قبيحٌ بالرجل أن يذهب يأكل الطيبات، ويترك أهل

“Betapa buruk laki-laki yang pergi makan makanan enak dan menelantarkan keluarganya (di rumah)” [‘Umdatul-Qaariy, 11: 198].

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan hadis tersebut bahwa hendaknya suami jangan makan dengan makanan yang khusus bagi dia (biasanya yang enak-enak saja). Beliau rahimahullah berkata,

“يعني : لا تخص نفسك بالكسوة دونها ، ولا بالطعام دونها ، بل هي شريكة لك ، يجب عليك أن تنفق عليها كما تنفق على نفسك ، حتى إن كثيرا من العلماء يقول : إذا لم ينفق الرجل على زوجته وطالبت بالفسخ عند القاضي ، فللقاضي أن يفسخ النكاح ؛ لأنه قصَّر بحقها الواجب لها” انتهى.

“Janganlah Engkau khususkan pakaian dan makananmu daripada istrimu, bahkan harus sama (kualitasnya). Engkau wajib memberi nafkah sebagaimana Engkau menafkahi dirimu. Sampai-sampai para ulama mengatakan: apabila seorang suami tidak memberikan nafkah kepada istrinya, lalu istrinya meminta cerai kepada qadhi, maka qadhi boleh menceraikan, karena suami telah melalaikan hak istri yang wajib” [Syarh Riyadhus Shalihin, 3: 131].

Suami wajib memberikan nafkah dengan cara yang baik

Hendaknya suami sadar betul akan tanggung jawab ini, yaitu memberikan nafkah dan memberi makan keluarga dengan cara yang patut dan selayaknya. Artinya, ia berusaha memberi makan dan pakaian sebagaimana yang ia makan dan kenakan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا

“ … Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya” [QS. Al-Baqarah: 233].

Seorang suami juga hendaknya sadar bahwa apa yang ia berikan pada anak dan istrinya merupakan infak  yang besar pahalanya, lebih besar pahalanya daripada infak yang hukumnya sunnah secara umum.

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي سَبيْلِ اللهِ، وَدِيْناَرٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ، وَدِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِيْنٍ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعَظَمُهَا أَجْرًا الَّذِيْ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ.

“Uang yang Engkau infakkan di jalan Allah, uang yang Engkau infakkan untuk memerdekakan seorang hamba (budak), uang yang Engkau infakkan untuk orang miskin, dan uang yang Engkau infakkan untuk keluargamu, maka yang lebih besar ganjarannya adalah uang yang Engkau infakkan kepada keluargamu” [HR. Muslim].

Dalam redaksi lainnya, dikhususkan memberi nafkah kepada istri. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلاَّ أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ

” … Dan sesungguhnya, tidaklah Engkau menafkahkan sesuatu dengan niat untuk mencari wajah Allah, melainkan Engkau diberi pahala dengannya, sampai apa yang Engkau berikan ke mulut istrimu akan mendapat ganjaran” [HR. Bukhari dan Muslim].

Mengapa demikian? Karena memberi infak kepada istri hukumnya wajib, sedangkan infak sedekah itu hukumnya sunnah. Amalan wajib lebih Allah Ta’ala cintai dan lebih besar pahalanya daripada amalan sunnah.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ُ

“Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Barang siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku telah mengobarkan peperangan dengannya. Dan tidaklah ada seorang hamba-Ku yang mendekatkan dirinya kepada-Ku, dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada amalan yang Aku WAJIBKAN kepadanya …’” [HR. Bukhari no. 6502].

Ibnu Hajar Al-Asqalani Rahimahullah menjelaskan hadis ini,

فكانت الفرائض أكمل فلهذا كانت أحب إلى الله تعالى وأشد تقريبا

“Amalan-amalan yang wajib itu lebih sempurna. Oleh karena itu, (amalan wajib) lebih dicintai oleh Allah Ta’ala dan lebih mendekatkan diri (taqarrub)” [Fahtul Baariy, 11: 343].

Demikian, semoga bermanfaat.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/66562-suami-sering-makan-enak-di-luar-rumah-istri-makan-seadanya.html