Definisi Gaji Bulanan
Gaji bulanan adalah upah yang diperoleh pekerja tertentu di setiap bulan sebagai kompensasi atas pekerjaannya. [Nawazil az-Zakat Dirasah Fiqhiyah Ta-shiliyah li Mustajaddat az-Zakat, hlm. 287]
Inilah yang umumnya terjadi pada para pegawai saat ini, karena mereka menerima gaji secara bulanan, bukan tahunan.
Agar kita mengetahui hakikat zakat dari gaji bulanan, terlebih dahulu kita harus menjelaskan perihal maal mustafad yang diperoleh di pertengahan haul harta zakat (obyek zakat) yang lain. Apakah ia mempunyai haul tersendiri, ataukah haul maal mustafad mengikuti harta zakat yang sudah ada?
Zakat Maal Mustafad dan Pembagiannya
Apa itu maal mustafad? Dr. al-Qardhawi menyatakan bahwa maal mustafad adalah,
هو المالُ الذي يدخُلُ في مِلكيَّة الشَّخصِ بعد أنْ لم يكنْ، سواءٌ كان من النَّقْدَين، أو من العَقارِ، أو من النَّعَمِ، أو غير ذلك، وهو يشمَلُ الدَّخلَ المنتظِمَ للإنسانِ مِن راتبٍ أو أجْرٍ، كما يشمَلُ المكافآتِ والأرباحَ العارضةَ، والهباتِ والإرثَ، ونحوَ ذلك
“Harta yang menjadi milik seseorang setelah sebelumnya tidak ada, baik harta itu berupa emas dan perak; properti; hewan ternak; atau harta yang lain. Tercakup dalam maal mustafad adalah pendapatan rutin yang diperoleh seseorang seperti gaji atau upah, demikian pula mencakup pesangon, hasil keuntungan, hibah, warisan, dan yang sejenis.” [Fiqh az-Zakah, 1: 164]
Jadi, maal mustafad ini mencakup segala macam tambahan pendapatan selain harta zakat yang telah dimiliki seseorang. [Nawazil az-Zakat Dirasah Fiqhiyah Ta-shiliyah li Mustajaddat az-Zakat, hlm. 287]
Berkaitan dengan zakat maal mustafad, secara sederhana kita bisa mengategorikan sebagai berikut:
Pertama: maal mustafad merupakan keuntungan perdagangan atau hasil ternak
Jika maal mustafad adalah keuntungan dari aktivitas perdagangan atau hasil ternak, maka haulnya mengikuti haul harta pokok.
Sebagai contoh: A memiliki lima unta yang digembalakan (saa-imah) sejak bulan Muharram. Kemudian di akhir tahun, yaitu di bulan Dzulhijjah, kelima unta itu melahirkan sehingga diperoleh lima anak unta. Lima unta yang terakhir ini apakah memiliki haul sendiri atau mengikuti haul induknya?
Dalam kasus ini, haul lima unta terakhir mengikuti haul induknya. Sehingga ketika bulan Muharram berikutnya tiba, A harus menunaikan zakat dari kepemilikan sepuluh unta tersebut, meskipun kelima anak unta itu baru dimiliki selama sebulan.
Ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan,
أجمع أهل العِلم أنَّ الرَّجلَ إذا كان عنده نِصابٌ، ويكون المستفادُ مِن نَمائِه كربحِ مالِ التِّجارة ونتائِجِ السائمة، يجب ضمُّه إلى ما عنده مِن أصلِه، فيَعتَبِر حولًا بحَوْلِه
“Ulama bersepakat bahwa seorang dengan harta yang telah mencapai nishab, kemudian memperoleh tambahan dari perkembangan harta tersebut, baik berupa keuntungan harta perdagangan dan hasil ternak, maka wajib menggabungkannya dengan harta pokok. Sehingga haulnya mengikuti haul harta pokok.” [al-Isyraf, 3: 53]
Ibnu Qudamah rahimahullah menyampaikan adanya ijmak dalam hal ini. Beliau rahimahullah menyatakan,
أن يكون المستفادُ مِن نَمائِه كربحِ مال التِّجارة ونِتاجِ السائمة، فهذا يجب ضمُّه إلى ما عندَه من أصله، فيعتبر حَوله بِحَوْلِه. لا نعلمُ فيه خلافًا
“Maal mustafad yang diperoleh karena berkembangnya harta pokok, seperti keuntungan dari komoditas perdagangan dan hasil ternak, maka maal mustafad seperti ini wajib digabungkan dengan hart pokok. Sehingga haulnya mengikuti haul harta pokok. Kami tidak mengetahui ada pendapat lain yang menyelisihi.” [al-Mughni, 2: 468]
Demikian pula dengan keuntungan komoditas perdagangan yang dijadikan obyek jual-beli. Sebagai contoh, B adalah pemilik toko sembako yang mulai membuka tokonya di awal bulan Muharram dengan modal sembako senilai Rp85.000.000,-. Ketika tiba bulan Muharram berikutnya, dia telah memiliki komoditas perdagangan berupa sembako senilai Rp125.000.000,-. Dalam kasus ini, haul untuk penambahan komoditas perdagangan tersebut mengikuti haul harta pokoknya. Jadi ketika tiba bulan Muharram berikutnya, tidak boleh mengatakan bahwa ini adalah barang-barang baru dan merupakan keuntungan yang baru diperoleh. Akan tetapi, haul penambahan komoditas perdagangan itu mengikuti haul harta pokoknya. Dengan demikian, B wajib menunaikan zakat seluruh komoditas perdagangan yang dimilikinya.
Kedua: maal mustafad bukan berupa keuntungan perdagangan atau hasil ternak; serta jenisnya berbeda dengan jenis harta yang telah ada
Diasumsikan bahwa A mempunyai unta yang sudah mencapai nishab dan memperoleh sejumlah harta yang lain berupa warisan atau hibah. Misalnya, dia mendapat hibah uang sebesar Rp50.000.000,-; atau dia menerima gaji bulanan sebesar Rp10.000.000,- ; atau dia mewarisi harta ayahnya sebesar Rp100.000.000,-. Dalam kasus ini, mayoritas ulama menyatakan bahwa setiap harta tersebut tidak digabungkan dengan unta yang telah dimiliki. Dengan demikian, unta yang telah dimiliki memiliki haul tersendiri. Sementara berbagai tambahan harta di atas masing-masing memiliki haul tersendiri yang berlaku saat diperoleh jika telah mencapai nishab.
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,
أن يكون المستفادُ مِن غيرِ جِنس ما عنده، فهذا له حُكمُ نفْسِه، لا يُضمُّ إلى ما عنده في حَولٍ ولا نِصاب، بل إنْ كان نِصابًا استقبَلَ به حولًا وزكَّاه، وإلَّا فلا شيءَ فيه. وهذا قولُ جمهور العلماء. ورُوي عن ابن مسعودٍ وابن عباس ومعاوية أنَّ الزَّكاةَ تجب فيه حين استفادَه. قال أحمد عن غيرِ واحدٍ: يزكِّيه حين يستفيدُه. وروى بإسنادِه عن ابن مسعود، قال: كان عبدُ الله يُعطينا ويزكِّيه. وعن الأوزاعي فيمَن باع عبدَه أو دارَه، أنَّه يزكِّي الثَّمَن حين يقع في يدِه إلَّا أن يكونَ له شَهْرٌ يُعلَمُ، فيؤخِّره حتى يزكِّيَه مع ماله. وجمهورُ العلماء على خلافِ هذا القول؛ منهم أبو بكر وعمرُ وعثمانُ وعليٌ رَضِيَ اللهُ عنهم
“Apabila maal mustafad merupakan harta yang tidak sejenis dengan harta yang telah dimiliki, maka maal mustafad ini memiliki hukum tersendiri. Sehingga haul dan nishabnya tidak digabungkan dengan harta yang telah dimiliki. Bahkan apabila maal mustafad itu telah mencapai nishab, maka silakan dimiliki hingga haul terpenuhi kemudian ditunaikan zakatnya.” [al-Mughni, 2: 468]
Ketika menjelaskan jenis maal maustafad yang diperoleh di antara rentang waktu haul harta yang telah dimiliki seseorang, al-Kasani rahimahullah menyatakan,
فإن كان من خلافِ جنْسِه كالإبل مع البقر، والبقر مع الغنم، فإنَّه لا يُضمُّ إلى نِصاب الأصل، بل يستأنِفُ له الحَوْلَ بلا خلافٍ
“Apabila maal mustafad itu berbeda jenis dengan harta yang telah dimiliki, seperti unta dan sapi, atau sapi dan kambing, maka tidak perlu menggabungkan maal mustafad dengan harta pokok (harta awal). Namun, maal mustafad memiliki haul tersendiri. Tak ada pendapat lain yang menyelisihi hal ini.” [Badaai’ ash-Shanaai’, 2: 13]
Ketiga: maal mustafad bukan berupa keuntungan perdagangan atau hasil ternak; tapi sejenis dengan harta yang telah ada
Misalnya, A mempunyai uang sebanyak Rp85.000.000,- kemudian ia menerima honor sebesar Rp10.000.000,. Apakah haul honor ini mengikuti haul uang yang telah dimilikinya atau ia memiliki haul tersendiri?
Dalam kasus ini ulama berbeda pendapat.
Pendapat pertama
Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa selama maal mustafad itu sejenis dengan harta yang telah dimiliki, maka keduanya digabungkan sehingga memiliki haul yang sama dengan haul harta pokok.
Pendapat kedua
Mayoritas ulama menyatakan masing-masing memiliki haul tersendiri. [asy-Syarh al-Kabir, 1: 432; al-Majmu’, 5: 367; al-Mughni, 2: 468]
Pendapat yang dikemukakan oleh mayoritas ulama tersebut adalah pendapat yang lebih tepat, karena penggabungan haul maal mustafad pada harta pokok terjadi setidaknya karena dua alasan: (a) maal mustafad terlahir dari harta pokok seperti domba yang terlahir dari induknya dan (b) maal mustafad merupakan cabang dari harta pokok seperti keuntungan yang diperoleh dari komoditas perdagangan. Adapun maal mustafad dengan kepemilikan yang baru tidaklah dimiliki dengan mengembangkan harta yang telah dimilikinya, sehingga tidak perlu digabungkan dengan haul harta pokok. [al-Majmu’, 5: 367]
Zakat Gaji Bulanan
Ketika kita memahami uraian di atas dan perbedaan pendapat yang ada, sekarang kita bisa mengemukakan permasalahan yang berkaitan dengan zakat gaji bulanan. Misalnya, seorang pegawai menerima gaji pada bulan Muharram sebesar Rp10.000.000,-. Demikian juga di bulan Shafar, Rabi’ al-Awwal, dan seterusnya.
Menurut ulama Hanafiyah, haul gaji tersebut dimulai pada awal penerimaan gaji, yaitu bulan Muharram. Hal ini karena mereka berpandangan maal mustafad harus digabungkan karena sejenis dengan harta pokok.
Namun, berdasarkan pendapat mayoritas ulama, setiap gaji memiliki haul tersendiri. Dengan demikian, gaji yang diterima bulan Muharram wajib ditunaikan zakatnya di bulan Muharram berikutnya apabila jumlahnya masih mencapai nishab. Demikian pula dengan gaji yang diterima bulan Shafar wajib ditunaikan zakatnya di bulan Shafar berikutnya; dan demikian seterusnya.
Akan tetapi, mempraktikkan hal ini sangat sulit karena membutuhkan ketelitian dan kesabaran. Oleh karena itu, al-Lajnah ad-Daaimah Kerajaan Arab Saudi memfatwakan bahwa sebaiknya seseorang menentukan suatu waktu dan melihat berapa banyak gaji yang terkumpul di waktu itu. Untuk gaji yang telah memenuhi haul, dia menunaikan zakatnya tepat waktu. Adapun gaji yang belum memenuhi haul, maka dia bisa menunaikannya lebih awal. Hal ini mengingat menunaikan zakat lebih awal diperbolehkan menurut mayoritas ulama. [Fatwa no. 282, Majmu’ Fataawa al-Lajnah ad-Daaimah 9/280]
Dengan demikian, apabila seseorang benar-benar mengutamakan pendapat mayoritas ulama, maka dia harus membuat jadwal penghitungan yang berisi kapan setiap gaji itu diterima dan kapan haul setiap gaji tersebut terpenuhi. Namun apabila hal ini sulit dipraktikkan, maka dia disarankan melakukan apa yang difatwakan al-Lajnah ad-Daaimah di atas.
Demikian yang dapat disampaikan. Wallahu ta’ala a’lam.
[Bersambung]
***
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.
Artikel: Muslim.or.id