Teladan

Oleh: Nur Farida

 

Allah berfirman, “Maka bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana kesabaran rasul-rasul yang memiliki keteguhan hati dan janganlah engkau meminta agar azab disegerakan untuk mereka. Pada hari mereka melihat azab yang dijanjikan, mereka merasa seolah-olah tinggal (di dunia) hanya sesaat pada siang hari. Tugasmu hanya menyampaikan. Maka, tidak ada yang dibinasakan kecuali kaum yang fasik (tidak taat kepada Allah).” (QS al-Ahqaf [46]: 35).

Semua nabi dan rasul Allah adalah orang-orang yang sabar. Dari sekian banyak nabi dan rasul, ada yang dikenal dengan sebutan rasul Ulul Azmi. Mereka ini adalah para nabi dan rasul yang paling penyabar di antara yang lainnya. Mereka adalah Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad. Ulul Azmi berarti pemilik keteguhan hati.

Nabi Nuh disebutkan berdakwah dengan begitu sabar selama 950 tahun, mengajak umatnya untuk beriman kepada Allah, tetapi hanya sedikit yang mengikuti beliau. (QS al-‘Ankabut [29]: 14).

Nabi Ibrahim disebutkan berdakwah dengan sangat sabar tidak hanya kepada kaumnya, tetapi juga kepada Azar, ayahnya, sang pembuat berhala, dan seorang raja yang kejam bernama Namrud. (QS al-An’am [6]: 74). Ibrahim bahkan harus menjalani siksaan kejam, yakni dibakar hidup-hidup oleh Raja Namrud, tapi Allah menyelamatkannya sehingga tidak mempan dibakar.

Nabi Musa juga sangat sabar menghadapi kaumnya, Bani Israil, yang suka ngeyel dan ingkar janji. Padahal, Allah telah melimpahkan kepada mereka begitu banyak nikmat, misalnya, diselamatkan dari kekejaman Fir’aun serta diberikan makanan berupa manna dan salwa.

Alquran menyebutkan, “Wahai Bani Israil! Sungguh, Kami telah menyelamatkan kamu dari musuhmu dan Kami telah mengadakan perjanjian dengan kamu (untuk bermunajat) di sebelah kanan gunung itu (Gunung Sinai) dan Kami telah menurunkan kepada kamu mann dan salwa. Makanlah dari rezeki yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu dan janganlah melampaui batas yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. Barang siapa ditimpa kemurkaan-Ku, sungguh, binasalah dia.” (QS Thaha [20]: 80-81).

Nabi Isa juga begitu sabar menghadapi kaumnya yang mengingkari Allah dan mendustakan dakwahnya. Tidak hanya itu, sebagian mereka malah ada yang menganggap Isa sebagai Tuhan. Sesuatu yang sangat keras dibantah oleh beliau.

Alquran menyebutkan, “Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, ‘Wahai Isa putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua Tuhan selain Allah?’ (Isa) menjawab, ‘Mahasuci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya, tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib.'” (QS al-Ma’idah [5]: 116).

Nabi Muhammad, rasul terakhir sekaligus penutup para rasul, tidak kurang sabarnya seperti para rasul sebelumnya. Pada ayat di awal tulisan ini disebutkan, Allah memang telah menyuruh beliau untuk bersabar. Beliau tidak boleh mendoakan hal-hal buruk kepada kaumnya, seperti berdoa agar disegerakan azab atau siksa kepada mereka.

Allah menegaskan, tugas beliau dan para rasul terdahulu hanyalah menyampaikan risalah. Soal hidayah ada di tangan Allah. Selama lebih kurang 23 tahun: 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah, Rasulullah berdakwah dengan sangat sabar dan tekun. Pada akhirnya, hasilnya sungguh mencengangkan. Dalam tempo itu, seluruh jazirah Arab mayoritas telah menjadi Muslim yang kemudian menyebar ke pelbagai belahan dunia.

 

sumber: Republika Online

Masjidil Haram dan Tempat-Tempat Mustajab (2-Habis)

Oleh Anggito Abimanyu

Salah satu tempat yang mustajab untuk berdoa yakni di Hijir  Ismail. Hijir Ismail memang masih termasuk bagian dari Kakbah. Shalat di Hijir Ismail sama saja dengan shalat di dalam Kakbah. Setelah melaksanakan tawaf  dengan mengelilingi Kakbah sebanyak tujuh kali dan shalat sunnah di Hijir Ismail dan Multazam, jamaah melangsungkan ibadah sa’i. Walaupun tempat sa’i bukan termasuk bagian dari Masjidil Haram,  namun tempat ini juga termasuk tempat paling mustajab.

Ibadah sa’i yang mencontohkan pertama kali adalah ibunda Nabi Ismail yang bernama Siti Hajar. Dalam kitab-kitab Sejarah Islam dikatakan bahwa Siti Hajar berlari-lari antara Bukit Shafa dan Marwa sebanyak tujuh  kali  untuk mencarikan air buat anaknya, Nabi Ismail, yang ketika itu masih bayi.

Sebelum memulai ibadah sa’i, jamaah berdoa di Bukit Shafa sekaligus sebagai tempat dimulainya ibadah sa’i. Sedangkan Marwa adalah tempat di mana sa’i berakhir dan para jamaah akan bertahallul atau memotong rambut di tempat ini setelah semua proses ibadah umrah selesai.

Dahulu di wilayah Masjidil Haram, jamaah haji dan umrah  dapat mengunjungi sumur air zam-zam, namun sekarang telah ditutup untuk perluasan area masjid. Namun demikian, di sekitar area Masjidil Haram terdapat fasilitas minum air zam-zam langsung dari sumbernya.

Berjuang untuk dapat shalat dan berdoa di tempat-tempat mustajab memang perlu namun jangan sampai menghilangkan logika, memaksakan diri, dan bahkan menggunakan joki untuk melakukannya. Dalam ketentuan umrah di Masjidil Haram, khususnya mencium Hajar Aswad dan memasuki Kakbah telah diberikan berbagai kemudahan yang Insya Allah pahalanya  setara.

 

sumber: Republika Online

Masjidil Haram dan Tempat-Tempat Mustajab (bagian 1)

Oleh: Anggito Abimanyu

Secara umum di seluruh area Masjidil Haram, Makkah,  adalah tempat yang mustajab. Tentu memasuki Kakbah adalah tempat yang paling mustajab. Di dalam Kakbah  terdapat Hajar Aswad. Hajar Aswad (batu hitam)  diyakini oleh umat Islam merupakan sebuah batu yang berasal dari surga. Yang pertama kali menemukannya adalah Nabi Ismail dan yang meletakkannya adalah Nabi Ibrahim.

Memasuki Kakbah tidak diperkenankan untuk umum karena masalah keamanan dan sempitnya tempat. Mencium Hajar Aswad dapat dilakukan secara langsung, namun tidak disarankan, tetapi diwajibkan dengan cara mengangkat tangan dari garis dimulainya umrah yakni di wilayah Multazam.

Meskipun seluruh tempat di Masjidil Haram adalah mustajab, namun demikian ada beberapa tempat yang secara khusus dalam Alquran dan Hadits disebutkan sebagai tempat-tempat musatajab untuk melaksanakan shalat wajib, shalat sunnah dan berdoa.

Multazam adalah sebuah tempat di antara Hajar Aswad dan pintu Kakbah. Tempat ini diyakini oleh semua ulama sebagai tempat yang paling mustajab. Di tempat ini jamaah melakukan shalat wajib atau sunnah dua  rakaat dan berdoa secukupnya. Hal ini didasari  pada  sebuah hadits riwayat sahabat Abdullah Bin Abbas, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Multazam adalah tempat dikabulkannya doa. Tak ada satu pun doa seorang hamba di Multazam kecuali akan dikabulkan.” (HR. Ahmad)

Tempat paling mustajab selanjutnya adalah di belakang Maqam Ibrahim. Biasanya setelah melaksanakan tawaf tujuh kali, para jamaah haji dan umrah akan melakukan shalat dan berdoa di belakang Maqam Ibrahim ini.

 

sumber: Republika Online

Belajar dari Ibunda Hajar

Oleh : Anna Nur F ( Ibu Rumah Tangga )

Sebentar lagi tanggal 10 Dzulhijah. Satu diantara sekian banyak hari istimewa bagi kaum muslimin. Sebuah hari yang mengingatkan ummat Islam pada peristiwa penuh inspiratif, kisah ketaatan hamba pada RobbNya. Cinta Nabi Ibrahim, Ismail dan ibunda Siti Hajar yang tanpa syarat.

Keteladan Nabi Ibrahim, Ismail dan ibundanya sungguh amat sempurna. Mereka lah hamba-hamba yang demi cintanya pada Allah melakukan pengabdian dan pengorbanan yang tiada banding.

Banyak pelajaran yang dapat kita petik, dari perjalanan cinta keluarga Nabi Ibrahim. Akan tetap terjaga “hikmah”nya sebagaimana terpeliharanya Alquran. Sungguh, pengorbanan tak tertandingi keluarga mulia ini bisa diteladani oleh seluruh umat Islam sepanjang masa. Pun oleh makhluk lemah bernama wanita. Setiap muslimah bisa berkaca pada ibunda Hajar. Bercermin pada ketaatannya, cintanya dan pengorbanannya yang luar biasa.

Sebagai wanita, Ibunda Siti Hajar adalah pribadi yang amat tangguh, yang cintanya pada Allah teramat dalam. Sebagai istri Siti Hajar adalah pendamping yang penuh khidmat dan ketaatan pada sang suami. Sebagai ibu, Siti Hajar adalah wanita yang begitu menakjubkan. Kasih sayangnya yang sungguh besar pada sang buah hati, tak sedikitpun menghalanginya untuk tetap menempatkan Sang Khalik sebagai yang pertama di hatinya.

Saat ditinggal hanya berdua saja dengan permata hati yang masih bayi, di sebuah gurun tandus tak berpenghuni, Siti Hajar ridla dan ikhlas menjalani. Begitu tahu ayah putranya meninggalkan mereka adalah karena perintah Allah, maka Siti Hajar mendengar dan taat. Menaati Allah sekaligus suami yang amat dicinta.

Ketika Ismail, anak yang teramat menyenangkan hati, diambil untuk “dikorbankan” atas perintah Allah, Siti Hajar pun ridla dan sabar. Hati beliau begitu putih, tak ada prasangka apapun pada Allah, yang ada hanyalah sebuah keyakinan bahwa Allah adalah Maha Pemberi Yang Terbaik. Hanya yang terbaik yang akan Allah berikan pada para hambaNya baik berupa ujian kesenangan maupun kesusahan.

Andai semua wanita bisa bercermin pada ibunda Siti Hajar, alangkah indahnya. Tak akan lagi dijumpai wanita yang berani melanggar perintah Robbnya, berlenggak lenggok di jalan tanpa hijab penutup aurat. Tak akan lagi ditemui istri-istri yang meraung-raung meratap menjerit-jerit saat suaminya tiada. Tak akan pernah ada lagi wanita yang kacau galau dan berbuat keji saat bercerai dengan suaminya. Tak akan ada, seorang ibu yang tega menyakiti bahkan membunuh anaknya sendiri. Tak akan ada wanita yang suka mencaci maki sesamanya. Tak ada lagi wanita yang sibuk bekerja mengumpulkan harta bahkan beraktifitas terlibat riba. Tak mungkin ada istri yang durhaka dan tak menaati suaminya. Tak ada wanita yang mau berbuat dholim dalam hal apa pun dan pada siapapun. Semua menjadi wanita taat, hebat, kuat dan smart!

Sama sekali ini bukan uthopis ataupun mimpi di siang bolong. Karena semua itu pasti bisa terjadi. Kalau ibunda Siti Hajar bisa, kenapa kita tidak? Kalau wanita-wanita lain bisa menjadi hamba yang kaffah menaatiNya, bisa berkhidmat dan taat sepenuh cinta pada suaminya, mengapa kita tidak?

Kalau banyak wanita bisa menjadi ibu yang luar biasa, kenapa kita tidak? Kalau banyak wanita yang bisa bersabar dengan segala ujian hidup, kenapa kita tidak? Kalau banyak wanita yang mampu menjaga lisannya hanya untuk ucapan yang baik dan bermanfaat saja, kenapa kita tidak? Bukankah kita sama-sama wanita yang diciptakan Allah dengan karakteristik yang sama pula, tak ada perbedaan sedikitpun.

Belajar dari ibunda Siti Hajar akan membuat kita menjadi shalihah, kuat, dan tangguh. Bukankah ujian hidup yang kita hadapi tak seberapa dibandingkan dengan cobaan yang Allah berikan pada bunda Hajar?

Duhai diri, belajarlah dengan sesungguhnya belajar, bukan hanya belajar untuk mengetahui kisahnya saja. Belajar bukan hanya tentang konsep dan teori semata. Tapi belajar yang sempurna, disertai perubahan sikap, sifat dan perilaku. Belajar untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan.

Ibunda Siti Hajar, meskipun begitu berat ujian dan cobaan dariNya, adalah wanita yang bahagia. Selalu qonaah dan tak pernah protes dengan keputusan-keputusanNya. Tidakkah kita ingin seperti beliau? Menghiasi hidup hanya dengan menaatiNya, tak melanggar apapun perintahNya meskipun mungkin amat berat pengorbanan yang harus dijalani.

Selamat belajar duhai wanita. Belajar dari kisah amazing salah satu wanita hebat sepanjang zaman. Selamat memilih untuk menjadi wanita shalihah, yang senantiasa menaatiNya, mencintaiNya tanpa syarat. Selamat untuk memilih menjadi wanita bahagia, yang hanya mengharap ridla dan cintaNya. Love U because Allah….

Orang Betawi ke Tanah Suci

Mau tahu bagaimana gairahnya warga Betawi untuk menunaikan ibadah haji, datanglah ke majelis-majelis taklim Habib Ali Kwitang, Assafiiyah, dan Attahiriyah. Di pengajian yang selalu dipenuhi pengunjung ini, tidak pernah lepas dari doa-doa agar para jamaahnya bisa menunaikan ibadah haji dan ziarah ke makam Nabi.

Bagi warga Betawi, sejak masa kecil ketika hendak ditidurkan, si ibu dengan kasih sayang bersenandung, ‘’Ya Allah ya Rabbi, minta rezeki biar lebih, biar bisa pergi haji, ziarah ke kuburan Nabi.’’ Seolah-olah sang anak diingatkan oleh orang tuanya agar kelak mereka bisa menunaikan rukun Islam kelima.

Karenanya, tidak heran mereka yang akan menunaikan ibadah haji selalu dilepas dengan kebesaran. ‘’Bang, jangan lupe ya name kita dipanggil-panggil di depan Kabah. Jangan lupe kirim salam kite juga pada Nabi Muhammad SAW. Semoga kite bisa ziarah.’’

Yang menyampaikan pesan ini bukan satu dua orang saja, bisa berpuluh-puluh orang. Entahlah, apakah yang dititipi pesan bisa mengingat nama mereka semua. Suasananya memang mengharukan. Karena mereka yang melepas keberangkatan keluarga, kerabat, atau tetangganya, mengucapkan kata-kata di atas sambil menangis.

warga-mengantar-calon-jamaah-haji-_150902153641-810Menangisi Calon Haji

Ketika menunaikan ibadah haji pada 1973, saya menerima pesan yang demikian dari keluarga dan kerabat. Akan tetapi, sesampainya di Tanah Suci hanya beberapa orang yang pesannya saya sampaikan.

Yang lebih mengherankan lagi, ada yang titip surat dalam amplop kepada Rasulullah. Maksudnya, agar disampaikan ke makam beliau. Kebiasaan di tempo doeloe ini sampai sekarang masih berlangsung di daerah pinggiran, meskipun tidak banyak lagi. Karena bisa berabe bila ketahuan askar yang siang malam menjaga di makam Nabi.

Ada kebiasaan masa lalu yang sekarang ini sudah hampir dihilangkan, yakni menangisi calon haji ketika hendak berangkat. Menangisnya bukan sekadar menitikkan air mata, tapi hingga  menggerung-gerung. Mungkin, ini karena saat pergi haji dulu perlu waktu berbulan-bulan. Bahkan, ada kalanya hitungan tahun. Kalau sekarang dengan pesawat ditempuh dalam tempo sembilan jam, tidak demikian di masa lalu. Naik haji dengan kapal uap baru dimulai 1920. Sebelumnya, kapal layar harus singgah di banyak pelabuhan.

Bahkan, dengan kapal uap, pergi haji perlu waktu tiga-empat bulan baru kembali ke Tanah Air. Ini termasuk perjalanan Jakarta–Jeddah pulang pergi. Saat telekomunikasi masih minim, keluarga di Tanah Air tidak memperolah kabar bagaimana keadaan kerabatnya di Tanah Suci.

 

kapal-yang-membawa-calon-jamaah-haji-ke-tanah-suci-_150902153736-767‘Haji Singapur’

Pada tahun 1970-an, terjadi booming minyak. Ketika itulah banyak warga Betawi menunaikan ibadah terlebih dulu dengan cara menjual tanah atau terkena gusuran untuk proyek. Tak heran, saat itu muncul istilah ‘haji gusuran’.

Ketika itu, pesawat terbang menggantikan kapal laut dan jumlah jamaah berhaji meningkat drastis. Kalau tahun-tahun 1949 sampai 1969, rata-rata 15 ribu jamaah haji Indonesia yang menunaikan ibadah per tahun, pada 1970-an meningkat lebih dua kali lipat.

Kala itu, ketika hampir seluruh angkutan tergantung kapal laut, pemerintah hanya mampu memberangkatkan sekitar 15 ribu sampai 16 ribu jamaah. Waktu itu diberlakukan kotum (semacam daftar tunggu). Untuk mendapatkannya harus menunggu bertahun-tahun karena terbatasnya angkutan.

Untuk mendapatkan kotum agar bisa pergi haji, ada jalan belakang: Jual beli kotum haji. Tentu saja, harganya lebih mahal dari harga resmi. Banyak kisah sedih dialami para calon jamaah haji. Tidak terhitung banyaknya yang menjadi korban penipuan yang dilakukan para calo.

Di Jakarta, terdapat biro perjalanan haji yang melakukan penipuan besar-besaran kepada mereka yang berminat menunaikan ibadah haji. Ada istilah ‘haji singapur’, karena jamaah yang kena tipu hanya diberangkatkan sampai Singapura.

 

suasana-proses-kedatangan-jemaah-haji-dari-jeddah-ke-pelabuhan-_150831153047-49340 Hari di Atas Kasur

Hingga saat ini, ritual pemberangkatan haji masih menjadi bagian penting dari ibadah ini. Sampai sekarang masih banyak yang melepas jamaah dengan tahlilan dan ratiban sebelum berangkat. Bahkan, di daerah pinggiran, acara ini berlangsung selama 40 hari sampai jamaah kembali dari Tanah Suci.

Memang sepulang ke Tanah Air, berbagai acara masih menunggu para haji seperti selamatan. Dan, tentu saja yang datang menjenguk akan mencicipi seteguk air zamzam. Lalu meminta doa agar dia juga dapat menunaikan rukun Islam kelima tersebut.

Kalau mereka yang tinggal di pusat-pusat kota setelah dua atau tiga hari kembali dari Tanah Suci, mulai melakukan aktivitas bekerja atau berdagang, tidak demikian warga di daerah pinggir. Ada yang masih menunggu selama 40 hari tidak keluar rumah.

Menurut penuturan H Irwan Syafe’ie (80 tahun), yang pernah menjadi lurah di tiga kelurahan di Jakarta Selatan, jamaah haji ditempatkan di ruang tamu. Di kediamannya itu, disediakan kasur dan permadani. Kecuali mandi, buang air, dan shalat, selama 40 hari mereka tidak diperbolehkan meninggalkan tempat ini.

Di kasur itulah dia menerima para tamu. Mengapa demikian? Ini karena ada yang meyakini 40 hari setelah menunaikan ibadah haji, dia masih bersih dari dosa.

Dalam buku Biro Perjalanan Haji di Indonesia Masa Kolonial disebutkan ibadah haji sudah dikenal oleh orang Islam Indonesia sejak berkembangnya Islam di negeri ini.

Bahkan, para kesultanan di Jawa mencari legitimasi politik di Makkah. Terbukti pada abad ke-17, pembesar dari Kesultanan Banten dan Mataram telah menunaikan ibadah haji. Menurut sejarah, sebelum menyerang Portugis di Sunda Kalapa, Falatehan terlebih dulu pergi ke Tanah Suci.

Seperti diuraikan almarhum Hamka, banyak di antara ulama Betawi yang telah bermukim di Makkah yang sampai sekarang keturunannya dalam perlindungan Kerajaan Saudi Arabia di antaranya Syaikh Abdullah Betawi, Syaikh Ahmad Betawi, dan Syaikh Said Betawi.

Sebelum Puncak Haji, Jamaah Dilarang Sering Shalat di Masjidil Haram

REPUBLIKA.CO.ID,MAKKAH — Penghubung Kesehatan Daerah Kerja (Daker) Makkah dr Ramon Andrias mengimbau jamaah untuk menjaga kesehatan menjelang puncak ibadah haji dua pekan mendatang.

“Karena enyebab kematian itu multifaktor seperti kelelahan, dehidrasi, apalagi ada riwayat penyakit,” kata dia, Rabu (9/9).

Untuk menjaga kesehatan, jamaah ‎diimbau tidak terlalu banyak mengerjakan shalat di Masjidil Haram. Sebab, jamaah harus berjalan kaki atau melakukan perjalanan yang berpotensi melelahkan. Jamaah dapat melaksanakan shalat di masjid terdekat dengan pemondokan atau mushola di pemondokan.

Jamaah juga sebaiknya tidak banyak melakukan ibadah sunnah seperti umrah sebanyak tujuh kali atau ziarah yang membuat mereka berada di luar ruangan dalam waktu lama.

“Bukan melarang, kami hanya mengimbau karena ibadah wajib hajinya masih lama. Ibadah di Tanah Suci ini kan 70 persen ibadah fisik,” ujar Ramon.

Ramon juga mengingatkan jamaah untuk banyak minum air dan makan untuk menjaga stamina. Jamaah harus mengabaikan perasaan bosan atau rasa makanan yang tidak sesuai.

“Makanan harus dimakan, kalau enggak darimana energinya? Apalagi cuaca panas dan istirahat kurang,” kata dia.

Jamaah yang berusia tua juga menjadi perhatian. Jamaah berusia lanjut diimbau mengerjakan aktivitas sesuai kemampuannya dan jangan memaksakan diri. Ketika berada di kelompok yang berisi orang-orang muda, orang-orang tua kerap berusaha mengejar.

“Ini bisa membuat mereka memaksakan tubuh” ujar Ramon.

Mayoritas jamaah Indonesia, yaitu 46.641 orang, berusia 51-60 tahun. Rentang usia terbanyak kedua, yaitu jamaah berusia 41-50 tahun sebanyak 40.563.

Namun, jumlah jamaah haji Indonesia yang berusia lebih dari 61 tahun juga sangat banyak mencapai 37.563 orang. Sisanya, sebanyak 18.137 orang, merupakan jamaah berusia kurang dari 40 tahun.

Redaktur : Indah Wulandari
Reporter : Ratna Puspita

Raja Salman Undang Keluarga Korban Crane Tunaikan Ibadah Haji

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH — Khadimul Haramain, Penjaga Dua Masjid Suci, Raja Salman Bin Abdul Aziz mengeluarkan perintah untuk melakukan pembayaran uang santunan kepada keluarga korban peristiwa crane yang jatuh di Masjidil Haram.

Raja Salman bin Abdul Aziz juga menjamin dua anggota keluarga dari korban tewas pada peristiwa tersebut, untuk melaksanakan ibadah haji tahun depan sebagai tamu raja.

“Bagi korban luka-luka yang tidak dapat melakukan haji tahun ini, maka dapat melakukan ibadah haji tahun depan sebagai tamu raja,” demikian keterangan resmi Istana Kerajaan Arab Saudi.

Keluarga korban yang mendampingi perawatan di rumah sakit, jelas keterangan lebih lanjut, akan diberikan visa kunjungan selama sisa jangka waktu haji dan kembali ke negara mereka.

Dilansir dari Saudi Press Agency (SPA) pemberian santunan Raja Salman kepada koban sebagai berikut: pertama, 1 juta Riyal atau Rp 3.8 Miliar untuk korban tewas dalam kecelakaan.

Kedua, 1 juta Riyal atau Rp 3.8 Miliar untuk korban cedera yang mengakibatkan cacat permanen. ketiga, 500 ribu Riyal atau Rp 1.9 Miliar untuk korban luka-luka.

Redaktur : Damanhuri Zuhri
Reporter : c07

Siapakah yang Menutupi Ka’bah Pertama Kali?

Kiswah, atau kain penutup Ka’bah ternyata mempunyai nilai syi sakralitas dan historikal yang sangat kuat dalam peradaban Islam. Lantas siapakah yang pertama kali menutupi bangunan berbentuk kubus itu?

Keberadaan tradisi kiswah itu, sebetulnya setua Kiswah itu sendiri. Ada banyak riwayat tentang siapakah yang pertama kali menutupi Ka’bah. Salah satu riwayat menyebutkan bahwa kakek moyang Rasulullah SAW, Adnan, termasuk salah satu tokoh yang ikut menutupi Ka’bah. Ini dilakukan setelah Nabi Ibrahim dan Ismail AS, meninggalkan Makkah menuju Palestina.

Riwayat lain mengungkapkan bahwa Tabi’ al-Humairi, penguasa Yaman, adalah orang yang pertama kali menutupi Ka’bah dengan kiswah pada Masa Jahiliyah. Ini dilakukan selama lawatannya ke Makkah untuk berhaji. Ia juga didaulat sebagai tokoh yang pertama kali membuat pintu dan kunci Ka’bah. Tradisi ini dilakuka turun menurun oleh penguasa Yaman selama masa jahiliyah. Kiswah berbentuk sederhana hanya berupa kain tebal biasa. Jika kain basah atau rusak, biasaya mereka membuang atau menguburnya.

Redaktur : Nasih Nasrullah/Republika Online

Apa Pentingnya Silaturahim?

Apa pentingnya silaturahim? Pertanyaan ini mengawali tausyiah Pimpinan Lembaga Dakwah Kreatif (iHaqi), Erick Yusuf ketika menghadiri acara Reuni di Ruang Paseban Deco, Hotel Grand Royal Panghegar Bandung, Ahad (27/5).

Ustaz Erick menjelaskan, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Orang yang menyambung silaturahim itu, bukanlah yang menyambung hubungan yang sudah terjalin, akan tetapi orang yang menyambung silaturahim ialah orang yang menjalin kembali hubungan kekerabatan yang sudah terputus.” (Muttafaqun ‘alaihi).

Jadi, dari apa yang dikatakan Rasulullah dapat kita petik pelajaran bahwa silaturahim mempersatukan atau menyambungkan kembali suatu hubungan yang sudah erat menjadi lebih erat lagi. Karena itu, sambunglah hubungan silaturahim dengan kerabat-kerabat kita, meskipun mereka memutuskannya. Sungguh, kita akan mendapatkan balasan yang baik atas mereka.

“Marilah kita bertakwa kepada Allah Ta’ala. Takwa yang juga dapat mengantarkan kita kepada kebaikan hubungan dengan sesama manusia. Lebih khusus lagi, yaitu sambunglah tali silaturahmi dengan keluarga dan kerabat yang masih ada,” kata Kang Erick, sapaan akrabnya.

Banyak cara untuk menyambung tali silaturahim. Misalnya dengan cara saling mengunjungi, saling memberi hadiah, atau dengan pemberian yang lain. Sambunglah silaturahim ini dengan lemah-lembut, berkasih-sayang, wajah berseri, memuliakan, dan dengan segala hal yang mudah dikenal manusia dalam menyambung silaturahim.
“Dengan silaturahim, pahala yang besar akan diperoleh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Silaturahim menyebabkan seorang hamba tidak akan putus hubungan dengan Allah di dunia dan akhirat.  Amiiin Ya Rabbal Alaamiin,” kata dia.

 

sumber: Republika Online

Menikah Atau Kawin?

NIKAH secara bahasa adalah berkumpul dan bergabung. DalamKifayah al-Akhyar, karya Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, hlm : 462, dikatakan; nakahat al-asyjar, yaitu pohon-pohon tumbuh saling berdekatan dan berkumpul dalam satu tempat.  Berkata Imam Nawawi : “Nikah secara bahasa adalah bergabung, kadang digunakan untuk menyebut “akad nikah” , kadang digunakan untuk menyebut hubungan seksual.” [“Pengertian Menikah dan Hukumnya”, Dr Ahmad Zain Najah, PUSKAFI, Pusat Kajian Fikih dan Ilmu-ilmu Keislaman (PUSKAFI)]

Dr Ahmad Zain juga mengutip Al-Fara’ seorang ahli bahasa Arab mengatakan bahwa orang Arab menyebutkan kata “Nukah al Mar-atu”  artinya adalah organ kewanitaan. Jika mereka mengatakan “nakaha al-mar-ata”  artinya telah menggauli di organ kewanitaannya..[Perkataan al-Fara’ diatas disebutkan oleh Imam Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim  juz : 9, hlm : 171]

Secara istilah, nikah adalah : “Akad yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang dengannya dihalalkan baginya untuk melakukan hubungan seksual” . [Sofiyurrahman al-Mubarakfuri, Ittihaf al Kiram, hlm. 288, Abu Bakar al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, hlm.349]

Nikah Dalam Al Qur’an

Dalam al-Qur’an dan as-Sunah kata “Nikah” kadang digunakan untuk menyebut akad nikah, tetapi kadang juga dipakai untuk menyebut suatu hubungan seksual. Contoh menikah yang artinya akad nikah adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala  :

÷ وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا

Maka lakukanlah akad nikah dengan wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” [QS: An-Nisa’: 3]

Al-Qur’an menggunakan kata “nikah” yang sudah memiliki makna “perkawinan” atau hubungan seksual.

Dalam Islam pengertian “nikah” memiki makna luas. Sebab dalam Islam,  agar sah, menikah harus memenuhi beberapa syarat; adanya wali, dua orang saksi, ada calon suami atau istri, calon istri tidak diharamkan menikah dengan calon suami, adanya mahar dan adanya ijab qabul, yaitu ucapan wali untuk menikahkan calon mempelai wanita dan jawaban dari calon pria.

Mahar (mas kawin),  yaitu sesuatu yang diberikan seorang suami kepada seorang istri agar halal bersenang-senang dengannya. Memberi mahar ini hukumnya wajib. Berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala:

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (QS: an-Nisa’: 4)

Sedang contoh ijab qobul seperti ucapan wali, “Aku nikahkan putriku denganmu” (زوّجتك، أو أنكحتك ابنتي). Dan jawaban calon suami akan menjawab, “Saya terima nikahnya” (قبلت نكاحها و تزويجها).

Iijab qobul dalam nikah merupakan runuh nikah yang paling menentukan dan menjadikan pasangan menjadi halal. Sebab tidak sah suatu pernikahan jika di dalamnya tak terjadi ijab qobul.

Syarat-syarat inilah yang membedakan perbedaan antara menikah dengan kawin. Perkawinan adalah kata benda turunan dari kata kerja dasar kawin; kata itu berasal dari kata jawa kunoka-awin atau ka-ahwin yang berarti dibawa, dipikul, dan diboyong; kata ini adalah bentuk pasif dari kata jawa kuno awin atau ahwin; selanjutnya kata itu berasal dari kata vini dalam Bahasa Sanskerta.[ id.wikipedia.org]

Perbedaan mencolok menikah dengan kawin adalah kawin biasanya dipergunakan untuk hewan dan tumbuh-tumbuhan. Dalam biologi, kawin adalah proses pemaduan dan penggabungan sifat-sifat genetik untuk mewariskan ciri-ciri suatu spesies agar tetap lestari (reproduksi). Proses ini seringkali menghasilkan dimorfisme dalam suatu spesies sehingga dikenal adanya jenis kelamin jantan dan betina. Karena dalam perkembangan terbentuk pula sel-sel yang terspesialisasi berdasarkan tipe seksual, dikenallah sel kelamin (gametosit, gametocyte), yang untuk jantan biasanya disebut sel sperma (spermatozoid) dan untuk betina disebut sebagai sel telur (ovum).

Reproduksi yang memerlukan tahap perkawinan dikatakan sebagai reproduksi seksual, sedangkan yang tidak memerlukan proses ini disebut sebagai reproduksi aseksual, reproduksi somatik, atau reproduksi vegetatif.Seperti halnya hewan dan tumbuhan, salah satu tujuan pernikahan adalah melestarikan keturunan (gharizah nau’)dan generasi yang baik. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam al-Quran;

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ۚ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ

“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rizki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?.” [QS: An-Nahl : 72].

Hal inilah yang tidak akan terjadi pada pelaku kelainan dan penganut lesbian, homoseksual, biseksual dan transgender. Karena itu, istilah pernikahan tidak layak digunakan untuk pasangan kaum homoseksual (LGBT).*

Rep: Admin Hidcom

Editor: Cholis Akbar

sumber: Hidayatullah.com