Kaum Lesbian, Homoseksual, Biseksual dan Transgender (LGBT) di Indonesia nampaknya menjadi pembicaraan serius minggu-minggu ini. Pembahasan ini sehubungan dengan dugaan seriusnya mereka menjalankan misi terus berkampanye di berbagai tempat agar LGBT bisa diterima di negeri ini.
Hal itu bisa dilihat dari kedegilan mereka dengan mensomasi Harian Umum Republika atas berita dengan judul LGBT Ancaman Serius yang terbit pada Ahad, 31 Januari 2016.
Menariknya, atas reaksi cepat dan massif dari berbagai kalangan umat Islam (tokoh, ormas dan media) pengasong ide LGBT di negeri ini mengeluarkan istilah homophobia. Tentu saja istilahhomophobia ini menarik untuk didudukkan secara objektif.
Menarik apa yang dipaparkan dalam buku Combatting Homophobia Experiences and Analyses Pertinent to Education yang menjelaskan bahwa homophobia adalah perkara yang tidak bisa dilihat secara satu sisi semata. Tetapi, memerlukan beragam pendekatan yang melibatkan banyak aspek.
Anehnya, di negeri ini setiap penolakan yang dilayangkan kepada pengasong ide-ide liberalisme langsung dihantam dengan beragam label; mulai tidak toleran, tidak objektif, kuno, tidak humanis, diskriminatif dan kini disebut dengan istilah homophobia.
Memang di beberapa negara, yang tidak menganggap begitu pentingnya agama seperti di Eropa, Amerika Utara dan Amerika Latin, serta India dan negara-negara lainnya sudah ada yang mengakui LGBT secara legal konstitusional, sementara Indonesia tidak.
Atas dasar itulah, pengasong ide-ide liberal memberikan banyak label kepada siapa saja yang menolak ide yang mereka anggap modern dan progresif serta telah diakui di banyak negara asing.
Hal itu memang sepintas nampak rasional, teurtama jika menjadikan humanity sebagai satu-satunya cara memandang. Humanity yang dikehendaki Barat nampaknya ingin semua kondisi manusia bisa diterima sebagaimana yang umum diterima di masyarakat, termasuk LGBT. Andalan untuk menjadikan pemahaman ini disambut ialah dengan menggunakan kata sakti lain, yakni “anti diskriminasi”.
Tetapi, dunia tidak mungkin seimbang tanpa diskriminasi. Artinya, tidak meski diskriminasi selalu buruk. Sebagai contoh, tim sepakbola pria tidak dipertandingkan dengan tim sepakbola wanita. Tentu karena kekuatan pria tidak sama dengan wanita. Oleh karena itu, mesti dipisahkan. Hal semacam ini diskriminasi tetapi ini adil. Sama halnya dengan jenis olahraga lainnya, selain bulu tangkis regu campuran.
Kemudian, mari lihat penetapan gerbong khusus wanita di KRL Jabodetabek. Jelas itu diskrimnasi. Tetapi, diskriminasi yang demikian mengurangi bahkan meniadakan potensi pelecehan seksual dan beragam tindak kejahatan lainnya. Oleh karena itu, diskriminasi tidak berlaku mutlak. Bergantung pada dasar dan tujuan dari diskriminasi itu diberlakukan.
Dengan kata lain, pandangan humanity yang menghendaki diskriminasi sebagai basis dalam memandang baik dan salah jelas tidak bisa diterima akal sehat. Sebab pada kenyataannya ada diskriminasi yang justru ketika tidak diberlakukan akan menimbulkan mudharat luar biasa. Di sinilah logika homophobia menjadi tidak tepat. Mengingat homo itu adalah suatu kelainan yang mestinya direhabilitasi. Tetapi oleh Barat justru dilihat sebagai fakta sosial yang mesti diakui keberadaannya.
LGBT Mesti Ditolong
Astry Budiarty mahasiswi Jurusan Sosiologi FISIP Unhas dalam skripsinya yang berjudul Gaya Hidup Lesbian (Studi Kasus di Makassar) menemukan, LGBT secara normal adalah manusia biasa, yang membedakan hanyalah perilaku seksualnya.
“Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lesbian dalam menjalani hidupnya sheari-hari hampir sama dengan orang-orang yang normal pada umumnya, yang membedakan hanyalah perilaku seksual mereka. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa, lesbian jenis Butch semuanya berasal dari keluarga menengah keatas namun kehidupan keluarga kurang harmonis, sedangkan lesbian jenis Femme, berasal dari keluarga menengah kebawah dan kehidupan dalam keluarga sangat harmonis.” (Halaman abstrak).
Lebih lanjut Astry menjelaskan bahwa mengapa seorang wanita menjadi lesbi disebabkan beberapa segi, di antaranya kondisi keluarga yang tidak harmonis, orang tua yang sering cekcok. Orang tua dengan anak-anak tidak harmonis atau bermasalah. Termasuk juga peran ibu yang sangan dominan dalam keluarga, sehingga meminimalis peran ayah (suami).
Bisa jga seseorang menjadi lesbi karena pengalaman seksual buruk yang tejradi pada masa kanak-kanak, seperti pelecehan seksual dan kekerasan yang dialami. Meskipun menurut penelitian jumlahnya tidak siginifikan, gay hanya 7,4% dan lesbi hanya 3,1%.
Kemudian, ada pengaruh lingkungan. Anggapan lama menyebutkan, “Karakter seseorang dapat dikenali dari siapa teman-temannya” atau pengaruh lingkungan yang buruk dapat memengaruhi seseorang untuk bertingkah laku seperti orang-orang dimana dia berada (halaman 48 – 49).
Dengan demikian LGBT mestinya ditolong untuk bebas dari orientasi seksual yang menyimpang. Meskipun LGBT tidak melanggar HAM katakan demikian, tetapi itu akan merugikan mereka secara individu dan pada jangka waktu tertentu akan berdampak negatif terhadap lingkungan dan kehidupan umat manusia sendiri.
Logikanya sederhana, LGBT tidak tumbuh dari sejak manusia dilahirkan, tetapi ada faktor penyebab. Artinya LGBT adalah penyimpangan dan bisa diluruskan. Hal itu sama dengan fakta mengapa seseorang mencuri. Mungkin karena ditelantarkan orang tua, orang tua telah tiada dan bisa jadi karena dorongan untuk memiliki sesuatu sementara tidak memiliki uang untuk membeli. Tetapi, apapun sebabnya, perilaku mencuri tidak lantas menjadi baik hanya karena pelakunya memelas dan minta maaf.
Oleh karena itu istilah homophobia yang digunakan untuk melegalkan LGBT secara konstitusi di negeri ini jelas tidak relevan. Selain karena LGBT itu adalah suatu bentuk penyimpangan perilaku, dan ia bisa disembuhkan.
Daripada mereka menghendaki LGBT dilegalkan di negeri Berketuhanan Yang Maha Esa ini, lebih baik LGBT didorong untuk dibuatkan UU yang menjadi payung hukum penyakit Kaum Luth itu segera kembali kepada fitrahnya. Bukan malah dijerumuskan ke dalam siksa bathin dunia-akhirat atas nama dan logika HAM yang kadangkala tidak sesuai dengan common sense. Wallahu a’lam.*
Oleh: Imam Nawawi, Penulis adalah Pimred Majalah MULIA