Lima Ciri Munafik

Hadits Ke-48 dari Jamiul Ulum wal Hikam Ibnu Rajab

الحَدِيْثُ الثَّامِنُ وَالأَرْبَعُوْنَ

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ، عَنِ النَّبيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : أَربعٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقاً ، وَإِنْ كَانَتْ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ فِيْهِ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفاقِ حَتَّى يَدَعَهَا : مَنْ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ  خَرَّجَهُ البُخَارِيُّ  وَمُسْلِمٌ

Hadits Ke-48

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Ada empat tanda seseorang disebut munafik. Jika salah satu perangai itu ada, ia berarti punya watak munafik sampai ia meninggalkannya. Empat hal itu adalah: (1) jika berkata, berdusta; (2) jika berjanji, tidak menepati; (3) jika berdebat, ia berpaling dari kebenaran; (4) jika membuat perjanjian, ia melanggar perjanjian (mengkhianati).” (HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 2459, 3178 dan Muslim, no. 58]

Ada juga hadits lainnya yang melengkapi tanda munafik selain hadits di atas sebagai berikut.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مِنْ عَلاَمَاتِ الْمُنَافِقِ ثَلاَثَةٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ

Di antara tanda munafik ada tiga: jika berbicara, berdusta; jika berjanji, tidak menepati; jika diberi amanat, berkhianat.” (HR. Muslim, no. 59)

Dalam riwayat lain disebutkan,

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى وَزَعَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ

Tanda munafik itu ada tiga, walaupun orang tersebut puasa dan mengerjakan shalat, lalu ia mengklaim dirinya muslim.” (HR. Muslim, no. 59)

Faedah hadits

Pertama: Secara bahasa, nifaq (kemunafikan) termasuk dalam pengelabuan dan makar, yaitu dengan menampakkan sisi baik dan menyembunyikan sisi buruknya. Menurut istilah syari, nifaq (kemunafikan) ada dua macam:

  1. Kemunafikan besar (nifaq akbar), yaitu menampakkan keimanan (yaitu beriman kepada Allah, malaikat, kitab suci, para rasul, dan hari akhir), lalu menyembunyikan kekafiran, bisa jadi kekafiran secara total (tidak beriman sama sekali), atau tidak mengimani sebagian. Kemunafikan jenis pertama inilah yang ditemukan pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-Qur’an diturunkan untuk mencela orang munafik jenis ini, bahkan Al-Qur’an mengafirkan mereka. Al-Qur’an pun menyebutkan bahwa pelaku jenis ini berada pada dasar paling bawah dari neraka.
  2. Kemunafikan kecil (nifaq ashgar), itulah nifaq al-‘amal (kemunafikan amalan), yaitu menampakkan diri saleh, padahal keadaan batin tidak seperti itu.

Kedua: Asal kemunafikan kembali pada ciri-ciri kemunafikan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang dikaji. Secara umum tanda munafik itu ada lima:

  1. Jika mengatakan suatu perkataan di mana orang yang mendengar begitu mempercayainya, padahal yang dikatakan itu suatu kedustaan.
  2. Jika berjanji, tidak menepati. Di sini ada dua macam: (a) sedari awal berniat tidak akan menunaikan janji, inilah orang yang paling jelek dalam mengingkari janji; (b) berjanji dengan niat akan menunaikan, kemudian ia tidak menepatinya padahal tidak ada uzur.
  3. Jika berdebat, ia fujuur, artinya sengaja keluar dari kebenaran, hingga kebenaran menjadi suatu kebatilan dan kebatilan menjadi suatu kebenaran. Jika seseorang punya kemampuan berdebat lalu ia membela kebatilan sehingga membuat kebatilan itu tampak benar bagi yang mendengarkan, ini adalah sejelek-jelek keharaman, dan perangai munafik yang paling jelek.
  4. Jika membuat perjanjian, lalu melanggar dan tidak memenuhi perjanjian tersebut.
  5. Jika diberi amanat, ia berkhianat. Ketika seseorang diberi amanat, harusnya ia tunaikan amanat tersebut. Berkhianat terhadap amanat termasuk ciri-ciri munafik.

Dari Ibnu ‘Umar radliyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ هَذِهِ غَدْرَةُ فُلَانٍ

Setiap pengkhianat memliki bendera pada hari Kiamat kelak. Lalu dikatakan kepadanya, “Inilah pengkhianat si Fulan.’” (HR. Bukhari, no. 3187 dan Muslim, no. 1735)

Ketiga: Kemunafikan itu kembali pada “berbedanya lahir dan batin”.

Tiga faedah ini diringkas dari Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam.

Masalah: Apakah wajib memenuhi janji?

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Para ulama berselisih pendapat tentang wajibnya memenuhi janji. Ada yang mengatakan wajib. Ada yang menyatakan wajib secara mutlak. Inilah pendapat dari ulama Zhahiriyah dan semisalnya. Di antara mereka ada yang menyatakan wajib memenuhi janji jika pihak yang diberi janji merasa rugi.

Masalah: Berbagai bentuk melangggar perjanjian

Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan, “Melanggar setiap perjanjian itu haram baik perjanjian dengan sesama muslim atau dengan non-muslim. Termasuk dalam hal ini, tidak boleh mengkhianati perjanjian dengan non-muslim. Inilah yang dijelaskan pada hadits kafir mu’ahad (kafir yang punya ikatan perjanjian dengan kaum muslim). Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَتَلَ نَفْسًا مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ رِيحَهَا يُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَعَامًا

Siapa yang membunuh kafir mu’ahad, ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari, no. 3166)

Allah sendiri telah memerintahkan dalam Al-Qur’an untuk menunaikan perjanjian dengan orang musyrik selama mereka memenuhi janji tersebut dan tidak membatalkannya.

Adapun perjanjian dengan sesama kaum muslimin, tentu lebih harus ditaati. Membatalkan perjanjian dengan sesama muslim tentu dosanya lebih besar.

Bentuk pelanggaran perjanjian:

Pertama: Membatalkan perjanjian dengan pemimpin kaum muslimin yang sudah dibaiat dan sudah diridai. Dalam shahihain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، وَلاَ يُزَكِّيهِمْ ، وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ … ، وَرَجُلٌ بَايَعَإِمَامًا لاَ يُبَايِعُهُ إِلاَّ لِدُنْيَاهُ ، إِنْ أَعْطَاهُ مَا يُرِيدُ وَفَى لَهُ ، وَإِلاَّ لَمْ يَفِ لَهُ

Tiga hal yang Allah tidak akan berbicara dengan mereka pada hari kiamat, Allah tidak akan menyucikan mereka, bagi mereka azab yang pedih, (di antaranya yang disebutkan): seseorang yang berbaiat (sumpah setia kepada pemimpin, pen.), ia membaiatnya hanya karena tujuan dunia. Jika pemimpin itu memberi yang ia inginkan, ia akan memenuhi janjinya. Jika tidak diberi, ia tidak akan memenuhi janjinya.” (HR. Bukhari, no. 7212 dan Muslim, no. 108)

Kedua: Melanggar perjanjian yang wajib ditunaikan, diharamkan untuk melanggarnya seperti:

  • Semua akad jual beli yang sudah saling rida.
  • Ikatan pernikahan.

Ketiga: Melanggar perjanjian dengan Allah yang seharusnya ditunaikan seperti seseorang berjanji menunaikan nadzar dalam ketaatan dan semisal itu.” (Dibahasakan secara bebas dari Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:488)

Perkataan para ulama tentang kemunafikan

Ibnu Abi Mulaikah pernah berkata,

أَدْرَكْتُ ثَلاَثِيْنَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبيِّ – صلى الله عليه وسلم – كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ

“Aku telah mendapati tiga puluh orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya khawatir pada dirinya tertimpa kemunafikan.” (HR. Bukhari, no. 36)

Ada perkataan dari Imam Ahmad,

وسُئِلَ الإمامُ أحمد : مَا تَقُوْلُ فِيْمَنْ لاَ يَخَافُ عَلَى نَفْسِهِ النِّفَاق ؟ فقال : وَمَنْ يَأمَنُ عَلَى نَفْسِهِ النِّفَاقَ ؟

Imam Ahmad pernah ditanya, “Apa yang kau katakan pada orang yang tidak khawatir pada dirinya kemunafikan?” Beliau menjawab, “Apa ada yang merasa aman dari sifat kemunafikan?”

Al-Hasan Al-Bashri sampai menyebut orang yang tampak padanya sifat kemunafikan dari sisi amal (bukan i’tiqod atau keyakinan), maka ia disebut munafik. Sebagaimana ada perkataan Hudzaifah dalam hal itu. Seperti ada perkataan Asy-Sya’bi semisal itu pula,

مَنْ كَذَبَ ، فَهُوَ مُنَافِقٌ

“Siapa yang berdusta, maka ia adalah munafik.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:493)

Al-Hasan Al-Bashri berkata,

مَا خَافَهُ إِلاَّ مُؤْمِنٌ ، وَلاَ أَمَنَهُ إلِاَّ مُنَافِقٌ

“Orang yang khawatir terjatuh pada kemunafikan, itulah orang mukmin. Yang selalu merasa aman dari kemunafikan, itulah senyatanya munafik.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:491)

Semoga Allah menyelamatkan kita dari sifat munafik.

Referensi:

  1. Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
  2. Fath Al-Qawi Al-Matin fii Syarh Al-Arba’in wa Tatimmah Al-Khamsiin li An-Nawawi wa Ibnu Rajab rahimahumallah. Cetakan kedua, Tahun 1436 H. Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Muhammad Al-‘Abbad Al-Badr.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/25293-lima-ciri-munafik-hadits-jamiul-ulum-wal-hikam-48.html

Hukum Qurban Bergilir Antar Anggota Keluarga

Kebiasaan qurban bergilir ini marak di masyarakat kita. Yaitu misalnya satu keluarga terdiri dari suami, istri dan dua anak. Maka tahun ini yang berqurban suami, tahun depan istri, tahun setelahnya anak pertama, tahun setelahnya lagi anak kedua, dan seterusnya.

Ini menjadi hal yang unik, karena kami belum mendapatkan hal seperti ini di kitab-kitab fikih.

Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam selalu berqurban setiap tahun. Namun tidak dinukil riwayat bahwasanya beliau mempergilirkan qurban, kepada istri-istrinya dan anak-anaknya. Bahkan beliau menganggap qurban beliau sudah mencukupi seluruh keluarganya. Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, beliau berkata:

ضحَّى رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ بكبشَيْنِ أقرنيْنِ أملحيْنِ أحدِهما عنهُ وعن أهلِ بيتِه والآخرِ عنهُ وعمَّن لم يُضَحِّ من أمَّتِه

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berqurban dengan dua domba gemuk yang bertanduk salah satunya untuk diri beliau dan keluarganya dan yang lain untuk orang-orang yang tidak berqurban dari umatnya” (HR. Ibnu Majah no.3122, dihasankan oleh Al Albani dalam Irwaul Ghalil [4/353]).

Demikian juga para sahabat Nabi, yang berkurban di antara mereka adalah para kepala keluarga, dan mereka juga tidak mempergilirkan qurban pada anak dan istri mereka. Dari Abu Ayyub Al Anshari radhiallahu’anhu, ia berkata:

كانَ الرَّجلُ في عَهدِ النَّبيِّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ يُضحِّي بالشَّاةِ عنهُ وعن أَهلِ بيتِهِ فيأْكلونَ ويَطعَمونَ ثمَّ تباهى النَّاسُ فصارَ كما ترى

“Dahulu di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, SEORANG LELAKI berqurban dengan satu kambing yang disembelih untuk dirinya dan keluarganya. Mereka makan dan sembelihan tersebut dan memberi makan orang lain. Kemudian setelah itu orang-orang mulai berbangga-bangga (dengan banyaknya hewan qurban) sebagaimana engkau lihat” (HR. Tirmidzi no.1505, Ibnu Majah no. 3147, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).

Syaikh Ibnu Al Utsamin ditanya: “apakah setiap anggota keluarga dituntut untuk berqurban atas diri mereka masing-masing?”. Beliau menjawab:

لا.السنة أن يضحي رب البيت عمن في البيت، لا أن كل واحد من أهل البيت يضحي، ودليل ذلك أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ضحى بشاة واحدة عنه وعن أهل بيته، وقال أبو أيوب الأنصاري رضي الله عنه: ( كان الرجل على عهد النبي صلى الله عليه وسلم يضحي بالشاة عنه وعن أهل بيته ) ولو كان مشروعاً لكل واحد من أهل البيت أن يضحي لكان ذلك ثابتاً في السنة، ومعلوم أن زوجات الرسول عليه الصلاة والسلام لم تقم واحدة منهن تضحي اكتفاء بأضحية النبي صلى الله عليه وسلم

“Tidak. Yang sesuai sunnah, kepala rumah tangga lah yang berkurban. Bukan setiap anggota keluarga. Dalilnya, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berqurban dengan satu kambing untuk dirinya dan keluarganya. Dan Abu Ayyub Al Anshari berkata: “Dahulu di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, SEORANG LELAKI berqurban dengan satu kambing yang disembelih untuk dirinya dan keluarganya”. Andaikan disyariatkan setiap anggota keluarga untuk berkurban atas dirinya masing-masing tentu sudah ada dalilnya dari sunnah Nabi. Dan kita ketahui bersama, bahwa para istri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak ada yang berqurban, karena sudah mecukupkan diri dengan qurban Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam“.

Beliau juga mengatakan:

فإن قال قائل: لعل ذلك لفقرهم؟ فالجواب: إن هذا احتمال وارد لكنه غير متعين، بل إنه جاءت الآثار بأن من أزواج الرسول عليه الصلاة والسلام من كانت غنية

“Jika ada orang yang berkata: mungkin itu karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sangat miskin? Maka kita jawab: memang kemungkinan tersebut ada, namun tidak bisa kita pastikan. Bahkan terdapat banyak atsar yang menunjukkan bahwa para istri-istri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah orang-orang kaya“ (Durus Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 8/5)[1].

Dan perlu diperhatikan bahwa ibadah qurban ini wajib ikhlas hanya untuk meraih wajah Allah Ta’ala. Hendaknya jauhkan perasaan ingin dilihat, ingin dikenal pernah berqurban, ingin nampak namanya atau semisalnya yang merupakan riya dan bisa menghanguskan pahala amalan. Karena terkadang alasan orang berqurban atas nama istrinya atau anaknya karena anak dan istrinya belum pernah nampak namanya dalam list shahibul qurban. Allahul musta’an. Oleh karena itulah dalam hadits Abu Ayyub di atas disebutkan:

ثمَّ تباهى النَّاسُ فصارَ كما ترى

“Kemudian setelah itu orang-orang mulai berbangga-bangga sebagaimana engkau lihat”

Yaitu menjadikan ibadah qurban sebagai ajang berbangga di hadapan orang banyak.

Di sisi lain, ulama Malikiyah dan sebagian ulama Syafi’iyyah mensyaratkan yang berqurban haruslah yang memberikan nafkah, barulah mencukupi untuk satu keluarga. Dalam kitab Al Muntaqa karya Al Baji disebutkan:

والأصل في ذلك حديث أبي أيوب كنا نضحي بالشاة الواحدة يذبحها الرجل عنه وعن أهل بيته زاد ابن المواز عن مالك وولديه الفقيرين قال ابن حبيب: وله أن يدخل في أضحيته من بلغ من ولده وإن كان غنيا إذا كان في نفقته وبيته

“Landasan dari hal ini adalah hadits Abu Ayyub: ‘dahulu kami biasa berqurban dengan satu kambing yang disembelih SEORANG LELAKI untuk dirinya dan keluarganya’. Dalam riwayat Ibnu Mawaz dari Malik adal tambahan: ‘dan orang tuanya dan orang fakir yang ia santuni’. Ibnu Habib mengatakan: ‘Maka boleh meniatkan qurban untuk orang lain yang bukan keluarganya, dan ia orang yang kaya, jika memang orang lain tersebut biasa ia nafkahi dan tinggal di rumahnya’”

Sehingga dengan pendapat ini, jika yang berqurban adalah istri atau anak, maka qurban tidak mencukupi seluruh keluarga.

Walhasil, kami bertanya kepada beberapa ulama dalam masalah ini, dengan teks pertanyaan, “wahai Syaikh, terkait qurban. Diantara kebiasaan di negeri kami, seorang lelaki misalnya tahun ini berqurban, namun tahun depan dia tidak berqurban melainkan istrinya yang berqurban. Tahun depannya lagi anak pertamanya, dan terus demikian secara bergiliran. Apakah ini baik?”.

Syaikh Walid Saifun Nashr menjawab:

لا أعلم له أصلا

“Saya tidak mengetahui ada landasan dari perbuatan ini” [2]

Syaikh Dr. Aziz Farhan Al Anazi menjawab:

الأصل أن على ان أهل كل بيت أضحية والذي يتولى ذلك الوالد لانه هو المكلف بالإنفاق على زوجته واولاده

“Asalnya tuntutan untuk berqurban itu pada setiap keluarga, dan yang bertanggung-jawab untuk menunaikannya adalah suami karena dia yang wajib memberikan nafkah kepada istri-istri dan anak-anaknya” [3].

Adapun mengenai keabsahan qurban jika yang berqurban bukan kepala keluarga namun salah seorang dari anggota keluarga, maka tetap sah jika syarat dan rukun qurban terpenuhi. Semisal jika istrinya yang berqurban atau anaknya, maka boleh dan tetap sah. Namun kurang utama, karena menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya.

Kesimpulannya, yang lebih mendekati sunnah Nabi dan para sahabat, yang berqurban cukuplah suami saja sebagai kepala keluarga. Tidak perlu dipergilirkan kepada anggota keluarga yang lain. Dan tidak ada keutamaan khusus dengan mempergilirkan demikian. Namun jika anggota keluarga yang lain berqurban atas nama dirinya, itu pun boleh saja dan sah. Hanya saja kurang sesuai dengan sunnah Nabi dan para sahabat sebagaimana telah dijelaskan.

Wallahu a’lam.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50577-hukum-qurban-bergilir-antara-anggota-keluarga.html

Hukum Utang untuk Qurban

Apa hukum utang untuk bisa berqurban?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ditanya:

Bagaimana dengan orang yang tidak mampu berqurban, apakah boleh mencari utang?

Beliau menjawab:

الحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالميْنَ إِنْ كَانَ لَهُ وَفَاءٌ فَاسْتَدَانَ مَا يُضَحِّي بِهِ فَحَسَنٌ وَلاَ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ وَاللهُ أَعْلَمُ

Alhamdulillah rabbil ‘alamin.

Jika orang tersebut punya kemampuan untuk melunasi, maka ia bisa mencari utang untuk bisa berqurban, itu baik. Namun hal ini tidaklah wajib baginya untuk melakukan seperti itu. Wallahu a’lam. (Majmu’ah Al-Fatawa, 26:305)

Berarti masih dibolehkan berqurban dalam keadaan berutang, misal ia yakin utangnya bisa dibayar lunas dari gaji yang akan keluar di akhir bulan. Namun ingat, berqurban dengan berutang menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tidaklah harus.

Semoga bermanfaat.


Kamis pagi, 29 Dzulqa’dah 1440 H, 1 Agustus 2019

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/21024-hukum-utang-untuk-qurban.html

Waktu Terbaik Shalat Hajat, Jam Berapa?

Hanya dua rakaat, shalat hajat memiliki keutamaan yang luar biasa. Kapan waktu terbaik shalat hajat sehingga doanya lebih mustajab dan hajatnya dikabulkan Allah?

Shalat hajat adalah sholat sunnah yang dikerjakan dengan maksud khusus memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan hajat, kebutuhan atau keperluannya.

Para sahabat selalu berdoa meminta kepada Allah dalam setiap kebutuhan mereka. Yang dianggap paling sederhana sekalipun. Mereka mengamalkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

لِيَسْأَلْ أَحَدُكُمْ رَبَّهُ حَاجَتَهُ حَتَّى يَسْأَلَهُ الْمِلْحَ وَحَتَّى يَسْأَلَهُ شِسْعَ نَعْلِهِ إِذَا انْقَطَعَ

“Hendaklah salah seorang dari kalian senantiasa meminta kebutuhannya kepada Tuhan, sampai pun ketika meminta garam, sampai pun meminta tali sandalnya ketika putus.” (HR. Tirmidzi; hasan)

Ketika kebutuhan atau keperluan itu dirasa besar, Rasulullah mengajarkan untuk tidak hanya berdoa namun mendahuluinya dengan dua rakaat shalat hajat.

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَسْبَغَ الْوُضُوءَ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ يُتِمُّهُمَا أَعْطَاهُ اللَّهُ مَا سَأَلَ مُعَجِّلاً أَوْ مُؤَخِّراً

Barangsiapa berwudhu dan menyempurnakannya, kemudian mengerjakan sholat dua rakaat dengan sempurna maka Allah memberi apa saja yang ia minta, baik segera maupun lambat. (HR. Ahmad)

“Dianjurkan bagi setiap muslim yang memiliki kebutuhan yang syar’i untuk melakukan shalat hajat,” tulis Syaikh Abdurrahman Al Juzairi dalam Fiqih Empat Madzhab.

Waktu Shalat Hajat

Dalam artikel Sholat Hajat yang saya tulis, banyak pertanyaan seputar waktu sholat hajat. Selain itu, banyak sekali kaum muslimin yang mencari kapan waktu terbaik shalat hajat di search engine. Karenanya, sengaja saya tulis secara khusus di sini.

Shalat hajat bisa dilakukan kapan pun baik siang maupun malam, di luar waktu dilarang shalat. Ada pun waktu dilarang shalat ada lima yakni:

  1. Dari shalat Shubuh hingga terbit matahari terbit
  2. Dari matahari terbit hingga matahari meninggi seukuran satu tombak (kira-kira 15 menit setelah matahari terbit)
  3. Ketika matahari tepat di atas kepala
  4. Dari shalat Ashar hingga mulai tenggelam
  5. Dari matahari mulai tenggelam hingga tenggelam sempurna

Dengan demikian, shalat hajat bisa dikerjakan:

  1. Di waktu sholat dhuha
  2. Setelah Shalat Zhuhur hingga sebelum masuk waktu Shalat Ashar
  3. Setelah Shalat Maghrib hingga sebelum masuk waktu Shalat Isya’
  4. Setelah Shalat Isya’ hingga sebelum masuk waktu Shalat Subuh

Jadi, waktu shalat hajat ini terbentang luas. Jika dihitung dalam jam, total waktu yang diperbolehkan shalat hajat sekitar 19 jam dalam sehari semalam. Artinya, relatif tidak ada kendala waktu bagi muslim yang mau mengerjakan shalat sunnah ini.

Waktu Terbaik Shalat Hajat

Lalu kapan waktu terbaik shalat hajat? Dari seluruh waktu itu, yang terbaik dan paling utama adalah pada sepertiga malam terakhir. Sebab waktu itu adalah waktu paling mustajab untuk berdoa.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan keutamaan waktu tersebut dalam sabdanya:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ

Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir di setiap malamnya. Kemudian berfirman: ‘Siapa saja yang berdoa kepada-Ku akan Kukabulkan, siapa saja yang meminta sesuatu kepada-Ku akan Kuberi, siapa saja yang memohon ampunan dari-Ku akan Kuampuni‘. (HR. Bukhari dan Muslim)

Sepertiga malam terakhir juga merupakan waktu paling utama untuk menunaikan sholat tahajud.

Jam berapakah sepertiga malam terakhir itu?

Satu malam dihitung sejak masuk waktu Isya’ dan berakhir saat terbit fajar. Katakanlah jam 19.00 Wib hingga 04.00 Wib. Yaitu selama sembilan jam. Sepertiga malam berarti tiga jam, dengan pembagian sebagai berikut:

  • Sepertiga malam pertama: Sekitar jam 19.00 – 22.00 Wib
  • Sepertiga malam kedua: Sekitar jam 22.00 – 01.00 Wib
  • Sepertiga malam terakhir: Sekitar jam 01.00 – 04.00 Wib

Sekitar jam 01.00 Wib hingga jam 04.00 Wib (terbit fajar) itulah sepertiga malam terakhit dan itulah waktu terbaik shalat hajat. Pembahasan lengkap mengenai shalat hajat mulai dari tata cara, niat hingga keutamaannya bisa dibaca di artikel Niat Sholat Hajat. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

BERSAMA DAKWAH

Jelang Idul Adha, Umat di Zona Merah Diimbau Waspada

 Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesia (DMI) Imam Addaruquthni mengatakan, masyarakat dan umat Islam perlu tetap waspada terhadap penyebaran virus Covid-19 di masjid pada Idul Adha nanti. Terutama dari masjid-masjid yang berada di kawasan atau zona merah.
Untuk itu pihaknya mengimbau kepada umat yang berada di zona masjid yang merah untuk tetap mematuhi protokol Covid-19.

Menurutnya, peran Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) yang berada di zona merah dibutuhkan lebih ekstra agar dapat menjabarkan dengan detail dan menerapkan protokol masjid yang ada.

“Imbauan kepada umat yang di masjid zona merah yakni harus tetap patuhi protokol Covid-19 masjid,” kata Imam saat dihubungi Republika, Jumat (10/7).

Pihaknya juga mengatakan bahwa masjid di zona merah memiliki tingkat kerawanan tinggi penyebaran apabila menggelar shalat Idul Adha tanpa memperhatikan protokol Covid-19. Apalagi, kata dia, masjid yang melakukan peribadatan di wilayah terbuka seperti jalan raya.

Menggelar peribadatan di tempat-tempat terbuka, kata dia, terdapat ancaman dari sanitasinya. Untuk meminimalisir hal tersebut, para jamaah pun diperintahkan membawa sajadah masing-masing serta medium serupa sajadah lainnya yang dapat memproteksi penyebaran itu.

Kewaspadaan terhadap penyebaran virus Covid-19 di dalam pelaksanaan shalat Idul Adha juga menurutnya harus dibarengi dengan sikap yang cerdas dan kehati-hatian. Salah satunya adalah dengan tidak menelan informasi yang tidak akurat dan hoaks yang banyak disebarkan melalui media sosial.

“Dibutuhkan peran serta semua elemen agar penyebaran Covid-19 di Idul Adha tidak terjadi. Kita berupaya dan berdoa, semoga tidak ada penyebaran, amin,” pungkasnya.


IHRAM

Makanan Yang Membuat Tidak Miskin

Nah pertanyaannya adalah makanan seperti apa yang baik untuk kita yang bukan hanya sekedar menghilangkan rasa lapar tetapi juga menghilangkan kemiskinan.

HILANGNYA kemiskinan dan nihilnya kelaparan (No Poverty and Zero Hunger) adalah goals pertama dan kedua dari 17 goals yang disepakati oleh negara-negara di dunia dengan apa yang disebut Sustainable Development Goals atau SDGs. Target pencapian SDGs ini semula adalah 2030, namun  banyak kalangan meragukan pencapaian ini lebih-lebih setelah adanya pandemi global Covid-19 yang dialami oleh hampir seluruh negara di dunia tahun ini.

Saya melihat justru sebaliknya, pandemi covid-19 bisa menjadi momentum global untuk mempercepat program pengentasan kemiskinan dan pengatasan problem kelaparan – yaitu apabila masyarakat di dunia mau berubah – itu saja syaratnya. Dan peluang masyarakat untuk­­­ berubah ini menjadi semakin besar ketika masyarakat kepepet – seperti dilanda pandemi, hilangnya pekerjaan, tekanan ekonomi dan lain sebagainya yang kini terjadi secara massif di seluruh dunia.

Mengapa saya sangat yakin dengan pendapat saya ini? Karena ada dasar hukum yang sangat kuat untuk masalah makanan dan kemiskinan ini baik yang berasal dari Al-Qur’an maupun hadits. Kita tahu bahwa kemiskinan dan kelaparan itu amat erat dan keduanya beririsan di masalah makanan, ketika makanan kita benar maka akan hilang dengan sendirinya kelaparan dan kemiskinan itu.

Nah pertanyaannya adalah makanan seperti apa yang baik untuk kita yang bukan hanya sekedar menghilangkan rasa lapar tetapi juga menghilangkan kemiskinan. Jangan tanyakan masalah ini ke mbah Google karena kalau Anda bertanya kepadanya tentang makanan yang baik, hasilnya Anda akan bingung sendiri. Satu pihak mengatakan ini makanan yang baik, yang lain dengan kompetensi yang sama akan mengatakan makanan ini buruk dst.

Bertanyalah pada Al-Qur’an, maka Al-Qur’an akan memberikan jawaban yang sangat rinci yang kebenarannya hakiki sepanjang zaman. Tentang makanan kita misalnya, ada rincian detail yang merenceng susunan makanan kita dari biji-bijian, buah, sayur, rempah dan hasil ternak di Surat ‘Abasa dari ayat 23 sampai 32.

Contohlah sebaik-baik contoh –uswatun hasanah– yang memberikan rincian yang sangat detil tentang apa-apa yang beliau makan, bahkan termasuk bagaimana cara memperoleh atau memproduksi bahan makanan tersebut. Maka dalam konteks mencari makanan yang paling unggul inilah, sebaik-baik search engine yang kita gunakan adalah pencarian di dalam Al-Qur’an dan Hadits.

Setelah Al-Qur’an merenceng makanan terbaik kita di surat ‘Abasa tersebut misalnya, Allah juga memberi tahu kita cara mengkonsumsinya di Surat  Al-Mu’minun ayat 23 “…wa sibghil lil akilin” yaitu dengan mencelup/mengolesi makanan kita dengan minyak zaitun. Lebih jauh ada contoh yang sangat indah dari Rasulullah SAW ketika menghibur istrinya dengan mengungkapkan cuka adalah sebaik-baik lauk pauk dalam hadits berikut:

Dari Jabir bin Abdullah meriwayatkan bahwa: “Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memegang tanganku (dan menuntunku) ke rumahnya, disajikan ke beliau sejumlah roti, kemudian beliau bertanya: adakah lauknya? yang di rumah menjawab: Tidak, yang ada hanya cuka. Keemudian beliau membalas: cuka adalah lauk yang baik. Jabir berkata: saya selalu mencintai cuka ini setelah mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Talha mengatakan: Saya selalu mencintai cuka ini sejak saya mendengar tentangnya dari Jabir.” (Sahih Muslim).

Tentang lauk terbaik ini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahkan mengajarkan sendiri kepada para sahabatnya cara membuatnya, agar tidak keliru dengan alkohol atau khamr yang dilarang. Keduanya adalah produk fermentasi dari buah atau biji-bijian, tetapi khamr haram dan dilarang untuk dikonsumsi sedangkan cuka justru dicontohkan dan dikatakan sebaik lauk terbaik. Bagaimana membedakannya? Perhatikan salah satu mukjizat Nabi yang ditunjukkannya melalui hadits berikut :

Dari Ibnu Al-dailami dari ayahnya berkata: “Kami bertanya kepada Rasulullah, Wahai Rasulullah, kami memiliki anggur, apa yang harus kami lakukan dengannya? Beliau menjawa: ‘Buat kismis”, Kami bertanya:”Apa yang harus kami lakukan dengan kismis?”, Beliau menjawab : “Rendam (dengan air) pagi hari dan  minum di sore hari, rendam di sore hari dan minum di pagi hari “, Saya bertanya : “Bolehkan saya rendam lebih lama agar lebih kuat?” beliau menjawab :”Jangah ditaruh dalam wadah yang terbuat dari tanah (keramik) tetapi taruhlah dalam wadah dari kulit,dia akan bertahan lama, dan berubah menjadi cuka” (Sunan An-Nasai, dan Sunan Abu Dawud dengan redaksi yang berbeda).

Apa mukjizat yang tersimpan dalam petunjuk Nabi tentang tata cara membuat cuka tersebut? perhatikan wadah yang digunakan. Lebih dari seribu tahun setelah hadits tersebut, manusia baru bisa membedakan apa itu ragi dan apa itu bakteri. Ragi melakukan fermentasi tanpa udara (anaerob)  dan menghasilkan Alkohol plus CO2, sementara bakteri melakukan fermentasi dengan udara (aerob) dan hasilnya adalah cuka.

Anggur bila direndam di tempat tanpa udara seperti pada wadah yang terbuat dari tanah liat atau keramik yang dihasilkan adalah alkohol yang haram. Bila disimpan dalam wadah dari kulit (Qirbah), bakteri yang ada di dalamnya tetap berespirasi dengan udara, fermentasinya dengan cara aerob dan hasilnya cuka yang menjadi lauk terbaik di atas.

Dari mana Nabi tahu cara kerja jazat renik yang sangat berbeda satu sama lain tersebut sedangkan mikroskop-pun baru ditemukan berabad-abad kemudian? Itulah mukjizat, Nabi memperoleh ilmunya langsung dari Allah tanpa perlu eksperimen maupun uji laboratorium, kita tinggal mengikutinya saja.

Di jaman modern ini alat yang kita gunakan bisa saja berbeda, tetapi harus mengikuti cara kerja yang sama. Proses pembuatan cuka yang halal tidak boleh mengikuti cara kaum non muslim yang membuatnya dari alkohol, harus dari awal dibuat dengan yang dijelaskan dalam hadits tersebut di atas. Kalau tidak punya wadah dari kulit, bisa diganti dengan wadah dari kaca yang ditutup kain, sehingga fermentasinya tetap aerob. Tidak boleh dipercepat dengan dibuat alkohol dahulu baru dijadikan cuka, karena hal inipun pernah ditanyakan ke beliau dan dijawab tidak boleh.

Dari Anas bin Malik berkata: “Abu Thalhah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tentang beberapa anak yatim yang mewarisi khamr dari anggur. Jawab Nabi: Tuang (buang ke tanah). Dia bertanya :”Bolehkah aku buat cuka darinya?” Nabi Menjawab: Tidak” (Sunan Abu Daud)

Dari rangkaian hadits ini satu sisi umat Islam harus ekstra hati-hati ketika membeli cuka organic sekalipun, karena kalau prosesnya melalui khamar dahulu – jatuhnya tidsk boleh seperti dalam hadits tersebut. Di sisi lain, inilah peluang untuk membuat cuka yang bener-bener halal sesuai panduan dalam hadits sebelumnya.

Lantas apa hubungan antara cuka sebagai lauk terbaik dengan pengentasan kemiskinan ? perhatikan hadits berikut :

Dari Ummu Sa’d berkata : ” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memasuki rumah Aisyah ketika saya sedang bersamanya, dan bertanya : ” Adakah makanan?”, dia menjawab: “kami punya roti, kurma dan cuka”, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam berkata ” Betapa berkahinya lauk dari cuka, Ya Allah berkahilah cuka karena dia adalah lauk-pauk para Nabi sebelumku, dan tidak akan pernah  ada rumah yang menjadi miskin yang di dalamnya ada cuka” (Sunan Ibnu Majah)

Kuncinya adalah keberkahan cuka yang bukan hanya didoakan khusus oleh Nabi, tetapi juga dia merupakan lauk para nabi sebelumnya. dan secara spesifik sekali Nabi menyebut rumah yang tidak akan pernah miskin selama di dalamnya ada cuka. Apa Maknanya?

Cuka sangat mudah dibuat sendiri dari aneka buah-buahan yang ada di sekitar kita, dan karena dia adalah lauk terbaik – maka bisa kita gunakan untuk makan apa saja. Kita tidak akan pernah kelaparan asal mau saja sedikit berusaha untuk membuat cuka sendiri. Kalau kita tidak kelaparan, maka otomatis kita juga tidak miskin karena kebutuhan kita yang paling mendasar yaitu makan telah terpenuhi.

Manusia modern menggunakan cuka untuk makan salad, roti dan lain sebagainya. Dari sejumlah penelitian diketahuilah bahwa cuka dalam makanan ternyata membantu menstabilkan gula darah, mencegah penggumpalan darah, mencegah penyakit jantung, membuat kita awet kenyang dan karenanya merupakan instrumen yang ideal untuk weight management.

Nah sekarang kalau kita bisa makan cukup, dan kesehatan terkelola dengan baik – bukankah kebutuhan paling mendasar kita terpenuhi? Bukankah masalah kemiskinan dan kelaparan teratasi? Lebih dari itu segala macam buah, sayur dan rempah yang mudah tumbuh di sekitar kita akan terasa lezat bila dimakan bersama minyak (petunjuk Allah di QS 23:20 tersebut di atas) yang dicampur cuka  – yang juga dicontohkan dalam menu harian Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.

Lebih dari 1000 tahun kemudian, di Eropa khususnya Perancis orang mulai mengenal lauk pauk yang disebut Vinegar – bahasa Perancis yang artinya anggur asem – yaitu cuka,kemudian mencampur Vinegar ini dengan minyak zaitun yang kemudian disebutnya Vinaigrette (bila emulsinya bersifat sementara) atau Mayonnaise (bila emulsinya bersifat permanen). Sejatinya Vinaigrette maupun Mayonnaise adalah campuran minyak dengan cuka dan bumbu-bumbu sesuai kesukaan, bedanya kalau Mayonnaise diberi juga emulsifier sehingga membentuk emulsi yang bersifat permanen – menjadi seperti cream. Vinaigrette dan Mayonnaise adalah versi kekinian dari lauk pauk yang digunakan oleh Rasulullah tersebut di atas. Kemungkinan besarnya Perancis belajar dari negeri tetangganya Spanyol yang menyerap peradaban Islam selama berabad-abad lamanya.

Bila manusia modern makan salad dengan lauk vinaigrette atau mayonnaise agar sehat, mengapa kita tidak mau lebih maju dari itu – kembali ke petunjuk dan sebaik-baik contohnya langsung – yang sudah diformulasikan dan digunakan sehari-hari seribu tahun sebelumnya, dan bahkan dijamin tidak miskin bila kita mengikutinya?

Mengapa kita tidak miskin kalau makanan kita berbasis cuka, minyak, aneka buah, sayur dan rempah atau yang dikenal sebagai salad? Karena seluruh unsurnya bisa kita produksi sendiri  dari segala jenis sumber daya yang ada di sekitar kita. Lihat formula dasar ekonomi suatu negara yang menghitung GDP = Konsumsi + Investasi+Pengeluaran Pemerintah+(Ekspor-Impor). Ketika kita tidak mengimpor makanan atau mendatangkan dari tempat lain, maka GDP kita akan tinggi dan kita akan menjadi rakyat yang makmur. InsyaAllah*

Oleh: Muhaimin Iqbal , Penulis adalah pendiri Geraidinar.com



MUI Fatwakan Sholat Idul Adha dan Penyembelihan Hewan Qurban

Majelis Ulama Indonesia (MUI) fatwakan terkait teknis sholat Idul Adha dan penyembelihan hewan qurban saat wabah corona. Fatwa MUI Nomor: 36 Tahun 2020 Tentang Sholat Idul Adha dan Penyembelihan Hewan Qurban Saat Wabah Covid-19 ini telah disepakati semua pimpinan fatwa pada 15 Dzul Qa’dah1441 H/6 Juli 2020 M di Jakarta.

Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Shaleh mengatakan, fatwa ini dibahas dan ditetapkan untuk memastikan pelaksanaan sholat idul adha dan ibadah qurban sesuai ajaran agama.

“Namun tetap menjaga keselamatan, menjaga protokol kesehatan agar tidak berpotensi menyebabkan penularan covid,” kata Asororun Niam melalui keterangan tertulisnya, Jumat (10/7).

Berikut isi lengkap fatwa MUI Nomor: 36 Tahun 2020 Tentang Sholat Idul Adha dan Penyembelihan Hewan Kurban Saat Wabah Covid-19 yang telah ditanda tangani: 

Ketentuan Hukum 

1. Sholat Idul Adha hukumnya _sunnah muakkadah_  yang menjadi salah satu syi’ar keagamaan ( _syi’ar min sya’air al-Islam_).

2. Pelaksanaan sholat Idul Adha saat wabah Covid-19 mengikuti ketentuan Fatwa MUI: 

a. Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah di Saat Wabah Pandemi Covid-19; 

b. Nomor 28 Tahun 2020 tentang Panduan Kaifiat Takbir dan Sholat Idul Fitri Saat Pandemi Covid-19; 

c. Nomor 31 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sholat Jum’at dan Jamaah Untuk Mencegah Penularan Wabah Covid-19. 

3. Ibadah qurban hukumnya adalah sunnah muakkadah, dilaksanakan dengan penyembelihan hewan ternak. 

4. Ibadah qurban tidak dapat diganti dengan uang atau barang lain yang senilai, meski ada hajat dan kemaslahatan yang dituju. Apabila hal itu dilakukan, maka dihukumi sebagai shadaqah. 

5. Ibadah qurban dapat dilakukan dengan cara _taukil_, yaitu pekurban menyerahkan sejumlah dana seharga hewan ternak kepada pihak lain, baik individu maupun lembaga sebagai wakil untuk membeli hewan qurban, merawat, meniatkan, menyembelih, dan membagikan daging kurban.

6. Pelaksanaan penyembelihan hewan qurban harus tetap menjaga protokol kesehatan untuk mencegah dan meminimalisir potensi penularan, yaitu: 

a. Pihak yang terlibat dalam proses penyembelihan saling menjaga jarak fisik ( _physical distancing_) dan meminimalisir terjadinya kerumunan.

b. Selama kegiatan penyembelihan berlangsung, pihak pelaksana harus menjaga jarak fisik ( _physical distancing_), memakai masker, dan mencuci tangan dengan sabun selama di area penyembelihan, setiap akan mengantarkan daging kepada penerima, dan sebelum pulang ke rumah.

c. Penyembelihan qurban dapat dilaksanakan bekerja sama dengan rumah potong hewan dengan menjalankan ketentuan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 tentang Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal. 

d. Dalam hal ketentuan pada huruf c tidak dapat dilakukan, maka penyembelihan dilakukan di area khusus dengan memastikan pelaksanaan protokol kesehatan, aspek kebersihan, dan sanitasi serta kebersihan lingkungan. 

e. Pelaksanaan penyembelihan qurban bisa mengoptimalkan keluasan waktu selama 4 (empat) hari, mulai setelah pelaksanaan shalat Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah hingga sebelum maghrib tanggal 13 Dzulhijjah. 

f. Pendistribusian daging qurban dilakukan dengan tetap melaksanakan protokol kesehatan. 

7. Pemerintah memfasilitasi pelaksanaan protokol kesehatan dalam menjalankan ibadah qurban agar dapat terlaksana sesuai dengan ketentuan syari’at Islam dan terhindar dari potensi penularan Covid-19.

Rekomendasi

1. Pengurus masjid perlu menyiapkan penyelenggaraan sholat idul Adha dan penyembelihan hewan qurban dengan berpedoman pada fatwa ini.

2. Umat Islam yang mempunyai kemampuan dihimbau untuk melaksanakan qurban, baik dilaksanakan sendiri maupun dengan cara diwakilkan ( _taukil_).

3. Panitia kurban agar memfasilitasi jamaah yang hendak melaksanakan ibadah qurban dengan berpedoman pada fatwa ini.

4. Panitia qurban agar menghimbau kepada umat Islam yang tidak terkait langsung dengan proses pelaksanaan ibadah qurban agar tidak berkerumun menyaksikan proses pemotongan. 

5. Panitia qurban dan lembaga sosial yang bergerak di bidang pelayanan ibadah qurban perlu menjadikan fatwa ini sebagai pedoman.

6. Pemerintah perlu menjamin keamanan dan kesehatan hewan qurban, serta menyediakan sarana prasarana untuk pelaksanaan penyembelihan hewan qurban melalui rumah potong hewan (RPH) sesuai dengan fatwa MUI tentang standar penyembelihan halal.

IHRAM

Empat Hal Penghambat Rezeki

BERIKUT diantaranya bahaya yang ditimbulkan jika tidur di pagi hari yaitu tidur ketika selesai salat subuh hingga matahari terbit:

[Pertama] Tidak sesuai dengan petunjuk Al Quran dan As Sunnah.

[Kedua] Bukan termasuk akhlak dan kebiasaan para salafush sholih (generasi terbaik umat ini), bahkan merupakan perbuatan yang dibenci.

[Ketiga] Tidak mendapatkan barokah di dalam waktu dan amalannya.

[Keempat] Menyebabkan malas dan tidak bersemangat di sisa harinya. Maksud dari hal ini dapat dilihat dari perkataan Ibnul Qayyim. Beliau rahimahullah berkata, “Pagi hari bagi seseorang itu seperti waktu muda dan akhir harinya seperti waktu tuanya.” (Miftah Daris Saadah, 2/216). Amalan seseorang di waktu muda berpengaruh terhadap amalannya di waktu tua. Jadi jika seseorang di awal pagi sudah malas-malasan dengan sering tidur, maka di sore harinya dia juga akan malas-malasan pula.

[Kelima] Menghambat datangnya rizeki. Ibnul Qayyim berkata, “Empat hal yang menghambat datangnya rezeki adalah [1] tidur di waktu pagi, [2] sedikit salat, [3] malas-malasan dan [4] berkhianat.” (Zaadul Maad, 4/378)

[Keenam] Menyebabkan berbagai penyakit badan, di antaranya adalah melemahkan syahwat. (Zaadul Maad, 4/222)

[Pembahasan berikut disarikan dari tulisan Ustadz Abu Maryam Abdullah Roy, Lc yang berjudul Tholabul Ilmi di Waktu Pagi dan sedikit tambahan/ Muhammad Abduh Tuasikal]

INILAH MOZAIK

Keutamaan Puasa Asyura

Kata Asyura dalam bahasa Arab bermakna sepuluh.

Mengenai derajat keutamaan berpuasa di hari Asyura ini kalangan ulama memiliki pendapat yang berbeda. Sebagian ulama berpendapat derajat pertama dan yang paling utama adalah dengan melakukan puasa tiga hari, yaitu tanggal sembilan, sepuluh, dan sebelas Muharam.

Ada juga yang berpendapat derajat keutamaan ini adalah dengan berpuasa pada tanggal sembilan dan sepuluhnya saja sebagaimana diterangkan dalam hadis riwayat Muslim dari Ibnu Abbas, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda, Apabila (usia) ku sampai tahun depan, aku akan berpuasa pada (hari) ke sembilan.”

Sementara ada pula yang berpendapat, berpuasa hanya pada tanggal sepuluhnya. Namun, sebagian ulama memakruhkannya. Sebab, Nabi SAW memerintahkan umat Islam untuk membedakan kebiasaan Yahudi yang hanya berpuasa pada hari Asyura dengan umat Islam agar berpuasa pada hari ke sembilan atau hari ke sebelas secara beriringan dengan puasa pada hari ke sepuluh, atau ketiga-tiganya.

Para ulama menyebutkan bahwa puasa Asyura itu ada tiga tingkat: tingkat pertama, berpuasa selama tiga hari, yaitu hari ke sembilan, ke sepuluh dan ke sebelas. Tingkat kedua, berpuasa pada hari ke sembilan dan ke sepuluh. Tingkat ketiga, berpuasa hanya pada hari ke sepuluh.

Dalam kitab Shahih Muslim terdapat riwayat dari Abu Qatadah RA, bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang puasa Asyura, beliau bersabda: Puasa pada hari Asyura menghapuskan dosa-dosa satu tahun yang lewat.”

Dari Aisyah RA, dia berkata, Hari Asyura adalah hari yang dipuasakan oleh orang-orang Quraisy pada masa jahiliyah, Rasulullah juga biasa mempuasakannya. Dan tatkala datang di Madinah, beliau berpuasa pada hari itu dan menyuruh orang-orang untuk turut berpuasa. Maka, tatkala diwajibkan puasa Ramadhan, beliau bersabda, ‘Siapa yang ingin berpuasa, hendaklah ia berpuasa dan siapa yang ingin meninggalkannya, hendaklah ia berbuka.” (Muttafaq alaihi).

Dari Abu Hurairah RA dia berkata, Rasulullah SAW ditanya, ‘Shalat apa yang lebih utama setelah shalat fardhu? Nabi menjawab, ‘Shalat di tengah malam’. Mereka bertanya lagi, ‘Puasa apa yang lebih utama setelah puasa Ramadhan?’ Nabi menjawab, ‘Puasa pada bulan Allah yang kamu namakan Muharram.” (HR Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud).

Puasa Muharram dan sangat dianjurkan pada tanggal 9 dan 10 (Tasu’a dan ‘Asyura). Dari Muawiyah bin Abu Sufyan RA, dia berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, Hari ini adalah hari Asyura dan kamu tidak diwajibkan berpuasa padanya. Sekarang, saya berpuasa, siapa yang mau, silakan puasa dan siapa yang tidak mau, silakan berbuka.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dari Ibnu Abbas RA, dia berkata, Nabi SAW datang ke Madinah lalu beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura, Nabi bertanya, ‘Ada apa ini?’ Mereka menjawab, hari Asyura itu hari baik, hari Allah SWT menyelamatkan Nabi Musa SAW dan Bani Israel dari musuh mereka sehingga Musa AS berpuasa pada hari itu. Kemudian, Nabi SAW bersabda, ‘Saya lebih berhak terhadap Musa daripada kamu,’ lalu Nabi SAW berpuasa pada hari itu dan menganjurkan orang agar berpuasa pada hari itu.” (Muttafaq alaihi).

KHAZANAH REPUBLIKA

Apa Penyebab Seseorang Putus Asa dari Rahmat Allah Swt?

Seperti yang telah kita uraikan di artikel sebelumnya, putus asa dari Rahmat Allah adalah penyakit serius yang menimpa banyak manusia. Dan yang ingin kita cari jawabannya kali ini adalah “Apa penyebab seseorang bisa berputus asa dari Rahmat Allah?”

Banyak sebab-sebab yang membuat orang berputus asa, antara lain :

(1). Karena kebodohan dan minimnya pengetahuan tentang Allah Swt.

Apabila seorang hamba tidak mengenal Tuhannya, tidak memahami betapa besar Rahmat dan Kasih Sayang Allah kepada hamba-Nya, maka ia akan mudah terjerembab dalam lubang putus asa.

(2). Karena kurang bersabar dan ingin mendapatkan hasil yang instan.

Putus asa bisa juga muncul dari lemahnya jiwa seseorang dalam menjalani cobaan atau ujian hidup. Ia ingin segera meraih hasil yang ia dambakan, namun tidak mau bersabar untuk melalui proses yang berat untuk mendapatkannya.

(3). Karena bergaul dan berteman dengan orang-orang yang pesimis dan mudah putus asa.

Teman juga sangat mempengaruhi kondisi kejiwaan seseorang. Bergaul bersama teman yang pesimis akan menjadikan jiwa kita mudah terlempar dalam jurang putus asa. Teman yang baik akan selalu memberi semangat dan harapan bagi kita bahwa selalu ada kesempatan untuk menjadi lebih baik.

(4). Karena terlalu cinta dunia dan terikat dengannya.

Keterikatan kepada dunia akan membuat seseorang mudah lupa ketika ia senang dan mudah putus asa ketika ia kehilangan sesuatu yang ia cintai. Betapa banyak orang yang kehilangan harapan dan semangat hidup ketika ia kehilangan orang yang ia sayangi atau kehilangan harta, jabatan dan kesehatan yang selama ini ia banggakan.

Simak ayat-ayat berikut ini :

وَإِذَآ أَذَقۡنَا ٱلنَّاسَ رَحۡمَةٗ فَرِحُواْ بِهَاۖ وَإِن تُصِبۡهُمۡ سَيِّئَةُۢ بِمَا قَدَّمَتۡ أَيۡدِيهِمۡ إِذَا هُمۡ يَقۡنَطُونَ

“Dan apabila Kami berikan sesuatu rahmat kepada manusia, niscaya mereka gembira dengan (rahmat) itu. Tetapi apabila mereka ditimpa sesuatu musibah (bahaya) karena kesalahan mereka sendiri, seketika itu mereka berputus asa.” (QS.Ar-Rum:36)

لَّا يَسۡأمُ ٱلۡإِنسَٰنُ مِن دُعَآءِ ٱلۡخَيۡرِ وَإِن مَّسَّهُ ٱلشَّرُّ فَيَئُوسٌ قَنُوطٌ

“Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika ditimpa malapetaka, mereka berputus asa dan hilang harapannya.” (QS.Fushilat:49)

وَإِذَآ أَنۡعَمۡنَا عَلَى ٱلۡإِنسَٰنِ أَعۡرَضَ وَنَئَا بِجَانِبِهِۦ وَإِذَا مَسَّهُ ٱلشَّرُّ كَانَ يَئُوسًا

“Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia, niscaya dia berpaling dan menjauhkan diri dengan sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan, niscaya dia berputus asa.” (QS.Al-Isra’:83)

Lalu apa obat yang mampu menyembuhkan penyakit yang mematikan ini? Tunggu jawabannya di artikel esok hari, Insya Allah !

Semoga Bermanfaat….

KHAZANAH ALQURAN