Rincian Penggunaan Kata “Jahiliyah”

Fatwa Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan

Pertanyaan

Bolehkah menggunakan kata “jahiliyyah” secara mutlak (tanpa ada tambahan keterangan apa pun, pent.) yang ditujukan kepada masyarakat kaum muslimin saat ini?

Jawaban

Jahiliyyah yang bersifat umum telah hilang dengan diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, kita tidak boleh menggunakan lafadz tersebut untuk ditujukan kepada masyarakat kaum muslimin secara umum (keseluruhan) tanpa ada tambahan catatan keterangan apapun. [1]

Adapun jika menggunakan kata tersebut untuk sebagian kasus tertentu, atau untuk sebagian firqah (golongan yang menyimpang), atau sebagian masyarakat tertentu, maka ini bisa saja dan diperbolehkan.

Contoh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada sebagian sahabat,

إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ

“Sesungguhnya kamu masih memiliki sifat jahiliyyah.“ (HR. Bukhari no. 30) [2]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ، لَا يَتْرُكُونَهُنَّ: الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ، وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ، وَالنِّيَاحَةُ

“Ada empat perkara khas jahiliyah [3] yang masih melekat pada umatku dan mereka belum meninggalkannya: membanggakan jasa (kelebihan atau kehebatan) nenek moyang; mencela nasab (garis keturunan); menisbatkan hujan disebabkan oleh bintang tertentu; dan niyahah (meratapi mayit).” (HR. Muslim no. 934) [4]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

MUSLIMorid

Memperbanyak Shalat Sunnah sebelum Datangnya Khatib Jum’at

Anjuran memperbanyak shalat sunnah ketika menunggu khatib Jum’at

Jika seseorang sudah hadir di masjid dalam rangka shalat Jum’at, yang dianjurkan adalah memperbanyak shalat sunnah tanpa dibatasi dengan bilangan raka’at tertentu. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari sahabat Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الجُمُعَةِ، وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ، وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ، ثُمَّ يَخْرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ، ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ، إِلَّا غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الجُمُعَةِ الأُخْرَى

“Tidaklah seorang laki-laki mandi pada hari Jum’at, lalu bersuci semaksimal mungkin, memakai wewangian miliknya atau minyak wangi keluarganya, lalu keluar rumah menuju masjid, dia tidak memisahkan dua orang pada tempat duduknya, lalu dia shalat sebanyak yang dia mampu dan diam mendengarkan khutbah imam, kecuali dia akan diampuni dosa-dosanya yang ada antara Jum’at itu dan Jum’at yang lainnya.” (HR. Bukhari no. 883)

Demikian pula dalam hadits Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، ثُمَّ أَقْبَلَ إِلَى الْمَسْجِدِ، لَا يُؤْذِي أَحَدًا، فَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْإِمَامَ خَرَجَ، صَلَّى مَا بَدَا لَهُ، وَإِنْ وَجَدَ الْإِمَامَ قَدْ خَرَجَ، جَلَسَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ، حَتَّى يَقْضِيَ الْإِمَامُ جُمُعَتَهُ وَكَلَامَهُ، إِنْ لَمْ يُغْفَرْ لَهُ فِي جُمُعَتِهِ تِلْكَ ذُنُوبُهُ كُلُّهَا، أَنْ تَكُونَ كَفَّارَةً لِلْجُمُعَةِ الَّتِي تَلِيهَا

“Ketika seorang muslim mandi di hari Jum’at, kemudian berangkat ke masjid, lalu dia tidak menyakiti (mengganggu) seorang pun, jika dia menjumpai imam shalat Jum’at belum datang, dia pun shalat sebanyak yang dia mampu. Adapun jika dia melihat imam sudah datang, dia pun duduk, mendengarkan khutbah dan diam, sampai imam menyelesaikan shalat Jum’at dan khutbahnya, jika dia tidak diampuni pada hari Jum’at tersebut dosa-dosa dia seluruhnya, maka hal itu adalah penggugur dosa sampai hari Jum’at berikutnya.“ (HR. Ahmad 38: 547, Ibnu Khuzaimah 3: 138, Ath-Thabrani dalam Al-Kabiir 4: 160-161, dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhiib 1: 360)

Faidah-faidah dari hadits di atas

Hadits-hadits di atas mengandung beberapa faidah sebagai berikut:

Pertama, yang dianjurkan ketika seseorang sudah memasuki masjid dalam rangka shalat Jum’at adalah shalat sunnah sebanyak yang dia kehendaki (tidak dibatasi bilangan raka’at tertentu) sampai imam (khatib) shalat Jum’at tiba di masjid [1]. (Lihat Nailul Authar, 6: 335)

Status shalat sunnah ini adalah shalat sunnah muthlaq, bukan shalat sunnah qabliyyah Jum’at. Shalat sunnah muthlaq adalah shalat yang dilakukan tanpa terikat dengan waktu tertentu, sebab tertentu, atau jumlah raka’at tertentu. [2] Hal ini karena shalat Jum’at tidak memiliki shalat sunnah qabliyyah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

“Oleh karena itu, mayoritas ulama bersepakat bahwa sebelum shalat Jum’at tidak ada shalat sunnah yang dikaitkan dengan waktu tertentu atau dibatasi oleh bilangan raka’at tertentu. Hal ini karena ketentuan semacam itu harus ditetapkan berdasarkan perkataan atau perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan hal itu sama sekali tidak disyariatkan, baik dengan ucapan ataupun dengan perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah madzhab Imam Malik, Asy-Syafi’i, mayoritas para shahabat, dan pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad … “ (Majmu’ Fataawa, 24: 189. Lihat pula pembahasan bagus dalam masalah ini dalam kitab Al-Ajwibah An-Naafi’ah karya Syaikh Al-Albani)

Adapun perbuatan sebagian orang, lebih-lebih di Masjidil Haram, berupa shalat dua rakaat atau empat rakaat yang langsung dikerjakan setelah adzan Jum’at yang pertama, dengan keyakinan bahwa shalat tersebut adalah shalat sunnah qabliyyah Jum’at sebagaimana ada shalat sunnah qabliyyah untuk shalat dzuhur, maka perbuatan tersebut tidak ada dalilnya.

Demikian pula, perbuatan tersebut tidak bisa dilandasi dengan dalil hadits,

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ

“Terdapat shalat di antara dua adzan.” (HR. Bukhari no. 601 dan Muslim no. 838)

Karena yang dimaksud dengan “dua adzan” dalam hadits tersebut adalah adzan dan iqamat (iqamat juga bisa diistilahkan dengan adzan). Taruhlah bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah dua adzan, maka kita tidak menjumpai contoh praktik pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari Jum’at kecuali adzan pertama dan iqamat. Sedangkan antara adzan dan iqamat adalah khutbah Jum’at, tidak ada shalat sunnah yang disyariatkan di antara keduanya di hari Jum’at. Sehingga tidak tepat menjadikan hadits di atas sebagai dalil adanya shalat sunnah qabliyyah Jum’at dengan menetapkan bilangan rakaat tertentu, baik dua atau empat rakaat.

Ibnul Haaj rahimahullah berkata,

“Manusia hendaknya dilarang dari apa yang mereka ada-adakan berupa shalat setelah adzan pertama untuk shalat Jum’at. Perbuatan ini menyelisihi contoh dari salafus shalih, karena mereka dulu terbagi dalam dua kelompok. Sebagian mereka mendirikan shalat sunnah ketika masuk masjid, dan terus-menerus shalat sampai imam (khatib) naik mimbar. Jika khatib sudah naik mimbar, mereka menghentikan shalat sunnah. Sebagian lagi, mereka shalat sunnah, lalu duduk (menunggu), sampai shalat Jum’at didirikan. Jadi, tidak ada lagi shalat sunnah yang dikerjakan setelah duduk (setelah mereka berhenti mengerjakan shalat sunnah, pent.), dan tidak ada duduk lagi (duduk kedua) setelah mengerjakan shalat sunnah (berikutnya). Perbuatan salaf tersebut berbeda dengan perbuatan orang jaman sekarang, dimana orang di jaman sekarang ini mereka duduk sampai muadzin mengumandangkan adzan pertama, kemudian mereka berdiri lagi untuk shalat sunnah (kemudian duduk lagi setelahnya, pent.) … “ (Al-Madkhal, 2: 239 karya Ibnul Haaj)

Kedua, shalat tersebut boleh dikerjakan di waktu kapan pun, karena di dalam hadits dikatakan,

ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ

“ … lalu dia shalat sebanyak yang dia mampu dan diam mendengarkan khutbah imam … “

Dzahir (makna yang tertangkap) dari hadits di atas adalah bolehnya shalat sunnah di hari Jum’at tersebut sebelum zawal (bergesernya matahari ke arah barat). Ini adalah di antara kekhususan hari Jum’at tersebut, dikecualikan dari waktu larangan shalat, yaitu sejak matahari tepat di tengah-tengah sampai bergeser ke barat. Dalil pengecualian ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh shahabat Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu yang telah kami sebutkan sebelumnya.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Maka dianjurkan shalat sunnah sebanyak yang dia mampu, tidak ada yang menghentikan shalat sunnah tersebut kecuali ketika imam (khatib) shalat Jum’at sudah tiba (di masjid). Oleh karena itu, banyak ulama salaf mengatakan, di antaranya ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, yang kemudian diikuti oleh Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah,

خروج الإمام يمنع الصلاة وخطبته تمنع الكلام

“Keluarnya (datangnya) imam menghentikan shalat (sunnah), sedangkan khutbah imam menghentikan pembicaraan.”

Jadi, mereka jadikan yang menghentikan shalat (sunnah) adalah kedatangan imam di masjid, bukan pertengahan siang (ketika matarahari tepat di tengah-tengah).” (Zaadul Ma’aad, 1: 378) [3]

Adapun tata caranya, dikerjakan seperti shalat biasa (tidak ada tata cara khusus) dan dikerjakan dua rakaat salam – dua rakaat salam. [2]

Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.Or.Id

Awal Tahun, Waktunya Koreksi Diri!

Allah Swt Berfirman :

يَوۡمَئِذٖ يَصۡدُرُ ٱلنَّاسُ أَشۡتَاتٗا لِّيُرَوۡاْ أَعۡمَٰلَهُمۡ

“Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan berkelompok-kelompok, untuk diperlihatkan kepada mereka (balasan) semua perbuatannya.” (QS.Az-Zalzalah:6)

Ayat ini menjelaskan bahwa kita semua kelak akan dibangkitkan di Hari Kiamat. Dan di hari itu semua amal perbuatan kita dari yang terkecil hingga yang terbesar akan ditampakkan dan di hadirkan.

Bila kita tengok ayat lain, kita dapati pula bahwa manusia kelak hanya akan mendapati hasil dari amal perbuatannya.

وَأَن لَّيۡسَ لِلۡإِنسَٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ – وَأَنَّ سَعۡيَهُۥ سَوۡفَ يُرَىٰ

“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya, dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya).” (QS.An-Najm:39-40)

وَوَجَدُواْ مَا عَمِلُواْ حَاضِرٗاۗ

“an mereka dapati (semua) apa yang telah mereka kerjakan.” (QS.Al-Kahfi:49)

Sekecil apapun perbuatan itu, kelak kita pasti akan menemuinya. Tak hanya itu, semua amal perbuatan akan di pertontonkan dan dinampakkan oleh Allah Swt.

Karenanya, jangan pernah kita meremehkan perbuatan buruk sekecil apapun dan jangan pula meremehkan kebaikan sekecil apapun. Karena pasti kelak kita akan bertemu dengannya.

Yang kecil atau besar menurut kita belum tentu sama di sisi Allah Swt. Bisa saja hal yang menurut kita kecil tapi di sisi Allah hal itu sangatlah besar. Dan begitu juga sebaliknya.

Ingatlah bahwa perbuatan sekecil dzarrah pun akan ditampakkan !

فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرٗا يَرَهُۥ – وَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٖ شَرّٗا يَرَهُۥ

“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS.Az-Zalzalah:7)

Maka setelah kita meninggalkan tahun 1441 dan memasuki tahun 1442. Awal-awal tahun ini adalah momen penting untuk kita koreksi diri. Karena hari ini harus lebih baik dari kemarin dan tahun ini harus lebih baik dari tahun kemarin.

Tugas kita hanya melakukan yang terbaik, apapun posisi kita sekarang dan bagaimanapun kondisi kita saat ini. Telah tiba waktunya untuk kita memperbanyak investasi untuk akhirat. Agar ketika kita berjumpa dengan Allah dan diperlihatkan amal nanti, kita akan tergolong sebagai orang-orang yang tersenyum gembira melihat amal-amalan yang dipertontonkan dihadapan kita.

Semoga Bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

————————————

Miliki Jam Masjid dan wakafkan untuk Masjid dan Musholah di sekitar Anda,…


Jangan Jadikan Doa hanya Seperti Obat

Salah satu fitrah yang tertanam dalam diri manusia adalah kebergantungannya kepada Dzat Yang Maha Kuat. Namun karena berbagai hal, fitrah ini terkubur dan tertutupi seakan manusia merasa mampu mengendalikan segalanya.

Namun ketika dalam kondisi benar-benar terjepit, cahaya fitrah ini akan menyeruak dan muncul, sehingga ia akan benar-benar memohon pertolongan dan mengemis keselamatan kepada Allah Swt.

Allah Swt Berfirman :

وَإِذَا غَشِيَهُم مَّوۡجٌ كَٱلظُّلَلِ دَعَوُاْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ

“Dan apabila mereka digulung ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” (QS.Luqman:32)

Seringkali manusia menganggap doa seperti obat yang hanya di minum ketika sakit. Begitupula doa hanya di manfaatkan ketika mereka dalam kondisi tertimpa musibah ataupun dalam kesulitan saja.

Sebenarnya ini adalah masalah mindset atau pola pikir manusia. Banyak orang “merasa” membutuhkan Allah di saat-saat sulit saja, sementara di masa jaya mereka melupakan-Nya, bahkan merasa tidak butuh kepada Allah Swt.

وَإِذَا مَسَّ ٱلۡإِنسَٰنَ ٱلضُّرُّ دَعَانَا لِجَنۢبِهِۦٓ أَوۡ قَاعِدًا أَوۡ قَآئِمٗا فَلَمَّا كَشَفۡنَا عَنۡهُ ضُرَّهُۥ مَرَّ كَأَن لَّمۡ يَدۡعُنَآ إِلَىٰ ضُرّٖ مَّسَّهُۥۚ

“Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu darinya, dia kembali (ke jalan yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya.” (QS.Yunus:12)

Padahal jika ia mau merenung sejenak, tidak ada sedetik pun waktu tanpa manusia bergantung pada-Nya. Ada berbagai alasan untuk kita tidak bisa bangun di hari ini, namun Allah Swt memberi kita semua anugerah ini sehingga kita masih bisa bangun dan beraktifitas kembali.

Menjadi seorang hamba artinya menyadari bahwa kita sama sekali tidak mampu melakukan apa-apa tanpa bantuan Allah Swt. Semakin kita merasa bergantung maka semakin tinggi tingkat penghambaan kita kepada Allah Swt.

Karena itu, berdoa lah selalu di masa senang ataupun di masa sulit. Mohonlah pertolongan dan keselamatan dari Allah di saat kehidupanmu jaya atau sedang kesusahan.

“Ingatlah Aku ketika engkau senang, maka Aku akan mengingatmu ketika engkau dalam kesusahan.”

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

5 Wasiat Nabi dalam Amalan Sebelum Tidur

SUATU ketika Rasulullah SAW pernah berpesan kepada Ali bin Abi Thalib mengenai lima wasiat. Sabda Rasulullah, “Wahai Ali, janganlah engkau tidur, kecuali engkau baca Al-Quran semuanya.

“Janganlah engkau tidur, kecuali engkau bersedekah dulu 4000 dirham. Janganlah engkau tidur, kecuali engkau ziarah dulu kepada Ka’bah. Janganlah engkau tidur, kecuali engkau minta musuh-musuhmu mengikhlaskanmu dulu.”

Ali bingung dan bertanya, “Bagaimana caranya aku bisa mengerjakan semua itu?”

Maka Rasulullah pun bersabda, “Bacalah ‘QUL HUWALLAHU AHAD…’ 3 kali, berarti engkau telah membaca Al-Quran semuanya.

Bacalah surat Al-FATIHAH 4 kali, berarti engaku sesungguhnya telah bersedekah 4000 dirham.

“Bacalah ‘LA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKALAH LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU YUHYII WAYUMITU WAHUA ALA KULLI SYAIIN QADIR’ 10 kali, berarti pahalanya sama dengan ziarah ke kabah.

“Bacalah, ‘LAA HAULA WALAQUWWATA ILLA BILLAHILALIYYIL ADZIM’ 10 kali, berarti engkau telah menjaga tempatmu di surga.

Bacalah, ‘ASTAGHFIRULLAHALADZIM ALLADZI LAA ILAHA ILLALLAH HUWAL HAYYUL QAYYUM WWAATUBU ILAIH” 10 kali, berarti musuh-musuhmu telah mengikhlaskanmu.” [ ]

ISLAMPOS

Lakukan Ini di Bulan Muharram, Dosanya Lebih Besar Lho!

KITA tentu sudah mengetahui bahwasanya bulan Muharram merupakan salah satu bulan yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di bulan ini Allah melimpahkan kemuliaan dan keberkahannya jauh lebih besar daripada bulan-bulan lainnya. Maka, kita harus mampu memanfaatkan bulan ini dengan sebaik-baiknya.

Ketika kita melakukan suatu amalan kebaikan, maka Allah akan melipatgandakannya. Tentu, hal ini juga terjadi di bulan lain selain bulan Muharram. Bedanya, jika di bulan lain melakukan perbuatan maksiat dihitung satu dosanya, nah di bulan ini, dosanya lebih besar.

Menurut Imam Qatadah Rahimahullaah, bahwa kezaliman pada bulan-bulan haram lebih besar dosanya daripada berbuat zalim di selainnya. Walaupun perbuatan zalim (dosa) secara keseluruhan adalah perkara besar (dosa besar), tapi Allah melebihkan perkara sesuai dengan kehendak-Nya. Sebagaimana Allah telah memilih hamba-hamba pilihan dari makhluk-Nya: Dia telah memilih beberapa dari malaikat sebagai rasul, begitu dari antara manusia sebagai rasul (utusan-Nya). Dia memilih dari beberapa kalam-Nya sebagai bahan untuk berdzikir kepada-Nya. Dia juga memilih dari beberapa tanah di bumi ini sebagai masjid. Dia juga telah memilih bulan Ramadhan dan bulan-bulan haram dari beberapa bulan yang ada. Dia telah memilih hari Jum’at dari sejumlah hari dan memilih Lailatul Qadar dari beberapa malam. Maka agungkan apa yang telah Dia agungkan, karena sesungguhnya mulia dan agungnya sesuatu tergantung pada pengagungan Allah terhadapnya pada sisi orang yang paham lagi berakal,” (Ringkasan Tafsir QS. Al-Taubah: 36 dari Tafsir Ibnu Katsir).

Maka, dapat kita ketahui bahwa jika kita berbuat maksiat di bulan ini, maka balasannya akan berlipat ganda, layaknya pahala yang dilipatgandakan. Oleh sebab itu, jika kita tak ingin memperoleh siksaan yang amat pedih akibat berbuat dosa di bulan ini, maka jangan pernah melakukannya. Jagalah diri kita dari perbuatan maksiat.

Larangan berbuat dosa di bulan Muharram, bukan berarti kita diperbolehkan melakukannya di bulan lain. Tentu saja, perbuatan maksiat itu dilarang. Melakukan perbuatan itu di bulan lain juga akan memperoleh ganjarannya. Tetapi, jika sampai melakukan perbuatan terlarang di bulan ini, maka ganjarannya akan dilipatgandakan. Wallahu ‘alam. []

ISLAMPOS

7 Amalan Hebat

PERTAMA: Tahajjud, karena kemuliaan seorang mukmin terletak pada tahajjudnya. Pastinya doa mudah termakbul dan menjadikan kita semakin dekat dengan Allah Swt.

Kedua: Membaca Al-Qur’an sebelum terbit matahari. Alangkah baiknya sebelum mata melihat dunia, sebaiknya mata membaca Al-Qur’an terlebih dahulu dengan penuh pemahaman. Paling tidak jika sesibuk apapun kita, bacalah walau beberapa ayat.

Ketiga: Jangan tinggalkan masjid terutama di waktu shubuh. Sebelum melangkah kemana pun langkahkan kaki ke mesjid, karena masjid merupakan pusat keberkahan, bukan karena panggilan muadzin tetapi panggilan Allah yang mencari orang beriman untuk memakmurkan masjid Allah.

Keempat: Jaga sholat dhuha, karena kunci rezeki terletak pada sholat dhuha. Yakinlah, manfaat sholat dhuha sangat dasyat dalam mendatangkan rezeki.

Makanan dan Minuman, Mengapa Harus Halal dan Thayyib?

MAKANAN dan minuman merupakan hal pokok yang dibutuhkan setiap hari. Tidak hanya manusia saja, bahkan semua makhluk hidup pun membutuhkannya.

Makanan dan minuman yang dikonsumsi tidak boleh sembarangan. Islam telah mengatur tentang makanan dan minuman yang boleh dan tidaknya untuk dikonsumsi bagi seorang muslim.

Makanan dan minuman ini harus dilihat dari aspek halal dan thayyibnya. Halal bagaimana memperolehnya, zatnya, dan pengolahannya.

Halal memperolehnya berarti cara memperoleh makanan dan minumannya dengan cara yang baik, bukan hasil mencuri, menipu, merampok, atau korupsi.

Halal zatnya berarti makanan dan minuman yang tidak mengandung zat-zat yang jelas diharamkan oleh Allah SWT dalam Al-Quran. Seperti darah, daging babi, daging anjing, bangkai, khamr, dan sebagainya.

Halal pengolahannya ialah diolah berdasarkan aturan syariat Islam. Bisa saja jenis makanannya halal, tapi karena cara pengolahannya menjadikan tidak halal untuk dikonsumsi.

Sedangkan Thayyib terkait dengan pemenuhan kebutuhan tubuh dan kesehatan. Seperti pemenuhan dari aspek gizi, higienis, dan kebutuhan lain yang sifatnya psikis.

Misalnya daging hewan ternak halal untuk dikonsumsi, jika penyembelihannya sesuai dengan syariat Islam, dan tentu saja thayyib. Sebab sudah memenuhi sisi kebersihan dan kandungan gizinya.

Bila daging tersebut dipotong tidak sesuai syariat Islam, maka selain aspek hukum Islamnya yang tidak terpenuhi, aspek kebutuhan gizi dan kebersihannya juga tidak terpenuhi. Karena ada darah yang menggumpal.

Begitupula untuk mengonsumsi minuman beralkohol, selain jelas tidak diperbolehkan dalam Islam, kalau dilihat dari aspek kesehatan itu bisa merusak anggota tubuh. Sehingga jangan dipisahkan. Ketika bicara halal, maka juga bicara thayyib.

Maka penting sekali memperhatikan halal dan thayyib di setiap makanan dan minuman yang dikonsumsi setiap hari. Jangan sampai makanan dan minuman haram yang masuk dan mengalir dalam darah di tubuh kita. [ ]

ISLAMPOS



Keutamaan Shaum Sunnah 9 dan 10 Muharram

Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أفضل الصيام بعد رمضان ، شهر الله المحرم

“Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim).

Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:

ما رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يتحرى صيام يوم فضَّلة على غيره إلا هذا اليوم يوم عاشوراء ، وهذا الشهر – يعني شهر رمضان

“Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih satu hari untuk puasa yang lebih beliau unggulkan dari pada yang lainnya kecuali puasa hari Asyura’, dan puasa bulan Ramadhan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Puasa Asyura’ (puasa tanggal 10 Muharram)

Dari Abu Musa Al Asy’ari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

كان يوم عاشوراء تعده اليهود عيداً ، قال النبي صلى الله عليه وسلم : « فصوموه أنتم ».

Dulu hari Asyura’ dijadikan orang yahudi sebagai hari raya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Puasalah kalian.” (HR. Al Bukhari)

Dari Abu Qatadah Al Anshari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

سئل عن صوم يوم عاشوراء فقال كفارة سنة

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa Asyura’, kemudian beliau menjawab: “Puasa Asyura’ menjadi penebus dosa setahun yang telah lewat.” (HR. Muslim dan Ahmad).

Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:Loading…

قَدِمَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – الْمَدِينَةَ وَالْيَهُودُ تَصُومُ عَاشُورَاءَ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ ظَهَرَ فِيهِ مُوسَى عَلَى فِرْعَوْنَ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – لأَصْحَابِهِ «أَنْتُمْ أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْهُمْ ، فَصُومُوا».

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Madinah, sementara orang-orang yahudi berpuasa Asyura’. Mereka mengatakan: Ini adalah hari di mana Musa menang melawan Fir’aun. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat: “Kalian lebih berhak terhadap Musa dari pada mereka (orang yahudi), karena itu berpuasalah.” (HR. Al Bukhari).

Keterangan:
Puasa Asyura’ merupakan kewajiban puasa pertama dalam islam, sebelum Ramadlan. Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz radliallahu ‘anha, beliau mengatakan:

أرسل النبي صلى الله عليه وسلم غداة عاشوراء إلى قرى الأنصار : ((من أصبح مفطراً فليتم بقية يومه ، ومن أصبح صائماً فليصم)) قالت: فكنا نصومه بعد ونصوّم صبياننا ونجعل لهم اللعبة من العهن، فإذا بكى أحدهم على الطعام أعطيناه ذاك حتى يكون عند الإفطار

Suatu ketika, di pagi hari Asyura’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang mendatangi salah satu kampung penduduk Madinah untuk menyampaikan pesan: “Siapa yang di pagi hari sudah makan maka hendaknya dia puasa sampai maghrib. Dan siapa yang sudah puasa, hendaknya dia lanjutkan puasanya.” Rubayyi’ mengatakan: Kemudian setelah itu kami puasa, dan kami mengajak anak-anak untuk berpuasa. Kami buatkan mereka mainan dari kain. Jika ada yang menangis meminta makanan, kami memberikan mainan itu. Begitu seterusnya sampai datang waktu berbuka. (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, puasa Asyura’ menjadi puasa sunnah. A’isyah radliallahu ‘anha mengatakan:

كان يوم عاشوراء تصومه قريش في الجاهلية ،فلما قد المدينة صامه وأمر بصيامه ، فلما فرض رمضان ترك يوم عاشوراء ، فمن شاء صامه ، ومن شاء تركه

Dulu hari Asyura’ dijadikan sebagai hari berpuasa orang Quraisy di masa jahiliyah. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melaksanakn puasa Asyura’ dan memerintahkan sahabat untuk berpuasa. Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, beliau tinggalkan hari Asyura’. Siapa yang ingin puasa Asyura’ boleh puasa, siapa yang tidak ingin puasa Asyura’ boleh tidak puasa. (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Puasa Tasu’a (puasa tanggal 9 Muharram)

Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau menceritakan:

حين صام رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عاشوراء وأمر بصيامه ، قالوا : يا رسول الله ! إنه يوم تعظمه اليهود والنصارى ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((فإذا كان العام المقبل ، إن شاء الله ، صمنا اليوم التاسع )) . قال : فلم يأت العام المقبل حتى تُوفي رسول الله صلى الله عليه وسلم

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa Asyura’ dan memerintahkan para sahabat untuk puasa. Kemudian ada sahabat yang berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya hari Asyura adalah hari yang diagungkan orang yahudi dan nasrani. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahun depan, kita akan berpuasa di tanggal sembilan.” Namun, belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamsudah diwafatkan. (HR. Al Bukhari).

Sumber: Konsultasi syariah

ISLAMPOS

Salat Qabliyah Digabung Tahiyatul Masjid Why Not?

JIKA bisa digabungkan maka tidak perlu dipertentangkan. Kita bisa salat dua rakaat dengan niat salat sunah qabliyah sekaligus tahiyatul masjid, karena para ulama menggolongkan salat tahiyatul masjid sebagai salat sunah mutlak, sehingga untuk mengerjakannya, seseorang tidak harus berniat salat khusus. (Maqasid Al-Mukallafin, hlm. 212, karya Umar Al-Asyqar).

Hal ini berdasarkan hadis tentang salat tahiyatul masjid, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Jika seseorang di antara kalian masuk masjid maka janganlah dia duduk sampai dia mengerjakan salat dua rakaat.” (HR. Muslim)

Di hadis ini tidak disebutkan jenis salat tertentu. Yang penting, ketika seseorang masuk masjid, hendaknya dia tidak duduk terlebih dahulu sampai dia salat dua rakaat, apapun bentuk salatnya, baik salat qabliyah atau bahkan salat wajib sekali pun.

Ringkasnya, kita bisa melaksanakan salat dua rakaat, dengan niat salat sunah qabliyah sekaligus sebagai salat sunnah tahiyatul masjid. Allahu alam. [KonsultasiSyariah]

INILAH MOZAIK