POPULARITAS Mat Kelor memang sudah melampaui keterkenalan saya. Di manapun saya berada, ada saja yang bertanya kabar Mat Kelor, di mana dia dan bagaimana kisahnya. Di Palu Sulawesi Tengah sudah ada 5 orang yang bertanya tentang dia. Saya telpon dia mengabarkan keterkenalannya ini, dia cuma tersenyum menjawab ringan: “Semoga itu bagian tanda-tanda haji mabrur.”
Mat Kelor bercerita bahwa semalam ada kasus menghebohkan di kampungnya dan dia menanyakan pandangan hukum Islam kepada saya. Ada orang meninggal yang tadi malam harus dikuburkan. Kebetulan Pak Kiainya sedang keluar kota, jadi tak ada yang bisa membaca talkin di atas kuburan, tradisi yang hidup di masyarakatnya Mat Kelor. Banyak orang yang sepakat bahwa Mat Kelorlah satu-satunya yang paling layak mewakili kiai membaca talkin.
Mat Kelor tetap tak mau. Dia geleng kepala. Bukannya karena tak bisa baca tulisan Arab. Tapi ternyata Mat Kelor sangat phobia kuburan malam hari. Takut sekali dia untuk lewat kuburan malam hari. Apalagi cuaca mendung terlihat akan turun hujan. Masyarakat memaksanya dan siap mengawalnya. Akhirnya Mat Kelor berangkat ke kuburan. Surban terbaru dipasangnya, dia dikawal lelaki yang membawa lampu tepat di belakang kereta jenazah.
Saat tiba di kuburan, Mat Kelor mulai gelisah. Penguburan selesai, tiba giliran Mat Kelor membaca talkin. Hujan rintik mulai turun. Saat pembacaan dimulai, sebagian pengunjung mulai mundur dan pulang. Saat pembacaan talkin sudah separuh hujan mulai lebih terasa. Konsentrasi Mat Kelor mulai memudar, lalu dia tolah toleh ternyata hanya tinggal pembawa lampu yang masih bertahan. Mat Kelor gemetar takut, tak kuasa melanjutkan talkin itu. Buku talkinnya dimasukkan ke dalam tumpukan tanah kuburan baru itu sambil teriak dan pergi: “Lanjut baca sendiri ya.”
Mat Kelor lari, pembawa lampu juga. Lalu dia bertanya bagaimana hukumnya? Saya tak kuasa menjawab karena masih tertawa sampai sekarang. Salam, AIM [*]