Serba-serbi Haji (24): Keliling Akhirat Jetlag?

JETLAG adalah istilah yang sangat populer di kalangan para pelancong dunia, mereka yang terbiasa terbang melintasi beberapa zona waktu. Biasanya diterjemahkan dengan gangguan ritme tidur, ngantuk berat di saat manusia normal masih segar melek dan segar melek saat kebanyakan orang ngantuk. Ternyata, jetlag itu bukan hanya gangguan ritme tidur, melainkan juga ritme rasa kenyang lapar. Ritme sirkadian yang terganggu, hormon yang melatonin yang tak lagi normal.

Rata-rata jamaah haji mengalami ini, termasuk saya dan Mat Kelor. Tak jarang saat menerima kunjungan tamu sambil menguap ngantuk. Biasanya Mat Kelor beralibi: “Jam ngantuk di Arab ini. Mohon dimaklumi. Ngantuknya jamaah haji itu dijaga malaikat.” Para tamu biasanya senyum-senyum sambil menghabiskan kurma dan jajanan Arab yang dibawa dari tanah suci. Namun bagaimanapun kita tetap melayani mereka dengan kisah indahnya haji, suka duka di tanah suci.

Orang yang tak terbang kemana-mana tak mengalami jetlag. Terbang di wilayah satu zona waktu saja tak mengalami jetlag. Guru alif ba ta tsa Mat Kelor berkata: “Manusia yang pikiran dan hatinya tak anteng atau tak istiqamah dalam urusan akhirat biasanya akan mengalami jetlag kehidupan, ritme hidup yang tak normal. Normalnya, manusia itu adalah makhluk langit, binatang beragama. Saat manusia menjauh pergi dari zona agama, dia pasti mengalami jetlag berupa kebingungan tak berujung.”

Saya senang sekali dengan kesimpulan sang guru. Setelah saya amati ritme hidup ahli ibadah, begitu tenangnya mereka dalam menjalani hidup walau dalam keterbatasan. Sebaliknya, saat melihat orang yang selalu terbang urusan dunia dengan melalaikan akhirat, begitu kacaunya rasa dan hormon kebahagiaan mereka, terus sedih dan menangis di tangah zona yang harusnya bahagia dan tertawa.

Saya coba intip penjelasan ulama tentang hakikat hidup menurut al-Qur’an. Ternyata jaminan bahagia hakiki itu diberikan Allah hanya bagi orang yang beriman, hatinya terikat kuat dengan nilai-nilai keakhiratan. Mat Kelor menyebut potongan ayat: “Alladziina yu’minuuna biLLAHI wal yawmil aakhir.” Guru huruf hijaiyah Mat Kelor tersenyum sambil berkata: “Sejak kapan kamu hapal potongan ayat?” Mat Kelor menjawab: “Sejak mengistiqamahkan diri shalat tepat di belakang imam masjidil haram.” Pantas, pikir saya, Mat Kelor sangat awal kalau berangkat ke masjid. Bagaimana dengan kita?

Ingin tak jetlag dalam kehidupan? Jangan muter-muter urusan isi dompet terus. Fokuslah pada urusan isi hati dan kotak amal kehidupan akhirat. Salam, AIM. [*]

KH Ahmad Imam Mawardi

Serba-serba Haji (20): Paspor, KTP & Surat Nikah

MAT Kelor lupa tidak membawa ID Card saat keliling Madinah. Malam itu dia menikmati betul keindahan Madinah pada malam hari. Gunung yang disorot lampu dari bawah seakan bagai gunung salju yang berharap dipuji.

Lumayan ramai juga kota ini di malam hari. Paling ramai adalah pusat kuliner dan toko fashion. Mat Kelor ada di toko baju gamis, mencari model yang tepat untuk dipakai saat pulang nanti. Saat memilih baju, dia melihat dompet yang jatuh di lantai toko. Diambilnyalah untuk diberikan kepada kasir. Celakanya, Mat Kelor malah dianggap copet atau pencuri. Nasib sial.

Saat diinterogasi polisi, tak ada yang keluar dari mulut Mat Kelor kecuali kata: “Wallahi, ana man khair.” Maksud dia: “Wallahi, ana (saya) man (orang) khair (baik).” Polisinya tak segera paham karena susunan katanya salah, tapi akhirnya juga paham dengan senyuman tipis. Saya diam saja karena ingin tahu cara Mat Kelor menyelesaikan masalah dan karena takut dilibat-libatkan. Untung akhirnya ada pekerja dari Indonesia di toko itu. Dialah yang menerjemahkan bahasa Indonesianya Mat Kelor.

Ditanya ID card, tak bawa. Ditanya Paspor, ada di muassasah haji. Untung saja ada kebiasaan unik Mat Kelor, yakni kemana-mana membawa surat nikah, biar selalu sadar bahwa sudah menikah katanya. Surat nikah itu yang diserahkan ke polisi. Setelah dibuka-buka, polisi geleng kepala karena surat nikah tidak termasuk jenis ID atau identitas diri. Polisi minta KTP atau paspor. Semua panik.

Mat Kelor berkata pada karyawan toko yang asal Banjarmasin itu: “Mas, kasih tahu pada polisi ini. Paspor itu yang tanda tangan cuma satu. KTP juga satu. Surat nikah ini yang tanda tangan banyak orang, ada pak lurah, ada pak mugin, KUA, ada dua saksi dan ada saya dan isteri. Jadi, surat nikah lebih kuat daripada KTP dan paspor.” Polisi Arab manggut-manggut mendengar penjelasan karyawan tadi. Mat Kelor dilepas.

Saya tertawa dan karyawan toko itu juga tertawa sambil berkata: “Baru kali ini saya mendengar alasan logis kehebatan surat nikah dibanding paspor dan KTP.” Mat Kelor agak kesel juga dengan polisi itu. Dia berkata: “Ada alasan lain dik. Surat nikah saya itu berlaku bukan hanya 5 tahun, tapi dunia akhirat dik.” Kami semakin tertawa. Mat Kelor tak jadi beli gamis di toko itu. Isyarat awal sudah kurang bagus katanya. Saya manut saja. Kami akhirnya keluar toko. Mat Kelor berterimakasih pada pemuda Banjarmasin itu: “Syukran.” Apa jawab pemuda itu?

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

 

INILAH MOZAIK

Serba-serbi Haji (6): Semangat Berlebihan

PUANG H Mochtar Tompo berbagi cerita bahwa dalam perjalanan ke Mina bersamalah beliau dengan beberapa jamaah lain berjalan kaki. Agar tak jenuh dan demi untuk membunuh waktu, berbincanglah mereka tentang pengalamannya masing-masing.

Ada yang cerita hp hilang, hp tertinggal, batu untuk melempar jumroh hilang, batu tertinggal sampai pada istri yang tertinggal. Kasusnya sesungguhnya biasa saja, masih ikut teori bahwa semangat berlebih seringkali mengurangi ingatan. Hahaha

Mat Kelor yang ada dalam rombongan perbincangan itu bertanya pada salah seorang yang sepanjang perjalanan diam membisu: “Bapak ini nafar awwal apa nafar tsani?” Pertanyaan ini sesungguhnya biasa saja, namun jawabannya yang membuat orang bergelaktawa: “Saya NAFARUDDIN, asal Makassar.” Semua tertawa, tak terkecuali Puang Mochtar Tompo, pemuda cerdas anggota DPR RI Komisi VII ini.

Menariknya Mat Kelor malah terdiam. Ketika saya tanya mengapa tidak tertawa juga, dia menjawab: “Ternyata ada jenis NAFAR yang lain yang belum dijelaskan dalam manasik. Nah, sekarang giliran saya yang tertawa ngakak. Saking berlebih semangat tertawa saya, saya terlupa bahwa kopiah saya lepas dari kepala saya.

Ya, terlalu bersemangat memang ada saya efeknya ya. Tapi peristiwa hari ini, efek terbesarnya adalah lupa yang menyenangkan, lupa yang membuat tertawa. Mat Kelor juga terkena syndrome ini. Begitu semangatnya makan siang menu ikan, dia sampai lupa pada kaca matanya sendiri. Tolah toleh ke kanan ke kiri dan bertanya apa ada yang menemukan kaca matanya. Sahabatnya sambil ngakak berkata: “Yang kamu pakai di depan matamu itu apa?” Mat Kelor tertunduk malu, ternyata kacamata yang dicari masih ada di atas hidungnya.

Kisah lain hari ini adalah ada jamaah yang saat melempar jumroh tadi bertanya: “Kiai, saya tadi melemparnya lebih. Harusnya kan 7 butir, saya 14 butir. Sah apa tidak? Kena dam apa tidak?” Saya tak langsung menjawab. Dalam batin saya, semangat jamaah ini untuk melempar syetan luar biasa juga. Semangat yang berlebih. Saya jawab: “Sah dan tidak kena dam.” Wajahnya senang sumringah, namun syetan pada cemberut. Hahahaaa

Jalani hidup, nikmati hidup. Berusahalah untuk mengubah kisah derita menjadi kisah bahagia. Bagaimana caranya? Saya mau tanya pada Mat Kelor. Salam, AIM, Pembimbing Haji PT Kanomas Travel & Tour. [*]

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Tak Boleh Gantungkan Bahagia kepada Selain Allah

DUNIA ini berputar, semua bisa berubah. Sebagaimana angin bisa berubah arah, langkah kaki bisa berubah haluan. Tak ada yang tetap dalam hidup ini kecuali sesuatu yang sudah menjadi hukum alam. Perubahan adalah bagian dari hukum alam.

Sejarah hidup manusia mengajarkan kita bahwa semua yang hidup pasti mati, pada saatnya nafas akan terhenti. Sebagaimana kekasih pada waktunya akan berpisah dan pergi, sahabat terdekatpun akan menjauh dan menepi.

Dari anak-anak menjadi tua, ada banyak peristiwa yang menyadarkan bahwa hidup adalah perjalanan dari lemah menjadi kuat dan dari kuat menjadi lemah kembali. Sebagaimana sehat bisa menjadi sakit, sakitpun bisa menjadi sehat kembali. Semua bisa berubah dan berputar tanpa kita tahu kapan dan mengapa. Akhirnya, semua akan musnah dan menjadi tiada.

Pantaskan kita menggantungkan bahagia pada hal-hal yang berubah? Kalau ini yang menjadi pilihan, jangan salahkan siapa jika bahagia dalam hidup tak menjadi abadi dan selalu berganti dengan penderitaan. Gantungkanlah bahagia kita hanya kepada Dzat Yang Selalu Hidup tak pernah mati, Dzat yang tak pernah berubah dalam segala sifatnya, yakni Allah. BersamaNya adalah kebahagiaan puncak yang abadi.

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

 

INILAH MOZAIK

Berilah Perhatian pada yang Utama

KALAU ditanya tentang keinginan kita, pastilah kita sampaikan banyak hal mulai dari yang berkaitan dengan perbaikan fisik kita sampai pada perbaikan nasib kita, mulai dari urusan makan kita sampai pada makanan pekerjaan kita, mulai dari urusan duniawi kita sampai pada urusan ukhrawi kita. Ada banyak keinginan.

Misal saja hari ini kita didatangi Malaikat Jibril berbisik pada kita: “Anda punya kesempatan meminta satu hal saja yang pasti dikabulkan,” maka permintaan apakah yang akan kita ajukan? Satu permintaan saja, tidak lebih.

Mendengar bisikan Malaikat Jibril itu tentu akan memaksa kita menseleksi pilihan kita. Yang kita minta pada akhirnya adalah apa yang menurut kita adalah paling penting, paling berharga dan paling utama untuk kebahagiaan kita yang hakiki.

Mulai kini berikanlah perhatian lebih pada satu pilihan pinta kita yang utama itu. Jangan pernah tertipu dengan mendahulukan pilihan lainnya. Buatlah skala prioritas dalam pilihan aktifitas kita. Dahulukan yang wajib, baru yang sunnat. Jangan biarkan yang mubah memalingkan kita atau melalaikan kita dari yang wajib.

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

 

INILAH MOZAIK

Mulailah dengan Niat Baik, Buanglah Niat Tak Baik

PINTU-PINTU pintu menuju bahagia dicari oleh semua orang. Namun tak semua orang sampai ke depan pintu-pintu itu. Yang sampai ke depan pintu, tak semuanya berhasil membukanya.

Ada banyak usaha yang dilakukan untuk membukanya, namun tetap saja tak terbuka. Beberapa kunci yang dianggap kunci yang tepat ternyata gagal juga membuka paksa pintu bahagia itu. Alangkah senang dan nyamannya hidup jika ada yang menolong membukakan pintu itu. Alangkah bahagianya jika yang membukakan pintu itu adalah Sang Pemilik pintu bahagia, yakni Allah. Tapi bagaimana caranya?

Perhatikan dawuh Imam Junaid berikut ini: “Barangsiapa membukakan pintu niat baik untuk dirinya, maka Allah bukakan 70 pintu tawfiq (pertolongan) untuk dirinya.”

Rupanya, kunci paling utama adalah niat yang ada dalam hati kita. Mereka yang mengisi hati dengan niat baik maka akan DIBUKAKAN pintu pertolongan oleh Allah sendiri. Tidak tanggung-tanggung, satu niat baik berbalaskan 70 pintu pertolongan yang dibuka.

Mari kita belajar membersihkan hati kita dari niat tak baik. Mari kita hiasi hati kita dengan kemuliaan niat baik. Jangan ditunda-tunda, mulailah sekarang dengan istighfar, lalu bulatkan tekad “tak ada lagi niat jelek di hatiku.”

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

 

INILAH MOZAIK

Fitnah, Ghibah dan Namimah, Lahan Subur di Medsos

TIGA perilaku negatif dalam judul di atas adalah senjata ampuh untuk meruntuhkan kehormatan dan harga diri seseorang. Ada banyak tokoh yang tidak mempan dibunuh dengan senjata tajam namun bisa roboh dengan tiga senjata bermodalkan mulut itu.

Kalau pada masa dulu, dibutuhkan banyak tenaga dan waktu untuk memfitnah, mengghibah dan menamimah, saat ini hanya butuh beberapa menit dengan menarikan jemarinya di keyboard media sosialnya. Dengan segera, fitnah, ghibah dan namimah itu menyebar.

Dengan tiada sadar, ada banyak orang yang termakan oleh senjata-senjata itu dengan semakin menggemari isu-isu yang tidak jelas dan ikut men-viralkan seviral-viralnya. Samakah dosa sang menebar fitnah dan penyebarnya? Pertanyaan ini tak perlu dijawab karena hati nurani kita pasti sudah menjawabnya sendiri. Masalahnya bukan lagi masalah hukum, melainkan masalah manfaat dan madlaratnya. Umat Islam harus cerdas dalam konsiderasi masalah yang terakhir ini.

Saatnya kita kini berpikir tentang ummat sebagai keseluruhan, bukan sebagai pribadi saja. Kemaslahatan ummat harus benar-benar menjadi perhatian utama. Tanpa begini, maka kesatuan dan kemaslahatan ummat akan mudah tercabik dan terceraiberaikan. Berhati-hatilah menulis dan menyebarkan status atau berita. Tanyakan dulu apa ada muatan kemaslahatan di dalamnya ataukah justru kemadlaratan.

Bukan tidak mungkin bahwa kita sebenarnya tengah diadudomba, namun kita tidak pernah sadar. Ceklah kebenaran berita dan tabayyun lah sebelum dijadikan sebagai bahan berpikir dan berkeyakinan. Tidak semua hati tulus sebagaimana tidak semua lisan lurus. Tidak semua berita itu benar sebagaimana tidak semua cerita itu nyata.

Cerdas dan pintarlah dalam beragama dan bermasyarakat. Jangan mau diadodomba dan diceraiberaikan. Tolak fitnah, ghibah dan naminah, maka kita akan senantiasa kuat dalam persatuan.

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

 

INILAH MOZAIK

Mengapa Kita Diperintahkan Tawakkal?

SEORANG sarjana yang baru lulus S1 tadi ada yang bertanya kepada saya mengapa kita diperintah tawakkal padahal Allah sudah melengkapi kita dengan akal yang jika digunakan dengan baik bisa memikirkan jalan keluar dari setiap permasalahan. Pertanyaannya bagus dan cara bertanyanya juga sopan. Sayang waktu bertanyanya tidak pas, yakni saat saya sedang ngantuk.

Gunakan akal Anda semaksimal mungkin. Namun yakinkah Anda bahwa semua peristiwa itu berlangsung sesuai harapan Anda? Tak pernah adakah peristiwa unik dalam kehidupan Anda yang berlangsung di luar kendali Anda? Itu adalah pertanyaan ringan yang saya kemukakan sebagai jawaban.

Kekuatan atau kemampuan kita terbatas. Sering kita membutuhkan bantuan di luar kita untuk mewujudkan harapan kita. Kita membutuhkan bantuan orang tua kita, saudara kita, sahabat kita dan orang lain. Lebih dari segalanya, kita membutuhkan petunjuk, bimbingan dan pertolongan Dzat Yang Mahaada di mana-mana dan Mahakuasa atas segalanya, yakni Allah SWT.

Selain itu, sesungguhnya kita tak pernah tahu apa yang terbaik untuk kita pada hari ini dan hari esok. Pengetahuan yang sempurna hanyalah milik Allah. Karena itulah maka setelah berusaha dan berdoa, biarlah hidup berjalan dengan kehendakNya. Tak usah lagi mengeluh dan menjual keluhan. Tak usah lagi protes mengapa harus menjadi begini dan begitu. Jalani dengan penuh sabar dan syukur.

Janji Allah: “Siapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Allah akan mencukupi harapannya.” Tidak percayakah? Landasi tawakkal kita dengan pengakuan kelemahan kita, pengakuan kesalahan dan dosa kita. Bisa jadi ketaknyamanan jalan hidup adalah karena dosa dan kesalahan kita, bukan karena orang lain.

 

KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

 

 

 

 

Mengambil Pelajaran dari Cermin

KATA para pengamat: “Ini fakta yang unik bahwa salah satu yang seringkali membuat seorang pemudi itu marah adalah membiarkannya tanpa cermin dalam sehari penuh.”

Kaidah ini juga berlaku pada wanita berumur tapi masih merasa muda atau memang yang ingin memudakan diri lagi. Para pembaca setuju dengan pengamat di atas? Berkaca atau bercermin sebenarnya bernilai netral kok, bisa baik dan bisa juga tidak baik, tergantung kapan dimana dan bagaimananya.

Ada banyak cermin di rumah kita, di kamar mandi, di kamar tidur, di ruang tamu, bahkan di dalam mobil dan di sepeda motor kita. Kadang, dalam tas atau dompetpun ada cermin. Untuk apa cermin itu? Jawabannya semua sama, tidak usah saya perpanjang.

Namun, pernahkah kita merenungkan nilai yang sesungguhnya tertanam dalam cermin itu? Ternyata cermin memberikan pelajaran yang luar biasa kepada kita, yaitu kejujuran melihat orang lain. Cermin tidak melebih-lebihkan dan tidak mengurangi apapun dari obyek yang ingin ditunjukkan wajah aslinya. Yang putih ditampilkan putih, yang hitam ditampakkan hitam. Obyektif apa adanya.

Yang menarik dari cermin ini ialah bahwa walau ia tahu kekurangan atau aib yang dimiliki oleh manusia yang di depannya, kemudian memberitahukannya apa adanya, cermin tak pernah menghina, mencemooh dan menyakiti. Cermin diam saja tanpa mengomentarinya

Berbeda dengan sebagian besar manusia yang begitu mudah menyakiti orang lain saat mendengar sesuatu cela atau aib yang dimiliki orang lain. Disampaikannya dan disebarkannya aib itu dengan kritik dan komentar yang menyakitkan walau pengetahuannya tentang aib itu belum tentu benar, alias sebatas duga.

Tetua Madura berkata: “Akaca ka kaca, jha’ acaca ta’ nyaman bab kakoranganna orng.” Bahasa Indonesianya: “Belajarlah ke cermin, tahu kekurangan orang, tapi tak melukainya”. Menjadi bijak itu perlu. Salam, AIM. [*]

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK

Kopi dan Inspirasi Kehidupan

ADA pujangga Arab penyuka kopi yang bersastra di tegukan terakhir secangkir kopi pagi yang dihidangkan isterinya. Dengan tersenyum, endapan kopi yang pahit dan hitam itu menjelma menjadi inspirasi kehidupan yang dahsyat.

Dia berkata, “Di sana ada akhir yang pahit bagai kopi, namun membuatmu terjaga dan menjadi lebih hati-hati.”

Kopi. Ya, kopi. Ada yang tak suka kopi. Itu adalah bagian hak asasi yang dilindungi undang-undang. Jangan diprotes apalagi dihina sebagai tak berselera tinggi. Saya saat ini mulai menyenangi kopi, saat saudara baru saya menjelaskan jenis-jenis kopi, manfaat dan filsafatnya. Abah Haji Saimi adalah nama saudara baru saya ini.

Ingin sekali saya berbisnis kopi mengikuti jejaknya, namun langsung dihalanginya dengan berkata: “Jangan, itu bukan jalan kiai. Ada bisnis lain yang cocok untuk Anda.” Saya tunggu petuah bisnisnya, namun hingga kini kalimat halangan itu belum berlanjut menjadi fatwa.

Saya ingin terus bekerja dan berusaha karena saya tak ingin pesantren saya menjadi beban bagi santri dan wali santri. Saya ingin pesantren saya menjadi tempat menempa jiwa berwirausaha para santri, karena Rasulullah juga mengajarkan umatnya bekerja dan mendapatkan keberkahan dari pekerjaan itu. Salah satu tanda keberkahan kerja adalah semakin mendekatnya kerja dan hasil kerja kita kepada Allah.

Saat ini, saya dengan kopi. Dengan tersenyum ikhlas saya berdoa, semoga keberkahan selalu ada dalam hidup kita. Salam kopi, pahit tapi menyegarkan.

 

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK