Hikmah Larangan Shalat bagi Wanita Haid

Perlu kita ingat kembali bahwa perempuan memiliki keistimewaan yang tak dimiliki oleh laki-laki, yakni perempuan memiliki kebiasaan haid. Dalam bahasa medis, haid disebut menstruasi. Haid merupakan salah satu tanda baligh seorang perempuan. Dan perlu disadari, bahwa menurut medis terdapat banyak manfaat di dalam haid. Apa hikmah larangan shalat bagi wanita haid?

Pada masa-masa haid kaum perempuan diberi perlakuan khusus dalam menjalankan syariat. Sebab, haid merupakan salah satu kodrat seorang perempuan yang telah ditrntukan oleh allah swt. satu di antara perlakuan khusus yang diberikan oleh syariat adalah gugurnya kewajiban shalat bagi perempuan yang sedang haid.

Di dalam kajian ilmu fikih klasik maupun kontemporer disebutkan bahwa haid secara bahasa adalah mengalir. Sedangkan secara istilah haid adalah darah yang keluar dari pangkal rahim perempuan ketika berumur (minimal) Sembilan tahun. Paling sedikitnya haid adalah satu hari satu malam dan paling banyaknya haid adalah lima belas hari. Sementara, pada umumnya seorang perempuan haid selama 6 sampai 7 hari.

Menurut pakar ilmu kesehatan, menstruasi adalah pendarahan uterus secara periodik dan siklus yang normal terjadi pada wanita yang puber dan disertai dengan pelepasan dinding rahim (endometrium) yang berisi pembuluh darah. Siklus ini merupakan proses organ reproduksi perempuan ketika tidak mengalami masa kehamilan. Menurut bidang kesehatan, siklus menstruasi pada umumnya adalah 28 hari, dengan lama menstruasi sekitar 4 sampai 6 hari. Disebutkan juga bahwa jumlah darah yang keluar ketika haid rata-rata sebanyak 20-60 mililiter.

Allah Ta’ala telah menyinggung perempuan haid di dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah,

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah, “Haid itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhi diri dari wanita pada waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (QS. Al-Baqarah: 222)

Ayat di atas memberikan isyarat bahwa ketika masa haid seorang suami tidak boleh berhubungan badan (bersenang-senang) dengan istrinya di tempat keluarnya darah, karena darah dan tempat keluarnya darah merupakan hal yang kotor. Berhubungan badan diperbolehkan kembali ketika istri telah selesai dari masa haid.

Larangan Bagi Perempuan Haid Menurut Ilmu Kesehatan

Berikut merupakan beberapa larangan bagi wanita yang sedang menstruasi berdasarkan ilmu kesehatan:

Pertama, menurut dokter Jaime Melissa Knopman, MD. Menurutnya, pada masa menstruasi wanita dilarang melakukan waxingWaxing ialah usaha wanita agar tubuh terlihat mulus dan bersih. Hal ini dikarenakan ketika menstruasi, reseptor rasa sakit lebih tinggi dan kulit lebih sensitif.

Kedua, wanita menstruasi dilarang melakukan hubungan seksual tanpa ada pengaman. Hal ini dikarenakan darah menstruasi merupakan media yang mudah untuk membuat virus dan bakteri masuk kedalam tubuh. Oleh karenanya, penularan penyakit HIV berpotensi lebih tinggi selama periode menstruasi.

Ketiga, tidur terlalu malam. Tidur yang cukup bagi perempuan yang haid itu penting. Ketika tidur terlalu malam, akan meningkatkan hormon stres kortisol (hormon yang dihasilkan ketika seseorang merasakan stres) sehingga menyebabkan hormon di dalam tubuh menjadi tidak seimbang. Hal ini akan berakibat buruk bagi orang yang sedang menstruasi, seperti darah yang keluar tidak lancar.

Hikmah Larangan Shalat bagi Wanita Haid

Dalam pandangan fikih, terdapat beberapa hal yang dilarang bagi wanita yang sedang haid, yakni larangan melakukan shalat, puasa, I’tikaf, menyentuh mushaf dan berhubungan badan. Dari beberapa larangan syariat terhadap wanita yang sedang haid tersebut, penulis akan menitik fokuskan pembahasan pada larangan melakukan shalat bagi wanita yang sedang haid. Ada rahasia apakah di balik larangan shalat bagi wanita haid, padahal shalat merupakan ritual ibadah yang harus dilakukan oleh ummat Islam setiap harinya? Berikut penjelasannya.

Wanita haid dilarang melakukan shalat, karena shalat yang mereka lakukan tidak akan sah. Hal ini dikarenakan mereka tidak memenuhi satu syarat yang harus dipenuhi dalam shalat, yaitu bersihnya anggota badan dari najis dan kotoran. Sebagaimana pada ayat yang telah disebutkan di atas, bahwa darah haid dan tempat keluarnya darah merupakan kotoran yang tidak bisa dibawa kedalam shalat. Tidak hanya itu, bagi wanita haid juga tidak diperintahkan untuk mengganti shalat yang tertinggal.

Syaikh Ali bin Ahmad Al-Jurjawi dalam kitabnya Hikmah At-Tasyri’ Wa Falsafatuhu menyebutkan bahwa terdapat tiga hikmah di balik gugurnya kewajiban shalat bagi perempuan yang sedang menstruasi/haid, sebagaimana berikut:

Pertama, sulitnya melakukan bersesuci ketika haid, karena darah haid keluar terus menerus dan tidak diketahui kapan berhentinya. Oleh karena itu, shalat tidak diwajibkan karena akan mempersulit perempuan yang haid untuk membersihkan darah dan tempat keluarnya secara terus menerus.

Kedua, adanya kasih sayang dari syariat kepada perempuan yang sedang haid. Hal ini bisa kita lihat dari aturan tidak adanya kewajiban untuk melakukan qadha’ atas shalat yang ia tinggalkan ketika haid. Sebab, jika ia harus melakukan qadha’ atas setiap shalat yang ia tinggalkan ketika ia haid, maka tentu waktunya akan banyak dihabiskan untuk melakukan qadha’ shalat, sementara di sisi lain banyak kemaslahatan yang mestinya ia lakukan.

Berbeda halnya dengan puasa, seorang perempuan yang haid tetap diperintahkan untuk melakukan qadha’ atas setiap puasa yang ia tinggalkan. Hal ini dikarenakan kewajiban puasa hanya dilakukan selama satu tahun sekali. Oleh karena itu, perempuan yang haid tetap harus mengganti puasa yang ditinggalkannya, karena mudah dan tidak akan menghabiskan banyak waktu.

Ketiga, perempuan haid dianjurkan untuk bersedekah ketika masa haid. Hal ini dalam rangka untuk menutupi ibadah yang mereka tinggalkan ketika haid.

Hikmah di atas menunjukkan bahwa betapa besarnya perhatian agama terhadap kesulitan yang dirasakan oleh kaum perempuan ketika haid. Oleh karena itu, agama memberikan rukhsah (dispensasi) bagi mereka kaum perempuan agar mereka tidak merasa kesulitan dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt. dalam Al-Qur’an Allah berfirman,

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ

Dan Ia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS. Al-Hajj: 78)

Walhasil, dapat disimpulkan bahwa agama Islam selalu mempunyai jalan keluar agar ummatnya tidak merasa kesulitan. Jika perkara yang dilakukan oleh ummat terlalu luas, maka Islam memberikan peluang untuk mempersempit. Sedangkan, jika perkara yang dilakukan itu terlalu sempit, maka Islam memberikan hak kepada ummatnya untuk memperluas. Hal ini bertujuan agar tidak menjadi beban yang berat bagi mereka dan memudahkan ummat Islam dalam menjalankan perintah dan larangan dari allah dan Rasulnya. Wallahua’lam.

BINCANG SYARIAH

Alasan Islam Melarang Minum Alkohol

Alkohol tidak diragukan lagi berbahaya dan berdampak buruk pada pikiran dan tubuh.

Pendekatan holistik Islam terhadap kesehatan dan kesejahteraan adalah melarang segala sesuatu yang berbahaya atau sebagian besar berbahaya. Oleh karena itu, Islam mengambil sikap tegas terhadap alkohol dan melarang konsumsinya dalam jumlah kecil atau besar.

Alkohol tidak diragukan lagi berbahaya dan berdampak buruk pada pikiran dan tubuh. Ini mengaburkan pikiran, menyebabkan penyakit, membuang-buang uang, dan menghancurkan individu, keluarga, dan komunitas. Para peneliti telah membuktikan ada hubungan kuat antara alkohol dan perjudian. Minum alkohol merusak penilaian, menurunkan hambatan, dan mendorong jenis pengambilan risiko yang terlibat dalam perjudian dan aktivitas berbahaya.

Allah SWT memberi tahu kita dalam Alquran, minuman keras dan perjudian adalah kekejian yang berasal dari setan. Allah memerintahkan kita untuk menghindarinya. (Alquran 5: 90)

Di Australia, negara dengan populasi sekitar 20 juta, ada sekitar 3.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyalahgunaan alkohol, sementara 65 ribu lainnya dirawat di rumah sakit. Studi secara konsisten mengungkapkan hubungan antara minum berat dan kerusakan otak. Sekitar 2.500 orang Australia dirawat setiap tahun karena kerusakan otak terkait alkohol.

Penelitian di Inggris menunjukkan enam persen kematian akibat kanker terkait dengan penyalahgunaan alkohol. Pusat Pencegahan Kanker Harvard mengatakan minum alkohol sangat meningkatkan risiko berbagai jenis kanker.

Alkohol dianggap sangat karsinogenik, meningkatkan risiko kanker mulut, faring, laring, kerongkongan, hati, dan payudara. Meminumnya selama kehamilan dapat menyebabkan Sindrom Alkohol Janin, menyebabkan anak menjadi kecil saat lahir, memiliki beberapa cacat wajah, bukaan mata kecil, jari tangan atau kaki berselaput atau bahkan hilang, kelainan bentuk organ, ketidakmampuan belajar, keterbelakangan mental dan banyak lagi.

Para peneliti di Australia juga memperkirakan 47 persen dari semua yang melakukan kejahatan kekerasan dan 43 persen dari semua korban kejahatan ini mabuk sebelum peristiwa tersebut. Alkohol bertanggung jawab atas 44 persen cedera kebakaran, 34 persen jatuh dan tenggelam, 30 persen kecelakaan mobil, 16 persen kasus pelecehan anak, dan tujuh persen kecelakaan industri.

Meskipun jelas alkohol bertanggung jawab atas banyak kejahatan, itu legal dan bahkan dianjurkan di sebagian besar masyarakat. Di negara-negara Muslim dimana alkohol dilarang, banyak orang masih merasa sulit menahan godaan dan menjadi mangsa alkoholisme.

Hebatnya lagi, meski bukti-bukti ilmiah secara terang-benderang memaparkan bahaya dari alkohol, orang-orang di seluruh dunia masih terus mengonsumsinya dalam jumlah yang terus meningkat. Mengapa?

Dilansir di About Islam, Ini adalah salah satu alat yang digunakan setan untuk mengalihkan perhatian umat manusia dari menyembah Allah. Allah SWT menyatakan dengan jelas dalam Alquran bahwa setan adalah musuh terbuka bagi umat manusia.

Dengan meminum alkohol, kita mengundang setan ke dalam hidup kita dan membuatnya mudah untuk mengalihkan perhatian kita dari tujuan hidup kita yang sebenarnya, yakni untuk menyembah Allah. “Sesungguhnya setan adalah musuhmu, maka perlakukanlah dia sebagai musuh. Dia hanya mengajak para pengikutnya agar mereka menjadi penghuni api yang menyala-nyala.” (Alquran 35:6)

Alkohol mempengaruhi pikiran dan membuat perilaku berdosa dan tindakan jahat tampak adil. Ini menciptakan permusuhan dan kebencian di antara orang-orang, mencegah mereka dari mengingat Allah dan mengalihkan mereka dari berdoa, serta mengajak mereka untuk berpartisipasi dalam hubungan seksual yang melanggar hukum.

Alkohol menghasilkan rasa malu, penyesalan, aib, dan membuat peminum menjadi tidak waras. Lalu alkohol mengarah pada pengungkapan rahasia dan pengungkapan kesalahan.

Setan hanya ingin menimbulkan permusuhan dan kebencian antara kamu dengan minuman keras dan judi, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan dari sholat. Jadi, apakah kamu tidak akan ragu? (Alquran 5:91)

Di Arab pra-Islam, penggunaan alkohol tersebar luas. Untuk memberantas kejahatan ini, Allah dalam rahmat-Nya mengungkapkan larangan secara bertahap.

Pertama, Allah menjelaskan kepada mereka bahwa bahaya minum alkohol lebih besar daripada manfaatnya. Selanjutnya, Allah mengatakan kepada umat Islam untuk tidak sholat dalam keadaan mabuk. Terakhir, Allah menurunkan sebuah ayat yang melarang alkohol sama sekali.

Wahai orang-orang yang beriman! Minuman keras (semua jenis minuman beralkohol), perjudian, penyembahan berhala, dan ramalan, adalah kekejian buatan tangan setan. Jadi hindari itu agar kamu bisa sukses. (Alquran 5: 90)

Lalu mengapa begitu sulit menghapus alkohol di abad ke-21? Semua kekuatan dan kekuatan berasal dari Allah. Momok seperti alkohol dapat diberantas hanya ketika mereka yang terpengaruh oleh alkohol berbalik kepada Allah dengan penyerahan diri sepenuhnya.

Alquran adalah kitab petunjuk yang diturunkan kepada seluruh umat manusia. Ini adalah seperangkat instruksi dari Sang Pencipta untuk ciptaan-Nya. Jika kita mengikuti petunjuk ini, hidup kita akan mudah dan tenang, bahkan dalam menghadapi bencana dan kecelakaan.

Islam berkomitmen mendorong dan memfasilitasi mereka yang ingin bertobat dari perbuatan jahat dan perilaku berdosa. Allah menerima pertaubatan dari mereka yang benar-benar menyesali perbuatannya dan berkomitmen menjauhi dosa. Muslim tidak mengucilkan mereka yang telah melakukan kesalahan, tetapi justru menjaga mereka tetap dalam Islam, mendorong mereka mencari kedekatan dengan Allah yang memungkinkan mereka meninggalkan perilaku berdosa.

Islam adalah agama yang berorientasi pada komunitas. Tidak ada tempat bagi seorang individu untuk melakukan apa yang dia ingin lakukan jika itu menyakiti orang lain. 

Penyalahgunaan alkohol mempengaruhi tidak hanya pecandu alkohol tetapi juga keluarganya dan masyarakat. Ada hikmah besar dalam larangan alkohol.

KHAZANAH REPUBLIKA

Apa yang Dimaksud dengan Berdoa di Akhir Sholat?

Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus

Pertanyaan:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya, “Doa apa yang paling didengar (di-ijabah oleh Allah -pen.)?” Maka beliau bersabda,

جَوْفَ اللَّيْلِ الآخِرِ، وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ

“Doa di malam terakhir, serta ‘dubur as-shalawat’ (akhir salat-salat) wajib.”

Apakah yang dimaksud dalam hadis ini adalah doa setelah selesai salat (setelah salam) atau sebelumnya? Apabila yang dimaksud adalah sebelum selesai salat (sebelum salam), apakah waktu berdoa tersebut adalah setelah bacaan tasyahud akhir? Mohon pencerahannya. Jazakumullah khairan wa barakallah fiikum.

Jawaban: 

الحمد لله ربِّ العالمين، والصلاة والسلام على مَن أرسله اللهُ رحمةً للعالمين، وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، أمَّا بعد

Ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan duburus shalah” adalah waktu yang paling terakhir dari salat atau aktivitas lainnya. Dan hendaknya membedakan antara doa dengan zikir yang ada dalam hadis-hadis yang membahas ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berdoa di akhir salat sebelum selesai mengakhiri salat (sebelum salam). Maka waktu berdoa yang disyariatkan adalah sebelum salam.

Tidak ada dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa setelah salam di seluruh salat-salat beliau. Demikian juga, tidak ada sahabat-sahabatnya radhiyallahu ‘anhum yang melakukan demikian. Namun, yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah salam adalah menghadap ke arah para sahabatnya dan berzikir serta mengajari mereka berzikir setelah salam dan setelah selesai salat.

Dari Ka’ab bin Ujrah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مُعَقِّبَاتٌ لَا يَخِيبُ قَائِلُهُنَّ -أَوْ فَاعِلُهُنَّ- دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ: ثَلَاثٌ وَثَلَاثُونَ تَسْبِيحَةً، وَثَلَاثٌ وَثَلَاثُونَ تَحْمِيدَةً، وَأَرْبَعٌ وَثَلَاثُونَ تَكْبِيرَةً

“Ada beberapa mu’aqqibat (zikir) setelah selesai salat. Tidak akan merugi bagi yang mengucapkan atau melakukannya. Yaitu, bertasbih 33x, bertahmid 33x, dan bertakbir 34x.” (HR. Muslim)

Maksud dari mu’aqqibat dalam hadis di atas adalah kalimat (zikir -pen.) yang diucapkan setelah salat. Sebab, kata mu’aqqib artinya adalah perkara yang datang setelah perkara sebelumnya. Dan dalam riwayat yang sahih disebutkan bahwa sebelum beliau membalikkan badan untuk menghadap para sahabat, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beristigfar 3x dan mengucapkan,

اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ، وَمِنْكَ السَّلَامُ، تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

/Alloohumma antas salaam wa minkas salaam tabaarokta yaa dzal jalaali wal ikroom/

“Ya Allah Engkaulah As-Salaam. Keselamatan hanya dari-Mu. Maha Suci Engkau, wahai Zat yang memiliki semua keagungan dan kemuliaan.” (HR. Muslim no. 591)

Sebagaimana hadis sahih dari Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setiap selesai melaksanakan salat  mengucapkan kalimat,

لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ، وَلَهُ الحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الجَدِّ مِنْكَ الجَدّ

/laa ilaha illallooh wahdahu laa syarika lahu, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai-in qodiir. Alloohumma laa maani’a lima a’thoyta wa laa mu’thiya limaa mana’ta wa laa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu/

Tiada ilah yang berhak disembah selain Allah semata. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Segala pujian dan kerajaan adalah milik Allah. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tidak ada yang dapat mencegah apa yang Engkau berikan dan tidak ada yang dapat memberi apa yang Engkau cegah. Tidak berguna kekayaan dan kemuliaan (bagi pemiliknya). Dari Engkaulah semua kekayaan dan kemuliaan.” (HR. Bukhari no. 6615 dan Muslim no. 593)

Oleh karenanya, hadis Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu yang berkata,

أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقْرَأَ بِالْمُعَوِّذَاتِ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memintaku untuk membaca muawwidzaat (surah al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Naas) setiap selesai salat.” (HR. Abu Dawuud)

Maksud dari hadis ini adalah dibaca setelah selesai melaksanakan salat.

Sedangkan hadis Abi Umamah radhiyallahu ‘anhu yang berkata,

يا رَسُولَ اللهِ أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ؟

Ya Rasulullah! Doa apa yang paling didengar (diijabah Allah -pen.)?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

جَوْفَ اللَّيْلِ الآخِرِ، وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ

“Doa di malam terakhir, serta dubura as-shalawat (akhir salat-salat) wajib.” (HR. at-Tirmidzi no. 3499)

Maka, doa yang dimaksud di sini adalah dibaca sebelum selesai salat.

والعلم عند الله وآخر دعوانا أن الحمد لله ربّ العالمين وصلى الله على نبينا محمّد وعلى آله وسلّم تسليما

Sumber: https://ferkous.com/home/?q=fatwa-262

Penerjemah: Fauzan Hidayat, S.STP., MPA

Sumber: https://muslim.or.id/69083-apa-yang-dimaksud-dengan-berdoa-di-akhir-salat.html

Heboh Soal Agama yang Benar, Begini Fatwa MUI dan Dekrit Vatikan

Setiap muslim memang diwajibkan meyakini bahwa hanya Islam saja agama yang benar menurut Allah SWT. Setiap muslim pasti sudah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad saw adalah utusan Allah.

PADA  awal September ini, sejumlah media di Indonesia sedang ramai memuat berita hangat tentang ungkapan seorang pejabat tentang “kebenaran agama”. Katanya, “semua agama itu benar di mata Tuhan.”  Tentu saja, berita ini perlu diklarifikasi.

Tetapi, karena tersebar di media massa, maka persoalan itu perlu dijernihkan. Tulisan ini sekedar mengingatkan kembali fatwa MUI tentang Pluralisme dan Dekrit Vatikan “Dominus Iesus” yang juga membahas Pluralisme dan soal kebenaran agama-agama.

Tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang Aliran Pluralisme, Sekularisme, dan Liberalisme. Judul lengkap fatwa MUI adalah: Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia No : 7/Munas Vii/Mui/11/2005, tentang ALIRAN PLURALISME, SEKULARISME, DAN LIBERALISME.

Di antara pertimbangan dikeluarkannya fatwa tersebut, adalah bahwa: ”berkembangnya paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama di kalangan masyarakat telah menimbulkan keresahan sehingga sebagian masyarakat meminta MUI untuk menetapkan fatwa tentang masalah tersebut.”

Dalam fatwa tersebut, Pluralisme Agama didefinisikan sebagai berikut;  “Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.

MUI memutuskan : (1) Pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. (2) Umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme, Sekularisme dan Liberalisme Agama.

MUI mendasarkan fatwanya pada sejumlah ayat al-Quran dan hadits Nabi Muhammad ﷺ. Misalnya : ”Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS3:85).     ”Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS 3:19). ”Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.” (QS 109:6).

Hadits Nabi yang dijadikan landasan fatwa MUI ini antara lain: “Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nashrani yang mendengar tentang diriku dari Umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa kecuali ia akan menjadi penghuni neraka.” (HR: Muslim).

Nabi mengirimkan surat-surat dakwah kepada orang-orang non muslim antara lain Kaisar Heraklius, raja Romawi yang beragama Nasrani, al Najasyi raja Abesenia yang beragama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, di mana Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam. (Riwayat Ibn Sa`d dalam al Thabaqat al Kubra dan Imam al Bukhari dalam Shahih Bukhari).

*****

Begitulah fatwa MUI tentang kebenaran agama. Jadi, setiap muslim, memang diwajibkan meyakini bahwa hanya Islam saja agama yang benar menurut Allah SWT. Setiap muslim pasti sudah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad saw adalah utusan Allah.

Allah SWT mengutus Nabi Muhammad ﷺ kepada seluruh manusia, adalah untuk diimani. Utusan Allah kepada manusia itu memiliki tugas mulia untuk menegakkan Tauhid (QS 16:36) dan menyempurnakan akhlak manusia. Inilah ajaran Islam yang paling mendasar.

Bagaimana dengan agama Katolik? Bukan Tahun 2000, Vatikan mengeluarkan Dekrit Dominus Iesus (Baca: Dominus Yesus) yang menegaskan, bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya jalan keselamatan.

Dominus Iesus menolak paham Pluralisme Agama.  Dokumen ini dikeluarkan menyusul kehebohan di kalangan petinggi Katolik akibat keluarnya buku Toward a Christian Theology of Religious Pluralism karya Prof. Jacques Dupuis SJ, dosen di Gregorian University Roma. Dalam bukunya, Dupuis menyatakan, bahwa  ‘fullnes of thruth’  tidak akan terlahir sampai datangnya kiamat atau kedatangan Yesus Kedua. Jadi, katanya, semua agama terus berjalan– sebagaimana Kristen – menuju kebenaran penuh tersebut. Semua agama disatukan dalam kerendahan hati karena kekurangan bersama dalam meraih kebenaran penuh tersebut.

Buku Toward a Christian theology  of Religious Pluralism pada intinya menyatakan, bahwa Yesus bukan satu-satunya jalan keselamatan. Penganut agama lain juga akan mengalami keselamatan, tanpa melalui Yesus.

Karena ajarannya itulah, pada Oktober 1988 ia mendapat notifikasi dari Kongregasi untuk Ajaran Iman. Ia dinyatakan “tidak bisa dipandang sebagai seorang teolog Katolik.” Surat itu ditandatangani oleh Kardinal Ratzinger, yang kemudian menjadi Paus Benediktus XVI.

Jadi, Vatikan pun tidak bisa menerima pandangan yang menerima kebenaran semua agama. Vatikan bersikap tegas.

Untuk menegaskan kebenaran agama Katolik, pada 28 Januari 2000, Paus Yohanes Paulus II membuat pernyataan: “The Revelation of Jesus Christ is definitive and complete.” (Ajaran Jesus Kristus adalah sudah tetap dan komplit).

Karena itulah, menurut Paus Yohannes Paulus II: “Islam is not a religion of redemption.” “Islam bukan agama penyelamatan,” kata Paus.  Sebab, menurutnya, dalam Islam, tidak ada ruang untuk salib dan kebangkitan  (there is no room for the Cross and the Resurrection). (Lihat, The Pope in Winter: The Dark Face of John Paul II’s Papacy).

Lagi pula, jika dikatakan semua agama benar – menurut siapa saja – bisa kita tanyakan, agama mana saja. Jumlah agama di dunia sudah lebih dari 4.000. (https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5708636/agama-terbesar-di-dunia-2021-berdasarkan-jumlah-pemeluknya).  Ada agama yang ritualnya melakukan praktik minum darah dan seks bebas. (https://www.viva.co.id/berita/nasional/668989-ritual-minum-darah-dan-bersetubuh-raja-kertanegara). Tentu kita sudah paham, apakah agama semacam ini benar!  (Depok, 15 September 2021).*

Penulis Pengajar di Universitas Ibnu Khaldu, pengasuh Pondok Pesantren Attaqwa-Depok (ATCO)

HIDAYATULLAH

Ilmu yang Mesti Dimiliki Calon Jamaah Haji

Calon jamaah haji harus memiliki mempersiapkan ilmu agar ibadah haji yang dijalankannya sesuai yang dicontohkan Rasulullah SAW. “Seorang yang hendak melaksanakan ibadah haji, di samping bekal materi, ia perlu mempersiapkan bekal ilmu yang cukup,” kata H Aswanto Muhammad, Lc dalam tulisannya Haji dan Urgensi Ilmu.

Menurutnya ilmu yang dibutuhkan jamaah haji minimal ada dua hal:

1. Ilmu tentang pelaksanaan ibadah haji.

Wajib baginya mempelajari tata cara haji Rasulullah SAW, mulai dari tata cara berihram, thawaf, sa’i, wukuf, sampai melontar jumrah. Tidak cukup mengerjakan amalan-amalan tersebut hanya karena dikerjakan orang lain tanpa mengetahui dasarnya dari Rasulullah Saw.

2. Ilmu tentang hukum-hukum dan adab-adab yang berkaitan dengan safar (perjalanan). Misalnya; bagaimana tata cara bersuci (wudhu’ dan tayamum), sholat (jamak dan qasar) dalam perjalanan, doa dan zikir yang dianjurkan selama perjalanan haji hingga pulang ke tanah air, serta adab dan akhlak yang patut dijaga selama berada di tanah haram (Makkah dan Madinah).

Menurutnya terdapat banyak ayat di dalam Alquran di mana Allah memuji orang-orang yang berilmu dan mengangkat kedudukan mereka lebih dari yang lain.  Demikian juga dalam hadits-hadits Rasulullah SAW, cukup banyak sabda beliau yang menganjurkan umatnya untuk berilmu.

IHRAM

Berwuduk Pakai Air Panas dari Water Heater Hotel, Sahkah?

Sebelum melaksanakan shalat, menurut fikih seseorang harus berwuduk terlebih dahulu. Pun sebelum membaca Al-Qur’an, diwajibkan suci dari hadas kecil dan besar. Pun ketika masuk masjid harus dalam keadaan suci. Begitu juga ketika sedang tawaf, harus dalam keadaan suci.

Bersuci itu menggunakan air yang suci lagi mensucikan—bila tak didapati air,maka boleh tayamum dengan debu. Dalam konteks ini kita akan membicarakan air sebagai alat bersuci. Kemudian, muncul pertanyaan, bagaimana hukumnya  berwuduk pakai air panas dari water heater hotel, sahkah wuduknya tersebut?

Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarah al Muhadzab mengatakan boleh hukumnya bersuci dengan air panas. Hukumnya pun tidak makruh. Pasalnya, tidak ada larangan untuk bersuci menggunakan air yang dipanaskan. Imam Nawawi berkata;

وأما  المسخن فالجمهور أنه لا كراهة فيه وحكى أصحابنا عن مجاهد كراهته: وعن أحمد  كراهة المسخن بنجاسة وليس لهم دليل فيه روح: ودليلنا النصوص المطلقة ولم  يثبت نهي

 Artinya; adapun masalah air panas, maka jumhur ulama mengatakan tidak makruh bersuci dengannya, dan ada yang meriwayatkan dari kalangan sahabat kita, dari Mujahid yang menyebut makruh. Imam Ahmad pun mengatakan makruh hukumnya, jika api yang digunakan bercampur najis, akan tetapi tidak ada bagimereka dalil yang kuat.

Dan dalil kami dari nash yang mutlak, dan tidak ada ketetapan larangan menggunakan air yang dipanaskan.

Imam Syafi’i dalam kitab Al Umm menjelaskan semua air pada dasarnya adalah suci, kecuali air tersebut terkena najis. Adapun berwuduk atau bersuci dengan menggunakan air yang dipanaskan hukumnya boleh, sekalipun air tersebut dipanaskan menggunakan api yang bercampur dengan najis.

Lebih lanjut, Imam Syafi’i juga menjelaskan kebolehan berwuduk pakai air panas, sebab api tidak membuat air tersebut menjadi najis. Api itu tidak mengubah dan menggangu kesucian air. Untuk itu, sahabat Nabi Umar bin Khattab pernah memakai air panas sebagai wadah untuk bersuci.

قال  الشّافعي: فكلُّ الماء طهور ما لم تخالطْه نجاسة، ولا طهور إلا فيه، أو في  الصَّعيد، وسواء كل ماء من بردٍ أو ثلجٍ أذيب، وماءٍ مسخَّن وغيرِ مسخَّن؛  لأن الماء له طهارة، والنار لا تُنَجِّس الماء. قال الشّافعي ـ رحمه الله  ـ: أخبرنا إبراهيم بن محمد، عن زيد بن أسلم، عن أبيه؛ أن عمر بن الخطاب ـ  رضي الله عنه ـ كان يسخَّن له الماء، فيغتسل به، ويتوضأ به. قال الشّافعي:  ولا أكره الماء المشمَّس إلاَّ من جهة الطِّبِّ

Artinya; Al-Syafi’i berkata: Semua air adalah suci selama tidak bercampur dengannya najis, dan tidak ada bersuci kecuali dengan menggunakan air, atau menggunakan debu (bila air tak ada). Sama ada air itu berasal dari air dingin, atau air es yang mencair, dan air panas dan tidak dipanaskan, karena air berfungsi untuk mensucikan, dan api tidak membuat najis air.

Imam Syafi’i-semoga Allah merahmatinya-, berkata: Ibrahim bin Muhammad mengatakan kepada kami, atas otoritas Zaid bin Aslam, atas otoritas ayahnya; bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, biasa memanaskan air untuknya, dan dia akan mandi dengannya dan berwudhu dengan air yang dipanaska itu.

Al-Syafi’i berkata: Tidak ada kemakruhan air musyammas (panaskan matahari), kecuali dari sudut pandang medis.

Terakhir, mengutip pendapat Imam Mawardi al-Hawi al-Kabir  yang menjelaskan terkait pentingnya membedakan antara air yang dipanaskan menggunakan api atau listrik dengan air yang dipanaskan langsung cahaya matahari (air musyammas). Keduanya sangat berbeda. Adapun yang dipanaskan cahaya matahari, itu yang dihukumi makruh. Sedangkan yang dipanaskan api boleh hukumnya, tidak makruh.

Simak penjelasan Imam al-Mawardi sebagaimana berikut ini;

فصل : وأما قوله مسخن وغير مسخن فسواء، والتطهر به جائز,  فإنما قصد بالمسخن أمرين, أحدهما: الفرق بين المسخن بالنار وبين الحامي بالشمس في أن المسخن غير مكروه والمشمس مكروه

Artinya; pasal; adapun perkataanya “air yang dipanaskan dan tidak dipanaskan, maka itu sama saja, dan bersuci menggunakan air itu boleh, maka yang dimaksud dengan air “dipanaskan” ada dua pengertian, pertama; berbeda antara dipanaskan dengan api, dan dipanaskan dengan panas cahaya matahari, nah yang dipanaskan (dengan api dan sejenis) itu hukumnya tidak makruh, sedangkan yang menggunakan cahaya matahari (musyamas) itu hukumnya yang makruh.

Sebagai kesimpulan, berwuduk pakai air panas  yang hukumnya boleh. Dengan demikian, seseorang yang berwuduk pakai air panas dari water heater hotel,hukumnya adalah sah dan boleh. Tidak ada kemakruhan di dalamnya. Pasalnya itu berbeda dengan air musyammas.

BINCANG SYARIAH

Menghindari Kesombongan

Keangkuhan akan membatasi kebaikan, merampas segala kemuliaan.

Mukmin sejati merupakan pribadi rendah hati.  Tak ada dalam pikiran dan hatinya untuk meremehkan orang lain. Sekuat tenaga belajar menghindari kesombongan. Caranya dengan terus berusaha hormat pada sesama.

Santun dalam berinteraksi dan mau mendengar juga belajar. Tidak bebal, bersedia dinasihati agar dapat memperbaiki diri. Kebenaran diterimanya dengan senang hati. Saat dihinakan, tak ada pembalasan, selain ucapan dan balasan kebaikan.

Digambarkan dalam Surah al-Furqan ayat 63: “Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan salam.”

Kemarahan dan kebenciannya segera dibungkus dengan kesabaran dan memaafkan. Bahagia atas segala nikmat yang dianugerahkan, diisinya dengan sikap syukur kepada Yang Maha Rahman.

Merasa tak ada yang patut dibanggakan, karena segalanya atas kuasa Tuhan. Kakinya menginjak bumi, hati dan akalnya diisi oleh zikir dan pikir. “Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung.” (QS al-Israa: 37).

Setiap hari selalu diisi oleh ibadah dan menebar kemanfaatan. Semua saudara, kerabat dan teman merasa nyaman, karena sikapnya ramah penuh kebajikan dan kebijakan. Selalu melihat kekurangan dan kelebihan teman dalam semangat kolaborasi saling membesarkan. “Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong), dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh Allah tidak menyukai orang orang sombong dan membanggakan diri.” (QS Luqman: 18).

OLEH DR IU RUSLIANA

KHAZANAH REPUBLIKA

Beberapa Ayat yang Allah Bersumpah dengan Zat-Nya Sendiri

Di dalam Al-Quran, terdapat beberapa surah dan ayat yang diawali dengan qasam atau sumpah untuk menegaskan suatu pernyataan. Secara umum, ada dua bentuk qasam atau sumpah yang digunakan Allah dalam Al-Quran. Pertama, Allah bersumpah dengan Zat-Nya sendiri. Kedua, ayat yang Allah bersumpah dengan atas nama makhluk-Nya.

Menurut para ulama, terdapat tujuh ayat yang Allah bersumpah dengan Zat-Nya sendiri dalam Al-Quran. Tujuh ayat dimaksud adalah sebagai berikut;

Pertama, surah Al-Hijr ayat 92. Bunyi ayatnya adalah sebagai berikut;

فَوَرَبِّكَ لَنَسْـَٔلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ

Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua.

Kedua, surah Al-Dzariyat ayat 23. Bunyi ayatnya adalah sebagai berikut;

فَوَرَبِّ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّهُ لَحَقٌّ مِثْلَ مَا أَنَّكُمْ تَنْطِقُونَ

Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan.

Ketiga, surah Al-Nisa’ ayat 65. Bunyi ayatnya adalah sebagai berikut;

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

Keempat, surah Maryam ayat 68. Bunyi ayatnya adalah sebagai berikut;

فَوَرَبِّكَ لَنَحْشُرَنَّهُمْ وَالشَّيَاطِينَ ثُمَّ لَنُحْضِرَنَّهُمْ حَوْلَ جَهَنَّمَ جِثِيًّا

Demi Tuhanmu, sesungguhnya akan Kami bangkitkan mereka bersama syaitan, kemudian akan Kami datangkan mereka ke sekeliling Jahannam dengan berlutut.

Kelima, surah Al-Nur ayat 33. Bunyi ayatnya adalah sebagai berikut;

زَعَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ لَنْ يُبْعَثُوا قُلْ بَلَىٰ وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْ وَذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah; Memang, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

Keenam, surah Al-Taghabun ayat 40. Bunyi ayatnya adalah sebagai berikut;

فَلَا أُقْسِمُ بِرَبِّ الْمَشَارِقِ وَالْمَغَارِبِ إِنَّا لَقَادِرُونَ

Maka aku bersumpah dengan Tuhan Yang memiliki timur dan barat, sesungguhnya Kami benar-benar Maha Kuasa.

Ketujuh, surah Yunus ayat 53. Bunyi ayatnya adalah sebagai berikut;

وَيَسْتَنْبِئُونَكَ أَحَقٌّ هُوَقُلْ إِي وَرَبِّي إِنَّهُ لَحَقٌّ وَمَا أَنْتُمْ بِمُعْجِزِينَ

Dan mereka menanyakan kepadamu: Benarkah (azab yang dijanjikan) itu? Katakanlah: Ya, demi Tuhanku, sesungguhnya azab itu adalah benar dan kamu sekali-kali tidak bisa luput (daripadanya).

BINCANG SYARIAH

Mengapa Allah Bersumpah dengan Zat Sendiri?

Secara umum, ada dua bentuk qasam atau sumpah yang digunakan Allah dalam Al-Quran. Pertama, Allah bersumpah dengan Zat-Nya sendiri. Kedua, Allah bersumpah dengan atas nama makhluk-Nya. Dan di dalam Al-Quran, terdapat tujuh ayat yang di dalamnya Allah bersumpah dengan Zat-Nya sendiri. Selain tujuh ayat tersebut, Allah bersumpah dengan atas nama makhluk-Nya, dan jumlahnya sangat banyak. Mengapa Allah bersumpah dengan Zat sendiri?

Menurut para ulama, selain bertujuan untuk memperkuat sebuah pernyataan dan hujjah, Allah bersumpah dengan Zat-Nya sendiri karena memang Zat dan nama-nama-Nyalah satu-satunya yang sangat pantas untuk dijadikan sumpah. Sumpah harus dengan sesuatu atau nama yang agung, dan sudah maklum bahwa tidak ada sesuatu yang lebih agung melebihi keagungan Zat dan nama-nama Allah.

Ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Suyuthi dalam kitab Al-Itqan fi Ulum Al-Quran berikut;

ولا يكون القسم إلا باسم معظم وقد أقسم الله تعالى بنفسه في القرآن في سبعة مواضع

Qasam itu tidak boleh kecuali dengan menggunakan nama yang agung, dan Allah telah bersumpah dengan Zat-Nya sendiri di dalam Al-Quran di tujuh tempat (ayat).

Imam Al-Suyuthi juga berkata sebagai berikut;

أن الأقسام إنما تكون بما يعظمه المقسم أو يجله وهو فوقه والله تعالى ليس شيء فوقه فأقسم تارة بنفسه ، وتارة بمصنوعاته ، لأنها تدل على بارئ وصانع

Qasam itu harus dengan sesuatu yang diagungkan oleh yang bersumpah, ia harus lebih tinggi dari yang bersumpah. Dan tidak ada sesuatu di atas Allah yang lebih agung dari-Nya. Karena itu, kadang-kadang Allah bersumpah dengan Zat-Nya sendiri, dan kadang-kadang dengan atas nama ciptaan-Nya. Ini karena ciptaan-Nya menunjukkan keagungan pembuat dan pencipta-Nya.

Adapun Allah bersumpah dengan nama makhluk-Nya, itu bukan menunjukkan bahwa makhluk-Nya lebih agung dari Allah. Melainkan hanya menunjukkan bahwa makhluk yang dijadikan sumpah oleh Allah memiliki keutamaan yang lebih dibanding makhluk yang lain, atau memiliki manfaat yang besar.

Dalam kitab Al-Itqan, Imam Al-Suyuthi menyebutkan sebagai berikut;

وقال أبو القاسم القشيري : القسم بالشيء لا يخرج عن وجهين : إما لفضيلة أو لمنفعة ، فالفضيلة كقوله : وطور سنين وهذا البلد الامين والمنفعة نحو والتين والزيتون

Abu Al-Qasim Al-Qusyairi berkata; Qasam dengan sesuatu tidak terlepas dari dua hal; adakalnya karena adanya keutamaan atau adanya manfaat. Yang memiliki keutamaan seperti ‘Wa thuri siniin, wa hadzal baladil amiin.’ Yang memiliki manfaat seperti ‘Wat thiini waz zaituun.’

BINCANG SYARIAH

Bolehkah Pasien Penderita Covid-19 Tidak Shalat?

Shalat merupakan rukun Islam. Dalam fiqih Islam, wajib hukumnya melaksanakan shalat. Shalat termasuk perintah yang qathi. Untuk itu, shalat tak boleh ditinggalkan. Pelbagai ayat Al-Qur’an telah menerangkan kewajiban shalat. Lantas bagaimana dengan pasien penderita Covid-19? Bolehkah tidak shalat pasien penderita  Covid-19?

Syahdan, shalat adalah kewajiban bagi seorang muslim. Perintah untuk melaksanakan shalat tertera dalam pelbagai ayat Al-Qur’an dan hadis nabi. Allah berfirman dalam Al-Qur’an Q.S al-Baqarah ayat 34;

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

Artinya; Dan dirikan kamulah sholat, tunaikan kamu zakat dan rukuklah kamu bersama orang-orang yang rukuk

Dan juga firman Allah dalam Q.S. An-Nisa/4: 103

اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا

Artinya; Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.

Nah, terkait hukum pasien penderita Covid-19, bolehkah tidak shalat? Para ulama menjelaskan tak ada keadaan apapun yang membuat kewajiban shalat gugur. Untuk itu, sejatinya orang yang sakit tidak dicabut kewajibannya untuk melaksanakan shalat.

Namun, dalam hukum Islam, orang yang sakit diberikan pelbagai kemudahan atau keringan dalam melaksanakan shalat. Keringanan itu guna memudahkan pasien penderita Covid-19 untuk melaksanakan shalat.

Menurut Syekh Muhammad Abdus Sami, Aminul Fatwa Darul Ifta Mesir mengatakan kewajiban shalat tak gugur bagi seseorang dalam keadaan apapun. Baik dia sehat atau sakit. Akan tetapi, bagi orang yang sakit ada keringanan hukum.

Ia mengatakan;

أن الدين الحنيف راعى أحوال الناس، فيمكن للمصلي على سيبل التسير الصلاة جالساً فى حالة صعوبة القيام لها، وأيضاً يجوز الصلاة نائماً على السرير فى حالة المشقة للحركة، وعلى هذا فلا تسقط الصلاة عن أى إنسان.

Artinya; Sesungguhnya agama yang benar ini (Islam) memelihar ia akan keadaan manusia. Maka sebagai kemudahan dalam hukum, dibolehkan bagi orang yang ingin shalat sebagai tapi tak mampu berdiri, ia boleh duduk sebagai kemudahan baginya, dan juga boleh shalat dalam keadaan memejamkan mata sebagai kemudahan karena sulit untuk bergerak. Dan atas keadaan apapun, tak ada kewajiban menggugurkan/meninggalkan shalat.

Hal yang sama juga dijelaskan oleh  Syaikh Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad al-Hishni al-Husain, As Syafii dalam kitab Kifayatu al-Akhyar fi Halli Ghayati al-Ikhtishar,bagi orang yang sakit (lemah) ada kemudahan dalam melaksanakan shalat. Bila tak mampu berdiri, ia boleh duduk. Bila tak mampu duduk, ia boleh shalat dalam keadaan berbaring.

Syekh Taqiyuddin berkata dalam Kifayatul al-AkhyarJilid I, halaman 103;

(والقيام مع القدرة)اعلم ان القيام او ما يقوم مقامه عند العجز كالقعود والاجطجاع, ركن في الصلاة الفرض

Artinya; berdiri bagi yang mampu, ketahuilah bahwa berdiri atau memperbuat ia apa yang ia bisa ketika dalam keadaan lemah (tidak mampu) seperti duduk atau berbaring. Demikian itu (berdiri atau duduk dan berbaring) adalah rukun dalam shalat fardu.

Ada pun argumen keringanan shalat  bagi orang dalam keadaan sakit, Syekh Taqiyuddin dalam Kifayatul al Akhyar, mengutip hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Baginda Nabi bersabda;

  عن عمران بن حُصين رضي الله عنهما قال (( كانت بي بواسير فسألت رسول الله صلى الله عليه السلام عن الصلاة: قال لي النبي صلى الله عليه وسلم: ((صلِّ قائمًا، فإن لم تستطع فقاعدًا، فإن لم تستطع فعلى جنبٍ))؛ رواه البخاري

Artinya; Aku menderita penyakit wasir lalu aku bertanya kepada Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- mengenai salat. Beliau bersabda, “Salatlah kamu sambil berdiri; Jika tidak bisa, salatlah sambil duduk; Jika tidak mampu, salatlah sambil berbaring ke arah kanan. (H.R Bukhari)

Dan ada juga hadis riwayat Imam Nasai;

وزاد النسائي فان لم تستطع فمستلقيا لا يكلف الله  نفسا الا وسعها

Artinya; Jika tak sanggup (baca; berdiri, duduk, berbaring arah kanan) maka ia shalat dalam posisi telentang, Allah tak memberatkan seorang hamba, kecuali menurut kemampuannya.

Imam Nawawi Al Jawi dalam kitab Nihayatuz Zain, pun berpendapat bahwa orang yang sakit diberikan kemudahan dalam menjalankan ibadah shalat. Keringanan hukum itu diberikan syariat sebab sakit yang ia derita. Bila dipaksakan akan berakibat fatal pada jiwanya.

Imam Nawawi mencontohkan keringanan shalat bagi penderita penyakit beser (salasul baul). Dalam Kitab Nihayatuz Zain halaman 58 ia berkata;

وكذا لو كان به سلس بول, ولو قام سال بوله ولو قعد لم يسل, او قال طبيب ثقة لمن بعينه ماء إن صليت مستلقيا امكنت مداواتك فله ترك القيام في الجميع ويفعل مقدوره ولا إعادة عليه

 Artinya; dan seperti itu pula jika ada orang yang menderita penyakit beser, jika ia shalat dalam keadaan berdiri, maka akan menetes kencingnya, tapi jika ia shalat duduk maka kencingnya tak menetes, maka shalatlah ia dalam keadaan duduk. Atau berkata dokter yang terpercaya, bagai orang yang kena air akan berakibat fatal, atau jika berbaring maka itu dapat menyembuhkan penyakit, maka seluruh shalat fardu boleh  baginya meninggalkan shalat dalam keadaan berdiri. Ia boleh memperbuat dalam shalat semampunya, dan  shalatnya sah dan itu tak wajib diulangi di lain waktu.

Pada sisi lain, Habib Syekh Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim al- Kaff menjelaskan secara terperinci pengertian dari “keadaan lemah (tidak mampu)”.  Dalam Kitab at-Taqrir as-Sadidah fil Masailil Mufidah, Ia mengatakan yang dimaksud dengan “lemah” ialah adanya kesulitan yang parah pada diri seseorang. Jika itu dilakukan akan berakibat fatal bagi dirinya. Lebih dari itu, bisa berujung pada kebinasaan diri.

Syekh Al Kaff at-Taqrir as-Sadidah fil Masailil Mufidah, halaman214 mengatakan;

ضابط العجز ; ان تلحقه مشقة شديدة , بحيث يخاف منها محذور التيمم, كزيادة مرض او بطء الشفاء, او حدوث شين فاحش في عضو ظاهر  او كانت مشقة لا تحمل عادة

Artinya;  Defini lemah (tidak mampu) bahwa seseorang dalam keadaan sangat sulit, dengan sekira-kira ditakutkan  akan membawa kepada uzur (kebinasaan), seperti bila dilakukan akan menambah penyakit, atau penyembuhan penyakit yang bertambah lambat, atau dalam keadaan kesulitan yang payah, yang diluar batas kebiasaan,.

Terkait orang shalat orang dalam keadaan sakit, Habib Syekh Al kaff menjelaskan secara panjang lebar pelbagai alternatif yang bisa dilakukan pasien tersebut. Bila para ulama di atas hanya menjelaskan keringanan shalat hanya sebatas berbaring atau telentang, Syekh Ahmad Al Kaff justru menambahkan pelbagai keringanan lain.

Menurut kitab at-Taqrir as-Sadidah fil Masailil Mufidah, Orang sakit; shalat sambil berdiri, bila tak mampu berdiri, ia boleh shalat sambil duduk; dan bila tak mampu sujud, cukup dengan isyarat kepalanya saja—ketika sujud, maka kepala lebih rendah dari rukuk—, bila sanggup shalat duduk, maka shalat ia dengan berbaring ke arah kanan dan menghadap kiblat.

Kemudian, jika tak bisa berbaring ke arah kanan, maka ia shalat dalam keadaan telentang, dengan posisi  kedua kakinya menghadap kiblat. Dan bila tak jua mampu untuk telentang, maka cukup dengan menggerakakn kelopak mata. Terakhir bila tanpa jua sanggup menggerakakan kelopak mata, maka cukup bagi yang sakit dengan isyarat hati. Dalam hatinya ia menggerakkan rukun shalat. Itulah kemudahan bagi orang yang sakit dalam shalat.

Begini tulis Habib Syekh Al Kaff;

فإن عجز صلى ميتلقيا على قفاه, و يئميئ برأسه عند ركوعه وسجوده, فإن عجز او مأبأ بأجفانه, فإن عجز اجرى اركان الصلاة

Artinya; jika ia tak sanggup shalat dalam keadaan itu (berdiri, duduk, berbaring) maka shalatlah dalam keadaan telentang menggerakan ia akan kepala ketika sujud dan sujudnya, maka jika telentang pun tak mampu, maka shalatlah ia dengan menggerakkan kelopak matanya. Pun ketika itu semua ia tak mampu melakukannya, maka shalat ia dalam hati, dan berniat ia menggerakkan anggota shalat.

Demikian keterangan tentang  hukum Shalat Pasien Penderita Covid-19. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH