TELAH berkumpul jutaan orang di kota Mekah untuk menunggu prosesi puncak ibadah Haji. Haji merupakan pertemuan terbesar umat Islam dari berbagai negara di dunia ini, sebuah kewajiban ritual yang tidak dijumpai padanannya dalam tradisi agama lain.
Andai saja tidak dibatasi oleh kuota, bukan hanya tiga sampai lima juta umat muslim yang berkumpul di kota suci ini melainkan lebih banyak lagi sampai jumlah yang tidak bisa ditebak.
Lokasi prosesi ibadah haji sangat terbatas. Padang Arafah tempat berkumpul bersama untuk wukuf pada satu hari yang sama tidak mungkin lagi menampung lebih banyak orang. Mina dan Muzdalifahpun tidak lagi muat untuk muat ditempati lebih banyak manusia. Negara Saudi Arabia sebagai tuan rumah tentu akan menjadi pusing melihat ketidakseimbangan rasiojumlah peminat dan ukuran lokasi serta fasilitas.
Dulu, pembatasan kuota jamaah haji tidaklah seketat saat ini. Tidak pernah didengar ada daftar tunggu apalagi dalam waktu yang sangat lama seperti yang dialami saat ini. Untuk menunaikan ibadah haji reguler, saat ini dibutuhkan antri 24 tahun, sementara jika mendaftar untuk haji plus harus menunggu 6 tahun.
Usia minimal mendaftar hajipun saat ini ditentukan 12 tahun sehingga tidak akan ada lagi lomba “haji termuda” seperti pada 10 tahun yang lalu. Mengapa ibadah haji ini begitu banyak peminat dan seakan menjadi ibadahpaling favorit akhir-akhir ini?
Perintah kewajiban haji sebenarnya adalah sama dengan perintah kewajiban lain yang lain, terutama yang termasuk dalam ibadah rukun Islam yang kelima, seperti shalat, puasa dan zakat. Bahkan, untuk haji, dipersyaratkan adanya kemampuan (istithaah) untuk menjadi wajib dilaksanakannya. Mereka yang tidak memiliki kemampuan finansial dan kemampuan fisik tidaklah berkewajiban melaksanakannya.
Apakah panjangnya antrian tunggu (waiting list)menjadi indikasi bahwa umat muslim saat ini lebih mampu secara finansial dibandingkan dengan umat muslim masa sebelumnya? Mungkin saja jawabannya adalah iya.Namun jawaban ini terasa unik ketika dihubungkan dengan fakta terjadinya krisis moneter yang begitu lama dan keadaan ekonomi yang tidak sestabil masa-masa sebelumnya.
Apakah ada hubungannya dengan peningkatan kesadaran keberagamaan umat muslim akan urgensi haji? Bisa saja jawabannya adalah iya.Namun jawaban inipun terasa janggal di tengah fenomena sosial yang sedang mengagung-agungkan hedonisme dan di saat perlombaan ekonomi yang tak mengenal hukum halal haram.
Kejanggalan ini agak tertepis dengan analisa bahwa bisa jadi membludaknya jumlah jamah haji saat ini adalah sebagai respon atau bahkan titik balik dari hedonisme dan lomba ekonomi yang tak kunjung selesai itu.
Ada satu alasan yang tidak boleh dilewatkan untuk disebut, yakni bahwa ada kerinduan ruhani yang memuncak yang telah memaksa seseorang menunaikan ibadah haji bahkan secara berulang atau berkali-kali. Interview penulis dengan banyak jamaah haji menunjukkan bahwa beribadah haji itu bagai “pulang ke rumah asal.”
Ada kebahagiaan yang tidak bisa tergantikan oleh ibadah lain. Kebahagiaannya bisa diumpamakan anak sekolah dasar yang dipulangkan lebih awal karena guru-guru sedang rapat. Mereka pulang ke rumah dengan riang gembira sambil bernyanyi “gelang sepatu gelang.”
Mengumpamakan ibadah haji dengan kembali ke rumah asal bukanlah tanpa dasar, karena al-Quran sendiri menyebut kabah, baitullah, sebagai rumah pertama yang ada di muka bumi. Sebagai rumah asal tentu saja menjadi rujukan kerinduan jiwa yang menenteramkan dan menenangkan, ketenteraman dan ketenangan yang bukan ditentukan oleh fasilitas fisik melainkan oleh sentuhan batin karena hati menjadi fokus hanya kepada Allah Swt.
Fokus hanya kepada Allah menjadi inti pesan dari “pulang ke rumah asal” ini. Para jamaah haji disadarkan kembali pada asal muasalnya, pada tugas pokoknya kini selama ada di dunia, dan pada tujuan akhir setelah menjalani episode dunia ini. Mereka yang prosesi berhajinya tidak mengantarkan pada kesadaran seperti ini adalah orang-orang yang gagal menemukan makna haji. Ibadah hajinya hanya bermakna sebagai tour fisik, bukan perjalanan spiritual (spiritual sojourn).
Pesan kedua haji adalah pesan persaudaraan berdasar egalitarianisme, kesederajatan di hadapan Allah SWT. Pakaian ihram yang sama warnanya, kabah sebagai kiblat bersama, tuntunan ibadah yang bersumber dari sumber yang sama merupakan simbol utama dengan pesan bersama bahwa persaudaraan atas dasar iman adalah persaudaraan yang tidak boleh luntur atau rapuh dengan alasan apapun.
Betapapun ada perbedaan warna kulit, perbedaan jenis kelamin dan perbedaan berpendapat, persaudaraan dan persatuan dalam keimanan haruslah tetap terjaga.Hanyaorang yang bodoh dalam beragama yang menjadikan perbedaan itu sebagai sebab bertengkar dan bermusuhan. Ketulusan dalam beragama akan mengantarkan pemiliknya untuk saling menghargai perbedaan dan menghormati hak-hak orang lain.
Kesombongan atau aroganisme diri harus dibuang melalui ibadah haji ini. Semua jamaah haji harus membawa posisi atau pangkat yang sama sebagai hamba (abd) dengan Tuhan yang sama, yakni Allah Yang Maha Segala-galanya. Mereka yang hadir ke Mekah dengan membawa posisi, pangkat atau identifikasi diri yang bersifat duniawi adalah mereka yang tidak benar-benar menjalankan ibadah haji, tak akan memperoleh kemabruran haji.
Pesan ketiga adalah pesan kesederhanaan. Prosesi haji sesungguhnya mengajarkan kesederhanaan. Pakaian ihram yang hanya dua helai saja, tenda wukuf di Arafah dan Mina dengan fasilitas yang juga seadanya saja adalah potret kesederhanaan yang harusnya mendidik jiwa para jamaah. Bahwa hotel-hotel di Mekah semakin mewah dan makanan restoran semakin banyak pilihan memang bukan fakta yang bisa ditolak. Namun, pesan kesederhanaan haji seperti disebut di atas tidak mungkin dihapus sama sekali. Sederhana adalah pilihan hidup yang diajarkan Rasulullah Saw.
Pesan keempat adalah pesan keharmonisan dengan alam sekitar. Ketika beribadah haji, ada banyak larangan-larangan ihram yang tidak boleh dilakukan. Tidak boleh berburu, tidakboleh memotong tumbuh-tumbuhan, tidak boleh berbantah-bantahan dan lain sebagainya. Ibadah haji benar-benar ibadah yang memesankan keharmonisan hidup dengan manusia dan alam.
Haji mabrur adalah haji yang pelaksananya telah mengejawantahkan pesan-pesan tersebut di atas. Seorang yang berhaji harusnya adalah menjadi teladan bagi sekitarnya dalam beribadah ritual dan beribadah sosial. Seorang haji mabrur adalah orang yang tak hanya saleh ritual melainkan pula saleh sosial. Bagaimana dengan haji kita? [*]
– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2323216/pesan-pesan-dalam-ibadah-haji#sthash.YyEqTV82.dpuf