Alasan Disebut sebagai Tamu Allah

Jemaah haji dan umrah disebut sebagai tamu Allah. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

الْغَازِى فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ وَفْدُ اللَّهِ دَعَاهُمْ فَأَجَابُوهُ وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ

“Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji, dan orang yang berumrah adalah tamu Allah. Allah memanggil mereka, maka mereka pun memenuhinya. Dan mereka meminta kepada-Nya, maka Ia berikan kepada mereka (Ia kabulkan).” (HR. Ibnu Majah dihasankan oleh Syekh Al-Albani) Dalam riwayat lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللهِ، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوْهُ، سَأَلُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ

“Para jemaah haji dan umrah adalah tamu Allah. Allah memanggil mereka, maka mereka pun memenuhi panggilan tersebut. Mereka meminta kepada-Nya dan Ia berikan kepada mereka (Ia kabulkan).” (HR Ibnu Majah, dihasankan oleh Al-Albani) Arti lafaz “al-wafdu” adalah tamu. Dan tentunya tamu itu dimuliakan dan dijamu. Dalam kitab “An-Nihayah” disebutkan makna “al-wafdu”, الْوَفْدُ الْقَوْمُ يَجْتَمِعُونَ وَيَرِدُونَ الْبِلَادَ، أَوْ

يَقْصِدُونَ الرُّؤَسَاءَ لِلزِّيَارَةِ، أَوِ اسْتِرْفَادًا وَغَيْرَ ذَلِكَ.

“Al-wafdu adalah sekelompok orang yang berkumpul dan mendatangi suatu negeri atau mereka bermaksud menemui para pembesar negeri untuk berkunjung atau meminta bantuan dan lain-lainnya.”

Jadi, alasan disebut tamu Allah adalah karena para jemaah haji dan umrah itu akan dimuliakan Allah sebagaimana tamu itu dimuliakan. Oleh karena itu, kaum muslimin juga diperintahkan memuliakan para jemaah haji dan umrah dengan membantu mereka, memberikan pertolongan dan kemudahan kepada mereka, semisal memberikan bantuan makan dan tempat, membantu orang yang sepuh (tua), wanita, serta anak-anak.

Alasan lainnya adalah agar para jemaah haji dan umrah menjaga sikap, akhlak, dan takwa mereka selama menjadi tamu Allah. Karena yang namanya tamu ketika bertamu itu bersikap baik, duduk yang manis, tidak berbuat, ulah atau melakukan hal-hal yang memalukan selama bertamu. Syekh Ali Al-Qari rahimahullah menjelaskan,

وفد الله ثلاثة أشخاص أو أجناس، المجاهد مع الكفار لإعلاء الدين، والحاج والمعتمر، المتميزون عن سائر المسلمين بتحمل المشاق البدنية والمالية ومفارقة الأهلين، والحاصل أنهم قومٌ معظمون عند الكرماء، ومكرمون عند العظماء، تُعطى مطالبهم وتُقضى مآربهم

“Tamu Allah ada tiga orang atau tiga jenis: (1) mujahid yang berperang melawan orang kafir untuk meninggikan agama, (2) orang yang berhaji, dan (3) orang yang berumrah. Mereka ini istimewa dibandingkan yang lain karena menanggung kesusahan badan, mengeluarkan harta, serta berpisah dari keluarga.

Kesimpulannya, mereka adalah kelompok orang yang diagungkan di sisi para orang-orang mulia dan kelompok orang yang dimuliakan di sisi para orang-orang agung. Permintaan mereka diberikan dan hajat mereka ditunaikan.” (Lihat Mirqatul Mafatih, 8: 469) Demikian, semoga bermanfaat.

Penulis: Raehanul Bahraen


Sumber: https://muslim.or.id/75596-alasan-disebut-sebagai-tamu-allah.html

Hadits Tentang Haji (01): Masalah Miqat bagi yang Berhaji

Masalah miqat bagi yang berhaji wajib dipahami. Saat ini Muslim.Or.Id akan membahas seputar haji dengan mengutarakan dalil-dalil. Sebelumnya untuk panduan haji sudah dibahas secara global tanpa disertakan dalil yang lengkap. Kali ini bahasan lebih mendetail pada dalil dengan penjelasan ringkas dari para ulama. Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

إِنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَقَّتَ لأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ ، وَلأَهْلِ الشَّأْمِ الْجُحْفَةَ ، وَلأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ ، وَلأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ ، هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ ، مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan miqat untuk penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, penduduk Syam di Juhfah, penduduk Nejd di Qarnul Manazil dan penduduk Yaman di Yalamlam.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Miqat-miqat tersebut sudah ditentukan bagi penduduk masing-masing kota tersebut dan juga bagi orang lain yang hendak melewati kota-kota tadi padahal dia bukan penduduknya namun ia ingin menunaikan ibadah haji atau umrah. Barangsiapa yang kondisinya dalam daerah miqat tersebut, maka miqatnya dari mana pun dia memulainya. Sehingga penduduk Makkah, miqatnya juga dari Makkah.” (HR. Bukhari no. 1524 dan Muslim no. 1181). Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, « يُهِلُّ أَهْلُ الْمَدِينَةِ مِنْ ذِى الْحُلَيْفَةِ وَأَهْلُ الشَّامِ مِنَ الْجُحْفَةِ وَأَهْلُ نَجْدٍ مِنْ قَرْنٍ ». قَالَ عَبْدُ اللَّهِ وَبَلَغَنِى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « وَيُهِلُّ أَهْلُ الْيَمَنِ مِنْ يَلَمْلَمَ »

“Penduduk Madinah hendaknya memulai ihram dari Dzul Hulaifah, penduduk Syam dari Juhfah, dan penduduk Nejd dari Qarn (Qarnul Manazil).” Abdullah menuturkan bahwa ada kabar yang telah sampai padanya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Penduduk Yaman memulai ihram dari Yalamlam.” (HR. Bukhari no. 130 dan Muslim no. 13). Dalam riwayat lain disebutkan, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَقَّتَ لأَهْلِ الْعِرَاقِ ذَاتَ عِرْقٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan untuk penduduk Irak Dzatu ‘Irqin.” (HR. Abu Daud no. 1739, An Nasai no. 2654. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih). Dalam riwayat lain disebutkan, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

وَمُهَلُّ أَهْلِ الْمَشْرِقِ مِنْ ذَاتِ عِرْقٍ

“Penduduk masyriq (dari arah timur jazirah) beriharam dari Dzatu ‘Irqin.” (HR. Ibnu Majah no. 2915. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih). Tempat Miqat Miqat makaniyah yaitu tempat mulai berihram bagi yang punya niatan haji atau umrah. Ada lima tempat:

(1) Dzul Hulaifah (sekarang dikenal: Bir ‘Ali), miqat penduduk Madinah, miqat yang jaraknya paling jauh.

(2) Al Juhfah, miqat penduduk Syam dan penduduk Maghrib (dari barat jazirah).

(3) Qarnul Manazil (sekarang dikenal: As Sailul Kabiir), miqat penduduk Najed.

(4) Yalamlam (sekarang dikenal: As Sa’diyah), miqat penduduk Yaman.

(5) Dzatu ‘Irqin (sekarang dikenal: Adh Dhoribah), miqat pendudk Irak dan penduduk Masyriq (dari timur jazirah).

Masuk Daerah Miqat Harus Berihram Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ “Miqat-miqat tersebut sudah ditentukan bagi penduduk masing-masing kota tersebut dan juga bagi orang lain yang hendak melewati kota-kota tersebut padahal dia bukan penduduknya namun ia ingin menunaikan ibadah haji atau umrah.” Itu berarti siapa saja yang melewati kota atau daerah miqat tersebut haruslah dalam keadaan berihram. Termasuk juga bagi yang bukan penduduk kota tersebut yang berasal dari luar ketika melewati miqat tadi, maka harus dalam keadaan berihram. Seperti misalnya penduduk Najed (kota Riyadh, Qasim sekitarnya), ada yang mengambil miqat bukan di Qarnul Manazil, namun ia mengambil miqat dari Dzatu ‘Irqin yang merupakan miqat penduduk Irak. Seperti itu dibolehkan. Sebagaimana dibolehkan pula jika penduduk Syam dan Mesir mengambil miqat dari miqatnya penduduk Madinah yaitu di Dzul Hulaifah, bukan di Juhfah. Melewati Miqat Tanpa Berihram Kata Syaikh As Sa’di rahimahullah, “Siapa saja yang melewati daerah miqat tanpa berihram, maka ia harus kembali ke miqat tersebut. Ia harus kembali berihram dari miqat yang teranggap tersebut. Jika tidak kembali, maka ia punya kewajiban membayar dam.” (Syarh Umdatil Ahkam, hal. 389). Contoh penduduk Indonesia yang ingin langsung berhaji atau umrah menuju Makkah, ada yang tidak berniat ihram padahal sudah melewati miqat Yalamlam. Ini merupakan kekeliruan dan ia terkena dam seperti kata Syaikh As Sa’di di atas jika tidak mau kembali ke miqat. Apakah itu Berlaku Bagi yang Mau Berhaji dan Umrah Saja? Menurut pendapat yang lebih kuat dan pendapat ini dianut oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah karena berpegang pada tekstual hadits, yang mesti berihram ketika masuk daerah miqat adalah yang punya niatan haji dan umrah saja. Adapun jika niatannya untuk berdagang dan lainnya, maka tidak diwajibkan dalam keadaan berihram. Namun para ulama katakan bahwa siapa saja yang memasuki kota Makkah sebaiknya dalam keadaan berihram. Lihat Syarh ‘Umdatil Ahkam karya Syaikh As Sa’di, hal. 390. Bagi yang Berada di Dalam Daerah Miqat dan Berada di Makkah Bagi penduduk Jeddah misalnya, atau penduduk Makkah, mereka semuanya berada dalam daerah miqat, jika mereka ingin berhaji atau berumrah, maka hendaklah berihram dari tempat mereka mulai safar, bisa dari rumah mereka. Syaikh As Sa’di mengatakan, “Penduduk Makkah bisa berihram untuk haji dari Makkah. Namun untuk umrah, hendaklah keluar menuju tanah halal untuk berniat ihram dari situ.” (Idem). Jika ada yang berkata, “Kenapa haji dan umrah bisa dibedakan seperti itu? Ini dikarenakan seluruh akitivitas umrah berada di tanah haram (tidak keluar ke tanah halal), maka diperintahkan ia keluar untuk berihram dari tanah halal. Adapun haji, tidak diharuskan berihram dari tanah halal. Karena aktivitas haji tidak semuanya di tanah haram, bahkan ada yang dilakukan di luar tanah haram, yaitu ketika wukuf di Arafah.” (Idem). Semoga bermanfaat, hanya Allah yang memberi taufik.

Sumber: https://muslim.or.id/22388-hadits-tentang-haji-01-masalah-miqat-bagi-yang-berhaji.html

Bagi Warga Indonesia di Arab Saudi, Ini Anjuran Shalat Sunnah Sebelum Berangkat Haji dan Umrah

Pandemi Covid-19 membuat umat Muslim di seluruh dunia tidak dapat melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji hanya diperuntukkan bagi warga Arab Saudi atau warga luar Arab Saudi yang sudah bermukim di sana sebagai tenaga kerja. Nah, sudah maklum bahwa ketika ada seseorang hendak berangkat ke Tanah Suci, selain mengadakan walimatus safar, dia melakukan shalat sunnah terlebih dahulu. Baru setelah melakukan shalat sunnah, dia berpamitan pada sanak saudara dan tetangga untuk berangkat haji dan umrah. Bagaimana hukum praktik melaksanakan shalat sunnah sebelum berangkat haji atau umrah ini, apakah dianjurkan?

Melakukan shalat sunnah sebelum berangkat haji atau umrah hukumnya adalah sunnah. Dalam Islam, jika seseorang hendak berangkat bepergian, baik bepergian untuk melaksanakan ibadah haji, umrah atau lainnya, maka dia dianjurkan untuk melaksanakan shalat sunnah dua rakaat terlebih dahulu. Shalat sunnah dua rakaat ini oleh para ulama disebut sebagai shalat sunnah safar.

Yang dimaksud shalat sunnah safar adalah shalat sunnah sebanyak dua rakaat dengan niat safar atau bepergian. Dianjurkan pada rakaat pertama setelah membaca surah Al-Fatihah untuk membaca surah Al-Kafirun dan pada rakaat kedua dianjurkan membaca surah Al-Ikhlas.

Ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ berikut;

يستحب إذا أراد الخروج من منزله أن يصلي ركعتين يقرأ في الأولى بعد الفاتحة قل يا أيها الكافرون وفي الثانية قل هو الله أحد ففي الحديث عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ما خلف عبد أهله أفضل من ركعتين يركعهما عندهم حين يريد سفرا

Dianjurkan jika seseorang hendak keluar dari rumahnya untuk mengerjakan shalat sunnah dua rakaat, pada rakaat pertama membaca surah Al-Kafirun dan pada rakaat kedua membaca Qul huwallaahu ahad. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Nabi Saw bersabda; Tidak ada perbuatan yang lebih utama bagi seorang hamba yang hendak bepergian meninggalkan keluarganya daripada melaksanakan shalat sunnah dua rakaat.

Di antara hadis yang dijadikan dasar mengenai kesunnahan melaksanakan shalat sunnah sebelum bepergian, baik bepergian untuk haji, umrah dan lainnya, adalah hadis riwayat Imam Al-Hakim, dari Anas bin Malik, dia berkata;

كان النبي صلى الله عليه وسلم لا ينزل منزلا إلا ودعه بركعتين

Nabi Saw tidaklah mampir pada suatu tempat dan meninggalkannya, kecuali dengan melakukan shalat sunnah dua rakaat.

Dengan demikian, praktek melaksanakan shalat sunnah yang dilakukan oleh masyarakat sebelum berangkat haji atau umrah merupakan perkara yang memang dianjurkan dalam Islam. Bahkan hal itu telah dipraktekkan langsung oleh Rasulullah Saw.

BINCANG SYARIAH

Hukum Jual Aset untuk Berangkat Haji

Haji merupakan salah satu rukun Islam kelima yang wajib untuk ditunaikan. Untuk dapat melaksanakan ibadah ini,  beberapa orang sampai memaksakan dirinya dengan menjual tanah ataupun aset harta lain sementara dirinya dalam keadaan tidak mampu. Lantas, bagaimana hukum menjual aset untuk berangkat haji?

Dalam literatur kitab fikih, mampu adalah syarat mutlak diwajibkannya haji. Sehingga haji hanya diwajibkan bagi umat muslim yang telah memiliki finansial yang cukup, sehat fisiknya dan adanya jaminan keamanan dalam perjalanan ke baitullah. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 97 berikut;

 وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ 

Artinya, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam,”

Selain dari adanya kemampuan fisik dan finansial yang menjadi syarat wajib haji, seseorang juga dituntut untuk meninggalkan nafkah untuk keluarganya selama ditinggal ibadah haji. Apabila dia memiliki biaya untuk keperluannya mulai dari berangkat hingga pulang, tetapi tidak mampu memberi nafkah keluarganya, maka haram baginya untuk mengadakan perjalanan haji. 

Sebagaimana dalam kitab Al-Iqna’, juz 1 halaman 253 berikut;

الثامن من شروط الوجوب وهو من شروط الاستطاعة أن يثبت على الراحلة أو في محمل ونحوه بلا مشقة شديدة فمن لم يثبت عليها أصلا أو ثبت في محمل عليها لكن بمشقة شديدة لكبر أو نحوه انتفى عنه استطاعة المباشرة ولا تضر مشقة تحتمل في العادة 

Artinya : “Yang kedelapan dari syarat-syarat wajibnya haji adalah adanya kemampuan yakni dia dapat berjalan atau berkendara tanpa adanya kesulitan yang sangat. Apabila dia tidak mampu sama sekali atau bisa berkendara tetapi ada kesulitan yang sangat karena tua atau semisalnya, maka dia dihukumi tidak mampu dan kesulitan yang masih bisa ditanggulangi itu tidak berkonsekuensi hukum.”

Hukum Menjual Aset untuk Berangkat Haji

Sebagaimana juga disebutkan dalam keterangan Syekh Sulaiman Jamal, dalam kitab Hasyiyatul Jamal alal Manhaj, juz II, halaman 381 berikut,

شَوْبَرِيٌّ ( قَوْلُهُ : أَيْضًا عَنْ مُؤْنَةِ عِيَالِهِ ) أَيْ وَكِسْوَتِهِمْ …. وَيَدْخُلُ فِيهَا إعْفَافُ الْأَبِ وَأُجْرَةُ الطَّبِيبِ وَثَمَنُ الْأَدْوِيَةِ وَنَحْوُ ذَلِكَ إنْ اُحْتِيجَ إلَيْهَا لِئَلَّا يَضِيعُوا فَقَدْ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { كَفَى بِالْمَرْءِ إثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَعُولُ } وَيَحْرُمُ الْحَجُّ عَلَى مَنْ لَا يَقْدِرُ عَلَى ذَلِكَ ا هـ .

Artinya: “Syaubari, (perkataan pengarang : juga dari ongkos keluarganya) maksudnya juga pakaian mereka,  Termasuk ongkos itu adalah biaya kebutuhan yang menjaga wibawa orang tuanya, ongkos dokter, biaya obat, dan biaya sejenisnya bila diperlukan agar mereka tidak sia-sia. Rasulullah SAW bersabda; 

‘Seseorang cukup dianggap berdosa karena menyia-nyiakan keluarganya.’ Orang yang tidak mampu menanggung ongkos itu haram untuk berhaji.”

Untuk dapat memenuhi seluruh biaya yang telah disebutkan diatas, dia harus menyerahkah harta usahanya ke dalam biaya bekal, ongkos kendaraan, dan yang terkait keduanya. Tetapi ia tidak wajib untuk menjual aset yang dia miliki seperti alat-alat kerja, ternak untuk bajak sawah, atau seumpama itu. 

Sebagaimana dalam kitab Tuhfatul Muhtaj Ala Syarhil Minhaj, juz 4, halaman 21 berikut,

وَ ) الْأَصَحُّ ( أَنَّهُ يَلْزَمُهُ صَرْفُ مَالِ تِجَارَتِهِ ) وَثَمَنُ مُسْتَغَلَّاتِهِ الَّتِي يُحَصِّلُ مِنْهَا كِفَايَتَهُ ( إلَيْهِمَا ) أَيْ الزَّادِ وَالرَّاحِلَةِ مَعَ مَا ذُكِرَ مَعَهُمَا كَمَا يَلْزَمُهُ صَرْفُهُ فِي دَيْنِهِ وَفَارَقَ الْمَسْكَنَ وَالْخَادِمَ بِأَنَّهُ يَحْتَاجُ إلَيْهَا حَالًّا ، ……. فَقَالَ لَا يَلْزَمُهُ صَرْفُهُ لَهُمَا إذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ كَسْبٌ بِحَالٍ لَا سِيَّمَا وَالْحَجُّ عَلَى التَّرَاخِي

Artinya : “Menurut qaul yang lebih shahih seseorang diwajibkan untuk menyerahkan harta dagangannya dan sumber kekayaan dari mana dia memperoleh sumber kekayaan  ke dalam biaya bekal, kendaraan haji dan lainnya. 

Sebagaimana wajib juga menyerahkannya untuk melunasi hutang. Ini berbeda dengan rumah dan pelayan yang dia butuhkan. Mushonnif berkata bahwa mentasarufkan hal tersebut hukumnya tidak wajib apabila dia tidak memiliki pekerjaan sama sekali mengingat haji juga boleh diakhirkan.”

Sebagaimana disebutkan juga dalam kitab Nihayatuz Zain, halaman 198 berikut;

 ويلزم صرف مال تجارته إلى الزاد والراحلة وما يتعلق بهما ولا يلزمه بيع آلة محترف ولا كتب فقيه ولا بهائم زرع أو نحو ذلك

Artinya: “Dan wajib harus menyerahkan harta usaha ke dalam biaya bekal, ongkos kendaraan, dan yang terkait keduanya. Tetapi tidak wajib untuk menjual alat-alat kerja, buku-buku fiqih, ternak untuk bajak sawah, atau seumpama itu.”

Demikian penjelasan mengenai hukum menjual aset untuk berangkat haji. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Alasan Kenapa Haji Hanya Diwajibkan Sekali

Ibadah haji merupakan ibadah yang paling didambakan oleh seluruh umat Islam, semuanya berbondong-bondong untuk memenuhi rukun Islam yang nomor 5 ini. Kendati demikian, haji hanya diwajibkan sekali seumur hidup. Berikut alasan kenapa haji hanya diwajibkan sekali seumur hidup.

Tak bisa dipungkiri, tidak semua orang mampu melaksanakannya. Ada berbagai faktor yang menghalangi mereka untuk menunaikannya, bahkan untuk satu kali saja, padahal ibadah haji ini sangatlah utama. Dijelaskan:

وَتَقَدَّمَ فِي بَابِ صَلَاةِ النَّفْلِ عَنْ الْقَاضِي حُسَيْنٍ أَنَّهُ أَفْضَلُ الْعِبَادَاتِ لِاشْتِمَالِهِ عَلَى الْمَالِ وَالْبَدَنِ. وَقَالَ الْحَلِيمِيُّ: الْحَجُّ يَجْمَعُ مَعَانِيَ الْعِبَادَاتِ كُلِّهَا، فَمَنْ حَجَّ فَكَأَنَّمَا صَامَ وَصَلَّى وَاعْتَكَفَ وَزَكَّى وَرَابَطَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَغَزَا.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab shalat sunah yang dikutip dari al-Qadi Husain bahwa haji itu adalah ibadah yang afdhal (Paling utama) karena mencakup harta dan badan.

Syekh Al-hulaimy berpendapat bahwasanya haji itu menghimpun seluruh pengertian ibadah, maka orang yang berhaji itu seakan-akan sekaligus melaksanakan shalat, puasa, I’tikaf zakat dan berjuang dijalan Allah. (Syekh Khatib Al-Syirbini, Mugni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfadz al-Minhaj, Jilid II/206).

Alasan Haji hanya Diwajibkan Sekali Seumur Hidup

Lalu apa hikmahnya haji hanya diwajibkan satu kali saja seumur hidup, padahal haji adalah ibadah yang paling utama? Syekh Sulaiman Al-Bujairimi menjelaskan:

قَوْلُهُ: (وَلَا يَجِبُ بِأَصْلِ الشَّرْعِ إلَّا مَرَّةً وَاحِدَةً) فَإِنْ قُلْت: فَلِأَيِّ شَيْءٍ لَمْ تَجِبْ الْعُمْرَةُ وَالْحَجُّ إلَّا مَرَّةً وَاحِدَةً فِي الْعُمْرِ؟ وَلِمَ لَمْ يَتَكَرَّرْ كَالصَّلَوَاتِ وَالصَّوْمِ وَالزَّكَاةِ وَالطَّهَارَةِ؟ فَالْجَوَابُ: إنَّمَا فَعَلَ الْحَقُّ ذَلِكَ رَحْمَةً بِخَلْقِهِ مِنْ حَيْثُ إنَّ رَحْمَتَهُ سَبَقَتْ غَضَبَهُ، فَخَفَّفَ فِيهِمَا لِعِظَمِ الْمَشَقَّةِ فِي فِعْلِهِمَا غَالِبًا، لَا سِيَّمَا مَنْ أَتَى مِنْ مَسِيرَةِ سَنَةٍ؛ بِخِلَافِ الطَّهَارَةِ وَالصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ وَغَيْرِهَا. وَإِنَّمَا قَالَ بَعْضُ الْأَئِمَّةِ بِاسْتِحْبَابِ الْعُمْرَةِ لَا وُجُوبِهَا لِأَنَّهَا دَاخِلَةٌ فِي أَفْعَالِ الْحَجِّ فَكَانَتْ كَالنَّوَافِلِ مَعَ الْفَرَائِضِ، ثُمَّ إنَّ فِي ذَلِكَ بِشَارَةً عَظِيمَةً لَنَا بِغُفْرَانِ ذُنُوبِنَا السَّابِقَةِ وَاللَّاحِقَةِ إذَا حَجَجْنَا مَرَّةً وَاحِدَةً فِي الْعُمْرِ وَلَوْلَا هَذِهِ الْمَغْفِرَةُ لَكَرَّرَ الْحَقُّ تَعَالَى عَلَيْنَا الْحَجَّ كُلَّ سَنَةٍ مَثَلًا لِيَغْفِرَ لَنَا ذُنُوبَ كُلِّ سَنَةٍ بِذَلِكَ الْحَجِّ، فَافْهَمْ؛ ذَكَرَهُ الْعَلَّامَةُ الشَّعْرَانِيُّ.

“Haji hanya diwajibkan satu kali saja. Jika kau bertanya “mengapa umrah dan haji itu hanya diwajibkan satu kali saja seumur hidup, dan mengapa tidak diperintahkan secara berulang-ulang seperti halnya perintah sholat, puasa, zakat dan bersesuci” Maka aku menjawab “yang demikian adalah justru rahmat atau sayangnya Allah terhadap hambanya, bahkan rahmat-Nya itu mendahului marah-Nya.

Sehingga Allah memberikan keringan dalam perintah berhaji dan umrah, yakni hanya satu kali saja seumur hidup, sebab banyaknya kesulitan (baik berupa kesulitan perjalanan, kesehatan atau keuangan) yang ditemui dalam menunaikannya.

Terlebih ada beberapa orang yang untuk menunaikannya itu butuh pada perjalanan selama 1 tahun (konteks dahulu), lain halnya dengan ibadah bersesuci, sholat, puasa dan lainnya, yang mana cukup mudah untuk mengerjakannya. Hanya saja dalam konteks Umrah, ada beberapa ulama’ yang menganggap bahwasanya hukum umrah itu sunnah, bukan wajib.

Sebab ritualnya umrah ini masuk pada ritual Haji, sehingga seakan-akan keduanya itu seperti sholat wajib dengan shalat sunnah (yang mana Sunnah bisa include ke Wajib). Tentunya ini adalah kabar gembira bagi umat Islam, sebab Haji itu bisa menghapus dosa kita, baik yang lalu maupun yang akan datang.

Dan kalaulah bukan karena penghapusan dosa ini, niscaya Allah akan mewajibkan haji bagi kita di setiap tahunnya, agar supaya dosa kita di setiap tahunnya diampuni dengan sebab melaksanakan haji. Maka fahamilah keterangan ini, yang disebutkan oleh Al-Allamah Al-Sya’rani ”.

(Sulaiman Al-Bujairimi, Tuhfat Al-Habib Ala Syarh Al-Khatib atau yang biasa dikenal dengan judul Hasyiyah Al-Bujairimi Ala Al-Khatib.  II/422)

Hukum Haji Berkali-kali

Lalu bagaimana jika ada orang yang haji berkali-kali?

وَالْحَاصِلُ أَنَّ النُّسُكَ إمَّا فَرْضُ عَيْنٍ عَلَى مَنْ لَمْ يَحُجَّ بِشَرْطِهِ، أَوْ فَرْضُ كِفَايَةٍ لِإِحْيَاءِ الْكَعْبَةِ، أَوْ تَطَوَّعَ وَيُتَصَوَّرُ فِي الْأَرِقَّاءِ وَالصِّبْيَانِ؛ إذْ فَرْضُ الْكِفَايَةِ لَا يُتَوَجَّهُ إلَيْهِمْ شَرْحُ م ر.

“jadi ibadah haji itu bisa dihukumi sebagai fardhu ain (kewajiban individual) dalam konteks orang yang belum pernah haji, yang mana ia telah memenuhi syarat untuk berhaji. Dan dihukumi fardu kifayah (bagi orang yang pernah), agar supaya Ka’bah menjadi syiar.

Atau juga dihukumi Sunnah, bagi para budak dan anak kecil. Dalam konteks mereka, tidaklah bisa dihukumi fardhu kifayah, demikian yang dituturkan oleh Imam Al-Ramli”. (Sulaiman Al-Bujairimi, Tuhfat Al-Habib Ala Syarh Al-Khatib atau yang biasa dikenal dengan judul Hasyiyah Al-Bujairimi Ala Al-Khatib, jilid 2/422)

Jadi boleh berhaji lebih dari 1 kali, bahkan Rasulullah SAW pernah membahas ini. Dijelaskan:

وَلَا يَجِبُ بِأَصْلِ الشَّرْعِ إلَّا مَرَّةً وَاحِدَةً لِأَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَمْ يَحُجَّ بَعْدَ فَرْضِ الْحَجِّ إلَّا مَرَّةً وَاحِدَةً وَهِيَ حَجَّةُ الْوَدَاعِ وَلِخَبَرِ مُسْلِمٍ: «أَحَجُّنَا هَذَا لِعَامِنَا أَمْ لِلْأَبَدِ؟ قَالَ: بَلْ لِلْأَبَدِ» وَأَمَّا حَدِيثُ الْبَيْهَقِيّ الْآمِرُ بِالْحَجِّ فِي كُلِّ خَمْسَةِ أَعْوَامٍ فَمَحْمُولٌ عَلَى النَّدْبِ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «مَنْ حَجَّ حَجَّةً أَدَّى فَرْضَهُ، وَمَنْ حَجَّ ثَانِيَةً دَايَنَ رَبَّهُ، وَمَنْ حَجَّ ثَلَاثَ حِجَجٍ حَرَّمَ اللَّهُ شَعْرَهُ وَبَشَرَهُ عَلَى النَّارِ».

“Haji hanya diwajibkan satu kali saja, berdasarkan fakta bahwasanya Rasulullah SAW itu ketika diwajibkan haji, beliau hanya haji satu kali saja, yakni di haji wada’. Dan juga karena adanya Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Ada salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW “Apakah haji kita ini hanya untuk tahun ini atau untuk seumur hidup?” Syahdan Rasulullah SAW menjawab “Haji itu 1 kali selamanya” Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi yang menjelaskan bahwasanya haji itu 5 tahun sekali, maka ini diarahkan kepada hukum sunnah.

Sebab Rasulullah SAW bersabda “Sesiapa yang berhaji satu kali, maka sungguh ia telah menunaikan kewajibannya. Dan barang siapa yang berhaji 2 kali, maka ia telah mendekatkan diri kepada tuhannya.

Adapun jika ada orang yang berhaji sebanyak 3 kali, niscaya Allah akan haramkan api neraka menyentuh rambut dan kulitnya.  (Syekh Khatib Al-Syirbini, Al-Iqna fi Hall Alfadz Abi Syuja’ I/250)

Demikianlah penjelasan mengenai alasan kenapa haji bagi umat muslim hanya diwajibkan sekali dalam seumur hidup, tidak seperti sholat, puasa dan ibadah lainnya. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Mengenal Istilah Haji Luneg

Bagi warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri yang ingin menunaikan ibadah haji, dikenal istilah Haji Luneg. Haji Luneg merupakan singkatan dari Haji Luar Negeri.

Menurut Konsul KJRI Jeddah Endang Jumali, setiap negara diberikan otoritas untuk mengeluarkan visa haji. Sementara, ada negara-negara terutama negara yang umat Islamnya sedikit, tak menggunakan kuota haji itu. Sementara, di situ ada WNI yang ingin berhaji. Sehingga, WNI itu bisa memakai kuota haji di negara itu.

“Ya, mereka menggunakan kuota negara lain seperti Korea. Walaupun mereka orang kita. Namanya haji luar negeri atau haji luneg,” kata Endang beberapa waktu lalu.

 Soal antrean keberangkatan haji, Endang mengatakan tergantung dari negara di mana kuota tersebut diberikan. Kalau negara yang bukan mayoritas muslim penduduknya umumnya lebih mudah dan cepat antreannya. Namun, kalau negara yang mayoritas muslim bisa lebih lama.

Terkait perlindungan untuk mereka, Endang mengatakan tentu sebagai warga negara mereka tetap dilindungi oleh pemerintah. Karena, mereka datang dengan membawa nama negara.

Perlindungan mereka ada di bawah kekonsuleran. Misalnya, jika paspor mereka hilang atau perlu SPLP maka mereka bisa mengurusnya di KJRI.

Tetapi kalau pelayanan selama haji, mereka ada di bawah satuan Muassasah (penyelenggara haji di Arab Saudi). Dan, masuk sesuai dengan benuanya. “Misalnya kalau mereka datang dari Korea maka mereka masuk ke Muasassah Asia, kalau dari Eropa ya Eropa,” kata Endang.

Sementara soal biaya perjalanan haji mereka, Endang mengatakan hal tersebut tergantung dari travel yang mengurus keberangkatan mereka. “Misalnya daya dapat laporan kalau jamaah haji WNI yang datang dari Korea mereka membayar 4.000 dolar ke travelnya,” kata Endang.

Namun, WNI yang diberikan visa haji harus berangkat dari negara yang mengeluarkan visa haji tersebut. Misalnya, jika WNI mendapatkan visa haji dari Korea, maka keberangkatannya harus dari Korea dan tidak boleh dari Indonesia.

Haji Luneg ini bisa menjadi solusi bagi WNI yang ingin berhaji. Karena, hal ini bisa menjadi solusi ketimbang WNI tersebut harus mendaftar di Tanah Air dengan antrean yang panjang.

“Ya, bisa menjadi solusi. Karena Saudi memberikan kuota terhadap WNI yang tinggal di negara lain. Ya, sebaiknya mendafar,” kata Direktur Pelayanan Haji Luar Negeri Kemenag, Subhan Cholid.

Menurut Subhan, dengan mendaftar di luar negri (luneg), WNI bisa mendapatkan kuota haji dari negara tersebut. Namun, tidak mengurangi atau mengganggu kuota haji yang ada di Indonesia.

IHRAM

Kapuskes Haji: Jangan Tunggu Haus, Minum Sebanyak Mungkin

Kepala Pusat kesehatan haji Budi Sylvana baru saja datang dari kunjungan kerja di Arab Saudi. Dia menyampaikan bahwa cuaca di sana sangat panas. 

Begitu panasnya suhu di Arab Saudi membuat kaca kantor Kesehatan Haji Indonesia pecah. Untuk itu penting calon jamaah menghindari terkena paparan sinar matahari secara langsung saat di sana. 

Untuk mengurangi risiko terkena penyakit karena terpapar matahari, calon jamaah diingatkan untuk selalu minum jangan menunggu haus. Dia mengimbau semua petugas harus sosialisasikan kepada jamaah untuk minum jangan menunggu haus.

Videografer | Ali Yusuf

Video Editor | Fian Firatmaja

Cek selengkapnya di IHRAM

Yuk Catat Syarat-Syarat Haji

Pertama kalinya setelah dua tahun pandemi Covid-19, ibadah haji akan digelar untuk jamaah internasional. Kerajaan Arab Saudi sudah mengumumkan kuota jamaah dari setiap negara, termasuk Indonesia 100.051 jamaah yang terdiri dari 92.825 haji reguler dan 7.226 haji khusus.

Ibadah haji dilaksanakan pada bulan Syawal, Dzulqa’dah, dan sembilan hari di bulan Dzulhijjah sampai terbit fajar Hari Raya Kurban. Apabila ada yang melaksanakan ihram dengan niatan haji selain pada periode tersebut, maka ibadahnya menjadi umroh. Sebab, sepanjang tahun merupakan waktu pelaksanaan umroh.

Sama seperti ibadah lain, haji juga memiliki syarat haji. Imam Al-Ghazali mengatakan dalam buku Rahasia Haji dan Umroh terbitan Turos, syarat haji ada dua, yaitu Islam dan dilaksanakan sesuai waktunya.

Adapun syarat-syarat terhitungnya haji sebagai haji Islam (haji fardu) ada lima. Yakni, Islam, merdeka, balig, berakal, dan dilaksanakan sesuai waktunya. Ketika anak kecil atau hamba sahaya melaksanakan ihram lalu anak kecil itu menginjak balig dan hamba sahaya dimerdekakan ketika berada di Arafah atau Muzdalifah lalu kembali ke Arafah sebelum terbtit fajar, maka haji mereka termasuk haji fardu. Karena haji adalah wukuf di Arafah.

Sementara itu, syarat terhitungnya haji sebagai haji sunah dari orang yang berstatus merdeka dan balig adalah setelah bebas tanggungannya dari haji fardu. Yang didahulukan adalah haji fardu, haji qadha’ bagi orang yang merusak ibadah hajinya saat wukuf, haji nadzar, haji badal, dan haji sunah.

Sedangkan syarat yang mewajibkan haji ada lima, yaitu balig, Islam, berakal, merdeka, dan mampu. Apabila seseorang sudah melaksanakanh haji fardu, dia juga wajib melaksanakan umroh fardu.

Mampu dalam syarat ini terbagi menjadi dua. Pertama, mampu secara langsung, seperti sehat jasmani rohani dan mampu menyelenggarakan perjalanan (perjalanan yang aman dan lancar). Lalu mampu karena hartanya cukup dengan membawa perbekalan dan meninggalkan nafkah untuk mereka selama masa ibadahnya serta melunasi semua utangnya.

Syarat kedua, yaitu kemampuan orang lumpuh dengan hartanya yang cukup. Yakni, dengan membiayai orang untuk melaksanakan haji dengan mengatasnamakan dirinya setelah orang itu selesai menunaikan haji Islamnya. Dia cukup membiayai keberangkatannya. Siapa saja yang sudah mampu, maka wajib melaksanakan ibadah haji.

IHRAM

Luas Tanah Haram di Makkah tak Pernah Berubah, Begitu dengan Kemuliannya

Pebimbing ibadah haji Ustadz Imam Khoiri mengatakan, luas tanah haram Arab Saudi tidak pernah berubah dari dulu sampai sekarang. Meski saat ini tanah haram sudah banyak gedung-gedung mewah seperti halnya kota metropolitan.

“Tanah haram itu terbatas dan dari dulu batasnya seperti itu, meskipun Makkah sekarang sudah berubah menjadi metropolitan dengan gedung yang sangat banyak, hotel yang megah-megah tapi tanah haram tetep arah utara sekitar 7 km selatan 13 km, ke timur 25 km ke barat 25 km,” kata Usadz Imam Khoiri saat menyampaikan tausiyah subuh kepada peserta bimbingan teknis (Bimtek) PPIH Arab Saudi, di Masjid Al-Mabrur Asrama Haji Pondok Gede, Sabtu (21/5/2022).

Ustadz Imam Khoiri menyampaikan sampai hari ini, batas tanah haram itu masih di batasi dengan tiang-tang pancang semacam patok-patok, mengelilingi tanah haram. Patok-patok itu dibuat untuk membatasi tanah haram dan bukan tanah haram. 

“Itu yang dulu ditetapkan sama nabi sampai sekarang,” katanya.

Ustadz Khoiri mengatakan, dengan adanya patok atau pembatas, bisa memudahkan menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang. Misal dilarang membunuh, merusak tanaman dan perusakan-perusakan lainnya.

“Di tanah haram itulah kemudian berlaku ke tentuan dilarang orang disitu untuk membunuh binatang dilarang di situ untuk merusak,” katanya.

Ustadz Imam Khoiri mengatakan, di tanah haram ada Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Dua tempat ini merupakan tempat yang mulia dan dimuliakan. 

“Itu adalah tempat-tempat mulia yang menjadi tujuan rombongan yang akan kita layani,” katanya.

Untuk itu para petugas harus memberikan pelayanan yang terbaik kepada para jamaah. Karena jamaah haji bukan orang biasa, karena pada saat itu posisinya dia sebagai tamu Allah SWT.

“Maka berapa jamaah haji ini satu rombongan tidak biasa, itu rombongan yang luar biasa. Maka masya Allah para pelayannya kita semua juga orang orang yang luar biasa,” katanya.

IHRAM

Doa Nabi Ibrahim untuk Cepat Pergi Haji

Alquran surat Al-Baqarah ayat 128 mengabadikan doa Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Ismail. Doa ini bagus dipanjatkan bagi setiap orang yang beriman yang ingin cepat dipanggil Allah sebagai tamunya (bisa berangkat haji).

رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا ۖ إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Rabbana waj’alna muslimaini laka wamin dzurriyyatina ummatan muslimatan laka wa arina manasikana watub ‘alaina innaka antat-tauwwabur rahim”

Artinya. “Wahai Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang taat kepada-Mu, begitu pula anak keturunan kami. Jadikanlah mereka ummat Islam, ajarkanlah cara-cara beribadah haji kepada kami, ampunilah dosa-dosa kami. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang kepada semua makhluq-Mu.”

Ustaz Rafiq Jauhary Lc mengatakan, doa itu juga baik digunakan umat Islam yang ingin segera berangkat ke baitullah. Karena dalam doa itu ada kalimat “ajarkanlah cara-cara beribadah haji kepada kami”

“Doa ini juga boleh dibacakan untuk para jamaah dan calon jamaah haji,” katanya melalui tausiyah darinya, Kamis (15/4).

Ustaz Rafiq yang juga pemilik travel haji dan umrah Taqwa Tours mengatakan ada banyak hikmah yang dapat dipetik dari doa Nabi Ibrahim bersama dengan putranya, Nabi Ismail. Setidaknya ada tiga permohonan penting yang disampaikan dalam doa beliau berdua. Pertama, memohon agar menjadikan mereka dan anak turunnya tetap istiqamah dalam keislaman. Inilah doa yang selalu dipanjatkan oleh hampir setiap Nabi.

“Karena di antara amanah terberat bagi seorang kepala keluarga adalah menjaga anggota keluarganya agar tidak terjerumus dalam siksa neraka; tentu caranya dengan mengamalkan Islam secara kaffah,” katanya.

Kedua, memohon kepada Allah agar diberi ilmu dalam menjalankan ibadah. Ilmu menjadi hal yang penting karena tanpanya perjuangan untuk menjalankan ibadah seberat apapun sangat beresiko membuatnya tertolak, sia-sia. Ketiga taubat. Sangat mungkin seorang yang telah berilmu pun memiliki peluang berbuat kesalahan.

Ustaz Rafiq mengatakan, Nabi Ibrahim mengajak putranya dan mengajarkan bagaimana beribadah dan berdoa. Nabi Ibrahim juga menjelaskan apa visi besar yang diusung dalam keluarga.

“Hal ini sangat penting mengingat visi haruslah disampaikan dalam keluarga dan diperjuangkan bersama,” katanya.

IHRAM dari BPKH