Nikmatilah Apa yang Dihidangkan Islam

SUATU waktu, kita pasti menjumpai sekelompok orang yang membahas dan memperdebatkan agama bagai orang yang sedang asyik memperdebatkan tentang jeruk, tentang tipe dan jenisnya, cara menanamnya, cara mengupasnya yang paling efektif dan efisien, dan cara-cara yang lainnya.

Perdebatannya sengit sekali sampai mereka lupa akan rasa jeruk itu dan bahkan lupa memakan jeruk-jeruk yang ada di hadapannya. Mereka pulang dengan kepala pusing dan baru sadar belum makan apa-apa setelah sudah masuk ke dalam kamar rumahnya.

Agama itu bukan hanya dipelajari dan diperdebatkan, melainkan adalah untuk dijalankan. Agama itu tidak akan punya makna apa-apa jika hanya diperdebatkan tanpa dilaksanakan dan dinikmati pelaksanaannya itu. Karena itulah maka Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa pelaksanaan agama dengan seksama dengan menekankan pada makna, nilai, dan hikmah yang terkandung di dalamnya merupakan cara tercepat menuju Tuhan, menuju ridla Allah. Itulah yang disebut dengan tashawwuf.

Nikmatilah apa yang dihidangkan Islam. Ada keselamatan di sana, ada kedamaian di situ, ada keberkahan pula di dalamnya, dan ada pula keindahan dalam kandungannya. Yang masih belum menemukan hal-hal tersebut dalam berislam, jangan-jangan masih terjebak dalam kemacetan fikir, keruwetan perdebatan dan hingar-bingar lomba memenangkan perdebatan keagamaan.

Bukan tak boleh diskusi dan berdebat tentang keislaman. Tapi jadilah peserta diskusi yang cerdas, waspada dan bijaksana. Jangan lupakan manisnya jeruk, rasakanlah dan sampaikanlah pada yang lain agar berlomba untuk merasakannya, bukan berlomba memperdebatkannya dengan sibuk menantang kanan dan kiri serta menyalahkan orang yang di depan, di samping dan di belakangnya.

Sadarlah bahwa paling bodohnya orang adalah mereka yang ikut-ikutan memperdebatkan sesuatu yang dia sendiri sesungguhnya tak paham apa-apa tentang sesuatu itu. Salam, AIM. [*]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2324992/nikmatilah-apa-yang-dihidangkan-islam#sthash.z1r7L6nD.dpuf

Perawatan Sumur Zamzam

Menurut sejarah, sumur itu, awalnya memiliki dua tangki air. Satu untuk air minum dan satu untuk air wudhu, dengan pagar batu sederhana yang mengelilinginya, laiknya sumur-sumur tradisional di Indonesia.

Kemudian pada era Khalifah Abbasiyah Al-Mansur pada 771 Masehi, kubah dibangun di atas sumur dengan ubin marmer. Beberapa tahun kemudian dibangun dua kubah kayu yang dihiasi mozaik, satu untuk melindungi sumur dan yang satunya untuk menaungi peziarah.

Di era modern, restorasi besar-besaran dilakukan oleh Sultan Abdul Hamid II di era Utsmaniah pada 1915. Untuk menghindari kerumunan, bangunan sumur zamzam kemudian dipindahkan dari lokasinya yang kini berada di area tawaf, tempat jutaan jamaah mengelilingi Kabah tujuh kali. Tapi jika jamaah jeli masih terlihat tanda bekas lokasi sumur itu di lantai tawaf.

Sumur zamzam dikabarkan digali dengan tangan dengan kedalaman sekitar 30 meter dan diameter antara dua sampai tiga meter. Sejumlah sumber menyebutkan hingga kedalaman 13,5 meter teratas menembus lapisan alluvium Wadi Ibrahim. Lapisan ini, merupakan lapisan pasir yang sangat berpori. Di bawah lapisan alluvial Wadi Ibrahim ini terdapat setengah meter lapisan yang sangat lulus air (permeable), tempat utama keluarnya air-air di sumur zamzam.

Kedalaman 17 meter ke bawah selanjutnya, sumur ini menembus lapisan batuan keras yang berupa batuan beku Diorit yang banyak di Jazirah Arab. Pada bagian atas batuan ini dijumpai rekahan-rekahan yang juga memiliki kandungan air. Salah satu celah yang mengandung air adalah rekahan yang memanjang ke arah Hajar Aswad dengan panjang 75 cm dan ketinggian 30 cm, juga beberapa celah kecil ke arah Safa dan Marwa.

Dari uji pemompaan sumur ini mampu mengalirkan air sebesar 11 – 18.5 liter/detik, hingga permenit dapat mencapai 660 liter/menit atau 40 000 liter per jam. Bila dulu air diambil dengan ember kayu, maka kini air dipompa dari sumur yang terletak dibalik gelas kaca di ruang bawah tanah itu ke seluruh kran air yang jumlahnya ratusan di seantero Masjidil Haram, terutama di antara Bukit Safa dan Marwa.

Sekalipun sumur zamzam dipercaya sebagai air suci, Pemerintah Arab Saudi tidak tinggal diam menyerahkan nasib sumur tersebut pada alam. Sebagaimana imbauan dalam kitab suci bahwa manusia harus selalu berupaya, maka pemerintah negeri kaya minyak itu membentuk sebuah lembaga khusus untuk mengawasi air zamzam pada tahun 90-an, mulai dari kelangsungannya hingga menjaga kualitasnya.

Mengingat, dari tahun ke tahun makin banyak pembangunan hotel pencakar langit di sekitar kawasan Masjidil Haram. Belum lagi beberapa tahun lalu dunia sempat dihebohkan dengan pemberitaan media yang menyebutkan bahwa air tersebut tercermar. Walaupun akhirnya terbantahkan namun upaya perawatan tetap dilakukan.

Apalagi, dengan daerah tangkapan air seluas 60 km2, cekungan yang memasok air ke sumur zamzam dinilai tidak terlampau luas sebagai cekungan penadah hujan sehingga menurut http://www.kelair.bppt.go.id/ sumur tersebut secara hidrologi tetap memerlukan perawatan.

Oleh karena itu, air siap saji yang kini bertebaran di sekitar Masjidil Haram dan Masjid Nabawi di Madinah konon merupakan air yang sudah diproses sehingga sangat aman diminum bahkan ada yang sudah didinginkan. Namun tentunya proses itu tidak mengubah rasa dan kandungan air tersebut.

Air zamzam secara kasat mata tidak berwarna dan tidak berbau, tetapi memiliki rasa yang berbeda, dengan pH 7,9-8,0, yang menunjukkan bahwa itu adalah basa sampai batas tertentu.

Dengan segala kisahnya, air zamzam menjadi barang yang paling dicari setiap musim haji tiba, baik oleh petugas pemeriksaan kopor jamaah di bandara kepulangan atau oleh para tamu yang mengucapkan selamat datang di Tanah Air.

 

 

sumber: Republika Online

Menyoal Penggunaan Khamar untuk Obat

Khamar, termasuk salah satu minuman yang haram dikonsumsi oleh Muslim. Baik khamar yang berasal dari anggur atau bahan dasar lainnya yang dimasak ataupun tidak. Pengharaman khamar tersebut, karena mengonsumsi khamar termasuk barang yang najis dan merupakan perbuatan setan. Ini seperti yang tertuang di ayat berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. al-Maidah [5] :90).

Tetapi, Dr Ismail Marhaba dalam disertasinya berjudul al-Bunuk ath-Thibbiyyah al-Basyariyah wa Ahkamuha al-Fiqhiyyah mengatakan, ketika kondisi tertentu, adakalanya menuntut seseorang bersinggungan langsung dengan khamar untuk kepentingan pengobatan. Entah dikonsumsi secara oral ataupun sekadar dioleskan di kulit atau bagian luar tubuh lainnya.

Ia mengatakan, para ulama berbeda pendapat terkait hukum penggunaan khamar untuk obat. Menurut opsi yang pertama,  pemakaian khamar untuk kepentingan pengobatan diperbolehkan. Ini merupakan pandangan salah satu opsi dari Mazhab Hanafi, riwayat lain dari Mazhab Syafii, dan bagian pendapat dari Mazhab Maliki.

Meski memperbolehkan, tetapi kelompok ini memberlakukan beberapa syarat, yaitu objek penyakit yang ditangani  ialah bagian luar tubuh, adanya prediksi yang  kuat bahwa penyakit akan sembuh lewat konsumsi khamar, tidak ditemukannya alternatif obat selain khamar, dan syarat terakhir, hendaknya kadar khamar tersebut digunakan secukupnya, tidak berlebihan dan menyebabkan hilang kesadaran.

Sedangkan kelompok yang kedua, mengutarakan sederetan dalil antara lain surah al-An’am ayat 119. Ayat itu menegaskan bahwa penggunaan media haram untuk tujuan medis diperbolehkan selama dalam kondisi darurat.

“Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.”

Dalil lain yang mereka gunakan sebagai dasar argumentasi pendapat ialah hadis riwayat Bukhari. Hadis itu mengisahkan bahwa suatu saat, Rasulullah pernah menyarankan agar para rombongan yang datang dari Arinah, salah satu blok di Desa Bajilah, jika mereka berkenan agar meminum susu ataupun air kencing unta. Kubu ini juga mempergunakan kaidah fikih, yang berbunyi: “ Menghindari dua kerusakan daf’u a’dham al mafsadatain. Artinya, jika dua kerusakan berkumpul maka dikedepankan mudharat yang kadarnya lebih kecil.

Akan tetapi, pendapat tersebut disanggah oleh mayoritas ulama mazhab. Mereka sepakat haram hukumnya memakai khamar guna keperluan medis. Pendapat ini disuarakan oleh para ahli fikih dari kalangan Mazhab Hanafi, Maliki, salah satu opsi pendapat yang kuat dari Syafii, dan pendapat ulama Mazhab Hanbali.

Selain surah al-Maidah ayat 90, kelompok yang pertama menggunakan sejumlah dalil, antara lain, hadis riwayat Muslim dari Thariq bin Suwaid. Sahabat tersebut pernah bertanya kepada Rasulullah SAW perihal khamar, lalu Nabi melarang atau mencegahnya memproduksi khamar. Thariq berdalih, khamar yang ia produksi untuk kepentingan pengobatan. “Khamar bukan obat tapi penyakit,” kata Rasul.

Riwayat lain dari Imam Ahmad dan al-Baihaqi, menuturkan sebuah hadis dari Ummu Salamah yang memiliki perasan anggur yang telah menjadi khamar. Khamar itu hendak ia gunakan untuk mengobati putrinya. Rasulullah menegur bahwa Allah SWT tidak akan memberi kesembuhan dari media yang diharamkan.

 

sumber: Republika Online

Inilah Solusi Bagi Wanita yang Terdesak Syahwat

SERING ada pertanyaan, bolehkah seorang wanita yang sering ditinggal pergi suami karena bekerja di kota lain, karena desakan syahwat lalu bermasturbasi? Berdosakah dia?

Benar bahwa masturbasi pada dasarnya dilarang dalam Islam sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Mukminun dan al-Ma’arij bahwa seorang mukmin hanya menyalurkan syahwat kepada pasangannya yang sah; bukan dengan cara yang lain. Siapa yang menyalurkan dengan cara lain berarti melampaui batas. Karena itu jumhur ulama menegaskan bahwa hukum masturbasi baik bagi laki-laki maupun wanita hukumnya haram.

Namun dalam kondisi tertentu saat gejolak nafsu sangat besar, sementara penyaluran yang halal sulit untuk dilakukan, di lain sisi faktor yang bisa mengantarkan kepada zina begitu kuat, maka dalam kondisi demikian sebagian Imam Ahmad seperti disebutkan dalam sebuah riwayat membolehkan dengan alasan irtikab akhaffu adh-dhararayn (memilih mudharrat yang paling ringan dari dua mudharrat yang ada). Yakni hal itu untuk menjaga diri dari perbuatan zina saat faktor-faktornya sangat kuat.

Hanya saja, untuk mengurangi gejolak nafsu yang besar ada sejumlah hal yang bisa dilakukan:

1. Memperbanyak puasa sunah

2. Berteman dengan wanita saleh

3. Menjauhi hal-hal yang bisa membangkitkan syahwat seperti menonton film percintaan, sinetron asmara, majalah vulgar, dst.

4. Memperbanyak zikir dan tilawah Alquran

5. Menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas kebaikan

Wallahu alam…

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2324595/inilah-solusi-bagi-wanita-yang-terdesak-syahwat#sthash.MApeagsd.dpuf

Hukum Makanan Mengandung Alkohol Seperti Tapai

TAPAI merupakan penganan yang dibuat dari beras ketan (ubi kayu dan sebagainya) yang direbus dan setelah dingin diberi ragi, kemudian dibiarkan semalam atau lebih hingga manis. Hal ini tentu membuat tapai mengandung alkohol meski dalam jumlah sedikit. Lantas, apakah hal ini membuat tapai dihukumi haram untuk dikonsumsi?

Makanan hasil peragian itu beramacam-macam tingkatannya. Tidak semua tingkatan haram, karena secara spesifik belum tentu di semua tingkatan sudah berubah menjadi khamar. Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan bahwa maksimal suatu makanan atau obat itu mengandung 1% alkohol, untuk bisa diperbolehkan atau masih ditolelir kehalalannya.

Sedangkan secara fiqih, selama makanan itu belum menjadi khamar, meski sudah mulai berubah rasanya, hukumnya masih halal. Selain itu, tidak setiap zat yang mengandung alkohol termasuk dalam kategori khamar. Dan sebaliknya, tidak semua khamar itu mengandung alkohol.

Karena bila ditilik secara ilmu kimia, banyak dari jenis makanan yang alami termasuk buah-buahan memiliki kandungan zat yang disebut sebagai alkohol seperti nasi dan sebagainya. Tentu saja kita tidak bisa mengatakan bahwa nasi itu adalah khamar karena secara alami mengandung kadar tertentu dari zat yang dikenal dengan nama alkohol.

Jadi untuk menentukan apakah suatu benda termasuk khamar, bukan dengan adanya alkohol atau tidak, tetapi dengan melihat apakah zat itu memabukkan atau tidak bila dikonsumi oleh masyarakat umum. Bila memabukkan, maka hukumnya adalah khamar tapi bila tidak maka bukan khamar.

Contohnya seperti perasan buah anggur. Pada tahap tertentu, perasan anggur dapat menjadi khamar dan pada tahap yang lain di mana bila diminum tidak memabukkan secara umum, maka bukan khamar. Karena itu dalam literatur fiqih sering dituliskan bahwa bila khamar bila telah berubah menjadi khall (cuka), hukumnya menjadi halal dan sebaliknya.

Maka dari itu sebagian besar ulama tidak memasukkan alkohol sebagai sebagai barang najis, karena bukan khamar. Dan kenajisan khamar sendiri sebagaimana yang disebutkan Alquran, bukan jenis najis secara fisik. Demikian menurut sebagian ulama. Karena dalam ayat itu dikaitkan dengan judi, anak panah sebagai rijs yang merupakan perbuatan setan.

[Ahmad Sarwat, Lc]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2324557/hukum-makanan-mengandung-alkohol-seperti-tapai#sthash.lbMCpDwq.dpuf

Hukum Memakan Makanan Tanpa Label Halal MUI

DI Indonesia, MUI telah mengeluarkan sertifikasi halal bagi berbagai macam produk pangan. Namun, belum semua produk pangan memiliki label halal ini. Bagaimana hukum kita sebagai seorang muslim apabila memakan produk yang belum disertifikasi halal oleh MUI?

Sebenarnya yang lebih tepat memang bukan sertifikat halal, tetapi sebaliknya, yaitu sertifikat haram. Sebab kalau dibandingkan, jumlah makanan yang halal dibandingkan yang haram, tentu jauh lebih banyak yang halal.

Apalagi mengingat kaidah fiqhiyah yang berbunyi: Al-Ashlu fil Asy-ya’i al-ibahah. Artinya, hukum asal segala sesuatu itu boleh. Jadi asumsi dasar kita tentang semua makanan itu seharusnya halal, kecuali yang secara tegas terbukti mengandung unsur-unsur yang tidak dihalalkan. Itu pun setelah melalui uji laboratorium.

Logika bahwa segalanya hukumnya haram kecuali yang dibolehkan itu memang ada di dalam fiqih, tetapi khusus dalam kasus hubungan seksual. Bunyi kaidahnya adalah: Al-Ashlu fil Abdha’i At-Tahrim, artinya bahwa hukum dasar hubungan seksual itu adalah haram. Kecuali lewat jalur yang dibenarkan seperti pernikahan.

Sedangkan dalam masalah hukum makanan, hukum dasarnya adalah halal, kecuali yang tertentu, maka hukumnya haram.

Kalau menggunakan logika sebaliknya, maka lembaga yang memberi sertifikat halal itu akan kehabisan waktu, karena jumlah makanan yang beredar di tengah masyarakat itu tidak terhingga. Bahkan kebanyakan tidak ada mereknya.

Kalau logika berpikirnya adalah bahwa segala sesuatu itu hukumnya haram, kecuali yang ada label halalnya, bagaimana dengan sekian banyak bahan makanan lainnya yang tidak ada ada labelnya? Haruskah kita berangkat dari asumsi bahwa semua produk makanan itu haram? Kecuali yang ada label halalnya?

Bagaimana mungkin kita mengklaim sebuah makanan itu tiba-tiba menjadi haram? Siapakah yang mengharamkannya? Sedangkan kaidah fiqhiyah menyebutkan: Al-Yaqinu Laa Yazuulu bisy-syakki. Artinya, hukum awal yang ditetapkan berdasarkan keyakinan tidak bisa berubah hukumnya hanya berdasarkan rasa syak (keraguan).

Logika ini pun agak kurang sejalan dengan metodologi Alquran dan As-sunah ketika menyampaikan masalah halal haram. Di dalam kedua sumber syariat itu tidak pernah disebutkan satu persatu nama-nama makanan yang halal. Akan tetapi yang disebutkan hanyalah yang haram saja. Mengapa? Karena yang halal itu jumlahnya tak terhingga. Sedangkan yang haram itu jumlahnya tertentu saja dan terbatas.

Namun barangkali lembaga sertifikasi resmi yang ada di negeri ini punya pertimbangan lain yang tidak kita ketahui, wallahu a’lam bishshawab.

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2324554/hukum-memakan-makanan-tanpa-label-halal-mui#sthash.ydNnY15e.dpuf

Haji Politik*

HAJI adalah ibadah mahdhah (murni), yang telah ditetapkan tatacaranya dalam Islam. Hanya saja, ibadah ini berbeda dengan salat, yang tidak boleh diisi oleh apapun yang lain kecuali bacaan Alquran dan doa. Haji, meskipun ibadah, di dalamnya bisa diisi oleh aktivitas apapun, selama tidak menyalahi hukum Islam.

Karena itu, selain aspek syarat, rukun dan wajib yang tetap harus diperhatikan, maka aspek lain adalah apakah hal-hal yang dilakukan selama berhaji tersebut menyalahi hukum Islam atau tidak.

Allah Subhanahu wa Ta’ala, dalam Alquran, surat al-Baqarah: 197 menyatakan: “Haji itu (dilakukan) pada bulan-bulan tertentu, maka siapa saja yang kepadanya diwajibkan (kewajiban haji) di bulan-bulan itu, hendaknya tidak mengeluarkan kata-kata porno, melakukan perbuatan maksiat dan berbantah-bantahan di dalam berhaji.”

Firman Allah ini dikuatkan oleh hadis Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallama, yang menyatakan:
“Siapa saja yang berhaji, kemudian dia tidak mengeluarkan kata-kata porno, melakukan perbuatan maksiat, maka dia pulang, pulang seperti bayi yang dilahirkan oleh ibunya.” (Hr Bukhari dan Muslim)*

Karena itu, para ulama mengaitkan haji mabrur, yang diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan ketiga aktivitas ini. Apakah saat berhaji seseorang mengeluarkan kata-kata porno, maksiat dan berbantah-bantahan atau tidak? Meski ketiganya bukan merupakan syarat, rukun atau wajib haji, tetapi ketiganya sangat diperhatikan oleh para ulama, karena bisa merusak haji seseorang.

Batasan Rafast, Fusuq dan Jidal
“Rafats”, dalam Tafsir al-Jami’ li Ahkami Alquran, karya Imam al-Qurthubi, mengutip penjelasan Abu Ubaid, adalah ucapan apapun yang tidak ada gunanya (sia-sia). Ada juga yang mengartikan: “Ucapan porno tentang wanita, baik wanita itu ada atau tidak.” Sedangkan, “fusuq” adalah semua bentuk kemaksiatan yang dilakukan kepada Allah. Sementara “jidal” adalah berbantah-bantahan, hingga sampai pada saling-menyerang. Inilah makna dari ketiganya.

Pertanyaannya kemudian adalah, apakah ketika seseorang yang sedang menjalankan ibadah haji tidak boleh melakukan aktivitas lain, di luar haji, seperti aktivitas politik, bisnis dan sebagainya? Jawabannya kembali kepada aktivitas yang dilakukan, apakah aktivitas tersebut melanggar hukum syara’ atau tidak? Dengan kata lain, apakah aktivitas tersebut maksiat atau tidak? Jika tidak, maka tentu boleh.

Sebagai contoh, seorang petugas haji, yang bertugas melayani jemaah haji, mereka juga berhaji, pada saat yang sama mereka bertugas melayani jemaah. Melayani jemaah yang sedang berhaji adalah aktivitas di luar haji, bisa mubah, tetapi juga bisa wajib. Namun, adanya mereka mutlak diperlukan untuk melaksanakan ibadah haji. Di dalam ada petugas perlengkapan, keamanan, kesehatan, pembimbing, manajemen dan lain-lain.

Contoh lain, berdagang saat musim haji, selama tatacaranya tidak ada yang melanggar, dan yang dijual juga bukan barang haram, begitu juga akad ijarah, selama yang diakadkan adalah jasa yang halal, maka hukum berdagang dan ijarah saat berhaji juga boleh. Ini antara dinyatakan dalam Alquran, “Liyasyhadu manafi’a lahum.” (Agar mereka bisa menyaksikan berbagai manfaat bagi diri mereka). (Q.s. al-Hajj: 28).

Konotasi, “manafi’a lahum” (manfaat bagi mereka) bersifat umum, bisa dalam bentuk barang maupun jasa. Begitu juga konotasi, “Liyasyhadu” (agar mereka bisa menyaksikan), tentu bukan hanya menyaksikan, tetapi juga meliputi konotasi benar-benar bisa mendapatkannya. Itu berari, mereka bisa berdagang atau melakukan akad ijarah agar bisa mendapatkan manfaat tersebut.

Aktivitas di Luar Haji
Karena itu, aktivitas di luar ibadah haji, yang terkait dengan syarat, rukun dan wajib, selama tidak melanggar hukum syara’, maka aktivitas tersebut tetap boleh dilakukan. Berpolitik, misalnya, dalam konteks politik Islam, yaitu mengurus urusan umat dengan hukum Islam, tentu bukan merupakan aktivitas yang melanggar hukum syara. Apalagi, jika aktivitas politik itu bisa berdampak luar biasa terhadap kemaslahatan umat. Kisah Sufyan at-Tsauri yang mengkritik Khalifah Abu

Ja’far al-Manshur, di era Khilafah ‘Abbasiyyah, tentang penggunaan dana haji saat berhaji adalah contoh, bagaimana ulama di masa lalu, berhaji tetapi tetap melakukan aktivitas politiknya.

Ketika ada orang yang berhaji, kemudian melakukan aktivitas politik, sebagaimana yang dilakukan oleh Sufyan at-Tsauri, tetapi dalam bentuk lain, seperti, “Tolak Pemimpin Kafir”, atau “Tolak Ahok Pemimpin Kafir”, atau mendoakan agar orang Kafir kalah, misalnya, adalah aktivitas politik yang tidak menyalahi hukum Islam. Justru sebaliknya. Bahkan, dengan aktivitas ini, akhirnya banyak orang melek, dan tahu hukum keharaman memilih orang Kafir.

Tetapi, jika sebaliknya, di Ka’bah menenteng poster berbunyi: “Kami Muslim, Dukung Ahok” jelas haram. Bahkan, dia telah melakukan dosa besar, yang dilipatgandakan dosanya. Karena mendukung orang Kafir menjadi pemimpin adalah haram. Ketika keharaman ini dilakukan di tanah haram, bahkan Masjidil Haram, maka keharaman seperti ini, menurut Imam Syafii, akan dilipatgandakan sanksinya.

Mungkin ada yang bertanya, mengapa menolak pemimpin Kafir boleh, sedangkan mendukung pemimpin Kafir tidak boleh? Jawabannya, karena menolak pemimpin Kafir sudah jelas tindakan nahi munkar, yang hukumnya wajib. Sedangkan mendukung pemimpin Kafir merupakan amar munkar, mengajak orang lain melakukan kemunkaran, karena hukumnya jelas haram. Sebab, tidak ada satu pun ulama yang berbeda pendapat dalam memahami dalil tentang keharaman pemimpin Kafir.

Kalaulah hari ini ada yang membolehkan mengangkat orang Kafir menjadi pemimpin kaum Muslim, maka itu bukan ulama. Anehnya, mereka terus-menerus mengampanyekan kebolehan mengangkat pemimpin Kafir, di media, berbagai pengajian, bahkan pesantren dan masjid, yang nota bene adalah rumah Allah. Mereka ini benar-benar sudah tidak mempunyai rasa malu sedikit pun kepada manusia, apalagi malu kepada Allah.
Celakanya, pada saat yang sama, orang lain yang melakukan sebaliknya, menentang mereka dengan dasar Islam, dianggap telah mempolitisasi agama.

Sekularisasi Haji
Maka, ketika Islam tidak melarang orang berhaji melakukan aktivitas di luar haji, tetapi banyak orang Islam yang merasa risih, bahkan alergi ketika berhaji melakukan hal lain, selain ibadah saja. Kondisi seperti ini bisa disebabkan faktor sekularisasi haji, seolah haji ini ibadah, yang harus dijauhkan sejauh-jauhnya dari urusan lain, di luar haji. Di sisi lain, kondisi seperti ini juga boleh jadi disebabkan oleh pemahaman yang salah tentang ibadah. Ibadah, seolah hanya diartikan, sebagai ibadah mahdhah.

Padahal, konotasi ibadah dalam Islam sangat luas. Ibn Taimiyyah, misalnya, menjelaskan ibadah ini dengan gamblang, dan sangat luas: “Ibadah adalah sebutan yang bersifat menyeluruh untuk apa saja yang disukai dan diridhai oleh Allah, baik dalam bentuk ucapan maupun tindakan.”

Itulah konotasi ibadah. Dengan demikian, ibadah bisa meliputi ibadah mahdhah, atau ibadah khusus, dan ibadah ‘ammah (umum). Ibadah mahdah adalah ibadah yang telah ditetapkan syarat, rukun dan wajibnya secara detail. Sedangkan ibadah umum tidak, kecuali hukum syara’ yang bersifat umum. Selama aktivitas tersebut tidak melanggar hukum syara’, atau sebaliknya selama aktivitas tersebut tetap dalam koridor melaksanakan hukum syara’, maka selama itu pula aktivitas tersebut bisa dihukumi sebagai ibadah, dalam konotasi umum.

Jadi, selama aktivitas tersebut tidak melanggar ketentuan hukum syara apapun, maka aktivitas tersebut boleh dilakukan saat berhaji. Tidak perlu risih, atau merasa tidak enak. Karena semuanya itu dibolehkan, bahkan ada yang diwajibkan oleh Islam. Jika tidak dilakukan, maka kita pun berdosa. Meski kita sedang berhaji. Contohnya adalah amar makruf dan nahi munkar itu.

Begitulah seharusnya kita memahami haji dengan benar, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari ajaran Islam yang lain. Baik politik, ekonomi, pendidikan, maupun akhlak dan ibadah yang lain. Wallahu a’lam. []

KH Hafidz Abdurrahman, Ketua Mahad Syaraful Haramain
Mina, 13 Dzulhijjah 1437, 15 September 2016

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2324808/haji-politik#sthash.e7MFSHnD.dpuf

Jamaah Haji Iran Kecam Khamenei

REPUBLIKA.CO.ID, MINA -— Sejumlah jamaah haji berkebangsaan Iran mengecam berbagai pernyataan provokatif yang dialamatkan Ali Khamenei kepada Pemerintah Arab Saudi, belum lama ini. Mereka menilai pemimpin Iran itu telah menyampaikan ‘klaim plasu’ di hadapan publik.

Para jamaah haji Iran itu dengan suara bulat menyatakan pujian mereka atas upaya Kerajaan Arab Saudi memberikan pelayanan maksimal kepada semua tamu Allah selama berada di Tanah Suci, tanpa ada diskriminasi.

“Setiap kali saya menunaikan haji, saya melihat banyak proyek baru yang diluncurkan pemerintah Arab Saudi untuk kenyamanan jamaah,” ungkap seorang tamu asal Iran yang telah melaksanakan haji beberapa kali, Abdul Salam Mohammed Ali, seperti dikutip al-Arabiyah, Rabu (14/9).

Jamaah Iran lainnya, Ali Nadri, yang saat ini tinggal di Amerika Serikat, mengaku puas dengan berbagai proyek pembangunan di Makkah dan Madinah. Menurut pria itu, proyek-proyek tersebut cukup menggambarkan usaha keras yang dilakukan Kerajaan Saudi untuk memastikan keamanan dan kenyamanan para tamu Allah.

Komentar positif juga diutarakan jamaah Iran yang baru pertama kali menunaikan ibadah haji. Salah satunya adalah Diauddin Sadr al-Ashrafi yang mengaku senang berada di antara jutaan peziarah yang datang ke Makkah dari berbagai belahan dunia. “Upaya Arab Saudi untuk membuat perjalanan haji kami terasa nyaman cukup untuk membantah tuduhan palsu yang dibuat pemerintah Iran,” katanya.

Ashrafi menilai provokasi yang dilontarkan Khamenei terhadap Saudi bertujuan untuk menciptakan kekacauan di antara para tamu Allah. Hal itu, kata dia, dapat merusak ibadah haji mereka.

Wartawan Iran yang kini tinggal di Kurdistan, Jamal Boukarim, menyampaikan terima kasihnya pada Pemerintah Kerajaan Arab Saudi. “Raja Salman dan orang-orang Saudi sangat bermurah hati kepada setiap peziarah,” tuturnya.

Pemerintah Iran sebelumnya menuduh Arab Saudi tengah berusaha menghalang-halangi warga mereka menunaikan ibadah haji. Di antara isu yang dikemukakan oleh pemimpin Iran di Teheran adalah masalah keamanan para jamaah haji yang dinilai tidak mendapat perhatian semestinya dari pihak otoritas Saudi.

Peristiwa runtuhnya crane di Masjidil Haram, Makkah, tahun lalu, dikatakan menewaskan sekitar 2.300 orang. Iran pun mengklaim diri sebagai korban dengan jumlah terbesar dalam insiden tersebut, yakni sebanyak di 464 orang tewas.

Pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, pekan lalu lantas mempertanyakan hak Arab Saudi untuk mengelola Tanah Suci umat Islam tersebut.

Redaktur : Damanhuri Zuhri
Reporter : Ahmad Islamy Jamil

145 Jamaah Haji Indonesia Meninggal, Ini Daftar Namanya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sebanyak 145 anggota jamaah haji Indonesia 2016 meninggal dunia di Tanah Suci. Data itu diambil dari Sistem Informasi Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) Kesehatan, Jumat (16/9), pukul 07.00 Waktu Arab Saudi.

Sehari menjelang dimulainya fase pemulangan jemaah haji Indonesia gelombang pertama pada Sabtu (17/9), enam jamaah haji Indonesia kembali dilaporkan meninggal. Tambahan enam jemaah yang meninggal itu berasal dari embarkasi Solo (SOC/3), Jakarta – Bekasi (JKS/1), Batam (BTH) dan jamaah haji khusus.

Adapun daftar lengkap 145 anggota jamaah haji yang meninggal, di antaranya sebagai berikut:
1. Senen bin Dono Medjo (79). Embarkasi Surabaya (SUB) Kloter 007.
2. Siti Nurhayati binti Muhammad Saib (68). Embarkasi Aceh (BTJ) Kloter 002.
3. Martina binti Sabri Hasan (47). Embarkasi Batam (BTH) Kloter 006.
4. Khadijah Nur binti Imam Nurdin (66). Embarkasi Aceh (BTJ) Kloter 004.
5. Dijem Djoyo Kromo (53). Perempuan. Embarkasi Solo (SOC) Kloter 018.
6. Sarjono Bin Muhammad (60). Laki-laki. Embarkasi Batam (BTH) Kloter 006.
7. Oom Eli Asik (66). Perempuan. Embarkasi Jakarta-Bekasi (JKS) Kloter 003.
8. Nazar Bakhtiar bin Batiar (82). Embarkasi Padang (PDG) Kloter 001.
9. Juani bin Mubin Ben (61). Embarkasi Aceh (BTJ) Kloter 006.
10. Asma binti Mian (78). Embarkasi Padang (PDG) Kloter 001.
11. Tasniah binti Durakim Datem (73). Embarkasi Padang (PDG) Kloter 003.
12. Jamaludin bin Badri Kar (58). Embarkasi Palembang (PLM) Kloter 005.
13. Abdullah bin Umar Gamyah (68). Embarkasi Aceh (BTJ) Kloter 001.
14. Rubiyah binti Mukiyat Muntari (71). Embarkasi Surabaya (SUB) Kloter 020.
15. Muhammad Tahir bin Abdul Razak (68). Embarkasi Batam (BTH) Kloter 011.
16. Siti Maryam binti Ismail (60). Embarkasi Solo (SOC) Kloter 001.
17. Misnawar bin Kasimo Kamujo (76). Embakarsi Surabaya (SUB) Kloter 015
18. Din Azhari Nurina bin Sadid (73). Embarkasi Padang (PDG) Kloter 005.
19. Noorsi Fatimah binti M Saleh Mardiwiyono (60). Embarkasi Balikpapan (BPN) Kloter 009.
20. Muhammad Nasir bin Abdul Hamid (64). Embarkasi Batam (BTH) Kloter 010.
21. Manih binti Siyan Muhammad (71). Embarkasi Jakarta Pondok Gede (JKG) Kloter 006.
22. Joko Pramono bin H Ali Pramono (41). Embarkasi Surabaya (SUB) Kloter 26.
23. Wahono Wilik bin Walijo Kartodimejo (65). Embarkasi Batam (BTH) kloter 002.
24. Udju Sumiati binti Marhati (62). Embarkasi Jakarta – Bekasi (JKS) Kloter 038.
25. Siti Fatonah Binti Supangat Kasmungin (68). Embarkasi Surabaya (SUB) Kloter 028.
26. Imam Rifai bin Ngali (60). Embarkasi Palembang (PLM) Kloter 005.
27. Suhaimi bin kadir Abdillah (62). Embarkasi Medan (MES) Kloter 005.
28. Siti Maskanah binti Djumri (66). Embarkasi Banjarmasin (BDJ) Kloter 013.
29. Zainabon binti Umar Muhammad (71). Embarkasi Aceh (BTJ) Kloter 008.
30. Awaludin bin Abu Sahar Tanjung (58). Embarkasi Medan (MES) Kloter 011.
31. Kadiran bin Molyadi Sokaryo (71). Embarkasi Surabaya (SUB) Kloter 022.
32. Yudha Arifin bin Kasah (55). Jemaah haji khusus.
33. Abdul Hamid bin Lapewa Palewa (53). Jemaah haji khusus.
34. Roman bin H. Maeji Suhaedi (58). Embarkasi Jakarta-Bekasi (JKS) kloter 020.
35. Mochamad Subarjah bin Sumawinata R (64). Embarkasi Jakarta Bekasi (JKS) kloter 048.
36. Taggi bin Haseng Maggu (57). Embarkasi Surabaya (SUB) kloter 048
37. Saifuddin bin Buchori Abdullah (64). Embarkasi Solo (SOC) kloter 003.
38. Semi Parsinah binti Wamu Adam (65). Embarkasi Aceh (BTJ) loter 002.
39. Siti Maryam binti Haram (79). Embarkasi Surabaya (SUB) kloter 020.
40. Aceng bin Nuroddin Hasyim (58). Embarkasi Jakarta Bekasi (JKS) kloter 018.
41. Adisman Rasidin Salin bin St. Salam (63). Jemaah haji khusus.
42. Warniti binti Samadi Rimin (67). Embarkasi Solo (SOC) kloter 051.
43. Sukardi As Haryanto bin Abu Bakar (78). Embarkasi Surabaya (SUB) kloter 009.
44. Rukiyah bt Muhammad Arif Pane (62). Embarkasi Medan (MES) kloter 011.
45. Sumin Adinoto bn Suto Karso (73). Embarkasi Jakarta Pondok Gede (JKG) kloter 028.
46. Zahadi bin Muhayadin Asir (58). Embarkasi Palembang (PLM) kloter 007.
47. Imo binti Ahmad Umar (73). Embarkasi Lombok (LOP) kloter 006.
48. Carwit binti Karjani Sarip (51). Embarkasi Jakarta Bekasi (JKS) kloter 037.
49. Mukijan bin Sodimejoh Muhammad (62). Embarkasi Surabaya (SUB) kloter 032.
50. Siti Sarah binti Abdul Kapi (53). Embarkasi Banjarmasin (BDJ) kloter 014.
51. Abdul Sani bin H Hayani (59). Embarkasi Jakarta Pondok Gede (JKG) kloter 026.
52. Emuh Sutrisna Atmadja bin Wardi (79). Embarkasi Jakarta Bekasi (JKS) kloter 008.
53. Ali bin Lapantje Lakoro (77). Embarkasi Balikpapan (BPN) kloter 011.
54. Cholik bin Aguscik Usman (65). Embarkasi Palembang (PLM) kloter 005, B3343307.
55. Marfuah Amina Toyib binti Mustofa (76). Embarkasi Jakarta – Bekasi (JKS) kloter 34.
56. Nipi binti Mad Ambri Mungkar (69). Embarkasi Jakarta – Bekasi (JKS) kloter 34.
57. Hawang binti Bungku Ilham (59). Embarkasi Balikpapan (BPN) kloter 007.
58. Boniatun binti Dulkahir Kartak (60). Embarkasi Batam (BTH) kloter 17.
59. Hariri bin Mustafa M. Soleh (73). Embarkasi Jakarta – Pondok Gede (JKG) kloter 37.
60. Dain Nariya bin Satimin (69). Embarkasi Jakarta – Bekasi (JKS) kloter 29.
61. Rosid bin Kamadi Rani (63). Embarkasi Jakarta – Bekasi (JKS) kloter 061.
62. Muhammad Arifin bin Ambo Angka (58). Jemaah haji khusus
63. Zuri Mukanan bin Muhrin Kasrih (66). Jemaah haji khusus
64. Wawan Barnawi K bin Casmita (62). Embarkasi Jakarta – Bekasi (JKS) kloter 036.
65. Sikan bin Bait Sabut (59). Embarkasi Surabaya (SUB) kloter 005.
66. Nana Supena bin Uba R (64). Embarkasi Jakarta-Bekasi (JKS) kloter 010.
67. Budiyanto bin Lihan Suliman (57). Embarkasi kloter Surabaya (SUB) kloter 026.
68. Suhaimi bin Jamain Abdul Gafur (62). Embarkasi Padang (PDG) kloter 009.
69. Agus Slamet Riyadi bin Cokrowasito (62). Jemaah haji khusus.
70. Munawwaroh binti Muslih Simin (66). Embarkasi Jakarta-Pondok Gede (JKG) kloter 020.
71. Darmuya bin Jabar Bila (79). Embarkasi Padang kloter 011.
72. Sofyan Soleh Jamhari binti H.M Sohe (74). Embarkasi Jakarta-Pondok Gede (JKG) kloter 007.
73. Sumi binti Sahrul Towasi (80). Embarkasi Surabaya (SUB) kloter 003.
74. Nur Wachid bin Abdul Majid Samsul (68). Embarkasi Surabaya (SUB) kloter 025.
75. Sahriye binti Sulaiman Kaima (71). Embarkasi Surabaya (SUB) kloter 017.
76. Sulkan bin Satiman Lasijah (57). Embarkasi Solo (SOC) kloter 063.
77. Sariyana Ganing P binti Laganing (73). Jemaah haji khusus.
78. Djunaide bin Masse Bandu (71). Jemaah haji khusus.
79. Sawi bin Saidin Armidin (73). Embarkasi Surabaya (SUB) kloter 017.
80. Jamhari bin Arip Ardiah (83). Embarkasi Jakarta Bekasi (JKS) kloter 021.
81. Endah Wirdah binti Sukemi Harja. Embarkasi Jakarta Bekasi (JKS) kloter 038.
82. Mariyah Komar binti Umar Martawidjaja. Embarkasi Jakarta Pondok Gede (JKG) kloter 031.
83. Aen Harmaen bin Suhandi Suhatma (66). Jemaah haji khusus.
84. Ripah binti Ardja Semita (67). Embarkasi Solo (SOC) kloter 056.
85. Sumitro bin Chambali Moh. Sidik (80). Embarkasi Solo (SOC) kloter 036.
86. Nur Pudjimas Saleh bin Muhammad Nur (70). Embarkasi Jakarta-Pondok Gede (JKG) kloter 027.
87. Rasta Wangsa Mihardja bin P Sayan (80). Embarkasi Solo (SOC) kloter 053.
88. Namin bin Artamin Senang (79). Embarkasi Banjarmasin (BDJ) kloter 013.
89. Badrijanto bin Darmodipuro Kartowijoto (71). Embarkasi Surabaya (SUB) kloter 008.
90. Sanipah binti Kawi Soleh (76). Embarkasi Surabaya (SUB) kloter 030.
91. Sarah binti Marjuki Sere (84). Embarkasi Jakarta Pondok (JKG) kloter 033.
92. Sukro bin Gimin Sali (71). Embarkasi Surabaya (SUB) kloter 039.
93. Sangkut bin Yasin Saguk (60). Embarkasi Jakarta Pondok Gede (JKG) kloter 023.
94. Sutadji bin Taredjo Sabar (85). Embarkasi Surabaya (SUB) kloter 034.
95. Roemijatoen binti Mariso Kromorejo (69). Embarkasi Surabaya (SUB) kloter 028.
96. Djumirah binti Karto Temon (82). Embarkasi Solo (SOC) kloter 024.
97. Dimanto bin Sono Dikromo (72). Embarkasi Medan (MES) kloter 017.
98. Mani binti Mamak Isma (49). Embarkasi Jakarta Bekasi (JKS) kloter 016.
99. Jukih binti Tiyul Kemat (72) Embarkasi Jakarta Bekasi (JKS) kloter 029.
100. Moh. Choliq Atmowisastro bin Hanafi (71). Embarkasi Surabay (SUB) kloter 057.
101. Kadi bin Sanggem Suro (63). Embarkasi Surabaya (SUB) kloter 046.
102. Ramly Sudirman bin Marsudin Mile (60). Embarkasi Makassar (UPG) kloter 022.
103. Huriah binti Abdul Rasyid (62). Embarkasi Lombok (LOP) kloter 002.
104. Robiah binti Ahmad Dirsad (74). Embarkasi Solo (SOC) kloter 059.
105. Mansur bin Mahtar Mutholib (63). Embarkasi Jakarta Pondok Gede (JKG) kloter 026.
106. Buchari bin Abu Bakar Soleh (80). Embarkas Surabaya (SUB) kloter 009.
107. Moch. Busro bin Achmad Zawawi (50). Embarkasi Surabaya (SUB) kloter 021.
108. Sumila binti Atemo Pawiro (64). Embarkasi Solo (SOC) kloter 060.
109. Hasyim bin Idi Asyari (60). Embarkasi Jakarta Bekasi (JKS) kloter 042.
110. Halimah binti Sulaiman Hasibuan (58). Embarkasi Medan (MES) kloter 002.
111. Nisih binti Sumitro Kurdi (71). Embarkasi Solo (SOC) kloter 005.
112. Syaipul bin Yusuf (66). Embarkasi Padang (PDG) kloter 002.
113. Ramli bin Abdul Aziz Banta (67). Embarkasi Aceh (BTJ) kloter 007.
114. Asjhari bin Syafii Karim (82). Embarkasi Surabaya (SUB) kloter 027.
115. Anih binti Abas Adromi (46). Embarkasi Jakarta Bekasi (JKS) kloter 047.
116. Musbitun binti Resodiharjo (71). Embarkasi Jakarta Bekasi (JKS) kloter 025.
117. Shahabuddin bin Abuya H Mansur. Embarkasi Jakarta Bekasi (JKS) kloter 060.
118. Hozain Effendi bin Wahab Yasim (72). Embarkasi Palembang (PLM) kloter 009.
119. Kartini Winangsih binti Eben (71). Embarkasi Jakarta Bekasi (JKS) kloter 025.
120. Siti binti Muhammad Raiman Burjek (79). Embarkasi Surabaya (SUB) kloter 052.
121. Suparmono bin Wiria Sastra (64). Embarkasi Jakarta Bekasi (JKS) kloter 063.
122. Siti Ropiah binti Watas Karsiman (86). Embarkasi Solo (SOC) kloter 052.
123. Hadi Mulyanto bin Atemo (58). Jemaah haji khusus.
124. Shinta Luneira binti Lukman Ibrahim (43). Embarkasi Jakarta Bekasi (JKS) kloter 067.
125. Nursaida binti Juaro Harahap (42). Embarkasi Medan (MES) kloter 001.
126. Siti Hasniah binti Basirong (62). Embarkasi Makassar (UPG) kloter 011.
127. Miun bin Naran Sanim (56). Embarkasi Jakarta Bekasi (JKS) kloter 016.
128. Dahlan bin Kasma Aslim (69). Embarkasi Jakarta Bekasi (JKS) kloter 005.
129. Rahmah binti Imam Pardi (69). Embarkasi Surabaya (SUB) kloter 022.
130. Sudarsih binti Mulyo Taruno (57). Embarkasi Surabaya (SUB) kloter 020.
131. Sudiyono bin Walijo Wongsodikromo (61). Embarkasi Jakarta Pondok Gede (JKG) kloter 008.
132. Taharudin bin Sahed Ahmad (59). Embarkasi Surabaya (SUB) kloter 001.
133. Bahtiar bin Anwar Buttu (56). Embarkasi Makassar (UPG) kloter 005.
134. Sukasmi binti Somo Wigeno (71). Embarkasi Solo (SOC) kloter 035.
135. Sidek bin Mappiase Paddai (66). Jemaah haji khusus
136. Mudjiran bin Samingun Karyadi (76). Embarkasi Surabaya (SUB) kloter 023.
137. Jaya bin Sanadi Masiyan (68). Embarkasi Jakarta Bekasi (JKS) kloter 044.
138. Empat Suparti binti Saleh (64). Embarkasi Jakarta Bekasi (JKS) kloter 058.
139. Asih binti Hamdi H. Husin (63). Jemaah haji khusus.
140. Nastangin bin Tjakra Pawira (80). Embarkasi Solo (SOC) kloter 034.
141. Titi Hodidjah binti Bahrum (62). Embarkasi Jakarta Bekasi (JKS) kloter 003.
142. Muhamat Subhan bin Mastur Masud (45). Embarkasi Solo (SOC) kloter 004.
143. Asni binti Kamil Tamin (63). Embarkasi Batam (BTH) kloter 017.
144. Sairoh bin Usman Dulhamid (52). Jemaah haji khusus.
145. Retno Sri Suhamani bin M. Soebandi (57). Embarkasi Solo (SOC) kloter 62.
 

 

Redaktur : Karta Raharja Ucu

Sumber : Antara

Inilah Tanda Orang Meninggal Khusnul Khatimah

SETIAP makhluk bernyawa pasti akan merasakan mati. Begitu firman Allah SWT dalam Alquran menjelaskan. Setiap ada kehidupan pasti ada kematian.

Di akhir kematian nanti hanya ada dua macam, yaitu secara khusnul khatimah (akhir yang baik) dan suul khatimah (akhir yang buruk). Semuanya itu tergantung kita saat dicabut nyawa nanti apakah kita sedang berbuat kebaikan atau malah keburukan. Jika kita memilih untuk meninggal secara khusnul khatimah, artinya kita harus mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapinya.

Maka dari itu, semoga kita termasuk ke dalam orang-orang yang meninggal secara khusnul khatimah, yaitu meninggal dengan salah satu cara yang menjadi tanda orang khusnul khatimah. Namun apa sajakah tanda orang yang meninggal secara khusnul khatimah?

Berikut ini diantaranya:

1. Meninggal dengan mengucapkan syahadat (HR. Abu Daud).

2. Meninggal dalam keadaan sedang berkeringat (HR. Tirmidzi).

3. Meninggal pada waktu siang/malam jumat (HR. Tirmidzi).

4. Meninggal dalam keadaan mati syahid/terbunuh di medan perang di jalan Allah SWT (QS. 3: 169-171).

5. Mati di jalan Allah SWT (HR. Muslim).

6. Meninggal karena penyakit radang selaput dada (HR. Ahmad).

7. Meninggal karena penyakit thaun (HR. Bukhari).

8. Meninggal karena sakit perut (HR. Muslim).

9. Meninggal karena tenggelam.

10. Meninggal karena tertimpa reruntuhan (HR. Bukhari dan Muslim).

11. Meninggal karena kehamilan disebabkan anak yang sedang dikandungnya (HR. Ahmad).

12. Meninggal karena membela agama/nyawa (HR. Bukhari).

13. Meninggal karena membela harta (HR. Abu Daud).

14. Meninggal karena terjangkit penyakit TBC (HR. Ath Thabrani).

15. Meninggal karena sedang berjaga di jalan Allah SWT.

16. Meninggal tatkala sedang beramal saleh (HR. Ahmad).

17. Meninggal karena terbakar api (HR. Ahmad).[]

Sumber: Misteri Malam Pertama di Alam Kubur/Jubair Tablig Syahid/Cable Book/Juni 2012.

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2322251/inilah-tanda-orang-meninggal-khusnul-khatimah#sthash.QUwcvG7w.dpuf