Mencari Haji Mabrur

Berbagai fasilitas dan kemudahan bagi jamaah Indonesia di Tanah Suci barangkali membuat kesan pelaksanaan ibadah haji adalah perkara mudah tahun ini. Selepas pelaksanaan wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah dan Mina, kemudian melontar Jamarat dan bertawaf ifadhah, nyatanya ritual itu masih mendorong batas terjauh ketahanan fisik jamaah.

Nurjanah seorang jamaah asal Kampung Duri, Jembatan Besi, Jakarta Barat, punya kisah soal itu. Bukan muda lagi, ia sudah berusia 65 tahun, Nurjanah bergerak dari maktabnya di Mina Jadid menuju pemondokan di Hotel Al Wehdah selepas tengah malam Senin (20/8) dan langsung berjalan menuju Jamarat. Jarak lokasi itu bisa mencapai tujuh kilometer.

Keesokan harinya, pada Rabu (22/8) malam hingga Kamis (23/8) fajar, ia melakukan mabit di pelataran Mina sehubungan letak maktab yang jauh dari Jamarat. Dari Jamarat, selepas melontar jumrah, ia dan Abdullah (70 tahun) sang suami langsung diajak rekan satu kampungnya ke Masjid al-Haram untuk melaksanakan tawaf ifadhah meski kondisi badan masih kelelahan.

“Katanya waktu itu biar mabrur hajinye,” kata Nurjannah dengan logat betawi kental saat saya temui di Masjid al-Haram, Jumat (24/8).

Apesnya, Nurjanah dan suaminya ditinggal rekan sekampungnya di Masjid al-Haram. Jadilah sejak Kamis siang itu hingga Jumat (24/8) pagi mereka telantar di Masjid al-Haram. Saat itu, ia belum sekalipun kemasukan makanan sejak dari hotel.

“Minum zamzam saja terus biar kuat,” kata dia.

Bagaimanapun, tubuh manusia tetap punya batasnya. Nurjanah sudah lunglai pagi itu. Jalannya harus dipapah, sesekali ia muntah. Sedangkan Abdullah yang dengan sayang ia panggil “engkong” seperti panggilan dari enam cucu mereka, juga sedikit linglung. “Dia mahbegitu orangnye. Suka ngilang kaga bilang-bilang,” kata Nurjanah.

Ia kebingungan mencari jalan pulang ke hotelnya dari Masjid al-Haram. Air mata menggenang di matanya mengharapkan bantuan. “Ya Allah, susah amat ya mau nyari hani mabrur,” kata dia.

Abdullah dan Nurjanah menuturkan, mereka berangkat haji dengan uang hasil menjual tanah di kampung halaman. Selain itu, delapan tahun mereka menabung untuk melunasi biaya naik haji dari hasil mengontrakkan rumah.

Pada Jumat pagi, mereka akhirnya mendapatkan bantuan kembali ke Hotel Al Wehdah, tempat mereka tinggal. Setibanya di hotel setelah diantarkan mobil dari Daker Makkah, keduanya nampak menangis penuh haru. Berulang kali, mereka berangkulan dengan rekan-rekan serombongan yang sudah dua hari kebingungan juga mencari mereka. Meski lewat jalan yang sedemikian berat, Nurjanah akhirnya memungkasi ibadah hajinya.

Masing-masing jamaah selain Nurjanah dan Abdullah pada puncak ibadah haji juga punya kesusahan masing-masing. Ada Uher (55), dari Rangkas Bitung, Banten yang juga harus menghabiskan malam di lantai pelataran kompleks Jamarat karena lokasi maktabnya jauh dari jamarat.

“Nggak apa-apa, memang ibadah haji harus susah begini biar ada ceritanya,” saat ditemui di Jamarat, Kamis (23/8).

Ia mengatakan, berangkat haji bersama istri dengan hasil panen padi di kampung halaman. Menabung tujuh tahun, akhirnya ia bisa menggenapi pelunasan ibadah haji dan berangkat tahun ini. Kesusahan di Tanah Suci, menurutnya sebanding dengan pahala yang mereka harapkan.

“Kalau masih boleh sama Allah, saya mau banget kembali lagi ke Tanah Suci,” kata dia.

Pada puncak ibadah haji, fisik masing-masing jamaah memang seperti didorong hingga batas-batas paling ujung kemampuan mereka. Jangan kata yang berusia lanjut, buat yang muda pun berjalan belasan kilometer bukan perkara mudah.

Itu masih ditingkahi lagi dengan nelangsa lainnya seperti pemondokan yang terbatas ruangnya, makanan yang tak ramah dengan lidah masing-masing, cuaca panas yang menyengat, serta kebingungan soal lokasi.

Namun pada akhirnya, seperti yang disampaikan Pak Uher, hal-hal itulah yang membuat ibadah haji jadi penuh makna dan penuh kisah. Bukan sekadar wisata keagamaan, tapi sebenar-benarnya pengabdian hamba-hamba pada Tuhan mereka. Ia adalah bukti tak terbantahkan soal bagaimana keimanan punya daya gerak yang luar biasa pada umat manusia.

REPUBLIKA

Serba-serbi Haji (6): Semangat Berlebihan

PUANG H Mochtar Tompo berbagi cerita bahwa dalam perjalanan ke Mina bersamalah beliau dengan beberapa jamaah lain berjalan kaki. Agar tak jenuh dan demi untuk membunuh waktu, berbincanglah mereka tentang pengalamannya masing-masing.

Ada yang cerita hp hilang, hp tertinggal, batu untuk melempar jumroh hilang, batu tertinggal sampai pada istri yang tertinggal. Kasusnya sesungguhnya biasa saja, masih ikut teori bahwa semangat berlebih seringkali mengurangi ingatan. Hahaha

Mat Kelor yang ada dalam rombongan perbincangan itu bertanya pada salah seorang yang sepanjang perjalanan diam membisu: “Bapak ini nafar awwal apa nafar tsani?” Pertanyaan ini sesungguhnya biasa saja, namun jawabannya yang membuat orang bergelaktawa: “Saya NAFARUDDIN, asal Makassar.” Semua tertawa, tak terkecuali Puang Mochtar Tompo, pemuda cerdas anggota DPR RI Komisi VII ini.

Menariknya Mat Kelor malah terdiam. Ketika saya tanya mengapa tidak tertawa juga, dia menjawab: “Ternyata ada jenis NAFAR yang lain yang belum dijelaskan dalam manasik. Nah, sekarang giliran saya yang tertawa ngakak. Saking berlebih semangat tertawa saya, saya terlupa bahwa kopiah saya lepas dari kepala saya.

Ya, terlalu bersemangat memang ada saya efeknya ya. Tapi peristiwa hari ini, efek terbesarnya adalah lupa yang menyenangkan, lupa yang membuat tertawa. Mat Kelor juga terkena syndrome ini. Begitu semangatnya makan siang menu ikan, dia sampai lupa pada kaca matanya sendiri. Tolah toleh ke kanan ke kiri dan bertanya apa ada yang menemukan kaca matanya. Sahabatnya sambil ngakak berkata: “Yang kamu pakai di depan matamu itu apa?” Mat Kelor tertunduk malu, ternyata kacamata yang dicari masih ada di atas hidungnya.

Kisah lain hari ini adalah ada jamaah yang saat melempar jumroh tadi bertanya: “Kiai, saya tadi melemparnya lebih. Harusnya kan 7 butir, saya 14 butir. Sah apa tidak? Kena dam apa tidak?” Saya tak langsung menjawab. Dalam batin saya, semangat jamaah ini untuk melempar syetan luar biasa juga. Semangat yang berlebih. Saya jawab: “Sah dan tidak kena dam.” Wajahnya senang sumringah, namun syetan pada cemberut. Hahahaaa

Jalani hidup, nikmati hidup. Berusahalah untuk mengubah kisah derita menjadi kisah bahagia. Bagaimana caranya? Saya mau tanya pada Mat Kelor. Salam, AIM, Pembimbing Haji PT Kanomas Travel & Tour. [*]

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Serba-serbi Haji (5): Mengapa Aku Berbeda?

NAFASNYA terengah-engah, Mat Kelor pulang dari melempar jumroh sangat terlambat dibandingkan yang lain. Teman-temannya khawatir sekali dia kesasar karena ini adalah haji pertama kalinya baginya dan dia tak paham bahasa Arab. Rupanya dia pulang membawa seorang lelaki yang juga memakai baju ihram. Tatapan lelaki ini kosong. Mat Kelor berkata: “Dia terpisah dari rombongannya dan sedikit bermasalah.”

Mat Kelor akhirnya bercerita bahwa lelaki itu menangis sendirian di tempat jumroh. Ketika ditanya mengapa, lelaki itu menjawab: “Orang lain begitu mudah melihat setan, sehingga bersemangat melempar jumrah. Sementara sejak tadi saya belum melihat satu pun setan, makanya saya belum mau melempar sama sekali. Mengapa saya berbeda dengan mereka. Begitu buruknya penglihatan saya.”

Mat Kelor mendadak menjadi ustadz. Dia bertutur: “Cobalah renungkan, adalah setan dalam hatimu yang mengajakmu berbuat dosa, menganjurkanmu untuk bakhil, membisikkanmu bahwa kamu lebih baik ketimbang orang lain?” Lelaki tadi itu langsung menjawab: “Banyak dan sering datang begitu.” Mat Kelor melanjutkan petuah: “Lempar dia supaya keluar dari dirimu. Tapi jangan lempar dirimu sendiri, lemparlah tugu jumrah itu sebagai simbol. Namun iringkan dengan niatmu bahwa kamu melempar setan dan tak mau bersamanya. Maka, setan itu akan pergi dari dirimu.”

Tiba-tiba, lelaki itu bangkit dan lari ke depan tugu sambil berteriak “Bismillaah Allahu Akbar. Kulempar syetan demi menggapai ridla Dzat Yang Maharahman.” Semangat sekali, sampai sebagian batunya mendarat di kepala orang hitam tinggi besar yang ada di hadapannya. Lelaki kulit hitam itu menoleh dan membentak: “Aku bukan syetan.” Lalu kami pulang. Dia kuajak bersama, akan ku kasih bubuk daun kelor biar segar dan fit kembali.

Selamat Pak Mat Kelor. Teruslah berbagi cerita. Inapirasi tak selalu datang dari para sarjana. Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Serba-serbi Haji (4): Pusing Cari Kotak Amal

MAT Kelor memang sudah menjadi kaya semenjak menekuni bisnis kelornya. Namun gaya hidupnya tetap saja gaya Suliman masa lalu, tak ada beda. Bahasanyapun tetap bahasa Madura, kecuali terpaksa maka dia berbahasa Indonesia dengan kosa kata terbatas.

Ada yang bertanya kepadanya kok bisa kaya padahal tak bisa bahasa Inggris. Dijawabnya: “Uang itu tak memakai bahasa mulut, melainkan bahasa hati.” Jawaban ini memiliki banyak tafsir. Kapan-kapan undanglah dia untuk bercerita tentang bahasa uang.

Hari kedua di Mekah, Mat Kelor dan isterinya terpisah dari jamaah seusai thawaf, sai dan cukur. Lama sekali tak pulang ke hotel. Sang pembimbing mencarinya dan akhirnya ketemu. Ditanyalah mereka berdua mengapa menghilang. Jawabnya: “Kami tak menghilang Ustadz. Kami keliling masjidil haram ini mencari posisi kotak amal. Tak nyaman hati ini pulang masjid sebelum meletakkan uang dalam kotak amal.”

Ternyata, orang kalau sudah biasa shadaqah merasa tak enak kalau tak shadaqah. Persis dengan orang yang tak biasa shadaqah pasti merasa tersiksa batinnya saat diminta sumbangan. Sang Pembimbing menjelaskan bahwa di Mekah ini tak ada masjid yang punya kotak amal. Toilet pun tak ada kotak amal. Mat Kelor kagum luar biasa. Sambil geleng kepala berkata: “Di Indonesia, kotak amal masjid biasa jalan ke rumah-rumah bahkan ke jalan raya.”Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Serba-serbi Haji (3): Fanatik Butuh Alasan Ilmiah

AWALNYA saya tidak begitu perhatian pada perilaku Mat Kelor dalam kaitannya dengan makanan. Baru pada hari ketiga saya sadari mengapa ruang makan selalu saja agak ramai kalau dia datang. Dia antri dengan taat dan rapi di antara jamaah haji yang juga antri makan. Saat sampai di meja prasmanan, selalu saja ada yang tertawa senyum-senyum.

Apa pasalnya? Pertama, Mat Kelor selalu berkata: “Kok selalu ayam goreng ya, kapan bebek gorengnya?” Kedua, tiap hari bertanya pada pramusaji: “Mengapa telur ayam terus, kapan telur bebek?” Para jamaah bertanya-tanya dalam hati mengapa Mat Kelor selalu bertanya tentang bebek. Mengapa dia fanatik betul dengan bebek. Tak ada yang berani bertanya karena takut menyinggung rasa.

Pak Edi, saudara saya yang rutin haji tiap tahun, memberanikan diri bertanya. Saya hanya pendengar saja karena tak enak sesama Madura bertanya hal pribadi yang sangat tak umum. Pak Suliman (nama Asli Mat Kelor), mengapa Anda fanatik telor bebek dan bebeknya sekalian. Mengapa tak suka ayam dan telur ayam?”

Mat Kelor menjawab: “Saya berusaha hidup syar’i Bapak. Semua harus ikut syari’ah. Begini ini adalah fanatik yang diharuskan demi agama. Ayam itu tidak syar’i, bebek itu syar’i. Lihatlah saat ayam jantan bercinta dengan ayam betina, dua-duanya langsung pergi mencari makan. Lihatlah bebek, setelah bercinta pastilah mereka mandi wajib, menenggelamkan tubuhnya dalam air. Karena itu telur bebek adalah produk halal, sementara telur ayan adalah haram karena tak pakai mandi wajib.”

Kami semua tertawa ngakak. Fanatiknya Mat Kelor tak beralasan dan tak ilmiah. Mengapa dia juga tidak bertanya siapa yang menikahkan ayam dan bebek itu. Namun, semangat Mat Kelor perlu diacungi jempol. Jangan dipatahkan. Dia butuh diajari dan dibimbing. Fanatik tanpa dasar itu berbahaya. Semangat tanpa pengetahuan itu bisa membuat derita, derita pada diri sendiri dan derita pada orang lain. Teruslah belajar dan buka wawasan. Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Serba-serbi Haji (2): Pentingnya Pengetahuan Haji

KALI ini adalah kisah tentang jamaah haji bernama Mat Kelor, tetangga Mat Tellor kemaren itu. Mat Kelor ini bernama asli Suliman. Orangnya lugu dan lucu penuh jenaka. Tak jarang jamaah lain dibuat ketawa oleh caranya mengenalkan dirinya kepada orang-orang non Indonesia. Pasti dia berkata: “My name is Suliman, Es Yu El Ai Em E En, from Madura. I am a trader of Moringa or Kelor.”

Sesama Maduranya saya ketawa ngakak, apalagi saat dia promosi kelor dalam bahasa Arab yang penuh dengan kata “hadza” yang berarti “ini” atau bermakna “anu.” Dia berani tampil. Tapi saat ditanya oleh kyai tentang ibadah hajinya, dia gelagapan. Kiai bertanya: “Mas, kamu ini apa haji tamattu’?” Mat Kelor menjawab dalam logat Madura kentalnya: “Abbeee, bukan Pak Kiai, saya haji Suliman.” Kiai ngakak, Suliman tersinggung.

Kiai itu sesungguhnya bertanya jenis haji yang dilakukan apakah tamattu’, ifrad atau qiran. Suliman tak paham itu. Yang dia paham adalah tentang nama latin kelor dan manfaatnya untuk kesehatan. Iya, setiap orang punya penguasaan yang baik akan bidangnya sendiri-sendiri. Namun bab rukun Islam harusnya semua muslim mengetahui dasar pokoknya.

Sulaiman paham kesalahannya lalu minta maaf kepada kiai serta memberikan beliau moringa oleifera powder dan moringa om seed yang kaya manfaat itu. Pahamkah istilah itu? Belajarlah ke PT. Alami Moringa Plantation yang didirikan oleh, salah satunya, Suliman, Es Yu El Ai Em E En.

Sebentar lagi Suliman akan menjadi haji. Saya bertanya tentang nama hajinya siapa, karena kebiasaan orang Madura mengubah nama saat haji demi keberkahan katanya. Suliman menjawab bahwa Namanya dia ubah dan tambahi sedikit menjadi Haji Sulaiman Muhib Al-Qiluri. Mantap, tanpa Madura, Indonesia kehilangan sebagian kelucuannya. Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Serba-serbi Haji (1): Keluguan Orang Tradisional

MAT Tellor nama boomingnya, nama panggilannya setelah sukses menjadi juragan segala macam telor. Dari namanya sudah letahuan bahwa asalnya adalah dari Madura. Nama aslinya SARIDIN yang katanya bermakna sari atau inti agama. Orang ini membuat heboh bandara Jeddah musim haji ini.

Mengapa heboh? Jelas bukan karena tindakan kriminal. Mat Tellor yang pendidikan dasar dan menengahnya diselesaikan hanya di langgar tradisional sangatlah kecil kemungkinan berbuat tak benar. Alumni langgar desa adalah manusia lugu yang setia sepenuh hati akan ajaran dan petuah guru. Mereka tak terkontaminasi ajaran media sosial yang membuat banyak pilihan membingungkan.

Mat Tellor semenjak masuk bandara tiba-tiba jalannya berubah, tak lagi tegak melainkan selalu membungkuk sopan dan satu tangannya yang kanan diturunkan seakan mau membuat garis di lantai. Tangan kirinya memegang jidat dekat ubun-ubunnya. Awalnya semua menduga beliau sakit pinggang atau terkena penyakit ayan tiba-tiba.

Ada orang yang berani bertanya, seorang wartawan ALAMI NEWS sepertinya, ada apa dengan dirinya. Beliau menjawab: “Lihatlah betapa banyak orang alim di sini, semua bersorban. Negara Arab memang negara orang alim. Makanya saya tak berani jalan tegak, saya perlakukan mereka bagai saya memperlakukan kiai-kiai saya di desa.” Rupanya Mat Tellor tak dapat informasi bahwa di Saudi, polisi, petugas imigrasi dan bahkan petugas kebersihan adalah biasa bergamis dan bersurban.

Mat Tellor mencium tangan petugas kebersihan yang bersurban dan bahkan sepertinya menyelipkan beberapa lembar uang rupiah yang dibawanya. Untuk mendapat berkah katanya. Petugas kebersihan itu tersenyum bahagia dan berterimakasih serta bertanya-tanya dalam bahasa Arab yang dijawab oleh Mat Tellor dengan “aamiiin” karena dikira doa.

Ada banyak hikmah dalam kisah ini. Salah satunya adalah bahwa di masyarakat tradisional, baju itu punya makna. Bergamis dan bersorban hampir pasti dianggap alim, minimum relijius. Padahal ya belum tentu. Bagi yang bergamis dan bersorban, sesuaikan nilai hidup dengan anggapan banyak orang agar masyarakat tak merasa tertipu.

Hikmah lainnya adalah bahwa orang Madura itu lugu dan lucu. Tanpa Madura, Indonesia kehilangan humor. Humor Madura teraktual kali ini adalah humor tentang dari Pak Mahfud MD. Apa iya? Tunggu kisah berikutnya. Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Fisik Tidak Fit, PPIH Imbau Jemaah Jangan Paksakan Diri Lontar Jamarat

Mina (PHU)—Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi mengimbau jemaah haji jika fisiknya tidak mampu agar tidak dipaksakan untuk lontar jamarat. Hal ini didorong karena keinginan yang kuat dari jemaahnya sendiri karena ingin merasakan lontar jamarat.

“Perlu diketahui bahwa jemaah haji memaksakan pergi melontar Jumroh terutama dihari pertama, semua karena keinginan yang kuat untuk merasakannya,” kata Kepala Satuan Operasional (Kasatop) Arafah-Mina-Mudzalifah Jaetul Mukhlis melalui pesan singkatnya. Rabu (22/08)

Jaetul mengakui, edukasi ke jemaah saat ini hanya melalui perlindungan jemaah (linjam), seharusnya yang memberikan edukasi berasal dari Tim Promotif dan Preventif (TPP) bidang kesehatan terkait informasi cuaca yang menyebabkan heatstroke maupun dari sisi ibadah tentang status.

“Info ini bukan tidak sampai tapi suasana kebatinan yang kuat dari keberadaan psikis jamaah tadi (rasa ingin tahu ingin mencoba karena sudah jauh-jauh dari tanah air ingin menyempurnakan ibadahnya) semua mengalahkan akal sehatnya sehingga kalah dalam mengukur kemampuan dirinya ,” kata Jaetul.

Jaetul juga meminta khususnya jemaah sepuh dan mempunyai kemempuan fisik yang terbatas tidak memaksakan diri ke Jamarat dan dapat diwakilkan.

“Iimbauan saya orang tua sepuh dan kemapuan fisik terbatas jangan memaksakan diri ke Jamarot cukup diwakilkan dan istirahar saja di tendanya masing-masing,” imbaunya.(mch/ha)

KEMENAG RI

Haji Bawa Pesan Kasih Sayang

Haji bukan semata-mata ritual. Di dalamnya terdapat pesan-pesan kasih sayang yang harus ditangkap para jamaah dan membawanya dalam kehidupan di Tanah Air.

Wakil pemimpin rombongan haji Indonesia KH Yahya Cholil Staquf menyitir hadis Rasulullah dari Jabir, Rasulullah bersabda, tiada ganjaran untuk haji mabrur kecuali surga. Lalu sahabat bertanya, apa itu kemabruran haji? Rasulullah menjawab, “Memberi makan  dan menyebarluaskan kedamaian.” Hadis sahih ini diriwayatkan Imam Hakim.

Kiai Staquf menjelaskan menolong sesama dan menebarkan kedamaian adalah kunci haji mabrur. Asalnya dari mental rahmah, yaitu sikap menghadirkan diri seperti rahim ibu: merengkuh, melindungi, dan menghidupi.

Allah menyayangi manusia, sehingga mengirimkan utusannya, Rasulullah, untuk memperbaiki kehidupan. Dengan dakwah Rasulullah, perilaku manusia merujuk kepada nilai agama, sehingga menjadi makhluk mulia yang disegani ciptaan Allah lainnya.

Kiai Staquf juga menyampaikan tiga tema pokok haji: menahan hawa nafsu (la rafats), menghindari maksiat (la fusuq) dan kerukunan atau menghindari adu argumentasi (la jidal). Ketiganya juga menjadi larangan selama jamaah mengenakan ihram dan berwukuf.

Imam Masjid al-Haram Syekh Su’ud bin Ibrahim bin Muhammad as-Syuraim dalam khotbah Jumatnya pekan lalu mengatakan, ibadah agung yang dinantikan sepanjang kehidupan. Ketika melaksanakan rentetan haji, jamaah akan merasakan kebahagiaan yang tak terlukiskan.

Kebahagiaan itu terasa jelas ketika jamaah melaksanakan tawaf. Mereka selama ini hanya diarahkan menghadap kiblat saat shalat. Kini mereka melihat dengan mata-kepala langsung kiblat itu: ka’bah. “Rasanya sangat menyejukkan hati,” kata Syuraim.

Karena ibadah yang agung ini, manusia dari berbagai penjuru dunia berdatangan ke al-Haram. Dulu jamaah haji berdatangan dengan bersusah payah. Ada yang berjalan kaki, menunggangi kuda dan onta kurus. Kini mereka berdatangan dengan kendaraan canggih, seperti pesawat, bus, dan mobil.

Syuraim menyebutkan sejumlah manfaat haji. Pertama adalah menyucikan hati dari dosa. Tawaf tujuh putaran merupakan salah satu caranya. Dari satu putaran ke lainnya hati akan dibersihkan dan batin akan terasa seperti diangkat ke langit ke tujuh, tempat para malaikat mengagungkan asma Allah.

Haji juga wasilah untuk membangun kedekatan (muraqabah) kepada Allah. selama melaksanakan haji, jamaah akan selalu menyebut asma-Nya dalam berzikir dan bershalawat. Ruang-ruang suci (al-masyair al-muqaddasah) terbuka untuk mereka tempati, seperti Masjid al-Haram yang menjadi ruang shalat dengan 100 ribu pahala, Arafah yang menjadi tempat bertobat, Muzdalifah yang menjadi tempat mabit, dan Mina yang merupakan tujuan jamaah melempar jumrah hingga akhir hari tasyriq.

Syuraim mengimbau jamaah memanfaatkan waktu untuk beribadah sebaik mungkin. Kesempatan mereka mendatangi Tanah Suci belum tentu berulang.

 

REPUBLIKA

Inilah Kisah Menyentuh 3 Tukang Becak Naik Haji

Bisa mengunjungi Tanah Suci Mekah tentu merupakan harapan terbesar bagi seluruh umat Muslim di dunia. Tak terkecuali bagi 3 tukang becak yang kisahnya ada di bawah ini.

Biaya naik haji yang mencapai puluhan juta rupiah, jika dipikir-pikir memang cukup berat dan nyaris mustahil dicapai dengan penghasilan sehari-hari mereka.

Namun, Tuhan selalu merawat doa-doa umatnya yang dipanjatkan dengan niat tulus dan membantu agar harapan mereka terkabul.

1. Maksum, penghasilan sehari Rp 20 ribu dan menabung 21 tahun untuk biaya naik haji

“Mustahil”, begitu yang dipikirkan Maksum saat terlintas keinginannya menunaikan ibadah haji. Apalagi penghasilannya hanya berkisar Rp 20 ribu per hari.

Tukang becak yang kerap mangkal di depan ITC Surabaya itu awalnya tidak yakin keinginannya akan terwujud.

Namun pada tahun 1996, setelah istrinya meninggal, Maksum bertekad harus mulai menabung untuk naik haji. Dan sejak saat itu, Maksum mengayuh becaknya lebih rajin dari sebelumnya.

Setoran pertamanya ke bank kala itu Rp 800 ribu dan dia selalu menabung setiap bulan.

Baru tahun 2010, Maksum membuka rekening Ongkos Naik Haji (ONH) dan mulai mendaftarkan namanya sebagai jemaah haji Indonesia.

“Tidak hanya bekerja saja, tapi juga berdoa,” ungkap Maksum. Selama belasan tahun, Maksum menyisihkan pendapatan kecilnya ke rekening tabungan haji.

Niat tulusnya terjawab saat dia akhirnya berhasil terdaftar sebagai anggota kloter 6 jamaah haji yang diberangkatkan melalui Surabaya tahun 2017 lalu.

Maksum tak henti-hentinya bersyukur karena di usianya yang kala itu 79 tahun, dia berhasil mewujudkan mimpinya.

 

2. Mashuri, menabung selama 40 tahun untuk biaya naik haji

Pasangan suami istri asal Grobogan, Jawa Tengah, Mashuri (62 tahun) dan Siti Patimah (59 tahun) menyisihkan uang hasil menarik becak selama 40 tahun.

Sejak masih muda, mereka memang punya cita-cita harus bisa pergi ke Tanah Suci untuk beribadah haji. Mashuri berusaha mewujudkan janji serta mimpinya bersama istri tercinta.

Mashuri sadar, sebagai tukang becak, dia tak punya banyak uang untuk biaya naik haji berdua. Mashuri mencari cara agar uangnya bisa bertambah dengan cepat.

Bapak 4 anak ini awalnya menabung uang hasil menarik becak, lalu digunakan untuk beternak sapi.

Mashuri dan Siti merawat sapi-sapinya dengan penuh perhatian dan memperlakukan hewan ternaknya dengan baik.

Setelah beranak pinak, Mashuri menjual 6 ekor sapinya untuk ongkos haji bersama istri.

Mashuri dan Siti Patimah akhirnya berhasil mewujudkan mimpinya. Mereka akan berangkat ke Mekah pada 7 Agustus 2018 ini melalui Embarkasi Donohudan, Solo.

 

3. Santuso, menabung selama 10 tahun untuk biaya haji

Santuso (55 tahun), warga Gili Ketapang, Probolinggo ini tak pernah menyangka dia akan bisa melaksanakan ibadah haji tahun 2018 ini.

Sehari-hari, kerjanya hanya sebagai tukang becak yang mengangkut ikan dari dermaga ke rumah nelayan di Gili Ketapang.

Pendapatan hariannya berkisar Rp 100 – 150 ribu saja, itu juga harus dikurangi lagi untuk biaya makan dan kebutuhan keluarga sehari-hari.

Sisanya tak banyak, paling Santuso hanya bisa menyisihkan Rp 500 -1.000 saja untuk tabungan hajinya.

Selama 10 tahun Santuso menabung sedikit demi sedikit dan disertai pula dengan doa yang tak henti.

“Selain bekerja keras, saya juga selalu sholat. Sholat tahajud juga tidak pernah ketinggalan,” kata Santuso.

Doanya kini terkabul, tahun 2018 ini Santuso akan berangkat haji meski tak ditemani sang istri.

“Sebenarnya saya juga ingin pergi bersama istri. Tapi uangnya tidak cukup. Disyukuri saja, istri saya juga ikhlas,” lanjutnya.

Belajar dari kisah 3 tukang becak yang berhasil mewujudkan mimpinya pergi ke Tanah Suci, kita akan sadar bahwa hasil tidak akan mengkhianati usaha. (*)

 

TRIBUN JATENG